Mikroenkapsulasi
1.1. Pengertian
Mikroenkapsulasi adalah proses fisik dimana bahan aktif (bahan inti), seperti partikel padatan,
tetesan air ataupun gas, dikemas dalam bahan sekunder (dinding), berupa lapisan film tipis.
Proses ini digunakan untuk melindungi suatu zat agar tetap tersimpan dalam keadaan baik dan
untuk melepaskan zat tersebut pada kondisi tertentu saat digunakan (Desai and Park, 2005). Ide
dasar mikroenkapsulasi berasal dari sel, yaitu permeabilitas selektif membran sel memberikan
perlindungan terhadap inti sel dari kondisi lingkungan yang berubah-ubah dan berperan dalam
pengaturan metabolisme sel.
Mikroenkapsulasi yang berkembang saat ini menggunakan prinsip yang sama untuk melindungi
bahan aktif dari kondisi lingkungan yang tidak mendukung.
Penerapan mikroenkapsulasi secara komersial bermula dari pembuatan salinan kertas tanpa
kertas karbon oleh National Cash Register. Salinan tercetak ketika tekanan pena memecah
mikrokapsul yang mengandung prekursor pewarna yang kemudian diikuti reaksi kimia antara
prekursor pewarna di bagian atas halaman dan sumber asam di halaman bagian bawah sehingga
terbentuk gambar atau tulisan. Gelatin digunakan sebagai bahan mikrokapsul dan bahan aktif
yang digunakan adalah prekursor pewarna ( Jackson and Lee, 1991) .
Penelitian dan publikasi mengenai teknologi mikroenkapsulasi telah banyak dilakukan dan
diterbitkan di berbagai belahan dunia dalam kurun waktu 60 tahun terakhir ini (Dziezak, 1988).
Namun hingga saat ini, masih banyak bidang untuk dikembangkan dengan berbagai modifikasi
pada metoda, pemilihan bahan sebagai mikrokapsul maupun bahan yang dimikroenkapsulasi.
Laporan pertama mengenai aplikasi enkapsulasi dalam industri pangan diterbitkan pada tahun
1956 oleh Scultz dan kawan-kawan (Desai and Park, 2005). Mereka mengkapsulkan minyak
sitrus ke dalam sukrosa dan dekstrosa. Produk yang dihasilkan memberikan stabilitas yang baik
dan selama penyimpanan citarasa dapat bertahan hingga enam bulan (Schultz et al., 1956).
Proses enkapsulasi juga diterapkan oleh peneliti-peneliti yang lain. Proses ini berkembang
menjadi mikroenkapsulasi dan berkembang lebih lanjut menjadi nanoenkapsulasi (Sanguansri
and Augustin, 2006).
inti (multiple core) pada bagian dindingnya (Gambar 1). Mikrokapsul dengan satu inti biasanya
diproduksi dengan cara coacervation, droplet co-extrusion dan pemasukan molekul. Model ini
biasanya memiliki muatan inti yang tinggi, misalnya 90% dari total berat mikrokapsul.
Mikrokapsul dengan struktur banyak inti di bagian dinding umumnya diproduksi menggunakan
spray drying. Bahan inti tersebar secara merata di bagian dinding dan bagian tengah mikrokapsul
biasanya berupa rongga kosong yang dihasilkan dari pemuaian selama tahap-tahap pengeringan
akhir. Biasanya, struktur ini memiliki persentasi pelapis hingga 70% dari berat mikrokapsul.
