Anda di halaman 1dari 18

KONSEP DASAR PENYAKIT

A. DEFINISI
Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES) adalah
penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya
perubahan sistem imun, SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok
penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang
mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks.
B. EPIDEMIOLOGI
Dalam 30 tahun terakhir, SLE telah menjadi salah satu penyakit reumatik utama
dunia. SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa negro, cina dan
mungkin juga filipina. Penyakit ini dapat ditemukan pada berbagai usia, tapi lebih sering
terjadi pada usia 15-40 tahun.
C. ETIOLOGI
Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Diduga faktor genetik, infeksi dan
lingkungan ikut berperan pada patofisiologi Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan
untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan reaksi
imunologi ini akan menghasilkan antibodi secara terus menerus. Antibody ini juga berperan
dalam pembentukan kompleks imun sehingga mencetuskan penyakit inflamasi imun
sistemik dengan kerusakan multiorgan.
D. FAKTOR PREDISPOSISI
Paling sedikit 5% dari penderita SLE disertai riwayat keluarga yang juga menderita
kelainan sama. Dugaan adanya faktor genetik serta lingkungan sangat penting dalam
timbulnya kelainan baik klinis maupun serologis.
1. Faktor Genetik:
Penelitian genetik terutama yang menyangkut HLA tidak dapat memberikan
kepastian adanya hubungan antara HLA A/B/C dengan SLE, akan tetapi HLA DW2
dan DW3 mungkin dapat merupakan faktor predisposisi.
Pada penderita SLE dijumpai peningkatan Ia - 715 serta defisiensi komplemen bila
dibandingkan dengan penderita bukan SLE.
2. Faktor lingkungan
Banyak fakta menunjukkan bahwa pada individu yang secara acak genetik sensitif,
beberapa stimulus lingkungan akan sangat mempengaruhi DNA, jaringan
imunoregulator atau keduanya sehingga dapat mengakibatkan pembentukan antibodi
terhadap inti sel.
Faktor stimulus ini antara lain infeksi virus, sinar ultra violet, paparan dengan
obat tertentu, dan sebagainya. dapat menjadi pencetus manifestasi SLE atau memperberat penyakit yang ada, seperti yang dikemukakan oleh beberapa peneliti:

a.
b.
c.

SLE dapat ditimbulkan oleh adanya respon imun yang abnormal terhadap suatu
infeksi virus.
Hampir sepertiga penderita SLE ditemukan antibodi terhadap inti sel yang rusak
akibat sinar ultra violet.
Beberapa obat tertentu dapat mepengaruhi / mengubah DNA sehingga merangsang
pembentukan antibodi terhadap inti sel (ANA). Lima belas sampai 70% penderita
yang menggunakan obat-obatan seperti hidralazin, prokainamid, metildopa,
isoniazid, klorpromazin, hidantoin, etosuksimid, trimetadion untuk jangka waktu
lama akan terbentuk antibodi anti inti sel (ANA).

3. Faktor hormonal
Dapat mempengaruhi gambaran klinis penderita SLE yang 90% wanita pada usia
produktif dan 30% penderita mengalami perburukan pada kehamilan.
E. PATOFISIOLOGI
Penyakit sistemik lupus eritematosus (SLE) tampaknya terjadi akibat tergantungnya
regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibody yang berlebihan.
Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara factor factor genetic,
hormonal ( sebagai mana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia
reproduktif) dan lingkungan ( cahaya matahari, luka bakar termal). Obat- obat tertentu
seperti hidralazin (Apresoline), prokainamid (Pronestyl), isoniazid, klorpromazin dan
beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut
terlibat dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibody diperkirakan terjadi akibat fungsi sel
T-superesor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan
jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya merangsang antibody
tambahan, dan siklus tersebut berulang kembali.
F. PATHWAYS
Factor internal
Genetic
Hormone

