I. Definisi
Penyakit artritis reumatoid (AR) merupakan penyakit sistemik yang bersifat
progresif, yang mengenai jaringan lunak dan cenderung untuk menjadi
kronis. Jadi, sebenarnya terlibatnya sendi pada penderita-penderita penyakit
AR ini pada tahap berikutnya setelah penyakit ini berkembang lebih lanjut
sesuai dengan sifat progresivitasnya. Penyakit ini disebabkan karena adanya
inflamasi dari membran sinovial dari sendi diartroidial. Artritis rematoid
adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian (biasanya sendi tangan
dan kaki) secara simetris mengalami peradangan, sehingga terjadi
pembengkakan, nyeri dan seringkali akhirnya menyebabkan kerusakan
bagian dalam sendi. Artritis reumatoid juga bisa menyebabkan sejumlah
gejala di seluruh tubuh. Penyakit ini terjadi pada sekitar 1% dari jumlah
penduduk, dan wanita 2-3 kali lebih sering dibandingkan pria. Biasanya
pertama kali muncul pada usia 25-50 tahun, tetapi bisa terjadi pada usia
berapapun.
II. Etiologi
Artritis reumatoid ini merupakan bentuk artritis yang serius, disebabkan oleh
peradangan kronis yang bersifat progresif, yang menyangkut persendian.
Ditandai dengan sakit dan bengkak pada sendi-sendi terutama pada jari-jari
tangan, pergelangan tangan, siku, dan lutut. Penyebab artritis reumatoid
masih belum diketahui walaupun banyak hal mengenai patogenesisnya telah
terungkap. Penyakit ini tidak dapat ditunjukkan memiliki hubungan pasti
dengan genetik. Terdapat kaitan dengan penanda genetik seperti HLA-DW4
(Human Leukocyte Antigens) dan HLA-DR5 pada orang Kaukasia. Namun
pada orang Amerika, Afrika, Jepang, dan Indian Chippewa hanya ditentukan
kaitan dengan HLA-DW4. Destruksi jaringan sendi terjadi melalui dua cara.
Pertama adalah destruksi pencernaan oleh produksi, protease, kolagenase,
dan enzim hidrolitik lainnya. Enzim ini memecah kartilago, ligamen, tendon,
dan tulang pada sendi, serta dilepaskan bersama sama dengan radikal O2
dan metabolit asam arakidonat oleh leukosit polimorfonuklear dalam cairan
sinovial. Proses ini diduga adalah bagian dari respon autoimun terhadap
antigen yang diproduksi secara lokal Destruksi jaringan juga terjadi melalui
kerja panus reumatoid. Panus merupakan jaringan granulasi atau vaskuler
yang terbentuk dari sinovium yang meradang dan kemudian meluas ke
sendi. Di sepanjang pinggir panus terjadi destruksi, kolagen, dan
proteoglikan melalui produksi enzim oleh sel di dalam panus tersebut.
Artritis Reumatoid
Artritis Reumatoid (AR) merupakan suatu penyakit yang tersebar luas serta
melibatkan semua kelompok ras dan etnik di dunia. Penyakit ini merupakan
suatu penyakit autoimun yang ditandai dengan terdapatnya sinovitis erosif
simetrik yang walaupun terutama mengenai jaringan persendian, seringkali
juga melibatkan organ tubuh lainnya
Sebagian besar penderita menunjukkan gejala penyakit kronik yang hilang
timbul, yang jika tidak diobati akan menyebabkan terjadinya kerusakan
persendian dan deformitas sendi yang progresif yang menyebabkan
disabilitas bahkan kematian dini. Walaupun faktor genetik, hormon sex,
infeksi dan umur telah diketahui berpengaruh kuat dalam menentukan pola
morbiditas penyakit ini.hingga etiologi AR yang sebenarnya tetap belum
dapat diketahui dengan pasti.
Gejala Klinis
Gejala klinis utama AR adalah poliartritis yang mengakibatkan terjadinya
kerusakan pada rawan sendi dan tulang disekitarnya. Kerusakan ini terutama
mengenai sendi perifer pada tangan dan kaki yang umum nya bersifat
simetris. Pada kasus AR yang jelas diag-nosis tidak begitu sulit untuk
ditegakkan. Akan tetapi pada masa permulaan penyakit, seringkali gejala AR
tidak bermanifestasi dengan jelas, sehingga kadang kadang timbul kesulitan
dalam menegakkan diagnosis. Walaupun demikian dalam menghadapi AR
yang pada umumnya berlangsung kronis ini, seorang dokter tidak perlu
terlalu cepat untuk menegakkan diagnosis yang pasti. Adalah lebih baik
untuk menunda diagnosis AR selama beberapa bulan dari pada gagal
mendiagnosis terdapatnya jenis artritis lain yang seringkali memberi-kan
gejala yang serupa5. Pada penderita harus diberi tahukan bahwa semakin
lama diagnosis AR tidak dapat ditegakkan dengan pasti oleh seorang dokter
yang berpengalaman, umumnya akan semakin baik pula prognosis AR yang
dideritanya.
Kriteria Diagnosis
Kriteria diagnostik AR disusun untuk pertama kalinya oleh suatu komite
khusus dari American Rheumatism Association (ARA) pada tahun 1956.
Karena kriteria tersebut dianggap tidak spesifik dan terlalu rumit untuk
5. Nodul reumatoid
6. Faktor reumatoid serum positif
7. Perubahan gambaran radiologis
Penderita dikatakan menderita AR jika memenuhi sekurang kurangnya
kriteria 1 sampai 4 yang diderita sekurang kurangnya 6 minggu.
Konsep Pengobatan AR
Walaupun hingga kini belum berhasil didapatkan suatu cara pencegahan dan
pengobatan AR yang sempurna, saat ini pengobatan pada penderita AR
ditujukan untuk:
1. Menghilangkan gejala inflamasi aktif baik lokal maupun sistemik
2. Mencegah terjadinya destruksi jaringan
3. Mencegah terjadinya deformitas dan memelihara fungsi persendian
agar tetap dalam keadaan baik.
4. Mengembalikan kelainan fungsi organ dan persen dian yang terlibat
agar sedapat mungkin menjadi normal kembali.
