Anda di halaman 1dari 16

BAB I

REKAM MEDIS
1.1. IDENTITAS PASIEN
Nama

: Nn. ER

Umur

: 16 Tahun

Pekerjaan

: Siswa

Alamat

: Marga Catur

Jenis kelamin

: Perempuan

Kebangsaan

: Indonesia

No. Reg

: 02.15.01.201400000963.001

1.2. ANAMNESIS
Diambil dari Autoanamnesis tanggal 28 Agustus 2014. Pukul 16.00 WIB

Keluhan Utama
Nyeri pinggang sejak 1 bulan SMRS

Keluhan Tambahan
Timbul benjolan pada punggung kiri, tulang belakang menonjol, lemas pada kaki, batuk
lama, penurunan berat badan dan keringat malam

Riwayat Perjalanan Penyakit


Os datang ke RSAM dengan keluhan nyeri pinggang sejak 1 bulan SMRS. Os
mengatakan keluhan nyeri dirasakan hilang timbul dan memberat akhir-akhir ini. Selain
itu Os mengatakan sejak 1,5 bulan SMRS os mengeluhkan timbul benjolan pada bagian
punggung. Benjolan dirasakan nyeri apabila ditekan, berbatas tegas dan dapat

digerakkan. Os mengatakan sejak 1 bulan SMRS tulang belakangnya menonjol


kebelakang dan menyebabkan os bungkuk. Os juga mengatakan kami pasien mulai
terasa lemas dan sulit untuk berjalan lama. Os mengatakan buang air besar dan buang
air kecil masih dapat dikendalikan oleh os.
Sebelumnya sekitar 2 bulan SMRS os mengalami batuk hingga saat ini. Keluhan batuk
tidak disertai dahak ataupun darah. Keluhan batuk dirasakan Os hilang timbul. Selain
itu os juga mengatakan mengalami penurunan berat badan hingga saat ini dan nafsu
makan os juga menurun. Os juga mengeluh sering berkeringat apabila pada malam hari.
Riwayat meminum obat paket 6 bulan dikatakan os tidak ada.
Riwayat Penyakit dalam Keluarga
-

Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama dalam keluarga dikatakan tidak ada.

Riwayat penyakit batuk-batuk lama dalam keluarga dan orang di sekitar pasien
dikatakan os tidak ada

Riwayat Masa Lampau


a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

Penyakit terdahulu
: R/hipertensi -, R/ Kencing Manis
Trauma Terdahulu
: tidak ada
Operasi
: Tidak ada
Sistem Saraf
: Tidak ada
Sistem Kardiovaskular : Tidak ada
Sistem Gastrointestinal : Tidak ada
Sistem Urinarius
: Tidak ada
Sistem genitalis
: Tidak ada
Sistem Muskuloskeletal : Tidak ada

II. STATUS PRESENT


A. Status Umum
-

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran

: Compos Mentis

Tinggi badan

: 155 cm

Berat badan

: 40 kg

IMT

: 16,65 (Underweight)

Kulit

: Edema -, Sianosis

B. Pemeriksaan Fisik
Tanda Vital
-

Tekanan Darah

Nadi

: 92 x/menit

Pernafasan

: 20 x/menit

Suhu

: 36,5 oC

Kepala Dan Muka


-

Pupil

: Isokor, refleks cahaya +/+

Kepala

: Tidak ada kelainan

Kelenjar - kelenjar: Tidak ada kelainan

Thoraks

: Lihat status lokalis

Abdomen

: Tidak ada kelainan

Vertebra Lumbal: Lihat status lokalis

Ekstremitas atas : Tidak ada kelainan

Ekstremitas bawah: Lihat status lokalis

Status Lokalis
Regio thorax
I

: statis dinamis simetris kanan = kiri

P : stemfremitus kanan = kiri


P : sonor pada kedua hemithorax
A : Cor: denyut jantung 92 x/menit. Murmur (-), gallop (-)
Pulmo: vesikuler (+) normal pada kedua hemithorax, ronchi basah (-), Wheezing
(-)

Regio Vertebra Lumbal


I

: benjolan setinggi L3.

