Laporan Ske n3
Laporan Ske n3
BLOK MATA
SKENARIO 3
MATA MERAH DENGAN VISUS TURUN
Disusun Oleh
Kelompok 18:
Annisa Pertiwi
G0010024
M. Maulana Shofri
Aryo Seno
G0010030
G0010044
G0010144
Endang Susilowati N
G0010072
Rukmana Wijayanto
G0010170
Firza Fatchya
G0010082
Wahyu Aprillia
G0010194
TUTOR:
Dr. Ratih Puspita Febrinasari
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN 2012
G0010116
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Skenario
Saat dr. Ali jaga di Puskesmas, datang seorang pasien Bapak Joko, usia 34
tahun dengan keluhan mata kiri merah sejak satu hari yang lalu. Selain itu ia
merasakan nyeri, cekot-cekot, pandangan kabur, dan silau.
Pada pemeriksaan didapatkan VOS 5/60 uji pinhole tidak maju, kelopak mata
bengkak dan spasme, konjungtiva bulbi injeksi, kornea tampak tidak jernih.
Setelah melakukan pemeriksaan lebih lanjut, mendiagnosis dan memberikan
terapi pendahuluan, dr. Ali merujuk pasien tersebut ke dokter spesialis mata di RSUD
Dr. Moewardi.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana anatomi, histologi, dan fisiologi kornea?
2.
Bagaimana patofisiologi gejala (nyeri, cekot-cekot, pandangan kabur, silau,
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
C. Tujuan
1.
Mengetahui anatomi, histologi, dan fisiologi kornea.
2.
Mengetahui patofisiologi gejala (nyeri, cekot-cekot, pandangan kabur, silau,
3.
4.
5.
visus.
Mengetahui terapi pendahuluan yang seharusnya diberikan.
Mengetahui pemeriksaan lanjutan yang seharusnya dilakukan pada kasus
6.
7.
tersebut.
Mengetahui tatalaksana pasien pada skenario.
Mengetahui peran bank mata dalam pendonoran mata dan persyartan yang harus
8.
9.
A.
POMPA ION
B. Fotofobia
Fotofobia adalah ketidaknyamanan mata dalam cahaya terang. Fotofobia adalah gejala
yang cukup umum. Bagi banyak orang, fotofobia bukan karena penyakit. Fotofobia
berat dapat terjadi dengan masalah mata dan dapat menyebabkan sakit mata parah
bahkan dalam cahaya relatif rendah.
Penyebab:
Ada beberapa alasan yang berbeda mengapa seseorang mungkin menderita fotofobia
atau sensitivitas terhadap cahaya. Ini bukan penyakit, gangguan, masalah atau kondisi.
Bahkan, itu adalah gejala dari berbagai penyakit, gangguan, masalah dan kondisi.
Misalnya, infeksi atau peradangan yang mengiritasi mata dapat menyebabkan
fotofobia. Selain itu, dapat merupakan gejala dari suatu penyakit yang mendasari
seperti penyakit virus atau sakit kepala parah atau migren.
Warna mata seseorang juga dapat mempengaruhi sensitivitas terhadap cahaya yang.
Orang dengan mata berwarna lebih terang mengalami berbagai tingkat sensitivitas
cahaya dibandingkan orang dengan mata berwarna gelap. Dikatakan bahwa ini adalah
karena kurangnya pigmen di mata berwarna lebih terang, dan lebih banyak pigmen di
mata berwarna gelap dikatakan untuk melindungi terhadap pencahayaan yang keras
seperti sinar matahari cerah.
Penyebabnya:
Akut iritis atau uveitis (peradangan di dalam mata)
Luka bakar pada mata
Kornea abrasi
Kornea ulkus
Fotofobia, sakit, mata merah, penurunan penglihatan, sukar melihat dekat, dan
lakrimasi pada keadaan akut. Bila kronik mata menjadi putih, dan gejala-gejala
minimal walau terjadi inflamasi berat.
Pada pemeriksaan ditemukan injeksi siliar, miosis pupil, flare pada bilik mata
depan, bila sangat akut dapat terjadi hifema atau hipopion, nodul iris seperti
benjolan Koeppe atau benjolan Busacca, tekanan bola mata dapat turun akibat
hipofungsi badan siliar atau meningkat karena pelebaran pembuluh siliar dan
perilimbus.
d. Komplikasi
Sinekia posterior dan sinekia anterior perifer dapat mengakibatkan glaukoma
sekunder. Dapat pula terjadi uveitis simpatis. Pemakaian steroid jangka panjang
harus diperhatikan.
e. Penatalaksanaan
Terapi harus segera dilakukan untuk mencegah kebutaan. Diberikan steroid tetes
mata pada siang hari dan salep pada malam hari. Dapat dipakai deksametason,
betametason, atau pednisolon 1 tetes setiap 5 menit kemudian diturunkan hingga
perhari. Bila perlu, juga steroid sistemik dalam dosis tinggi tunggal selang sehari
kemudian diturunkan sampai dosis efektif, dapat dipakai prednisolon 5 mg. Dapat
pula diberikan subkonjungtiva dan peribulbar. Untuk mengurangi rasa sakit,
melepas sinekia, dan mengistirahatkan iris yang meradang, diberikan siklopegik.
Setelah infeksi fokal, penyakit yang mendasari atau kuman penyebab diketahui,
diberikan pengobatan spesifik (Mansjoer et al, 2005)
D. BLEPHAROPASME
Blepharospasme adalah keadaan dimana terjadi kontraksi orbikularis okuli
yaitu otot-otot di sekitar mata tanpa disadari. Penyebabnya belum diketahui pasti
tetapi diduga karena kelainan persarafan. Blepharospasme dapat berlangsung
beberapa detik sampai beberapa jam.
Kelopak mata mempunyai sejumlah otot yang berfungsi untuk menutup dan
membuka mata. Otot yang berfungsi menutup dan mengedip pada kelopak mata atas
dan bawah adalah otot orbikularis okuli. Selain itu ada lagi otot yang berfungsi
membuka mata pada kelopak mata. Normalnya mata berkedip rata-rata 14-15 kali per
menit, apabila lebih dari itu dapat dicurigai adanya blepharospasme.
Kelainan ini biasanya terjadi pada orang dewasa berusia 50-60 tahun, lebih
banyak pada wanita dan kontraksi tidak timbul pada saat tidur. Namun perlu juga
diwaspadai karena jika terjadi kontraksi yang berat dan hebat dapat menimbulkan
kebutaan fungsional karena penderita tidak bisa membuka matanya. Selain itu, gejala
yang biasa dialami meliputi iritasi mata yang membuat tidak nyaman, sensitif saat
melihat dan semakin sering mengedipkan mata.
Blepharospasme biasanya terjadi secara bertahap dengan berkedip yang
berlebihan dan dapat juga disertai iritasi mata. Pada stadium awal, blepharospasme
hanya dapat timbul bila adanya faktor predisposisi yang spesifik, contohnya sinar
lampu yang terang, kelelahan dan tekanan emosional. Keadaan dapat berlanjut jika
blepharospasme terjadi sepanjang hari. Pada keadaan lanjut, spasme yang terjadi
sangat hebat dan penglihatan pasien menjadi gelap, kelopak mata tertutup kuat dengan
paksa untuk beberapa jam.
