Anda di halaman 1dari 35

ARTRITIS REUMATOID

I. Definisi
Penyakit artritis reumatoid (AR) merupakan penyakit sistemik yang bersifat
progresif, yang mengenai jaringan lunak dan cenderung untuk menjadi
kronis. Jadi, sebenarnya terlibatnya sendi pada penderita-penderita penyakit
AR ini pada tahap berikutnya setelah penyakit ini berkembang lebih lanjut
sesuai dengan sifat progresivitasnya. Penyakit ini disebabkan karena adanya
inflamasi dari membran sinovial dari sendi diartroidial. Artritis rematoid
adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian (biasanya sendi tangan
dan kaki) secara simetris mengalami peradangan, sehingga terjadi
pembengkakan, nyeri dan seringkali akhirnya menyebabkan kerusakan
bagian dalam sendi. Artritis reumatoid juga bisa menyebabkan sejumlah
gejala di seluruh tubuh. Penyakit ini terjadi pada sekitar 1% dari jumlah
penduduk, dan wanita 2-3 kali lebih sering dibandingkan pria. Biasanya
pertama kali muncul pada usia 25-50 tahun, tetapi bisa terjadi pada usia
berapapun.
II. Etiologi
Artritis reumatoid ini merupakan bentuk artritis yang serius, disebabkan oleh
peradangan kronis yang bersifat progresif, yang menyangkut persendian.
Ditandai dengan sakit dan bengkak pada sendi-sendi terutama pada jari-jari
tangan, pergelangan tangan, siku, dan lutut. Penyebab artritis reumatoid
masih belum diketahui walaupun banyak hal mengenai patogenesisnya telah
terungkap. Penyakit ini tidak dapat ditunjukkan memiliki hubungan pasti
dengan genetik. Terdapat kaitan dengan penanda genetik seperti HLA-DW4
(Human Leukocyte Antigens) dan HLA-DR5 pada orang Kaukasia. Namun
pada orang Amerika, Afrika, Jepang, dan Indian Chippewa hanya ditentukan
kaitan dengan HLA-DW4. Destruksi jaringan sendi terjadi melalui dua cara.
Pertama adalah destruksi pencernaan oleh produksi, protease, kolagenase,
dan enzim hidrolitik lainnya. Enzim ini memecah kartilago, ligamen, tendon,
dan tulang pada sendi, serta dilepaskan bersama sama dengan radikal O2
dan metabolit asam arakidonat oleh leukosit polimorfonuklear dalam cairan
sinovial. Proses ini diduga adalah bagian dari respon autoimun terhadap
antigen yang diproduksi secara lokal Destruksi jaringan juga terjadi melalui
kerja panus reumatoid. Panus merupakan jaringan granulasi atau vaskuler
yang terbentuk dari sinovium yang meradang dan kemudian meluas ke
sendi. Di sepanjang pinggir panus terjadi destruksi, kolagen, dan
proteoglikan melalui produksi enzim oleh sel di dalam panus tersebut.

Artritis Reumatoid
Artritis Reumatoid (AR) merupakan suatu penyakit yang tersebar luas serta
melibatkan semua kelompok ras dan etnik di dunia. Penyakit ini merupakan
suatu penyakit autoimun yang ditandai dengan terdapatnya sinovitis erosif
simetrik yang walaupun terutama mengenai jaringan persendian, seringkali
juga melibatkan organ tubuh lainnya
Sebagian besar penderita menunjukkan gejala penyakit kronik yang hilang
timbul, yang jika tidak diobati akan menyebabkan terjadinya kerusakan
persendian dan deformitas sendi yang progresif yang menyebabkan
disabilitas bahkan kematian dini. Walaupun faktor genetik, hormon sex,
infeksi dan umur telah diketahui berpengaruh kuat dalam menentukan pola
morbiditas penyakit ini.hingga etiologi AR yang sebenarnya tetap belum
dapat diketahui dengan pasti.
Gejala Klinis
Gejala klinis utama AR adalah poliartritis yang mengakibatkan terjadinya
kerusakan pada rawan sendi dan tulang disekitarnya. Kerusakan ini terutama
mengenai sendi perifer pada tangan dan kaki yang umum nya bersifat
simetris. Pada kasus AR yang jelas diag-nosis tidak begitu sulit untuk
ditegakkan. Akan tetapi pada masa permulaan penyakit, seringkali gejala AR
tidak bermanifestasi dengan jelas, sehingga kadang kadang timbul kesulitan
dalam menegakkan diagnosis. Walaupun demikian dalam menghadapi AR
yang pada umumnya berlangsung kronis ini, seorang dokter tidak perlu
terlalu cepat untuk menegakkan diagnosis yang pasti. Adalah lebih baik
untuk menunda diagnosis AR selama beberapa bulan dari pada gagal
mendiagnosis terdapatnya jenis artritis lain yang seringkali memberi-kan
gejala yang serupa5. Pada penderita harus diberi tahukan bahwa semakin
lama diagnosis AR tidak dapat ditegakkan dengan pasti oleh seorang dokter
yang berpengalaman, umumnya akan semakin baik pula prognosis AR yang
dideritanya.
Kriteria Diagnosis
Kriteria diagnostik AR disusun untuk pertama kalinya oleh suatu komite
khusus dari American Rheumatism Association (ARA) pada tahun 1956.
Karena kriteria tersebut dianggap tidak spesifik dan terlalu rumit untuk

digunakan dalam klinik, komite tersebut melakukan peninjauan kembali


terhadap kriteria klasifikasi AR tersebut pada tahun 1958.
Dengan kriteria tahun 1958 ini ini seseorang dikatakan menderita AR klasik
jika memenuhi 7 dari 11 kriteria yang ditetapkan, definit jika memenuhi 5
kriteria, probable jika memenuhi 3 kriteria dan possible jika hanya memenuhi
2 kriteria saja. Walaupun kriteria tahun 1958 ini telah digunakan selama
hampir 30 tahun, akan tetapi dengan terjadinya perkembangan pengetahuan
yang pesat mengenai AR, ternyata diketahui bahwa dengan menggunakan
kriteria tersebut banyak dijumpai kesalahan diagnosis atau dapat memasukkan jenis artritis lain seperti spondyloarthro-pathy seronegatif,
penyakit pseudorheumatoid akibat deposit calcium pyrophosphate dihydrate,
lupus erite-matosus sistemik, polymyalgia rheumatica, penyakit Lyme dan
berbagai jenis artritis lainnya sebagai AR.
Pembagian AR sebagai classic, definite, probable dan possible, secara klinis
juga dianggap tidak relevan lagi. Hal ini disebabkan karena dalam praktek
sehari hari, tidak perlu dibedakan penata-laksanaan AR yang classic dari AR
definite. Selain itu seringkali penderita yang terdiagnosis sebagai menderita
AR probable ternyata menderita jenis artritis yang lain.
Walaupun peranan faktor reumatoid dalam pato-genesis AR belum dapat
diketahui dengan jelas, da-hulu dianggap penting untuk memisahkan
kelompok penderita seropositif dari seronegatif. Akan tetapi pada faktanya,
faktor reumatoid seringkali tidak dapat dijumpai pada stadium dini penyakit
atau pembentukan nya dapat ditekan oleh disease modifying anti-rheumatic
drugs (DMARD). Selain itu spesifisitas faktor reumatoid ternyata tidak dapat
diandalkan karena dapat pula dijumpai pada beberapa penyakit lain. Dua
kriteria tahun 1958 yang lain seperti analisis bekuan musin dan biopsi
membran sinovial memerlukan prosedur invasif sehingga tidak praktis untuk
digunakan dalam diagnosis rutin.
Dengan menggabungkan variabel yang paling sensitif dan spesifik pada 262
penderita AR dan 262 penderita kontrol, pada 1987 ARA berhasil dilakukan
revisi susunan kriteria klasifikasi reumatoid artritis dalam format tradisional
yang baru. Susunan kriteria tersebut adalah sebagai berikut:
1987 Revised A.R.A. Criteria for Rheumatoid Arthritis
1. Kaku pagi hari
2. Artritis pada 3 daerah persendian atau lebih
3. Artritis pada persendian tangan
4. Artritis simetris

5. Nodul reumatoid
6. Faktor reumatoid serum positif
7. Perubahan gambaran radiologis
Penderita dikatakan menderita AR jika memenuhi sekurang kurangnya
kriteria 1 sampai 4 yang diderita sekurang kurangnya 6 minggu.
Konsep Pengobatan AR
Walaupun hingga kini belum berhasil didapatkan suatu cara pencegahan dan
pengobatan AR yang sempurna, saat ini pengobatan pada penderita AR
ditujukan untuk:
1. Menghilangkan gejala inflamasi aktif baik lokal maupun sistemik
2. Mencegah terjadinya destruksi jaringan
3. Mencegah terjadinya deformitas dan memelihara fungsi persendian
agar tetap dalam keadaan baik.
4. Mengembalikan kelainan fungsi organ dan persen dian yang terlibat
agar sedapat mungkin menjadi normal kembali.
Dalam pengobatan AR umumnya selalu dibutuh kan pendekatan
multidisipliner. Suatu team yang idealnya terdiri dari dokter, perawat, ahli
fisioterapi, ahli terapi okupasional, pekerja sosial, ahli farmasi, ahli gizi dan
ahli psikologi, semuanya memiliki peranan masing masing dalam
pengelolaan penderita AR baik dalam bidang edukasi maupun
penatalaksanaan pengobatan penyakit ini. Pertemuan berkala yang teratur
antara penderita dan keluarganya dengan team pengobatan ini umumnya
akan memungkinkan penatalaksanaan penderita menjadi lebih baik dan juga
akan meningkatkan kepatuhan penderita untuk berobat.
Setelah diagnosis AR dapat ditegakkan, pendekatan pertama yang harus
dilakukan adalah segera berusaha untuk membina hubungan yang baik
antara penderita dan keluarganya dengan dokter atau team pengobatan
yang merawatnya. Tanpa hubungan yang baik ini agaknya akan sukar untuk
dapat memelihara ketaatan penderita untuk tetap berobat dalam suatu
jangka waktu yang cukup lama.
Peranan Pendidikan dalam Pengobatan AR
Penerangan tentang kemungkinan faktor etiologi, patogenesis, riwayat
alamiah penyakit dan penatalaksanaan AR kepada penderita merupakan hal
yang amat penting untuk dilakukan. Dengan penerangan yang baik

