Anda di halaman 1dari 21

I.

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura
yang penting bagi masyarakat baik secara ekonomis maupun kandungan gizinya. Tanaman ini
berasal dari Asia Selatan, yaitu daerah sekitar India, Pakistan, sampai Palestina (Rahayu,
Berlin dan Sundaya.2005). Bawang merah mempunyai fungsi dan manfaat yang luas bagi
kehidupan masyarakat di Indonesia seperti untuk sayuran, bumbu, juga dimanfaatkan sebagai
obat tradisional karena mengandung asam amino Alliin yang berfungsi sebagai antibiotik
(Kuettner,2002). Selanjutnya Rukmana (2001) menambahkan bahwa hingga sekarang
bawang merah digunakan untuk pengobatan sakit panas, masuk angin, dan gigitan serangga
serta juga sebagai bumbu penyedap masakan. Hal ini disebabkan karena bawang merah
mempunyai efek antiseptik dari senyawa Alliin dan Allisin. Senyawa Alliin maupun Alisin
oleh enzim Allisiin liase diubah menjadi asam piruvat ammonia dan Allisin antimikroba yang
bersifat bakterisida.
Prospek pengembangan bawang merah sangat baik jika ditinjau dari segi permintaan
yang terus meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk (Abdi Tani,1999). Dari
tahun 2012 sampai tahun 2013, data yang diperoleh dari BPS menunjukkan pada tahun 2012
produksi bawang merah 964.221 ton. Pada tahun selanjutnya produktivitas bawang merah
mulai naik menjadi 1.010.773 ton atau setara 10,22 ton/ha (BPS,2014). Peningkatan produksi
dapat dilakukan antara lain dengan perluasan areal penanaman pada lahan-lahan marginal
seperti pada laha daerah pasir pantai. Peningkatan produksi bawang merah diarahkan untuk
memenuhi kebutuhan domestik dan meningkatkan daya saing dengan produk impor.
Lahan marjinal merupakan lahan yang bermasalah dan memepunyai faktor pembatas
tinggi untuk tanaman. Salah satu lahan marjinal yang memiliki potensi tinggi untuk
dimanfaatkan di Indonesia adalah lahan pantai, karena Indonesia merupakan negara

kepulauan yang memiliki beribu-ribu pulau sehingga memiliki pantai yang sangat luas.
Indonesia memiliki panjang garis pantai mencapai 106.000 km dengan potensi luas lahan
1.060.000 ha. Secara umum termasuk lahan marjinal dan tersebar di beberapa pulau, prospek
baik untuk pengembangan pertanian namun belum dikelola dengan baik. Lahan-lahan
tersebut kondisi kesuburannya rendah, sehingga diperlukan teknologi untuk memperbaiki
produktivitasnya (.2012).
Lahan pasir merupakan lahan marjinal yang memiliki produktivitas tanah rendah.
Produktivitas tanah pasir yang rendah disebabkan oleh faktor pembatas yang berupa
kemampuan memegang dan menyimpan air rendah, infiltrasi dan evaporasi tinggi, kesuburan
dan bahan organik sangat rendah dan efisiensi penggunaan air rendah (Al-Omran,et al.,
2004). Lahan pasir pantai merupakan tanah yang mengandung lempung, debu, dan zat hara
yang sangat minim, akibatnya tanah pasir mudah mengalirkan air, sekitar 150 cm/jam
sebaliknya kemampuan tanah pasir menyimpan air sangat rendah 1,6 - 3% dari total air yang
tersedia. Angin di kawasan pantai sangat tinggi, sekitar 50 km/jam. Angin dengan kecepatan
ini mudah mencabut akar dan merobohkan tanaman. Angin yang kencang mampu membawa
partikel-partikel garam yang dapat mengenggu pertumbuhan tanaman. Suhu di kawasan
panatai pada siang hari sangat panas, ini menyebabkan proses kehilangan air tanah akibat
proses penguapan sangat tinggi (Prapto dkk.,2000). Menurut Syukur (2005) lahan pasir pantai
memiliki kemampuan menyediakan udara yang berlebihan, sehingga akan mempercepat
pengeringan tanah dan oksidasi bahan organik. Namun lahan pasir pantai memiliki beberapa
kelebihan untuk lahan pertanian yaitu luas, datar, dekat dengan ekowisata, jarang banjir, sinar
matahari melimpah, dan permukaan airnya dangkal. Persiapan lahan pasir pantai cukup
sederhana hanya dengan membuat bedengan tidak dibuat parit-parit yang dalam, sehingga
akan terjadi efisiensi biaya dari pengolahan tanah.

