Anda di halaman 1dari 5

DISKUSI

Halusinasi adalah persepsi atau tanggapan dari pancaindera tanpa adanya


rangsangan (stimulus) eksternal (Stuart & Sundeen, 2007). Halusinasi merupakan
gangguan persepsi dimana pasien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak
terjadi. Suatu pencerapan panca indera tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu
penghayatan yang dialami seperti suatu persepsi melalui pancaindera tanpa
stimulus eksternal; persepsi palsu. Berbeda dengan ilusi dimana pasien mengalami
persepsi yang salah terhadap stimulus, salah persepsi pada halusinasi terjadi tanpa
adanya stimulus eksternal yang terjadi. Stimulus internal dipersepsikan sebagai
sesuatu yang nyata oleh pasien.
Halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif individu yang berada
dalam rentang respon neurobiologist (Stuart & Sundeen, 2007). Ini merupakan
respon persepsi paling maladaptif. Jika individu yang sehat persepsinya akurat,
mampu mengidentifikasi dan menginterprestasikan stimulus berdasarkan
informasi yang diterima melalui panca indera (pendengaran, penglihatan,
penghidu, pengecapan, dan perabaan), pasien dengan halusinasi mempersepsikan
suatu stimulus panca indera walaupun sebenarnya stimulus tersebut tidak ada.
Penatalaksanaan pasien skizofrenia gangguan halusinasi geriatri adalah
dengan pemberian obat-obatan dan tindakan lain, yaitu :
Psiko farmako logisobat-obatan yang lazim digunakan pada gejala
halusinasi pendengaran yang merupakan gejala psikosis pada pasien
skizofrenia geriatri adalah obat- obatan anti-psikosis yang resiko efek
sampingnya dapat ditolerir
Golongan obat antipsikosis yang dapat digunakan untuk pasien geriatri:
1. Antipsikotik Tipikal
Penggunaan obat golongan ini sudah mulai jarang karena efek
samping yang cukup berat dan ketersedian obat antipsikotik
atipikal yang semakin luas. Haloperidol dan ttrifluoperazine
dengan dosis 10-30 mg/hari dapat memberikan perbaikan pada
gejala psikotik pasien usia lanjut
2. Antipsikotik Atipikal
Secara klinis golongan obat ini telah terbukti mempunyai
efektifitas dan keamanan yang cukup dalam mengobati gejala
psikotik pada pasien usia lanjut
Risperidone
Efektif pada dosis rendah 1,5 6 mg/hari dan dapat
memberikan perbaikan yang nyata. Tidak menimbulkan
efek samping ekstra piramidial yang bermakna, tidak ada
efek orthostatik , antikolinergik, dan penurunan kognitif
Olanzapine
Dosis pemberian 5 20 mg/hari namun ada yang
menyebutkan dosis yang lebih kecil 5 7mg/hari lebih
efektif. Menimbulkan efek samping ektrapiramidial yang
minimal namun dapat terjadi somnolen, peningkatan berat
badan, dizziness, bradikinesia dan kelemahan kaki.
Quetiapine
Direkomendasikan pada dosis awal yang rendah 25 mg
yang dititrasi sampai 100 300 mg/hari. Obat ini sering