Penyebab penyakit ini tida diketahui pasti tetapi ada dugaan kondisi ini
disebabkan oleh adanya kelainan pada ganglia basalis. Hal ini akan menyebabkan
aktivitas asetilkolin yang berlebihan sehingga akan menyebabkan kontraksi otot yang
berlebihan pula. Pada banyak orang blepharospasme timbul secara tiba-tiba tanpa
diktahui faktor predisposisinya.
E. EROSI KORNEA
Erosi kornea meripakan keadaan terkelupasnya epitel kornea yang dapat
diakibatkan oleh gesekan keras pada epitel kornea. Erosi dapat terjadi tanpa cedera
pada membran basal. Dalam waktu yang pendek epitel sekitarnya dapat bermigrasi
dengan cepat dan menutupi defek epitel tersebut.
Pada erosi pasien akan merasa sakit sekali akibat erosi merusak kornea yang
mempunyai serat sensibel yang banyak, mata berair dengan blefarospasme, lakrimasi,
fotofobia dan penlihatan akan terganggu oleh media kornea yang keruh.
Pada kornea akan terlihat suatu defek epitel kornea yang bila diberi pewarnaan
fluoresein akan berwarna hijau. Pada erosi kornea yang perlu diperhatikan adalah
adanya infeksi yang timbul kemudian.
Anastesi topikal dapat diberikan untuk memeriksa tajam penglihatan dan
menghilangkan rasa sakit yang sangat. Epitel yang terkelupas atau terlipat sebaiknya
dilepas atau dikupas. Untuk mencegah infeksi bakteri diberikan antibiotika. Akibat
rangsangan yang mengakibatkan spasme siliar maka diberikan sikoplegik aksi
pendek. Erossi yang kecil biasanya akan tertutu kembali setelah 48 jam.
F. ULKUS KORNEA
Ulkus kornea merupakan salah satu dari kegawatdaruratan mata. Hal ini disebabkan
potensinya dalam menurunkan visus dan merusak mata. Hampir semua ulkus kornea
disebabkan oleh infeksi walaupun dapat juga steril. Ulkus yang disebabkan oleh
infeksi virus muncul setelah sebelumnya epitel kornea utuh. Sedangkan ulkus bakteria
umumnya mengikuti robeknya kornea akibat trauma. Robekan ini dapat menjadi
pintu masuk bakteri. Trauma ini dapat disebabkan oleh banyak hal misalnya abrasi
minor akibat benda asing, insufisiensi air mata, malnutrisi, atau penggunaan lensa
kontak.
Patogenesis dari ulkus kornea masih belum diketahui secara jelas. Kemungkinan
terdapat peranan respon imunologis terhadap antigen dan kelemahan genetik, seperti
predisposisi genetik terhadap tidak sempurnanya perkembangan fungsi limfosit T,
produksi autoantibodi, dan aktivasi jalur komplemen. Pemakaianlensa kontak, HIV,
trauma, penyakit mata, dan operasi mata merupakan beberapa faktor risiko ulkus
kornea (Jeng, 2010)
ETIOLOGI (Vaughan, 2000; Ilyas, 2004; Perdami, 2002; Wijaya, 1989)
a. Infeksi
Infeksi Bakteri : P. aeraginosa, Streptococcus pneumonia dan spesies
Moraxella merupakan penyebab paling sering. Hampir semua ulkus berbentuk
sentral. Gejala klinis yang khas tidak dijumpai, hanya sekret yang keluar
bersifat mukopurulen yang bersifat khas menunjukkan infeksi P aeruginosa.
Infeksi virus
Ulkus kornea oleh virus herpes simplex cukup sering dijumpai. Bentuk
khas dendrit dapat diikuti oleh vesikel-vesikel kecil dilapisan epitel
yang bila pecah akan menimbulkan ulkus. Ulkus dapat juga terjadi
pada bentuk disiform bila mengalami nekrosis di bagian sentral.
Infeksi virus lainnya varicella-zoster, variola, vacinia (jarang).
Acanthamoeba
Acanthamoeba adalah protozoa hidup bebas yang terdapat didalam air
yang tercemar yang mengandung bakteri dan materi organik. Infeksi
terjadi
pengendapan
protein
permukaan
sehingga
bila
cairan
pembersih
yang
mengandung
kalium/natrium
Sindrom Sjorgen
Pada sindrom Sjorgen salah satunya ditandai keratokonjungtivitis sicca
yang merupakan suatu keadan mata kering yang dapat disebabkan
defisiensi unsur film air mata (akeus, musin atau lipid), kelainan
permukan palpebra atau kelainan epitel yang menyebabkan timbulnya
bintik-bintik kering pada kornea. Pada keadaan lebih lanjut dapat
timbul ulkus pada kornea dan defek pada epitel kornea terpulas dengan
flurosein.
Defisiensi vitamin A
Ulkus kornea akibat defisiensi vitamin A terjadi karena kekurangan
vitamin A dari makanan atau gangguan absorbsi di saluran cerna dan
ganggun pemanfaatan oleh tubuh.
Obat-obatan
Obat-obatan
yang
menurunkan
mekanisme
imun,
misalnya;
Pajanan (exposure)
Neurotropik
Granulomatosa wagener
Rheumathoid arthritis
infiltrasi sel leukosit. Walaupun terdapat hipopion ulkus seringkali indolen yaitu
reaksi radangnya minimal.
Ulkus Pseudomonas : Lesi pada ulkus ini dimulai dari daerah sentral kornea.
ulkus sentral ini dapat menyebar ke samping dan ke dalam kornea. Penyerbukan ke
dalam dapat mengakibatkan perforasi kornea dalam waktu 48 jam. gambaran berupa
ulkus yang berwarna abu-abu dengan kotoran yang dikeluarkan berwarna kehijauan.
Kadang-kadang bentuk ulkus ini seperti cincin. Dalam bilik mata depan dapat terlihat
hipopion yang banyak.
b. Ulkus Mooren
Merupakan ulkus yang berjalan progresif dari perifer kornea kearah sentral.
ulkus mooren terutama terdapat pada usia lanjut. Penyebabnya sampai sekarang
belum diketahui. Banyak teori yang diajukan dan salah satu adalah teori
hipersensitivitas tuberculosis, virus, alergi dan autoimun. Biasanya menyerang satu
mata. Perasaan sakit sekali. Sering menyerang seluruh permukaan kornea dan kadang
meninggalkan satu pulau yang sehat pada bagian yang sentral.
c. Ring Ulcer
Sekret mukopurulen
Pandangan kabur
Mata berair
Silau
Nyeri
Infiltat yang steril dapat menimbulkan sedikit nyeri, jika ulkus terdapat pada
perifer kornea dan tidak disertai dengan robekan lapisan epitel kornea.
