Konsep Dasar Penyakit Sle Fix
Konsep Dasar Penyakit Sle Fix
A. DEFINISI
Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES) adalah
penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya
perubahan sistem imun, SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok
penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang
mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks.
B. EPIDEMIOLOGI
Dalam 30 tahun terakhir, SLE telah menjadi salah satu penyakit reumatik utama
dunia. SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa negro, cina dan
mungkin juga filipina. Penyakit ini dapat ditemukan pada berbagai usia, tapi lebih sering
terjadi pada usia 15-40 tahun.
C. ETIOLOGI
Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Diduga faktor genetik, infeksi dan
lingkungan ikut berperan pada patofisiologi Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan
untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan reaksi
imunologi ini akan menghasilkan antibodi secara terus menerus. Antibody ini juga berperan
dalam pembentukan kompleks imun sehingga mencetuskan penyakit inflamasi imun
sistemik dengan kerusakan multiorgan.
D. FAKTOR PREDISPOSISI
Paling sedikit 5% dari penderita SLE disertai riwayat keluarga yang juga menderita
kelainan sama. Dugaan adanya faktor genetik serta lingkungan sangat penting dalam
timbulnya kelainan baik klinis maupun serologis.
1. Faktor Genetik:
Penelitian genetik terutama yang menyangkut HLA tidak dapat memberikan
kepastian adanya hubungan antara HLA A/B/C dengan SLE, akan tetapi HLA DW2
dan DW3 mungkin dapat merupakan faktor predisposisi.
Pada penderita SLE dijumpai peningkatan Ia - 715 serta defisiensi komplemen bila
dibandingkan dengan penderita bukan SLE.
2. Faktor lingkungan
Banyak fakta menunjukkan bahwa pada individu yang secara acak genetik sensitif,
beberapa stimulus lingkungan akan sangat mempengaruhi DNA, jaringan
imunoregulator atau keduanya sehingga dapat mengakibatkan pembentukan antibodi
terhadap inti sel.
Faktor stimulus ini antara lain infeksi virus, sinar ultra violet, paparan dengan
obat tertentu, dan sebagainya. dapat menjadi pencetus manifestasi SLE atau memperberat penyakit yang ada, seperti yang dikemukakan oleh beberapa peneliti:
a.
b.
c.
SLE dapat ditimbulkan oleh adanya respon imun yang abnormal terhadap suatu
infeksi virus.
Hampir sepertiga penderita SLE ditemukan antibodi terhadap inti sel yang rusak
akibat sinar ultra violet.
Beberapa obat tertentu dapat mepengaruhi / mengubah DNA sehingga merangsang
pembentukan antibodi terhadap inti sel (ANA). Lima belas sampai 70% penderita
yang menggunakan obat-obatan seperti hidralazin, prokainamid, metildopa,
isoniazid, klorpromazin, hidantoin, etosuksimid, trimetadion untuk jangka waktu
lama akan terbentuk antibodi anti inti sel (ANA).
3. Faktor hormonal
Dapat mempengaruhi gambaran klinis penderita SLE yang 90% wanita pada usia
produktif dan 30% penderita mengalami perburukan pada kehamilan.
E. PATOFISIOLOGI
Penyakit sistemik lupus eritematosus (SLE) tampaknya terjadi akibat tergantungnya
regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibody yang berlebihan.
Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara factor factor genetic,
hormonal ( sebagai mana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia
reproduktif) dan lingkungan ( cahaya matahari, luka bakar termal). Obat- obat tertentu
seperti hidralazin (Apresoline), prokainamid (Pronestyl), isoniazid, klorpromazin dan
beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut
terlibat dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibody diperkirakan terjadi akibat fungsi sel
T-superesor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan
jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya merangsang antibody
tambahan, dan siklus tersebut berulang kembali.
