Anda di halaman 1dari 10

Postingan ini sedikit akan mengulas mengenai persamaan dan perbedaan masa Orde

Lama, Orde Baru dan Era Reformasi. agar menjadi suatu perbandingan yang obyektif
mengenai sejarah Bangsa Indonesia. berdasarkan referensi dari berbagai sumber.
PERSAMAAN
Sama-sama
masih
terdapat
ketimpangan
ekonomi,
kemiskinan,
dan
ketidakadilan Setelah Indonesia Merdeka, ketimpangan ekonomi tidak separah ketika
zaman penjajahan namun tetap saja ada terjadi ketimpangan ekonomi, kemiskinan, dan
ketidakadilan. Dalam 26 tahun masa orde baru (1971-1997) rasio pendapatan penduduk
daerah terkaya dan penduduk daerah termiskin meningkat dari 5,1 (1971) menjadi 6,8
(1983) dan naik lagi menjadi 9,8 (1997). Ketika reformasi ketimpangan distribusi
pendapatan semakin tinggi dari 0,29 (2002) menjadi 0,35 (2006).

Sehingga dapat dikatakan bahwa kaum kaya memperoleh manfaat terbesar dari
pertumbuhan ekonomi yang dikatakan cukup tinggi, namun pada kenyataanya tidak
merata terhadap masyarakat.
o Adanya KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme)
Orde Lama: Walaupun kecil, korupsi sudah ada.
Orde Baru: Hampir semua jajaran pemerintah koruptor (KKN).
Reformasi: Walaupun sudah dibongkar dan dipublikasi di mana-mana dari media
massa,media elektronik,dll tetap saja membantah melakukan korupsi.
Hal ini menimbulkan krisis kepercayaan masyarakat yang sulit untuk disembuhkan
akibat praktik-pratik pemerintahan yang manipulatif dan tidak terkontrol.
o Kebijakan Pemerintah
Sejak pemerintahan orde lama hingga orde reformasi kini, kewenangan menjalankan
anggaran negara tetap ada pada Presiden (masing-masing melahirkan individu atau
pemimpin yang sangat kuat dalam setiap periode pemerintahan sehingga menjadikan
mereka seperti manusia setengah dewa). Namun tiap-tiap masa pemerintahan
mempunyai cirinya masing-masing dalam menjalankan arah kebijakan anggaran
negara. Hal ini dikarenakan untuk disesuaikan dengan kondisi: stabilitas politik, tingkat
ekonomi masyarakat, serta keamanan dan ketertiban.
Kebijakan anggaran negara yang diterapkan pemerintah selama ini sepertinya
berorientasi pada ekonomi masyarakat. Padahal kenyataannya kebijakan yang ada

biasanya hanya untuk segelintir orang dan bahkan lebih banyak menyengsarakan
rakyat. Belum lagi kebijakan-kebijakan yang tidak tepat sasaran, yang hanya menambah
beban APBN. Bila diteliti lebih mendalam kebijakan-kebijakan sejak Orde Baru hingga
sekarang hanya bersifat jangka pendek. Dalam arti kebijakan yang ditempuh bukan
untuk perencanaan ke masa yang akan datang, namun biasanya cenderung untuk
mengatur hal-hal yang sedang dibutuhkan saat ini.
PERBEDAAN :
- Orde lama (Demokrasi Terpimpin)
1. Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1950)
Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain
disebabkan oleh :
a. Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang
secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI
menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche
Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang.
Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands
East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah
yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan
uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang
Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar
mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
b. Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup
pintu perdagangan luar negeri RI.
c. Kas negara kosong.
d. Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara
lain :
a.Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman
dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.
b.Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak
dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera
dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
c.Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan
yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu :
masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan
administrasi perkebunan-perkebunan.

d.Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947


Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga
bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
e.Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa
petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan
perekonomian akan membaik (mengikuti Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian
merupakan sumber kekayaan).
2. Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)
Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya
menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai
teori-teori mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal
pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha
nonpribumi, terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk
kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :
a)Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk
mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
b)Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan
pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor
asing dengan membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya
hanya pada importir pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan
pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional.
Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan
tak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi.
c)Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951
lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
d)Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak
Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan pengusaha
pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada
pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha
swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi
kurang berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan
kredit dari pemerintah.
e)Pembatalan sepihak atas hasil-hasil Konferensi Meja Bundar, termasuk pembubaran
Uni Indonesia-Belanda. Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual
perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih
perusahaan-perusahaan tersebut.
3. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)

Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem
demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme
(segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa
pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi
(mengikuti Mazhab Sosialisme). Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang
diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi
Indonesia, antara lain :
a)Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai
berikut :Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000
menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan.
b)Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis
Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan
stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga
naik 400%.
c)Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000
menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah
lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi.
Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka
inflasi.
Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena
pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini banyak
proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat
politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat. Sekali lagi, ini juga salah
satu konsekuensi dari pilihan menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang bisa
diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik, eonomi,
maupun bidang-bidang lain.
- Orde Baru/ Orba (Demokrasi Pancasila)
Pada masa orde baru, pemerintah menjalankan kebijakan yang tidak mengalami
perubahan terlalu signifikan selama 32 tahun. Dikarenakan pada masa itu pemerintah
sukses menghadirkan suatu stablilitas politik sehingga mendukung terjadinya stabilitas
ekonomi. Karena hal itulah maka pemerintah jarang sekali melakukan perubahanperubahan kebijakan terutama dalam hal anggaran negara.
Pada masa pemerintahan orde baru, kebijakan ekonominya berorientasi kepada
pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ekonomi tersebut didukung oleh kestabilan politik
yang dijalankan oleh pemerintah. Hal tersebut dituangkan ke dalam jargon kebijakan
ekonomi yang disebut dengan Trilogi Pembangungan, yaitu stabilitas politik,
pertumbuhan ekonomi yang stabil, dan pemerataan pembangunan.

Hal ini berhasil karena selama lebih dari 30 tahun, pemerintahan mengalami stabilitas
politik sehingga menunjang stabilitas ekonomi. Kebijakan-kebijakan ekonomi pada
masa itu dituangkan pada Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(RAPBN), yang pada akhirnya selalu disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
untuk disahkan menjadi APBN.
APBN pada masa pemerintahan Orde Baru, disusun berdasarkan asumsi-asumsi
perhitungan dasar. Yaitu laju pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, harga ekspor
minyak mentah Indonesia, serta nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Asumsiasumsi dasar tersebut dijadikan sebagai ukuran fundamental ekonomi nasional.
Padahal sesungguhnya, fundamental ekonomi nasional tidak didasarkan pada
perhitungan hal-hal makro. Akan tetapi, lebih kearah yang bersifat mikro-ekonomi.
Misalnya, masalah-masalah dalam dunia usaha, tingkat resiko yang tinggi, hingga
penerapan dunia swasta dan BUMN yang baik dan bersih. Oleh karena itu pemerintah
selalu dihadapkan pada kritikan yang menyatakan bahwa penetapan asumsi APBN
tersebut tidaklah realistis sesuai keadaan yang terjadi.
Format APBN pada masa Orde baru dibedakan dalam penerimaan dan pengeluaran.
Penerimaan terdiri dari penerimaan rutin dan penerimaan pembangunan serta
pengeluaran terdiri dari pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Sirkulasi
anggaran dimulai pada 1 April dan berakhir pada 31 Maret tahun berikutnya. Kebijakan
yang disebut tahun fiskal ini diterapkan seseuai dengan masa panen petani, sehingga
menimbulkan kesan bahwa kebijakan ekonomi nasional memperhatikan petani.
APBN pada masa itu diberlakukan atas dasar kebijakan prinsip berimbang, yaitu
anggaran penerimaan yang disesuaikan dengan anggaran pengeluaran sehingga
terdapat jumlah yang sama antara penerimaan dan pengeluaran. Hal perimbangan
tersebut sebetulnya sangat tidak mungkin, karena pada masa itu pinjaman luar negeri
selalu mengalir. Pinjaman-pinjaman luar negeri inilah yang digunakan pemerintah
untuk menutup anggaran yang defisit.
Ini artinya pinjaman-pinjaman luar negeri tersebut ditempatkan pada anggaran
penerimaan. Padahal seharusnya pinjaman-pinjaman tersebut adalah utang yang harus
dikembalikan, dan merupakan beban pengeluaran di masa yang akan datang. Oleh
karena itu, pada dasarnya APBN pada masa itu selalu mengalami defisit anggaran.
Penerapan kebijakan tersebut menimbulkan banyak kritik, karena anggaran defisit
negara ditutup dengan pinjaman luar negeri. Padahal, konsep yang benar adalah
pengeluaran pemerintah dapat ditutup dengan penerimaan pajak dalam negeri.
Sehingga antara penerimaan dan pengeluaran dapat berimbang. Permasalahannya,