Gejala Objektif
Injeksi siliar
Hipopion
Goresan ulkus untuk analisa atau kultur (pulasan gram, giemsa atau KOH)
Pada jamur dilakukan pemeriksaan kerokan kornea dengan spatula kimura
dari dasar dan tepi ulkus dengan biomikroskop dilakukan pewarnaan KOH,
gram atau Giemsa. Lebih baik lagi dengan biopsi jaringan kornea dan
diwarnai dengan periodic acid Schiff. Selanjutnya dilakukan kultur dengan
agar sabouraud atau agar ekstrak maltosa.
herpes simplex
herpes zoster
Gambar 11. a Pewarnaan gram ulkus kornea bakteri Gambar 11. b Pewarnaan gram ulkus kornea
bakteri
akantamoeba
2.
3.
4.
b. Penatalaksanaan medis
1. Pengobatan konstitusi
Oleh karena ulkus biasannya timbul pada orang dengan keadaan umum
yang kurang dari normal, maka keadaan umumnya harus diperbaiki dengan
makanan yang bergizi, udara yang baik, lingkungan yang sehat, pemberian
roboransia yang mengandung vitamin A, vitamin B kompleks dan vitamin C.
Pada ulkus-ulkus yang disebabkan kuman yang virulen, yang tidak sembuh
dengan pengobatan biasa, dapat diberikan vaksin tifoid 0,1 cc atau 10 cc susu
steril yang disuntikkan intravena dan hasilnya cukup baik. Dengan
penyuntikan ini suhu badan akan naik, tetapi jangan sampai melebihi 39,5C.
Akibat kenaikan suhu tubuh ini diharapkan bertambahnya antibodi dalam
badan dan menjadi lekas sembuh.
2. Pengobatan lokal
Benda asing dan bahan yang merangsang harus segera dihilangkan. Lesi
kornea sekecil apapun harus diperhatikan dan diobati sebaik-baiknya.
Konjungtuvitis, dakriosistitis harus diobati dengan baik. Infeksi lokal pada
hidung, telinga, tenggorok, gigi atau tempat lain harus segera dihilangkan.
Infeksi pada mata harus diberikan :
Analgetik.
Untuk menghilangkan rasa sakit, dapat diberikan tetes pantokain, atau
tetrakain tetapi jangan sering-sering.
Antibiotik
Anti biotik yang sesuai dengan kuman penyebabnya atau yang
berspektrum
luas
diberikan
sebagai
salap,
tetes
atau
injeksi
Anti jamur
Terapi medika mentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya
preparat komersial yang tersedia berdasarkan jenis keratomitosis yang
dihadapi bisa dibagi :
1.
2.
Jamur
berfilamen
topikal
amphotericin
B,
4.
Anti Viral
Untuk herpes zoster pengobatan bersifat simtomatik diberikan streroid
lokal untuk mengurangi gejala, sikloplegik, anti biotik spektrum luas untuk
infeksi sekunder analgetik bila terdapat indikasi.
Untuk herpes simplex diberikan pengobatan IDU, ARA-A, PAA,
interferon inducer.
Perban tidak seharusnya dilakukan pada lesi infeksi supuratif karena dapat
menghalangi pengaliran sekret infeksi tersebut dan memberikan media yang baik
terhadap perkembangbiakan kuman penyebabnya. Perban memang diperlukan pada
ulkus yang bersih tanpa sekret guna mengurangi rangsangan.
Untuk menghindari penjalaran ulkus dapat dilakukan :
1. Kauterisasi
a)
Dengan zat kimia : Iodine, larutan murni asam karbolik, larutan murni
trikloralasetat
b)
dengan flap konjungtiva, dengan melepaskan konjungtiva dari sekitar limbus yang
kemudian ditarik menutupi ulkus dengan tujuan memberi perlindungan dan nutrisi
pada ulkus untuk mempercepat penyembuhan. Kalau sudah sembuh flap konjungtiva
ini dapat dilepaskan kembali.
Bila seseorang dengan ulkus kornea mengalami perforasi spontan berikan
sulfas atropine, antibiotik dan balut yang kuat. Segera berbaring dan jangan
melakukan gerakan-gerakan. Bila perforasinya disertai prolaps iris dan terjadinya baru
saja, maka dapat dilakukan :
Iris reposisi
obati seperti ulkus biasa tetapi prolas irisnya dibiarkan saja, sampai akhirnya sembuh
menjadi leukoma adherens. Antibiotik diberikan juga secara sistemik.
Gambar 7.Ulkus kornea perforasi, jaringan iris keluar dan menonjol, infiltrat pada kornea ditepi perforasi.
3. Keratoplasti
Keratoplasti adalah jalan terakhir jika urutan penatalaksanaan diatas tidak
berhasil. Indikasi keratoplasti terjadi jaringan parut yang mengganggu penglihatan,
kekeruhan kornea yang menyebabkan kemunduran tajam penglihatan, serta memenuhi
beberapa kriteria yaitu :
1. Kemunduran visus yang cukup menggangu aktivitas penderita
2. Kelainan kornea yang mengganggu mental penderita.
3. Kelainan kornea yang tidak disertai ambliopia.
Lindungi mata dari segala benda yang mungkin bisa masuk kedalam mata
Jika mata sering kering, atau pada keadaan kelopak mata tidak bisa menutup
sempurna, gunakan tetes mata agar mata selalu dalam keadaan basah
Jika memakai lensa kontak harus sangat diperhatikan cara memakai dan
merawat lensa tersebut.
G. Keratitis
Radang kornea biasanya diklasifikasi dalam lapis kornea yang terkena, seperti
keratitis suprtficial dan interstitial atau profunda. Keratitis dapat disebabkan oleh
berbagai hal seperti kuarngnya air mta, keracunan obat, reaksi alergi terhadap yang
diberi topical, dan reaksi terhadap konjungtivitis menhaun. Keratitis akan memberikan
gejala mata merah, rasa silau, dan merasa kelilipan. Pengobatannya dapat diberikan
dengan atibiotika, air mata buatan, dan sikloplegik.
Keratitis Pungtata
Keratitis yang terkumpul di atas membrane Bowman, dengan infiltrate berbentuk
bercak-bercak halus. Keratistis ini disebabkan oleh hal yang tidak spesifik dan dapat
terjad pada moluskum kontagiosum, akne rosasea, herpes simpleks, herpes zoster,
blefaritis neuroparalitik, infeksi vurus, vaksinia, trakoma dan trauma radiasi, dry eyes,
trauma, lagoftalmus, keracunan obat seperti neomisin, tobramosin, dan bahan
pengawet lainnya. Kelainan dapat berupa:
a)
b)
c)
d)
Keratitis pungtata biasanya terdapat bilateral dan perjalanan kronis tanpa gejala
terlihatnya kelainan konjungtiva, ataupun tanda akut, yang biasanya terjadi pada
dewasa muda.