Factor eksternal
Makanan
Lingkungan
Obat

Terjadi abnormal sel T

Hilangnya toleransi sel T thd antigen

Muncul sel T autoreaktif

Tjd induksi dan ekspansi sel B

Produksi autoantibody

Antigen pd nukleoplasma

Membentuk kompleks imun

gg. pemrosesan kompleks


imun dlm hati

kardiovaskular

pe uptake kompleks
imun pd impa

Susunan saraf
pusat

Fiksasi kompleks organ

Iskemia
miokard

Kejangkejang

Psikosis organik

Reaksi radang

sendi

ginjal

gg. fungsi
ginjal

Nodul rematoid

nyeri

halusinasi

Hati &limpa

Kel. Getah bening

Ikterus

limfadenopati

keletihan
hipersensitivitas

Sal. pencernaan

Deficit vol.
cairan

lesi

Ruam

Susunan saraf tepi


ansietas

Mual,
muntah &
diare

kulit

gg. motorik
& sensorik

Kerusakan
integritas
kulit

gg.
citra
tubuh

Gg. Citra tubuh


Kurangnya
informasi

Kurangnya
pengetahuan

G. KLASIFIKASI
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus,
systemic lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
1. Discoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang
meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala,
telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan
karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta
hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005).
2. Systemic Lupus Erythematosus
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh
banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan
disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang
berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam
ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan
jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).
3. Lupus yang diinduksi oleh obat
Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat
yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak
terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan
protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk
kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et
al., 2000).
H. GEJALA KLINIS
1. Sistem Muskuloskeletal
Artralgia, artritis (sinovitis), pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika
bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
2. Sistem integumen

Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang
pangkal hidung serta pipi.
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
3. Sistem kardiak
Perikarditis merupakan manifestasi kardiak.
4. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
5. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan
purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau
sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
6. Sistem perkemihan
Glomerulus renal yang biasanya terkena.
7. Sistem saraf
Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk
penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.
I. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorim yang dilakukan terhadap pasien SLE adalah:
1. Tes ANA (Anti Nuclear Antibody)
2. Tes Anti dsDNA (double stranded)
3. Tes Antibodi anti-S (Smith)
4. Tes Anti-RNP (Ribonukleoprotein), anti-ro/anti-SS-A, anti-La (antikoagulan lupus
anti SSB, dan antibodi antikardiolipin).
5. Komplemen C3, C4, dan CH50 (komplemen hemolitik)
6. Tes sel LE
7. Tes anti ssDNA (single stranded)

J. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Farmakologis
Penatalaksanaan Medikamentosa
Untuk SLE derajat Ringan:
a.Aspirin, dan obat anti inflamasi non steroid
b. Penambahan obat anti malaria, hanya bila ada ruam kulit dan lesi di mukosa
membrane
c.Bila gagal, dapat ditambah prednison 2,5-5 mg/hari. Dosis dapat diberikan secara
bertahap tiap 1-2 minggu sesuai kebutuhan
Untuk SLE derajat berat:
Pemberian steroid sistemik merupakan pilihan pertama dengan dosis sesuai kelainan
organ sasaran yang terkena.
Pengobatan Pada Keadaan Khusus:
a. Anemia Hemolitik
Prednison 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/kg BB/hari), dapat ditingkatkan sampai 100200 mg/hari bila dalam beberapa hari sampai 1 minggu belum ada perbaikan
b. Trombositopenia autoimun
Prednison 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/kg BB/hari). Bila tidak ada respon dalam 4
minggu, ditambahkan imunoglobulin intravena (IVIg) dengan dosis 0,4 mg/kg
BB/hari selama 5 hari berturut-turut
c. Perikarditis Ringan
Obat antiinflamasi non steroid atau anti malaria. Bila tidak efektif dapat diberikan
prednison 20-40 mg/hari
d. Perkarditis Berat
Diberikan prednison 1 mg/kg BB/hari
e. Miokarditis
Prednison 1 mg/kg BB/hari dan bila tidak efektif dapat dapat dikombinasikan
dengan siklofosfamid
f. Efusi Pleura
Prednison 15-40 mg/hari. Bila efusi masif, dilakukan pungsi pleura/drainase
g. Lupus Pneunomitis