Dalam pengobatan AR umumnya selalu dibutuh kan pendekatan
multidisipliner. Suatu team yang idealnya terdiri dari dokter, perawat, ahli
fisioterapi, ahli terapi okupasional, pekerja sosial, ahli farmasi, ahli gizi dan
ahli psikologi, semuanya memiliki peranan masing masing dalam
pengelolaan penderita AR baik dalam bidang edukasi maupun
penatalaksanaan pengobatan penyakit ini. Pertemuan berkala yang teratur
antara penderita dan keluarganya dengan team pengobatan ini umumnya
akan memungkinkan penatalaksanaan penderita menjadi lebih baik dan juga
akan meningkatkan kepatuhan penderita untuk berobat.
Setelah diagnosis AR dapat ditegakkan, pendekatan pertama yang harus
dilakukan adalah segera berusaha untuk membina hubungan yang baik
antara penderita dan keluarganya dengan dokter atau team pengobatan
yang merawatnya. Tanpa hubungan yang baik ini agaknya akan sukar untuk
dapat memelihara ketaatan penderita untuk tetap berobat dalam suatu
jangka waktu yang cukup lama.
Peranan Pendidikan dalam Pengobatan AR
Penerangan tentang kemungkinan faktor etiologi, patogenesis, riwayat
alamiah penyakit dan penatalaksanaan AR kepada penderita merupakan hal
yang amat penting untuk dilakukan. Dengan penerangan yang baik
Selama ini telah terbukti bahwa OAINS dapat sangat berguna dalam
pengobatan AR, walaupun OAINS bukanlah merupakan satu satunya obat
yang dibutuhkan dalam pengobatan AR. Hal ini di sebabkan karena golongan
OAINS tidak memiliki khasiat yang dapat melindungi rawan sendi dan tulang
dari proses destruksi akibat AR. Untuk mengatasi proses destruksi tersebut
masih diperlukan obat obatan lain yang termasuk dalam golongan DMARD.
Efek Samping OAINS pada Pengobatan Penderita AR
Semua OAINS secara potensial umumnya ber-sifat toksik. Toksisitas OAINS
yang umum dijumpai adalah efek sampingnya pada traktus gastrointestinalis
terutama jika OAINS digunakan bersama obat obatan lain, alkohol, kebiasaan
merokok atau dalam keadaan stress. Usia juga merupakan suatu faktor risiko
untuk mendapatkan efek samping gastrointestinal akibat OAINS. Pada
penderita yang sensitif dapat digunakan preparat OAINS yang berupa
suppositoria, pro drugs, enteric coated, slow release atau non-acidic. Akhir
akhir ini juga sedang dikembangkan OAINS yang bersifat selektif terhadap
jalur COX-2 metabolisme asam arakidonat. OAINS yang selektif terhadap
jalur COX-2 umumnya kurang berpengaruh buruk pada mukosa lambung
dibandingkan dengan preparat OAINS biasa.
Efek samping lain yang mungkin dijumpai pada pengobatan OAINS antara
lain adalah reaksi hiper-sensitivitas, gangguan fungsi hati dan ginjal serta penekanan sistem hematopoetik.
Selama duapuluh tahun terakhir ini, berbagai jenis OAINS baru dari berbagai
golongan dan cara penggunaan telah dapat diperoleh di pasaran. Dalam
memilih suatu OAINS untuk digunakan pada seorang penderita AR, seorang
dokter umumnya harus mempertimbangkan beberapa hal seperti:
o
Biaya.
Karena faktor seperti khasiat anti inflamasi, efek analgesik, beratnya efek
samping atau biaya dari berbagai jenis OAINS saat ini umumnya masih tidak
jauh berbeda, sejak beberapa tahun terakhir ini pilihan OAINS lebih banyak
bergantung pada faktor kenyamanan dan kepatuhan penderita dalam
menggunakan OAINS.
Penggunaan DMARD pada Penderita AR
Pada dasarnya saat ini terdapat terdapat dua cara pendekatan pemberian
DMARD pada pengobatan penderita AR. Cara pertama adalah pemberian
DMARD tunggal yang dimulai dari saat yang sangat dini. Pendekatan ini
didasarkan pada pemikiran bahwa destruksi sendi pada AR terjadi pada
masa dini penyakit. Brook and Corbett, pada penelitiannya menemukan
bahwa 90% penderita AR telah menunjukkan gambaran erosi secara
radiologis pada dua tahun pertama setelah menderita penyakit. Hasil
pengobatan jangka panjang yang buruk pada sebagian besar penelitian
sangat mungkin disebabkan karena pengobatan baru dimulai setelah masa
kritis ini dilampaui.
Cara pendekatan lain adalah dengan menggunakan dua atau lebih DMARD
secara simultan atau secara siklik seperti penggunaan obat obatan
imunosupresif pada pengobatan penyakit keganasan. Kecenderungan untuk
menggunakan kombinasi DMARD dalam pengobatan AR ini timbul sejak
dekade yang silam karena banyak diantara para ahli reumatologi
beranggapan bahwa terapi DMARD secara sekwensial, pada jangka panjang
tidak berhasil mencegah terjadinya kerusakan sendi yang progresif.
Sebenarnya tidak terdapat suatu batasan yang tegas mengenai kapan kita
harus mulai menggunakan DMARD. Hal ini disebabkan karena hingga kini
belum terdapat suatu cara yang tepat untuk dapat mengukur beratnya
sinovitis atau destruksi tulang rawan pada penderita AR. Dengan demikian,
keputusan untuk menggunakan DMARD pada seorang penderita AR akan
sepenuhnya bergantung pada pertimbangan dokter yang mengobatinya.
Umumnya pada penderita yang diagnosisnya telah dapat ditegakkan dengan
pasti, OAINS harus diberikan dengan segera. Pada penderita yang tersangka
menderita AR yang tidak menunjukkan respons terhadap OAINS yang cukup
baik dalam beberapa minggu, DMARD dapat dimulai diberikan untuk dapat
mengontrol progresivitas penyakitnya.