Keratitis Pungtata Superficial
Keratitis pungtata superficial memberikan gambaran seperti infiltrate halus bertitiktitik pada permukaan kornea. Merupakan cacat halus kornea superficial dan hijau bila
diwarnai flouroresein. Keratitis pungtata superficial dapat disebabkan oleh sindrom
dry eye, blefaritis, keratopati logaftalmus, keracunan obat topical (neomisin,
obramisin, atau obat lainnya), sinar UV, trauma kimia ringan, an pemakain lensa
kontak. Pasien akan mengeluah sakit, silau, mata merah, dan rasa kelilipan. Pasien
diberi air mata buatan, tobramisin tetes mata, dan sikloplegik.
Keratitis Pungtata Subepitel
Keratitis yang terkumpul di dareah membrane Bowman. Pada keratitis ini hanya
terdapat bilateral dan berjalan kronis tanpa terlihatnya gejala kelianan konjungtiva,
ataupun tanda akut, yang biasanya terjadi pada dewasa muda.
Keratitis Marginal
Keratiitis marginal merupakan infiltrate yang tertimbun pada tepi kornea sejajar
dengan limbus. Penyakit infeksi local konjungtiva dapat mengakibatkan keratitis
kataral atau keratitis marginal ini. Keratitis marginal kataral biasanya terdapat pada
pasien setengah umur dengan adanya blearokongjungtivitis. Bila tidak diobati dengan
bai maka akan menyebabkan tukak kornea. Biasanya bersfat rekuren, dengan
kemungkinan terdapatnya Streptococcus pneumonia, Hemophyllis aegepty, Moraxella
lacunata, dan Esrichia. Infiltrate dan tukak yang terlihat diduga merupakan timbunan
kom[leks anyigen-antibodi. Penderita aka mengeluh sakit seperti kelilipan, lakrimasi,
dsertai fptofobia berat. Pada mata akan terihat blefarospasme pada satu mata, injeksi
konjungtiva, infiltrate atau ulkus yang memanjang, dangkal unilateral dapat tunggal
atau multiple, sering disertai neovaskularisai dari arah limbus. Bila tidak diobati
dengan baik kan mengakibatkan tkak kornea. Pengobatan yang diberikan adala
antibotika yang sesuai dengan penyebab infeksi lokalnya dan steroid dosis ringan.
Pada pasien dapat diberikan vitamin B dan C dosis tinggi. Pada kelainan yang indolen
dilakukan kauterisasi dengan listrik atau AgNO3 di pembuluh darahnya atau
dilakukan flep konjungtiva yang kecil. Penyulit yang terjadi berupa jaringan parut
pada kornea yang akan menggaggu penglhatan atau ulkus meluas dan menjadi lebih
dalam. Keratitis marginalis trakomatosa merupakan keratitis dengan pembentukan
membrane pada kornea atas. Keadaan ini akan membentuk pannus, berupa keratitis
dengan neovaskularisasi.
Keratitis Interstitial
Keratitis interstitial(KI) adalah kondisi serius dimana masuknya pembuluh darah ke
dalam kornea dan dapat menyebabkan hilangnya transparansi kornea. KI dapat berlanjut menjadi
kebutaan. Sifilis adalah penyebab paling sering dari KI.
Keratitis Bakteri
Keratitis bakteri adalah proses yang mengancam penglihatan. Sebuah cirri-ciri khusus
dari keratitis bakteri adalah perkembangan yang cepat, kerusakan kornea dapat
terjadidalam 24-48 jam dengan beberapa bakteri yang lebih ganas. Ulserasi kornea,
pembentukan abses stroma, edema kornea sekitarnya, dan peradangan segmen
anterior adalah karakteristik dari penyakit ini.
Keratitis bakteri tetap menjadi salah satu potensi komplikasi yang paling penting dari
pemakain lensa kontak dan bedah kornea refraktif. Untuk menjaganya, diagnosis dini
dan pengobatan adalah kunci untuk meminimalisasi gejala sisa visual yang
mengancam. Selain itu,
laboratorium, dan mengubah antimikroba jika tidak ada perbaikan klinis terbukti
merupakan elemen yang penting bagi hasil yang sukses.
Patofisiologi
Gangguan dari epitel kornea utuh dan / atau lapisan air mata yang abnormal
memungkinkan masuknya mikroorganisme ke dalam stroma kornea, di mana mereka
dapat berkembang biak dan menyebabkan ulserasi. Faktor virulensi dapat memulai
invasi mikroba, atau molekul efektor sekunder yang dapat membantu proses infektif.
Banyak bakteri menampilkan beberapa adhesins pada struktur fimbria dan nonfimbria
yang dapat membantu dalam kepatuhan mereka untuk menjadi penghuni sel kornea.
Selama tahap awal, epitel dan stroma di daerah cedera dan infeksi membengkak dan
mengalami nekrosis. Sel inflamasi akut (terutama neutrofil) mengelilingi ulkus awal
dan nekrosis penyebab lamellae stroma. Difusi produk inflamasi (termasuk sitokin)
posterior memunculkan pencurahan sel inflamasi ke ruang anterior dan dapat
menciptakan suatu hypopyon. Racun bakteri yang berbeda dan enzim (termasuk
elastase dan protease alkalin) dapat diproduksi selama infeksi kornea, berkontribusi
terhadap perusakan substansi kornea. Kelompok bakteri yang paling umum
bertanggung jawab atas keratitis bakteri adalah sebagai berikut: Streptococcus,
Pseudomonas, Enterobacteriaceae (termasuk Klebsiella, Enterobacter, Serratia, dan
Proteus), dan spesies Staphylococcus. Hingga 20% dari kasus keratitis jamur
(candidiasis khususnya) yang rumit oleh koinfeksi bakteri.
Penyebab
Setiap faktor atau agen yang menciptakan kerusakan pada epitel kornea adalah
penyebab potensial atau faktor risiko untuk keratitis bakteri. Selanjutnya, paparan
beberapa bakteri mematikan yang dapat menembus epitel utuh (misalnya, Neisseria
gonorrhoeae) juga dapat menyebabkan keratitis bakteri. Sejauh ini penyebab paling
umum dari trauma pada epitel kornea dan faktor risiko utama untuk keratitis bakteri
adalah penggunaan lensa kontak, terutama pemakaian lensa kontak yang lama. Pasien
dengan keratitis bakteri, 19-42% adalah pemakai lensa kontak. Insiden keratitis
bakteri sekunder untuk pemakai lensa kontak yang lama adalah sekitar 8.000 kasus
per tahun. Kejadian tahunan keratitis bakteri dengan sehari-memakai lensa adalah 3
kasus per 10.000.
Perawatan Medis
Jika tidak ada organisme diidentifikasi pada Pap slide, pengobatan dapat dimulai
dengan antibiotik spektrum luas dengan berikut: tobramycin (14 mg / mL) 1
menjatuhkan setiap jam bergantian dengan cefazolin dibentengi (50 mg / mL) 1
menjatuhkan setiap jam. Jika ulkus kornea kecil, perifer dan tidak ada perforasi ,
monoterapi intensif dengan fluoroquinolones merupakan pengobatan alternatif.