F. PATHWAYS
Factor internal
Genetic
Hormone
Factor eksternal
Makanan
Lingkungan
Obat
Produksi autoantibody
Antigen pd nukleoplasma
kardiovaskular
pe uptake kompleks
imun pd impa
Susunan saraf
pusat
Iskemia
miokard
Kejangkejang
Psikosis organik
Reaksi radang
sendi
ginjal
gg. fungsi
ginjal
Nodul rematoid
nyeri
halusinasi
Hati &limpa
Ikterus
limfadenopati
keletihan
hipersensitivitas
Sal. pencernaan
Deficit vol.
cairan
lesi
Ruam
Mual,
muntah &
diare
kulit
gg. motorik
& sensorik
Kerusakan
integritas
kulit
gg.
citra
tubuh
Kurangnya
pengetahuan
G. KLASIFIKASI
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus,
systemic lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
1. Discoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang
meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala,
telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan
karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta
hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005).
2. Systemic Lupus Erythematosus
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh
banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan
disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang
berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam
ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan
jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).
3. Lupus yang diinduksi oleh obat
Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat
yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak
terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan
protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk
kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et
al., 2000).
H. GEJALA KLINIS
1. Sistem Muskuloskeletal
Artralgia, artritis (sinovitis), pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika
bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
2. Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang
pangkal hidung serta pipi.
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
3. Sistem kardiak
Perikarditis merupakan manifestasi kardiak.
4. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
5. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan
purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau
sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
6. Sistem perkemihan
Glomerulus renal yang biasanya terkena.
7. Sistem saraf
Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk
penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.
I. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorim yang dilakukan terhadap pasien SLE adalah:
1. Tes ANA (Anti Nuclear Antibody)
2. Tes Anti dsDNA (double stranded)
3. Tes Antibodi anti-S (Smith)
4. Tes Anti-RNP (Ribonukleoprotein), anti-ro/anti-SS-A, anti-La (antikoagulan lupus
anti SSB, dan antibodi antikardiolipin).
5. Komplemen C3, C4, dan CH50 (komplemen hemolitik)
6. Tes sel LE
7. Tes anti ssDNA (single stranded)
J. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Farmakologis
Penatalaksanaan Medikamentosa
Untuk SLE derajat Ringan:
a.Aspirin, dan obat anti inflamasi non steroid
b. Penambahan obat anti malaria, hanya bila ada ruam kulit dan lesi di mukosa
membrane
c.Bila gagal, dapat ditambah prednison 2,5-5 mg/hari. Dosis dapat diberikan secara
bertahap tiap 1-2 minggu sesuai kebutuhan
Untuk SLE derajat berat:
Pemberian steroid sistemik merupakan pilihan pertama dengan dosis sesuai kelainan
organ sasaran yang terkena.
Pengobatan Pada Keadaan Khusus:
a. Anemia Hemolitik
Prednison 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/kg BB/hari), dapat ditingkatkan sampai 100200 mg/hari bila dalam beberapa hari sampai 1 minggu belum ada perbaikan
b. Trombositopenia autoimun
Prednison 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/kg BB/hari). Bila tidak ada respon dalam 4
minggu, ditambahkan imunoglobulin intravena (IVIg) dengan dosis 0,4 mg/kg
BB/hari selama 5 hari berturut-turut
c. Perikarditis Ringan
Obat antiinflamasi non steroid atau anti malaria. Bila tidak efektif dapat diberikan
prednison 20-40 mg/hari
d. Perkarditis Berat
Diberikan prednison 1 mg/kg BB/hari
e. Miokarditis
Prednison 1 mg/kg BB/hari dan bila tidak efektif dapat dapat dikombinasikan
dengan siklofosfamid
f. Efusi Pleura
Prednison 15-40 mg/hari. Bila efusi masif, dilakukan pungsi pleura/drainase
g. Lupus Pneunomitis
1. Kelelahan bisa karena sakitnya atau penyakit lain, seperti anemi, demam
infeksi, gangguan hormonal, komplikasi pengobatan, atau stres emosional.
Upaya mengurangi kelelahan disamping obat ialah cukup istirahat, pembatasan
2.
3.
4.
5.
6.
7.
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
a. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala
sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri,
kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta
citra diri pasien.
b. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
c. Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan
vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan
bawah atau sisi lateral tangan.
d. Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi
hari.
e. Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang
pangkal hidung serta pipi.