Berkaitan dengan permasalahan tersebut dapat dilakukan dengan cara memanipulasi


lahan pasir pantai. Cara memanipulasi yang dapat dilakukan dengan pengairan yang cukup
dan pemberian penutup tanah (mulsa) sehingga dapat mengantisipasi kelemahan-kelemahan
lahan pasir pantai. Ketersediaan air irigasi di lahan pantai yang terbatas mengakibatkan
perlunya upaya untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan air irigasi sehingga dapat
mengurangi pemborosan dalam penggunaan air irigasi. Irigasi dilahan pantai selama ini
dilakukan dengan cara penyiraman manual dan penggunaan sumur renteng. Teknologi irigasi
yang dibutuhkan untuk meningkatkan produksi bawang merah dilahan pasir pantai adalah
teknik irigasi yang efisien dalam penggunaan air dan teknologi pengelolaan hara untuk
meningkatkan daya dukung tanah dalam menghasilkan komoditas bawang merah. Oleh
karena itu, diperlukan suatu teknologi pemberian air secara otomatis dengan menerapkan
metode sensor variable kapasitansi menggunakan perangkat (software) yang kompatibel
sehingga dapat diatur kalibrasi pemberian air yang efisien pada lahan pasir pantai agar tetap
tersedia oleh tanaman guna melangsungkan proses pertumbuhan dari tanaman tersebut.
Penambahan mulsa bermanfaat untuk melindungi permukaan tanah dari terpaan hujan,
mencegah erosi, menjaga kelembaban, mempertahankan struktur tanah, menurunkan suhu
media tanam, meningkatkan ketersediaan air dalam tanah dan menghalangi pertumbuhan
gulma. Selain itu, mulsa juga berfungsi memperbaiki sifat kimia tanah, misalnya mengurangi
kehilangan bahan organik akibat erosi. Dapat diperoleh dari hasil pelapukan mulsa organik
misalnya jerami padi , alang-alang dan sisa tanaman-tanaman lain yang dapat menambah
kadar bahan organik dalam tanah. Penggunaan mulsa dan penambahan bahan organik
menjadi alternatif untuk memperbaiki sifat lahan pasir. Menurut Zulkarnain (2000), aplikasi
penggunaan mulsa banyak digunakan karena memilki beberapa keuntungan, diantaranya
yaitu mempertahankan kelembaban tanah karena dengan adanya mulsa laju evaporasi dapat
ditekan, suhu tanah dapat diturunkan dan kemampuan penyerapan air dan hara mineral dapat

ditingkatkan. Berdasarkan hasil penelitian Susanti (2003), pemberian mulsa jerami padi
sebanyak 15 ton/ha dapat meningkatkan hasil biji kering oven kacang tanah sebesar 3,09
ton/ha dibandingkan tanpa diberi mulsa yaitu sebesar 2,12 ton/ha atau meningkat sebesar
45,75%.

B. Tujuan
Tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah:
1. Mendapatkan teknik irigasi yang tepat bagi pertumbuhan dan hasil tanaman bawang
merah di lahan pasir pantai
2. Mendapatkan jenis mulsa terbaik bagi pertumbuhan dan hasil tanaman bawang merah di
lahan pasir pantai
3. Mendapatkan kombinasi teknik irigasi dan jenis mulsa terbaik bagi pertumbuhan bawang
merah di lahan pasir pantai.

C. Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari pelaksanaan penelitian ini adalah:
1. Melengkapi teknologi spesifik lokasi untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan
sumberdaya lahan, penurunan biaya pengairan di lahan pasir pantai.
2. Menghasilkan teknologi tepat guna dalam pemanfaatan air secara efisien melalui
teknologi irigasi otomatis.
3. Diperoleh informasi tentang kombinasi teknik irigasi, dan jenis mulsa terbaik bagi
pertumbuhan.

II.

TINJAUAN PUSTAKA
A. Bawang Merah

Tanaman bawang merah (Allium ascalonicum L.) diduga berasal dari Asia Tengah dan
mempunyai banyak kegunaan diantaranya sebagai penyedap masakan dan pengobatan. Hal
tersebut dikarenakan setiap 100 g umbi bawang merah mengandung 88 g air; 1,5 g protein;
0,3 g lemak; 9 g karbohidrat; 0,7 g serat; 36 mg Ca; 40 mg P; 0,8 mg Fe; 5 IU vitamin A;
0,03 mg vitamin B1; dan 2 mg vitamin C. Senyawa allicin yang dikandung bawang merah
dapat membentuk ikatan kimia dengan thiamine (Vitamin B1) yang disebut allithiamin, dan
dalam bentuk ikatan tersebut menyebabkan vitamin B1 menjadi efektif (Didiet, 2006).
Klasifikasi bawang merah menurut Wibowo (2009), yaitu sebagai berikut :
Divisi

: Spermatophyta

Sub divisi

: Angiospermae

Kelas

: Monocotyledon

Ordo

: Lilialaes

Family

: Liliaceae

Genus

: Allium

Spesies

: Allium ascalonicum L.

Menurut Rukmana (1994), bahwa spesies bawang merah yang banyak ditanam di
Indonesia terdiri dari dua macam, yaitu bawang merah biasa atau shallot (A. ascalonicum),
dan bawang merah sebenarnya atau disebut bawang bombay. Bawang merah merupakan
nama dagang di Indonesia dan memilki banyak sebutan pada tiap-tiap daerah, diantaranya
Bawang Bereum (Sunda), Brambang (Jawa), Bharjang Merah (madura), Jasung Bang (Bali),
Kalpoemeh (Nusa Tenggara), dan Bawa (Maluku).
Bawang merah merupakan terna rendah yang tumbuh tegak dengan tinggi dapat
mencapai 15-50 cm, membentuk rumpun dan termasuk tanaman semusim. Perakarannya

