Anda di halaman 1dari 86

MODIFIKASI INCINERATOR UNTUK MENINGKATKAN

FAKTOR KEAMANAN SAAT PENGOPERASIAN

WAHYU PRASTIKASARI

TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN


SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Modifikasi Incinerator
untuk Meningkatkan Faktor Keamanan Saat Pengoperasian adalah benar karya
saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2013

Wahyu Prastikasari
NIM F14090103

ABSTRAK
WAHYU PRASTIKASARI. Modifikasi Incinerator untuk Meningkatkan Faktor
Keamanan Saat Pengoperasian. Dibimbing oleh Sri Endah Agustina.
Modifikasi incinerator rancangan Pradipta (2011) diperlukan untuk
meningkatkan faktor dan kinerja alat. Modifikasi didasarkan pada hasil penelitian
Pradipta (2011) dan penelitian pendahuluan. Modifikasi dilakukan dengan
menginsulasi dinding incinerator setebal 2.2 cm menggunakan glasswool,
mengubah tinggi cerobong dari 117.5 cm menjadi 200 cm, membuat penyangga
pada sistem loading menggunakan pipa dengan diameter 0.5 inchi sepanjang 60
cm, menambah jumlah lubang udara dari 25 lubang menjadi 31 lubang, dan
memanfaatkan panas pada ruang pengendapan zat padat untuk memanaskan air
menggunakan pipa sepanjang 414 cm dengan diameter 0.5 inchi. Modifikasi yang
dilakukan berhasil menurunkan suhu dinding incinerator dimana suhu tertinggi
337.3 C menjadi 61.4 C dan rata-ratanya menjadi 42.6 C dari 114.3 C
sehingga aman bagi operator. Tinggi cerobong setinggi 2 m berhasil membuat
asap tidak turun ke bawah sehingga tidak mengganggu kinerja operator dan
lingkungan sekitar. Hasil uji kinerja menunjukkan kinerja incinerator mengalami
penurunan pada suhu ruang pembakaran. Rata-rata suhu ruang bakar turun dari
212.9 C menjadi 195.9 C walaupun suhu tertinggi mencapai 718.2 C lebih
tinggi dibandingkan sebelum dimodifikasi (596.8 C).
Kata kunci: incinerator, keamanan, kinerja

ABSTRACT
WAHYU PRASTIKASARI. Modification of Incinerator to Improve its
Operational Safety. Supervised by Sri Endah Agustina.
Incinerator performance usually evaluate not only its successfully on
combustion process but also its safety condition while operated. The aim of this
research is to improve performance of small batch type incinerator designed by
Pradipta (2011), by some modification on loading part, air inlet, heat utilization,
chimney, and wall insulation. Result of modification are loading part supported
by metal pipe, number of air inlet holes has been added to 31 (origin 25 holes),
chimney height 200 cm (origin: 117.5 cm), and the wall was insulated by 2.2 cm
thickness glasswool. The performance test shows that the wall average
temperature has been successfully decrease from 114.3 C (origin condition) to
42.6 C (after insulated), and the smoke flow was not disturbing operator
anymore due to the higher chimney. After modified, the highest combustion
temperature (718.2 C) was higher, but the average combustion temperature
(195.9 C) was lower than before modified.
Keyword: incinerator, safety, performance

MODIFIKASI INCINERATOR UNTUK MENINGKATKAN


FAKTOR KEAMANAN SAAT PENGOPERASIAN

WAHYU PRASTIKASARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknik Mesin dan Biosistem

TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Modifikas i


Nama
NIM

Jf. ~ 11 n t/OF

untuk Meningkatkan Faktor Keamanan

Saat Pengo rasi n


: Wahyu Prasrik~ ari
:F14090103

Disetujui oleh

Ir Sri Endah Agustina, MS

Pembimbing

esrial, MEng
Ketua Departemen

Tanggal Lulus: (

[, "0 O[C 2013 )

Judul Skripsi : Modifikasi Incinerator untuk Meningkatkan Faktor Keamanan


Saat Pengoperasian
Nama
: Wahyu Prastikasari
NIM
: F14090103

Disetujui oleh

Ir Sri Endah Agustina, MS


Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Desrial, MEng
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa taala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 ini ialah alat
pembakar sampah (incinerator), dengan judul Modifikasi Incinerator untuk
Meningkatkan Faktor Keamanan Saat Pengoperasian.
Terima kasih penulis ucapkan kepada:
1. Ibu Ir Sri Endah Agustina, MS selaku dosen pembimbing atas segala arahan
dan dukungannya.
2. Bapak Dr Muhamad Yulianto dan Bapak Prof Dr Ir Bambang Pramudya, MEng
selaku dosen penguji atas segala saran yang diberikan
3. Bapak Harto, Bapak Firman, Bapak Ahmad, dan Bapak Darma yang telah
banyak membantu selama pelaksanaan penelitian.
4. Teman-teman TMB dan orion 46 yang telah membantu selama pengumpulan
data. Atas doa dan dukungan kalian. Nama kalian terukir dihati yang terdalam.
5. Bapak, Ibun, Mbak Rita, Mas Wawo' serta seluruh keluarga, atas segala doa,
dukungan dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2013

