I.
PENDAHULUAN
Kelahiran bayi prematur dapat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas perinatal,
di negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris persalinan prematur adalah
penyebab tertinggi angka morbiditas dan mortalitas perinatal, dimana komplikasi
yang diakibatkan oleh persalinan pretem lebih dari 10% dari seluruh kehamilan.
Tujuan penanganan persalinan dan kelahiran prematur adalah untuk mencegah dan
menghentikan terjadinya kontraksi uterus dengan obat-obatan tokolitik sampai
kehamilan seaterm mungkin atau sampai janin mempunyai maturitas paru yang
dinggap cukup mampu untuk hidup di luar kandungan. Walaupun kemungkinan
obat tokolitik hanya berhasil sementara, tetapi penundaan ini penting untuk
memberikan kesempatan untuk pemberian kortikosteroid untuk merangsang
pematangan paru-paru.
Pemberian tokolitik untuk mencegah terjadinya persalinan prematur menimbulkan
masalah seperti kapan saat memulai pemberian tokolitik, apakah tokolitik sudah
dapat diberikan begitu ada tanda-tanda terjadinya kontraksi uterus sebelum
kehamilan aterm walaupun belum dapat dibedakan apakah ini kontraksi yang
memang suatu kontraksi yang menandai suatu persalinan atau hanya kontraksi
palsu.
Dengan demikian pemakaian tokolitik masih merupakan jalan terbaik untuk
menunda persalinan prematur termasuk menurunkan angka morbiditas dan
mortalitas perinatal. Pemilihan obat-obatan tokolitik golongan mana yang akan
digunakan harus didasarkan pada efisiensi obat, keamanan terhadap ibu dan janin
serta pengetahuan yang jelas tentang suatu preparat yang akan digunakan.
II.
Dalam usaha untuk mencegah kelahiran prematur dan sekuelenya, klinisi yang
merawat persalinan prematur harus tetap mengingat resiko dan komplikasi dari
terapi tokolitik. Pengalaman dengan obat-obatan ini telah mengajarkan kita bahwa
obat ini harus digunakan secara hati-hati dan hanya dengan pasien yang mengalami
persalinan prematur. Poin-poin penting untuk diingat dalam penggunaan rasional
terapi tokolitik antara lain:
1. Pastikan pasien benar-benar mengalami ancaman persalinan prematur karena
obat ini merupakan obat yang berbahaya dan poten. Terapi penurunan kontraksi
uterus dengan terapi tokolitik secara parenteral dan oral harus dilakukan
walaupun ini tidak menurunkan insiden persalinan prematur atau kelahiran
prematur, dan juga tidak meningkatkan luaran perinatal. Obat ini juga membuat
ibu dan janin terpapar dengan resiko-resiko yang sebenarnya tidak perlu karena
itu pastikan resiko terapi lebih kecil dibandingkan keuntungannya.
2. Pasien yang menerima tokolitik harus diawasi ketat, terutama pada saat terapi
intravena. Peningkatan mendadak berat badan harian dapat menjadi tanda awal
bahwa pasien mengalami retensi cairan. Intake dan output harus dicatat, kadar
elektrolit, glukosa, magnesium dan tanda vital harus diawasi ketat. Tanda-tanda
klinis adanya edema pulmonal harus dilihat ada tidaknya setiap hari.
3. Keseimbangan cairan harus hati-hati diawasi untuk mencegah edema pulmonal,
yang merupakan satu dari komplikasi yang paling serius dan berbahaya dari terapi
tokolitik. Pasien dengan terapi intravena harus dibatasi cairannya untuk mengindari
overhidrasi. Sebagian besar kasus edema pulmonal bersifat iatrogenik. Pembatasan
cairan harus dilakukan dengan cermat. Cairan intra vena harus berupa ringer laktat
atau larutan normal saline. Intake oral dan intravena total harus diawasi dengan
cermat. Mengawasi intake cairan total akan mengurangi resiko edema pulmonal.
4. Mengetahui kapan harus menghentikan tokolitik. Nyeri dada, nafas pendek, adalah
tanda-tanda klinis edema pulmonal, dan atau tekanan pada dada, harus dianggap
sebagai indikasi untuk menghentikan terapi. Ketika perlu dan memungkinkan, rujuk
pasien ke pusat kesehatan tersier jika ditemui kasus diluar tempat tersebut.
5. Denyut nadi ibu harus diperiksa hati-hati, terutama pada pasien yang menerima
obat-obat -adrenergik agonis parenteral. Denyut nadi ibu bertahan pada >120 x/m
merupakan hal yang berbahaya dan indikasi bahwa pasien menerima terlalu banyak
obat tokolitik dan berada dalam resiko yang signfikan. Namun, denyut nadi yang
kurang dari 80x/menit mengindikasikan bahwa pasien tidak mengkonsumsi obatnya
atau tidak cukup dosisnya, atau tidak lagi efektif.
6. Mereka yang merawat pasien-pasien ini harus sangat terbiasa dengan obat-obat
tokolitik dalam jumlah yang terbatas. Mekanisme aksi, farmakologi, dosis, dan
resiko harus dipahami dengan jelas tidak hanya oleh dokter dan bidan, namun juga
perawat yang menangani pasien.
7. Infeksi dan abruptio plasenta harus dipertimbangkan sebagai penyebab persalinan
prematur yang resisten atau tidak dapat dielakkan. Pada situasi ini, evaluasi
ultrasonografi yang rinci harus digunakan untuk memeriksa janin dan plasenta serta
mengevaluasi pematangan paru janin.
