Anda di halaman 1dari 29

ABU SAYYAF GROUP DAN FAKTOR-FAKTOR

PENYEBAB KEMUNCULANNYA
PENDEKATAN STRATEGIC-RELATIONAL DAN
RATIONAL-CHOICE

Diajukan sebagai Tugas Mata Kuliah Sejarah Kemunculan Terorisme

Oleh :
Anggalia Putri Permatasari
Grawas Suharto
Sylvia Windya Laksmi
Vitri Mayastuti
Yelli Effrisa

1006743424
10067
1006797534
1006743821
1006797553

Program Studi Pascasarjana


Kajian Terorisme dalam Keamanan Internasional
Departemen Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia
2010

TINJAUAN RASIONALITAS ABU SAYYAF GROUP (ASG)


DALAM MENJALANKAN METODE TEROR
DI FILIPINA SELATAN

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Abu Sayyaf Group (ASG) adalah kelompok bersenjata Islam yang paling kecil namun
paling menakutkan di Filipina.1 Selain menjadi ancaman keamanan internal
Filipina, keterkaitannya dengan Al-Qaeda dan Jemaah Islamiyah (JI) menjadikannya
ancaman bagi keamanan regional dan global sekaligus (ibid.). ASG didirikan di pulau
Basilan sekitar tahun 1991 di bawah kepemimpinan Abdurazak Janjalani dan
ditengarai merupakan bentukan salah satu letnan Osama Bin Laden, Jamal Khalifa.2
Pada awal pendiriannya, ASG menyatakan tujuannya untuk menghilangkan
seluruh pengaruh Kristen di Filipina Selatan dan menciptakan negara Islam
Mindanao. Meskipun tujuan organisasi ini dapat dikatakan bersifat lokal, pemimpin
ASG mengaitkan tujuan pendirian negara Islam ini dengan tujuan yang lebih luas
dalam konteks regional dan global, yaitu supremasi Islam di seluruh dunia yang
berusaha dicapai melalui perjuangan bersenjata3.
ASG merupakan kelompok separatis Islam yang ide-idenya telah muncul sejak + 30
tahun yang lalu (pertengahan tahun 1970an).4 Kelompok ini beroperasi di Filipina
Selatan terutama di Basilan dan Kepulauan Sulu. Tujuan utama dari ASG ini adalah
untuk mempromosikan pembentukan sebuah negara Islam merdeka

di Mindanao

Barat dan Kepulauan Sulu yang merupakan kawasan utama di Filipina Selatan yang
mayoritas didiami oleh muslim. Secara umum, ASG menggunakan metode-metode
teror untuk keuntungan finansial. Namun, dalam beberapa kasus pengeboman
belakangan ini, ASG tampak menjadi semakin radikal dan mulai memiliki agendaagenda politik.6 Dalam perkembangannya, ASG memiliki berbagai nama lain seperti

1 Rommel C.Banloi, The Abu Sayyaf Group and Terrorism in the Southern Philippines Seven Years
After 9/11 : Threat and Response, PIPVTR Monograph No. 2 September 2008, 6.
2 Dana R. Dillon and Paolo Pasicolan, Southeast Asia and the War Against Terrorism, The Heritage
Foundation Backgrounder No. 1496 October 23, 2001, 5.
3 Peter Chalk et al, The Evolving Terrorist Threat to Southeast Asi. 2009, dalam. http://www.rand.org,
diakses tanggal 13 November 2010, 44.
4 Http://www.terroristplanet.com/abusayyafgroup.htm, diakses tanggal 15 November 2010
5 Http://www.nctc.gov/site/groups/asg.html, diakses tanggal 15 November 2010
6 Http://www.fas.org/irp/world/para/asg.htm, diakses tanggal 13 November 2010

Al-Harakat Al-Islamiyya, Al-Harakat-ul Al-Islamiyya, Al-Harakatul-Islamia, AlHarakat Al-Aslamiya, Abou Sayaf Armed Band, Abou Sayyef Group dan Mujahideen
Commando Freedom Fighters, namun yang paling dikenal adalah sebutan ASG.
Kelompok teroris ASG ini sangat menarik untuk dibahas karena ASG dengan
keunikannya sebagai kelompok kecil namun sangat radikal dan kuat atas dukungan
masyarakat lokal, secara utuh menggambarkan transformasi dari sebuah kelompok
kriminal menjadi organisasi teroris dan memandang terorisme sebagai sarana yang
paling efektif dan rasional dalam mencapai tujuan-tujuannya.
1.2. Perumusan Masalah
Makalah ini ditulis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:
1.

Bagaimanakah sejarah kemunculan ASG dan struktur, kapabilitas,


dan keterhubungannya dengan kelompok-kelompok teror lain?

2.

Faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan kemunculan ASG?

3.

Mengapa gerakan separatis ASG menggunakan metode teror dalam


upaya mencapai tujuannya?

4.

Bagaimanakah strategi kontraterorisme pemerintah Filipina

untuk

mengatasi ASG?

1.3. Sejarah Kemunculan, Struktur Organisasi, Kapabilitas, dan Keterhubungan


ASG dengan Kelompok-Kelompok Teroris Lain
1.3.1. Sekilas Sejarah ASG
Menurut Khadaffy Janjalani, ASG dibentuk pada tahun 1993 saat ASG memutuskan
untuk berpisah dari MNLF secara resmi dan menjadi satu kelompok mujahidin baru.
Sebelum ASG dibentuk secara resmi, pada tahun 1990, Janjalani telah terlebih
dahulu membentuk Mujahideed Commando Freedom Fighters (MCFF) untuk
mengobarkan semangat jihad melawan pemerintah Filiphina dengan tujuan akhir
membentuk sebuah Negara Islam merdeka. MCFF ini kemudian disebut dengan ASG
setelah banyak mendapat pengikut di Basilan, Sulu, Tawi-Tawi dan Zamboanga.

Selain MCFF, Jamaa Tableegh yang dibentuk di Basilan tahun 1980an oleh
Abdurajak Janjalani juga dianggap sebagai perintis lahirnya ASG.7
Sebagian besar pemimpin ASG berasal dari Afghanistan selama invasi Sovyet dan
merupakan tokoh-tokoh utama dari ajaran Islam radikal. Kelompok ini berpisah dari
MNLF pada awal 1990an di bawah kepemimpinan Abdurajak Abubakar Janjalani,
seorang muslim Filipina yang berjuang dalam brigade Islam di Afghanistan selama
invasi Sovyet. Namun, ia dibunuh dalam sebuah perselisihan dengan polisi Filipina
pada Desember 1998. Kemudian Khadaffy Janjalani (adik dari Abdurajak Abubakar
Janjalani) menggantikannya memimpin kelompok tersebut dari tahun 1998 hingga
2006.8 Mohammed Jamal Khalifarab yang merupakan pebisnis kaya dari Saudi dan
menetap di Filipina merupakan sosok penting yang memberikan bantuan finansial
dan organisasi pada awal-awal pembentukan ASG. Setelah tahun 2006, ASG
mengalami krisis kepemimpinan yang cukup berat. Pada bulan September 2006,
Khadaffy Janjalani terbunuh dalam sebuah pertempuran dengan tentara di Pulau
Jolo. Pada Januari 2007, AS juga mem-back up tentara Filipina untuk membunuh
Abu Sulaiman, seorang komando senior ASG. Kepemimpinan ASG pun kemudian
digantikan oleh seorang sosok senior yang bernama Radullan Sahiron pada Januari
2007.9

1.3.2. Transformasi ASG


Sebelum 9/11, pemerintah Filipina memberikan label ASG murni sebagai sebuah
kelompok bandit sama halnya seperti kelompok-kelompok tulisanes yang merampas
harta orang-orang Spanyol di masa kolonial Spanyol. Bahkan, Presiden Gloria Arroyo
mendefinisikan ASG sebagai sebuah kelompok kriminal tanpa ideologi apapun.
Namun setelah 9/11, ASG dikenal sebagai sebuah kelompok teroris, bahkan AS
menyatakan ASG sebagai kelompok yang termasuk ke dalam kelompok teroris
internasional dan merupakan kelompok teroris utama di Asia Tenggara. Untuk
menghadapi ASG, AS ikut memberikan bantuan finansial dan teknikal kepada
pemerintah Filipina. Namun komitmen besar ASG untuk melakukan cara-cara terror
dalam mengembangkan dan mencapai agenda politik radikalnya telah membuat ASG
7 Rommel C. Banlaoi, 2008, Al Harakatul Al Islamiyyah; Essays on the Abu Sayyaf Group, Filiphina :
Philippine Institute for Political Violence and Terrorism Research (PIPVTR), 13.
8 Http://www.fas.org/irp/world/para/asg.htm, diakses tanggal 13 November 2010
9
Http://www.cfr.org/publication/9235/abu_sayyaf_group_philippines_islamist_separatists.html,
diakses tanggal 13 November 2010