berupa akar serabutyang tidak panjang dan tidak terlalu dalam tertanam dalam tanah.
Beberapa helai kelopak daun terluar (2-3 helai) tipis dan mengering tetapi cukup liat.
Kelopak yang menipis dan kering membungkus lapisan kelopak daun yang ada di dalamnya
(yang juga saling membungkus) yang membengkak. Pada pangkal umbi terdapat cakram
yang merupakan batang pokok yang tidak sempurna (rudimeter). Dari bawah cakram tumbuh
akar serabut yang tidak terlalu panjang, sedangkan di bagian atas cakram di antara lapisan
kelopak daun yang membengkak terdapat mata tunas yang dapat tumbuh menjadi tanaman
baru. Bagian tengah cakram terdapat mata tunas utama yang akan menghasilkan bunga,
disebut tunas apikal, tunas-tunas lain yang dapat tumbuh menjadi tanaman baru disebut tunas
lateral (Wibowo, singgih. 2009).
Bunga bawang merah merupakan bunga majemuk berbentuk tandan yang bertangkai
dengan 50-200 kuntum bunga. Pada ujung dan pangkal tangkai mengecil dan dan di bagian
tengah menggembung, bentuknya seperti pipa yang berlubang di dalamnya. Tangkai tandan
bunga ini sangat panjang, lebih tinggi dari daunnya sendiri dan mencapai 30-50 cm. Tiap
kuntum bunga terdiri atas 5-6 helai daun bunga yang berwarna putih, 6 benang sari berwarna
hijau atau bakal berbentuk hampir segitiga. Bunga bawang merah merupakan bunga
sempurna (Hermaphrodite) dan dapat menyerbuk sendiri atau silang (Sudirja,2001).

B. Ekologi Bawang Merah


Tanaman dapat tumbuh dengan baik dan memberikan hasil yang memuaskan
memerlukan penyesuaian dengan tempat dan keadaan lingkungannya. Faktor lingkungan
yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan hasil bawang merah adalah iklim, ketinggian
tempat, dan tanah. Bawang merah cocok ditanam pada daerah yang beriklim kering dengan
suhu yang agak panas dan cuaca cerah. Tempatnya yang terbuka, tidak berkabut, dan angin
yang sepoi-sepoi. Bawang merah jika ditanam di tempat terlindung akan menyebabkan

pembentukan umbi yang kurang baik dan berukuran kecil. Bawang merah baik ditanam di
daerah beriklim kering dengan suhu yang agak panas, yaitu sekitar 25-32 0 C. Bawang merah
dapat tumbuh baik pada ketinggian 10-250 m dpl, pada ketinggian 800-900 m dpl juga dapat
tumbuh namun pertumbuhannya terhambat dan umbinya kurang bagus. Bawang meraah
tumbuh dan berkembang dengan baik serta hasil produksi yang optimal menghendaki
kelembaban udara antara 80-90% (Sunarjono dan Soedomo, 2001).
Tanah yang gembur, subur, banyak mengandung bahan organik atau humus sangat baik
untuk bawang merah. Tanah yang gembur dan subur akan mendorong perkembangan umbi
sehingga hasilnya besar-besar. Jenis tanah yang paling baik adalah tanah lempung berpasir
atau lempung berdebu karena sifat tanah ini memiliki aerasi dan drainase yang baik. Nilai pH
yang paling baik untuk lahan bawang merah yaitu pH antara 5,6-6,5. Jika tanahnya terlalu
masam, tanaman akan menjadi kerdil dan jika tanah terlalu basa umbinya kecil dan hasilnya
rendah (Wibowo, 2009).
Bawang merah membutuhkan air untuk satu masa pertumbuhan berkisar 350 550 mm
dan menyerap air sebesar 25 % dari yang tersedia. Hal tersebut didukung dengan pernyataan
Sufyati (1999) yang berpendapat bahwa, indeks pengumbian (Varietas Thailand, Philipina,
dan Medan) dapat ditanam pada kadar air tanah kondisi 85% air tersedia, bahkan varietas
Thailand masih mampu membentuk umbi pada kadar air tanah kondisi 70 % air tersedia,
sementara varietas Brebes dapat membentuk umbi pada kadar air tanah kondisi 100% air
tersedia (kapasitas lapang). Realita tersebut memberikan gambaran bagaimana tanaman
bawang merah sangat membutuhkan air dalam pertumbuhannya dan diperlukan pegadaan
sistem irigasi yang tepat untuk menunjang efisiensi penggunaan air. Selain sisitem irigasi,
pengadaan mulsa juga perlu dilakukan agar ketersediaan air pada tanaman tetap terjaga dan
air yang tersedia tidak cepat berkondensasi kembali ke atmosfer.
C. Karakteristik Lahan Pasir Pantai

Lahan pesisir pantai selatan, daerah Cilacap Jawa Tengah berupa lahan berpasir yang
selama ini cenderung digunakan untuk daerah wisata, dan juga dapat dikembangkan untuk
daerah pertanian sayuran semusim. Hamparan lahan sekitar pesisir tergolong salah satu jenis
lahan marginal, sehingga perlu masukan-masukan berupa pemberian bahan organik yang
diharapkan dapat mengurangi keterbatasannya. Menurut Mayun (2007), lahan pesisir
merupakan potensi lahan yang cukup besar jika dapat dikembangkan secara maksimal tanpa
harus dibebani banyak oleh biaya-biaya lain dalarn pengelolaannya.
Lahan pesisir umumnya mempunyai sifat yang kurang baik bagi pertumbuhan tanaman,
dengan kadar hara dan bahan organik rendah, kapasitas menahan air rendah, kesuburan
tanahnya rendah, dan kandungan salinitasnya tinggi. Oleh karena itu, lahan semacam ini
mempunyai kemampuan rendah dalam menyimpan air. Hal ini disebabkan oleh ruang pori
makro yang dimiliki pada lahan pasir mendominasi volume tanahnya, sehingga lahan pasir
memilki ruang pori makro yang memberikan udara lebih banyak dan akan mempercepat
proses pengeringan. Karakteristik sifat lahan pasir pantai adalah porus yang menyebabkan air
terus meresap ke dalam tanah, dengan tekstu tanah pasir ( 90%), struktur tanah berbutir,
kegemburan lepas, kandungan hara rendah, kemampuan menyimpan hara rendah,
kemampuan mengikat air rendah, kemampuan tanah dalam menopang pertumbuhan tanaman
rendah (Sri Budhi S.dkk., 2004).
Pasir memiliki kandungan unsur makro meliputi nitrogen yang sangat rendah karena ion
NO3- mudah tercuci oleh air. Kemampuan leach dari unsur nitrogen di dalam tanah
menimbulkan masalah nutrisi yang besar. Akibatnya, peran nitrogen untuk sebagai
pembentuk protein dalam memperbaiki pertumbuhan vegetatif tanaman terhambat. Jumlah
fosfor sangat sedikit (5,1-20,5 ppm), bahan organik lain yang hanya 0,4-0,8%, natrium 0,050,08% (Balba,1973).