Beberapa jenis DMARD yang lazim digunakan untuk pengobatan AR adalah:
Klorokuin
Klorokuin merupakan DMARD yang paling banyak digunakan di Indonesia.
Hal ini disebabkan karena klorokuin sangat mudah didapat dengan biaya
yang amat terjangkau sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah Indonesia
dalam hal eradikasi penyakit malaria.
http://www.naturindonesia.com/artikel-berbagai-penyakit-degeneratif/449-artritisreumatoid-.html
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Artritis reumatoid merupakan kasus panjang yang sangat sering diujikan. Bisanya
terdapat banyak tanda- tanda fisik. Diagnosa penyakit ini mudah ditegakkan. Tata laksananya
sering merupakan masalah utama. Insiden pucak dari artritis reumatoid terjadi pada umur dekade
keempat, dan penyakit ini terdapat pada wanita 3 kali lebih sering dari pada laki- laki. Terdapat
insiden familial ( HLA DR-4 ditemukan pada 70% pasien ).
Artritis reumatoid diyakini sebagai respon imun terhadap antigen yang tidak diketahui.
Stimulusnya dapat virus atau bakterial. Mungkin juga terdapat predisposisi terhadap penyakit.
I.2 Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
Untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan perawat dalam memberikan
asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit Artritis Reumatoid, dan sebagai
bahan literatur bagi mahasiswa keperawatan.
1.2.2. Tujuan Khusus
Untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan perawat dan mahasiswa
keperawatan dalam :
1. Mengidentifikasi tanda dan gejala Artritis Reumatoid.
2. Memberikan asuhan keperawatan yang tepat pada penderita Artritis Reumatoid.
3. Mencegah untuk tidak terjadinya komplikasi pada penderita Artritis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. PENGERTIAN
Artritis Reumatoid adalah penyakit autoimun sistemik kronis yang tidak diketahui
penyebabnya dikarekteristikan dengan reaksi inflamasi dalam membrane sinovial yang mengarah
pada destruksi kartilago sendi dan deformitas lebih lanjut.
2.4. PATOFISIOLOGI
Sinovitis Proliferatif
timbul
Hiperekstensi / deformitas fleksi bisa bkembang dlm sendi IP ibu jari tangan,
PIP jr tgn, sendi MCP & IP jr tgn
sendi
Tenosinovitis, jari tng pelatuk, rupture tendo & sindroma terowongan kaspal lazim
di temukan
3. Nodulus rheumatoid, tidak nyeri tekan dan dapat bergerak bebas, di temukan pada
jaringan subkutan di atas tonjolan tulang.
2.6. EVALUASI DIAGNOSIS
1. Beberapa faktor yang menujang diagnosa AR: nodulus reumatoid, inflamasi sendi,
temuan laboraturium.
2. Faktor reumatoid ( FR ) terdapat lebih dari 80% pada darah pasien.
3. jumlah sel darah merah dan komponen komplemen C4 menurun.
2.7. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan umum yang lengkap penting di lakukan. Disamping menilai adanya sinovasi
pada setiap sendi, perhatian juga hal hal berikut ini :
1. Keadaan umum komplikasi steroid, berat badan.
2. Tangan meliputi vaskulitasi dan fungsi tangan.
3. Lengan siku dan sendi bahu, nodul rematoid dan pembesaran kelenjar limfe aksila.
4. Wajah. Periksa mata untuk sindroma Sjorgen, skleritis, episkleritis, skleromalasia
perforans, katarak, anemia dan tanda tanda hiperviskositas pada fundus. Kelenjar
parotis membesar ( sinroma Sjogren ). Mulut ( kering, karies dentis, ulkus ), suara serak,
sendi temporomandibula ( krepitus ). Catatan : artritis rematoid tidak menyebabkan
iritasi.
5. Leher adanya tanda tanda terkenanya tulang servikal.
6. Toraks. Jantung ( adanya perikarditis, defek konduksi, inkompetensi katup aorta dan
mitral ). Paru paru ( adanya efusi pleural, fibrosis, nodul infark, sindroma Caplan ).
7. Abdomen adanya splenomegali dan nyeri tekan apigastrik.
8. Panggul dan lutut.
9. Tungkai bawah adanya ulkus, pembengkakan betis ( kista Baker yang reptur )
neuropati, mononeuritis multipleks dan tanda tanda kompresi medulla spinalis.
10. Kaki.
11. Urinalisis untuk protein dan darah, serta pemeriksaan rektum untuk menentukan adanya
darah.
2.8. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Untuk menyokong diagnosa (ingat bahwa ini terutama merupakan diagnosa klinis)
1. Tes serologik
(a) faktor rematoid 70% pasien bersifat seronegatif.
Catatan:
100%
dengan
factor
rematoid
yang
positif
jika terdapat
atasindroma
Sjogren
(b) Antibodi antinukleus (AAN)- hasil yang positif terdapat pada kira-kira 20 kasus
2. Foto sinar X pada sendi-sendi yang terkena. Perubahan-perubahan yang dapat di te
mukan adalah:
(a) pembekakan jaringan lunak;
(b) penympitan rongga sendi;
(c) erosi sendi;
(d) osteoporosis juksta artikuler;
nodul
Tujuan dari penatalaksanaan termasuk penyuluhan, keseimbangan antara istirahat dan latihan,
dan rujukan lembaga di komunitas untuk mendapatkan dukungan.
1. AR dini : penatalaksanaan pengobatan termasuk dosis terapeutik salisilat atau obat obat
antiinflamasi nonsteroid ( NSAIDS ); antimalaria emas, pensilamin, atau sulfasalazin,
methotreksat; analgetik selama periode nyeri hebat.
2. AR sedang , erosit: program formal terapi okupasi dan terapi fisik.
3. AR persisten, erisif; pembedahan rekonstruksi dan kortikosteroid.
4. AR tahap lanjut yang tak pulih: preparat immunosupresif, seperti metotreksat,
siklosfosfamid, dan azatioprin.
5. Pasien AR sering mengalami anoreksia, penurunan berat badan, dan anemia, sehingga
membutuhkan pengkajian riwayat diit yang sangat cermat untuk mengidntifikasi
kebiasaan makan dan makanan yang disukai. ( kortikosteroid dapat menstimulasi napsu
makan dan menyebabkan penambahan berat badan ).