digunakan untuk menghindari efek samping pada usia


lanjut yaitu ; hipotensi postural, dizziness dan agitasi.
Clozapine
Dapat diberikan dengan dosis 6,25 50 mg/hari dan 25
150 mg/hari pada usia lanjut. Dapat mengurangi gejala
psikotik pada pasien Parkinson, tidak menimbulkan efek
samping setelah putus obat namun sering dilaporkan
clozapine mempunyai efek samping sedasi hingga
somnolen.
Zotepine
Sangat efektif untuk mengobati gejala negative pasien
skizofrenia dan mencegah kekambuhan pada pasien
skizofrenia kronis. Dosis yang dapat diberikan 75 150
mg/hari . efek samping yang sering muncul adalah rasa
lelah dan sedasi. Penggunaan zotepine dengan antidepresan
paroxetine dapat meningkatkan risiko thrombosis vena
dalam.
(Andri, 2009)
1. Pemilihan Obat untuk Episode (Serangan)
atypical antipsycoic merupakan terapi pilihan untuk penderita Skizofrenia
episode pertama karena efek samping yang ditimbulkan minimal dan resiko untuk
terkena tardive dyskinesia lebih rendah.
obat antipsikotik membutuhkan waktu beberapa saat untuk mulai bekerja.
Sebelum diputuskan pemberian salah satu obat gagal dan diganti dengan obat lain,
para ahli biasanya akan mencoba memberikan obat selama 6 minggu (2 kali lebih
lama pada Clozaril)
2. Pemilihan Obat untuk keadaan relaps (kambuh)
timbul bila penderita berhenti minum obat, untuk itu, sangat penting untuk
mengetahui alasan mengapa penderita berhenti minum obat. Terkadang penderita
berhenti minum obat karena efek samping yang ditimbulkan oleh obat tersebut.
Apabila hal ini terjadi, dokter dapat menurunkan dosis menambah obat untuk efek
sampingnya, atau mengganti dengan obat lain yang efek sampingnya lebih rendah.
penderita berhenti minum obat karena alasan lain, dokter dapat mengganti
obat oral dengan injeksi yang bersifat long acting, diberikan tiap 2- 4 minggu.
Pemberian obat dengan injeksi lebih simpel dalam penerapannya.
pasien dapat kambuh walaupun sudah mengkonsumsi obat sesuai anjuran.
Hal ini merupakan alasan yang tepat untuk menggantinya dengan obat obatan
yang lain, misalnya antipsikotik konvensonal dapat diganti dengan newer atipycal
antipsycotic atau newer atipycal antipsycotic diganti dengan antipsikotik atipikal
lainnya. Clozapine dapat menjadi cadangan yang dapat bekerja bila terapi dengan
obat-obatan diatas gagal. ( Diny & Rezky, 2013)
3. Pengobatan Selama fase Penyembuhan
penting bagi pasien untuk tetap mendapat pengobatan walaupun setelah
sembuh. Penelitian terbaru menunjukkan 4 dari 5 pasien yang behenti minum obat
setelah episode petama Skizofrenia dapat kambuh. Para ahli merekomendasikan
pasien-pasien Skizofrenia episode pertama tetap mendapat obat antipskotik
selama 12-24 bulan sebelum mencoba menurunkan dosisnya. Pasien yang
menderita Skizofrenia lebih dari satu episode, atau balum sembuh total pada

episode pertama membutuhkan pengobatan yang lebih lama. Perlu diingat, bahwa
penghentian pengobatan merupakan penyebab tersering kekambuhan dan makin
beratnya penyakit.
Terapi Perilaku
perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan ketrampilan
sosial untuk meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan memenuhi diri
sendiri, latihan praktis, dan komunikasi interpersonal. Perilaku adaptif
adalah didorong dengan pujian atau hadiah yang dapat ditebus untuk halhal yang diharapkan, seperti hak istimewa dan pas jalan di rumah sakit.
Dengan demikian, frekuensi perilaku maladaptif atau menyimpang seperti
berbicara lantang, berbicara sendirian di masyarakat, dan postur tubuh
aneh dapat diturunkan.
Terapi berorientasi keluarga
ini sangat berguna karena pasien skizofrenia seringkali
dipulangkan dalam keadaan remisi parsial, keluraga dimana pasien
skizofrenia kembali seringkali mendapatkan manfaat dari terapi keluarga
yang singkat namun intensif (setiap hari). Setelah periode pemulangan
segera, topik penting yang dibahas didalam terapi keluarga adalah proses
pemulihan, khususnya lama dan kecepatannya. Seringkali, anggota
keluarga, didalam cara yang jelas mendorong sanak saudaranya yang
terkena skizofrenia untuk melakukan aktivitas teratur terlalu cepat.
Rencana yang terlalu optimistik tersebut berasal dari ketidaktahuan
tentang sifat skizofreniadan dari penyangkalan tentang keparahan
penyakitnya.
terapi harus membantu keluarga dan pasien mengerti skizofrenia
tanpa menjadi terlalu mengecilkan hati. Sejumlah penelitian telah
menemukan bahwa terapi keluarga adalah efektif dalam menurunkan
relaps. Didalam penelitian terkontrol, penurunan angka relaps adalah
dramatik. Angka relaps tahunan tanpa terapi keluarga sebesar 25-50 % dan
5 - 10 % dengan terapi keluarga.-
Terapi Kelompok
kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada rencana,
masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata. Kelompok mungkin
terorientasi secara perilaku, terorientasi secara psikodinamika atau tilikan,
atau suportif. Terapi kelompok efektif dalam menurunkan isolasi sosial,
meningkatkan rasa persatuan, dan meningkatkan tes realitas bagi pasien
skizofrenia. Kelompok yang memimpin dengan cara suportif, bukannya
dalam cara interpretatif, tampaknya paling membantu bagi pasien
skizofrenia.
Psikoterapi Individual
paling baik tentang efek psikoterapi individual dalam pengobatan
skizofrenia telah memberikan data bahwa terapi alah membantu dan
menambah efek terapi farmakologis. Suatu konsep penting di dalam
psikoterapi bagi pasien skizofrenia adalah perkembangan suatu hubungan
terapetik yang dialami pasien sebagai aman. Pengalaman tersebut
dipengaruhi oleh dapat dipercayanya ahli terapi, jarak emosional antara
ahli terapi dan pasien, dan keikhlasan ahli terapi seperti yang
diinterpretasikan oleh pasien.

