Anda di halaman 1dari 10

1.

Mikroenkapsulasi
1.1. Pengertian
Mikroenkapsulasi adalah proses fisik dimana bahan aktif (bahan inti), seperti partikel padatan,
tetesan air ataupun gas, dikemas dalam bahan sekunder (dinding), berupa lapisan film tipis.
Proses ini digunakan untuk melindungi suatu zat agar tetap tersimpan dalam keadaan baik dan
untuk melepaskan zat tersebut pada kondisi tertentu saat digunakan (Desai and Park, 2005). Ide
dasar mikroenkapsulasi berasal dari sel, yaitu permeabilitas selektif membran sel memberikan
perlindungan terhadap inti sel dari kondisi lingkungan yang berubah-ubah dan berperan dalam
pengaturan metabolisme sel.
Mikroenkapsulasi yang berkembang saat ini menggunakan prinsip yang sama untuk melindungi
bahan aktif dari kondisi lingkungan yang tidak mendukung.
Penerapan mikroenkapsulasi secara komersial bermula dari pembuatan salinan kertas tanpa
kertas karbon oleh National Cash Register. Salinan tercetak ketika tekanan pena memecah
mikrokapsul yang mengandung prekursor pewarna yang kemudian diikuti reaksi kimia antara
prekursor pewarna di bagian atas halaman dan sumber asam di halaman bagian bawah sehingga
terbentuk gambar atau tulisan. Gelatin digunakan sebagai bahan mikrokapsul dan bahan aktif
yang digunakan adalah prekursor pewarna ( Jackson and Lee, 1991) .
Penelitian dan publikasi mengenai teknologi mikroenkapsulasi telah banyak dilakukan dan
diterbitkan di berbagai belahan dunia dalam kurun waktu 60 tahun terakhir ini (Dziezak, 1988).
Namun hingga saat ini, masih banyak bidang untuk dikembangkan dengan berbagai modifikasi
pada metoda, pemilihan bahan sebagai mikrokapsul maupun bahan yang dimikroenkapsulasi.
Laporan pertama mengenai aplikasi enkapsulasi dalam industri pangan diterbitkan pada tahun
1956 oleh Scultz dan kawan-kawan (Desai and Park, 2005). Mereka mengkapsulkan minyak
sitrus ke dalam sukrosa dan dekstrosa. Produk yang dihasilkan memberikan stabilitas yang baik
dan selama penyimpanan citarasa dapat bertahan hingga enam bulan (Schultz et al., 1956).
Proses enkapsulasi juga diterapkan oleh peneliti-peneliti yang lain. Proses ini berkembang
menjadi mikroenkapsulasi dan berkembang lebih lanjut menjadi nanoenkapsulasi (Sanguansri
and Augustin, 2006).

Gambar 1. Dua jenis struktur utama mikrokapsul


1.2. Ciri-ciri mikrokapsul
Pengelompokan kapsul berdasarkan pada ukuran partikel > 5000 m (makro), 1,0-5000 m
(mikro) dan < 1,0 m (nano). Mikrokapsul dapat berbentuk bola, persegi panjang ataupun tak
beraturan. Dua jenis struktur utama dari mikrokapsul adalah satu inti (single core) dan banyak