2.11. PROGNOSIS
Perjalanan penyakit artritis reumatoid sangat bervariasi, bergantung pada ketaatan pasien
untuk berobat dalam jangka waktu lama. Sekitar 50 70% pasien artritis reumatoid akan
mengalami prognosis yang lebih buruk. Golongan ini umumya meninggi 10 15 tahun lebih
cepat dari pada orang tanpa arthritis rheumatoid. Penyebab kematiannya adalah infeksi, penyakit
jantung, gagal pernapasan, gagal ginjal, dan penyakit saluran cerna. Umumnya mereka memiliki
keadaan umum yang buruk, lebih dari 30 buah sendi yang mengalami peradangan, dengan
manifestasi ekstraartikuler, dan tingkat pendidikan yang rendah. Golongan ini memerlukan terapi
secara agresif dan dini karena kerusakan tulang yang luas dapat terjadi dalam 2 tahun pertama.
Istilah rheumatism berasal dari bahasa Yunani, rheumatismos, yang berarti mukus; suatu cairan
yang dianggap jahat, mengalir dari otak ke sendi dan struktur lain tubuh sehingga menimbulkan
rasa nyeri. Beberapa penelitian menunjukkan memang ada perubahan struktur mucine sendi
(mukopolisakarida, asam hialuronat) pada beberapa jenis penyakit reumatik, sehingga istilah
yang telah agak lama dipakai itu agaknya masih sesuai sampai saat ini.
Setiap kondisi yang disertai nyeri dan kaku pada sistem muskuloskeletal disebut reumatik,
termasuk penyakit jaringan ikat (penyakit kolagen). Sedangkan istilah artritis, umumnya dipakai
bila sendi merupakan tempat utama penyakit reumatik.
Reumatologi adalah ilmu yang mempelajari penyakit sendi, termasuk penyakit artritis, fibrositis,
bursitis, neuralgia dan kondisi lainnya yang menimbulkan nyeri somatik dan kekakuan.
Hingga kini dikenal lebih dari 100 macam penyakit sendi yang seringkali memberikan gejala
yang hampir sama. Oleh karena itu pendekatan diagnostik sangat diperlukan agar didapatkan
diagnosis yang tepat, sehingga pasien akhirnya memperolah penatalaksanaan yang adekuat. Perlu
diingat pula bahwa gangguan reumatik dapat merupakan manifestasi artikular berbagai penyakit
dan sebaliknya beberapa penyakit reumatik mempunyai manifestasi ekstra-artikular pada
berbagai organ. (1)
2.1. Definisi
Artritis Reumatoid (AR) merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik kronik yang walaupun
manifestasi utamanya adalah poliartritis yang progesif, akan tetapi penyakit ini juga melibatkan
seluruh organ tubuh.7 Terlibatnya sendi pada pasien artritis reumatoid terjadi setelah penyakit ini
berkembang lebih lanjut sesuai dengan sifat progesifitasnya.3 Pada umumnya selain gejala
artikular, AR dapat pula menunjukkan gejala konstitusional berupa kelemahan umum, cepat lelah
atau gangguan organ non artikular lainnya.7
Artritis Reumatoid ditandai dengan adanya peradangan dari lapisan selaput sendi (sinovium)
yang mana menyebabkan sakit, kekakuan, hangat, bengkak dan merah. Peradangan sinovium
dapat menyerang dan merusak tulang dan kartilago. Sel penyebab radang melepaskan enzim
yang dapat mencerna tulang dan kartilago. Sehingga dapat terjadi kehilangan bentuk dan
kelurusan pada sendi, yang menghasilkan rasa sakit dan pengurangan kemampuan bergerak.2
Artritis adalah inflamasi dengan nyeri, panas, pembengkakan, kekakuan dan kemerahan pada
sendi. Akibat artritis, timbul inflamasi umum yang dikenal sebagai artritis reumatoid yang
merupakan penyakit autoimun.14
Manifestasi tersering penyakit ini adalah terserangnya sendi yang umumnya menetap dan
progresif. Mula-mula yang terserang adalah sendi kecil tangan dan kaki. Seringkali keadaan ini
mengakibatkan deformitas sendi dan gangguan fungsi disertai rasa nyeri.16
2.2. Epidemiologi
Artritis Reumatoid merupakan suatu penyakit yang telah lama dikenal dan tersebar luas di
seluruh dunia serta melibatkan semua ras dan kelompok etnik.
Prevalensi Artritis Reumatoid adalah sekitar 1 persen populasi (berkisar antara 0,3 sampai 2,1
persen).15 Artritis Reumatoid lebih sering dijumpai pada wanita, dengan perbandingan wanita dan
pria sebesar 3:1.7 Perbandingan ini mencapai 5:1 pada wanita dalam usia subur.8
Artritis Reumatoid menyerang 2,1 juta orang Amerika, yang kebanyakan wanita. Serangan pada
umumnya terjadi di usia pertengahan, nampak lebih sering pada orang lanjut usia. 1,5 juta wanita
mempunyai artritis reumatoid yang dibandingkan dengan 600.000 pria.2
2.3. Etiologi
Penyebab Artritis Reumatoid masih belum diketahui. Faktor genetik dan beberapa faktor
lingkungan telah lama diduga berperan dalam timbulnya penyakit ini. Hal ini terbukti dari
terdapatnya hubungan antara produk kompleks histokompatibilitas utama kelas II, khususnya
HLA-DR4 dengan AR seropositif. Pengemban HLA-DR4 memiliki resiko relatif 4:1 untuk
menderita penyakit ini.8
Kecenderungan wanita untuk menderita AR dan sering dijumpainya remisi pada wanita yang
sedang hamil menimbulkan dugaan terdapatnya faktor keseimbangan hormonal sebagai salah
satu faktor yang berpengaruh pada penyakit ini. Walaupun demikian karena pemberian hormon
estrogen eksternal tidak pernah menghasilkan perbaikan sebagaimana yang diharapkan, sehingga
kini belum berhasil dipastikan bahwa faktor hormonal memang merupakan penyebab penyakit
ini.8
Sejak tahun 1930, infeksi telah diduga merupakan penyebab AR. Dugaan faktor infeksi sebagai
penyebab AR juga timbul karena umumnya onset penyakit ini terjadi secara mendadak dan
timbul dengan disertai oleh gambaran inflamasi yang mencolok. Walaupun hingga kini belum
berhasil dilakukan isolasi suatu mikroorganisme dari jaringan sinovial, hal ini tidak
menyingkirkan kemungkinan bahwa terdapat suatu komponen peptidoglikan atau endotoksin
mikroorganisme yang dapat mencetuskan terjadinya AR. Agen infeksius yang diduga merupakan
penyebab AR antara lain adalah bakteri, mikoplasma atau virus.8,10
Heat shock protein (HSP) adalah sekelompok protein berukuran sedang (60 sampai 90 kDa)
yang dibentuk oleh sel seluruh spesies sebagai respons terhadap stress. Walaupun telah diketahui
terdapat hubungan antara HSP dan sel T pada pasien AR, mekanisme ini belum diketahui dengan
jelas.10
2.4. Patogenesis
Dari penelitian mutakhir diketahui bahwa patogenesis AR terjadi akibat rantai peristiwa
imunologis sebagai berikut :
Suatu antigen penyebab AR yang berada pada membran sinovial, akan diproses oleh antigen
presenting cells (APC) yang terdiri dari berbagai jenis sel seperti sel sinoviosit A, sel dendritik
atau makrofag yang semuanya mengekspresi determinan HLA-DR pada membran selnya.