Selain permasalahan mengenai sifat-sifat tanah pasiran, faktor iklim di daerah pantai
juga berpengaruh besar terhadap keberhasilan pengelolaan tanaman. Keberhasilan produksi
tanaman mensyaratkan sumber daya iklim seperti penyinaran matahari, CO 2, dan air secara
efisien. Pentingnya pengelolaan air terhadap ketersediaan N dalam tanah, pada kondisi
kelebihan atau kekurangan air. Kelebihan air dapat membatasi hasil tanaman, demikian juga
responnya terhadap N akan terbatasi. Tingginya intensitas sinar matahari yang sampai ke
permukaan tanah menyebabkan tingginya suhu udara dan tanah, sehingga memacu laju
evapotranspirasi semakin besar. Adanya angin dengan kecepatan tinggi dan membawa kadar
garam tinggi secara terus menerus akan merusak maupun mematikan tanaman baik langsung
maupun tidak langsung
Tanah pasir pantai merupakan tanah muda (baru) yang dalam klasifikasi USDA
termasuk ordo Entisol pantai, tepatnya subordo Psamment dan grup Undipsamment (Soil
Survey, 1998). Undipsamment pada umumnya belum mengalami perkembangan horizon,
bertekstur kasar, struktur kersai atau berbutir tunggal, konsistensi lepas-lepas sampai gembur
dan kandungan bahan organik rendah (Darmawijaya, 2002). Struktur lepas pada tanah ini
menyebakan rentan terhadap erosi angin maupun air. Permukaan lahan pasir pantai sering
berubah mengikuti arah angin kencang (13-15 m/detik). Kondisi tersebut menunjukkan masih
banyaknya faktor pembatas pertumbuhan sehingga sangat kurang menguntungkan bagi
pertumbuhan tanaman, guna mengubah kondisi lahan mendekati optimal bagi pertumbuhan
tanaman, khususnya komoditas hortikultura (Mulyanto et al., 2001).
Faktor iklim di daerah pantai berpengaruh besar terhadap keberhasilan pengelolaan
tanaman. Keberhasilan produksi tanaman mensyaratkan sumber daya iklim seperti
penyinaran matahari, CO2, dan air secara efisien. Laju pertumbuhan tanaman ditentukan oleh
intensitas cahaya dan air pengatusan (Saparso, dkk., 2009). Tingginya intensitas sinar
matahari yang sampai ke permukaan tanah menyebabkan tingginya suhu udara dan tanah,

sehingga memacu laju evapotranspirasi semakin besar. Adanya angin dengan kecepatan
tinggi dan membawa kadar garam tinggi secara terus menerus akan merusak maupun
mematikan tanaman baik langsung maupun tidak langsung.
D. Teknik irigasi
Irigasi adalah usaha penyediaan, pengaturan dan pembuangan air irigasi untuk
menunjang pertanian (Pramana,S.2011). Menurut Harits (1997), bahwa irgasi adalah
penggunaan air pada tanah untuk keperluan penyediaan cairan yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan tanaman. Sosrodarsono dan Kensaku (1985) berpendapat bahwa irigasi adalah
menyalurkan air yang perlu untuk pertumbuhan tanaman ke tanah yang diolah dan
mendistribusikan secara sistematis. Kegunaan irigasi menurut Harits (1997), yaitu :
a. Menambah air kedalam tanah untuk menyediakan cairan yang diperlukan untuk
pertumbuhan tanaman.
b. Menyediakan jaminan panen pada saat musim kemarau yang pendek
c. Mendinginkan tanah dan atmosfir, sehingga menimbulkan lingkungan yang baik
d.
e.
f.
g.

untuk pertumbuhan tanaman


Mencuci dan mengurangi garam dalam tanah
Mengurangi bahaya erosi
Mengurangi bahaya pembekuan
Melunakkan saat dilakukan proses pembajakan tanah

Sistem irigasi yang dapat dilakukan pada lahan pasir antara lain :
a. Irigasi konvensional
Irigasi konvensional adalah irigasi yang menggunakan alat siram (gembor) untuk
pemberian air ke tanaman, jumlah air yang disiramkan dapat dihitung dari kapasitas gembor
yang digunakan. Untuk 1 petak lahan membutuhkan 2 gembor atau sekitar 18 liter.
b. Irigasi sprinkle non-otomatik
Pemberian air dengan cara sprikle non-otomatik, yaitu pemberian air melalui pipa di
mana pada tempat-tempat tertentu diberi perlengkapan untuk jalan keluarnya air, air keluar
secara sprikle sehingga penyebarannya merata keseluruh permukaan lahan. Pengoperasian
sprikle non-otomatik dilakukan secara manual, yaitu dibuka atau ditutup kran pengaturnya
sesuai dengan batas waktu yang telah dikalibrasi atau sekitar 12 menit waktu penyiraman.