inti (multiple core) pada bagian dindingnya (Gambar 1). Mikrokapsul dengan satu inti biasanya
diproduksi dengan cara coacervation, droplet co-extrusion dan pemasukan molekul. Model ini
biasanya memiliki muatan inti yang tinggi, misalnya 90% dari total berat mikrokapsul.
Mikrokapsul dengan struktur banyak inti di bagian dinding umumnya diproduksi menggunakan
spray drying. Bahan inti tersebar secara merata di bagian dinding dan bagian tengah mikrokapsul
biasanya berupa rongga kosong yang dihasilkan dari pemuaian selama tahap-tahap pengeringan
akhir. Biasanya, struktur ini memiliki persentasi pelapis hingga 70% dari berat mikrokapsul.
Bahan di dalam mikrokapsul disebut sebagai inti, fasa internal, atau pengisi. Bahan inti dapat
berupa emulsi, bahan kristalin, suspensi padatan, atapun gas. Isi dalam mikrokapsul dilepaskan
dengan berbagai macam mekanisme. Pelapis dapat rusak secara mekanik, misalnya akibat
dikunyah, meleleh ketika terekspos dengan panas, terlarut dalam solvent (pelarut). Perubahan pH
dapat mengubah kemampuan proses penembusan bahan aktif sehingga mengendalikan
pelepasan. Pelapis dari lemak (lipid) dapat terdegradasi akibat enzim lipase dan bahan aktif
berdifusi ke lingkungan. Sifat fisik dan kimia dari bahan aktif (seperti kelarutan, difusivitas,
tekanan uap, dan koefisien partisi) dan pelapis (seperti ketebalan, porositas dan kemampuan
bereaksi) juga mempengaruhi pelepasan bahan aktif.
Bahan pelapis yang disebut juga sebagai kulit, dinding, atau membran, dapat berasal dari filmforming (pembuat lapisan tipis) polimer natural atau sintesis. Memilih pelapis harus berdasarkan
pada sifat kimia maupun fisik bahan aktif, juga proses yang digunakan untuk membuat
mikrokapsul. Bahan pelapis harus tidak larut dan tidak bereaksi terhadap zat aktif. Umumnya,
polimer yang tidak larut dalam air digunakan untuk membuat mikrokapsul dengan bahan aktif
seperti air, dan polimer yang dapat larut air digunakan untuk mikrokapsul pada bahan aktif
organik. Untuk meningkatkan kualitas lapisan, lapisan dibuat beberapa lapis, memiliki sifat yang
seperti plastik, cross-linking, juga ada perlakuan pada permukaannya. Ketebalan lapisan
dimanipulasi untuk meningkatkan permeabilitas dan stabilitas dari mikrokapsul ( Jackson and
Lee, 1991).

Gambar 2 memberikan rangkuman secara umum mengenai proses mikroenkapsulasi.


1.3. Jenis-jenis mikrokapsul
Tujuan utama mikroenkapsulasi adalah untuk membuat bahan cairan bersifat seperti padatan. Hal
ini menyebabkan beberapa sifat bahan inti menjadi berubah, misalnya sifat aliran bahan dan
penangan bahan menjadi lebih mudah dalam bentuk padatan. Bahan yang memiliki higroskopis
dapat dilindungi dari kelembaban lingkungan. Selain melindungi zat aktif, proses ini juga
bermanfaat untuk menutupi rasa, aroma ataupun yang tidak diinginkan dari bahan aktif.
Kestabilan dari bahan yang mudah menguap, sensitif terhadap cahaya, oksidasi atau panas dapat
dipertahankan ( Gibbs et al., 1999). Hal penting lain dalam proses mikroenkapsulasi bahan
makanan adalah juga untuk mengatur pelepasan bahan aktif pada waktu yang dikehendaki.
Bahan-bahan yang berhubungan dengan makanan yang dienkapsulasi meliputi asam, pewarna,
enzim, mikroorganime, perasa, lemak dan minyak, vitamin dan mineral, garam, pemanis dan gas.
Pemanfaatan enkapsulasi dalam makanan dijelaskan lebih lanjut di bawah ini.
Gambar 2. Alur proses mikroenkapsulasi
1. 3.1. Penyedap rasa/perasa
Beberapa contoh pemanfaatan enkapsulasi perasa adalah minyak sitrus, minyak peppermint,
minyak bawang putih maupun bawang bombay, minyak bumbu-bumbu. Ketertarikan
pemanfaatan enkapsulasi dalam bumbu-bumbu terutama dalam proses pembuatan saus.
Mikroenkapsulasi perasa pada umumnya menggunakan spray drying meskipun spray
cooling/chilling, extrusion, inculsion complexation juga sering digunakan. Spray drying paling
sering digunakan untuk enkapsulasi karena selain murah dalam ongkos produksi juga
menghasilkan butiran (powder) yang lebih seragam ukurannya. Bahan-bahan yang umum
digunakan untuk menyimpan perasa adalah bahan yang mengandung gula, seperti pati dan gum.
1. 3.2. Enzim