Antigen yang telah diproses akan dikenali dan diikat oleh sel CD4+ bersama dengan determinan
HLA-DR yang terdapat pada permukaan membran APC tersebut membentuk suatu kompleks
trimolekular. Kompleks trimolekular ini dengan bantuan interleukin-1 (IL-1) yang dibebaskan
oleh monosit atau makrofag selanjutnya akan menyebabkan terjadinya aktivasi sel CD4+.
Pada tahap selanjutnya kompleks antigen trimolekular tersebut akan mengekspresi reseptor
interleukin-2 (IL-2) Pada permukaan CD4+. IL-2 yang diekskresi oleh sel CD4+ akan
mengikatkan diri pada reseptor spesifik pada permukaannya sendiri dan akan menyebabkan
terjadinya mitosis dan proliferasi sel tersebut. Proliferasi sel CD4+ ini akan berlangsung terus
selama antigen tetap berada dalam lingkunan tersebut. Selain IL-2, CD4+ yang telah teraktivasi
juga mensekresi berbagai limfokin lain seperti gamma-interferon, tumor necrosis factor b (TNFb), interleukin-3 (IL-3), interleukin-4 (IL-4), granulocyte-macrophage colony stimulating factor
(GM-CSF) serta beberapa mediator lain yang bekerja merangsang makrofag untuk meningkatkan
aktivitas fagositosisnya dan merangsang proliferasi dan aktivasi sel B untuk memproduksi
antibodi. Produksi antibodi oleh sel B ini dibantu oleh IL-1, IL-2, dan IL-4.
Setelah berikatan dengan antigen yang sesuai, antibodi yang dihasilkan akan membentuk
kompleks imun yang akan berdifusi secara bebas ke dalam ruang sendi. Pengendapan kompleks
imun akan mengaktivasi sistem komplemen yang akan membebaskan komponen-komplemen
C5a. Komponen-komplemen C5a merupakan faktor kemotaktik yang selain meningkatkan
permeabilitas vaskular juga dapat menarik lebih banyak sel polimorfonuklear (PMN) dan
monosit ke arah lokasi tersebut. Pemeriksaan histopatologis membran sinovial menunjukkan
bahwa lesi yang paling dini dijumpai pada AR adalah peningkatan permeabilitas mikrovaskular
membran sinovial, infiltrasi sel PMN dan pengendapan fibrin pada membran sinovial.
Fagositosis kompleks imun oleh sel radang akan disertai oleh pembentukan dan pembebasan
radikal oksigen bebas, leukotrien, prostaglandin dan protease neutral (collagenase dan
stromelysin) yang akan menyebabkan erosi rawan sendi dan tulang.8,10 Radikal oksigen bebas
dapat menyebabkan terjadinya depolimerisasi hialuronat sehingga mengakibatkan terjadinya
penurunan viskositas cairan sendi. Selain itu radikal oksigen bebas juga merusak kolagen dan
proteoglikan rawan sendi.
Prostaglandin E2 (PGE2) memiliki efek vasodilator yang kuat dan dapat merangsang terjadinya
resorpsi tulang osteoklastik dengan bantuan IL-1 dan TNF-b.
Rantai peristiwa imunologis ini sebenarnya akan terhenti bila antigen penyebab dapat
dihilangkan dari lingkungan tersebut. Akan tetapi pada AR, antigen atau komponen antigen
umumnya akan menetap pada struktur persendian, sehingga proses destruksi sendi akan
berlangsung terus.10 Tidak terhentinya destruksi persendian pada AR kemungkinan juga
disebabkan oleh terdapatnya faktor reumatoid. Faktor reumatoid adalah suatu autoantibodi
terhadap epitop fraksi Fc IgG yang dijumpai pada 70-90 % pasien AR. Faktor reumatoid akan
berikatan dengan komplemen atau mengalami agregasi sendiri, sehingga proses peradangan akan
berlanjut terus. Pengendapan kompleks imun juga menyebabkan terjadinya degranulasi mast cell
yang menyebabkan terjadinya pembebasan histamin dan berbagai enzim proteolitik serta aktivasi
jalur asam arakidonat.
Masuknya sel radang ke dalam membran sinovial akibat pengendapan kompleks imun
menyebabkan terbentuknya pannus yang merupakan elemen yang paling destruktif dalam
patogenesis AR. Pannus merupakan jaringan granulasi yang terdiri dari sel fibroblas yang
berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel radang. Secara histopatologis pada daerah
perbatasan rawan sendi dan pannus terdapatnya sel mononukleus, umumnya banyak dijumpai
kerusakan jaringan kolagen dan proteoglikan.7
2.5. Gambaran Klinis
Ada beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada penderita artritis reumatoid.