Wahyu Prastikasari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR

ix

DAFTAR LAMPIRAN

ix

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perumusan Masalah

Tujuan Penelitian

Ruang Lingkup Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA
METODE

3
26

Tahapan Penelitian

26

Pendekatan Masalah

27

Penentuan Parameter Faktor Keamanan Incinerator dan Unjuk Kerjanya


pada Penelitian Pendahuluan

29

Penelitian Pendahuluan

30

Modifikasi Alat

32

Pengujian Unjuk Kerja Incinerator Hasil Modifikasi

32

Tempat dan Waktu Penelitian

36

Alat dan Bahan Penelitian

37

Analisis Data

37

HASIL DAN PEMBAHASAN

39

Hasil Penelitian Pendahuluan

39

Hasil Modifikasi

40

Hasil Uji Kineja

50

SIMPULAN DAN SARAN

65

Simpulan

65

Saran

66

DAFTAR PUSTAKA

66

LAMPIRAN

71

DAFTAR TABEL
1 Besarnya timbulan sampah berdasarkan sumbernya
2 Sebaran suhu yang dapat dihambat oleh beberapa bahan insulasi
3 Karakteristik glasswool sebagai bahan insulasi
4 Ketebalan sebuah insulasi yang diajurkan untuk permukaan plat datar
yang panas
5 Teknologi untuk mengatasi polutan dan rentang pengurangan polusi
yang dapat diatasi
6 Pemisahan abu terbang dan karbon aktif (AC) dengan beberapa
teknologi pengendali polutan
7 Baku mutu emisi untuk kegiatan lain selain industri besi dan baja,
industri pulp dan kertas, pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar
batubara, dan industri semen serta gas buang kendaraan bermotor
8 Suhu dan kualitas asap hasil uji kinerja Pradipta (2011)
9 Titik pengukuran pada penelitian pendahuluan
10 Titik pengambilan data pada pengujian unjuk kerja setelah
modifikasi
11 Debit aliran air pada pipa ruang bakar dan penendapan zat padat
12 Komposisi sampah yang dibakar pada unjuk kerja setelah modifikasi
13 Akurasi alat ukur
14 Debit aliran air pada penelitian pendahuluan
15 Data rata-rata hasil penelitian
16 Data suhu maksimum pada ruang bakar
17 Perbandingan hasil modifikasi dan sebelum dilakukan modifikasi
pada alat
18 Perbandingan suhu dinding incinerator sebelum dan setelah
dilakukan modifikasi
19 Sebaran suhu rata-rata pada sistem loading dan unloading sebelum
dan setelah dilakukan modifikasi
20 Perbandingan nilai tertinggi sebaran suhu ruang pembakaran,
dinding luar ruang pembakaran, suhu inlet cerobong, dan suhu outlet
cerobong sebelum dan setelah modifikasi
21 Perbandingan suhu rata-rata ruang pembakaran, dinding luar ruang
pembakaran, suhu inlet cerobong, dan suhu outlet cerobong sebelum
dan setelah modifikasi
22 Perbandingan nilai laju pembakaran sebelum dan setelah dilakukan
modifikasi
23 Persen pengurangan berat sampah sebelum dilakukkan modifikasi
24 Persen pengurangan berat sampah setelah dilakukan modifikasi
25 Perbandingan suhu rata-rata dari suhu pipa, suhu air masuk, suhu air
keluar, dan perubahan suhu air sebelum dan setelah dilakukan
modifikasi

3
13
14
14
15
16

19
25
31
34
36
36
37
39
39
39
49
51
55

57

57
58
59
59

60

26 Perbandingan lama waktu pembakaran, debit air, dan massa total air
sebelum dan setelah dilakukan modifikasi
27 Nilai suhu tertingi pada ruang pengendapan zat padat
dengan jumlah arang yang dihasilkan hasil uji kineja Pradipta (2011)
28 Nilai suhu tertingi pada ruang pengendapan zat padat dengan jumlah
arang yang dihasilkan pada penelitian pendahuluan
29 Sebaran suhu ruang pengendapan zat padat setelah ditambahkan
insulasi
30 Sebaran suhu ruang pengndapan zat padat, suhu pipa, suhu keluar
pipa, perbedaan suhu air masuk dan keluar pipa
31 Energi yang dimanfaatkan untuk memnasakan air pada ruang
pengendapan zat padat

61
62
62
62
64
65

DAFTAR GAMBAR
1 Skematis berat bahan
2 Klasifikasi teknologi termal pada MSW (Municipal Solid Waste)
(DEFRA, 2007)
3 Incinerator tipe batch (i), tipe continue (ii), tipe fluidized bed
incinerator dan rotary kiln incinerator (iv)
4 Skema incinerator
5 Incinerator rancangan Pradipta (2011)
6 Bagan alir penelitian
7 Penempatan alat ukur pada penelitian pendahuluan
8 Penempatan alat ukur pada uji kinerja setelah modifikasi
9 Prosedural pengujian incinerator
10 Proses pemasangan insulasi
11 Aliran pindah panas pada dinding majemuk
12 Perbandingan warna asap sebelum dan setelah dilakukan modifikasi
13 Standar warna asap UNL Eviromental Health and Safety (2011)
14 Sketsa fabric filter (FFs)
15 Sudut bukaan pintu pemasukan sampah
16 Kondisi pintu pemasukan sampah setelah ditambahkan penyangga
17 Pipa pada ruang pengendapan zat padat