Mikroenkapsulasi laktase dikembangkan untuk menghindari adanya hidrolisa laktose sebelum


konsumsi. Enzim laktase, yang dihasilkan dalam usus kecil, diperlukan untuk menghidrolisa
laktose menjadi glukosa dan galaktosa. Ketiadaan laktase dapat menyebabkan ketidaknyamanan
pada proses pencernaan saat mengkonsumsi susu, seperti kram atau diare.4 Untuk mengatasi
masalah ini, enzim laktase ditambahkan pada susu sebelum dikonsumsi. Namun, hal ini
mengakibatkan terjadinya proses hidrolasi laktose sebelum dikonsumsi dan mengubah rasa susu
empat kali lebih manis dibanding sebelum ditambahkan. Dengan mikroenkapsulasi, laktase yang
ditambahkan akan bereaksi dengan laktose setelah dikonsumsi karena rusaknya mikrokapsul
akibat proses pencernaan. Bahan pelapis yang memberikan efisiensi enkapsulasi hingga 94.9%
adalah Medium Chain Triglyceride (MCT).17,18
1. 3.3. Asam
Asam askorbat dapat meningkatkan penyerapan zat besi dari usus dengan mereduksi zat besi
menjadi senyawa yang lebih mudah larut dan mudah diserap. Meskipun demikian, asam askorbat
merupakan senyawa yang sangat tidak stabil dan mudah hancur dalam pengolah oleh suhu, pH,
oksigen dan sinar ultraviolet. Teknik mikroenkapsulasi merupakan aplikasi yang baik untuk
mengatasi kekurangan dari asam askorbat. Bahan pelapis yang digunakan adalah polyglycerol
monostearate (PGMS) dan Medium Chain Triglyceride (MCT).19
1.4. Keuntungan dan kerugian mikrokapsul
a. Keuntungan
1) Dengan adanya lapisan dinding polimer, zat ini akan terlindungi dari pengaruh lingkungan
luar.
2) Mikroenkapsulasi dapat mencegah perubahan warna dan bau serta dapat menjaga stabilitas zat
inti yang dipertahankan dalam jangka waktu yang lama.
3) Dapat dicampur dengan komponen lain yang berinteraksi dengan zat inti.
b. Kerugian
1) Adakalanya penyalutan bahan inti oleh polimer kurang sempurna atau tidak merata sehingga
akan mempengaruhi pelepasan zat inti dari mikrokapsul.
2) Dibutuhkan teknologi mikroenkapsulasi
3) Harus dilakukan pemilihan polimer penyalut dan pelarut yang sesuai dengan bahan inti agar
diperoleh hasil mikrokapsul yang baik.
1.5. Tujuan mikroenkapsulasi
Proses mikroenkapsulasi memiliki beberapa tujuan , yaitu :
a. Mengubah bentuk cairan menjadi padatan.
b. Melindungi inti dari pengaruh lingkungan
c. Memperbaiki aliran serbuk
d. Menutupi rasa dan bau yang tidak enak
e. Menyatukan zat-zat yang tidak tersatukan secara fisika kimia
f. Menurunkan sifat iritasi inti terhadap saluran cerna