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
f. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
g. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan
purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau
sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
h. Sistem Renal
Edema dan hematuria.
i. Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun
manifestasi SSP lainnya.
B. MASALAH KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi pada kulit
3. Hambatan Mobilitas fisik berhubungan dengan defometas skletal
4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan dan ketergantungan fisik
serta psikologis yang di akibatkan penyakit kronik
5. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri, depresi
C. RENCANA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan
Rencana Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi
Nyeri akut berhubungan NOC :
NIC :
dengan
inflamasi
kerusakan jaringan
dan
Pain Level,
Paint management
pain control,
1. Lakukan
comfort level
nyeri
Setelah
dilakukan
tinfakan
pengkajian
secara
komprehensif termasuk
lokasi,
karakteristik,
durasi,
frekuensi,
kualitas
keperawatan
selama
1. Mampu
nyeri
mengontrol
dan
presipitasi.
penyebab 2. Observasi
nonverbal
mampu
(tahu
nyeri,
faktor
reaksi
dari
ketidaknyamanan.
menggunakan
tehnik
nonfarmakologi
pasien
dan
untuk 3. Bantu
keluarga untuk mencari
nyeri,
mengurangi
dan
mencari bantuan).
2. Melaporkan bahwa nyeri
menggunakan
nyeri).
intensitas,
dan
lingkungan
mempengaruhi
manajemen nyeri.
frekuensi
dukungan.
dengan 4. Kontrol
yang
berkurang
(skala,
menemukan
tanda
dapat
nyeri
dan
kebisingan.
5. Kurangi
faktor
vital
rentang normal.
6. Tidak
dalam
presipitasi nyeri.
6. Kaji tipe dan sumber
nyeri untuk menentukan
intervensi.
gangguan tidur
nyeri:
...
9. Tingkatkan istirahat.
10.
Berikan
tentang
informasi
nyeri
seperti
nyeri
akan
dari
prosedur.
11.
analgesik
NIC :
Pressure Management
pada kulit
Mucous Membranes
Setelah
dilakukan
keperawatan
kerusakan
1. Anjurkan
tindakan
selama..
integritas
untuk
menggunakan
kulit
pakaian
longgar.
hasil:
pasien
yang
2. Hindari
kerutan
bisa
3. Jaga
dipertahankan (sensasi,
kulit
elastisitas, temperatur,
hidrasi, pigmentasi)
2. Tidak
ada
luka/lesi
pada kulit.
kebersihan
agar
4. Mobilisasi
4. Menunjukkan
pasien
tetap
dua
jam
sekali.
5. Monitor kulit akan
pemahaman
dalam
adanya kemerahan .
dan
mencegah
terjadinya
sedera
berulang.
5. Mampu
minyak/baby
oil
melindungi
kulit
dan
mempertahankan
kelembaban kulit dan
perawatan alami
7. Monitor
dan
aktivitas
mobilisasi
pasien.
8. Monitor
status
nutrisi pasien.
9. Memandikan
pasien
sabun
dengan
dan
air
hangat.
10. Kaji
lingkungan
tekanan.
Hambatan Mobilitas fisik
berhubungan dengan
NOC :
NIC :
Joint
defometas skletal
Movement
: Exercise
Active.
therapy
ambulation
Mobility Level.
1. Monitoring
vital
sign
sebelm/sesudah
Transfer performance
Setelah
dilakukan
tindakan
latihan
saat latihan.
2. Konsultasikan
keperawatan
dengan
selama.gangguan mobilitas
terapi
fisik
tentang
hasil:
dengan kebutuhan.
klien
meningkat 3. Bantu
menggunakan
dalam aktivitas fisik
untuk
1. Klien
dalam
meningkatkan
tongkat
pasien
atau
tenaga
kesehatan
lain
4. Memperagakan
6. Latih
pasien
pemenuhan
untuk
ADLs
(walker)
mobilisasi
dalam
kebutuhan
secara
mandiri
sesuai kemampuan.