Bahan di dalam mikrokapsul disebut sebagai inti, fasa internal, atau pengisi. Bahan inti dapat
berupa emulsi, bahan kristalin, suspensi padatan, atapun gas. Isi dalam mikrokapsul dilepaskan
dengan berbagai macam mekanisme. Pelapis dapat rusak secara mekanik, misalnya akibat
dikunyah, meleleh ketika terekspos dengan panas, terlarut dalam solvent (pelarut). Perubahan pH
dapat mengubah kemampuan proses penembusan bahan aktif sehingga mengendalikan
pelepasan. Pelapis dari lemak (lipid) dapat terdegradasi akibat enzim lipase dan bahan aktif
berdifusi ke lingkungan. Sifat fisik dan kimia dari bahan aktif (seperti kelarutan, difusivitas,
tekanan uap, dan koefisien partisi) dan pelapis (seperti ketebalan, porositas dan kemampuan
bereaksi) juga mempengaruhi pelepasan bahan aktif.
Bahan pelapis yang disebut juga sebagai kulit, dinding, atau membran, dapat berasal dari filmforming (pembuat lapisan tipis) polimer natural atau sintesis. Memilih pelapis harus berdasarkan
pada sifat kimia maupun fisik bahan aktif, juga proses yang digunakan untuk membuat
mikrokapsul. Bahan pelapis harus tidak larut dan tidak bereaksi terhadap zat aktif. Umumnya,
polimer yang tidak larut dalam air digunakan untuk membuat mikrokapsul dengan bahan aktif
seperti air, dan polimer yang dapat larut air digunakan untuk mikrokapsul pada bahan aktif
organik. Untuk meningkatkan kualitas lapisan, lapisan dibuat beberapa lapis, memiliki sifat yang
seperti plastik, cross-linking, juga ada perlakuan pada permukaannya. Ketebalan lapisan
dimanipulasi untuk meningkatkan permeabilitas dan stabilitas dari mikrokapsul ( Jackson and
Lee, 1991).
Profil gelatinisasi pati terbagi dalam empat tipe yaitu A, B, C dan D. Profil gelatinisasi tipe A
memiliki kemampuan pengembangan yang besar yang ditunjukkan dengan tingginya viskositas
puncak tetapi viskositas mengalami penurunan yang tajam selama pemanasan contoh pati sagu.
Profil gelatinisasi tipe B memiliki kemampuan pengembangan sedang yang ditunjukkan dengan
lebih rendahnya viskositas puncak dibanding tipe A dan viskositas mengalami penurunan yang
tidak terlalu tajam selama pemanasan contoh pati jagung, pati beras, pati gandum, dan pati
tapioka. Profil gelatinisasi tipe C memiliki kemampuan pengembangan terbatas yang
ditunjukkan dengan tidak adanya viskositas puncak dan viskositas tidak mengalami penurunan
bahkan meningkat selama pemanasan contoh pati kacang hijau. Profil gelatinisasi tipe D
cenderung tidak memiliki kemampuan mengembang sehingga tidak dapat membentuk pasta
ketika dipanaskan. Penampakan keempat tipe profil gelatinisasi disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Tipe profil gelatinisasi
Suhu awal gelatinisasi adalah suhu pada saat pertama kali viskositas mulai naik. Kadar lemak
atau protein yang tinggi mampu membentuk kompleks dengan amilosa, sehingga membentuk
endapan yang tidak larut dan menghambat pengeluaran amilosa dari granula. Dengan demikian,
diperlukan energi yang lebih besar untuk melepas amilosa sehingga suhu awal gelatinisasi yang
dicapai akan lebih tinggi. Suhu gelatinisasi adalah suhu dimana granula pati mulai pecah dan
sifat birefringence mulai menghilang. Suhu gelatinisasi diakhiri tepat ketika granula pati telah
kehilangan sifat kristalnya sehingga bersifat irreversible. Suhu gelatinisasi tidak sama pada
berbagai jenis pati, sehingga hal ini termasuk sifat khas dari masing-masing pati.
Suhu gelatinisasi dipengaruhi oleh ukuran amilosa dan amilopektin serta keadaan media
pemanasan. Keadaan pemanasan yang mempengaruhi proses gelatinisasi adalah rasio pati dan
air, laju pemanasan, dan adanya komponen-komponen lain dalam media pemanasnya. Selain itu,
suhu gelatinisasi juga dipengaruhi oleh associative force dalam granula pati. Semakin tinggi suhu
gelatinisasi suatu jenis pati menunjukkan semakin tinggi gaya ikat dalam granula pati tersebut.