g. Mengatur pelepasan bahan inti


h. Memperbaiki stabilitas bahan inti
1.6. Teknik mikroenkapsulasi
Ada beberapa teknik yang digunakan dalam mikroenkapsulasi makanan. Pemilihan proses
berdasarkan pada sensitivitas bahan aktif, sifat fisik dan kimia baik bahan aktif maupun lapisan
kulit, ukuran mikrokapsul yang diinginkan, tujuan aplikasi bahan makanan, mekanisme
pelepasan bahan aktif, dan alasan ekonomi. Gambar 3 menginformasikan perkembangan teknik
mikroenkapsulasi dari tahun 1955 hingga 2005. Metode fisik dari mikroenkapsulasi meliputi
spray drying, spray cooling/chilling, freeze drying, spinning disk, fluidized bed, extrusion dan
co-crystallization. Proses mikroenkapsulasi secara kimia adalah interfacial polymerization.
Proses mikroenkapsulasi baik secara fisik maupun kimia diantaranya coaservation/fase
pemisahan, enkapsulasi molekular, dan liposome entrapment.
Gambar 3. Perkembangan teknik mikroenkapsulasi di dunia
2. Gelatinisasi
2.1. Pati
Pati merupakan karbohidrat yang tersebar dalam tanaman terutama tanaman berklorofil. Bagi
tanaman, pati merupakan cadangan makanan untuk masa pertumbuhan dan pertunasan yang
terdapat pada biji, batang dan pada bagian umbi tanaman. Banyaknya kandungan pati pada
tanaman tergantung asal pati tersebut, misalnya pati yang berasal dari biji beras mengandung pati
50-60 %. Pati telah lama digunakan baik sebagai bahan makanan maupun non-food seperti
perekat, dalam industri tekstil, polimer atau sebagai bahan tambahan dalam sediaan farmasi.
Penggunaan pati dalam bidang farmasi sebagai formula sediaan tablet, baik sebagai bahan
pengisi, penghancur maupun sebagai bahan pengikat.
Pati adalah suatu polisakarida yang mengandung amilosa, suatu cabang polimer linier dan
amilopektin, polimer dengan banyak cabang. Pati bila dipanaskan dalam air , akan terbentuk
larutan koloid hingga berat molekulnya tidak dapat ditentukan secara teliti, meskipun demikian
berat molekulnya sangat besar. Amilosa merupakan bagian yang larut dalam air (10-20%) yang
mempunyai berat molekul 50.000-200.000. Amilopektin merupakan bagian yang tidak larut
dalam air (80-90%) dengan berat molekul antara 70.000-106. Kedua bagian tersebut mempunyai
rumus empiris (C6H10O5)n. Baik amilosa maupun amilopektin, bila terhidrolisis menunjukkan
adanya sifat-sifat karbonil; dan kenyataan pati tersusun atas satuan-satuan maltosa. Struktur
amilosa merupakan struktur lurus dengan ikatan -(1,4)-D-glukosa. Amilopektin terdiri dari
struktur bercabang dengan ikatan -(1,4)-D-glukosa dan titik percabangan amilopektin
merupakan ikatan -(1,6) (Lehniger, 1982). Dalam amilosa satuan-satuan gula dihubungkan
dengan ikatan 1,4, sedangkan dalam amilopektin ikatannya pada 1,6 atau dengan kata lain atom
C1 dari satu gula dihubungkan dengn atom C6 dari satuan gula berikutnya.
Gambar 4 Struktur Amilosa