Antimikroba lain dapat digunakan, tergantung pada kemajuan klinis dan temuan
laboratorium. Generasi keempat fluoroquinolones oftalmik termasuk moksifloksasin
(VIGAMOX, Alcon Laboratories, Inc, Fort Worth, TX) dan gatifloksasin (Zymar,
Allergan, Irvine, CA), dan itu semua sekarang sedang digunakan untuk pengobatan
konjungtivitis bakteri. Kedua antibiotik tersebut memiliki aktivitas baik secara in
vitro terhadap bakteri gram positif daripada ciprofloxacin atau ofloxacin.
Moksifloksasin menembus baik ke dalam jaringan okular dibandingkan gatifloksasin
dan fluoroquinolones yang lebih tuatua, aktivitas in vitro dari moksifloksasin dan
gatifloksasin terhadap bakteri gram negatif adalah mirip dengan fluoroquinolones tua.
Moksifloksasin juga memiliki karakteristik pencegahan lebih baik daripada mutan
fluoroquinolones lainnya. Temuan ini mendukung penggunaan fluoroquinolones baru
untuk pencegahan dan pengobatan infeksi mata yang serius (misalnya,
keratitis,
endophthalmitis) yang disebabkan oleh bakteri yang rentan. Dalam pandangan dari
temuan ini, moksifloksasin atau gatifloksasin mungkin menjadi alternatif pilihan
untuk ciprofloxacin sebagai monoterapi lini pertama pada keratitis bakteri. Selain itu,
0,5% dan moksifloksasin, pada tingkat lebih rendah, levofloxacin dan ciprofloxacin
telah
menunjukkan
efektivitas
yang
signifikan
untuk
mengurangi
jumlah
menggunakan beberapa
Keratitis Jamur
Keratitis jamur pertama kali dijelaskan oleh Leber pada tahun 1879. Ini bukan
penyebab umum dari infeksi kornea, tetapi merupakan salah satu penyebab utama
keratitis menular di daerah tropis di dunia. Mengingat jamur sebagai kemungkinan
penyebab keratitis menular adalah penting karena dapat merusak mata jika tidak
didiagnosis dan diobati dengan cepat dan efektif. Lihat gambar di bawah.
Jamur keratitis.
Infeksi jamur.
Jamur ulkus
Infeksi jamur.
Klasifikasi
Dari 70 jamur yang berbeda yang telah terlibat sebagai penyebab keratitis jamur, 2
kelompok medis penting yang bertanggung jawab untuk infeksi kornea adalah ragi
dan jamur berfilamen (septate dan nonseptate).
Ragi menghasilkan karakteristik krem, buram, koloni pucat pada permukaan media
kultur. Candida adalah patogen yang paling representatif dalam kelompok ini,
terutama mempengaruhi orang-orang yang korneanya sudah dikompromi oleh steroid
topikal, permukaan patologi, atau keduanya. Suatu pertumbuhan tepung pada
permukaan media kultur yang dihasilkan oleh jamur septate filamen, yang merupakan
penyebab paling umum dari keratitis jamur.
Patofisiologi
Organisme jamur yang terkait dengan infeksi okular di mana-mana, organisme
saprophytic dan telah dilaporkan sebagai penyebab infeksi hanya dalam literatur mata.
Isolat jamur telah diklasifikasikan ke dalam kelompok berikut: Moniliaceae (jamur
filamen nonpigmented, termasuk Fusarium dan spesies Aspergillus), Dematiaceae
(jamur filamen berpigmen, termasuk Curvularia dan spesies Lasiodiplodia), dan ragi
(termasuk spesies Candida).
Jamur dapat masuk ke dalam stroma kornea melalui luka dalam epitel, kemudian
berkembang biak dan menyebabkan nekrosis jaringan dan reaksi inflamasi. Luka
epitel biasanya hasil dari trauma (misalnya, memakai lensa kontak, benda asing,
operasi kornea sebelumnya). Organisme dapat menembus membran descemet utuh
dan mendapatkan akses ke ruang anterior atau segmen posterior. Mikotoksin dan
enzim proteolitik yang dapat menambah kerusakan jaringan.
Keratitis jamur juga telah dijelaskan terjadi sekunder pada endophthalmitis jamur.
Dalam kasus ini, organisme jamur membentang dari segmen posterior melalui
membran descemet dan ke stroma kornea.
Jamur bukan merupakan penyebab umum dari keratitis mikroba. Jamur tidak bisa
menembus epitel kornea utuh dan tidak masuk kornea dari pembuluh darah limbus
episcleral. Mereka membutuhkan cedera penetrasi atau cacat epitel sebelumnya agar
dapat masuk ke kornea. Sekali dalam kornea, namun, mampu berkembang biak.
Organisme yang menginfeksi sudah ada cacat epitel dari mikroflora normal
konjungtiva dan adneksa. Patogen yang paling umum yang menyerang cacat epitel
yang sudah ada sebelumnya adalah Candida. Jamur berfilamen adalah penyebab
utama infeksi pasca trauma. Virulensi intrinsik jamur tergantung pada zat jamur
diproduksi dan respon host yang dihasilkan.
Jamur berfilamen berkembang biak dalam stroma kornea tanpa pelepasan substansi
kimiawi, sehingga menunda kekebalan tubuh inang / respon inflamasi. Sebaliknya,
Candida albicans menghasilkan fosfolipase A dan lysophospholipase pada permukaan
blastospores, memfasilitasi pintu masuk ke jaringan. Fusarium solani, yang
merupakan jamur mematikan, mampu (seperti jamur berfilamen lainnya), untuk
menyebarkan dalam stroma kornea dan menembus membran descemet.
Trauma kornea adalah faktor risiko yang paling sering dan utama untuk keratitis
jamur. Bahkan, dokter harus memiliki tingkat kecurigaan yang tinggi pada pasien
dengan riwayat trauma kornea, terutama dengan materi tanaman atau tanah.
Trauma yang menyertai memakai lensa kontak miniscule, lensa kontak yang bukan
merupakan faktor risiko umum dari keratitis jamur. Candida adalah penyebab utama
keratitis terkait dengan lensa kontak terapi dan jamur berfilamen yang terkait dengan
memakai lensa kontak bias.
Penggunaan steroid topikal secara definitif telah terlibat sebagai penyebab insiden
meningkat, pengembangan, dan memburuknya keratitis jamur. Faktor risiko lain yang
perlu dipertimbangkan adalah benda asing, operasi kornea, keratitis kronis, dan
penyakit imunosupresif.