Prednison 1-1,5 mg/kg BB/hari selama 4-6 minggu


h. Lupus serebral
Metilprednison 2 mg/kg BB/hari untuk 3-5 hari, bila berhasil dilanjutkan dengan
pemberian oral 5-7 hari lalu diturunkan perlahan. Dapat diberikan metilprednison
pulse dosis selama 3 hari berturut-turut.
2. NON FARMAKOLOGIS
Tidak ada terapi untuk menyembuhkan SLE, dan remisi sempurna jarang
terjadi. Sehingga dokter sebaiknya merencanakan untuk mengendalikan serangan akut
yang berat dan kemudian mengembangkan strategi untuk menekan gejala pada kadar
yang dapat diterima dan mencegah kerusakan organ. Biasanya pasien akan mengalami
beberapa efek samping pada medikasi. Pilihan terapi bergantung pada (1) apakah
manifestasi penyakit membahayakan nyawa atau sepertinya menyebabkan kerusakan
organ, segera rencanakan terapi agresif (2) apakah manifestasinya berpotensial
reversible, dan (3) pendekatan terbaik untuk mencegah komplikasi penyakit dan
penanganannya.
Untuk penatalaksanaan, Pasien SLE dibagi menjadi:
1. Kelompok Ringan
Gejala : Panas, artritis, perikarditis ringan, efusi pleura/perikard ringan, kelelahan,
dan sakit kepala
2. Kelompok Berat
Gejala : efusi pleura perikard masif, penyakit ginjal, anemia hemolitik,
trombositopenia, lupus serebral, vaskulitis akut, miokarditis, pneumonitis lupus, dan
perdarahan paru.
Beberapa pertanyaan sebelum melakukan penatalaksanaan SLE, yaitu :
a. Apakah pasien masuk kriteria ARA atau tidak
b. Bila tidak, apakah pasien memenuhi kriteria biopsi atau tidak. Dengan bantuan
biopsi ditentukan apakah pasien masuk SLE atau Lupus discoid
c. Apakah keluhan yang muncul adalah bagian dari penyakit konektif lainnya atau
tidak
d. Setelah mengetahui SLE, pastikan organ sasaran yang terkena dan derajat
sakitnya
e. Adakah penyakit lain yang bersamaan dengan SLE. Bila ada tentukan apakah
primer atau sekunder
f. Upaya pengobatan ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup dengan
mempertimbangkan untung rugi dari suatu regimen pengobatan
Penatalaksanaan Umum:

1. Kelelahan bisa karena sakitnya atau penyakit lain, seperti anemi, demam
infeksi, gangguan hormonal, komplikasi pengobatan, atau stres emosional.
Upaya mengurangi kelelahan disamping obat ialah cukup istirahat, pembatasan
2.
3.
4.
5.
6.
7.

aktivitas yang berlebih, dan mampu mengubah gaya hidup.


Hindari Merokok.
Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses inflamasi.
Hindari stres dan trauma fisik.
Diet sesuai kelainan, misalnya hyperkolestrolemia.
Hindari pajanan sinar matahari, khususnya UV pada pukul 10.00 sampai 15.00.
Hindari pemakaian kontrasespsi atau obat lain yang mengandung hormon
estrogen.

ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN

a. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala
sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri,
kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta
citra diri pasien.
b. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
c. Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan
vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan
bawah atau sisi lateral tangan.
d. Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi
hari.
e. Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang
pangkal hidung serta pipi.
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
f. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
g. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan
purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau
sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
h. Sistem Renal
Edema dan hematuria.
i. Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun
manifestasi SSP lainnya.

B. MASALAH KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi pada kulit
3. Hambatan Mobilitas fisik berhubungan dengan defometas skletal
4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan dan ketergantungan fisik
serta psikologis yang di akibatkan penyakit kronik
5. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri, depresi
C. RENCANA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan

Rencana Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi
Nyeri akut berhubungan NOC :
NIC :
dengan

inflamasi

kerusakan jaringan

dan

Pain Level,

Paint management

pain control,

1. Lakukan

comfort level

nyeri

Setelah

dilakukan

tinfakan

pengkajian
secara

komprehensif termasuk

lokasi,

karakteristik,

Pasien tidak mengalami nyeri,

durasi,

frekuensi,

dengan kriteria hasil:

kualitas

keperawatan

selama

1. Mampu
nyeri

mengontrol

dan

presipitasi.

penyebab 2. Observasi
nonverbal
mampu

(tahu

nyeri,

faktor
reaksi
dari

ketidaknyamanan.

menggunakan

tehnik

nonfarmakologi

pasien
dan
untuk 3. Bantu
keluarga untuk mencari
nyeri,

mengurangi

dan

mencari bantuan).
2. Melaporkan bahwa nyeri
menggunakan

3. Mampu mengenali nyeri

nyeri).

intensitas,
dan

lingkungan

mempengaruhi

manajemen nyeri.

frekuensi

dukungan.

dengan 4. Kontrol
yang

berkurang

(skala,

menemukan

tanda

dapat
nyeri

seperti suhu ruangan,


pencahayaan

dan

kebisingan.
5. Kurangi

faktor

4. Menyatakan rasa nyaman


setelah nyeri berkurang.
5. Tanda

vital

rentang normal.
6. Tidak

dalam

presipitasi nyeri.
6. Kaji tipe dan sumber
nyeri untuk menentukan
intervensi.

mengalami 7. Ajarkan tentang teknik

gangguan tidur

non farmakologi: napas


dala, relaksasi, distraksi,
kompres hangat/ dingin.
8. Berikan analgetik untuk
mengurangi

nyeri:

...
9. Tingkatkan istirahat.
10.