Gambar 5 Struktur Amilopektin


Pati telah banyak digunakan sebagai bahan biopolimer yang mampu membentuk matriks dalam
pembuatan edible film. Semakin banyak pati yang digunakan, maka semakin rapat matriks film
yang terbentuk. Hal ini berdampak pada peningkatan nilai tensile strength film. Salah satu pati
yang banyak digunakan sebagai bahan baku edible film yaitu pati tapioka. Beberapa peneliti
telah menggunakan pati tapioka dalam pembuatan edible film dan film yang dihasilkan memiliki
karakteristik fisik yang cukup baik serta dapat digunakan sebagai pengemas produk pangan
lempuk. Film yang dibuat dari pati tapioka dengan konsentrasi pati 3% menghasilkan pori-pori
yang kecil. Sedangkan pati yang diesterifikasi dengan konsentrasi 3% menunjukkan granulagranula pati yang saling berdempetan dan pati yang dioksidasi (amilum 320) dengan konsentrasi
3% menunjukkan granula yang utuh dan tidak hancur dalam air. Perbedaan ketiga jenis film
tersebut dianalisis menggunakan SEM (Scaning Electron Microscopy). Selain pati tapioka, pati
batang aren (Arenga pinnata Merr.) juga telah digunakan sebagai bahan baku edible film. Pati
batang aren mengandung amilosa sebesar 29,07%. Edible film dari pati batang aren dengan
konsentrasi pati sebesar 3%b/v dan asam palmitat 6% (b/b pati) memiliki karakteristik fisik yang
baik.
2.2. Gelatinisasi Pati
Gelatinisasi adalah peristiwa hilangnya sifat birefringence granula pati akibat penambahan air
secara berlebihan dan pemanasan pada waktu dan suhu tertentu, sehingga granula pati
membengkak dan tidak dapat kembali pada kondisi semula (irreversible). Granula pati
disuspensikan dalam air kemudian dipanaskan, granula akan menyerap air, jika dipanaskan
secara kontinyu maka ikatan hidrogen granula akan melemah dan secara bertahap granula pati
mulai mengembang. Pengembangan granula pati terjadi secara terus menerus sampai pecah
sehingga terjadi perubahan yang tak dapat balik (irreversible). Granula pati kehilangan sifat-sifat
yang dimilikinya dan terjadi proses gelatinisasi. Gelatinisasi granula pati diikuti perubahan sifat
fisik pati seperti peningkatan kejernihan pasta, kehilangan sifat birefringence dan peningkatan
secara cepat dan signifikan viskositasnya.
Selama proses gelatinisasi, ukuran granula pati semakin besar dengan semakin meningkatnya
suhu. Saat terjadi pembengkakan maksimum maka ukuran granula pati berada pada ukuran
maksimum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pati jagung tinggi amilopektin, diameter awal
granulanya adalah 15,6 m berubah menjadi 39,6 m pada saat terjadi pembengkakan.
Pada dasarnya proses gelatinisasi terjadi melalui tiga fase yaitu: (1) air secara perlahan-lahan dan
bolak-balik berimbibisi ke dalam granula (2) ditandai dengan pengembangan granula dengan
cepat karena penyerapan air yang berlangsung cepat sehingga kehilangan sifat birefringence (3)
jika suhu terus naik, maka molekul amilosa terdifusi keluar granula. Mekanisme gelatinisasi pati
disajikan dalam Gambar 6.
Gambar 6. Mekanisme gelatinisasi pati