menjadi ancaman berat bagi keamanan internal Filipina. Serta keterkaitannya


dengan Jemaah Islamiyah (JI) dan Al-Qaeda bahkan menjadikan ASG sebagai
ancaman bagi keamanan regional dan glonal. ASG muncul kembali sebagai sebuah
kelompok

teroris yang

sangat penting diperhitungkan

sebagai

lawan dari

pemerintahan Filipina, AS dan sekutu-sekutunya di Asia Tenggara.10


Yang menarik dari ASG adalah terjadinya evolusi dari kelompok ini dimana
sebelumnya ASG dianggap murni sebagai kelompok bandit yang melakukan tindakan
kriminal terutama kidnap-for-ransom activities (KRAs), namun berbagai pengeboman
yang dilakukannya pada tahun 2004 dan 2005 membuat ASG lebih dilihat sebagai
sebuah kelompok terorisme daripada murni sekedar bandit. Transformasi ASG
menjadi sebuah kelompok teroris tidak terlepas dari munculnya ideologi dalam
kelompok tersebut. Pada dasarnya ideologi ASG sangat banyak dipengaruhi oleh
agama dan pemikiran-pemikiran politik Janjalani. Pengikut ASG tidak hanya
mengakui Janjalani sebagai pemimpin mereka tetapi juga mengakui ideologinya
dimana ideologi Janjalani ini tentu akan sangat dipengaruhi oleh latar belakang dan
berbagai aspek kehidupan muslim di Filipina dimana Janjalani menjalani
kehidupannya. Tahun 1970-1980an, Janjalani pergi ke negara muslim lain dan
banyak belajar mengenai konsep jihad. Dengan berbekal ideologi Islam radikal yang
diperolehnya, Janjalani kembali ke Basilan pada tahun 1984, mengajar di banyak
mesjid dan akhirnya secara resmi mendirikan ASG. Tahun 1988, Janjalani berangkat
ke Peshawar, Pakistan, dan mempelajari mengenai revolusi Islam di Iran. Pada
tahun yang sama, Janjalani juga sering bertemu dengan Osama bin Laden yang juga
ikut membantunya mendirikan ASG. Fokus utama Janjalani dalam mendirikan ASG
adalah membentuk sebuah kelompok muslim mujahidin dengan komitmen Jihad FiSabil-lillah (berjuang atas nama Allah atau Islam). Sebelum ia meninggal pada
Desember 1998, Janjalani menyampaikan 8 khutbah yang kemudian dinggap sebagai
sumber utama dari pemikiran Islam radikal Janjalani dan saat ini lebih dikenal
dengan Islam Wahabi. Dalam analisanya terhadap masyarakat Filiphina, ajaran
Janjalani sangat peduli dengan ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat muslim.
Menurutnya, keadilan yang sesungguhnya hanya dapat terjadi dalam sebuah negara
yang murni Islam yang dibentuk melalui jihad karena Allah. Salah satu metode jihad

10

Banlaoi, Op.,Cit., Hal.7.


4

tersebut adalah dengan suicide terrorism seperti yang dilakukan oleh ASG pertama
kali pada tanggal 28 Februari 2004 di kapal Superferry 14.11
Selanjutnya, Khadaffy Janjalani berusaha keras untuk merubah ASG yang awalnya
murni sebagai kelompok bandit menjadi organisasi yang murni berupa gerakan
Islam. Dalam hal ini, terorisme digunakan sebagai sarana gerakan politik. Sejak
tahun 2004, kegiatan ASG tidak lagi didominasi KRAs namun beralih dengan aksiaksi teror yang brutal dimana semua aksi ini memperlihatkan ASG telah melakukan
transformasi dari semula murni sebagai kelompok bandit menjadi organisasi
terorisme modern yang beroperasi secara militer, politik dan ideologi untuk mencapai
agenda Islam radikalnya.12

1.3.3

ASG sebagai Kelompok Teroris Kecil yang Sangat Radikal dengan


Dukungan Masyarakat Lokal yang Besar

Dalam perkembangannya, ASG telah berhasil menarik perhatian masyarakat hingga


ke tingkat internasional, bahkan meskipun ASG tergolong kelompok teroris yang
kecil namun telah berhasil menunjukkan eksistensinya sehingga dicap sebagai salah
satu kelompok separatis Islam yang paling kecil namun terlihat sebagai kelompok
yang paling radikal di Asia.13 Hal ini terjadi karena dua faktor utama yaitu makin
meningkatnya serangan ASG untuk menunjukkan eksistensi kelompoknya dalam
dua dekade terakhir dan kedua karena keterkaitan ASG dengan beberapa kelompok
teroris lainnya seperti Al-Qaeda, JI (Jemaah Islamiyah), MILF (Moro Islamic
Liberation Front) dan lainnya.
Serangan ASG yang terbesar adalah serangan di kota Ipil di Mindanao pada bulan
April 1995, dilanjutkan serangan pada April 2000 yang menewaskan 21 orang
termasuk 10 turis barat di sebuah tempat wisata di Malaysia, pada May 2001
serangan ASG menewaskan 3 orang penduduk AS dan 17 orang Filipina di sebuah
tempat wisata di Palawan Filipina, termasuk beberapa wisatawan asing mengalami
cedera, pada bulan oktober 2002, ASG meledakkan bom di dekat markas militer
Filipina di Zamboanga dan menewaskan seorang staf AS, pada February 2004,
Ibid., Hal.48-49
Ibid., Hal.53
13 Http://www.globalsecurity.org/military/world/para/abusayyaf.htm, diakses tanggal 13 November
2010
11

12

Khadaffy Janjalani mengebom SuperFerry 14 di Teluk Manila dan menewaskan 132


orang, pada Maret 2004, pemerintah Filipina menahan seorang anggota ASG yang
melakukan pengeboman dengan target termasuk kedutaan AS di Manila, selain itu,
ASG juga mengaku bertanggung jawab atas pengeboman di Manila, Davao dan
General Santos pada hari valentine 2005 yang menewaskan 8 orang dan melukai
lebih dari 150 lainnya.14 Berbagai aksi ASG pun banyak dibantu oleh kelompok
teroris lain. Sebuah data menyatakan bahwa pada tahun 2006, Janjalani berpindah
ke Sulu dan bergabung dengan pendukung ASG setempat dan juga ikut menyediakan
tempat bagi anggota JI dari Indonesia, pada bulan Juli 2007, ASG dan MILF
melakukan penyerangan di Pulau Basilan menewaskan 14 orang, pada bulan
November 2007 sebuah bom motor yang meledak di luar gedung kongres Filipina
menewaskan seorang anggota kongres dan tiga staf lainnya, dan pada bulan Januari
2009, ASG membunuh tiga anggota palang merah internasional di Provinsi Sulu.15
Dari segi keanggotaan, tidak ada jumlah pasti mengenai kekuatan ASG karena
keanggotaannya overlap dengan anggota MILF, MNLF (salah satunya yaitu MBG;
Misuari Break Away Group), dan RSM (Rajah Solaiman Movement). Meskipun
dengan jumlah anggota yang kecil dan tidak pasti, namun ASG berhasil menjadi
kelompok muslim bersenjata yang kuat dengan adanya dukungan lokal yang yang
sangat besar. Dukungan lokal ini diperoleh dari pertemanan, persaudaraan dan
sebagainya.16
ASG secara fundamental merupakan jaringan teroris dengan keanggotaan yang
sangat fleksibel dari lingkungan sekitarnya termasuk dukungan dari para jihadist
dan penduduk lokal di Jolo dan Basilan. Sub-sub kelompok ASG juga melakukan
berbagai tindakan kriminal untuk memfasilitasi aksi-aksi terornya atau bahkan
untuk mempersiapkan perlawanan terhadap AFP. Setelah kematian Abdurajak
Janjalani dan Khadaffy Janjalani, ASG dipimpin oleh tokoh-tokoh yang tidak terlalu
kuat. Namun, beberapa nama yang dianggap sebagai keyleader setelah Khadaffy
antara lain Radullan Sahiron, Gumbahli Jumdail (aka Dr Abu), Isnilon Hapilon and
Yasir Igasan. Keanggotaan ASG terutama berasal dari kaum muda muslim Tausug
Filipina yang berasal dari Kepulauan Sulu, tetapi ASG banyak menarik perhatian
pemuda-pemuda muslim yang tidak memiki pekerjaan dari luar Filipina Selatan.