c. Irigasi sprinkle otomatik


Irigasi sprinkle otomatik hampir sama dengan irigasi sprinkle non-otomatik dalam
sistem kerjanya, yang membedakannya adalah sistem pengoperasian sprinkle otomatik akan
beroperasi sendiri ketika lengas tanah turun dan mencapai batas terendah yang telah diatur
sebelumnya. Nilai-nilai lengas tanah tiap petak dapat diamati dari layar alat yang dipasang
secara paralel.
E. Jenis mulsa
Mulsa adalah bahan atau material yang digunakan untuk menutupi permukaan tanah
atau lahan pertanian dengan tujuan tertentu yang prinsipnya adalah untuk meningkatkan
produksi tanaman. Secara teknis, penggunaan mulsa dapat memberikan keuntungan antara
lain, menghemat penggunaan air dengan laju evaporasi dari permukaan tanah, memperkecil
fklutuasi suhu tanah sehingga menguntungkan pertumbuhan tanaman bawang merah dan
mikroorganisme tanah, memperkecil laju erosi tanah baik akibat tumbukan butir-butir hujan
dan menghambat laju permukaan gulma (Lakitan, 1995). Mulsa ada dua jenis yaitu mulsa
organik dan anorganik. Mulsa organik adalah mulsa yang berasal dari sisa panen, tanaman
pupuk hijau atau limbah hasil kegiatan pertanian yang dapat menutupi permukaan tanah,
seperti jerami, enceng gondok, sekam bakar, dan batang jagung yang dapat melestarikan
produktivitas lahan untuk jangka waktu yang lama. Mulsa anorganik berupa mulsa plastik
hitam perak (MPHP) (Lakitan, 1995).
Secara umum pengetahuan mulsa organik ditentukan oleh jenis mulsa, jenis tanaman,
dan tipe iklim. Perbedaan penggunaan bahan mulsa akan memberikan pengaruh yang berbeda
pada pertumbuhan dan hasil bawang merah. Keuntungan dari mulsa organik lebih mudah
didapatkan dan dapat terurai sehingga menambah kandungan bahan organik dalam tanah
(Umboh, 1997). Mulsa jerami kaya akan unsur hara yang dibutuhkan tanaman yaitu K, Al,
dan Mg. Begitu juga dengan pelapukan bahan organik akan membebaskan sejumlah senyawa
penyususnnya, terutama mengandung C, N, S dan P. Dengan terjadinya pelapukan mulsa

jerami proses dekomposisi akan mudah terurai. Sebagian besar membebaskan 20-30 g karbon
dalam bentuk CO2 sisanya digunakan untuk jasad renik (Purwowidodo, 1999). Berdasarkan
hasil penelitian Susanti (2003), pemberian mulsa jerami padi sebanyak 15 ton/ha dapat
meningkatkan hasil biji kering oven kacang tanah sebesar 3,09 ton/ha dibandingkan tanpa
diberi mulsa yaitu sebesar 2,12 ton/ha atau meningkat sebesar 45,75%. Menurut Soares
(2002) menyatakan bahwa pemberian mulsa jerami dapat meningkatkan berat segar umbi
bawang putih sebesar 4,41 ton/ha dibandingkan dengan tanpa mulsa yaitu sebesar 3,64
ton/ha.
Mulsa menimbulkan berbagai keuntungan, baik dari aspek fisik maupun kimia tanah.
Secara fisik mulsa mampu mempertahankan kelembaban di sekitar perakaran tanaman.
Penggunaan mulsa akan mempengaruhi suhu tanah. Penggunaan mulsa akan mencegah radisi
langsung matahari (Doring et al., 2006; Bareisis dan Viselga, 2002). Suhu tanah maksimum
di bawah mulsa jerami pada kedalama 5 cm 10 0 C lebih rendah dari pada tanpa mulsa,
sedangkan suhu minimum 1,90 C lebih tinggi (Midmore, 1983; Mahmood et al., 2002;
Rosniawaty dan Hamdani, 2004; Hamdani dan Simarmata, 2005). Doring et al., (2006)
menyatakan bahwa mulsa jerami mempunyai daya pantul lebih tinggi dibandingkan dengan
mulsa plastik. Menurut Mahmood et al., (2002) mulsa jerami atau mulsa yang berasal dari
sisa tanaman lainnya mempunyai konduktivitas panas rendah sehingga panas yang sampai ke
permukaan tanah akan lebih sedikit dibandingkan dengan tanpa mulsa atau mulsa dengan
konduktivitas panas yang tinggi seperti plastik. Jadi jenis mulsa yang berbeda memberikan
pengaruh berbeda pula pada pengaturan suhu, kelembaban, kandungan air tanah, penekanan
gulma dan organisme pengganggu.
Manfaat penggunaan mulsa menurut Harits (1997), yaitu :
a. Manfaat terhadap tanaman

