Anda di halaman 1dari 5

Jakarta, 9 Maret 2015

Robohnya Rupiah Kami1


Selama pekan lalu ketika kurs rupiah melemah melewati Rp13.000 per dollar banyak yang bertanya kepada
saya -- termasuk melalui sosial media -- tentang rupiah dan dampaknya terhadap perekonomian dan prospek
investasi pasar modal Indonesia.
Apakah ada bukti bila pelemahan rupiah itu karena penguatan dollar?
Apakah pelemahan rupiah terkait keputusan BI menurunkan bunga?
Apakah posisi rupiah saat ini kompetitif untuk memacu ekspor? Bagaimana dampak inflasi?
Hingga kapan rupiah melemah, dan bagaimana proyeksi akhir tahun?
Mengapa IHSG terus mencapai rekor baru justru ketika rupiah terus melemah?
Memasuki Era Penguatan Dollar
Seperti terlihat pada tabel, kurs rupiah pada akhir
pekan lalu berada pada angka 12.976 per dollar. Ini
berarti rupiah mengalami pelemahan sebesar 4,5%
selama tahun berjalan dan 11,5% setahun terakhir.
Sementara itu, pada periode yang sama index
dollar global (DXY) menguat masing-masing
sebesar 8,1% dan 22,5%. DXY ini dibentuk
berdasarkan sejumlah mata uang: EUR (57,6%), JPY
(13,6%), GBP (11,9%), CAD (9,1%), SEK (4,2%) dan
CHF (3,6%).
Seperti terlihat semua mata uang pembentuk DXY
sepanjang tahun berjalan dan setahun terakhir
mengalami pelemahan drastis. Setahun terakhir
EUR jatuh 21,8% dan JPY 14,7%. Sementara
kejatuhan RUB Russia mencerminkan kekuatiran
resesi menyusul anjloknya harga minyak mentah
yang menjadi komoditas ekpor utama.
Berdasarkan tabel diatas, memang kuat dugaan pelemahan rupiah terkait penguatan dollar yang telah kami
proyeksikan melalui Catatan Akhir Tahun 2014. Trend penguatan dollar terutama terkait dengan prospek
ekonomi AS yang jauh lebih cerah dibanding Jepang dan Eropa. Hal ini meningkatkan permintaan dollar global
untuk berinvestasi di AS. Dollar diduga semakin menguat apabila the Fed melakukan pengetatan dengan
meningkatkan suku bunga. Sementara di lain sisi, bank sentral Jepang dan Eropa menggelar kebijakan moneter
yang sangat longgar sehingga memicu capital flows ke AS dan negara berkembang.

Mohon maaf kepada A. A. Navis sebagai pengarang kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami

Walau sudah dimuat pekan lalu, kami muat lagi perkembangan aksi quantiative easing yang dilakukan oleh
bank sentral AS, Jepang dan ECB yang ditunjukkan oleh peningkatan posisi asset bank sentral. Kami menyakini
kurs Jepang akan melemah terkait rasio asset BoJ terhadap GDP yang jauh lebih besar ketimbang the Fed dan
ECB. Interpretasinya Jepang menciptakan yen yang jauh lebih banyak dibandingkan yang dibutuhkan sektor
riil di Jepang. Kelebihan Yen tersebut akan diekspor seperti tercermin pada aksi pembelian institusi Jepang
untuk perusahaan dan surat berharga negara sekawasan selain juga pinjaman dalam bentuk yen.