Penyebab
Aspergillus adalah penyebab paling umum dari seluruh dunia keratitis jamur. Namun,
epidemiologi keratitis jamur bersifat spesifik iklim. Di Amerika Serikat bagian
selatan, spesies Fusarium adalah penyebab paling umum dari keratitis jamur, dengan
kejadian sangat tinggi di Florida. Sebaliknya, Candida dan Aspergillus spesies adalah
patogen yang paling umum di Amerika Serikat bagian utara. Faktor risiko umum
untuk pengembangan keratitis jamur meliputi:
Trauma (misalnya, lensa kontak, benda asing), dalam sebuah studi dari keratitis jamur
dari selatan Florida, trauma dengan materi sayuran adalah faktor risiko utama pada
44% pasien; Penggunaan Kortikosteroid topikal; operasi kornea seperti keratoplasty;
operasi katarak, atau LASIK; Karena herpes simplex, herpes zoster, atau
keratoconjunctivitis vernal keratitis kronis
Faktor risiko keratitis Candida adalah sebagai berikut: lama pasien; sudah ada
penyakit okular; paparan keratopati; kronis keratitis; penggunaan steroid jangka
panjang ; penyakit imunosupresif.
Perawatan Medis
Agen antijamur diklasifikasikan ke dalam kelompok berikut:Poliena termasuk
Natamycin, nistatin, dan amfoterisin B. poliena mengganggu sel dengan cara
mengikat sel jamur dinding ergosterol dan efektif terhadap bentuk filamen dan ragi.
Amfoterisin B adalah obat pilihan untuk mengobati pasien dengan keratitis jamur
yang disebabkan oleh ragi.
Meskipun poliena menembus jaringan mata buruk, amfoterisin B adalah obat pilihan
untuk pengobatan keratitis jamur yang disebabkan oleh Candida. Selain itu, ia
memiliki khasiat terhadap jamur berfilamen banyak. Administrasi adalah setiap 30
menit selama 24 jam pertama, setiap jam selama 24 jam kedua, dan kemudian secara
perlahan meruncing sesuai dengan respon klinis.
Natamycin memiliki aktivitas spektrum yang luas terhadap organisme filamen.
Penetrasi B amfoterisin yang dioleskan ditemukan untuk menjadi lebih rendah dari
Natamycin yang dioleskan melalui epitel kornea utuh.
Natamycin adalah obat antijamur topical yang tersedia secara umum. Hal ini efektif
terhadap jamur berfilamen, terutama untuk infeksi yang disebabkan oleh Fusarium.
Namun, karena penetrasi okular miskin, itu terutama sangat berguna dalam kasuskasus dengan infeksi kornea superfisial.
Azoles (imidazoles dan triazoles) termasuk ketoconazole, miconazole, fluconazole,
itraconazole, ekonazol, dan clotrimazole. Azoles menghambat sintesis ergosterol pada
konsentrasi rendah, dan, pada konsentrasi yang lebih tinggi untuk menyebabkan
kerusakan langsung ke dinding sel.
Oral flukonazol dan ketokonazol sistemik diserap dengan baik di ruang anterior dan
kornea, karena itu, obat tersebut harus dipertimbangkan dalam pengelolaan keratitis
jamur yang mendalam.
Imidazole dan triazoles adalah agen antijamur kimia yang sintetis. Ketokonazol dan
flukonazol dosis tinggi telah ditunjukkan dalam studi hewan. Karena penetrasi yang
sangat baik dalam jaringan okular, obat-obat ini, diberikan secara sistemik yang
merupakan pengobatan pilihan dari keratitis yang disebabkan oleh jamur berfilamen
dan ragi.
Dosis dewasa adalah 200-400 mg ketokonazol / hari, yang dapat ditingkatkan sampai
800 mg / hari. Namun, karena efek sekunder, meningkatkan dosis harus dilakukan
dengan hati-hati. Ginekomastia, oligospermia, dan penurunan libido telah dilaporkan
pada 5-15% dari pasien yang telah mencoba 400 mg / hari untuk jangka waktu yang
lama.
Peran potensial dari itrakonazol dalam pengobatan keratitis jamur masih belum jelas.
Namun, mungkin menjadi agen adjunctive membantu dalam keratitis jamur.
Pirimidin terfluorinasi, seperti flusitosin, adalah agen antijamur lainnya. Flusitosin
diubah menjadi analog timidin yang menghalangi sintesis timidin jamur. Ini biasanya
diberikan dalam kombinasi dengan azole atau amfoterisin B. Jika tidak, jika flusitosin
hanya digunakan dalam terapi untuk infeksi kandida, munculnya resistensi cepat
berkembang. Oleh karena itu, flusitosin tidak boleh digunakan sendiri.
Suntikan subconjunctival dapat digunakan pada pasien dengan keratitis berat atau
keratoscleritis. Obat tersebut juga dapat digunakan ketika kepatuhan pasien miskin
ada.
Sebuah antijamur oral (misalnya, ketoconazole, fluconazole) harus dipertimbangkan
untuk pasien dengan infeksi stroma yang mendalam. Terapi antijamur biasanya
dipertahankan selama 12 minggu, dan pasien dipantau secara ketat.
Flukonazol telah ditunjukkan untuk menembus lebih baik ke kornea setelah
pemberian sistemik dibandingkan dengan azoles lain dan mungkin berhubungan
dengan efek samping lebih sedikit.
Sebuah studi oleh Matsumoto et al telah menunjukkan bahwa topikal 0,1%
micafungin tetes mata dapat dibandingkan dengan flukonazol 0,2% dalam pengobatan
keratitis jamur tidak memmedulikan usia pasien, jenis kelamin, atau ukuran ulkus.
Sensitivitas antijamur in vitro sering dilakukan untuk menilai pola resistensi dari
jamur isolat. Namun, dalam pengujian in vitro kerentanan mungkin tidak sesuai
dengan respon klinis in vivo karena faktor host, penetrasi kornea dari antijamur, dan
kesulitan dalam standarisasi sensitivitas antijamur. Oleh karena itu, harus dilakukan
dengan metode standar di laboratorium rujukan.
Peningkatan pertumbuhan jamur dengan pengobatan kortikosteroid diketahui dengan
baik, sehingga tetes kortikosteroid tidak boleh digunakan dalam pengobatan keratitis
jamur sampai setelah 2 minggu pengobatan antijamur dan bukti klinis yang jelas dari
pengendalian infeksi. Steroid seharusnya hanya digunakan ketika peradangan aktif
yang diyakini menyebabkan kerusakan yang signifikan terhadap struktur dan kornea.
Steroid selalu digunakan dalam hubungannya dengan antijamur topikal.
Komplikasi
Keratitis jamur dapat menyebabkan infeksi mata yang parah melibatkan setiap
struktur intraokular dan dapat mengakibatkan kehilangan penglihatan yang parah atau
bahkan kehilangan mata.
Prognosa
Prognosis tergantung pada beberapa faktor, termasuk tingkat keterlibatan kornea pada
presentasi, status kesehatan pasien (misalnya, immunocompromised), dan waktu
menetapkan diagnosis klinis dikonfirmasi oleh budaya di laboratorium.
Pasien dengan infeksi ringan dan diagnosis mikrobiologis dini memiliki prognosis
yang baik, namun, mengendalikan atau memberantas infeksi yang menyebar ke sclera
atau struktur intraokular sangat sulit.
Sekitar sepertiga dari hasil infeksi jamur merupaka kegagalan pengobatan medis atau
perforasi kornea.