Http://www.fas.org/irp/world/para/asg.htm, diakses tanggal 13 November 2010


Http://www.nctc.gov/site/groups/asg.html, diakses tanggal 15 November 2010
16 Banlaoi., Op.Cit.,Hal.49
14

15

Pada dasarnya, ASG terdiri atas sukarelawan jihad yang berperang di Afghanistan.
Selain sebagai pemimpin yang kuat, Janjalani juga berhasil merekrut ratusan orang
yang berasal dari MNLF. ASG sendiri memiliki banyak kelompok afiliasi yang cukup
longgar, sebagian besar terorganisir dalam bentuk kelompok clan (berdasarkan garis
kekeluargaan) tradisional yang hingga saat ini berjumlah + 26 afiliasi. Sub-sub
kelompok ini terutama bermarkas di Pulau Jolo dan Basilan di Kepulauan Sulu. Pola
komando dari kelompok clan ini juga sangat sederhana dimana komando langsung
dipegang oleh ketua clan yang bersangkutan. Meskipun afiliasi-afiliasi tersebut
merupakan kelompok dengan jumlah kecil namun menjadi sumber kekuatan lokal
yang sangat vital bagi ASG. ASG banyak bertanggung jawab dalam hal perencanaan
dan serangan teroris dengan target yang cukup luas terutama pemerintah Filipina,
orang-orang kristen dan dunia barat. Dari tahun 2008 hingga saat ini, berbagai
serangan ASG pada umumnya lebih dimotivasi oleh keuntungan finansial daripada
sekedar tujuan politik, agama ataupun ideologi. Pendanaan (Funding) merupakan
hal yang sangat penting bagi ASG terutama untuk menjaga kapasitasnya dalam
menghadapi operasi counter-insurgency dari AFP, termasuk untuk mendanai
hubungan interaksinya dengan kelompok teroris lain seperti MILF, MNLF dan JI.17

1.3.4

Struktur ASG

Konfigurasi ASG saat ini bersifat terdisagregasi. Setelah kematian Khadafy dan Abu
Sulaiman, ASG kehilangan kohesi internalnya karena belum menemukan Emir baru
yang didukung oleh seluruh anggota organisasi. Berikut adalah bagan struktur
organisasi ASG pada awal masa pendiriannya:

1.3.5

Sumber: Armed Forces of the Philippines, Office of the Deputy Chief of Staff for Operations, 2002

Kapabilitas ASG

17 Http://www.ag.gov.au/agd/WWW/nationalsecurity.nsf/Page/What_Governments_are_doing_Listing
_of_Terrorism_Organisations_Abu_Sayyaf_Group, diakses tanggal 23 November 2010

Menurut sumber-sumber AFP, pada tahun 2008, kekuatan ASG berkisar di antara
100 orang militan hard-core dan 200-300 pengikut aktif, menurun dari 350 anggota
pada tahun 2005. Jumlah ini telah jauh berkurang dari kisaran 1.296 orang pada
pertengahan tahun 2000 (Chalk et al. 2009: 54). Meskipun demikian, rekrutmen dan
dukungan bagi kelompok ini sangatlah fleksibel dan didasarkan pada hubungan
kekeluargaan dan klan sehingga kekuatan ASG dapat berfluktuasi sesuai dengan
kondisi dan kebutuhkan. Biasanya, ketika pasukan pemerintah melakukan operasi
intensif, ASG cenderung menyebar dan bercampur dengan populasi lokal serta
kembali bersatu setelah tekanan tersebut usai. Strategi ini merupakan pilihan
strategis ASG dalam menanggapi tindakan kontraterorisme pemerintah Filipina.
Dengan demikian, kekuatan ASG bersifat relatif dan merupakan fungsi dari
kemampuannya untuk melebur di tengah masyarakat di sekitarnya.18

1.3.6

Basis, Pola Rekrutmen dan Radikalisasi

Anggota inti ASG sebagian besar berbasis di Zamboanga dan kepulauan Sulu
(khususnya Jolo dan Tawi-Tawi). Mereka bergerak dengan sangat cepat dengan
menggunakan speedboats yang terlalu cepat untuk dikejar oleh Angkatan Laut
Filipina. ASG diperkirakan memiliki jejaring logistik dan dukungan di Mindanao
Tengah, Davao, dan Manila.
Meskipun ideologi memainkan peran penting dalam konfigurasi ASG saat ini,
terutama pasca-upaya pembangkitan ASG sebagai kelompok teroris murni, ideologi
justru bukan merupakan hal penting dalam rekrutmen dan radikalisasi calong
anggota ASG. Dukungan terhadap ASG didasarkan pada hubungan kekeluargaan
dan klan serta tradisi penentangan yang kuat terhadap kewenangan luar. Secara
historis, jantung wilayah ASG dulunya adalah sebuah Kesultanan independen yang
berjuang melawan dominasi Spanyol sejak abad ke-16 hingga abad ke-19. Penduduk
lokal pulau tersebut memiliki keyakinan bahwa nenek moyang mereka tidak pernah
menyerah pada Manila. Sikap keras ini
mendapatkan legitimasi dan kredibilitas.

18

Chalk, Op. Cit., hal. 54-55.


8

dimanfaatkan oleh ASG untuk

1.3.7

Modus Operandi ASG

Berikut adalah modus operandi operasi-operasi yang dilakukan oleh ASG19 :


1. Pengeboman tingkat tinggi (high-profile bombing),
2. Serangan bersenjata, termasuk terhadap penduduk sipil (biasanya Barat) dan
bangunan-bangunan AS di kota-kota besar (urban terrorism)
3. Pembunuhan individu-individu penting (misionaris Kristen, politisi Filipina,
diplomat Barat dsb.)
4. Pemenggalan di depan publik
5. Pembajakan pesawat
6. Terorisme maritim , misalnya pengeboman kapal laut.
Sejak tahun 1991 hingga tahun 2000, ASG dilaporkan terlibat dalam 378 aktivitas
teroris dalam bentuk pengeboman dan serangan bersenjata dengan korban 288
penduduk sipil.20 Dalam periode yang sama, ASG melakukan 640 aktivitas KRA
(Kidnap-for-Ransom)

atau

penculikan

untuk

mendapatkan

tebusan

yang

mengakibatkan korban sebanyak 2.706 orang.21 Beberapa insiden teroris yang


dilakukan ASG untuk mendapatkan gambaran mengenai Modus Operandinya dapat
dilihat dalam Tabel 1.1 berikut ini:

Tabel 1.1 Modus Operandi ASG


No.
1

Modus Operandi
Pembajakan Pesawat

Keterangan
Percobaan pembajakan pesawat komersial transAtlantik AS

Terorisme maritim

Pengeboman kapal SuperFerry 14 (operasi gabungan


dengan

JI)

merupakan

yang

menewaskan

aksi

terorisme

116

maritim

orang

dan

terburuk

sepanjang sejarah.
3

Pengeboman

Pengeboman beruntun di Kota Davao, General Santos


City, dan Manila pada Februari2005, dikenal sebagai
pengeboman Hari Valentine
Pengeboman bom di bar Jolo pada bulan Maret 2006
Pengeboman supermarket di Jolo pada bulan Maret

Chalk, Op. Cit., hal. 45.


Banlaoi, Op. Cit., hal. 49.
21 Banlaoi, Op. Cit., hal. 16.
19

20

2006
Pengeboman terkoordinasi di tiga kota di Mindanao
tengah (Makilala, Tacurong, dan Cotabato City) pada
bulan Oktober 2006
4

Pembunuhan

Serangkaian pembunuhan dengan motor pada bulan


Agustus 2006 yang mengakibatkan lebih dari 70 orang
tewas.

Serangan

Bersenjata

(urban terrorism)

Percobaan serangan bersenjata terhadap tempattempat yang sering dikunjungi turis dan pebisnis luar
negeri

di

Kota

Markati,

dijadwalkan

untuk

dilaksanakan pada bulan Maret 2005.


Perencanaan serangan serentak di tempat-tempat
akan dilangsungkannya KTT ASEAN dan Asia Timur
pada bulan Januari 2007.

Sumber: Dikompilasi dari Chalk et al. 2009: 49

Untuk mendanai aktivitasnya secara mandiri, selain mendapatkan bantuan logistik


dan material dari kelompok-kelompok teroris lain, ASG menjalankan modus operandi
sebagai berikut:
1. Penculikan untuk mendapatkan tebusan (KRA). Penculikan beberapa turis Barat
pada tahun 2000 dipercaya menghasilkan pendapatan sebesar US$ 20 juta
2. Perampokan
3. Pembunuhan dengan bayaran
Berbagai aktivitas di atas tidak didasari motif politik yang jelas sehingga dikatakan
bahwa ASG mengalami degenerasi dari organisasi teroris murni menjadi sekadar
kelompok kriminal/bandit. Degenerasi ASG menjadi kumpulan kelompok bersenjata
tanpa ideologi dan kepemimpinan yang jelas terjadi setelah Janjalani, tokoh
pemimpin ideologis dan pendiri ASG, tewas dalam baku tembak dengan polisi
Filippina di pulau Basilan. Meskipun demikian, mulai tahun 2003, ASG telah
melakukan upaya mengembalikan organisasi tersebut ke tujuan semula, yaitu
sebagai kekuatan Islam yang terintegrasi dan kredibel22 di bawah kepemimpinan
Khadafy Janjalani, adik Abdurrazak Janjalani dan Abu Sulaiman. Upaya ini

22

Chalk, Op. Cit., hal. 45-46.