Peraga diatas juga mengindikasikan sejak tahun 2012, ECB sebetulnya menggelar quantitative tightening
yang bisa jadi merefleksikan kesulitan melakukan monetary easing. Sejak bulan lalu, telah diputuskan ECB
mulai Maret ini akan menggelar quantitative easing senilai $1,2 triliun untuk menghindari memburuknya risiko
deflasi di kawasan Euro. Tambahan likuiditas ini yang menyebabkan yield obligasi negara di kawasan Euro, dan
juga T-bond AS, terjaga rendah.
Pengendalian Defisit Neraca Berjalan Jadi Penentu
Dampak penguatan dollar terhadap negara berkembang, termasuk rupiah, sangat dipengaruhi oleh daya saing
perekonomian yang ditunjukkan oleh posisi defisit neraca berjalan. Negara yang mengalami defisit neraca
berjalan, seperti Indonesia, jelas membutuhkan dana pembiayaan defisit. Mata uangnya akan cenderung
melemah.
Defisit neraca berjalan sendiri menunjukkan permintaan valas yang lebih besar ketimbang penawaran valas.
Jadi sewajarnya mata uang bakal melemah terutama bila investor asing enggan membiayai melalui pembelian
surat berharga dan investasi (capital account surplus). Akibatnya pembiayaan defisit dilakukan dengan
kombinasi melepas cadangan devisa, menjual asset negara (privatisasi) dan menerbitkan surat utang lebih
banyak.
Seperti terlihat pada tabel diatas, Lira Turki melemah relatif paling tajam dibanding negara berkembang
lainnya. Turki mengalami defisit sekitar 5% GDP atau sekitar dua kali lipat Indonesia. Relatif stabilnya mata
uang PHP dan THB terkait posisi neraca berjalan kedua negara jiran itu yang surplus. Jadi bila kita menginginkan
mata uang kita stabil atau menguat, maka kuatkan tekad untuk menjadi negara yang produktif dan kompetitif.
Ingat saja, selama 5 tahun terakhir kita mengalami lonjakan defisit neraca minyak yang memerlukan
pembiayaan dollar.
Rupiah Menguat Terhadap Euro dan Yen
Sejalan dengan tabel diatas, posisi kurs rupiah terhadap mata uang selain dollar (cross currency) mengalami
perbedaan kinerja. Seperti terlihat pada peraga dibawah ini rupiah mengalami pelemahan terhadap CNY dan
THB dengan prosentase yang relatif sebanding dengan pelemahan terhadap dollar. Di lain sisi rupiah
mengalami penguatan terhadap yen (sekitar 3%) dan Euro (sekitar 10%).

Saya pribadi selalu mencermati pergerakan rupiah terhadap euro karena berkepentingan untuk membiayai
kuliah anak sulung saya di Jerman. Seingat saya dulu harus menyediakan euro dengan harga sekitar 16 ribuan
rupiah. Sekarang sudah membaik berkisar 14 ribuan.
Rupiah Secara Teoretis Kompetitif
Yang dimaksud kompetitif artinya posisi rupiah yang memberi manfaat untuk memacu ekspor atau mengurangi
impor sehingga memacu surplus perdagangan. Mengingat, seperti peraga diatas, rupiah dapat melemah
dengan sejumlah mata uang dan menguat dengan yang lainnya, maka diperlukan suatu ukuran untuk menilai
posisi rupiah secara keseluruhan relatif terhadap mata uang mitra datang.
Bank for Internasional Settlement (semacam bank sentral untuk para bank sentral) secara rutin
mempublikasikan real effective exchange rate index (REER index). Indeks ini pada dasarnya menggabungkan
berbagai mata uang suatu negara dengan para mitra dagang utama dan lalu disesuaikan dengan perbedaan
tingkat inflasi antar negara tersebut. REER index dianggap kompetitif bila dibawah 100. Bayangkan bila rupiah
melemah 20% sementara tingkat inflasi Indonesia terhadap mitra dagang bisa dijaga lebih rendah. Produk
ekspor Indonesia akan lebih kompetitif tidak hanya karena rupiah terdepresiasi, tetapi karena upah pekerja -yang cenderung mengikuti inflasi juga lebih murah.
Peraga berikut menyajikan perbandingan REER index antar negara per Januari 2015. Terlihat sewaktu kurs
nominal rupiah saat itu mencapai $12.621 per dollar, indeks REER untuk rupiah sebesar 91,9. Secara teoretis
rupiah dapat dibilang kompetitif. Tidak heran bila pada sejumlah produk ekspor barang manufaktur yang padat
karya, Indonesia mencetak surplus terhadap sejumlah mitra datang, termasuk Amerika Serikat. Pelemahan
rupiah dan upah pekerja yang relatif lebih murah telah meningkatkan daya saing Indonesia.
Dapat dilihat posisi ekstrim RUB Russia yang dengan kejatuhan menjadikan negara itu sebetulnya kompetitif.
Bila Anda berkunjung ke Moscow, semestinya daya beli rupiah lebih kuat untuk dapat digunakan berbelanja.
Di lain sisi CNY menjadi mata uang yang relatif mahal. Tentunya beruntung investor yang sejak dulu
menyimpan asset dalam bentuk CNY dan mulai membelanjakannya baik untuk membeli asset rupiah.