8. Penggunaan obat-obatan tokolitik oral yang lama seperti nifedipin atau terbutalin
masih menjadi kontroversi
9. Persalinan prematur yang dialami oleh sebagian besar pasien dapat dikontrol
melalui terapi intravena dalam waktu 24-48 jam. Usahakan untuk dapat
menghentikan terapi intravena sebisa mungkin. Pasien dengan dilatasi serviks lanjut
atau persalinan prematur resisten mungkin membutuhkan dilanjutkannya terapi
tersebut. Terapi tokolitik yang lama, baik per oral maupun intravena merupakan hal
yang dapat dilakukan, bermanfaat dan aman. Namun pasien harus diobservasi ketat
untuk efek samping dan kaaomplikasinya.
10. Pasien seringkali gagal tokolitik dan melahirkan. Pasien yang melahirkan selagi
menerima terapi tokolitik atau segera setelah dihentikan pemakaiannya akan
mengalami peningkatan resiko untuk terjadinya perdarahan postpartum menyangkut
obat yang digunakan, sehingga kita harus siap dengan kemungkinan atonia uteri.
11. Jika pasien diberikan terapi tokolitik, maka juga diberikan kortikosteroid untuk
mempercepat pematangan paru janin.
12. Ketika perlu dilakukan tirah baring untuk antepartum yang lama dan rawat inap
untuk tokolitik, kenali stress yang akan dialami pasien. Pasien ini jauh dari
keluarga, rumah, pekerjaan dan gaya hidup. Tim perinatal memainkan peranan
penting dalam membantu pasien ini menghadapi dan beradaptasi terhadap aspek
psikososial dari perawatan yang diterimanya.
IV.
Mekanisme kerja dari calcium channel blocker dilihat pada gambar di bawah ini :
V. PERANAN CALCIUM
TOKOLITIK
CHANNEL
BLOCKER
(NIFEDIPINE)
SEBAGAI
Antagonis kalsium merupakan relaksan otot polos yang menghambat aktivitas uterus
dengan mengurangi influks kalsium melalui kanal kalsium yang bergantung pada
voltase. Terdapat beberapa kelas antagonis kalsium, namun sebagian besar pengalaman
klinis adalah dengan nifedipin.
Awal 1960an nifedipine digunakan sebagai anti angina dan juga merupakan salah satu
obat anti hipertensi yang sudah lama digunakan pada ibu hamil maupun tidak hamil.
Pada saat ini obat ini juga diketahui memiliki peran di bidang obstetri dan ginekologi
khususnya pada penanganan persalinan prematur.
Obat ini populer karena murah, mudah penggunaannya dan sedikit insiden terjadinya
efek samping. Obat ini terbukti menjadi obat tokolitik yang efektif baik ketika
dibandingkan dengan plasebo atau obat-obat lainnya.
A. Farmakokinetik
Nifedipin diabsorbsi cepat di saluran pencernaan setelah pemberial oral ataupun
sublingual. Konsentrasi maksimal pada plasma umumnya dicapai setelah 15-90
menit setelah pemberian oral, dengan pemberian sublingual konsentrasi dalam
plasma dicapai setelah 5 menit pemberian. Lama kerja obat pada pemberian dosis
tunggal dapat sampai 6 jam dan tidak terjadi efek komulatif pada pemberian oral
setiap 6 jam. Absorpsi secara oral tergantung dari keasaman lambung. Nifedipine
dimetabolisme di hepar, 70-80% hasil metabolismenya dieksresikan ke ginjal dan
sisanya melalui feses
B. Kontraindikasi dan Penggunaan Klinik
Dosis nifedipine untuk terapi pada persalinan prematur pada percobaan klinik
bervariasi. Dosis inisial 30mg per oral atau 30mg ditambah 20mg peroral dalam 90
menit atau 10mg sublingual setiap 20 menit, dengan diikuti oleh 4 dosis tambahan
sebanyak 20mg peroral setiap 4-8 jam untuk terapi tokolitik. Sebagai dosis
perawatan 10-20mg setiap 4-12 jam..
Pemberian nifedipine dikontraindikasikan untuk penderita penyakit hati dan
hipotensi.
C. Efek Terhadap Ibu
Nifedipin menghasilkan hipotensi sistemik dengan menyebabkan vasodilatasi
perifer. Obat ini telah digunakan dalam terapi hipertensi selama kehamilan atau post
partum. Secara klinis, ketika digunakan untuk terapi persalinan prematur, obat ini
memiliki efek terhadap kardiovaskular yang minimal.
Antagonis kalsium merupakan relaksan otot polos yang menghambat aktivitas uterus
dengan mengurangi influks kalsium melalui kanal kalsium yang bergantung pada
voltase. Terdapat beberapa kelas antagonis kalsium, namun sebagian besar pengalaman
klinis adalah dengan nifedipin.
Nifedipine digunakan sebagai salah satu obat anti hipertensi yang sudah lama
digunakan pada ibu hamil maupun tidak hamil. Kemudian, saat ini diketahui memiliki
peran di bidang obstetri dan ginekologi khususnya pada penanganan persalinan
prematur. Obat ini terbukti menjadi obat tokolitik yang efektif baik ketika dibandingkan
dengan plasebo atau obat-obat lainnya. Obat ini populer karena murah, mudah
penggunaannya dan sedikit insiden terjadinya efek samping.
Refrat
Oleh :
Pembimbing :
dr. Wahdi, Sp.OG