mengenai penyakitnya, penderita AR diharapkan dapat melakukan kontrol


atas perubahan emosional, motivasi dan kognitif yang terganggu akibat
penyakit ini.
Saat ini terdapat telah banyak publikasi tentang manfaat pendidikan dini
pada penderita AR. Salah satu yang banyak dilaksanakan di Amerika Serikat
dan Kanada adalah adalah The Arthritis Self Management Program, yang
diperkenalkan oleh Lorig dkk. dari Stanford University. Peningkatan
pengetahuan penderita tentang penyakitnya telah terbukti akan
meningkatkan motivasinya untuk melakukan latihan yang dianjurkan,
sehingga dapat mengurangi rasa nyeri yang dialaminya.
Trend Pengobatan AR Saat Ini
Berbeda dengan trend pada dekade yang lalu, saat ini banyak di antara para
ahli penyakit reumatik yang telah meninggalkan cara pengobatan tradisional
yang menggunakan 'piramida terapeutik. Beberapa ahli bahkan
menganjurkan untuk menggunakan pendekatan step down bridge dengan
menggunakan kombinasi beberapa jenis DMARD yang dimulai pada saat
yang dini untuk kemudian dihentikan secara bertahap pada saat aktivitas AR
telah dapat terkontrol.
Hal ini didasarkan pada pendapat bahwa penatalaksanaan yang efektif
hanya dapat dicapai bila pengobatan dapat diberikan pada masa dini
penyakit.
Penggunaan OAINS dalam Pengobatan AR
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) umum nya diberikan pada penderita
AR sejak masa dini penyakit yang dimaksudkan untuk mengatasi nyeri sendi
akibat inflamasi yang seringkali dijumpai walaupun belum terjadi proliferasi
sinovial yang bermakna. Selain dapat mengatasi inflamasi, OAINS juga
memberikan efek analgesik yang sangat baik.
OAINS terutama bekerja dengan menghambat enzim siklooxygenase
sehingga menekan sintesis prostaglandin. Masih belum jelas apakah
hambatan enzim lipooxygenase juga berperanan dalam hal ini, akan tetapi
jelas bahwa OAINS berkerja dengan cara:
o
o
o

Memungkinkan stabilisasi membran lisosomal


Menghambat pembebasan dan aktivitas mediator inflamasi (histamin,
serotonin, enzim lisosomal dan enzim lainnya).
Menghambat migrasi sel ke tempat peradangan

Menghambat proliferasi seluler

Menetralisasi radikal oksigen

Menekan rasa nyeri

Selama ini telah terbukti bahwa OAINS dapat sangat berguna dalam
pengobatan AR, walaupun OAINS bukanlah merupakan satu satunya obat
yang dibutuhkan dalam pengobatan AR. Hal ini di sebabkan karena golongan
OAINS tidak memiliki khasiat yang dapat melindungi rawan sendi dan tulang
dari proses destruksi akibat AR. Untuk mengatasi proses destruksi tersebut
masih diperlukan obat obatan lain yang termasuk dalam golongan DMARD.
Efek Samping OAINS pada Pengobatan Penderita AR
Semua OAINS secara potensial umumnya ber-sifat toksik. Toksisitas OAINS
yang umum dijumpai adalah efek sampingnya pada traktus gastrointestinalis
terutama jika OAINS digunakan bersama obat obatan lain, alkohol, kebiasaan
merokok atau dalam keadaan stress. Usia juga merupakan suatu faktor risiko
untuk mendapatkan efek samping gastrointestinal akibat OAINS. Pada
penderita yang sensitif dapat digunakan preparat OAINS yang berupa
suppositoria, pro drugs, enteric coated, slow release atau non-acidic. Akhir
akhir ini juga sedang dikembangkan OAINS yang bersifat selektif terhadap
jalur COX-2 metabolisme asam arakidonat. OAINS yang selektif terhadap
jalur COX-2 umumnya kurang berpengaruh buruk pada mukosa lambung
dibandingkan dengan preparat OAINS biasa.
Efek samping lain yang mungkin dijumpai pada pengobatan OAINS antara
lain adalah reaksi hiper-sensitivitas, gangguan fungsi hati dan ginjal serta penekanan sistem hematopoetik.
Selama duapuluh tahun terakhir ini, berbagai jenis OAINS baru dari berbagai
golongan dan cara penggunaan telah dapat diperoleh di pasaran. Dalam
memilih suatu OAINS untuk digunakan pada seorang penderita AR, seorang
dokter umumnya harus mempertimbangkan beberapa hal seperti:
o

Khasiat anti inflamasi

Efek samping obat

Kenyamanan / kepatuhan penderita

Biaya.

Karena faktor seperti khasiat anti inflamasi, efek analgesik, beratnya efek
samping atau biaya dari berbagai jenis OAINS saat ini umumnya masih tidak

jauh berbeda, sejak beberapa tahun terakhir ini pilihan OAINS lebih banyak
bergantung pada faktor kenyamanan dan kepatuhan penderita dalam
menggunakan OAINS.
Penggunaan DMARD pada Penderita AR
Pada dasarnya saat ini terdapat terdapat dua cara pendekatan pemberian
DMARD pada pengobatan penderita AR. Cara pertama adalah pemberian
DMARD tunggal yang dimulai dari saat yang sangat dini. Pendekatan ini
didasarkan pada pemikiran bahwa destruksi sendi pada AR terjadi pada
masa dini penyakit. Brook and Corbett, pada penelitiannya menemukan
bahwa 90% penderita AR telah menunjukkan gambaran erosi secara
radiologis pada dua tahun pertama setelah menderita penyakit. Hasil
pengobatan jangka panjang yang buruk pada sebagian besar penelitian
sangat mungkin disebabkan karena pengobatan baru dimulai setelah masa
kritis ini dilampaui.
Cara pendekatan lain adalah dengan menggunakan dua atau lebih DMARD
secara simultan atau secara siklik seperti penggunaan obat obatan
imunosupresif pada pengobatan penyakit keganasan. Kecenderungan untuk
menggunakan kombinasi DMARD dalam pengobatan AR ini timbul sejak
dekade yang silam karena banyak diantara para ahli reumatologi
beranggapan bahwa terapi DMARD secara sekwensial, pada jangka panjang
tidak berhasil mencegah terjadinya kerusakan sendi yang progresif.
Sebenarnya tidak terdapat suatu batasan yang tegas mengenai kapan kita
harus mulai menggunakan DMARD. Hal ini disebabkan karena hingga kini
belum terdapat suatu cara yang tepat untuk dapat mengukur beratnya
sinovitis atau destruksi tulang rawan pada penderita AR. Dengan demikian,
keputusan untuk menggunakan DMARD pada seorang penderita AR akan
sepenuhnya bergantung pada pertimbangan dokter yang mengobatinya.
Umumnya pada penderita yang diagnosisnya telah dapat ditegakkan dengan
pasti, OAINS harus diberikan dengan segera. Pada penderita yang tersangka
menderita AR yang tidak menunjukkan respons terhadap OAINS yang cukup
baik dalam beberapa minggu, DMARD dapat dimulai diberikan untuk dapat
mengontrol progresivitas penyakitnya.
Beberapa jenis DMARD yang lazim digunakan untuk pengobatan AR adalah:
Klorokuin
Klorokuin merupakan DMARD yang paling banyak digunakan di Indonesia.
Hal ini disebabkan karena klorokuin sangat mudah didapat dengan biaya
yang amat terjangkau sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah Indonesia
dalam hal eradikasi penyakit malaria.

Sebagai DMARD, klorokuin memiliki beberapa keterbatasan. Banyak diantara


para ahli yang ber-pendapat bahwa khasiat dan efektivitas klorokuin
agaknya lebih rendah dibandingkan dengan DMARD lainnya, walaupun
toksisitasnya juga lebih rendah dibandingkan dari DMARD lainnya. Dari
pengalaman penggunaan klorokuin di Indonesia diketahui bahwa sebagian
penderita akan menghentikan penggunaan klorokuin pada suatu saat karena
merasa bahwa obat ini kurang bermanfaat bagi penyakitnya.
Toksisitas klorokuin sebenarnya tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Klorokuin
dapat digunakan dengan aman jika dilakukan pemantauan yang baik selama
penggunaannya dalam jangka waktu yang panjang. Efek samping pada
mata, sebenarnya hanya terjadi pada sebagian kecil penderita saja.
Mackenzie and Scherbel, pada penelitiannya telah dapat menunjukkan
bahwa toksisitas klorokuin pada retina hanya bergantung pada dosis harian
saja dan bukan dosis kumulatifnya. Dosis antimalaria yang dianjurkan untuk
pengobatan AR adalah klorokuin fosfat 250 mg/hari atau hidroksiklorokuin
400 mg/hari. Pada dosis ini jarang sekali terjadi komplikasi penurunan
ketajaman penglihatan. Efek samping lain yang mungkin dijumpai pada
penggunaan antimalaria adalah dermatitis makulopapular, nausea, diare dan
anemia hemolitik. Walaupun sangat jarang dapat pula terjadi diskrasia darah
atau neuromiopati pada beberapa penderita.
Sulfazalazine
Sulfasalazine (SASP,salicyl-azo-sulfapyridine) diperkenalkan untuk pertama
kalinya oleh Nana Svartz di Swedia pada sekitar tahun 1930. Pada mulanya
obat ini digunakan untuk mengobati artritis inflamatif yang diduga
disebabkan karena infeksi, akan tetapi setelah digunakan beberapa waktu,
perhatian terhadap obat ini menurun akibat dipublikasikannya laporan
Sinclair dan Duthie mengenai pengaruh yang kurang baik pada penggunaan
obat ini di Inggris. Obat ini kemudian kembali menjadi populer setelah di
publikasikannya laporan McConkey, Bird dan kawan kawan yang meneliti
kembali khasiat SASP pada penderita AR dengan metodologi penelitian yang
lebih baik.
Untuk pengobatan AR sulfasalazine dalam bentuk enteric coated tablet
digunakan mulai dari dosis 1 x 500 mg / hari, untuk kemudian ditingkatkan
500 mg setiap minggu sampai mencapai dosis 4 x 500 mg. Setelah remisi
tercapai dengan dosis 2 g / hari, dosis diturunkan kembali sehingga
mencapai 1 g /hari untuk digunakan dalam jangka panjang sampai remisi
sempurna terjadi. Jika sulfasalazine tidak menunjukkan khasiat yang di
kehendaki dalam 3 bulan, obat ini dapat dihentikan dan digantikan dengan
DMARD lain atau tetap digunakan dalam bentuk kombinasi dengan DMARD
lainnya.