Adanya mulsa di atas permukaan tanah, benih gulma tidak mendapat sinar matahari
sehingga pertumbuhan gulma akan terhalang, akibatnya komoditas tanaman yang ditanam
akan terhindar dari kompetisi dengan gulma dalam penyerapan hara dan air.
b. Manfaat terhadap kestabilan agregat dan kimia tanah
Butiran air hujan semakin dekat ke permukaan tanah, energi potensialnya akan
semakin kecil, tetapi energi kinetiknya semakin besar. Saat butiran air hujan tepat mengenai
permukaan tanah, semua energi potensial berubah menjadi energi kinetik. Energi inilah yang
menyebabkan hancurnya agregat tanah. Dengan adanya bahan mulsa diatas permukaan tanah,
energi air hujan akan ditahan oleh bahan mulsa, sehingga agregat tanah tetap stabil dan
terhindar dari proses penghancuran.
Mulsa memiliki fungsi secara langsung terhadap sifat kimia tanah yang terjadi melalui
pelapukan bahan-bahan mulsa. Fungsi ini berlaku untuk mulsa yang mudah lapuk, seperti :
mulsa jerami, alang-alang, rumput-rumputan, dan sisa-sisa tanaman. Hal ini merupakan salah
satu keuntungan penggunaan mulsa organik dibandingkan anorganik
c. Manfaat terhadap ketersediaan air tanah
Mulsa dapat mencegah evaporasi, dalam hal ini air yang menguap dari
permukaan tanah akan ditahan oleh bahan mulsa dan jatuh kembali ke tanah.
Akibatnya lahan yang ditanami tidak akan kekurangan air karena penguapan air ke
udara hanya terjadi melalui proses transpirasi. Melalui proses transpirasi inilah
tanaman dapat menarik air dari dalam tanah yang ada di dalamnya telah terlarut
berbagai hara yang dibutuhkan tanaman.
d. Manfaat terhadap neraca energi
Sifat fisik tanah yang sangat dipengaruhi oleh bahan mulsa adalah suhu tanah. Suhu
tanah ini sangat bergantung pada proses pertukaran panas antara tanah dengan
lingkungannya. Proses ini terjadi akibat adanya radiasi matahari dan pengaliran panas
kedalam tanah melalui proses konduksi.
e. Manfaat terhadap pemeliharaan tanaman
Kegiatan penyiangan pada lahan yang diberi mulsa tidak perlu dilakukan pada
keseluruhan lahan, melainkan hanya pada lubang tanam atau sekitar batang tanaman.

III.

METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di lahan pasir pantai Banjarsari, Desa Banjarsari Kecamatan


Nusawungu. Pengamatan tanaman sample dilakukan di lapang dan di Laboratorium
Agronomi dan Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Unsoed, Purwokerto. Penelitian
ini berlangsung selama kurang lebih 3 bulan mulai bulan September 2014 sampai November
2014.
B. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lahan pasir pantai Banjarsari, benih
bawang merah varietas Bima, pupuk ZA, Urea, TSP dan KCl, pupuk organik sebagai
pembenah tanah dengan dosis 5 ton/ha, mulsa jerami 5 ton/ha, mulsa plastik hitam perak
(MPHP).
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah jaringan irigasi berbasis
mikrokontroler, alat penyiram (gembor), penggaris, label, kantong plastik, timbangan, oven,
jangka sorong, lux meter, SPAD (klorofil meter), thermometer tanah, thermohigrometer dan
alat tulis.

C. Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan Rancangan Split plot dengan rancangan dasar Rancangan
Acak Kelompok Lengkap (RAKL) dengan 2 faktor percobaan yaitu teknik irigasi (O) sebagai
main plot dan mulsa (M) sebagai sub plot. Faktor teknik irigasi (O) terdiri atas: konvensional

(O0), sprinkler non-otomatik (O1) dan sprinkler otomatik (O 2). Faktor jenis mulsa (M) terdiri
atas tiga taraf, yaitu: tanpa mulsa (M0), mulsa jerami 5 ton/ha (M1) dan Mulsa Plastik Hitam
Perak (MPHP) (M2).
Percobaan terdiri atas 9 kombinasi perlakuan dan diulang 3 kali sehingga terdapat 27
unit percobaan. Tiap unit percobaan terdiri atas 75 tanaman dalam petakan percobaan
berukuran 1 m x 3 m dengan jarak tanam 20 cm X 20 cm. Masing-masing kombinasi
perlakuan terdiri atas :
O0M0

= konvensional + tanpa mulsa (Kontrol)

O0M1

= konvensional + mulsa jerami 5 ton/ha

O0M2

= konvensional + MPHP

O1M0

= sprinkler non-otomatik + tanpa mulsa

O1M1

= sprinkler non-otomatik + mulsa jerami 5 ton/ha

O1M2

= sprinkler non-otomatik + MPHP

O2M0

= sprinkler otomatik + tanpa mulsa

O2M1

= sprinkler otomatik + mulsa jerami 5 ton/ha

O2M2

= sprinkler otomatik + MPHP


D. Variabel Pengukuran

Variabel yang diamati mencakup komponen pertumbuhan dan hasil. Komponen


pertumbuhan yang diamati terdiri dari tinggi tanaman, jumlah daun, luas daun pertanaman,
jumlah anakan, panjang akar, kadar klorofil, bobot segar dan kering tanaman, serta bobot
segar dan kering akar, sedangkan untuk komponen hasil yang diamati terdiri dari jumlah
umbi, bobot segar umbi dan bobot kering umbi (ton/ha). Semua variabel pertumbuhan
diamati pada sample tanaman, kecuali panjang akar, bobot segar dan kering akar, serta bobot

segar dan kering tanaman diamati pada tanaman destruksi. Tanaman destruksi diamati dengan
cara memanen 2 tanaman untuk dijadikan sebagai tanaman sample.
1. Variabel yang diamati meliputi, variabel pertumbuhan, variabel produksi dan variabel
lingkungan.
a. Variabel pertumbuhan tanaman dan produksi, meliputi :
1) Tinggi tanaman
Tinggi tanaman diukur dari pangkal batang dipermukaan tanah sampai titik
tumbuh tertinggi menggunakan penggaris satuannya cm.
2) Jumlah daun
Jumlah daun dihitung jumlah semua daun per rumpun tanaman dengan satuan
helai.
3) Luas daun pertanaman
Dihitung luas perdaun (cm2) didasarkan perhitungan pada panjang daun
terpanjang (cm) yang diukur dari pangkal hingga ujung daun dan diameter daun
(cm) yang paling besar diukur dengan menggunakan jangka sorong. Luas daun
dihitung dengan pendekatan rumus dua kali luas kerucut sebagai berikut :
ld (cm2) = 2 x luas kerucut = 2 (rt)
Keterangan :