P : keras, fluktuasi (-)

Regio Ekstremitas inferior dextra et sinistra


I : tidak tampak kelainan
P : rangsangan nyeri (+)
Status Neurologikus

Motorik
Sensorik

Ekstremitas Superior

Ekstremitas Inferior

Kanan
+5
N

Kanan
+3
Parastesi
Femur anterior

Kiri
+5
N

- Refleks patologis (-)

1.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium
Hemoglobin

: 113,6 g/dl

Hematokrit

: 39 vol %

Leukosit

: 7600 /mm3

LED

: 57 mm/jam

Hitung jenis

:0/5/0/65/26/4

BSS

: 105 mg/d1

Natrium

: 140 mmol/l

Kalium

: 3,5 mmol/l

Pemeriksaan Sputum
BTA I

: (-)

Kiri
+3
Parastesi
Femur anterior

BTA II

: (-)

BTA III

: (-)

Radiologis:

1.5. DlAGNOSA KERJA


Spondilitis TB

1.6 DIAGNOSIS BANDING


Tumor vertebra

1.6. PENATALAKSANAAN
o

Rifampisin oral 1 x 450 mg

INH oral 1 x 400 nmg

Etambutol oral 1 x 500 mg

Pirazinamid 1 x 250 mg

PSSW 3 minggu setelah kemoterapi anti.tuberkulosis

Rencana pemeriksaan Kultur BTA dan Tes Mantoux

Rencana Fisioterapi

1.7. PROGNOSIS

Quo ad vitam

: Dubia ad bonam

Quo ad fungtionam

: Dubia ad bonam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PENDAHULUAN
Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis tuberkulosa
merupakan

peradangan

granulomatosa

yang

bersifat

kronik

destruktif

oleh

mikobakterium tuberkulosa. Tuberkulosis tulang belakang selalu merupakan infeksi


sekunder dari fokus di tempat lain dalam tubuh. Percivall Pott (1793) yang pertama kali
menulis tentang penyakit ini dan menyatakan bahwa terdapat hubungan antara penyakit
ini dengan deformitas tulang belakang yang terjadi, sehingga penyakit ini disebut juga
sebagai penyakit Pott.1
Spondilitis tuberkulosa merupakan 50% dari seluruh tuberkulosis tulang dan
sendi yang terjadi. Di Ujung Pandang insidens spondilitis tuberkulosa ditemukan
sebanyak 70% dan Sanmugasundarm juga menemukan persentase yang sama dari
seluruh tuberkulosis tulang dan sendi. Spondilitis tuberkulosa terutama ditemukan pada
kelompok umur 2-10 tahun dengan perbandingan yang hampir sama antara wanita dan
pria.
Spondilitis paling sering ditemukan pada vertebra T8-L3, dan paling jarang pada
vertebra C1-C2. Spondilitis tuberculosis biasanya mengenai korpus vertebra, tetapi
jarang menyerang arkus vertebra.2

2.2 ETIOLOGI
Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di
tempat lain di tubuh, 90-95% disebabkan oleh mikobakteriumn tuberkulosis tipik (2/3
dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovin) dan 5-10% oleh mikobakterium tuberkulosa
atipik. Lokalisasi spondilitis tuberkulosa terutama pada daerah vertebra torakal bawah
dan lumbal atas1, sehingga diduga adanya infeksi sekunder dari suatu tuberkulosis
traktus

urinarius,

paravertebralis.

yang

penyebarannya

melalui

pleksus

Batson

pada

vena

2.3 PATOFISIOLOGI

Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi berawal
dari bagian sentral, bagian depan atau daerah epifisial korpus vertebra. Kemudian
terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan perlunakan korpus.
Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifisis, diskus intervertebralis dan
vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan korpus ini akan menyebabkan
terjadinya kifosis (Gambar 1).

Gambar 1. Gambar skematis terjadinya kifosis pada tulang belakang (penyakit Pott) akibat osteomielitis
tuberkulosa.

Kemudian eksudat (yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang
fibrosis serta basil tuberkulosa) menyebar ke depan, di bawah ligamentum longitudinal
anterior. Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke berbagai daerah
di sepanjang garis ligamen yang lemah.
Pada daerah servikal, eksudat terkumpul di belakang fasia paravertebralis dan
menyebar ke lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat dapat
mengalami protrusi ke depan dan menonjoi ke dalam faring yang dikenal sebagai abses