H. Gloukoma Akut
Glaukoma akut sudut tertutup adalah suatu kondisi di mana iris tersebut melekat ke
trabecula meshwork di sudut bilik mata depan mata. Ketika iris didorong atau ditarik
anterior untuk menghalangi trabecula meshwork , arus cairan yang keluar dari mata
diblokir, yang menyebabkan peningkatan tekanan intraokular (TIO). Jika penutupan
sudut terjadi tiba-tiba dapat terjadi
langsung sangat penting untuk mencegah kerusakan pada saraf optik dan kehilangan
penglihatan. Jika penutupan terjadi sebentar-sebentar atau secara bertahap, ACG
mungkin sulit dibedakan dengan kronis glaukoma sudut terbuka.
Patofisiologi
Penutupan sudut dapat terjadi melalui 2 mekanisme. Iris dapat didorong ke depan ke
dalam kontak dengan trabecular meshwork, seperti di blok pupil atau plateau iris, atau
mungkin ditarik anterior, seperti yang terjadi dengan kondisi inflamasi lainnya. Dalam
kedua kasus, posisi iris menyebabkan sudut ruang biasanya terbuka untuk menutup.
Aqueous humor yang seharusnya mengalir keluar dari bilik mata depan yang
terperangkap di dalam mata. Nyeri, penglihatan kabur, dan mual dapat terjadi jika
kenaikan tekanan berikutnya yang tiba-tiba. Kerusakan glaukoma pada saraf optik
juga dapat terjadi karena TIO meningkat, baik dalam serangan mendadak atau dalam
episode
intermiten
selama
jangka
waktu
yang
panjang.
Peningkatan ketebalan iris, yang diukur dengan segmen anterior tomografi koherensi
optik , merupakan faktor risiko untuk sudut tertutup glaukoma pada populasi Asia.
Glaukoma Akut
a. Etiologi
Dapat terjadi primer, yaitu timbul pada mata yang memiliki bakat bawaan berupa
sudut bilik mata depan yang sempit pada kedua mata, atau secara sekunder sebagai
akibat penyakit mata lain. yang paling banyak dijumpai adalah bentuk primer,
menyerang pasien usia 40 tahun atau lebih.
b. Faktor predisposisi
Pada bentuk primer, faktor predisposisinya berupa pemakaian obat-obatan
midriatik, berdiam lama di tempat yang gelap, dan gangguan emosional. Bentuk
sekunder sering disebabkan hifema, luksasi/subluksasi lensa, katarak intumesen
atau katarak hipermatur, uveitis dengan suklusio/oklusio pupil dan iris bombe, atau
pasca bedah intraokular.
c. Manifestasi Klinis
Rasa sakit hebat yang menjalar ke kepalaa disertai mual dan muntah, mata merah
dan bengkak, tajam penglihatan sangat menurun, dan melihat lingkaran-lingkaran
seperti pelangi.
Pada pemeriksaan dengan lampu senter terlihat injeksi konjungtiva, injeksi
siliar, kornea suram karena sembab, reaksi pupil hilang atau melambat, kadang
pupil midriasis, kedua bilik mata depan tampak dangkal pada bentuk primer,
sedangkan pada bentuk sekunder dijumpai penyakit penyebabnya.
Funduskopi sukar dilakukan karena terdapat kekeruhan media refraksi.
Pada perabaan, bola mata yang sakit teraba lebih keras dibanding sebelahnya.
d. Pemeriksaan Penunjang
Pengukuran dengan tonometri Schiotz menunjukkan peningkatan tekanan.
Perimetri, gonioskopi, dan tonografi dilakukan setelah edema kornea menghilang.
e. Komplikasi
Kebutaan
f. Penatalaksanaan
Tekanan
intraokular
harus
diturunkan
secepatnya
dengan
memberikan
BAB III
PEMBAHASAN
Pasien pada skenario yang dibahas adalah laki-laki usia 34 tahun dengan
keluhan mata kiri merah sejak satu hari yang lalu, dengan demikian pasien menderita
suatu penyakit mata akut dengan mata merah (mata meradang). Pasien juga
merasakan nyeri dan cekot-cekot. Rasa nyeri dan cekot-cekot dapat berasal dari
berbagai kondisi patologis pada mata. Penyakit pada kornea biasanya menimbulkan
rasa nyeri karena kornea memiliki banyak serat nyeri yang berasal dari cabang
pertama (ophtalmicus) nervus cranialis V (trigeminus). Rasa nyeri ini pun dapat
diperberat oleh gerakan palpebra saat berkedip.
Pasien juga mengeluhkan pandangan kabur dan silau. Pandangan kabur bisa
disebabkan oleh adanya kelainan refraksi, kelainan pada media refrakta, dan
gangguan pada jalur saraf penglihatan. Pandangan kabur adalah gejala yang selalu
muncul saat terdapat lesi pada kornea. Penyebabnya berdasar pada fungsi kornea yang
merupakan jalan masuknya cahaya dan media refrakta terkuat. Apabila kornea
mengalami gangguan, maka proses pembiasan dan pemfokusan cahaya menuju retina
pun terganggu, sehingga bayangan yang terbentuk di retina tidak akan fokus dan jelas.
Pada glaukoma akut, pandangan yang kabur disebabkan oleh adanya neuropati optik
dan disertai pengecilan lapang pandang. Silau, atau fotofobia pada penyakit kornea
dan uveitis disebabkan oleh kontraksi iris yang dalam kondisi meradang yang nyeri,
sedangkan pada glaukoma akut iris dilatasi sedang dan terfiksasi. Hal ini
mengakibatkan fungsi iris yang normal (mengatur diameter pupil, midriasis atau
miosis) tidak dapat berjalan dengan baik. Sehingga, pada kondisi cahaya yang banyak,
pupil tidak dapat miosis sehingga cahaya yang masuk terlalu banyak sehingga
menimbulkan fotofobia.
Pemeriksaan visus pada ocular sinistra didapatkan hasil 5/60 (visus menurun),
didapat dari pemeriksaan hitung jari, pasien dapat menyebutkan jumlah jari yang
benar hingga jarak 5 meter. Uji pinhole merupakan uji lubang kecil yang digunakan
untuk mengetahui apakah tajam penglihatan yang berkurang terjadi akibat kelainan
refraksi atau kelainan organik media penglihatan/media refrakta. Uji pinhole tidak
maju menunjukkan bahwa visus yang menurun bukan disebabkan oleh kelainan
refraksi.
Uji pinhole maju menandakan penurunan visus terjadi karena terdapat
kelainan refraksi. Tetapi pada uji pinhole tidak maju seperti pada skenario
menandakan bahwa penurunan visus terjadi karena adanya kelainan organik yang
mungkin saja dapat diakibatkan oleh kekeruhan kornea, katarak, kekeruhan badan
kaca, dan kelainan makula lutea.
Injeksi konjungtiva bulbi merupakan pelebaran pembuluh darah konjungtiva
posterior akibat pengaruh mekanis, alergi, ataupun infeksi pada jaringan konjungtiva.