Profil gelatinisasi pati terbagi dalam empat tipe yaitu A, B, C dan D. Profil gelatinisasi tipe A
memiliki kemampuan pengembangan yang besar yang ditunjukkan dengan tingginya viskositas
puncak tetapi viskositas mengalami penurunan yang tajam selama pemanasan contoh pati sagu.
Profil gelatinisasi tipe B memiliki kemampuan pengembangan sedang yang ditunjukkan dengan
lebih rendahnya viskositas puncak dibanding tipe A dan viskositas mengalami penurunan yang
tidak terlalu tajam selama pemanasan contoh pati jagung, pati beras, pati gandum, dan pati
tapioka. Profil gelatinisasi tipe C memiliki kemampuan pengembangan terbatas yang
ditunjukkan dengan tidak adanya viskositas puncak dan viskositas tidak mengalami penurunan
bahkan meningkat selama pemanasan contoh pati kacang hijau. Profil gelatinisasi tipe D
cenderung tidak memiliki kemampuan mengembang sehingga tidak dapat membentuk pasta
ketika dipanaskan. Penampakan keempat tipe profil gelatinisasi disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Tipe profil gelatinisasi
Suhu awal gelatinisasi adalah suhu pada saat pertama kali viskositas mulai naik. Kadar lemak
atau protein yang tinggi mampu membentuk kompleks dengan amilosa, sehingga membentuk
endapan yang tidak larut dan menghambat pengeluaran amilosa dari granula. Dengan demikian,
diperlukan energi yang lebih besar untuk melepas amilosa sehingga suhu awal gelatinisasi yang
dicapai akan lebih tinggi. Suhu gelatinisasi adalah suhu dimana granula pati mulai pecah dan
sifat birefringence mulai menghilang. Suhu gelatinisasi diakhiri tepat ketika granula pati telah
kehilangan sifat kristalnya sehingga bersifat irreversible. Suhu gelatinisasi tidak sama pada
berbagai jenis pati, sehingga hal ini termasuk sifat khas dari masing-masing pati.
Suhu gelatinisasi dipengaruhi oleh ukuran amilosa dan amilopektin serta keadaan media
pemanasan. Keadaan pemanasan yang mempengaruhi proses gelatinisasi adalah rasio pati dan
air, laju pemanasan, dan adanya komponen-komponen lain dalam media pemanasnya. Selain itu,
suhu gelatinisasi juga dipengaruhi oleh associative force dalam granula pati. Semakin tinggi suhu
gelatinisasi suatu jenis pati menunjukkan semakin tinggi gaya ikat dalam granula pati tersebut.
Jagung beramilopektin tinggi mempunyai rantai -(1,4) glukosida yang lebih pendek dibanding
jagung beramilosa tinggi. Hal ini berpengaruh terhadap suhu gelatinisasi. Kadar amilopektin
yang tinggi (99%) akan meningkatkan suhu awal (70,8oC), maupun suhu puncak gelatinisasi,
yang diikuti oleh peningkatan energi. Viskositas maksimum merupakan titik maksimum
viskositas pasta yang dihasilkan selama proses pemanasan. Suhu viskositas maksimum disebut
suhu akhir gelatinisasi. Pada suhu ini granula pati telah kehilangan sifat birefringencenya dan
granula sudah tidak mempunyai kristal lagi. Komponen yang menyebabkan sifat kristal dan
birefringence adalah amilopektin. Dengan demikian, amilopektin sangat berpengaruh terhadap
viskositas. Viskositas puncak pati waxy (1524 BU), lebih tinggi dibanding pati jagung normal
(975 BU), sedangkan jagung manis mempunyai viskositas puncak yang sangat rendah (85,2
BU) .
Kandungan air minimal pati jagung agar terjadi gelatinisasi sempurna adalah 45-47%. Waktu
awal gelatinisasi tepung jagung 29 menit dengan suhu awal gelatinisasi 74oC, sedangkan waktu
gelatinisasi tepung jagung sampai viskositas puncak 42 menit dengan suhu gelatinisasi 93oC.
Hasil ini diperoleh dengan suhu awal pemanasan 30oC menggunakan alat Brabender Amilograph

.
Pati jagung normal lebih cepat mengalami retrogradasi dibandingkan dengan pati jagung lainnya,
seperti ditunjukkan oleh viskositas dingin yang tinggi. Fenomena ini bisa terjadi karena pada
waktu gelatinisasi, granula pati tidak mengembang secara maksimal. Akibatnya energi untuk
memutus ikatan hydrogen intermolekul berkurang. Pada saat pendinginan terjadi, amilosa dapat
bergabung dengan cepat membentuk kristal tidak larut. Sebaliknya, untuk jenis tepung yang lain,
amilosa memiliki kemampuan bersatu yang rendah, karena energi untuk melepas ikatan
hidrogennya juga rendah .
Tingkat atau derajat gelatinisasi adalah rasio antara pati yang tergelatinisasi dengan total pati.
Proses pengukusan (steaming) dilakukan agar terjadi proses gelatinisasi yaitu perubahan kimia
dari tepung menjadi gel. Gelatinisasi pati dipengaruhi oleh bahan mentah yaitu ukuran granula,
rasio antara amilosa dan amilopektin, serta komponen-komponen dalam bahan pangan seperti
kadar air, gula, protein, lemak dan serat kasar.
Suatu gel pati bukanlah merupakan sistem yang seimbang, namun akan berubah seiring dengan
waktu. Struktur kristalin pati akan rusak pada saat gelatinisasi, namun akan muncul kembali saat
penyimpanan. Kemampuan molekul pati untuk membentuk Kristal setelah gelatinisasi disebut
retrogradasi. Retrogradasi adalah proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami
gelatinisasi. Beberapa molekul pati khususnya amilosa yang dapat terdispersi dalam air panas,
meningkatkan granula-granula yang membengkak dan masuk ke dalam cairan yang ada di
sekitarnya. Molekul-molekul amilosa tersebut akan terus terdispersi, asalkan pati tersebut dalam
kondisi panas. Dalam kondisi panas, pasta masih memiliki kemampuan mengalir secara fleksibel
dan tidak kaku. Bila pasta pati tersebut kemudian mendingin, energi kinetik tidak lagi cukup
tinggi untuk melawan kecenderungan molekul-molekul amilosa untuk bersatu kembali. Molekulmolekul amilosa berikatan kembali satu sama lain serta berikatan dengan cabang amilopektin
pada pinggir-pinggir luar granula, dengan demikian mereka menggabungkan butir-butir pati yang
bengkak tersebut menjadi semacam jaringjaringmembentuk mikrokristal dan mengendap.
Sifat retrogradasi tepung secara tidak langsung dipengaruhi oleh susunan struktur rantai pati
sampai tak berbentuk (amorphous) dan bagian kristal dari granula pati yang tidak tergelatinisasi.
Bagian kristal mempengaruhi tingkat kerusakan granula selama penyimpanan dan interaksi yang
terjadi diantara rantai pati selama penyimpanan gel . Perbedaan kandungan amilosa tepung
jagung mempengaruhi karaktersistik retrogradasi. Pati yang mengandung amilopektin tinggi
retrogradasi yang terjadi lambat.
Swelling Volume dan Kelarutan
Swelling volume adalah kemampuan pati untuk mengembang jika dipanaskan pada suhu dan
waktu tertentu. Swelling volume merupakan perbandingan volume pasta pati terhadap berat
keringnya. Berdasarkan hal tersebut satuan swelling volume adalah ml/g bk.
Pati dengan profil gelatinisasi tipe A (pati sagu) biasanya memiliki swelling volume yang lebih
besar dibandingkan pati dengan profil gelatinisasi tipe B contohnya pati gandum, pati jagung,
pati beras dan pati tapioka . Pati yang memiliki profil gelatinisasi tipe C contohnya pati
kacangkacangan memiliki swelling volume yang terbatas atau sangat rendah jika dibandingkan
tipe A.