faringeal. Abses dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea, esofagus atau
kavum pleura.
Abses pada vertebra torakalis biasanya tetap tinggal pada daerah toraks setempat
menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses
pada daerah ini dapat menekan medula spinalis sehingga timbul paraplegia.
Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus psoas
dan muncul di bawah ligamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat juga
dapat menyebar ke daerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti pembuluh darah
femoralis pada trigonum skarpei atau regio glutea. Kumar membagi perjalanan penyakit
ini dalam 5 stadium yaitu:
1. Stadium implantasi.
Setelah bakteri berada dalam tulang; maka bila daya tahan tubuh penderita
menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 68 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anakanak umumnya pada daerah sentral vertebra.
2. Stadium destruksi awal.
Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra serta
penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3-6 minggu.
3. Stadium destruksi lanjut.
Pada stadium ini terjadi destruksi yang masif, kolaps vertebra dan terbentuk massa
kaseosa serta pus yang berbentuk coldabses (abses dingin), .yang terjadi 2-3 bulan
setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum serta
kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di
sebelah depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus vertebra, yang
menyebabkan terjadinya kifosis atau gibus.
4. Stadium gangguan neurologis.
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi,
tetapi terutama ditemukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini
ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa. Vertebra

torakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan


neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini.
Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia, yaitu:

1. Derajat I
Kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan aktivitas atau
setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris.
2. Derajat II
Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita masih dapat
melakukan pekerjaannya
3. Derajat III
Terdapat

kelemahan

pada

anggota

gerak

bawah

yang

membatasi

gerak/aktivitas penderita serta hipestesia/anestesia


4. Derajat IV
Terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan defekasi dan
miksi. Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi secara dini
atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya.
Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan
ekstradural dari abses paravertebral atau akibat kerusakan langsung sumsum tulang
belakang oleh adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang sudah
tidak aktif/sembuh terjadi oleh karena tekanan pada jembatan tulang kanalis
spinalis atau oleh

pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan

granulasi tuberkulosa. Tuberkulosis paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat


terjadi destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vaskuler vertebra.
Derajat I-III disebut sebagai paraparesis dan derajat IV disebut sebagai paraplegia.

5. Stadium deformitas residual.


Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah timbulnya stadium
implantasi. Kifosis atau gibus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra
yang masif di sebelah depan.

2.4 GAMBARAN KLINIS

Secara klinik gejala tuberkulosis tulang belakang hampir sama dengan

gejala tuberkulosis pada umumnya, yaitu badan lemah/lesu, nafsu makan


berkurang, berat badan menurun, suhu sedikit meningkat (subfebril) terutama
pada malam . hari serta sakit pada punggung. Pada anak-anak sering disertai
dengan menangis pada malam hari (night cries).
Pada tuberkulosis vertebra servikal dapat ditemukan nyeri di daerah
belakang kepala, gangguan menelan dan gangguan pernapasan akibat adanya
abses retrofaring. Kadangkala penderita datang dengan gejala abses pada
daerah paravertebral, abdominal, inguinal, poplitea atau bokong, adanya
sinus pada daerah paravertebral atau penderita datang dengan gejala-gejala
paraparesis, gejala paraplegia, keluhan gangguan pergerakan tulang belakang
akibat spasme atau gibus (gambar 2).

Gambar 2. Gambaran lesi lanjut osteomielitis tuberkulosa pada lulang belakang.


Gambaran kilnis gibbus (A) gambaran destruksl korpus disertai penyempltan ruang
intervertebral (B) dan gambaran patologis (C).

2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium
1. Peningkatan laju endap darah dan mungkin disertai dengan leukositosis
2. Uji Mantoux positif
3. Pada pemeriksaan biakan kuman mungkin ditemukan mikobakterium

4. Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar linfe regional


5. Pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan tuberkel

Pemeriksaan radiologis
1. Pemeriksaan foto toraks untuk melihat adanya tuberkulosis paru
2. Poto polos vertebra, ditemukan osteoporosis, osteolitik dan destruksi korpus vertebra,
disertai penyempitan diskus intervertebralis yang berada diantara korpus tersebut dan
mungkin dapat ditemukan adanya massa abses paravertebral.
3. Pada foto AP, abses paravertebral di daerah servikal berbentuk sarang burung (bird's
nets), di daerah torakal berbentuk bulbus dan pada daerah lumbal abses terlihat
berbentuk fusiform
4. Pada stadium lanjut terjadi destruksi vertebra yang hebat sehingga timbal kifosis
5. Pemeriksaan foto dengan zat kontras
6. Pemeriksaan mielografi dilakukai bila terdapat gejala-gejala penekanan sumsum
tulang
7. Pemeriksaan CT scan atau CT dengan mielografi
8. Pemeriksaan MRI
2.6. Diagnosis Diferensial
Spondilitispiogenik
salah satu penyakit dengan presentasi gejala yang serupa dengan spondilitis TB dan
tidak mudah untuk membedakan