10

dilakukan dengan menangkapi dan membunuh para pemimpin faksi-faksi ASG yang
kerap melakukan banditry.
Kembalinya

ASG

dari

kelompok

bandit

menjadi

organisasi

teroris

murni

mengindikasikan bahwa organisasi ini memiliki basis ideologi yang kuat, yakni
militansi Islam. Faktor kepemimpinan juga sangat bepengaruh dalam ASG sebagai
konsekuensi logis dari ideologi sebagai center of gravity-nya. Tanpa adanya pemimpin
yang juga bertindak sebagai ideolog yang menyediakan basis perjuangan ASG,
organisasi ini segera terpecah-belah dan mengalami degenerasi menjadi kelompok
kriminal biasa yang tujuan akhirnya adalah uang dengan embel-embel perjuangan
Islam. Meskipun saat ini Khadafy dan Abu Sulaiman telah tewas, mereka tetap
menjadi pengarah strategi dan taktik ASG. Saat ini, ASG dikatakan telah
mengurangi aktivitas penculikan demi tebusan dan kembali melakukan metodemetode penciptaan rasa takut di kalangan publik melakui beberapa modus yang
telah dijabarkan di atas.

1.3.8

Jejaring Teror ASG

1.3.8.1 Keterkaitan ASG dengan Al Qaeda


Abu Sayyaf Group (ASG) dibentuk pada awal tahun 1990, dan menjadi sebuah geng
kriminal yang terlibat beberapa aksi pembunuhan, penculikan untuk penyanderaan,
dimana serangan-serangan kelompok tersebut tidak hanya di Filipina akan tetapi
sampai ke Malaysia. Pemerintah Filipina memandang kelompok ini sebagai
kelompok bandit yang tidak memiliki tujuan namun hanya untuk memperkaya diri
sendiri. Fokus dari kelompok ini adalah di sebelah selatan Filipina. Walaupun
diperkirakan bahwa pada pertengahan tahun 1990 ada kontak awal ASG dengan
operasi Al Qaeda, namun sayangnya hal tersebut belum bisa dibuktikan apakah ada
kelanjutan dari hubungan tersebut, khususnya ketika ASG berupaya mendanai
kelompoknya sendiri melalui penculikan, yang mencapai 20 juta dollar US.23 Awal
jejak ASG dapat ditelusuri di Afghanistan. Sejumlah kisaran 300-600 Moro
fundamentalis di Peshawar, Pakistan di awal tahun 1990an. Salah satu dari mereka

23 Erict Smitt, U.S. and Philippine Setting up Joint Command to Combat Terror, New York Times,
January 16, 2002.

11

adalah anak laki-laki Ulama lokal yaitu, Ustadz Adularia Janjalani, yang kemudian
muncul sebagai pimpinan kelompok ini.
Terkait perkembangan jejaring terorisme, Al Qaeda membangun jaringan teroris
yang kuat di Filipina melalui ASG dan Moro Islamic Liberation Front (MILF). Bagi
Al Qaeda, Filipina merupakan hub utama yang direncanakan untuk misi-misi Al
Qaeda di seluruh dunia dan sebuah wilayah untuk mendanai organisasi Islam
radikal. Khalifa mendirian cabang-cabang lokal dari Saudi-based International
Islamic Relief Organization (IIRO), yang merupakan jalur pendanaan ASG dan sel Al
Qaeda di sebuah negara. Jaringan Al Qaeda di wilayah Asia Tenggara tidak hanya
karna menjadi pusat pelatihan dan operasi baru, namun hal tersebut juga
merupakan sebuah model bagi wilayah lain seperti Chechnya dan Afrika Timur
dimana wilayah Islamiknya mungkin saja saling terkait dengan wilayah lainnya.24
Prinsip jihad yang dianut oleh ASG merupakan impartasi dari apa yang ditanamkan
oleh Al Qaeda, dan Janjalani memberi nama Abu Sayaaf, setelah peristiwa Perang
Pushtun, dimana Abdul Rasl Sayaff, seorang mujahidin legendaries dari Afghanistan
dan pendiri gerakan Islam Afghanistan. Sebagai hasilnya, Asia Tenggara di tahun
1990-an bangkit sebagai wilayah penting bagi Al Qaeda, lebih dari sekedar wilayah
operasi. Ketika Al Qaeda ingin mendirikan afiliasi lokal di tahun 1993-1994, Al
Qaeda melirik mujahidin Anti-Sovyet di Afghanistan. Veteran asal Asia Tenggara di
Afghanistan menjadi pemimpin beberapa kelompok militan di wilayah Asia
Tenggara, seperti Jemaah Islamiyah (JI), Kampulan Mujahideen (Malaysia), Laskar
Jihad (Indonesia), Guragon Mujahideen dan Wae Kah Rah (Thailand Selatan), serta
MILF/Abu Sayyaf (Filipina).25
Al Qaeda beroperasi sebagai organisasi teroris lintas batas dan mengembangkan selsel yang mentautkan ekstrimis-ekstrimis di kurang lebih 40 negara.26 Diantara
jaringan kelompok-kelompok konstituen tersebut yaitu kepemilikan bin Laden
terhadap Al Qaeda, Egyptian Islamic Jihad (EIJ), Armed Islamic Group (GIA) di
Algeria, Harakat al Mujahadin yang berbasis di Pakistan dan beroperasi sebagian di

24 Barry Desker and Kumar Ramakrishna, Forging an Indirect Strategy in Southeast Asia, The
Washington Quarterly, Spring 2002 <Http://www.twq.com/02spring/desker.pdf> (23 June 2004), 165.
25 Zachary Abuza, Learning by Doing: Al Qaedas Allies in Southeast Asia, Current History: A
Journal of Contemporary World Affairs (April 2004): 172.
26 Peter Chalk, Al Qaeda and Its Links to Terrorist Groups in Asia, in The New Terrorism:
Anatomy, Trends and Counter-Strategies eds. Andrew Tan and Kumar Ramakrishna (Singapore:
Eastern Universities Press, 2002), 108.

12

Kashmir, pergerakan Islam di Uzbekistan, dan Abu Sayyaf di Filipina. Sel-sel Al


Qaeda, EIJ, dan GIA dapat ditemukan di beberapa negara di Eropa, Afrika, dan
negara-negara Islam.27 Al Qaeda beroperasi secara aman di Asia Tenggara sebab
kawasan ini dianggap sebagai wilayah yang rentan terhadap penjagaan perbatasan,
populasi yang besar, kondisi penduduk yang miskin, dan mudahnya dipengaruhi oleh
kelompok-kelompok ekstrimis baik Islam dan Non-Islam.
Keterkaitan antara ASG dengan Al-Qaeda menjadi jelas ketika hal tersebut dapat
dibuktikan di tahun 1991, dimana ASG menerima 12 juta peso dari sumber-sumber
asing, terutama dari Al-Qaeda, namun juga dari Libya.28 ASG pun menerima kiriman
persenjataan dalam jumlah besar dari Victor Blout, seorang dealer persenjataan
Tajik yang kemudian diketahui memiliki jaringan dengan rezim Taliban dan Al
Qaeda. Di tahun 2000 dan 2001, ASG memfokuskan kembali taktik mereka kepada
operasi penculikan target warga asing dan perampokan wisata resort untuk
penyanderaan.29

1.3.8.2 Keterkaitan ASG dengan kelompok teroris lain


ASG merupakan salah satu kelompok teroris yang beroperasi di wilayah Asia
Tenggara disamping kelompok teroris lain seperti JI, MILF dan MNLF. Namun
dalam kenyataannya, kelompok-kelompok tersebut memiliki banyak keterkaitan
maupun kerjasama rahasia (termasuk dengan Al-Qaeda) untuk mencapai tujuantujuan general yang ingin mereka peroleh. Keterkaitan ASG dengan kelompok teror
lainnya di Asia Tenggara dapat dilihat pada tabel berikut :30

ASG
JI

ASG
tempat

pernah

MILF
memberikan

perlindungan

bagi

MILF

telah

memberikan

izin

untuk

dilakukannya latihan militer bagi anggota JI

27 Kurt Campbell and Michelle Flournoy, To Prevail: An American Strategy for the Campaign
Against Terrorism (Washington, D.C.: Center for Strategic and International Studies, 2001), 41-42.
28 Rohan Gunaratna, The Evolution and Tactics of the Abu Sayaaf Group, Janes Intelligence
Review, July 2001.
29 The Terrorism Research Center; Terrorist Group Profiles, June 2003.
30 Http://akupunmenulis.wordpress.com/2010/02/01/terorisme-sebagai-fenomena-globalisasi-di-asiatenggara-dan-asia-timur/, diakses tanggal 9 Desember 2010

13

anggota JI dari Indonesia yang

di kamp-kamp yang dimilikinya.

menjadi buron.
Mantiqi 3 JI yang juga meliputi Filipina
Selatan memiliki hubungan dekat dengan
MILF dalam mendapatkan senjata dan bahan
peledak untuk mendukung pelatihan dan
operasi.
MILF

pernah

mengirimkan

sekitar

700

Pendiri ASG adalah teman dari

anggotanya

petinggi AQ, Osama bin Laden

militer dan bergabung dengan mujahidin di

dan telah mengikuti pelatihan

Afghanistan.

untuk

mengikuti

pelatihan

pada akhir 1980 di dekat Khost,


MILF mendapatkan bantuan pelatihan dari

Afghanistan.