Pengembangan granula terjadi ketika granula dipanaskan bersama air dan ikatan hidrogen yang
menstabilisasi struktur double heliks dalam kristal terputus dan digantikan oleh ikatan hidrogen
dengan air. Adanya pengembangan tersebut akan menekan granula dari dalam sehingga granula
akan pecah dan molekul pati terutama amilosa akan keluar. Semakin banyak molekul amilosa
yang keluar dari pati maka kelarutan semakin tinggi. Oleh karena itu pati yang memiliki kadar
amilosa tinggi biasanya memiliki kelarutan yang tinggi pula contohnya pati sagu yang
mengandung amilosa 27- 35%. Namun demikian, kandungan amilosa tidak selalu berbanding
lurus dengan kelarutan. Keberadaan kompleks amilosa dan lipid seperti pada pati kacang
kacangan mengurangi kelarutan. Swelling volume dan kelarutan beberapa jenis jagung hibrida
tercantum dalam Tabel 1.
Tabel 1 Swelling volume dan kelarutan lima varietas jagung hibrida
Kapasitas Penyerapan Air
Kapasitas penyerapan air (KPA) dari pati jagung perlu diketahui karena jumlah air yang
ditambahkan pada pati mempengaruhi sifat pati. Granula pati utuh tidak larut dalam air dingin.
Granula pati dapat menyerap air dan membengkak, tetapi tidak dapat kembali seperti semula
(retrogradasi). Air yang terserap dalam molekul menyebabkan granula mengembang. Kapasitas
penyerapan air lima varietas jagung hibrida disajikan dalam Tabel 6.
Tabel 2 Kapasitas penyerapan air lima varietas jagung hibrida
Pada proses gelatinisasi terjadi pengrusakan ikatan hidrogen intramolekuler. Ikatan hidrogen
berperan mempertahankan struktur integritas granula. Terdapatnya gugus hidroksil bebas akan
menyerap air, sehingga terjadi pembengkakan granula pati. Dengan demikian, semakin banyak
jumlah gugus hidroksil dari molekul pati semakin tinggi kemampuannya menyerap air. Oleh
karena itu, absorbsi air sangat berpengaruh terhadap viskositas. Kadar amilosa yang tinggi akan
menurunkan kapasitas penyerapan air dan kelarutan. Pada amylomaize dengan kadar amilosa
42,6- 67,8%, kapasitas penyerapan airnya sebesar 6,3 (g/g)(oC) dan kelarutannya sebesar 12,4%.
Jika jumlah air dalam sistem dibatasi maka amilosa tidak dapat meninggalkan granula. Nisbah
penyerapan air dan minyak juga dipengaruhi oleh serat yang mudah menyerap air .
3. Publikasi mengenai gelatinisasi
3.1. Peristiwa-peristiwa yang mendorong pembentukan sisa-sisa ghost dari permukaan granule
starch dan kontribusi permukaan granule terhadap gelatinisasi endotermis (Atkin et al., 1998).
Selama proses gelatinisasi, permukaan eksternal granule starch membentuk sampul. Sampul ini
berperan dalam gelatinisasi endotermis starch dengan mengontrol dispersi polimer starch
internal. Sisa-sisa ghost berasal dari lapisan luar granule yang sebagian besar terdiri dari
amylopectin. Permukaan amylopectin secara structural berbeda dengan internal amylopectin.
Selama awal gelatinisasi granule, granule starch yang tinggi amylopectinnya berkembang
menjadi dua kali lipat, dimana lapisan luar granul membentuk sebuah sampul yang mengelilingi
polimer starch internal yang pecah. Starch yang tinggi kadar amylose tidak berkembang tetapi
dapat membentuk sampul pada suhu yang tinggi (>90oC) . Pada sebuah titik tekanan kritis ,