antara dokter dan pasien adalah berbeda dari yang ditemukan di


dalam pengobatan pasien non-psikotik. Menegakkan hubungan seringkali
sulit dilakukan; pasien skizofrenia seringkali kesepian dan menolak
terhadap keakraban dan kepercayaan dan kemungkinan sikap curiga,
cemas, bermusuhan, atau teregresi jika seseorang mendekati. Pengamatan
yang cermat dari jauh dan rahasia, perintah sederhana, kesabaran,
ketulusan hati, dan kepekaan terhadap kaidah sosial adalah lebih disukai
daripada informalitas yang prematur dan penggunaan nama pertama yang
merendahkan diri. Kehangatan atau profesi persahabatan yang berlebihan
adalah tidak tepat dan kemungkinan dirasakan sebagai usaha untuk
suapan, manipulasi, atau eksploitasi
Perawatan di Rumah Sakit
utama perawatan rumah sakit adalah untuk tujuan diagnostik,
menstabilkan medikasi, keamanan pasien karena gagasan bunuh diri atau
membunuh, prilaku yang sangat kacau termasuk ketidakmampuan
memenuhi kebutuhan dasar.
utama perawatan dirumah sakit yang harus ditegakkan adalah
ikatan efektif antara pasien dan sistem pendukung masyarakat. Rehabilitasi
dan penyesuaian yang dilakukan pada perawatan rumahsakit harus
direncanakan. Dokter harus juga mengajarkan pasien dan pengasuh serta
keluarga pasien tentang skizofrenia.
di rumah sakit menurunkan stres pada pasien dan membantu
mereka menyusun aktivitas harian mereka. Lamanya perawatan rumah
sakit tergantung dari keparahan penyakit pasien dan tersedianya fasilitas
pengobatan rawat jalan. Rencana pengobatan di rumah sakit harus
memiliki orientasi praktis ke arah masalah kehidupan, perawatan diri,
kualitas hidup, pekerjaan, dan hubungan sosial. Perawatan di rumah sakit
harus diarahkan untuk mengikat pasien dengan fasilitas perawatan
termasuk keluarga pasien. Pusat perawatan dan kunjungan keluarga pasien
kadang membantu pasien dalam memperbaiki kualitas hidup.
Pada presentasi kasus Tn. S baru mendapatkan terapi selama 2,5 Bulan
namun terputus padahal hasil observasi menemukan bahwa Tn. S masih
mengalami gangguan halusinasi . Tn S mengalami relaps setelah 2 minggu lebih
telah putus obat, ini karena ketidaksadaran petugas yang merawat Tn. S petugas
menganggap bahwa Tn. S sudah sembuh karena sudah tenang padahal
penyembuhan episodik pertama belum tuntas. Sebab lainnya adalah tidak
teraturnya koordinasi antara petugas dan kepala perawat , petugas tidak segera
melaporkan bahwa obat untuk Tn. S sudah habis. Maka dari itu harus ada
koordinasi yang baik agar kasus penghentian obat ini tidak menimbulkan relaps
dan memperberat gangguan jiwa Tn.S. Pasien Tn S juga tidak mempunyai
keluarga atau pun sanak saudara terdekat, dia hanya seorang diri jadi tidak dapat
dilakukan pendekatan terapi keluarga. Tn. S sendiri walaupun mengalami
gangguan halusinasi namun masih dapat melakukan interaksi terhadap orang lain.
Tidak ada petugas khusus yang merawat Tn S. sehingga pemantauan kemajuan
terapi juga tidak ada yang memperhatikan.
KESIMPULAN

Gangguan halusinasi termasuk cukup besar di Indonesia, tidak terkecuali


pada lanjut usia. Tindakan yang cepat dan dukungan lingkungan sekitar sangat
mempengaruhi dan mempercepat proses penyembuhan. Namun, masih banyak
kendala seperti : banyak petugas yang tidak mengerti bagaimana tatalaksana
pengobatan pasien halusinasi ini, tidak ada dukungan lingkungan sekitar atau
kerabat dekat. Banyak kasus penghentian obat akibat dari kurangnya pengetahuan
dan koordinasi petugas sehingga menyebabkan kekambuhan sampai bertambah
berat gangguan jiwa yang diderita. Atas kurangnya pengetahuan petugas dan
masyarakat maka dibutuhkan penyuluhan bagaimana tatalaksana dan perawatan
yang tepat untuk pasien dengan gangguan halusinasi pada lanjut usia.

Anda mungkin juga menyukai