Walau secara REER indeks rupiah dinilai kompetitif, namun neraca perdagangan dan neraca berjalan Indonesia
secara keseluruhan masih defisit. Hal ini terjadi karena Indonesia masih menggantungkan diri pada komoditas
primer, seperti batu-bara, CPO dan karet, yang permintaannya tetap menurun sejalan dengan perlambatan
ekonomi global. Itu sebabnya mendesak bagi pemerintah Presiden Jokowi untuk memacu revitalisasi industri
dan program hilirisasi yang penting untuk meningkatkan nilai tambah ekspor. Untuk mendukung kebijakan ini,
pemerintah harus mempercepat penyediaan infrastruktur dasar yang menurunkan biaya logistik. Dukungan
pembiayaan dengan suku bunga yang lebih terjangkau memang diperlukan.
BI Kembali Fokus Pertumbuhan
Pekan lalu juga beredar berita pelemahan rupiah terkait keputusan BI menurunkan suku bunga. Kami duga
argumen tersebut tidak sepenuhnya tepat. Kami menilai selama ini BI rate sebagai policy rate sudah terbilang
tinggi mengingat lebih besar ketimbang proyeksi pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Overnight rate yang
mencerminkan market rate justru lebih rendah ketimbang BI rate yang menunjukkan likuiditas lebih longgar.
Rupiah malah diproyeksikan secara struktural akan terus melemah sekira BI tidak mendukung pertumbuhan.
Bank Indonesia sendiri berulang kali menegaskan bahwa mereka tidak menargetkan posisi rupiah tertentu.
Melainkan berusaha meminimumkan volatilitas. Kami menduga Bank Indonesia bakal cenderung
memposisikan pergerakan rupiah sebanding dengan mata uang negara kawasan.
Perubahan fokus BI dari stabilisasi menjadi pertumbuhan juga ditopang oleh penurunan drastis defisit neraca
minyak. Saya senang membaca pernyataan Menkeu yang akan menggelar banyak kebijakan untuk
menurunkan defisit neraca jasa setelah sebelumnya memangkas subsidi BBM yang berguna untuk menekan
defisit neraca perdagangan. Bila kebijakan ini berhasil maka pemulihan defisit neraca berjalan akan lebih cepat.
Dampak inflasi pelemahan rupiah kami nilai terbatas bila mencermati penurunan harga komoditas primer dan
energi global termasuk juga beras. Kami duga inflasi tahun ini dapat menurun sekitar 5%.
Proyeksi Rupiah Akhir Tahun 13.000
Tabel Bloomberg dibawah ini menyajikan proyeksi kurs rupiah untuk beberapa triwulan dan tahun ke depan.
Terlihat pola umum bahwa median forecast kurs rupiah akan tetap melemah pada kisaran Rp13.000 per dollar
untuk kemudian penguat. Pola ini mengindikasikan kepercayaan bahwa kondisi defisit neraca berjalan
Indonesia akan membaik sejalan dengan efektivitas kebijakan pemerintah.

Mencermati proyeksi diatas, kami menyarankan investor mengambil strategi membeli dollar khususnya bagi
mereka yang memiliki posisi kewajiban dalam bentuk dollar. Strategi ini layak dipertimbangkan untuk
mengantisipasi sekira pemerintah dinilai kurang berhasil dalam memacu ekspor non migas. Bagi yang tidak
memiliki kepentingan, tentunya lebih disarankan tetap pada berinvestasi pada asset rupiah yang memberikan
imbal hasil nominal yang lebih tinggi ketimbang dollar.
Asing Tetap Optimis
Arus masuk dana investor baik di
dalam SUN dan saham nampak
terus terjadi. Investor asing tetap
optimis
dengan
prospek
pertumbuhan ekonomi Indonesia
yang tahun ini diproyeksikan
berkisar 5,4% hingga 5,7%.
Seperti terlihat, selama tahun berjalan pembelian bersih investor asing pada saham mencapai $918 juta yang
turun memacu IHSG naik 5,51%. Memang terjadi koreksi pada pasar obligasi negara yang kami lihat lebih
dipengaruhi kenaikan yield T-bond AS.

Salam
Budi Hikmat
Chief Economist and Director for Investor Relation

Anda mungkin juga menyukai