AQ

AQ
Pada Desember 1991 hingga

yang

dilakukan

di

Mindanao

dan

Afghanistan.

Mei 1992, seorang anggota Al


Qaeda mendapat tugas melatih

Salah satu anggota AQ membuat organisasi

anggota ASG untuk membuat

amal di Filipina untuk menyediakan bantuan

bom.

melalui pendanaan pembangunan di bawah


control MILF.

II. Kerangka Teoretis


2.1. Tipologi Akar Penyebab Terorisme
Dalam makalah ini, faktor-faktor yang menyebabkan munculnya terorisme dibagi
menjadi dua kategori, yaitu faktor struktural dan faktor agensial.31 Tipologi ini
digabungkan dengan kerangka level of causation Bjorgo32 yang menggolongkan
faktor-faktor yang menyebabkan kemunculan terorisme menjadi empat, yaitu :
1) Faktor Struktural
Faktor struktural sering juga disebut sebagai faktor fundamental yang mendasari
timbulnya

terorisme

(underlying

causes).

Beberapa

penyebutnya

sebagai

precondition atau antecedent conditions. Faktor struktural adalah faktor-faktor


Banlaoi, Op.,Cit.
Tore Bjorgo, Root Causes of Terrorism: Myths, Reality, and Ways Forward, London and New York:
Routledge, 2005. 3-4.
31

32

14

yang mempengaruhi kehidupan seseorang dalam tataran makro atau abstrak


(baik dipahami maupun tidak), yang dapat memunculkan bibit terorisme.
Meskipun faktor ini tidak memiliki korelasi langsung atau hanya berkorelasi
lemah dengan terorisme serta tidak bisa memunculkan terorisme jika berdiri
sendiri, faktor-faktor ini harus ada untuk memunculkan hal tersebut (a necessary
but insufficient factor).
2) Faktor Fasilitator/akselerator
Faktor yang memfasilitasi terorisme adalah faktor yang menjadikan terorisme
mudah atau menarik untuk dilakukan tanpa menjadi faktor penggerak utama.
Yang termasuk ke dalam faktor fasilitator antara lain perkembangan media
global, teknologi transportasi dan komunikasi, teknologi dan sirkulasi senjata,
serta operasi bisnis internasional.
3) Faktor Motivasional
Analisis agensial-motivasional menekankan peran individu dan kelompok.
4) Faktor Pemicu
Faktor pemicu adalah faktor yang secara langsung mengakibatkan aksi teroris,
biasanya merupakan sebuah peristiwa yang spesifik, misalnya kejadian yang
provokatif, tragedi politik, aksi yang dilakukan pihak musuh, atau kejadian lain
yang menimbulkan aksi balasan dari kelompok teroris33 dalam suatu gejala aksireaksi.34
Keempat faktor penyebab ini dapat dimasukkan ke dalam kategori struktural dan
agensial. Penjelasan kemunculan terorisme yang menggabungan pendekatan
struktural dan agensial ini disebut sebagai pendekatan strategic-relational (SRA)
dengan rational-choice approach sebagai salah satu pendekatan untuk menjelaskan
faktor penyebab terorisme di tingkat agensial. SRA adalah sebuah pendekatan baru
dalam analisis politik yang bertujuan untuk menggabungkan penjelasan struktural
dan agensial dalam mengkaji sebuah fenomena politik, termasuk terorisme. Alih-alih

Bjorgo, Op. Cit., Hal. 10.


Martha Crenshaw, The Logic of Terrorism: Terrorist Behavior as a Product of Strategic
Choice dalam Russel D. Howard, et.al, (eds.), Terrorism and Counterterrorism: Understanding the
New Security Environment, Readings and Interpretation Third Edition, NY: McGraw-Hill, 2009, 385.
33

34

15

memandang struktur dan agen sebagai dua kutub yang berlawanan, SRA
memandang struktur dan agen sebagai dua faktor yang saling berkaitan.35

2.2. Rational-Choice Theory


Aksi teror sebagai sebuah metode untuk meraih sebuah tujuan politis, bukanlah
sesuatu yang baru, namun ada tiga faktor yang sangat mengubah sifat dan tingkat
ancamannya: globalisasi perdagangan, migrasi dan perjalanan, serta transfer
informasi yang menyebabkan disparitas ekonomi dan persaingan ideologi menjadi
sangat tajam dan memudahkan serangan oleh para pelaku yang memiliki pemikiran
yang sama. Rational-choice Theory dalam hal ini berusaha memahami aksi teror
sebagai ungkapan strategi politik dan mencoba menunjukkan bahwa para pelaku
teror mungkin mengikuti proses logis yang bisa ditemukan dan dijelaskan.36
Berbeda dengan teori yang menganggap bahwa para pelaku teror mengidap penyakit
mental atau sosiopat, Rational-Choice Theory beranggapan bahwa tindakan yang
dilakukan oleh para pelaku teror berasal dari kesadaran serta keputusan rasional
dan terkalkulasi sebagai strategi optimal untuk mencapai tujual sosial dan
politiknya.37 Ada perbedaan antara rational-choice Theory dengan teori psikologi
individu atau

kelompok. Teori

psikologi

menjelaskan kenapa seseeorang tertarik ke

individu atau

kelompok

berusaha

arah satu jenis atau gaya perilaku

tertentu (dalam hal ini untuk menjadi teroris), sementara rational-choice theory,
yang asalnya dari ilmu ekonomi, beranggapan bahwa kecenderungan untuk
berperilaku seperti ini adalah sesuatu yang telah ditentukan dan berusaha
menjelaskan bagaimana perubahan dalam kebijakanaturan main yang dimainkan
antara teroris dan pemerintahmungkin bisa mengubah perilaku ini.38
Dalam pendekatan ini, aksi teror dianggap memperlihatkan rasionalitas kolektif.
Sebuah organisasi politik yang radikal dianggap sebagai aktor utama dalam drama
teror. Kelompok ini memiliki preferensi atau nilai-nilai kolektif dan memilih aksi
teror sebagai pilihan yang lebih menguntungkan dan lebih efektif dibandingkan aksiaksi lainnya. Selain itu, kelompok terror tak selalu terdiri dari orang-orang yang
35
Banlaoi, Op. Cit., Hal. 109.
Crenshaw, Op. Cit.,, hal. 42.
37 Jeff Victoroff, The Mind of Terrorist: A Review and Critique of Psychological Approaches, The
Journal of Conflict Resolution, Vol. 49, No. 1 (Feb 2005), hal. 14.
38 Ibid.
36

16

kasar, namun mereka adalah orang-orang yang

memilih untuk menggunakan

kekerasan sebagai alat yang menurut mereka paling masuk akal.39 Kekerasan bisa
menjadi bagian dari strategi rasional, dengan perhitungan biaya dan keuntungan
yang akan diraihnya, dan digunakan sebagai komitmen moral untuk sebuah alasan
perjuangan.40

III. Pembahasan
3.1. Analisis Faktor Penyebab Bangkitnya ASG : Pendekatan StrategicRelational (Agen Struktur)
3.1.1. Faktor Struktural-Prekondisi
Menurut Banlaoi, penyebab yang berada di level struktur memandang ASG sebagai
gerakan teroris yang lahir karena pemerintah Filipina gagal mengatasi penyebab
struktural

dari

konflik

bersenjata

di

Filipina

yang

melibatkan

kelompok

pemberontak Moro yang berakar pada kolonialisme. Konflik internal bersenjata itu
kemudian terus menimbulkan penyebab struktural yang terus melahirkan terorisme,
termasuk ASG.41 Hal ini pada gilirannya disebabkan oleh deprivasi yang dialami oleh
bangsamoro. Soliman S. Santos menyatakan bahwa permasalahan Moro disebabkan
oleh marjinalisasi penduduk etno-linguistik kepulauan Mindanao yang secara
kolektif disebut Moro dan beridentitas Muslim, pertama-tama oleh penjajah Spanyol
pada abad ke-16 hingga abad ke-19, Amerika Serikat pada pertengahan abad ke-20,
dan akhirnya pemerintahan Filipina yang mengklaim kemerdekaan formalnya pada
tahun 1946. Kemerdekaan Filipina ini sekaligus menutup kemungkinan bangsamoro

39 Martin Kramer, The Moral Logic of Hizballah, dalam Walter Reich (ed.), The Origins of
Terrorism: Psychologies, Ideologies, Theology and the State of Mind, Washington DC: Woodrow Wilson
Center Press, 1998, hal. 133.
40 Crenshaw, op.cit., Hal. 44.
41 Banlaoi, Op. Cit., Hal. 8.