Kurang lebih 20% penderita AR menghentikan pengobatan SASP karena


mengalami nausea, mun-tah atau dispepsia. Gangguan susunan syaraf pusat
seperti pusing atau iritabilitas dapat pula dijumpai. Neutropenia,
agranulositosis dan pansitopenia yang reversibel telah pernah dilaporkan
terjadi pada penderita yang mendapatkan SASP. Ruam kulit terjadi kurang
lebih pada 1% sampai 5% dari penderita yang menggunakan SASP.
Penurunan jumlah sel spermatozoa yang reversibel juga pernah dilaporkan
walaupun belum pernah dilaporkan adanya pening-katan abnormalitas
foetus.
D-penicillamine
D-penicillamine (DP) mulai meluas penggunaannya sejak tahun
tujuhpuluhan. Walaupun demikian, karena obat ini bekerja sangat lambat,
saat ini DP kurang disukai lagi untuk digunakan dalam pengobatan AR.
Umumnya diperlukan waktu pengobatan kurang lebih satu tahun untuk
dapat mencapai keadaan remisi yang adekwat, dan rentang waktu ini
dianggap terlalu lama bagi sebagian besar penderita AR
Dalam pengobatan AR, DP (Cuprimin 250 mg atau Trolovol 300 mg)
digunakan dalam dosis 1 x 250 sampai 300 mg/hari kemudian dosis
ditingkatkan setiap dua sampai 4 minggu sebesar 250 sampai 300 mg/hari
untuk mencapai dosis total 4 x 250 sampai 300 mg/hari.
Efek samping DP antara lain adalah ruam kulit urtikarial atau morbilformis
akibat reaksi alergi, stomatitis dan pemfigus. DP juga dapat menyebabkan
trombositopenia, lekopenia dan agranulositosis. Pada ginjal DP dapat
menyebabkan timbulnya proteinuria ringan yang reversible sampai pada
suatu sindroma nefrotik. Efek samping lain yang juga dapat timbul adalah
lupus like syndrome, polimiositis, neuritis, miastenia gravis, gangguan
mengecap, nausea, muntah, kolestasis intrahepatik dan alopesia.
Garam emas
Auro Sodium Thiomalate (AST) intramuskular telah dianggap sebagai suatu
gold standard bagi DMARD sejak 20 tahun terakhir ini. Khasiat obat ini tidak
diragukan lagi, walaupun penggunaan obat ini seringkali menyertakan efek
samping dari yang ringan sampai yang cukup berat.
AST (Tauredon ampul 10, 20 dan 50 mg) diberikan secara intramuskular yang
dimulai dengan dosis percobaan pertama sebesar 10 mg, disusul dengan
dosis percobaan kedua sebesar 20 mg setelah 1 minggu kemudian. Setelah 1
minggu, dosis penuh diberikan sebesar 50 mg / minggu selama 20 minggu.
Jika respons penderita belum memuaskan setelah 20 minggu, pengobatan
dapat dilanjutkan dengan pemberian dosis tambahan sebesar 50 mg setiap 2
minggu sampai 3 bulan. Kalau masih diperlukan AST kemudian dapat

diberikan dalam dosis sebesar 50 mg setiap 3 minggu sampai keadaan


remisi yang memuaskan dapat tercapai.
Efek samping AST antara lain adalah pruritus, stomatitis, proteinuria,
trombositopenia dan aplasia sumsum tulang. Efek samping AST agaknya
terjadi lebih sering pada pengemban HLA- DR3A. Jika timbul efek samping
yang ringan, dosis AST dapat dikurangi atau dihentikan untuk sementara.
Jika gejala efek samping tersebut menghilang, AST kemudian dapat diberikan
lagi dalam dosis yang lebih rendah.
Ridaura (auranofin tablet 3 mg) adalah preparat garam emas oral telah
dikenal sejak awal dekade yang lalu dan dianggap sebagai DMARD yang
berlainan sifatnya dari AST. Walaupun obat ini terbukti berkhasiat dalam
pengobatan AR, lebih mudah digunakan serta tidak memerlukan
pemantauan yang ketat seperti AST, banyak para ahli yang berpendapat
bahwa khasiat auranofin tidaklah lebih baik dibandingkan dengan AST.
Auranofin sangat berguna bagi penderita AR yang menunjukkan efek
samping terhadap AST. Auranofin diberikan dalam dosis 2 x 3 mg sehari. Efek
samping proteinuria dan trombositopenia lebih jarang dijumpai dibandingkan
dari penggunaan AST. Pada awal penggunaan auranofin, banyak penderita
yang mengalami diare, yang dapat diatasi dengan menurun- kan dosis
pemeliharaan yang digunakan.
Methotrexate
Methotrexate (MTX) adalah suatu sitostatika golongan antagonis asam folat
yang banyak digunakan sejak 15 tahun yang lalu. Obat ini sangat mudah
digunakan dan rentang waktu yang dibutuhkan untuk dapat mulai bekerja
relatif lebih pendek (3 - 4 bulan) jika dibandingkan dengan DMARD yang lain.
Dalam pengobatan penyakit keganasan, MTX bekerja dengan menghambat
sintesis thymidine sehingga menyebab-kan hambatan pada sintesis DNA dan
proliferasi selular. Apakah mekanisme ini juga bekerja dalam penggunaannya
sebagai DMARD belum diketahui dengan pasti.
Pemberian MTX umumnya dimulai dalam dosis 7.5 mg (5 mg untuk orang
tua) setiap minggu. Walaupun dosis efektif MTX sangat bervariasi, sebagian
besar penderita sudah akan merasakan manfaatnya dalam 2 sampai 4 bulan
setelah pengobatan. Jika tidak terjadi kemajuan dalam 3 sampai 4 bulan
maka dosis MTX harus segera ditingkatkan.
Efek samping MTX dalam dosis rendah seperti yang digunakan dalam
pengobatan AR umumnya jarang dijumpai akan tetapi juga dapat timbul
berupa kerentanan terhadap infeksi, nausea, vomitus, diare, stomatitis,
intoleransi gastrointestinal, gangguan fungsi hati, alopesia, aspermia atau
leukopenia. Efek samping ini biasanya dapat diatasi dengan mengurangi

dosis atau menghentikan pemberian MTX. Kelainan hati dapat dicegah


dengan tidak menggunakan MTX pada penderita AR yang obese, diabetik,
peminum alkohol atau penderita yang sebelumnya telah memiliki kelainan
hati.
Pada penderita AR yang menunjukkan respons yang baik terhadap MTX,
pemberian asam folinat (Leucovorin) dapat mengurangi beratnya efek
samping yang terjadi. Leucovorin diberikan dalam dosis 6 sampai 15 mg/m2
luas permukaan badan setiap 6 jam selama 72 jam jika terdapat efek
samping MTX yang dapat membahayakan penderita.
Walaupun penggunaan MTX memberikan harapan yang baik dalam
pengobatan AR, akan tetapi seperti halnya penggunaan sitostatika lain, MTX
sebaiknya hanya diberikan kepada penderita AR yang progresif dan gagal di
kontrol dengan DMARD standard lainnya.
Cyclosporin - A
Cyclosporin - A (CS-A), adalah suatu undeca-peptida siklik yang di isolasi dari
jamur Tolypocladium inflatum Gams pada tahun 1972. Dalam dosis rendah,
CS-A telah terbukti khasiatnya sebagai DMARD dalam mengobati penderita
AR. Pengobatan dengan CS-A terbukti dapat menghambat progresivitas erosi
dan kerusakan sendi. Kendala utama penggunaan obat ini adalah sifat
nefrotoksik yang sangat bergantung pada dosis yang digunakan. Gangguan
fungsi ginjal ini dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kadar kreatinin
serum atau hipertensi. Efek samping lain CS-A adalah gangguan fungsi hati,
hipertrofi gingiva, hipertrikosis, rasa terbakar pada ekstremitas dan perasaan
lelah.
Dosis awal CS-A yang lazim digunakan untuk pengobatan AR adalah 2,5
mg/KgBB/hari yang diberikan terbagi dalam 2 dosis setiap 12 jam. Dosis
dapat ditingkatkan sebesar 25% dosis awal setelah 6 minggu hingga
mencapai 4 mg/KgBB/hari sehingga sehingga tercapai kadar CS-A serum
sebesar 74 - 150 ng/ml atau jika kadar kreatinin serum meningkat mencapai
lebih dari 50% nilai basal. Dosis peme-liharaan rata rata berkisar antara 4
mg/KgBB/hari. Dalam dosis tersebut ternyata terjadi perbaikan yang
bermakna dalam beberapa outcome yang diukur.
Bridging Therapy dalam Pengobatan AR
Bridging therapy adalah pemberian glukokortikoid dalam dosis rendah
(setara dengan prednison 5 sampai 7,5 mg/hari) sebagai dosis tunggal pada
pagi hari. Walaupun pemberian glukokortikoid dosis rendah tidak
menimbulkan perubahan yang bermakna kadar dan irama kortisol plasma
atau growth hormone, pemberian glukokortikoid dosis rendah ini akan sangat

berguna untuk mengurangi keluhan penderita sebelum DMARD yang


diberikan dapat bekerja.
Pengobatan AR Eksperimental
Selain dari cara pengobatan di atas, terdapat pula beberapa cara lain yang
dapat dipakai untuk mengobati penderita AR, akan tetapi karena belum
dilakukan uji klinik mengenai khasiat dan efektivitas dari modalitas tersebut,
cara pengobatan tersebut masih bersifat eksperimental dan belum
digunakan secara luas dalam pengobatan AR. Pengobatan eksperimental AR
ini antara lain meliputi penggunaan plasmaferesis, thalidomide, J-interferon,
inhibitor IL-1 dan antibodi monoclonal.
Peranan Dietetik dalam Pengobatan AR
AR adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik dan bukan suatu penyakit
metabolik. Walaupun beberapa jenis modifikasi dietetik, antara lain yang
terakhir berupa suplementasi asam lemak omega 3 seperti asam
eikosapentanoat pernah dicoba dalam beberapa penelitian, ternyata hasilnya
tidak begitu meyakinkan. Dengan demikian hingga saat ini sebagian besar
para ahli berpendapat bahwa selain untuk mencapai berat badan ideal,
agaknya modifikasi dietetik saat ini belum jelas kegunaannya dalam
merubah riwayat alamiah penyakit ini

http://www.naturindonesia.com/artikel-berbagai-penyakit-degeneratif/449-artritisreumatoid-.html

BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Artritis reumatoid merupakan kasus panjang yang sangat sering diujikan. Bisanya
terdapat banyak tanda- tanda fisik. Diagnosa penyakit ini mudah ditegakkan. Tata laksananya
sering merupakan masalah utama. Insiden pucak dari artritis reumatoid terjadi pada umur dekade

keempat, dan penyakit ini terdapat pada wanita 3 kali lebih sering dari pada laki- laki. Terdapat
insiden familial ( HLA DR-4 ditemukan pada 70% pasien ).
Artritis reumatoid diyakini sebagai respon imun terhadap antigen yang tidak diketahui.
Stimulusnya dapat virus atau bakterial. Mungkin juga terdapat predisposisi terhadap penyakit.
I.2 Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
Untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan perawat dalam memberikan
asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit Artritis Reumatoid, dan sebagai
bahan literatur bagi mahasiswa keperawatan.
1.2.2. Tujuan Khusus
Untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan perawat dan mahasiswa
keperawatan dalam :
1. Mengidentifikasi tanda dan gejala Artritis Reumatoid.
2. Memberikan asuhan keperawatan yang tepat pada penderita Artritis Reumatoid.
3. Mencegah untuk tidak terjadinya komplikasi pada penderita Artritis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. PENGERTIAN
Artritis Reumatoid adalah penyakit autoimun sistemik kronis yang tidak diketahui
penyebabnya dikarekteristikan dengan reaksi inflamasi dalam membrane sinovial yang mengarah
pada destruksi kartilago sendi dan deformitas lebih lanjut.

( Susan Martin Tucker.1998 )


Artritis Reumatoid ( AR ) adalah kelainan inflamasi yang terutama mengenai mengenai
membran sinovial dari persendian dan umumnya ditandai dengan dengan nyeri persendian, kaku
sendi, penurunan mobilitas, dan keletihan.
( Diane C. Baughman. 2000 )
Artritis rematoid adalah suatu penyakit inflamasi kronik dengan manifestasi utama
poliartritis progresif dan melibatkan seluruh organ tubuh.
( Arif Mansjour. 2001 )
2.2. INSIDEN
AR terjadi antara usia 30 tahun dan 50 tahun dengan puncak insiden antara usia 40 tahun
dan 60 tahun. Wanita terkena dua sampai tiga kali lebih sering dari pada pria.
2.3. ETIOLOGI
AR adalah suatu penyakit otoimun yang timbul pada individu individu yang rentang
setelah respon imun terhadap agen pencetus yang tidak diketahui. Faktor pencetus mungkin
adalah suatu bakteri, mikoplasma, virus yang menginfeksi sendi atau mirip dengan sendi secara
antigenis. Biasanya respon antibodi awal terhadap mikro-organisme diperatarai oleh IgG.
Walaupun respon ini berhasil mengancurkan mikro-organisme, namun individu yang mengidap
AR mulai membentuk antibodi lain biasanya IgM atau IgG, terhadap antibodi Ig G semula.
Antibodi ynng ditujukan ke komponen tubuh sendiri ini disebut faktor rematoid ( FR ). FR
menetap di kapsul sendi, dan menimbulkan peradangan kronik dan destruksi jaringan AR
diperkirakan terjadi karena predisposisi genetik terhadap penyakit autoimun.

2.4. PATOFISIOLOGI

Faktor genetik, infeksi

Sasaran primer Sinovium

Sinovitis Proliferatif

Pelepasan kolagenesa & produksi lisozim o/ fagosit

Erosi sendi & periartikularis

Kista dan kolaps sendi

Pembengkakan, kekakuan pergelangan tangan & sendi jari tangan

Pkatan tekanan sendi distensi serta putusnya kapsula & ligamentum

Sublaksasi sendi MCP & pkembangan penyimpangan ulna klasik sering

timbul

Hiperekstensi / deformitas fleksi bisa bkembang dlm sendi IP ibu jari tangan,
PIP jr tgn, sendi MCP & IP jr tgn

sendi

Tenosinovitis, jari tng pelatuk, rupture tendo & sindroma terowongan kaspal lazim
di temukan

2.5. MANIFESTASI KLINIS


1. Ditetapkan dengan tahapan dan keparahan penyakit.
2. Nyeri sendi, bengkak, hangat, eritema, dan kurang berfungsi adalah gambaran klinis yang
klasik.
3. Palpitasi persendian menunjukan jaringan spon atau boggi.
4. Seringkali dapat diaspirasi cairan dari sendi yang mengalami pembengkakan.

Pola karakteristik dari persendian yang terkena


1. Mulai pada persendian kecil ditangan, pergelangan , dan kaki.
2. Secara progresif menenai persendian, lutut, bahu, pinggul, siku, pergelangan kaki, tulang
belakang serviks, dan temporomandibular.
3. Awitan biasnya akut, bilateral, dan simetris.
4. Persendian dapat teraba hangat, bengkak, dan nyeri ; kaku pada pagi hari berlangsung
selama lebih dari 30 menit.
5. Deformitasi tangan dan kaki adalah hal yang umum.
Gambaran Ekstra-artikular
1. Demam, penurunan berat badan, keletihan, anemia
2. Fenomena Raynaud.

3. Nodulus rheumatoid, tidak nyeri tekan dan dapat bergerak bebas, di temukan pada
jaringan subkutan di atas tonjolan tulang.
2.6. EVALUASI DIAGNOSIS
1. Beberapa faktor yang menujang diagnosa AR: nodulus reumatoid, inflamasi sendi,
temuan laboraturium.
2. Faktor reumatoid ( FR ) terdapat lebih dari 80% pada darah pasien.
3. jumlah sel darah merah dan komponen komplemen C4 menurun.
2.7. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan umum yang lengkap penting di lakukan. Disamping menilai adanya sinovasi
pada setiap sendi, perhatian juga hal hal berikut ini :
1. Keadaan umum komplikasi steroid, berat badan.
2. Tangan meliputi vaskulitasi dan fungsi tangan.
3. Lengan siku dan sendi bahu, nodul rematoid dan pembesaran kelenjar limfe aksila.
4. Wajah. Periksa mata untuk sindroma Sjorgen, skleritis, episkleritis, skleromalasia
perforans, katarak, anemia dan tanda tanda hiperviskositas pada fundus. Kelenjar
parotis membesar ( sinroma Sjogren ). Mulut ( kering, karies dentis, ulkus ), suara serak,
sendi temporomandibula ( krepitus ). Catatan : artritis rematoid tidak menyebabkan
iritasi.
5. Leher adanya tanda tanda terkenanya tulang servikal.
6. Toraks. Jantung ( adanya perikarditis, defek konduksi, inkompetensi katup aorta dan
mitral ). Paru paru ( adanya efusi pleural, fibrosis, nodul infark, sindroma Caplan ).
7. Abdomen adanya splenomegali dan nyeri tekan apigastrik.
8. Panggul dan lutut.

9. Tungkai bawah adanya ulkus, pembengkakan betis ( kista Baker yang reptur )
neuropati, mononeuritis multipleks dan tanda tanda kompresi medulla spinalis.
10. Kaki.
11. Urinalisis untuk protein dan darah, serta pemeriksaan rektum untuk menentukan adanya
darah.
2.8. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Untuk menyokong diagnosa (ingat bahwa ini terutama merupakan diagnosa klinis)
1. Tes serologik
(a) faktor rematoid 70% pasien bersifat seronegatif.
Catatan:

100%

dengan

factor

rematoid

yang

positif

jika terdapat

atasindroma
Sjogren
(b) Antibodi antinukleus (AAN)- hasil yang positif terdapat pada kira-kira 20 kasus
2. Foto sinar X pada sendi-sendi yang terkena. Perubahan-perubahan yang dapat di te
mukan adalah:
(a) pembekakan jaringan lunak;
(b) penympitan rongga sendi;
(c) erosi sendi;
(d) osteoporosis juksta artikuler;

nodul

Untuk menilai aktivitas penyakit:


1. Erosi progresif pada foto sinar X serial.
2. LED. Ingat bahwa diagnosis banding dari LED yang meningkat pada artritis reumatoid
meliputi :
(a) penyakit aktif ;
(b) amiloidosis ;
(c) infeksi ;
(d) sindroma Sjorgen ;
3. Anemia berat ringannya anemia normakromik biasanya berkaitan dengan aktifitas.
4. Titer factor rematoid makin tinggi titernya makin mungkin terdapat kelainan ekstra
artikuler. Faktor ini terkait dengan aktifitas artritis.
2.9. KOMPLIKASI
Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus peptik yang
merupakan komlikasi utama penggunaan obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) atau obat
pengubah perjalanan penyakit ( disease modifying antirhematoid drugs, DMARD ) yang menjadi
faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada arthritis reumatoid.
Komlikasi saraf yang terjadi memberikan gambaran jelas , sehingga sukar dibedakan
antara akibat lesi artikuler dan lesi neuropatik. Umumnya berhubungan dengan mielopati akibat
ketidakstabilan vertebra servikal dan neuropati iskemik akibat vaskulitis.
2.10. PENATALAKSANAAN

Tujuan dari penatalaksanaan termasuk penyuluhan, keseimbangan antara istirahat dan latihan,
dan rujukan lembaga di komunitas untuk mendapatkan dukungan.
1. AR dini : penatalaksanaan pengobatan termasuk dosis terapeutik salisilat atau obat obat
antiinflamasi nonsteroid ( NSAIDS ); antimalaria emas, pensilamin, atau sulfasalazin,
methotreksat; analgetik selama periode nyeri hebat.
2. AR sedang , erosit: program formal terapi okupasi dan terapi fisik.
3. AR persisten, erisif; pembedahan rekonstruksi dan kortikosteroid.
4. AR tahap lanjut yang tak pulih: preparat immunosupresif, seperti metotreksat,
siklosfosfamid, dan azatioprin.
5. Pasien AR sering mengalami anoreksia, penurunan berat badan, dan anemia, sehingga
membutuhkan pengkajian riwayat diit yang sangat cermat untuk mengidntifikasi
kebiasaan makan dan makanan yang disukai. ( kortikosteroid dapat menstimulasi napsu
makan dan menyebabkan penambahan berat badan ).
2.11. PROGNOSIS
Perjalanan penyakit artritis reumatoid sangat bervariasi, bergantung pada ketaatan pasien
untuk berobat dalam jangka waktu lama. Sekitar 50 70% pasien artritis reumatoid akan
mengalami prognosis yang lebih buruk. Golongan ini umumya meninggi 10 15 tahun lebih
cepat dari pada orang tanpa arthritis rheumatoid. Penyebab kematiannya adalah infeksi, penyakit
jantung, gagal pernapasan, gagal ginjal, dan penyakit saluran cerna. Umumnya mereka memiliki
keadaan umum yang buruk, lebih dari 30 buah sendi yang mengalami peradangan, dengan
manifestasi ekstraartikuler, dan tingkat pendidikan yang rendah. Golongan ini memerlukan terapi
secara agresif dan dini karena kerusakan tulang yang luas dapat terjadi dalam 2 tahun pertama.