7. Dampingi
dan
Bantu
bantu
penuhi
pasien
bagaimana
posisi
dan
merubah
berikan
NOC:
berhubungan dengan
Body image
perubahan dan
Self esteem
Setelah
psikologis yang di
keperawatan
dilakukan
Body
image
enhancement
tindakan 1. Kaji secara verbal dan
selama
frekuensi
mengkritik dirinya.
hasil:
3. Jelaskan
tentang
pengobatan, perawatan,
2. Mampu
mengidentifikasi
kemajuan
dan
kekuatan personal.
prognosis penyakit.
4. Dorong
3. Mendiskripsikan
klien
secara
faktual
mengungkapkan
perubahan
fungsi
perasaannya.
5. Identifikasi
tubuh.
pengurangan
4. Mempertahankan
arti
melalui
interaksi sosial
6. Fasilitasi
kontak
NOC:
dengan peningkatan
Activity Tollerance
Energy Management
Energy Conservation
nyeri, depresi
Nutritional
Status:
dilakukan
keperawatan
kelelahan
tindakan
aktivitas
(takikardi,
disritmia, dispneu,
teratasi
diaphoresis, pucat,
selama
pasien
respon
kardiorespirasi
terhadap
Energy
Setelah
1. Monitor
tekanan
hemodinamik
dan
jumlah respirasi).
2. Monitor dan catat
nutrisi adekuat
pola
3. Keseimbangan
jumlah
tidur pasien.
dan
tehnik
energi konservasi
3. Monitor
ketidaknyamanan
atau nyeri selama
5. Mempertahankan
bergerak
interaksi sosial
aktivitas.
6. Mengidentifikasi
dan
4. Monitor
lokasi
yang
intake
nutrisi.
5. Monitor pemberian
menyebabkan
kelelahan
obat depresi.
7. Mempertahankan
kemampuan
konsentrasi
6. Instruksikan
untuk
pada
pasien
untuk
mencatat
tanda-
tanda
gejala
dan
kelelahan.
7. Ajarkan tehnik dan
manajemen
aktivitas
untuk
mencegah
kelelahan.
8. Jelaskan
pasien
pada
hubungan
kelelahan
dengan
proses penyakit.
9. Kolaborasi dengan
ahli
gizi
tentang
cara meningkatkan
intake
makanan
tinggi energi.
10. Dorong pasien dan
keluarga
mengekspresikan
perasaannya.
11. Catat aktivitas yang
dapat
meningkatkan
kelelahan.
12. Anjurkan
pasien
melakukan
yang
meningkatkan
relaksasi
(membaca,
mendengarkan
musik).
13. Tingkatkan
pembatasan bedrest
dan aktivitas.
14. Batasi
stimulasi
lingkungan
untuk
memfasilitasi
relaksasi
D. PENATALAKSANAAN : TINDAKAN KRITIS
Tindakan Keperawatan di lakuakan sesuai dengan intervensi yang telah di buat.
E. EVALUASI
1. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik
nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan), melaporkan bahwa nyeri
berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri serta mampu mengenali nyeri
(skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri).
2. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang ditandai dengan tanda vital dalam
rentang normal serta tidak mengalami gangguan tidur.
3. Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi, elastisitas, temperatur, hidrasi,
pigmentasi), tidak ada luka/lesi pada kulit, perfusi jaringan baik.
4. Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya
sedera berulang serta mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban
kulit dan perawatan alami.
5. Meningkat dalam aktivitas fisik dan mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas
6. Body image positif serta mampu mengidentifikasi kekuatan personal.
7. Kemampuan aktivitas adekuat.
Daftar Pustaka
Bruner and Sudarth, (2002) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8, Volume 2. Jakarta:
EGC
Price and Wilson, (2006) Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 6, volume 1.
Jakarta: EGC
Underwood, (1996) Patologi umum dan sistematik. Edisi 2, volume 2. Jakarta: EGC
Carpenito and Moyet, (2007). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi 10. Jakarta: EGC
Nanda Internasional. 2012. Diagnosis Keperawatan. Jakarta:EGC