17

untuk memproklamasikan kemerdekaannya sendiri karena wilayah Moro kemudian


diinkorporasi atau dianeksasi ke dalam wilayah Filipina.
Mascapado A. Muslim mengidentifikasi sepuluh permasalahan mendasar bangsa
Moro, yaitu:
1. Aneksasi ilegal wilayah Moro (Moroland) ke dalam wilayah Filipina di bawah
Traktat Paris pada tahun 1898;
2. Perdamaian yang dipaksakan secara militeristik
3. Penerapan hukum penyitaan lahan
4. Filipinisasi administrasi publik di wilayah Moro dan penghancurkan institusiinstitusi politik tradisional
5. Migrasi dan pembangunan pemukiman di wilayah Moro yang dipaksakan oleh
pemerintah Filipina
6. Konflik dan perampasan lahan
7. Marjinalisasi kultural terhadap bangsamoro
8. Pembantaian Jabidah pada tahun 1968 (pada masa pemerintahan Marcos)
9. Pembantaian dan kekejaman militer pada masa pemerintahan Marcos yang
kedua (1970-1972)
10. Pengabaian penderitaan bangsa moro oleh pemerintah Filipina
Dari kesepuluh permasalahan mendasar ini, Muslim menyaring enam elemen kunci
dari masalah Moro, yaitu:
1. Kemiskinan dan marjinalisasi ekonomi
2. Dominasi politik
3. Ketidakamanan fisik
4. Terancamnya identitas Islam Moro
5. Adanya persepsi bahwa pemerintah merupakan pihak yang paling bersalah
6. Adanya persepsi ketidakberdayaan dalam situasi saat ini
Dari perspektif struktural, kemunculan ASG merupakan ekspresi dari perjuangan
Moro yang lebih luas yang menolak mengakui kewenangan pemerintah Filipina, yang
dilatarbelakangi

oleh

maraknya

kemiskinan,

kurangnya

pelayanan

publik,

infratsruktur, dan peluang. Hal ini diperparah dengan tidak responsifnya pemerintah
dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan ini. Bangsa Moro di wilayah
Mindanao hanya berjumlah 5% dari populasi Filipina, namun merupakan elemen
populasi dengan tingkat kemiskinan dan kematian paling tinggi, pembangunan
18

ekonomi yang paling rendah, dan dengan dukungan institusional pemerintah yang
paling

minimal.42

Masyarakat

Moro

juga

memandang

pemerintah

Filipina

melakukan silent discrimination secara ekonomi dan budaya, salah satunya dalam
hal kepemilikan lahan. Di wilayah Mindanao yang merupakan pusat ASG, kaum
Muslim hanya menguasai 25% lahan dan sisanya dikuasai oleh penduduk Kristen.
Secara budaya, bangsa Moro pun merasa mengalami diskriminasi akibat cara hidup
dan keyakinan Islaminya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penyebab
struktural dari kemunculan ASG adalah deprivasi yang dilakukan pemerintah
Filipina terhadap bangsa Moro yang kemudian memunculkan gerakan pemisahan
diri dalam bentuk konflik bersenjata di Filipina.

3.1.2. Faktor Fasilitator/Akselerator


Globalisasi ICT yang memfasilitasi hubungan ASG dengan kelompok kelompok
Islam militan lainnya, seperti Al-Qaeda dan JI dan memfasilitasi penyebaran
gagasan jihad internasional
Kemudahan transportasi mempermudah pergerakan lintas batas negara, latihan

bersama dan sebagainya


Pasar bebas (globalisasi ekonomi) membuat perbatasan semakin mudah dimasuki

untuk arms smuggling dsb.

3.1.3. Faktor Agensial-Motivasional(Rational-Choice Approach)


Analisis agensial-motivasional menekankan peran individu dan kelompok. Dari
perspektif ini, ASG dapat lahir karena adanya pemimpin yang memiliki keinginan
dan determinasi kuat seperti Abdurajak Janjalani, juga karena adanya dukungan
dari Osama bin Laden melalui adik iparnya, Jamal Khalifa, yang menikahi
perempuan Filipina.43 Meskipun mereka saat ini telah meninggal, kelangsungan ASG
dipertahankan oleh anggota-anggotanya yang persisten dalam menganut ideologi
organisasi tersebut.
Faktor motivasional adalah ketidakpuasan atau ketidakadilan aktual yang dialami di
tingkat personal, yang memotivasi mereka untuk bertindak. Deprivasi dan
42
43

Banlaoi, Op. Cit., hal. 18-21.


Banlaoi, Op. Cit., hal. 24.
19

ketidakadilan di tingkat global dan nasional dapat diterjemahkan menjadi motivasi


personal melalui perantara ideologi dan retorika.44 Di sinilah peran seorang
pemimpin politik atau political enterpreneur menjadi amat penting, yakni untuk
mempersuasi individu dan kelompok untuk bertindak. Tanpa adanya penyebab
perantara ini.45 faktor struktural dan fasilitator belum tentu terwujud dalam bentuk
terorisme.
Faktor motivasional ASG berada di tingkat agensial dan dimungkinkan oleh adanya
perantara ideologi jihad militan yang dipropagandakan oleh pendirinya, Abdurajak
Janjalani. Ideologi memainkan peran penting dalam pendirian ASG. Pendiri ASG,
Janjalani, adalah seorang tokoh karismatik yang juga dianggap sebagai pemimpin
spiritual dan ideolog. Ia belajar di Arab Saudi dan mendalami paham Wahabisme. Ia
kemudian mempelajari jihad di Pakistan dan mulai berkhotbah sejak tahun 1984.
ASG menjadi semakin Islamis setelah hubungannya dengan Al-Qaeda mengalami
pendalaman pada tahun 1991-1995.46 Janjalani menerjemahkan faktor struktural
berupa deprivasi yang dialami oleh masyarakat Muslim di Filipina Selatan ke dalam
motivasi personal/individual berbasiskan sejarah dan ideologi.
3.1.4. Faktor Pemicu
Pendirian ASG dapat dikatakan dipicu oleh kedatangan Motor Vessel (M/V) Doulos
pada bulan Agustus 1991 yang membawa para misionaris yang akan berkhotbah di
Zamboanga City. Menurut para pendiri ASG, kaum misionaris ini berbicara
menentang Islam dan menyebut Allah Tuhan palsu, mengata-ngatai Muhammad
sebagai pembohong dan Quran sebagai buku buatan manusia. Dengan demikian,
keinginan untuk membalas penghinaan terhadap nilai-nilai sakral Islam menjadi
motif pemicu pendirian Abu Sayyaf.47 Pembentukan ASG juga dapat dikatakan
merupakan akibat dari masuknya MNLF dalam perundingan damai dengan
pemerintah Filipina sehingga mengecewakan anggota-anggotanya yang paling
militan.
3.2

Analisis Gerakan dan Operasi ASG : Teror sebagai Pilihan Rasional

Bjorgo, Op. Cit., hal. 10.


Bjorgo, Op. Cit., hal. 258.
46 Chalk, Op. Cit., hal. 54.
47 Banlaoi, Op. Cit., hal. 36.
44

45

20

ASG atau mereka menyebut kelompoknya sendiri sebagai Al Harakatul Islamiyya


yang berarti Gerakan Islam dan lebih spesifik lagi gerakan pembaruan Islam
dianggap sebagai sebuah gerakan teror karena mereka tak membedakan antara
kombatan dan rakyat sipil. Berbeda dengan MILF (Moro Islamic Liberation Front),
menurut ASG yang dianggap sebagai musuh yang bertanggung jawab atas masalah
masyarakat Muslim di Mindanao bukan hanya tentara Filipina, namun juga nonkombatan, baik masyarakat Kristen maupun Muslim, yang tak setuju dengan versi
jihad mereka48.
Salah satu modus operandi ASG sebagai kelompok teror adalah melakukan
penculikan, beberapa di antaranya adalah para wartawan, namun walau demikian
penduduk sekitar di Basilan, Sulu dan Tawi-Tawi mendukung aksi mereka karena
mendapat keuntungan dari penculikan tersebut. Mereka mungkin menebarkan rasa
takut bagi pemerintah pusat di Manila, namun masyarakat sekitar menganggap
mereka sebagai Robin Hood.

Salah seorang mantan pimpinan regu ASG yang

bertugas di Basilan dari tahun 1992-1998 berkata, Rakyat mendukung kami karena
kami mendapatkan uang dari penculikan, kami memberi mereka uang. Saat mereka
meminta

perahu

motor

kepada

kami,

kami

memberikannya.