Berikan

tentang

informasi

nyeri

seperti

penyebab nyeri, berapa


lama

nyeri

akan

berkurang dan antisipasi


ketidaknyamanan

dari

prosedur.
11.

Monitor vital sign

sebelum dan sesudah


pemberian
pertama kali

analgesik

Kerusakan integritas kulit NOC :

NIC :

berhubungan dengan lesi Tissue Integrity : Skin and

Pressure Management

pada kulit

Mucous Membranes
Setelah

dilakukan

keperawatan
kerusakan

1. Anjurkan

tindakan
selama..

integritas

untuk
menggunakan

kulit

pakaian

pasien teratasi dengan kriteria

longgar.

hasil:

pasien

yang

2. Hindari

1. Integritas kulit yang


baik

kerutan

pada tempat tidur.

bisa

3. Jaga

dipertahankan (sensasi,

kulit

elastisitas, temperatur,

bersih dan kering.

hidrasi, pigmentasi)
2. Tidak

ada

luka/lesi

pada kulit.

kebersihan
agar

4. Mobilisasi

4. Menunjukkan

pasien

(ubah posisi pasien)


setiap

3. Perfusi jaringan baik.

tetap

dua

jam

sekali.
5. Monitor kulit akan

pemahaman

dalam

adanya kemerahan .

proses perbaikan kulit

6. Oleskan lotion atau

dan

mencegah

terjadinya

sedera

berulang.
5. Mampu

minyak/baby

oil

pada derah yang


tertekan .

melindungi

kulit

dan

mempertahankan
kelembaban kulit dan
perawatan alami

7. Monitor
dan

aktivitas
mobilisasi

pasien.
8. Monitor

status

nutrisi pasien.
9. Memandikan
pasien
sabun

dengan
dan

air

hangat.
10. Kaji

lingkungan

dan peralatan yang


menyebabkan

tekanan.
Hambatan Mobilitas fisik
berhubungan dengan

NOC :

NIC :

Joint

defometas skletal

Movement

: Exercise

Active.

therapy

ambulation

Mobility Level.

1. Monitoring

vital

sign

Self care : ADLs.

sebelm/sesudah

Transfer performance

dan lihat respon pasien

Setelah

dilakukan

tindakan

latihan

saat latihan.
2. Konsultasikan

keperawatan

dengan

selama.gangguan mobilitas

terapi

fisik

tentang

fisik teratasi dengan kriteria

rencana ambulasi sesuai

hasil:

dengan kebutuhan.
klien
meningkat 3. Bantu
menggunakan
dalam aktivitas fisik

untuk

1. Klien

2. Mengerti tujuan dari


peningkatan mobilitas
3. Memverbalisasikan
perasaan

dalam

meningkatkan

tongkat

saat berjalan dan cegah


terhadap cedera.
4. Ajarkan

pasien

atau

tenaga

kesehatan

lain

tentang teknik ambulasi.

dan 5. Kaji kemampuan pasien


dalam mobilisasi.
kemampuan berpindah
kekuatan

4. Memperagakan

6. Latih

pasien

penggunaan alat Bantu

pemenuhan

untuk

ADLs

(walker)

mobilisasi

dalam

kebutuhan

secara

mandiri

sesuai kemampuan.
7. Dampingi

dan

Bantu

pasien saat mobilisasi


dan

bantu

penuhi

kebutuhan ADLs ps.