Istilah rheumatism berasal dari bahasa Yunani, rheumatismos, yang berarti mukus; suatu cairan
yang dianggap jahat, mengalir dari otak ke sendi dan struktur lain tubuh sehingga menimbulkan

rasa nyeri. Beberapa penelitian menunjukkan memang ada perubahan struktur mucine sendi
(mukopolisakarida, asam hialuronat) pada beberapa jenis penyakit reumatik, sehingga istilah
yang telah agak lama dipakai itu agaknya masih sesuai sampai saat ini.
Setiap kondisi yang disertai nyeri dan kaku pada sistem muskuloskeletal disebut reumatik,
termasuk penyakit jaringan ikat (penyakit kolagen). Sedangkan istilah artritis, umumnya dipakai
bila sendi merupakan tempat utama penyakit reumatik.
Reumatologi adalah ilmu yang mempelajari penyakit sendi, termasuk penyakit artritis, fibrositis,
bursitis, neuralgia dan kondisi lainnya yang menimbulkan nyeri somatik dan kekakuan.
Hingga kini dikenal lebih dari 100 macam penyakit sendi yang seringkali memberikan gejala
yang hampir sama. Oleh karena itu pendekatan diagnostik sangat diperlukan agar didapatkan
diagnosis yang tepat, sehingga pasien akhirnya memperolah penatalaksanaan yang adekuat. Perlu
diingat pula bahwa gangguan reumatik dapat merupakan manifestasi artikular berbagai penyakit
dan sebaliknya beberapa penyakit reumatik mempunyai manifestasi ekstra-artikular pada
berbagai organ. (1)
2.1. Definisi
Artritis Reumatoid (AR) merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik kronik yang walaupun
manifestasi utamanya adalah poliartritis yang progesif, akan tetapi penyakit ini juga melibatkan
seluruh organ tubuh.7 Terlibatnya sendi pada pasien artritis reumatoid terjadi setelah penyakit ini
berkembang lebih lanjut sesuai dengan sifat progesifitasnya.3 Pada umumnya selain gejala
artikular, AR dapat pula menunjukkan gejala konstitusional berupa kelemahan umum, cepat lelah
atau gangguan organ non artikular lainnya.7
Artritis Reumatoid ditandai dengan adanya peradangan dari lapisan selaput sendi (sinovium)
yang mana menyebabkan sakit, kekakuan, hangat, bengkak dan merah. Peradangan sinovium
dapat menyerang dan merusak tulang dan kartilago. Sel penyebab radang melepaskan enzim
yang dapat mencerna tulang dan kartilago. Sehingga dapat terjadi kehilangan bentuk dan
kelurusan pada sendi, yang menghasilkan rasa sakit dan pengurangan kemampuan bergerak.2
Artritis adalah inflamasi dengan nyeri, panas, pembengkakan, kekakuan dan kemerahan pada
sendi. Akibat artritis, timbul inflamasi umum yang dikenal sebagai artritis reumatoid yang
merupakan penyakit autoimun.14
Manifestasi tersering penyakit ini adalah terserangnya sendi yang umumnya menetap dan
progresif. Mula-mula yang terserang adalah sendi kecil tangan dan kaki. Seringkali keadaan ini
mengakibatkan deformitas sendi dan gangguan fungsi disertai rasa nyeri.16
2.2. Epidemiologi
Artritis Reumatoid merupakan suatu penyakit yang telah lama dikenal dan tersebar luas di
seluruh dunia serta melibatkan semua ras dan kelompok etnik.

Prevalensi Artritis Reumatoid adalah sekitar 1 persen populasi (berkisar antara 0,3 sampai 2,1
persen).15 Artritis Reumatoid lebih sering dijumpai pada wanita, dengan perbandingan wanita dan
pria sebesar 3:1.7 Perbandingan ini mencapai 5:1 pada wanita dalam usia subur.8
Artritis Reumatoid menyerang 2,1 juta orang Amerika, yang kebanyakan wanita. Serangan pada
umumnya terjadi di usia pertengahan, nampak lebih sering pada orang lanjut usia. 1,5 juta wanita
mempunyai artritis reumatoid yang dibandingkan dengan 600.000 pria.2
2.3. Etiologi
Penyebab Artritis Reumatoid masih belum diketahui. Faktor genetik dan beberapa faktor
lingkungan telah lama diduga berperan dalam timbulnya penyakit ini. Hal ini terbukti dari
terdapatnya hubungan antara produk kompleks histokompatibilitas utama kelas II, khususnya
HLA-DR4 dengan AR seropositif. Pengemban HLA-DR4 memiliki resiko relatif 4:1 untuk
menderita penyakit ini.8
Kecenderungan wanita untuk menderita AR dan sering dijumpainya remisi pada wanita yang
sedang hamil menimbulkan dugaan terdapatnya faktor keseimbangan hormonal sebagai salah
satu faktor yang berpengaruh pada penyakit ini. Walaupun demikian karena pemberian hormon
estrogen eksternal tidak pernah menghasilkan perbaikan sebagaimana yang diharapkan, sehingga
kini belum berhasil dipastikan bahwa faktor hormonal memang merupakan penyebab penyakit
ini.8
Sejak tahun 1930, infeksi telah diduga merupakan penyebab AR. Dugaan faktor infeksi sebagai
penyebab AR juga timbul karena umumnya onset penyakit ini terjadi secara mendadak dan
timbul dengan disertai oleh gambaran inflamasi yang mencolok. Walaupun hingga kini belum
berhasil dilakukan isolasi suatu mikroorganisme dari jaringan sinovial, hal ini tidak
menyingkirkan kemungkinan bahwa terdapat suatu komponen peptidoglikan atau endotoksin
mikroorganisme yang dapat mencetuskan terjadinya AR. Agen infeksius yang diduga merupakan
penyebab AR antara lain adalah bakteri, mikoplasma atau virus.8,10
Heat shock protein (HSP) adalah sekelompok protein berukuran sedang (60 sampai 90 kDa)
yang dibentuk oleh sel seluruh spesies sebagai respons terhadap stress. Walaupun telah diketahui
terdapat hubungan antara HSP dan sel T pada pasien AR, mekanisme ini belum diketahui dengan
jelas.10
2.4. Patogenesis
Dari penelitian mutakhir diketahui bahwa patogenesis AR terjadi akibat rantai peristiwa
imunologis sebagai berikut :
Suatu antigen penyebab AR yang berada pada membran sinovial, akan diproses oleh antigen
presenting cells (APC) yang terdiri dari berbagai jenis sel seperti sel sinoviosit A, sel dendritik
atau makrofag yang semuanya mengekspresi determinan HLA-DR pada membran selnya.
Antigen yang telah diproses akan dikenali dan diikat oleh sel CD4+ bersama dengan determinan
HLA-DR yang terdapat pada permukaan membran APC tersebut membentuk suatu kompleks

trimolekular. Kompleks trimolekular ini dengan bantuan interleukin-1 (IL-1) yang dibebaskan
oleh monosit atau makrofag selanjutnya akan menyebabkan terjadinya aktivasi sel CD4+.
Pada tahap selanjutnya kompleks antigen trimolekular tersebut akan mengekspresi reseptor
interleukin-2 (IL-2) Pada permukaan CD4+. IL-2 yang diekskresi oleh sel CD4+ akan
mengikatkan diri pada reseptor spesifik pada permukaannya sendiri dan akan menyebabkan
terjadinya mitosis dan proliferasi sel tersebut. Proliferasi sel CD4+ ini akan berlangsung terus
selama antigen tetap berada dalam lingkunan tersebut. Selain IL-2, CD4+ yang telah teraktivasi
juga mensekresi berbagai limfokin lain seperti gamma-interferon, tumor necrosis factor b (TNFb), interleukin-3 (IL-3), interleukin-4 (IL-4), granulocyte-macrophage colony stimulating factor
(GM-CSF) serta beberapa mediator lain yang bekerja merangsang makrofag untuk meningkatkan
aktivitas fagositosisnya dan merangsang proliferasi dan aktivasi sel B untuk memproduksi
antibodi. Produksi antibodi oleh sel B ini dibantu oleh IL-1, IL-2, dan IL-4.
Setelah berikatan dengan antigen yang sesuai, antibodi yang dihasilkan akan membentuk
kompleks imun yang akan berdifusi secara bebas ke dalam ruang sendi. Pengendapan kompleks
imun akan mengaktivasi sistem komplemen yang akan membebaskan komponen-komplemen
C5a. Komponen-komplemen C5a merupakan faktor kemotaktik yang selain meningkatkan
permeabilitas vaskular juga dapat menarik lebih banyak sel polimorfonuklear (PMN) dan
monosit ke arah lokasi tersebut. Pemeriksaan histopatologis membran sinovial menunjukkan
bahwa lesi yang paling dini dijumpai pada AR adalah peningkatan permeabilitas mikrovaskular
membran sinovial, infiltrasi sel PMN dan pengendapan fibrin pada membran sinovial.
Fagositosis kompleks imun oleh sel radang akan disertai oleh pembentukan dan pembebasan
radikal oksigen bebas, leukotrien, prostaglandin dan protease neutral (collagenase dan
stromelysin) yang akan menyebabkan erosi rawan sendi dan tulang.8,10 Radikal oksigen bebas
dapat menyebabkan terjadinya depolimerisasi hialuronat sehingga mengakibatkan terjadinya
penurunan viskositas cairan sendi. Selain itu radikal oksigen bebas juga merusak kolagen dan
proteoglikan rawan sendi.
Prostaglandin E2 (PGE2) memiliki efek vasodilator yang kuat dan dapat merangsang terjadinya
resorpsi tulang osteoklastik dengan bantuan IL-1 dan TNF-b.
Rantai peristiwa imunologis ini sebenarnya akan terhenti bila antigen penyebab dapat
dihilangkan dari lingkungan tersebut. Akan tetapi pada AR, antigen atau komponen antigen
umumnya akan menetap pada struktur persendian, sehingga proses destruksi sendi akan
berlangsung terus.10 Tidak terhentinya destruksi persendian pada AR kemungkinan juga
disebabkan oleh terdapatnya faktor reumatoid. Faktor reumatoid adalah suatu autoantibodi
terhadap epitop fraksi Fc IgG yang dijumpai pada 70-90 % pasien AR. Faktor reumatoid akan
berikatan dengan komplemen atau mengalami agregasi sendiri, sehingga proses peradangan akan
berlanjut terus. Pengendapan kompleks imun juga menyebabkan terjadinya degranulasi mast cell
yang menyebabkan terjadinya pembebasan histamin dan berbagai enzim proteolitik serta aktivasi
jalur asam arakidonat.
Masuknya sel radang ke dalam membran sinovial akibat pengendapan kompleks imun
menyebabkan terbentuknya pannus yang merupakan elemen yang paling destruktif dalam