pada masa itu penerimaan pajak saat minim sehingga tidak dapat menutup defisit
anggaran.
Namun prinsip berimbang ini merupakan kunci sukses pemerintah pada masa itu untuk
mempertahankan stabilitas, khususnya di bidang ekonomi. Karena pemerintah dapat
menghindari terjadinya inflasi, yang sumber pokoknya karena terjadi anggaran yang
defisit. Sehingga pembangunanpun terus dapat berjalan.
Prinsip lain yang diterapkan pemerintah Orde Baru adalah prinsip fungsional. Prinsip
ini merupakan pengaturan atas fungsi anggaran pembangunan dimana pinjaman luar
negeri hanya digunakan untuk membiayai anggaran belanja pembangunan. Karena
menurut pemerintah, pembangunan memerlukan dana investasi yang besar dan tidak
dapat seluruhnya dibiayai oleh sumber dana dalam negeri.
Pada dasarnya kebijakan ini sangat bagus, karena pinjaman yang digunakan akan
membuahkan hasil yang nyata. Akan tetapi, dalam APBN tiap tahunnya cantuman
angka pinjaman luar negeri selalu meningkat. Hal ini bertentangan dengan keinginan
pemerintah untuk selalu meningkatkan penerimaan dalam negeri. Dalam Keterangan
Pemerintah tentang RAPBN tahun 1977, Presiden menyatakan bahwa dana-dana
pembiayaan yang bersumber dari dalam negeri harus meningkat. Padahal,
ketergantungan yang besar terhadap pinjaman luar negeri akan menimbulkan akibatakibat. Diantaranya akan menyebabkan berkurangnya pertumbuhan ekonomi.
Hal lain yang dapat terjadi adalah pemerataan ekonomi tidak akan terwujud. Sehingga
yang terjadi hanya perbedaan penghasilan. Selain itu pinjaman luar negeri yang banyak
akan menimbulkan resiko kebocoran, korupsi, dan penyalahgunaan. Dan lebih
parahnya lagi ketergantungan tersebut akan menyebabkan negara menjadi malas untuk
berusaha meningkatkan penerimaan dalam negeri.
Prinsip ketiga yang diterapakan oleh pemerintahan Orde Baru dalam APBN adalah,
dinamis yang berarti peningkatan tabungan pemerintah untuk membiayai
pembangunan. Dalam hal ini pemerintah akan berupaya untuk mendapatkan kelebihan
pendapatan yang telah dikurangi dengan pengeluaran rutin, agar dapat dijadikan
tabungan pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah dapat memanfaatkan tabungan
tersebut untuk berinvestasi dalam pembangunan.
Kebijakan pemerintah ini dilakukan dengan dua cara, yaitu derelgulasi perbankan dan
reformasi perpajakan. Akan tetapi, kebijakan demikian membutuhkan waktu dan proses
yang cukup lama. Akibatnya, kebijakan untuk mengurangi bantuan luar negeri tidak
dapat terjadi karena jumlah pinjaman luar negeri terus meningkat. Padahal disaat yang
bersamaan persentase pengeluaran rutin untuk membayar pinjaman luar negeri terus

meningkat. Hal ini jelas menggambarkan betapa APBN pada masa pemerintahan Orde
Baru sangat bergantung pada pinjaman luar negeri. Sehingga pada akhirnya berakibat
tidak dapat terpenuhinya keinginan pemerintah untuk meningkatkan tabungannya.
- Masa Reformasi (Demokrasi Liberal)
Pada masa krisis ekonomi,ditandai dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru
kemudian disusul dengan era reformasi yang dimulai oleh pemerintahan Presiden
Habibie. Pada masa ini tidak hanya hal ketatanegaraan yang mengalami perubahan,
namun juga kebijakan ekonomi. Sehingga apa yang telah stabil dijalankan selama 32
tahun, terpaksa mengalami perubahan guna menyesuaikan dengan keadaan.
Pemerintahan presiden BJ.Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan
manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya
diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik. Pada masa kepemimpinan presiden
Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup berarti untuk
menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi
yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan
mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang
menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan
oleh presiden Megawati.
Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri mengalami masalah-masalah yang
mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum.
Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi
antara lain :
a)Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan
Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3
triliun.
b)Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam
periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatankekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan
pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak
kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi
belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan
korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di
Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.
Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat kebijakan kontroversial
yaitu mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM.
Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi

BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang
mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni
Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai
ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah
sosial.Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah
mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi.
Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan
November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepala
daerah.
Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan
kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk
memberi kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salah satunya adalah
revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di
Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada
IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi
mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun
wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya
laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan
jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi
39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara
lain karena pengucuran kredit perbankan ke sector riil masih sangat kurang (perbankan
lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas
pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga
menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena inefisiensi
pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari
luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negeri masih kurang kondusif.
o Masalah pemanfaatan kekayaan alam.
Pada masa orde lama : Konsep Bung Karno tentang kekayaan alam sangat jelas. Jika
Bangsa Indonesia belum mampu atau belum punya iptek untuk menambang minyak
bumi dsb biarlah SDA tetap berada di dalam perut bumi Indonesia. Kekayaan alam itu
akan menjadi tabungan anak cucu di masa depan. Biarlah anak cucu yang menikmati
jika mereka sudah mampu dan bisa. Jadi saat dipimpin Bung Karno, meski RI hidup
miskin, tapi Bung Karno tidak pernah menggadaikan (konsesi) tambang-tambang milik

bangsa ke perusahaan asing. Penebangan hutan pada masa Bung Karno juga amat
minim.
Pada masa Orde Baru konsepnya bertolak belakang dengan orde lama.Apa yang bisa
digadaikan; digadaikan. Kalo bisa ngutang ya ngutang. Yang penting bisa selalu makan
enak dan hidup wah. Rakyat pun merasa hidup berkecukupan pada masa Orba. Beras
murah, padahal sebagian adalah beras impor. Beberapa gelintir orang mendapat rente
ekonomi yang luar biasa dari berbagai jenis monopoli impor komoditi bahan pokok,
termasuk beras, terigu, kedelai dsb. Semua serba tertutup dan tidak tranparan. Jika ada
orang mempertanyakan, diancam tuduhan subversif. Hutan dijadikan sumber duit,
dibagi menjadi kapling-kapling HPH; dibagi-bagi ke orang-orang tertentu (kroni) secara
tidak transparan. Ingat fakta sejarah: Orde Baru tumbang akibat demo mahasiswa yang
memprotes pemerintah Orba yang bergelimang KKN. Jangan dilupakan pula bahwa
ekonomi RI ambruk parah ditandai Rupiah terjun bebas ke Rp 16.000 per dollar terjadi
masih pada masa Orde Baru.
Masa Reformasi krisis ekonomi parah sudah terjadi. Utang LN tetap harus dibayar.
Budaya korupsi yang sudah menggurita sulit dihilangkan, meski pada masa Presiden
SBY pemberantasan korupsi mulai kelihatan wujudnya.. Rakyat menikmati kebebasan
(namun sepertinya terlalu bebas). Media masa menjadi terbuka.
Yang memimpikan kembalinya rezim totaliter mungkin hanyalah sekelompok orang
yang dulu amat menikmati previlege dan romantisme kenikmatan duniawi di zaman
Orba.Sekarang kita mewarisi hutan yang sudah rusak parah; industri kayu yang sudah
terbentuk dimana-mana akibat dari berbagai HPH , menjadi muara dari illegal logging.
o Sistem pemerintahan
Orde lama : kebijakan pada pemerintah, berorientasi pada politik,semua proyek
diserahkan kepada pemerintah, sentralistik,demokrasi Terpimpin, sekularisme.
Orde baru : kebijakan masih pada pemerintah, namun sektor ekonomi sudah
diserahkan ke swasta/asing, fokus pada pembangunan ekonomi, sentralistik, demokrasi
Pancasila, kapitalisme.
Soeharto dan Orde Baru tidak bisa dipisahkan. Sebab, Soeharto melahirkan Orde Baru
dan Orde Baru merupakan sistem kekuasaan yang menopang pemerintahan Soeharto
selama lebih dari tiga dekade. Betulkah Orde Baru telah berakhir? Kita masih
menyaksikan praktik-praktik nilai Orde Baru hari ini masih menjadi karakter dan tabiat
politik di negeri ini. Kita masih menyaksikan koruptor masih bercokol di negeri ini.
Perbedaan Orde Baru dan Orde Reformasi secara kultural dan substansi semakin kabur.
Mengapa semua ini terjadi? Salah satu jawabannya, bangsa ini tidak pernah membuat
garis demarkasi yang jelas terhadap Orde Baru. Tonggak awal reformasi 11 tahun lalu

yang diharapkan bisa menarik garis demarkasi kekuatan lama yang korup dan otoriter
dengan kekuatan baru yang ingin melakukan perubahan justru terbelenggu oleh
faktor kekuasaan.Sistem politik otoriter (partisipasi masyarakat sangat minimal) pada
masa orba terdapat instrumen-instrumen pengendali seperti pembatasan ruang gerak
pers, pewadahunggalan organisasi profesi, pembatasan partai poltik, kekuasaan militer
untuk memasuki wilayah-wilayah sipil, dll.
Orde reformasi : pemerintahan tidak punya kebijakan (menuruti alur parpol di DPR),
pemerintahan lemah, dan muncul otonomi daerah yang kebablasan, demokrasi Liberal
(neoliberaliseme), tidak jelas apa orientasinya dan mau dibawa kemana bangsa ini

Anda mungkin juga menyukai