Gambaran klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada saat yang bersamaan oleh karena penyakit
ini memiliki gambaran klinis yang sangat bervariasi.
1. Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan menurun dan demam.
Terkadang kelelahan dapat demikian hebatnya.
2. Poliartritis simetris terutama pada sendi perifer, termasuk sendi-sendi di tangan, namun
biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalangs distal. Hampir semua sendi diartrodial dapat
terserang.
3. Kekakuan di pagi hari selama lebih dari 1 jam: dapat bersifat generalisata tatapi terutama
menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda dengan kekakuan sendi pada osteoartritis, yang
biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit dan selalu kurang dari 1 jam.
Definisi
2. Artritis pada 3
daerah
3. Artritis pada
persendian tangan
4. Artritis simetris
5. Nodul rheumatoid
7. Perubahan
gambaran
terjadi neuropati sensorimotor, tetapi bila terjadi bersifat progresif dan dapat menyebabkan suatu
penurunan kemampuan penderita dalam melakukan aktivitas. Mielopati dapat terjadi pada
penderita AR karena sering terlibatnya vertebra servikalis dan menimbulkan penyempitan kanalis
spinalis pada fleksi leher setelah terjadi subluksasi atlantoaksial. Gejala akibat gangguan
sirkulasi posterior berupa vertigo dan kelemahan akibat kompresi atau trombosis arteria
vertebralis. Penderita artritis reumatoid lanjut harus mengenakan bidai leher bila mengendarai
mobil atau motor dan harus dilakukan foto leher posisi fleksi sebelum menjalani anestesi umum.
Artritis reumatoid juga dapat mengakibatkan miopati.11
2.3. Manivestasi Artikular
Manifestasi artikular ini dapat dibagi menjadi 2 kategori :
1. Gejala inflamasi akibat aktivitas sinovitis yang bersifat reversibel.
2. Gejala akibat kerusakan struktur persendian yang bersifat ireversibel.
Adalah sangat penting untuk membedakan kedua hal ini karena penatalaksanaan kedua kelainan
tersebut sangat berbeda. Sinovitis merupakan kelainan yang umumnya bersifat reversibel dan
dapat diatasi dengan pengobatan medikamentosa atau pengobatan non-surgikal lainnya. Pada
fihak lain kerusakan struktur persendian akibat kerusakan rawan sendi atau erosi tulang
periartikular merupakan proses yang tidak dapat diperbaiki lagi dan memerlukan modifikasi
mekanik atau pembedahan rekonstruktif.
Gejala klinis yang berhubungan dengan aktivitas sinovitis adalah kaku pagi hari. Kekakuan pada
pagi hari merupakan gejala yang selalu dijumpai pada AR aktif. Berbeda dengan rasa kaku yang
dapat dialami oleh pasien osteoartritis atau kadang-kadang oleh orang normal, kaku pagi hari
pada AR berlangsung lebih lama, yang pada umumnya lebih dari 1 jam. Lamanya kaku pagi hari
pada AR agaknya berhubungan dengan lamanya imobilisasi pada saat pasien sedang tidur serta
beratnya inflamasi. Gejala kaku pagi hari akan menghilang jika remisi dapat tercapai. Faktor lain
penyebab kaku pagi hari adalah inflamasi akibat sinovitis. Inflamasi akan menyebabkan
terjadinya imobilisasi persendian yang jika berlangsung lama akan mengurang pergerakan sendi
baik secara aktif maupun secara pasif.1
Otot dan tendon yang berdekatan dengan persendian yang mengalami peradangan cenderung
untuk mengalami spasme dan pemendekan. Fenomen ini terutama jelas terlihat pada otot
intrinsik tangan yang berjalan sepanjang persendian metacarpophalangeal, (MCP) dan otot
peroneus anterior yang berjalan sepanjang persendian talonavikularis pada arkus pedis.
Deformitas persendian pada AR dapat terjadi akibat beberapa mekanisme yang berhubungan
dengan terjadinya sinovitis dan pembentukan pannus. Sinovitis akan menyebabkan kerusakan
rawan sendi dan erosi tulang periartikular sehingga menyebabkan terbentuknya permukaan sendi
yang tidak rata. Jika kerusakan rawan sendi terjadi pada daerah yang luas dan imobilisasi
berlangsung lama, akan terjadi fusi tulang-tulang yang membentuk persendian. Lebih jauh
pannus yang menginvasi jaringan kolagen serta proteoglikan rawan sendi dan tulang dapat
menghancurkan struktur persendian sehingga terjadi ankilosis.
Ligamen yang dalam keadaan normal berfungsi untuk mempertahankan kedudukan persendian
yang stabil dapat pula menjadi lemah akibat sinovitis yang menetap atau pembentukan pannus
yang memiliki kemampuan melarutkan kolagen tendon, ligamen atau rawan sendi. Gangguan
stabilitas dapat jelas terlihat pada subluksasio persendian MCP akibat terjadinya perubahan arah
gaya tarik tendon sepanjang aksis rotasi sehingga menyebabkan terbentuknya deviasi ulnar yang
khas dan AR.1
Walaupun peran sinovitis dalam menyebabkan deformitas persendian berlaku bagi semua
persendian, terdapat beberapa aspek khusus yang berhubungan dengan sendi tertentu.
Vertebra Servikalis
Walaupun AR jarang melibatkan segmen vertebralis lainnya, vertebra servikalis merupakan
segmen yang sering terlibat pada AR. Proses inflamasi ini melibatkan persendian diartrodial
yang tidak tampak atau teraba oleh pemeriksaan. Gejala dini AR pada Vertebra servikalis
umumnya bermanifestasi sebagai kekakuan pada seluruh segmen leher disertai dengan
berkurangnya lingkup gerak sendi secara menyeluruh.1 Tenosinovitis ligamen transversum C1
yang mempertahankan kedudukan prosesus odontoid C2 dapat menyebabkan timbulnya
gangguan stabilitas C1- C2. Mielopati dapat timbul akibat terjadinya erosi prosesus odontoin yang
menyebabkan pengenduran dan ruptura ligamen sehingga menimbulkan penekanan pada medulla
spinalis. Gangguan stabilitas sendi akibat peradangan dan kerusakan pada permukaan sendi
apofiseal dan pengenduran ligamen juga dapat menyebabkan terjadinya subluksasio yang sering
dijumpai pada C4-C5 atau C5 -C6.