Jagung beramilopektin tinggi mempunyai rantai -(1,4) glukosida yang lebih pendek dibanding
jagung beramilosa tinggi. Hal ini berpengaruh terhadap suhu gelatinisasi. Kadar amilopektin
yang tinggi (99%) akan meningkatkan suhu awal (70,8oC), maupun suhu puncak gelatinisasi,
yang diikuti oleh peningkatan energi. Viskositas maksimum merupakan titik maksimum
viskositas pasta yang dihasilkan selama proses pemanasan. Suhu viskositas maksimum disebut
suhu akhir gelatinisasi. Pada suhu ini granula pati telah kehilangan sifat birefringencenya dan
granula sudah tidak mempunyai kristal lagi. Komponen yang menyebabkan sifat kristal dan
birefringence adalah amilopektin. Dengan demikian, amilopektin sangat berpengaruh terhadap
viskositas. Viskositas puncak pati waxy (1524 BU), lebih tinggi dibanding pati jagung normal
(975 BU), sedangkan jagung manis mempunyai viskositas puncak yang sangat rendah (85,2
BU) .
Kandungan air minimal pati jagung agar terjadi gelatinisasi sempurna adalah 45-47%. Waktu
awal gelatinisasi tepung jagung 29 menit dengan suhu awal gelatinisasi 74oC, sedangkan waktu
gelatinisasi tepung jagung sampai viskositas puncak 42 menit dengan suhu gelatinisasi 93oC.
Hasil ini diperoleh dengan suhu awal pemanasan 30oC menggunakan alat Brabender Amilograph
.
Pati jagung normal lebih cepat mengalami retrogradasi dibandingkan dengan pati jagung lainnya,
seperti ditunjukkan oleh viskositas dingin yang tinggi. Fenomena ini bisa terjadi karena pada
waktu gelatinisasi, granula pati tidak mengembang secara maksimal. Akibatnya energi untuk
memutus ikatan hydrogen intermolekul berkurang. Pada saat pendinginan terjadi, amilosa dapat
bergabung dengan cepat membentuk kristal tidak larut. Sebaliknya, untuk jenis tepung yang lain,
amilosa memiliki kemampuan bersatu yang rendah, karena energi untuk melepas ikatan
hidrogennya juga rendah .
Tingkat atau derajat gelatinisasi adalah rasio antara pati yang tergelatinisasi dengan total pati.
Proses pengukusan (steaming) dilakukan agar terjadi proses gelatinisasi yaitu perubahan kimia
dari tepung menjadi gel. Gelatinisasi pati dipengaruhi oleh bahan mentah yaitu ukuran granula,
rasio antara amilosa dan amilopektin, serta komponen-komponen dalam bahan pangan seperti
kadar air, gula, protein, lemak dan serat kasar.
Suatu gel pati bukanlah merupakan sistem yang seimbang, namun akan berubah seiring dengan
waktu. Struktur kristalin pati akan rusak pada saat gelatinisasi, namun akan muncul kembali saat
penyimpanan. Kemampuan molekul pati untuk membentuk Kristal setelah gelatinisasi disebut
retrogradasi. Retrogradasi adalah proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami
gelatinisasi. Beberapa molekul pati khususnya amilosa yang dapat terdispersi dalam air panas,
meningkatkan granula-granula yang membengkak dan masuk ke dalam cairan yang ada di
sekitarnya. Molekul-molekul amilosa tersebut akan terus terdispersi, asalkan pati tersebut dalam
kondisi panas. Dalam kondisi panas, pasta masih memiliki kemampuan mengalir secara fleksibel
dan tidak kaku. Bila pasta pati tersebut kemudian mendingin, energi kinetik tidak lagi cukup
tinggi untuk melawan kecenderungan molekul-molekul amilosa untuk bersatu kembali. Molekulmolekul amilosa berikatan kembali satu sama lain serta berikatan dengan cabang amilopektin
pada pinggir-pinggir luar granula, dengan demikian mereka menggabungkan butir-butir pati yang
bengkak tersebut menjadi semacam jaringjaringmembentuk mikrokristal dan mengendap.