patogenesis AR. Pannus merupakan jaringan granulasi yang terdiri dari sel fibroblas yang
berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel radang. Secara histopatologis pada daerah
perbatasan rawan sendi dan pannus terdapatnya sel mononukleus, umumnya banyak dijumpai
kerusakan jaringan kolagen dan proteoglikan.7
2.5. Gambaran Klinis
Ada beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada penderita artritis reumatoid.
Gambaran klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada saat yang bersamaan oleh karena penyakit
ini memiliki gambaran klinis yang sangat bervariasi.
1. Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan menurun dan demam.
Terkadang kelelahan dapat demikian hebatnya.
2. Poliartritis simetris terutama pada sendi perifer, termasuk sendi-sendi di tangan, namun
biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalangs distal. Hampir semua sendi diartrodial dapat
terserang.
3. Kekakuan di pagi hari selama lebih dari 1 jam: dapat bersifat generalisata tatapi terutama
menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda dengan kekakuan sendi pada osteoartritis, yang
biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit dan selalu kurang dari 1 jam.

Gambar 1. Rheumatoid Arthritis Versus Osteoarthritis. 4


4. Artritis erosif merupakan ciri khas penyakit ini pada gambaran radiologik. Peradangan sendi
yang kronik mengakibatkan erosi di tepi tulang dan ini dapat dilihat pada radiogram.
5. Deformitas: kerusakan dari struktur-struktur penunjang sendi dengan perjalanan penyakit.
Pergeseran ulnar atau deviasi jari, subluksasi sendi metakarpofalangeal, deformitas boutonniere
dan leher angsa adalah beberapa deformitas tangan yang sering dijumpai pada penderita. Pada
kaki terdapat protrusi (tonjolan) kaput metatarsal yang timbul sekunder dari subluksasi
metatarsal. Sendi-sendi besar juga dapat terserang dan mengalami pengurangan kemampuan
bergerak terutama dalam melakukan gerak ekstensi.
6. Nodula-nodula reumatoid adalah massa subkutan yang ditemukan pada sekitar sepertiga orang
dewasa penderita arthritis rheumatoid. Lokasi yang paling sering dari deformitas ini adalah bursa
olekranon (sendi siku ) atau di sepanjang permukaan ekstensor dari lengan; walaupun demikian
nodula-nodula ini dapat juga timbul pada tempat-tempat lainnya. Adanya nodula-nodula ini
biasanya merupakan suatu petunjuk suatu penyakit yang aktif dan lebih berat.
7. Manifestasi ekstra-artikular: artritis reumatoid juga dapat menyerang organ-organ lain di luar
sendi. Jantung (perikarditis), paru-paru (pleuritis), mata, dan pembuluh darah dapat rusak.13
Tabel 2. Kriteria American Rheumatism Association untuk Artritis Reumatoid, Revisi
1987. 5
Kriteria

Definisi

1. Kaku pagi hari

Kekakuan pada pagi hari pada persendian dan disekitarnya,


sekurangnya selama 1 jam sebelum perbaikan maksimal

2. Artritis pada 3
daerah

Pembengkakan jaringan lunak atau persendian atau lebih


efusi (bukan pertumbuhan tulang) pada sekurangkurangnya 3 sendi secara bersamaan yang diobservasi oleh
seorang dokter. Dalam kriteria ini terdapat 14 persendian
yang memenuhi kriteria yaitu PIP, MCP, pergelangan
tangan, siku pergelangan kaki dan MTP kiri dan kanan.

3. Artritis pada
persendian tangan

Sekurang-kurangnya terjadi pembengkakan satu persendian


tangan seperti yang tertera diatas.

4. Artritis simetris

Keterlibatan sendi yang sama (seperti yang tertera pada


kriteria 2 pada kedua belah sisi, keterlibatan PIP, MCP atau
MTP bilateral dapat diterima walaupun tidak mutlak
bersifat simetris.

5. Nodul rheumatoid

Nodul subkutan pada penonjolan tulang atau permukaan

ekstensor atau daerah juksta-artrikular yang diobservasi


oleh seorang dokter.
6. Faktor rheumatoid
serum

Terdapatnya titer abnormal faktor reumatoid serum yang


diperiksa dengan cara yang memberikan hasil positif
kurang dari 5% kelompok kontrol yang diperiksa.

7. Perubahan
gambaran

Perubahan gambaran radiologis yang radiologis khas bagi


arthritis reumotoid pada periksaan sinar X tangan
posteroanterior atau pergelangan tangan yang harus
menunjukkan adanya erosi atau dekalsifikasi tulang yang
berlokalisasi pada sendi atau daerah yang berdekatan
dengan sendi (perubahan akibat osteoartritis saja tidak
memenuhi persyaratan).

Untuk keperluan klasifikasi, seseorang dikatakan menderita artritis reumatoid jika


ia sekurang-kurangnya memenuhi 4 dari 7 kriteria di atas. Kriteria 1 sampai 4 harus
terdapat minimal selama 6 minggu. Pasien dengan dua diagnosis tidak
dieksklusikan. Pembagian diagnosis sebagai artritis reumatoid klasik, definit,
probable atau possible tidak perlu dibuat.

* PIP : Proximal Interphalangeal, MCP : Metacarpophalangeal, MTP: Metatarsophalangeal


2.1. Manivestasi Klinis Artritis Reumatoid
Walaupun gejala AR dapat timbul berupa serangan poliartritis akut yang berkembang cepat
dalam beberapa hari, pada umumnya gejala penyakit berkembang secara perlahan dalam masa
beberapa minggu. Dalam keadaan dini, AR dapat bermanifestasi sebagai palindromic
rheumatism, yaitu timbulnya gejala monoartritis yang hilang timbul yang berlangsung antara 3
sampai 5 hari dan diselingi dengan masa remisi sempurna sebelum bermanifestasi sebagai AR
yang khas. Dalam keadaan ini AR juga dapat bermanifestasi sebagai paurciarticular rheumatism,
yaitu gejala poliartritis yang melibatkan 4 persendian atau kurang. Kedua gambaran klinis seperti
ini seringkali menyebabkan kesukaran dalam menegakkan diagnosis AR dalam masa dini.1
2.2. Manivestasi Neurologis
Manivestasi neurologis sering terjadi pada penderita artritis reumatoid kronis dengan faktor
reumatoid positif. Sering terjadi neuropati. Neuropati kompresi atau jepitan terjadi akibat
pembengkakan jaringan ikat yang menekan saraf tepi. Paling sering terjadi kompresi saraf
medianus pada pergelangan tangan yang dikenal sebagai sindroma terowongan karpal (CTS);
carpal tunnel syndrome). Neuropati sensoris bagian distal dengan disestesia atau rasa terbakar
pada tangan atau kaki yang terjadi kadang sukar dibedakan dengan gejala artritisnya. Jarang

terjadi neuropati sensorimotor, tetapi bila terjadi bersifat progresif dan dapat menyebabkan suatu
penurunan kemampuan penderita dalam melakukan aktivitas. Mielopati dapat terjadi pada
penderita AR karena sering terlibatnya vertebra servikalis dan menimbulkan penyempitan kanalis
spinalis pada fleksi leher setelah terjadi subluksasi atlantoaksial. Gejala akibat gangguan
sirkulasi posterior berupa vertigo dan kelemahan akibat kompresi atau trombosis arteria
vertebralis. Penderita artritis reumatoid lanjut harus mengenakan bidai leher bila mengendarai
mobil atau motor dan harus dilakukan foto leher posisi fleksi sebelum menjalani anestesi umum.
Artritis reumatoid juga dapat mengakibatkan miopati.11
2.3. Manivestasi Artikular
Manifestasi artikular ini dapat dibagi menjadi 2 kategori :
1. Gejala inflamasi akibat aktivitas sinovitis yang bersifat reversibel.
2. Gejala akibat kerusakan struktur persendian yang bersifat ireversibel.
Adalah sangat penting untuk membedakan kedua hal ini karena penatalaksanaan kedua kelainan
tersebut sangat berbeda. Sinovitis merupakan kelainan yang umumnya bersifat reversibel dan
dapat diatasi dengan pengobatan medikamentosa atau pengobatan non-surgikal lainnya. Pada
fihak lain kerusakan struktur persendian akibat kerusakan rawan sendi atau erosi tulang
periartikular merupakan proses yang tidak dapat diperbaiki lagi dan memerlukan modifikasi
mekanik atau pembedahan rekonstruktif.
Gejala klinis yang berhubungan dengan aktivitas sinovitis adalah kaku pagi hari. Kekakuan pada
pagi hari merupakan gejala yang selalu dijumpai pada AR aktif. Berbeda dengan rasa kaku yang
dapat dialami oleh pasien osteoartritis atau kadang-kadang oleh orang normal, kaku pagi hari
pada AR berlangsung lebih lama, yang pada umumnya lebih dari 1 jam. Lamanya kaku pagi hari
pada AR agaknya berhubungan dengan lamanya imobilisasi pada saat pasien sedang tidur serta
beratnya inflamasi. Gejala kaku pagi hari akan menghilang jika remisi dapat tercapai. Faktor lain
penyebab kaku pagi hari adalah inflamasi akibat sinovitis. Inflamasi akan menyebabkan
terjadinya imobilisasi persendian yang jika berlangsung lama akan mengurang pergerakan sendi
baik secara aktif maupun secara pasif.1
Otot dan tendon yang berdekatan dengan persendian yang mengalami peradangan cenderung
untuk mengalami spasme dan pemendekan. Fenomen ini terutama jelas terlihat pada otot
intrinsik tangan yang berjalan sepanjang persendian metacarpophalangeal, (MCP) dan otot
peroneus anterior yang berjalan sepanjang persendian talonavikularis pada arkus pedis.
Deformitas persendian pada AR dapat terjadi akibat beberapa mekanisme yang berhubungan
dengan terjadinya sinovitis dan pembentukan pannus. Sinovitis akan menyebabkan kerusakan
rawan sendi dan erosi tulang periartikular sehingga menyebabkan terbentuknya permukaan sendi
yang tidak rata. Jika kerusakan rawan sendi terjadi pada daerah yang luas dan imobilisasi
berlangsung lama, akan terjadi fusi tulang-tulang yang membentuk persendian. Lebih jauh
pannus yang menginvasi jaringan kolagen serta proteoglikan rawan sendi dan tulang dapat
menghancurkan struktur persendian sehingga terjadi ankilosis.