Warna merah pada injeksi konjungtiva bulbi mengarah pada merah segar, yang perlu
dibedakan dari injeksi siliar/perikornea yang berwarna ungu dan injeksi episklera
yang berwarna merah gelap. Injeksi konjungtiva bulbi didapatkan pada beberapa
kelainan mata seperti konjungtivitis, keratitis dan glaukoma sudut tertutup. Tetapi
pada keratitis, injeksi konjungtiva timbul pada keratitis yang berat dan didahului oleh
adanya injeksi perikornea. Sedangkan pada glaukoma sudut tertutup, tidak hanya
terdapat injeksi konjungtiva tetapi juga terdapat injeksi siliar.
Permeabilitas kornea ditentukan oleh epitel dan endotel, yang merupakan
membrane yang permeable. Lapisan ini sangat penting untuk mempertahankan
kejernihan kornea. Apabila terdapat kerusakan epitel dan endotel, maka air dapat
masuk ke dalam jaringan kornea dan menyebabkan edema kornea dan kornea menjadi
keruh, sehingga pembentukan bayangan di retina terganggu , menyebabkan gangguan
ketajaman penglihatan dan menyebabkan pandangan menjadi kabur. hampir seluruh
peradangan di kornea disertai dengan edema kornea seperti pada keratitits. Edema
kornea terdapat juga pada glaukoma akut karena cairan terkumpul di bawah epitel.
Penyakit kornea dapat berasal dari 3 arah, yaitu eksogen, endogen dan
kelanjutan dari penyakit di jaringan mata yang lain. Penyakit kornea yang berasal dari
penyakit di jaringan mata yang lain disebabkan karena kornea berhubungan dengan
jaringan mata yang lain, yaitu stroma kornea kelanjutan dari stroma sklera, epitel
kornea kelanjutan dari epitel konjungtiva dan endotel kornea kelanjutan dari endotel
iris. Jadi saat terjadi kelainan di konjungtiva, skera dan iris dapat berlanjut pada
kornea, begitu juga sebaliknya. Pada jalur endogen, penyakit kornea terjadi karena
penyakit sistemik seperti sifilis dan TBC. Sedangkan pada jalur eksogen biasanya
dipicu oleh adanya trauma pada epitel. Dimana epitel kornea merupakan suatu pagar
pertahanan bagi kornea, sehingga saat terdapat mikroorganisme, serangan tersebut
tidak dapat langsung menginfeksi kornea, hal ini membutuhkan adanya trauma
terlebih dahulu sehingga mikroorganisme dapat melakukan invasi. Tetapi, keaadaan
ini tidak berpengaruh pada kuman difteri dan gonococcus karena kedua kuman ini
memiliki enzim proteolitik. Hal ini menjelaskan mengapa pada keratitis, biasanya
terjadi unilateral, berbeda dengan konjungtiva yang terjadi bilateral.
Kelopak mata bengkak dapat disebabkan oleh radang pada mata, glaukoma
akut dan non radang seperti gigitan serangga, alergi dan kelainan sistemik.
Kelopak mata spasme atau yang dikenal sebagai blefarospasme merupakan
spasme dari m. orbikularis okuli. Hal ini menyebabkan palpebra tertutup erat-erat.
Blefarospasme terdapat 2 macam yaitu blefarospasme tonis yaitu berupa mata tertutup
yang disebabkan karena peradangan mata, adanya korpus alienum di mata, glaukoma
akut dan histeria, sedangkan blefarospasme klonis terdapat kedipan fibriler, dimana
terjadi sebentar-sebentar terutama di palpebra inferior yang disebabkan karena
kelainan refraksi yang tidak dikoreksi, memakai kacamata yang salah, kecapaian,
senilitas. Hal ini perlu dibedakan dari blefaroptosis yaitu berupa penurunan palpebra
superior, akibat pertumbuhan yang tidak baik atau paralise dari M. levator palpebra.
Blefaroptosis bilateral disbabkan karena kongenital, yaitu terdapat gangguan
pembentukan M. levator palpebra. Sedangkan blefaroptosis unilateral diakibatkan
oleh paralise N. occulomotorius yang menginervasi M. levator palpebra dan sindroma
Horner, oleh karena paralise dari saraf simpatis yang mengurus M. Muller, ditemukan
pada Sifilis.
Setelah diperiksa, pasien tersebut diberikan terapi pendahuluan. Hal tersebut
dilakukan karena jika penyakit yang diderita adalah glaukoma, terapi ini betujuan
untuk mengurangi tekanan intra okuler dan rasa nyeri yang diderita pasien. Sedangkan
bila yang diderita pasien adalah uveitis, maka terapi pendahuluan bertujuan untuk
mencegah kebutaan. Terapi pendahuluan untuk glaukoma:
1. Topikal: Pilokarpin 2 %/menit selama 5 menit. Dilanjutkan pilokarpin
2%/jam selama 1 hari.
Pilokarpin merupakan
alkaloid
tumbuhan
parasimpatomimetik
yang
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
1. Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pada skenario, kami
menarik kesimpulan bahwa diagnosis banding untuk pasien adalah glaukoma
akut, uveitis anterior, dan keratitis. Namun keterangan pada skenario lebih
mengarah kepada glaukoma akut.
2. Terapi pendahuluan pada glaukoma
akut
adalah
dengan
pilokarpin,
DAFTARPUSTAKA
Dahl,
Andrew
A.,
MD,
FACS.
2012.Corneal
Ulcer.
Diakses
dari
http://www.emedicinehealth.com/corneal_ulcer/page11_em.htm#.
Ilyas, Sidharta. 2004. Ilmu Penyakit Mata. Balai Penerbit FKUI : Jakarta
Jeng BH, Gritz DC, Kumar AB, et al. 2010. Epidemiology of ulcerative keratitis in
Northern California. Arch Ophthalmol. Aug;128(8):1022-8. [Medline].
Mansjoer, Arif., Suprohaita, Wahyu Ika Wardhani, Wiwiek Setiowulan. 2005. Kapita
Selekta Kedokteran Edisi III Jilid I. Editor : Arif Mansjoer, dkk. Jakarta : Media
Aesculapius
Mills, Trevor John. 2011. Corneal Ulceration and Ulcerative Keratitis in Emergency
Medicine Follow-up. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/798100.
Perhimpunan Dokter Spesislis Mata Indonesia. 2002. Ulkus Kornea dalam : Ilmu
Penyakit Mata Untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran, edisi ke 2.
Jakarta : Penerbit Sagung Seto.
Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III. Jakarta : Gramedia
Vaughan, Daniel. 2000. Opthalmologi Umum Edisi 14. Jakarta : Widya Medika.
Wijaya. N. 1989. Kornea dalam Ilmu Penyakit Mata, cetakan ke-4.
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003041.htm
http://www.eyehealthweb.com/problems/photophobia.html
www.medisato.com/id/blefarospasme (diakses pada tanggal 14 Oktober 2012 Pukul
22.00)
http://emedicine.medscape.com/article/1194028-overview
http://emedicine.medscape.com/article/1206956-overview#showall