Sifat retrogradasi tepung secara tidak langsung dipengaruhi oleh susunan struktur rantai pati
sampai tak berbentuk (amorphous) dan bagian kristal dari granula pati yang tidak tergelatinisasi.
Bagian kristal mempengaruhi tingkat kerusakan granula selama penyimpanan dan interaksi yang
terjadi diantara rantai pati selama penyimpanan gel . Perbedaan kandungan amilosa tepung
jagung mempengaruhi karaktersistik retrogradasi. Pati yang mengandung amilopektin tinggi
retrogradasi yang terjadi lambat.
Swelling Volume dan Kelarutan
Swelling volume adalah kemampuan pati untuk mengembang jika dipanaskan pada suhu dan
waktu tertentu. Swelling volume merupakan perbandingan volume pasta pati terhadap berat
keringnya. Berdasarkan hal tersebut satuan swelling volume adalah ml/g bk.
Pati dengan profil gelatinisasi tipe A (pati sagu) biasanya memiliki swelling volume yang lebih
besar dibandingkan pati dengan profil gelatinisasi tipe B contohnya pati gandum, pati jagung,
pati beras dan pati tapioka . Pati yang memiliki profil gelatinisasi tipe C contohnya pati
kacangkacangan memiliki swelling volume yang terbatas atau sangat rendah jika dibandingkan
tipe A.
Pengembangan granula terjadi ketika granula dipanaskan bersama air dan ikatan hidrogen yang
menstabilisasi struktur double heliks dalam kristal terputus dan digantikan oleh ikatan hidrogen
dengan air. Adanya pengembangan tersebut akan menekan granula dari dalam sehingga granula
akan pecah dan molekul pati terutama amilosa akan keluar. Semakin banyak molekul amilosa
yang keluar dari pati maka kelarutan semakin tinggi. Oleh karena itu pati yang memiliki kadar
amilosa tinggi biasanya memiliki kelarutan yang tinggi pula contohnya pati sagu yang
mengandung amilosa 27- 35%. Namun demikian, kandungan amilosa tidak selalu berbanding
lurus dengan kelarutan. Keberadaan kompleks amilosa dan lipid seperti pada pati kacang
kacangan mengurangi kelarutan. Swelling volume dan kelarutan beberapa jenis jagung hibrida
tercantum dalam Tabel 1.
Tabel 1 Swelling volume dan kelarutan lima varietas jagung hibrida
Kapasitas Penyerapan Air
Kapasitas penyerapan air (KPA) dari pati jagung perlu diketahui karena jumlah air yang
ditambahkan pada pati mempengaruhi sifat pati. Granula pati utuh tidak larut dalam air dingin.
Granula pati dapat menyerap air dan membengkak, tetapi tidak dapat kembali seperti semula
(retrogradasi). Air yang terserap dalam molekul menyebabkan granula mengembang. Kapasitas
penyerapan air lima varietas jagung hibrida disajikan dalam Tabel 6.
Tabel 2 Kapasitas penyerapan air lima varietas jagung hibrida
Pada proses gelatinisasi terjadi pengrusakan ikatan hidrogen intramolekuler. Ikatan hidrogen
berperan mempertahankan struktur integritas granula. Terdapatnya gugus hidroksil bebas akan
menyerap air, sehingga terjadi pembengkakan granula pati. Dengan demikian, semakin banyak
jumlah gugus hidroksil dari molekul pati semakin tinggi kemampuannya menyerap air. Oleh
karena itu, absorbsi air sangat berpengaruh terhadap viskositas. Kadar amilosa yang tinggi akan
menurunkan kapasitas penyerapan air dan kelarutan. Pada amylomaize dengan kadar amilosa
42,6- 67,8%, kapasitas penyerapan airnya sebesar 6,3 (g/g)(oC) dan kelarutannya sebesar 12,4%.