Ligamen yang dalam keadaan normal berfungsi untuk mempertahankan kedudukan persendian
yang stabil dapat pula menjadi lemah akibat sinovitis yang menetap atau pembentukan pannus
yang memiliki kemampuan melarutkan kolagen tendon, ligamen atau rawan sendi. Gangguan
stabilitas dapat jelas terlihat pada subluksasio persendian MCP akibat terjadinya perubahan arah
gaya tarik tendon sepanjang aksis rotasi sehingga menyebabkan terbentuknya deviasi ulnar yang
khas dan AR.1
Walaupun peran sinovitis dalam menyebabkan deformitas persendian berlaku bagi semua
persendian, terdapat beberapa aspek khusus yang berhubungan dengan sendi tertentu.
Vertebra Servikalis
Walaupun AR jarang melibatkan segmen vertebralis lainnya, vertebra servikalis merupakan
segmen yang sering terlibat pada AR. Proses inflamasi ini melibatkan persendian diartrodial
yang tidak tampak atau teraba oleh pemeriksaan. Gejala dini AR pada Vertebra servikalis
umumnya bermanifestasi sebagai kekakuan pada seluruh segmen leher disertai dengan
berkurangnya lingkup gerak sendi secara menyeluruh.1 Tenosinovitis ligamen transversum C1
yang mempertahankan kedudukan prosesus odontoid C2 dapat menyebabkan timbulnya
gangguan stabilitas C1- C2. Mielopati dapat timbul akibat terjadinya erosi prosesus odontoin yang
menyebabkan pengenduran dan ruptura ligamen sehingga menimbulkan penekanan pada medulla
spinalis. Gangguan stabilitas sendi akibat peradangan dan kerusakan pada permukaan sendi
apofiseal dan pengenduran ligamen juga dapat menyebabkan terjadinya subluksasio yang sering
dijumpai pada C4-C5 atau C5 -C6.
Gelang Bahu
Peradangan pada gelang bahu akan mengurangi lingkup gerak sendi gelang bahu. Karena dalam
aktivitas sehari-hari gerakan bahu tidak memerlukan lingkup gerak yang luas, umumnya pada
keadaan dini pasien tidak merasa terganggu dengan keterbatasan tersebu. Walaupun demikian,
tanpa latihan pencegahan akan mudah terjadi kekakuan gelang bahu yang berat yang disebut
sebagai frozen shoulder syndrome.
Siku
Karena terletak superfisial, sinovitis artikulasio kubiti dapat dengan mudah teraba oleh
pemeriksa. Sinovitis dapat menimbulkan penekanan pada nervus ulnaris sehingga menimbulkan
gejala neuropati tekanan. Gejala ini bermanifestasi sebagai parestesia jari 4 dan 5 akan
kelemahan otot fleksor jari 5

Gambar 2. Arthritis, Rheumatoid. Rheumatoid nodules at the elbow.


Photograph by David Effron MD, FACEP.17
Tangan
Berlainan dengan persendian distal interphalangeal (DIP) yang relatif jarang dijumpai,
keterlibatan persendian pergelangan tangan, MCP dan PIP hampir selalu dijumpai pada AR.
Gambaran swan neck deformities akibat fleksi kontraktur MCP, heperekstensi PIP dan fleksi DIP
serta boutonniere akibat fleksi PIP dan hiperekstensi DIP dapat terjadi akibat kontraktur otot
serta tendon fleksor dan interoseus merupakan deformitas patognomonik yang banyak dijumpai
pada AR
Selain gejala yang berhubungan dengan sinovitis, pada AR juga dapat dijumpai nyeri atau
disfungsi persendian akibat penekana nervus medianus yang terperangkap dalam rongga karpalis
yang mengalami sinovitis sehingga menyebabkan gejala carpal tunnel syndrome. Walaupun
jarang, nervus ulnaris yang berjalan dalam kanal Guyon dapat pula mengalami penekanan
dengan mekanisme yang sama.
AR dapat pula menyebabkan terjadinya tenosinovitis akibat pembentukan nodul reumatoid
sepanjang sarung tendon yang dapat menghambat gerakan tendon dalam sarungnya.
Tenosinovitis pada AR dapat menyebabkan terjadinya erosi tendon dan mengakibatkan
terjadinya ruptur tendon yang terlibat.

Gambar 3. Arthritis, Rheumatoid. Rheumatoid changes in the hand.


Photograph by David Effron MD, FACEP. 17
Panggul
Karena sendi panggul terletak jauh di dalam pelvis, kelainan sendi panggul akibat AR umumnya
sulit dideteksi dalam keadaan dini. Pada keadaan dini keterlibatan sendi panggul mungkin hanya
dapat terlihat sebagai keterbatasan gerak yang tidak jelas atau gangguan ringan pada kegiatan
tertentu seperti saat mengenakan sepatu. Walaupun demikian, jika destruksi rawan sendi telah
terjadi, gejala gangguan sendi panggul akan berkembang lebih cepat dibandingkan gangguan
pada persendian lainnya.
Lutut
Penebalan sinovial dan efusi lutut umumnya mudah dideteksi pada pemeriksaan. Herniasi kapsul
sendi kearah posterior dapat menyebabkan terbentuknya kista Baker.
Kaki dan Pergelangan Kaki
Keterlibatan persendian MTP, talonavikularis dan pergelangan kaki merupakan gambaran yang
khas AR. Karena persendian kaki dan pergelangan kaki merupakan struktur yang menyangga
berat badan, keterlibatan ini akan menimbulkan disfungsi dan rasa nyeri yang lebih berat
dibandingkan dengan keterlibatan ekstremitas atas. Peradangan pada sendi talonavikularis akan
menyebabkan spasme otot yang berdekatan sehingga menimbulkan deformitas berupa pronasio
dan eversio kaki yang khas pada AR. Walaupun jarang, nervue tibialis posterior dapat pula
mengalami penekanan akibat sinovitis pada rongga tarsalis (tarsal tunnel) yang dapat
menimbulkan gejala parestesia pada telapak kaki.

2.4. Komplikasi
Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus peptik yang
merupakan komplikasi utama penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) atau obat
pengubah perjalanan penyakit (disease modifying antirheumatoid drugs, DMARD) yang menjadi
faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada artritis reumatoid.
Komplikasi saraf yang terjadi tidak memberikan gambaran jelas, sehingga sukar dibedakan
antara akibat lesi artikular dan lesi neuropatik. Umumnya berhubungan dengan mielopati akibat
ketidakstabilan vertebra servikal dan neuropati iskemik akibat vaskulitis.
2.5. Pemeriksaan Penunjang
Tidak banyak berperan dalam diagnosis artritis reumatoid, namun dapat menyokong bila terdapat
keraguan atau untuk melihat prognosis pasien. Pada pemeriksaan laboraturium terdapat:
1. Tes faktor reuma biasanya positif pada lebih dari 75% pasien artritis reumatoid terutama bila
masih aktif. Sisanya dapat dijumpai pada pasien lepra, tuberkulosis paru, sirosis hepatis, hepatitis
infeksiosa, lues, endokarditis bakterialis, penyakit kolagen, dan sarkoidosis.
2. Protein C-reaktif biasanya positif.
3. LED meningkat.
4. Leukosit normal atau meningkat sedikit.
5. Anemia normositik hipokrom akibat adanya inflamasi yang kronik.
6. Trombosit meningkat.
7. Kadar albumin serum turun dan globulin naik.
Pada periksaan rontgen, semua sendi dapat terkena, tapi yang tersering adalah sendi
metatarsofalang dan biasanya simetris. Sendi sakroiliaka juga sering terkena. Pada awalnya
terjadi pembengkakan jaringan lunak dan demineralisasi juksta artikular. Kemudian terjadi
penyempitan sendi dan erosi.
2.6. Penatalaksanaan
Setelah diagnosis AR dapat ditegakkan, pendekatan pertama yang harus dilakukan adalah segera
berusaha untuk membina hubungan yang baik antara pasien dengan keluarganya dengan dokter
atau tim pengobatan yang merawatnya. Tanpa hubungan yang baik ini agaknya akan sukar untuk
dapat memelihara ketaatan pasien untuk tetap berobat dalam suatu jangka waktu yang cukup
lama.6