Gelang Bahu
Peradangan pada gelang bahu akan mengurangi lingkup gerak sendi gelang bahu. Karena dalam
aktivitas sehari-hari gerakan bahu tidak memerlukan lingkup gerak yang luas, umumnya pada
keadaan dini pasien tidak merasa terganggu dengan keterbatasan tersebu. Walaupun demikian,
tanpa latihan pencegahan akan mudah terjadi kekakuan gelang bahu yang berat yang disebut
sebagai frozen shoulder syndrome.
Siku
Karena terletak superfisial, sinovitis artikulasio kubiti dapat dengan mudah teraba oleh
pemeriksa. Sinovitis dapat menimbulkan penekanan pada nervus ulnaris sehingga menimbulkan
gejala neuropati tekanan. Gejala ini bermanifestasi sebagai parestesia jari 4 dan 5 akan
kelemahan otot fleksor jari 5
2.4. Komplikasi
Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus peptik yang
merupakan komplikasi utama penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) atau obat
pengubah perjalanan penyakit (disease modifying antirheumatoid drugs, DMARD) yang menjadi
faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada artritis reumatoid.
Komplikasi saraf yang terjadi tidak memberikan gambaran jelas, sehingga sukar dibedakan
antara akibat lesi artikular dan lesi neuropatik. Umumnya berhubungan dengan mielopati akibat
ketidakstabilan vertebra servikal dan neuropati iskemik akibat vaskulitis.
2.5. Pemeriksaan Penunjang
Tidak banyak berperan dalam diagnosis artritis reumatoid, namun dapat menyokong bila terdapat
keraguan atau untuk melihat prognosis pasien. Pada pemeriksaan laboraturium terdapat:
1. Tes faktor reuma biasanya positif pada lebih dari 75% pasien artritis reumatoid terutama bila
masih aktif. Sisanya dapat dijumpai pada pasien lepra, tuberkulosis paru, sirosis hepatis, hepatitis
infeksiosa, lues, endokarditis bakterialis, penyakit kolagen, dan sarkoidosis.
2. Protein C-reaktif biasanya positif.
3. LED meningkat.
4. Leukosit normal atau meningkat sedikit.
5. Anemia normositik hipokrom akibat adanya inflamasi yang kronik.
6. Trombosit meningkat.
7. Kadar albumin serum turun dan globulin naik.
Pada periksaan rontgen, semua sendi dapat terkena, tapi yang tersering adalah sendi
metatarsofalang dan biasanya simetris. Sendi sakroiliaka juga sering terkena. Pada awalnya
terjadi pembengkakan jaringan lunak dan demineralisasi juksta artikular. Kemudian terjadi
penyempitan sendi dan erosi.
2.6. Penatalaksanaan
Setelah diagnosis AR dapat ditegakkan, pendekatan pertama yang harus dilakukan adalah segera
berusaha untuk membina hubungan yang baik antara pasien dengan keluarganya dengan dokter
atau tim pengobatan yang merawatnya. Tanpa hubungan yang baik ini agaknya akan sukar untuk
dapat memelihara ketaatan pasien untuk tetap berobat dalam suatu jangka waktu yang cukup
lama.6
1. Pendidikan pada pasien mengenai penyakitnya dan penatalaksanaan yang akan dilakukan
sehingga terjalin hubungan baik dan terjamin ketaatan pasien untuk tetap berobat dalam jangka
waktu yang lama.
2. OAINS diberikan sejak dini untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang sering
dijumpai. OAINS yang dapat diberikan:
a. Aspirin
Pasien dibawah 50 tahun dapat mulai dengan dosis 3-4 x 1 g/hari, kemudian dinaikkan 0,3-0,6 g
per minggu sampai terjadi perbaikan atau gejala toksik. Dosis terapi 20-30 mg/dl.
b. Ibuprofen, naproksen, piroksikam, diklofenak, dan sebagainya.
3. DMARD digunakan untuk melindungi rawan sendi dan tulang dari proses destruksi akibat
artritis reumatoid. Mula khasiatnya baru terlihat setelah 3-12 bulan kemudian. Setelah 2-5 tahun,
maka efektivitasnya dalam menekan proses reumatoid akan berkurang. Keputusan
penggunaannya bergantung pada pertimbangan risiko manfaat oleh dokter. Umumnya segera
diberikan setelah diagnosis artritis reumatoid ditegakkan, atau bila respon OAINS tidak baik,
meski masih dalam status tersangka.
Jenis-jenis yang digunakan adalah:
a. Klorokuin, paling banyak digunakan karena harganya terjangkau, namun efektivitasnya lebih
rendah dibandingkan dengan yang lain. Dosis anjuran klorokuin fosfat 250 mg/hari
hidrosiklorokuin 400 mg/hari. Efek samping bergantung pada dosis harian, berupa penurunan
ketajaman penglihatan, dermatitis makulopapular, nausea, diare, dan anemia hemolitik.
b. Sulfasalazin dalam bentuk tablet bersalut enteric digunakan dalam dosis 1 x 500 mg/hari,
ditingkatkan 500 mg per minggu, sampai mencapai dosis 4 x 500 mg. Setelah remisi tercapai,
dosis dapat diturunkan hingga 1 g/hari untuk dipakai dalam jangka panjang sampai tercapai
remisi sempurna. Jika dalam waktu 3 bulan tidak terlihat khasiatnya, obat ini dihentikan dan
diganti dengan yang lain, atau dikombinasi. Efek sampingnya nausea, muntah, dan dyspepsia.
c. D-penisilamin, kurang disukai karena bekerja sangat lambat. Digunakan dalam dosis 250-300
mg/hari, kemudian dosis ditingkatkan setiap 2-4 minggu sebesar 250-300 mg/hari untuk
mencapai dosis total 4x 250-300 mg/hari. Efek samping antara lain ruam kulit urtikaria atau
mobiliformis, stomatitis, dan pemfigus.
d. Garam emas adalah gold standard bagi DMARD. Khasiatnya tidak diragukan lagi meski
sering timbul efek samping. Auro sodium tiomalat (AST) diberikan intramuskular, dimulai
dengan dosis percobaan pertama sebesar 10 mg, seminggu kemudian disusul dosis kedua sebesar
20 mg. Seminggu kemudian diberikan dosis penuh 50 mg/minggu selama 20 minggu. Dapat
dilanjutkan dengan dosis tambahan sebesar 50 mg tiap 2 minggu sampai 3 bulan. Jika
diperlukan, dapat diberikan dosis 50 mg setiap 3 minggu sampai keadaan remisi tercapai. Efek
samping berupa pruritis, stomatitis, proteinuria, trombositopenia, dan aplasia sumsum tulang.