Jika jumlah air dalam sistem dibatasi maka amilosa tidak dapat meninggalkan granula. Nisbah
penyerapan air dan minyak juga dipengaruhi oleh serat yang mudah menyerap air .
3. Publikasi mengenai gelatinisasi
3.1. Peristiwa-peristiwa yang mendorong pembentukan sisa-sisa ghost dari permukaan granule
starch dan kontribusi permukaan granule terhadap gelatinisasi endotermis (Atkin et al., 1998).
Selama proses gelatinisasi, permukaan eksternal granule starch membentuk sampul. Sampul ini
berperan dalam gelatinisasi endotermis starch dengan mengontrol dispersi polimer starch
internal. Sisa-sisa ghost berasal dari lapisan luar granule yang sebagian besar terdiri dari
amylopectin. Permukaan amylopectin secara structural berbeda dengan internal amylopectin.
Selama awal gelatinisasi granule, granule starch yang tinggi amylopectinnya berkembang
menjadi dua kali lipat, dimana lapisan luar granul membentuk sebuah sampul yang mengelilingi
polimer starch internal yang pecah. Starch yang tinggi kadar amylose tidak berkembang tetapi
dapat membentuk sampul pada suhu yang tinggi (>90oC) . Pada sebuah titik tekanan kritis ,
sampul yang mengembang pecah menjadi sebuah ghost , melepaskan sebagian besar molekul
starch internal. Selama akhir langkah gelatinisasi sampul yang pecah menghasilkan sisa-sisa
ghost. Manipulasi permukaan granule starch akan menghasilkan perubahan endotermis
gelatinisasi baik secara genetik maupun kimia. Model gelatinisasi starch dapat dilihat sebagai
berikut
Gambar 8. Model gelatinisasi starch. Sebuah model peristiwa molecular, terdiri dari
pembentukan, pengontrolan, degradasi ghost granule dalam kurva DSC
3.2. Karakteristik mikroenkapsulasi pada -carotene yang dibentuk dengan proses spray drying
dengan tepung tapioca yang dimodifikasi,tepung tapioca asli, dan maltodextrin.(Loksuwan,
2006)
Tepung tapioka asam yang dimodifikasi , tepung tapioka asli dan maltodextrin diuiji
kemampuannya sebagai material dinding enkapsulasi -carotene. Tepung tapioka yang
dimodifikasi memiliki distribusi ukuran partikel yang lebih luas, diameter yang lebih kecil
dibandingkan dengan tepung asli dan maltodextrin. Moisture content dan water activity
mikroenkapsulasi tergantung pada tipe dinding material. Ada perbedaan dalam kandungan carotene total dan -carotene permukaan pada sampel. -carotene total yang paling tinggi
terdapat pada tepung tapioka yang dimodifikasi sementara maltodextrin yang paling rendah.
Permukaan -carotene yang paling rendah terdapat pada tepung tapioka yang dimodifikasi
sementara yang paling tinggi pada tepung tapioka termodifikasi . Tepung tapioka termodifikasi
adalah lebih efektif dari pada tepung asli dalam retensi -carotene. Hasil yang diperoleh
menyatakan bahwa tepung tapioka yang dimodifikasi dapat dianggap sebagai material dinding
yang potensial untuk enkapsulasi -carotene.
DAFTAR PUSTAKA
B.F.S. Gibbs, Kermasha, I. Alli, dan C.N. Mulligan. 1999. Encapsulation in the food industry: A
review. International Journal of Food Sciences and Nutrition, 50, 213-224
Jarunee Loksuwan. 2006. Characteristics of microencapsulated -carotene formed by spray
drying with modified tapioca starch, native tapioca starch and maltodextrin. Food Hydrocolloids
21, 928 935