1. Pendidikan pada pasien mengenai penyakitnya dan penatalaksanaan yang akan dilakukan
sehingga terjalin hubungan baik dan terjamin ketaatan pasien untuk tetap berobat dalam jangka
waktu yang lama.
2. OAINS diberikan sejak dini untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang sering
dijumpai. OAINS yang dapat diberikan:
a. Aspirin
Pasien dibawah 50 tahun dapat mulai dengan dosis 3-4 x 1 g/hari, kemudian dinaikkan 0,3-0,6 g
per minggu sampai terjadi perbaikan atau gejala toksik. Dosis terapi 20-30 mg/dl.
b. Ibuprofen, naproksen, piroksikam, diklofenak, dan sebagainya.
3. DMARD digunakan untuk melindungi rawan sendi dan tulang dari proses destruksi akibat
artritis reumatoid. Mula khasiatnya baru terlihat setelah 3-12 bulan kemudian. Setelah 2-5 tahun,
maka efektivitasnya dalam menekan proses reumatoid akan berkurang. Keputusan
penggunaannya bergantung pada pertimbangan risiko manfaat oleh dokter. Umumnya segera
diberikan setelah diagnosis artritis reumatoid ditegakkan, atau bila respon OAINS tidak baik,
meski masih dalam status tersangka.
Jenis-jenis yang digunakan adalah:
a. Klorokuin, paling banyak digunakan karena harganya terjangkau, namun efektivitasnya lebih
rendah dibandingkan dengan yang lain. Dosis anjuran klorokuin fosfat 250 mg/hari
hidrosiklorokuin 400 mg/hari. Efek samping bergantung pada dosis harian, berupa penurunan
ketajaman penglihatan, dermatitis makulopapular, nausea, diare, dan anemia hemolitik.
b. Sulfasalazin dalam bentuk tablet bersalut enteric digunakan dalam dosis 1 x 500 mg/hari,
ditingkatkan 500 mg per minggu, sampai mencapai dosis 4 x 500 mg. Setelah remisi tercapai,
dosis dapat diturunkan hingga 1 g/hari untuk dipakai dalam jangka panjang sampai tercapai
remisi sempurna. Jika dalam waktu 3 bulan tidak terlihat khasiatnya, obat ini dihentikan dan
diganti dengan yang lain, atau dikombinasi. Efek sampingnya nausea, muntah, dan dyspepsia.
c. D-penisilamin, kurang disukai karena bekerja sangat lambat. Digunakan dalam dosis 250-300
mg/hari, kemudian dosis ditingkatkan setiap 2-4 minggu sebesar 250-300 mg/hari untuk
mencapai dosis total 4x 250-300 mg/hari. Efek samping antara lain ruam kulit urtikaria atau
mobiliformis, stomatitis, dan pemfigus.
d. Garam emas adalah gold standard bagi DMARD. Khasiatnya tidak diragukan lagi meski
sering timbul efek samping. Auro sodium tiomalat (AST) diberikan intramuskular, dimulai
dengan dosis percobaan pertama sebesar 10 mg, seminggu kemudian disusul dosis kedua sebesar
20 mg. Seminggu kemudian diberikan dosis penuh 50 mg/minggu selama 20 minggu. Dapat
dilanjutkan dengan dosis tambahan sebesar 50 mg tiap 2 minggu sampai 3 bulan. Jika
diperlukan, dapat diberikan dosis 50 mg setiap 3 minggu sampai keadaan remisi tercapai. Efek
samping berupa pruritis, stomatitis, proteinuria, trombositopenia, dan aplasia sumsum tulang.

Jenis yang lain adalah auranofin yang diberikan dalam dosis 2 x 3 mg. Efek samping lebih jarang
dijumpai, pada awal sering ditemukan diare yang dapat diatasi dengan penurunan dosis.
e. Obat imunosupresif atau imunoregulator.
Metotreksat sangat mudah digunakan dan waktu mula kerjanya relatif pendek dibandingkan
dengan yang lain. Dosis dimulai 5-7,5 mg setiap minggu. Bila dalam 4 bulan tidak menunjukkan
perbaikan, dosis harus ditingkatkan. Dosis jarang melebihi 20 mg/minggu. Efek samping jarang
ditemukan. Penggunaan siklosporin untuk artritis reumatoid masih dalam penelitian.
f. Kortikosteroid hanya dipakai untuk pengobatan artritis reumatoid dengan komplikasi berat dan
mengancam jiwa, seperti vaskulitis, karena obat ini memiliki efek samping yang sangat berat.
Dalam dosis rendah (seperti prednison 5-7,5 mg satu kali sehari) sangat bermanfaat sebagai
bridging therapy dalam mengatasi sinovitis sebelum DMARD mulai bekerja, yang kemudian
dihentikan secara bertahap. Dapat diberikan suntikan kortikosteroid intraartikular jika terdapat
peradangan yang berat. Sebelumnya, infeksi harus disingkirkan terlebih dahulu.3
4. Riwayat Penyakit alamiah
Riwayat penyakit alamiah AR sangat bervariasi. Pada umumnya 25% pasien akan mengalami
manifestasi penyakit yang bersifat monosiklik (hanya mengalami satu episode AR dan
selanjutnya akan mengalami remisi sempurna). Pada pihak lain sebagian besar pasien akan
menderita penyakit ini sepanjang hidupnya dengan hanya diselingi oleh beberapa masa remisi
yang singkat (jenis polisiklik). Sebagian kecil lainnya akan menderita AR yang progresif yang
disertai dengan penurunan kapasitas fungsional yang menetap pada setiap eksaserbasi.12
Penelitian jangka panjang menunjukkan bahwa dengan pengobatan yang digunakan saat ini,
sebagian besar pasien AR umumnya akan dapat mencapai remisi dan dapat mempertahankannya
dengan baik pada 5 atau 10 tahun pertamanya. Setelah kurun waktu tersebut, umumnya pasien
akan mulai merasakan bahwa remisi mulai sukar dipertahankan dengan pengobatan yang biasa
digunakan selama itu. Hal ini mungkin disebabkan karena pasien sukar mempertahankan
ketaatannya untuk terus berobat dalam jangka waktu yang lama, timbulnya efek samping jangka
panjang kortikosteroid. Khasiat DMARD yang menurun dengan berjalannya waktu atau karena
timbulnya penyakit lain yang merupakan komplikasi AR atau pengobatannya. Hal ini masih
merupakan persoalan yang banyak diteliti saat ini, karena saat ini belum berhasil dijumpai obat
yang bersifat sebagai disease controlling antirheumatic therapy (DC-ART).9
5. Rehabilitasi pasien AR
Rehabilitasi merupakan tindakan untuk mengembalikan tingkat kemampuan pasien AR dengan
cara:1
Mengurangi rasa nyeri
Mencegah terjadinya kekakuan dan keterbatasan gerak sendi

Mencegah terjadinya atrofi dan kelemahan otot


Mencegah terjadinya deformitas
Meningkatkan rasa nyaman dan kepercayaan diri
Mempertahankan kemandirian sehingga tidak bergantung kepada orang lain.
Rehabilitasi dilaksanakan dengan berbagai cara antara lain dengan mengistirahatkan sendi yang
terlibat, latihan serta dengan menggunakan modalitas terapi fisis seperti pemanasan,
pendinginan, peningkatan ambang rasa nyeri dengan arus listrik. Manfaat terapi fisis dalam
pengobatan AR telah ternyata terbukti dan saat ini merupakan salah satu bagian yang tidak
terpisahkan dalam penatalaksanaan AR.7
6. Pembedahan
Jika berbagai cara pengobatan telah dilakukan dan tidak berhasil serta terdapat alasan yang
cukup kuat, dapat dilakukan pengobatan pembedahan. Jenis pengobatan ini pada pasien AR
umumnya bersifat ortopedik, misalnya sinovektoni, artrodesis, total hip replacement,
memperbaiki deviasi ulnar, dan sebagainya.
2.7. Artritis Reumatoid Juvenilis
Anak-anak dapat terkena AR seperti orang dewasa. Di Amerika Serikat 13,9/ 100.000. Terdapat
tiga subtipe AR juvenilis bila dipandang dari awitan gejalanya.
Awitan sistemik (penyakit still) mengenai sekitar 20% dari semua kasus. Anak laki-laki dan
perempuan terserang dalam jumlah yang sebanding. Bentuk ini dapat terjadi pada setiap usia.
Sesuai dengan namanya penyakit ini melibatkan berbagai sistem organ, namun disamping itu
juga mengakibatklan poliartritis klinik. Subtipe ini memiliki prognosis terburuk dari antara
ketiga tipe dan dapat menyebabkan keterlambatan dalam pertumbuhan.
Awitan poliartikular bertanggung jawab atas sekitar 40% dari semua kasus. Anak perempuan
diserang dengan rasio 2:1 bila dibandingkan dengan anak laki-laki, dan bentuk ini juga dapat
terjadi pada semua umur. Lima atau lebih sendi terserang pada saat yang bersamaan tetapi
biasanya hanya mengkibatkan kelainan ekstra artikular yang tidak berat. Bentuk ini memiliki
prognosis yang lebih baik daripada awitan sistemik, tetapi dapat juga menyebabkan
keterlambatan pertumbuhan.
Awitan pausiartikular bertanggung jawab atas kira-kira 40 dari semua kasus. Anak perempuan
yang diserang dengan rasio 6:1 bila dibandingkan dengan laki-laki. Bentuk ini biasanya terjadi
sebelum usia 6 tahun. Tidak lebih dari 4 sendi akan diserang, dan biasanya tidak ada atau jarang
terjadi kelainan ekstra-artikular. Bentuk ini memiliki prognosis yang paling baik dari ketiga
bentuk.

Penatalaksanaan artritis reumatoid juvenilis serupa dengan penatalaksanaan penyakit ini pada
orang dewasa, tetapi ada beberapa perbedaan penting. Beberapa obat yang dipakai untuk orang
dewasa tidak boleh diberikan pada anak-anak. Kortikosteroid sistemik dapat menyebabkan
keterlambatan pertumbuhan, osteoporosis dan katarik. Beberapa obat imunosupresif dapat
menekan fungsi sumsum tulang, sterilitas, dan keganasan pada anak-anak.13
Kesimpulan
1. Artritis Reumatoid merupakan suatu penyakit autoimun sistemik menahun yang proses
patologi utamanya terjadi di cairan sinovial.
2. Penderita Artritis Reumatoid seringkali datang dengan keluhan artritis yang nyata dan tandatanda keradangan sistemik. Baisanya gejala timbul perlahan-lahan seperti lelah, demam,
hilangnya nafsu makan, turunnya berat badan, nyeri, dan kaku sendi.
3. Meskipun penderita artritis reumatoid jarang yang sampai menimbulkan kematian, namun
apabila tidak segera ditangani dapat menimbulkan gejala deformitas/cacat yang menetap. Selain
itu karena penyakit ini bersifat kronis dan sering kambuh, maka penderita akan mengalami
penurunan produktivitas pekerjaan karena gejala dan keluhan yang timbul menyebabkan
gangguan aktivitas fisik, psikologis, dan kualitas hidup menderita.
4. Meskipun prognose untuk kehidupan penderita tidak membahayakan, akan tetapi kesembuhan
penyakit sukar tercapai.
5. Tujuan pengobatan adalah menghasilkan dan mempertahankan remisi atau sedapat mungkin
berusaha menekan aktivitas penyakit tersebut. Tujuan utama dari program terapi adalah
meringankan rasa nyeri dan peradangan, mempertahankan fungsi sendi dan mencegah dan/atau
memeperbaiki deformaitas.

http://medlinux.blogspot.com/2009/02/artritis-reumatoid.html

Anda mungkin juga menyukai