Jenis yang lain adalah auranofin yang diberikan dalam dosis 2 x 3 mg. Efek samping lebih jarang
dijumpai, pada awal sering ditemukan diare yang dapat diatasi dengan penurunan dosis.
e. Obat imunosupresif atau imunoregulator.
Metotreksat sangat mudah digunakan dan waktu mula kerjanya relatif pendek dibandingkan
dengan yang lain. Dosis dimulai 5-7,5 mg setiap minggu. Bila dalam 4 bulan tidak menunjukkan
perbaikan, dosis harus ditingkatkan. Dosis jarang melebihi 20 mg/minggu. Efek samping jarang
ditemukan. Penggunaan siklosporin untuk artritis reumatoid masih dalam penelitian.
f. Kortikosteroid hanya dipakai untuk pengobatan artritis reumatoid dengan komplikasi berat dan
mengancam jiwa, seperti vaskulitis, karena obat ini memiliki efek samping yang sangat berat.
Dalam dosis rendah (seperti prednison 5-7,5 mg satu kali sehari) sangat bermanfaat sebagai
bridging therapy dalam mengatasi sinovitis sebelum DMARD mulai bekerja, yang kemudian
dihentikan secara bertahap. Dapat diberikan suntikan kortikosteroid intraartikular jika terdapat
peradangan yang berat. Sebelumnya, infeksi harus disingkirkan terlebih dahulu.3
4. Riwayat Penyakit alamiah
Riwayat penyakit alamiah AR sangat bervariasi. Pada umumnya 25% pasien akan mengalami
manifestasi penyakit yang bersifat monosiklik (hanya mengalami satu episode AR dan
selanjutnya akan mengalami remisi sempurna). Pada pihak lain sebagian besar pasien akan
menderita penyakit ini sepanjang hidupnya dengan hanya diselingi oleh beberapa masa remisi
yang singkat (jenis polisiklik). Sebagian kecil lainnya akan menderita AR yang progresif yang
disertai dengan penurunan kapasitas fungsional yang menetap pada setiap eksaserbasi.12
Penelitian jangka panjang menunjukkan bahwa dengan pengobatan yang digunakan saat ini,
sebagian besar pasien AR umumnya akan dapat mencapai remisi dan dapat mempertahankannya
dengan baik pada 5 atau 10 tahun pertamanya. Setelah kurun waktu tersebut, umumnya pasien
akan mulai merasakan bahwa remisi mulai sukar dipertahankan dengan pengobatan yang biasa
digunakan selama itu. Hal ini mungkin disebabkan karena pasien sukar mempertahankan
ketaatannya untuk terus berobat dalam jangka waktu yang lama, timbulnya efek samping jangka
panjang kortikosteroid. Khasiat DMARD yang menurun dengan berjalannya waktu atau karena
timbulnya penyakit lain yang merupakan komplikasi AR atau pengobatannya. Hal ini masih
merupakan persoalan yang banyak diteliti saat ini, karena saat ini belum berhasil dijumpai obat
yang bersifat sebagai disease controlling antirheumatic therapy (DC-ART).9
5. Rehabilitasi pasien AR
Rehabilitasi merupakan tindakan untuk mengembalikan tingkat kemampuan pasien AR dengan
cara:1
Mengurangi rasa nyeri
Mencegah terjadinya kekakuan dan keterbatasan gerak sendi
Penatalaksanaan artritis reumatoid juvenilis serupa dengan penatalaksanaan penyakit ini pada
orang dewasa, tetapi ada beberapa perbedaan penting. Beberapa obat yang dipakai untuk orang
dewasa tidak boleh diberikan pada anak-anak. Kortikosteroid sistemik dapat menyebabkan
keterlambatan pertumbuhan, osteoporosis dan katarik. Beberapa obat imunosupresif dapat
menekan fungsi sumsum tulang, sterilitas, dan keganasan pada anak-anak.13
Kesimpulan
1. Artritis Reumatoid merupakan suatu penyakit autoimun sistemik menahun yang proses
patologi utamanya terjadi di cairan sinovial.
2. Penderita Artritis Reumatoid seringkali datang dengan keluhan artritis yang nyata dan tandatanda keradangan sistemik. Baisanya gejala timbul perlahan-lahan seperti lelah, demam,
hilangnya nafsu makan, turunnya berat badan, nyeri, dan kaku sendi.
3. Meskipun penderita artritis reumatoid jarang yang sampai menimbulkan kematian, namun
apabila tidak segera ditangani dapat menimbulkan gejala deformitas/cacat yang menetap. Selain
itu karena penyakit ini bersifat kronis dan sering kambuh, maka penderita akan mengalami
penurunan produktivitas pekerjaan karena gejala dan keluhan yang timbul menyebabkan
gangguan aktivitas fisik, psikologis, dan kualitas hidup menderita.
4. Meskipun prognose untuk kehidupan penderita tidak membahayakan, akan tetapi kesembuhan
penyakit sukar tercapai.
5. Tujuan pengobatan adalah menghasilkan dan mempertahankan remisi atau sedapat mungkin
berusaha menekan aktivitas penyakit tersebut. Tujuan utama dari program terapi adalah
meringankan rasa nyeri dan peradangan, mempertahankan fungsi sendi dan mencegah dan/atau
memeperbaiki deformaitas.
http://medlinux.blogspot.com/2009/02/artritis-reumatoid.html