Mereka

membutuhkannya untuk mencari nafkah. Mereka lalu bersedia menyembunyikan


senjata kami. Karena itulah militer tak bisa menangkap atau membuntuti kami.49
Dengan demikian, ASG berpikiran, modus penculikan secara rasional dipilih karena
dianggap sebagai cara yang menguntungkan, baik dari segi pendanaan sekaligus
untuk membeli dukungan dari rakyat sekitar sehingga mereka bisa bebas melakukan
aktivitas di kawasan Propinsi Basilan dan Sulu, termasuk tiga propinsi di
semenanjung Zamboanga di Mindanao Barat.
Dalam kasus penculikan di Sipadan dan Dos Palmas, misalnya, jelas bahwa motif
mereka adalah uang yang didapat melalui tebusan orang-orang penting yang mereka
culik.50 Seorang pendeta Katolik yang menjadi korban penculikan di Basilan berkata,
mereka adalah kaum fundamentalis. Mereka serius dengan keyakinan mereka dan
selalu shalat dan bicara tentang membela Islam. Namun kemudian, pendeta ini
berpikir, mereka hanya menginginkan uang. Mereka menggunakan Islam sebagai
48 Julkipli Wadi, Theyve Come This Far: The Abu Sayyaf Thrives on Disenchantment. Theyre
Tenacious Too, Newsbreak, edisi spesial tentang Mindanao, Januari-Juni, 2003, hal. 18.
49 Frank Gorospe Longid, Jr., The Swordbearer of Mindanao, Manila Chronicle, 9 Juni 1994.
50 Soliman Santos, Jr. dan Octavio A. Dinampo, Abu Sayyaf Reloaded: Rebels, Agents, Bandits,
Terrorists (Case Study), dalam Diana Rodriguez (ed.), Primed and Purposeful: Armed Groups and
Human Security Efforts in the Philippines, Geneva: Small Arm Survey, 2010, hal 126.

21

kedok. Mudah bagi mereka untuk merekrut pengikut karena mereka menawarkan
uang dalam jumlah yang besar agar orang-orang mau bergabung dengan mereka.51
Selain itu, lokasi geografis di mana ASG beraksi juga mendukung mereka untuk
melakukan penculikan dan aksi-aksi kekerasan lainnya, termasuk pengeboman dan
pemerasan. Kawasan Mindanao Barat, terutama di semenanjung Zamboanga dan
Propinsi Basilan, memungkinkan ASG untuk bergerak dengan perahu cepat untuk
melakukan penculikan, penyerangan, lalu dengan cepat menghilang .52 Mereka juga
melakukan pengeboman kapal berpenumpang di laut dan di dermaga53 dan berhasil
melarikan diri dengan mudah. Dukungan publik yang luas dan kondisi geografis
membuat kelompok ini secara sadar memilih penculikan dan pengeboman sebagai
aksi teror mereka karena dianggap lebih membawa keberhasilan.
ASG juga tak sembarangan saat melakukan penculikan. Mereka terutama membidik
para warga asing dan wartawan yang kemudian mereka gunakan sebagai corong
untuk memberitakan perjuangan mereka.

Seorang simpatisan ASG di Basilan

berkata, Tak ada cara lain bila itu pilihan terakhir yang tersisa. Sulit bagi kami
untuk mendapatkan perhatian, terutama bagi orang-orang seperti kami yang hidup
di bagian yang terabaikan di negara kami.54 Penculikan para wartawan ini tentu
bukan tanpa alasan. Dengan menculik mereka, ASG memperalat mereka agar
kelompoknya mendapat liputan internasional dan sebagai alat untuk menyiarkan
propaganda mereka.55
Aksi kontra-terorisme yang dilakukan pemerintah Manila yang menewaskan
pimpinan ASG, Khadaffy Janjalani pada tahun 2006 dan Abu Solaiman pada tahun
2007 merupakan pukulan yang berat bagi kelompok ini sehingga membuat mereka
menghentikan aksi penculikan mereka untuk sementara. Menurut Santos, Jr. dan
Dinampo, ASG menghentikan aksi penculikan mereka karena mereka berpikir
operasi penculikan, terutama penculikan warga asing terlalu memakan banyak
51 Jose Torres, Jr., Muslim Fundamentalists and the Armed Forces: An Explosive Mix, Manila
Standard Today, 12 Juni 1994, hal. 68.
52 Korps Marinir Filipina, Kantor Asisten Kepala Staf Intelijen, Field Handout: Doctrinal Extract
for the Abu Sayyaf Group, Markas Besar Korps Marinir Filipina, 21 Januari 2002, hal. 33.
53 Baca Rommel Banlaoi, Maritime Terrorism in Southeast Asia: The Abu Sayyaf Threat, US
Naval War College Review, Vol. 58, No. 4 (Autumn) 2005, hal. 63-80 dan The Abu Sayyaf Group:
Threat of Maritime Piracy and Terrorism, dalam Peter Lehr (ed.), Violence at the Sea: Piracy in the
Age of Terrorism, London: Routledge, 2006.
54 Juliet Labog-Javellana, Muslim-Christian Girl Lives in World of Contradictions, Philippine
Daily Inquirer, 21 Mei 2000.
55 Diana Rodriguez (ed.), Primed and Purposeful: Armed Groups and Human Security Efforts in the
Philippines, Geneva: Small Arm Survey, 2010, hal. 370.

22

tenaga dan berisiko, terutama setelah AS memberi bantuan dana dan

kekuatan

kontra-terorisme pemerintah Filipina. Alasan lainnya adalah mungkin kelompok ini


mendapatkan dana dari jaringan teror asing. Sementara, liputan media akibat
penculikan juga bisa diraih dengan aksi pengeboman.
Namun saat ASG di bawah pemimpin baru, Radullan Sahiron, ASG kembali
melakukan aksi penculikannya lagi pada tahun 2008. Ini menunjukkan kekuatan
ASG pasca aksi kontra-terorisme yang dilakukan pemerintah Filipina masih harus
tetap diperhitungkan. Kemungkinan, ASG kembali ke modus operandi lamanya
karena kelompok ini sangat membutuhkan dana dengan cepat.56
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kelompok ini bisa dikelompokan sebagai
pemberontak-bandit-teroris. Mereka adalah kelompok pemberontak yang terdiri dari
para pemuda dari etnis Tausug, Yakan dan Sama di Mindanao Barat yang memiliki
elemen bandit yang lalu memilih cara-cara yang ekstrem, termasuk terorisme untuk
mencapai sebuah negara Islam yang merdeka di seluruh Mindanao. Dalam tonggak
sejarah ASG, salah satu dari ketiga ciri tadi terlihat lebih dominan daripada yang
lainnya, tergantung dari aspek mana yang akan lebih menguntungkan bagi mereka
dan dengan demikian menunjukkan bahwa kelompok ini terus menerus berubah dan
menyesuaikan dirinya sesuai dengan situasi dan kondisi di Filipina.

3.3. Strategi Kontra dan Anti Terorisme Pemerintah Filipina terhadap ASG
Selama bertahun-tahun rakyat Filipina telah berusaha menanggulangi terorisme
dengan berbagai cara. Melalui kekuatan militer, menghukum para pelaku terorisme,
mencegah serangan terorisme, mengimplementaasikan strategi bertahan dan
mencoba mencari sebab-sebab terjadinya terorisme. Metode pembahasan strategi
kontra terorisme yang dilakukan adalah dengan menganalisa struktur organisasi dan
alat-alat yang digunakan untuk mempertahankan organisasi tersebut, serta
bagaimana birokrasi pemerintah Filipina dalam merespon ancaman yang dilakukan
oleh kelompok ekstrimis ini57.

Santos, Jr. dan Dinampo, Op. Cit., hal. 133.