keduanya tanpa pemeriksaan penunjang yang

adekuat. Spondilitis piogenik umumnya disebabkan oleh

Staphylococcusaureus,

Streptococcus, dan Pneumococcus. Secara epidemiologi, spondilitis piogenik lebih


sering menyerang usia produktif, sekitar usia 3050 tahun. Hingga saat ini, prevalensi
spondilitis piogenik dilaporkan meningkat diakibatkan banyaknya penyalahgunaan
antibiotik, tindakan invasif spinal, pembedahan spinal. Dilain pihak, jumlah kasus baru
spondilitis TB semakin berkurang

dengan penggunaan OAT. Spondilitis piogenik

memiliki perjalanan yang lebih akut dengan gejala yang hamper sama dengan
spondilitis TB. Vertebra servikal dan lumbal lebih sering terlibat, dibandingkan dengan
spondilitis TB yang lebih sering menyerang vertebra torakolumbal lebih dari satu
vertebra

Dari segi hematologis, CRP, laju endap darah (LED), jumlah leukosit,dan hitung jenis dapat
membantu diagnosis. Pada spondilitis piogenik, peningkatan CRP lebih bermakna
dibandingkan peningkatan LED, meskipun pada beberapa kasus dapat normal. Telah
dilakukan studi untuk membedakan kedua penyakit melalui MRI . Jung dkk menjabarkan
beberapa perbedaan temuan MRI secara rinci yang mengarahkan pada infeksiTB:
1)
2)
3)
4)
5)
6)

Sinyal abnormal paraspinal berbatas tegas.


Dinding abses tipis dan halus.
Adanya abses paraspinal dan intraoseus.
Penyebaran subligamen lebih dari vertebra.
Keterlibatanvertebra torakal.
Lesimultipel. Bila ada temuan radiologisselainyang disebutkan diatas, tampaknya
diagnosis infeksi

piogenik

lebih

mungkin.

Penelitian

oleh

Harada

dkkmenambahkan

bahwa adanya sinyal abnormal pada sendi faset merupakan

karakteristik infeksi piogenik. Kulturdan pewarnaanGram spesimentulangyang


diambilmelalui biopsiperkutan/terbuka dapat

memastikan

diagnosisnamun

tindakan initermasuktindakaninvasif.

Tumor metastatik spinal


mencakup persen bagian dari semua tumor tulang belakangyang mengakibatkankompresi
medula spinalis. Insiden
Urutansegmen

tertinggi kasus tumormetastasikspinal padausiadiatas50 tahun.

yangseringterlibat

dengankecenderunganbermetastasis
prostat,paru,limfoma,

ke

yaitutorakal,lumbardanservikal.Neoplasma
medula

sarkoma,danmieloma

danronggapelvisrelatifmelibatkanvertebra

spinalismeliputi

tumor

payudara,

multipel.Metastasiskeganasansalurancerna
lumbosakral,

sedangkankeganasanparudan

mamaelebihsering melibatkanvertebra torakal.

Keganasanprimerpada
medulaspinalis

pasienanak-anak yangcukupseringmenyebabkan

meliputineuroblastoma,

absesdanadanya

fragmen

SarkomaEwing,dan

tulangadalah

kompresi

hemangioma.

temuanMRIyang

Formasi

dapatmembedakan

spondilitisTBdarineoplasma.1

DIAGNOSIS
Diagnosis
gambaran

klinis

spondilitis
dan

tuberkulosa

pemeriksaan

dapat

ditegakkan

radiologis.

Untuk

berdasarkan
melengkapkan

pemeriksaan, maka dibuat suatu standar pemeriksaan pada penderita tuberkulosis


tulang dan sendi, yaitu:
1. Pemeriksaan klinik dan neurologis yang lengkap
2. Foto tulang belakang posisi AP dan lateral
3. Foto polos toraks posisi PA
4. Uji Mantoux
5. Biakan sputum dan pus untuk menemukan basil tuberkulosa

2.7 PENGOBATAN
Prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus dilakukan
sesegera mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit serta mencegah
paraplegia.
Pegobatan terdiri atas:
1. Terapi konservatif berupa:
a. Tirah baring (bed rest)
b. Memperbaiki keadaan umum penderita
c. Pemasangan brace pada penderita, baik yang dioperasi ataupun yang tidak
dioperasi

d. Pemberian obat antituberkulosa


Obat-obatan yang diberikan terdiri atas:

Isonikotinikhidrasit (INF) dengan dosis oral 5 mg/kg berat badan per


hari dengan dosis maksimal 300 mg. Dosis oral pada anak-anak 10 mg/kg
berat badan.