= 3,14 dan r = diameter daun (cm). Untuk luas daun pertanaman yang

didasarkan pada luas perdaun (cm2) dan jumlah daun (helai). Hasil
perhitungan dikonversikan kedalam m2. Luas daun pertanaman (m2) dihitung
dengan rumus sebagai berikut :
LD (m2) = ld (cm2) x JD (helai) x 10 -4
Keterangan :
LD
= Luas daun pertanaman (cm2)
ld
= Luas per daun (cm2)
JD
= Jumlah daun (helai)
-4
10
= mengkonversi dari cm2 kedalam m2
4) Kadar Kehijauan tanaman (klorofil)
Diukur dengan menggunakan SPAD (klorofil meter), pengukuran dilakukan 2
minggu sekali dengan cara menjepit daun dengan alat SPAD.
5) Jumlah anakan
Dihitung dari jumlah ruas batang yang tumbuh dalam satu tanaman.
6) Panjang akar

Diukur dari pangkal akar hingga ujung akar terpanjang dengan satuan cm.
Pengukuran dilakukan dengan menggunakan penggaris.
7) Bobot basah dan bobot kering akar
Pengukuran bobot basah akar dengan cara menimbang akar yang sudah
dibersihkan dari pasir. Pengukuran dilakukan setiap 2 minggu sekali dengan
mencabut 2 sample tanaman. Untuk pengukuran bobot kering dengan cara
memasukkan akar kedalam amplop kemudian dioven pada suhu 80 0C hingga
didapat berat yang konstan dengan satuan gram (g).
8) Bobot basah dan bobot kering tanaman
Pengukuran bobot basah tanaman dengan cara menimbang tanaman yang sudah
dibersihkan dari tanah. Pengukuran dilakukan setiap 2 minggu sekali dengan
mencabut 2 sample tanaman.

Untuk pengukuran bobot kering dengan cara

memasukkan tanaman kedalam amplop kemudian dioven pada suhu 80 0C hingga


didapat berat yang konstan dengan satuan gram (g).
9) Jumlah umbi
Diperoleh dengan menghitung jumlah umbi yang ada pada sample ditiap petak,
dihitung secara manual dilakukan setelah panen.
10) Hasil segar dan kering umbi
Hasil segar umbi (t/ha) diperoleh dengan cara mencabut tanaman petak efektif.
Hasil panen langsung ditimbang menggunakan timbangan. Hasil kering umbi
diperoleh setelah umbi dikeringkan dengan cara diangin-anginkan selama 6 hari
sehingga kadar airnya berkurang. Proses pengeringan dihentikan apabila umbi
tampak keras dan bila terkena sentuhan terdengar gemerisik, kemudian ditimbang
dan dikonversi kedalam t/ha, dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
bobot awal x 103
HSU atau HKU (t/ha) = L petak efektif x 104
Keterangan :
10-3

= 1 kg sama dengan

1
1000

10-4

= 1 m2 sama dengan

1
10000

ton
ha

b. Variabel lingkungan, antara lain:


1) Intensitas cahaya
Intensitas cahaya diukur menggunakan alat luxmeter DX-100, 100 lux cahaya setara dengan
2 mol/m2/det. Pengukuran intensitas cahaya dilakukan dua minggu sekali pada pagi pukul
07.00, siang pukul 13.00 dan sore hari pukul 17.00.
2) Suhu udara dan kelembaban udara
Suhu dan kelembaban udara lahan percobaan diamati setiap hari terhadap suhu dan
kelembaban maksimum-minimun pada pagi (07.00), siang (13.00) dan sore hari (17.00).
3) Suhu tanah
Suhu tanah diamati setiap dua minggu sekali pada masing-masing unit percobaan pada
kedalaman 10 cm menggunakan termometer tanah yang telah dikalibrasi.
E. Analisis Data
Data pengamatan dianalisis sidik ragam dengan uji F pada taraf kesalahan 5% untuk
mengetahui pengaruh perlakuan terhadap variabel yang diamati. Apabila terjadi beda nyata
dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncans Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%
untuk mengetahui perbedaanya. Perlakuan yang menunjukkan hasil pengamatan tertinggi
secra nyata pada uji DMRT 5% dibandingkan dengan perlakuan lain, dianggap sebagai
perlakuan yang terbaik.
F. Pelaksanaan Penelitian
1. Persiapan dan pengolahan lahan
Lahan yang akan digunakan untuk penelitian adalah lahan pasir pantai Jetis dan lahan
pasir pantai Widarapayung Cilacap. Pengolahan tanah dilakukan secara maksimum tillage
dengan mencangkul dan meratakan tanah pasir.
2. Pemasangan sensor lengas tanah
Pemasangan sensor dilakukan untuk mendeteksi jumlah kadar air dalam tanah dengan
metode kapasitansi sebagai arus yang berubah-ubah dan pembangkit sinyal (osilator).
Sensor lengas tanah menggunakan sensor plat jamak (Multi Plate Probe).
3. Pemupukan dasar
Pemupukan dasar dilaksanakan bersamaan dengan pengolahan tanah, yaitu dengan
menambahkan pupuk organik sebanyak 5 ton/ha. Pemberian pupuk dasar ini, selain untuk