sampul yang mengembang pecah menjadi sebuah ghost , melepaskan sebagian besar molekul
starch internal. Selama akhir langkah gelatinisasi sampul yang pecah menghasilkan sisa-sisa
ghost. Manipulasi permukaan granule starch akan menghasilkan perubahan endotermis
gelatinisasi baik secara genetik maupun kimia. Model gelatinisasi starch dapat dilihat sebagai
berikut
Gambar 8. Model gelatinisasi starch. Sebuah model peristiwa molecular, terdiri dari
pembentukan, pengontrolan, degradasi ghost granule dalam kurva DSC
3.2. Karakteristik mikroenkapsulasi pada -carotene yang dibentuk dengan proses spray drying
dengan tepung tapioca yang dimodifikasi,tepung tapioca asli, dan maltodextrin.(Loksuwan,
2006)
Tepung tapioka asam yang dimodifikasi , tepung tapioka asli dan maltodextrin diuiji
kemampuannya sebagai material dinding enkapsulasi -carotene. Tepung tapioka yang
dimodifikasi memiliki distribusi ukuran partikel yang lebih luas, diameter yang lebih kecil
dibandingkan dengan tepung asli dan maltodextrin. Moisture content dan water activity
mikroenkapsulasi tergantung pada tipe dinding material. Ada perbedaan dalam kandungan carotene total dan -carotene permukaan pada sampel. -carotene total yang paling tinggi
terdapat pada tepung tapioka yang dimodifikasi sementara maltodextrin yang paling rendah.
Permukaan -carotene yang paling rendah terdapat pada tepung tapioka yang dimodifikasi
sementara yang paling tinggi pada tepung tapioka termodifikasi . Tepung tapioka termodifikasi
adalah lebih efektif dari pada tepung asli dalam retensi -carotene. Hasil yang diperoleh
menyatakan bahwa tepung tapioka yang dimodifikasi dapat dianggap sebagai material dinding
yang potensial untuk enkapsulasi -carotene.
DAFTAR PUSTAKA
B.F.S. Gibbs, Kermasha, I. Alli, dan C.N. Mulligan. 1999. Encapsulation in the food industry: A
review. International Journal of Food Sciences and Nutrition, 50, 213-224
Jarunee Loksuwan. 2006. Characteristics of microencapsulated -carotene formed by spray
drying with modified tapioca starch, native tapioca starch and maltodextrin. Food Hydrocolloids
21, 928 935

Anda mungkin juga menyukai