Asam para amino salisilat Dosis oral 8-12 mg/kg berat badan.

Etambutol. Dosis oral 15-25 mg/kg berat badan per hari.

Rifampisin. Dosis oral 10 mg/kg berat badan diberikan pada anak-anak.


Pada orang dewasa 300-400 mg per hari.
Untuk mendapatkan hasil pengobatan yang efektif dan mencegah

terjadinya kekebalan kuman tuberkulosis terhadap obat yang diberikan maka


diberikan

kombinasi

beberapa

obat

tuberkulostatik.

Regimen

yang

dipergunakan di Amerika dan di Eropa adalah INH dan Rifampisin selama 9


bulan. INH + Rifampisin + Etambutol diberikan selama 2 bulan dilanjutkan
dengan pemberian INH + Rifampisin selama 7 bulan, Di Korea diberikan
kombinasi antara INH + Rifampisin selama 6-12 bulan atau INH + Etambutol
selama 9-18 bulan

Standar pengobatan di Indonesia berdasarkan program,P2TB paru adalah:

Kategori 1
Untuk penderita baru BTA (+) dan BTA (-)/rontgen (+), diberikan dalam dua
tahap, yaitu:
o Tahap I, diberikan Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH 300 mg
dan Pirazinamid 1.500 mg. 0bat diberikan setiap hari selama 2 bulan
pertama (60 kali).
o Tahap II, diberikan Rifampisin 450 mg dan INH 600 mg. Obat
diberikan tiga kali seminggu (intermiten) selama 4 bulan (54 kali).

Kategori 2
Untuk penderita baru BTA . (+) yang sudah pernah minum obat selama
lebih sebulan, termasuk penderita dengan BTA (+) yang kambuh/gagal yang
diberikan dalam dua tahap, yaitu:

o Tahap I, diberikan Streptomisin 750 mg (injeksi), INH 300 mg,


Rifampisin 450 mg, Pirazinamid 1.500 mg dan Etambutol 750 mg, Obat
diberikan setiap hari, Streptomisin injeksi hanya 2 bulan pertama (60
kali) dan obat lainnya selama 3 bulan (90 kali).
o Tahap II, diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg dan Etambutol
1.250 mg. Obat diberikan 3 kali seminggu (intermiten) selama 5 bulan (66
kali),
Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila:

Keadaan umum penderita bertambah baik

Laju endap darah menurun dan menetap

Gejala-gejala klinis berupa nyeri dan spasme berkurang

Gambaran radiologik ditemukan adanya union pada vertebra

2. Terapi Operatif
Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi
penderita tuberkulosis tulang belakang, namun tindakan operatif masih
memegang peranan penting dalam beberapa hal, yaitu bila terdapat cold
abses (abses dingin), lesi tuberkulosa, paraplegia dan kifosis.

Abses dingin (Cold Abses)


Cold abses yang kecil tidak memerlukan tindakan operatif oleh karena
dapat terjadi resorpsi spontan dengan pemberian obat tuberkulostatik.
Pada abses yang besar dilakukan drainase bedah.
Ada tiga Cara untuk menghilangkan lesi tuberkulosa, yaitu:
a. debridemen fokal
b. kosto-transversektomi
c. debridemen fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan

Paraplegia
Penanganan yang dapat dilakukan pada paraplegia, yaitu:
a. Pengobatandengankemoterapisemata-mata

b. Laminektomi
c. Kosto-transveresektomi
d. Operasiradikal
e. Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang
lndikasi operasi
a. Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah
semakin berat. Biasanya tiga minggu sebelum tindakan operasi dilakukan,
setiap spondilitis tuberkulosa diberikan obat tuberkulostatik.
b. Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka dan
sekaligus debrideman serta bone graft
c. Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi ataupun pemeriksaan
CT dan MRI ditemukan adanya penekanan langsung pada medula spinalis
Operasi kifosis
Operasi kifosis dilakukan bila terjadi deformitas yang hebat. Kifosis mempunyai
tendensi untuk bertambah berat terutama pada anak-anak.Tindakan operatif dapat
berupa fusi posterior atau melalui operasi radikal.

Anda mungkin juga menyukai