8. Berikan alat Bantu jika
klien memerlukan.
9. Ajarkan

pasien

bagaimana
posisi

dan

merubah
berikan

Gangguan citra tubuh

bantuan jika diperlukan


NIC :

NOC:

berhubungan dengan

Body image

perubahan dan

Self esteem

ketergantungan fisik serta

Setelah

psikologis yang di

keperawatan

akibatkan penyakit kronik

gangguan body image

dilakukan

Body

image

enhancement
tindakan 1. Kaji secara verbal dan

selama

nonverbal respon klien


terhadap tubuhnya.

pasien teratasi dengan kriteria 2. Monitor

frekuensi

mengkritik dirinya.

hasil:

3. Jelaskan

1. Body image positif

tentang

pengobatan, perawatan,

2. Mampu
mengidentifikasi

kemajuan

dan

kekuatan personal.

prognosis penyakit.
4. Dorong

3. Mendiskripsikan

klien

secara

faktual

mengungkapkan

perubahan

fungsi

perasaannya.
5. Identifikasi

tubuh.

pengurangan

4. Mempertahankan

arti
melalui

pemakaian alat bantu.

interaksi sosial

6. Fasilitasi

kontak

dengan individu lain


Keletihan berhubungan

dalam kelompok kecil


NIC :

NOC:

dengan peningkatan

Activity Tollerance

Energy Management

aktivitas penyakit, rasa

Energy Conservation

nyeri, depresi

Nutritional

Status:

dilakukan

keperawatan
kelelahan

tindakan

aktivitas

(takikardi,

disritmia, dispneu,

teratasi

diaphoresis, pucat,

selama
pasien

respon

kardiorespirasi
terhadap

Energy
Setelah

1. Monitor

dengan kriteria hasil:


1. Kemampuan aktivitas
adekuat
2. Mempertahankan

tekanan
hemodinamik

dan

jumlah respirasi).
2. Monitor dan catat

nutrisi adekuat

pola

3. Keseimbangan

jumlah

tidur pasien.

aktivitas dan istirahat


4. Menggunakan

dan

tehnik

energi konservasi

3. Monitor

ketidaknyamanan
atau nyeri selama

5. Mempertahankan

bergerak

interaksi sosial

aktivitas.

6. Mengidentifikasi

dan

4. Monitor

faktor-faktor fisik dan


psikologis

lokasi

yang

intake

nutrisi.
5. Monitor pemberian

menyebabkan

dan efek samping

kelelahan

obat depresi.

7. Mempertahankan
kemampuan
konsentrasi

6. Instruksikan
untuk

pada

pasien

untuk

mencatat

tanda-

tanda

gejala

dan

kelelahan.
7. Ajarkan tehnik dan
manajemen
aktivitas

untuk

mencegah
kelelahan.
8. Jelaskan
pasien

pada
hubungan

kelelahan

dengan

proses penyakit.
9. Kolaborasi dengan
ahli

gizi

tentang

cara meningkatkan
intake

makanan

tinggi energi.
10. Dorong pasien dan
keluarga
mengekspresikan

perasaannya.
11. Catat aktivitas yang
dapat
meningkatkan
kelelahan.
12. Anjurkan

pasien

melakukan

yang

meningkatkan
relaksasi
(membaca,
mendengarkan
musik).
13. Tingkatkan
pembatasan bedrest
dan aktivitas.
14. Batasi

stimulasi

lingkungan

untuk

memfasilitasi
relaksasi
D. PENATALAKSANAAN : TINDAKAN KRITIS
Tindakan Keperawatan di lakuakan sesuai dengan intervensi yang telah di buat.
E. EVALUASI
1. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik
nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan), melaporkan bahwa nyeri
berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri serta mampu mengenali nyeri
(skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri).
2. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang ditandai dengan tanda vital dalam
rentang normal serta tidak mengalami gangguan tidur.
3. Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi, elastisitas, temperatur, hidrasi,
pigmentasi), tidak ada luka/lesi pada kulit, perfusi jaringan baik.
4. Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya
sedera berulang serta mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban
kulit dan perawatan alami.

5. Meningkat dalam aktivitas fisik dan mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas
6. Body image positif serta mampu mengidentifikasi kekuatan personal.
7. Kemampuan aktivitas adekuat.

Daftar Pustaka
Bruner and Sudarth, (2002) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8, Volume 2. Jakarta:
EGC

Price and Wilson, (2006) Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 6, volume 1.
Jakarta: EGC
Underwood, (1996) Patologi umum dan sistematik. Edisi 2, volume 2. Jakarta: EGC
Carpenito and Moyet, (2007). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi 10. Jakarta: EGC
Nanda Internasional. 2012. Diagnosis Keperawatan. Jakarta:EGC

Anda mungkin juga menyukai