menambah unsur hara juga dapat digunakan sebagai bahan pembenah tanah. Pupuk TSP
(130 kg/ha) dan pupuk KCl (130 kg/ha), pupuk disebar ke lahan pasir, kemudian cangkul
agar homogen dengan tanah.
4. Pemasangan dan membuat lubang pada mulsa plastik hitam perak
Mulsa plastik hitam perak dipasang sebelum penanaman pada petak percobaan yang
memakai perlakuan mulsa plastik. Mulsa dilubangi sesuai jarak tanam dengan bantuan
pipa.
5. Pengkalibrasian sistem irigasi
Sistem irigasi dikalibrasi volume pengairan sehingga tanaman mendapatkan air 4,5
mm/hari. Kalibrasi dilaksanakan berdasarkan volume yang dipantau dengan alat pengukur
debit air sebelum pelaksanaan penanaman. Kalibrasi dilakukan dengan alat pembanding
berupa data hasil analisa pengukuran lengas tanah menggunakan metode kapasitansi.
6. Penanaman benih dan pemberian mulsa jerami
Benih bawang merah yang ditanam yaitu varietas Bima, karena varietas ini memiliki
potensi yang baik untuk dikembangkan di lahan pasir pantai dengan batas lengas kritis
yang belum diketahui. Penanaman bibit dilakukan pada masing-masing unit percobaan
dengan jumlah yang sama. Pemberian mulsa jerami dilakukan setelah tunas baru tumbuh
atau sekitar 14 hari setelah tanam (hst).
7. Penyiraman
Penyiraman dengan gembor dilakukan setelah penanaman selesai, hingga 14 hari
setelah tanam. Hal tersebut dikarenakan belum stabilnya daya serap dan daya tahan dari
tanah pasir pantai yang digunakan tersebut. Setelah 14 hari, pemberian perlakuan sisitem
irigasi mulai dilakukan.
8. Pemeliharaan tanaman
Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan penyiraman, penyulaman, pemupukan
lanjutan dan penyiangan. Penyiraman dilakukan sekali dalam sehari, yaitu pagi hari pukul
09.00 dengan volume 18 liter/hari. Pemupukan lanjutan dilakukan dengan cara pupuk
dilarutkan ke dalam air yang kemudian disiramkan dengan bantuan gembor. Pupuk urea
dan ZA diberikan setiap minggu sesuai dosis pemupukan (Tabel 2). Penyiangan dilakukan

setiap dua minggu sekali dengan cara mencabuti gulma yang berpotensi menghambat
pertumbuhan tanaman bawang merah.
Tabel 1. Dosis pemupukan urea dan ZA pada tanaman bawang merah
M
inggu

B
agian

Dosis
pupuk (Kg/ha)
Ur
ea

1/
14

15
,86

1/
14

86

14

,7

14

,58

14

,58

14

02
47

,58
1/

14

02
47

3/

8
47

3/

4
31

3/

4
5,

2/

02
15

,86

Dosisi
Dosis per
pemupukan (gram tanaman
per petak)
(gram)
Z
Urea
Z
Ur
Z
A
ea
A
3
4,75
1
0,
0
0,2
06
,14
3
4,75
1
0,
0
0,2
06
,14
6
9,51
2
0,
0
0,4
13
,27
1
14,27
3
0,
0
0,6
19
,41
1
14,27
3
0,
0
0,6
19
,41
1
14,27
3
0,
0
0,6
19
,41
3
4,74
1
0,
0
0,2
06
,14

9. Pengamatan lingkungan
Analisis lingkungan yang diamati yaitu, suhu udara, suhu tanah, kelembaban udara,
dan intensitas cahaya. Masing-masing komponen diukur berdasarkan waktu yang telah
ditetapkan, yaitu setiap hari dan dua minggu sekali.
10. Pemberian perlakuan sistem irigasi
Pemberian perlakuan sistem irigasi dilakukan 14 hari setelah tanam (hst). Penyiraman
dilakukan dengan menggunakan gembor pada irigasi konvensional, secara semi otomatis
dan pengairan otomatis pada irigasi sprinkle.
11. Pemanenan
Pemanenan dilakukan setelah tanaman berumur 55-60 hari. Pemanenan dilakukan
dengan cara mencabut rumpun bawang menggunakan tangan, kemudian umbi bawang
dibersihkan dari sisa kotoran tanah dan diikat. Kriteria tanaman bawang merah yang siap
panen : pangkal daun menipis dan kempes, daun tampak menguning, daun rebah, umbi
berwarna merah dan keras. Hasil panen kemudian dilakukan pengeringan dengan cara
dijemur dibawah sinar matahari selama kurang lebih 6 hari.

12. Analisis data


Data yang diperoleh dianalisis dan kemudian dirangkai dalam bentuk tabel dan
tulisan.

G. Jadwal Pelaksanaan

N
o.

Kegiatan

1
.

Persiapan bahan
dan alat
2
Persiapan lahan

.
3

Pemupukan dasar

Penanaman

Pemeliharaan

Panen

.
.
.
.
8
.
.

Pengamatan
lingkungan
9
Pengamatan
tanaman
1
Analisis data

0.
1

Penulisan laporan

Seminar

1.
2.

Bulan Kegiatan
A
Se
gst
pt
kt

N
ov

D
es

J
an

Anda mungkin juga menyukai