National Plan To Address Terrorism and Its Consequences. Annex K to the Philippine
National Internal Security Plan (NISP) (2002), 10.
56

57

23

3.3.1
Dalam

Kebijakan Kontra Terorisme Pemerintah Filipina


menanggapi

kebutuhan

untuk

menjaga

keamanan

masyarakatnya,

Pemerintah Filipina di bawah pemerintahan Macapagal-Arroyo, merumuskan


kebijakan nasional untuk memerangi terorisme. Kebijakan yang dirancang oleh
pemerintah Filipina mengacu pada perjanjian internasional terorisme. Sebagai
anggota aktif dari PBB, ia menegaskan kembali komitmen untuk mencegah,
menekan dan menangkal segala bentuk tindakan terorisme sesuai dengan Piagam
PBB, resolusi atau deklarasi, dan hukum internasional lainnya yang relevan.
Pemerintah Filipina akan berusaha untuk bekerja sama dengan masyarakat regional
dan

masyarakat

internasional,

terutama

dengan

ASEAN,

Amerika

dan sekutnya, dalam rangka memperkuat kerjasama global untuk memerangi


tindakan terorisme.
Selain itu, kebijakan pemerintah Filipina nasional dapat tercermin dalam melalui
Empat belas Pilar Kebijakan dan Aksi Melawan Terorisme58 yakni :
1. Pengawasan dan pelaksanaan kebijakan dan tindakan pemerintah terhadap
terorisme.
2. Koordinasi Intelijen
3. Fokus internal melawan terorisme
4. Akuntabilitas perusahaan publik dan swasta
5. Sinkronisasi upaya internal dengan pandangan global.
6. Penegakan hukum
7. Mempromosikan solidaritas Kristen dan Muslim
8. Meningkatkan kewaspadaan terhadap gerakan teroris dan pendukungnya,
peralatan, senjata dan aliran dana.
9. Rencana kontingensi
10. Keamanan komprehensif rencana untuk infrastruktur yang penting.
11. Dukungan pekerja Filipina di luar negeri.
12. Modernisasi Angkatan Bersenjata Filipina dan Polisi Nasional Filipina.
13. Dukungan media cetak dan elektronik
14. Kebijakan politik, sosial dan tindakan

58
Fourteen (14) Pillars of Policy and Action Against Terrorism as enumerated in Memorandum
Order No. 31 dated October 12, 2001 by the Office of the President, in National Plan to Address
Terrorism AND Its Consequences, Annex K to the Philippine National Internal Security Plan (NISP)
(2002).

24

Memorandum Order nomor 37 lebih lanjut menetapkan langkah-langkah sebagai


berikut yang harus dilakukan sehubungan dengan komitmen pemerintah untuk
bekerja sama dalam perjuangan internasional melawan terorisme59:

Penggabungan koalisi kontra teroris internasional dan bekerjasama dengan


PBB

Meningkatkan hubungan kerjasama dengan Amerika Serikat pada bidang


intelijen dan keamanan mengenai hal-hal yang terkait dengan tindakan
terorisme

Menyediakan sarana transportasi udara dan fasilitas apabila nantinya


dibutuhkan sebagai tempat transit dan titik temu bagi koalisi kontra terror
internasional

Kontribusi dukungan logistik dalam bentuk makanan, obat-obatan dan


personil medis

Meminta izin kepada kongres Filipina untuk menyediakan pasukan apabila


terdapat panggilan internasional untuk pasukan tersebut; dan

Mencegah aliran dana kepada kelompok teroris sesuai dengan Anti-Money


Laundering Act 2001 (Undang-Undang Republik Nomor Filipina 9160) dan
hukum lainnya yang berlaku di filipina.

3.2.2

Koordinasi dan Integrasi Filipina dengan Amerika Serikat dalam


Menangani ASG

Filipina

memberikan

respons

tercepat

terhadap

permintaan

bantuan

AS

dalam perang melawan terorisme. Segera setelah 9/11, Presiden Macapagal Arroyo
melihat perang melawan terorisme sebagai sebuah kesempatan untuk meningkatkan
hubungan politik dengan AS melalui kampanye militer pemerintah terhadap
Sayyaf60. Presiden Arroyo, menggunakan masalah terorisme di Mindanao dan
Kepulauan Sulu, sebagai jawaban terhadap seruan Presiden Bush mengenai koalisi
global melawan terorisme.
Pada akhir 2001, Manila mengijinkan pasukan AS untuk lebih terbang di wilayah
udara Filipina dan menggunakan lapangan udara sebagai titik transit dalam
Philippine Primer on the National Plan to Address Terrorism and Its Consequences (2002), 4.
Zachary Abuza, Militant Islam in Southeast Asia: The Crucible of Terror (Colorado: Lynne Reinner
Publishers, 2003), 202.
59

60

25

mendukung Operasi Mempertahankan Kebebasan di Afghanistan. Amerika Serikat


sebagai

gantinya,

memberikan

pelatihan

anti-terorisme

dan

saran, dan personil militer dikerahkan, termasuk 160 Pasukan Khusus AS untuk
Zamboanga di Mindanao dan Basilan. 61 Hasil dari kerjasama ini pun mulai terlihat
ketika jumlah pejuang Abu Sayyaf telah menurun dari sekitar 1.000 pejuang di
pertengahan 1990-an, menjadi beberapa ratus di tahun 2004.62

3.2.3

Intelijen dalam Birokrasi

Program intelijen jangka panjang untuk memerangi terorisme melibatkan kumpulan


dan analisis data yang membahas sejarah, budaya, agama, politik, psikologi, dan
kondisi keamanan. Persyaratan untuk analisis yang akurat berlaku baik untuk
penilaian ancaman jangka panjang dan untuk mendukung manajemen insiden yang
terjadi di internal Filipina. Semua yang berkaitan dengan terorisme pengumpulan
data dan analisa intelijen harus diarahkan terhadap produksi dan penyebaran
peringatan ancaman yang jelas, singkat, dan akurat dan menyediakan sistem
pendukung keputusan untuk para decision maker di waktu yang tepat bagi mereka
untuk mengambil tindakan yang diperlukan.63
Unit-unit intelijen Filipina terdiri dari Angkatan Bersenjata Filipina (AFP),
Kepolisian Nasional Filipina (PNP), Biro Nasional Investigation (NBI) dan Badan
Koordinasi Intelijen Nasional (NICA) yang kesemuanya memainkan peran pentinf
dalam upaya anti-terorisme dari Pemerintah Filipina. Dewan Keamanan Nasional
(NSC) merupakan badan utama yang mengkordinasikan kesemua unit intelijen ini,
NSC berperan sebagai penasehat utama presiden yang berkaitan dengan intelijen
dan keamanan isu. Dengan demikian, sistematika ini akan dapat membantu presiden
dalam menganalisis dan mengintegrasikan keamanan nasional kebijakan dan
strategi intelijen. Birokrasi Filipina menyajikan perkecualian untuk teori organisasi
modern dengan membuat kordinasi pertahanan dan intelijen yang sederhana dimana
setiap unit (NBI, NICA, AFP, dan PNP)secara rutin akan bertemu untuk

Ibid
Angel Rabasa, Political Islam in Southeast Asia: Moderates, Radicals and Terrorists, The
Adelphi Papers, Oxford Journals, 01 July 2003, 54-55.
63 Kurt Campbell and Michelle Flournoy, To Prevail An American Strategy for the Campaign
Against Terrorism (Washington, D.C.: The Center for Strategic and International Studies Press,
2001), 78.
61
62

26

mengumpulkan informasi tentang kegiatan teroris domestik yang mungkin terjadi di


Filipina dan secara teratur bertemu di tingkat tingkat regional dengan Regional
Komite Koordinasi Intelijen (RICC), sehingga intelijen tampak dengan mudah
dikordinasikan bersama pada kebutuhan informasi yang dasar.64

IV. KESIMPULAN
ASG lahir sebagai organisasi yang menggunakan metode terorisme karena para
anggotanya percaya bahwa terorisme dapat memberikan hasil yang segera dapat
dilihat (immediate result). Dalam hal ini, terorisme dipandang sebagai metode yang
berguna untuk mengedepankan perubahan politik (pendirian negara Islam yang
merdeka) dalam agenda publik. Selain itu, jumlah personel ASG yang relatif kecil
dibandingkan dengan organisasi-organisasi Islam militan lain di Filipina seperti
MNLF dan MILF merupakan faktor yang mendorongnya menggunakan metode
terorisme untuk mencapai tujuan-tujuannya. Jadi, terorisme merupakan pilihan
rasional yang diambil ASG dengan mempertimbangkan tujuan, lingkungan, dan
kapabilitas internal organisasi.
Kampanye

Pemerintah

Filipina

terhadap

ASG

telah

dapat

mendegradasi

kemampuan kelompok tersebut secara drastis. Namun, pemerintah Filipina perlu


meningkatkan dan memperluas kembali kebijakan, undang-undang dan keamanan
internal dalam memerangi terorisme. Pembatasan konstitusional, kemampuan
pemerintah, dan birokrasi adalah variabel yang ikut mempengaruhi respon negara
dalam menghadapi terorisme. Perlu ada reformasi pada variabel agar pemerintah
dapat mengatasi ancaman terorisme secara utuh. Pemerintah harus menggunakan
sumber daya dan kemampuan yang tersedia untuk melakukan tugas yang diperlukan
dalam restrukturisasi birokrasi, menghilangkan korupsi, dan aturan-aturan hukum
serta melaksanakan UU Antiteror. Kemampuan pemerintah yang kuat dengan
sebuah persatuan dan strategi yang koheren diperlukan untuk merespon terorisme
dengan solusi yang layak serta mendapatkan dukungan luas dari dalam negeri dan
luar negeri.

64
Eusaquito, Manalo, The Philippine Response To Terrorism: The Abu Sayyaf Group, Thesis of
Naval Postgraduate School, 2004, 81.

27

28

Anda mungkin juga menyukai