3
5
8
10
24
27
31
35
38
40
41
52
52
53
54
54
63

DAFTAR LAMPIRAN
1 Contoh perhitungan debit aliran air pada penelitian pendahuluan
2 Data pengukuran nilai konduktivitas termal glasswool
3 Perhitungan kecepatan aliran cerobong setelah modifikasi
4 Contoh perhitungan pemanfaatan energi panas pada ruang bakar
5 Contoh perhitungan pemanfaatan energi panas pada ruang
pengendapan zat padat

71
71
71
71
72

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Salah satu cara untuk mengelola sampah yang dihasilkan oleh suatu
perkotaan yakni dengan memanfaatkan alat pembakaran sampah (incinerator).
Selain untuk membakar sampah, panas yang dihasilkan dari proses pembakaran
sampah pada incinerator dapat dimanfaatkan untuk memanaskan air untuk
keperluan rumah tangga sehingga akan menghemat bahan bakar gas elpiji atau
minyak tanah yang umumnya digunakan untuk memanaskan air pada skala rumah
tangga. Pradipta (2011), telah merancang incinerator tipe batch untuk sampah
perkotaan yang dilengkapi dengan pemanas air dengan kapasitas 0.294 m3. Air
panas yang dihasilkan tersebut diharapkan dapat digunakan untuk keperluan
sehari-hari seperti mandi.
Dalam merancang sebuah alat pembakar sampah perlu memperhatikan
faktor keamanan agar hasil rancangan aman bagi pengguna dan lingkungan sekitar
saat dioperasikan. Suhu dinding incinerator harus aman ketika kontak langsung
dengan kulit pada saat dioperasikan, sistem loading dan unloading harus mudah
dan aman bagi pengguna saat pengoperasian, dan asap pembakaran tidak
mengganggu kesehatan pengguna dan lingkungan sekitar.
Pada penelitian ini dilakukan modifikasi untuk meningkatkan faktor
keamanan dari alat. Modifikasi dilakukan pada insulasi dinding, cerobong asap,
dan sistem loading. Insulasi pada dinding incinerator sudah banyak dilakukan
salah satunya incinerator yang dirancang oleh Maxpell Technology (2008)
dimana dinding incinerator Maxpell Technology dilapisi oleh karbon silika serta
bahan-bahan khusus lain yang mempunyai kemampuan meredam panas yang
ditimbulkan. Dinding ini akan menetralkan suhu di luar ruangan karena sifatnya
yang tidak menghantarkan panas. Sehingga pada saat terjadinya pembakaran
dalam incinerator, dinding luar incinerator akan aman untuk disentuh atau
dipegang walaupun incinerator bekerja secara optimal (Maxpell Technology
2008). Selain itu, suhu lingkungan yang tinggi akan menyebabkan tekanan kerja
yang akan menurunkan produtivitas kerja (EPA 1989). Selain karbon silika
sebagai bahan insulan untuk mereduksi suhu dinding incinerator dapat juga
digunakan bahan insulan glasswool yang dapat menahan suhu sampai 350 C
(UPA Direct 2002) dimana incinerator tipe batch untuk sampah perkotaan yang
dilengkapi dengan pemanas air rancangan Pradipta (2011) yang dimodifikasi
memiliki suhu tertinggi 230 C berdasarkan hasil uji kinerja yang dilakukan oleh
Pradipta (2011).
Menurut EPA (1990), UNDP (2003), dan De Montfort di dalam Batterman
S (2004) untuk incenerator intermittent skala kecil dengan kapasitas 12 kg/
minggu setara dengan 1.714 kg/ hari harus meniliki tinggi cerobong 4-5 m untuk
mengurangi ganggunan asap pembakaran baik untuk operator maupun lingkungan
sekitar. Oleh karena itu, dilakukan modifikasi pada tinggi cerobong setinggi 1.175
m dengan menambah tinggi cerobong tersebut untuk mengurangi gangguan asap
hasil pembakaran sampah bagi operator saat pengoperasian alat.

2
Setelah dilakukan modifikasi akan dilakukan uji kinerja dan dianalisis
peningkatan faktor keamanan dari alat sehingga diperoleh perbandingan faktor
keamanan sebelum dan setelah dilakukan modifikasi. Dari modifikasi yang
dilakukan tersebut, diharapkan faktor keamanan, kesehatan dari alat meningkat
sehingga lebih aman bagi pengguna dan lingkungan sekitar saat dioperasikan.

h
Perumusan Masala
Masalah

Dalam ilmu ergonomika suatu alat harus dapat dioperasikan dengan aman
dan tidak mengganggu kesehatan. Dari hal tersebut dapat dirumuskan masalah:
1. Apakah suhu pada dinding incinerator cukup aman bagi operator saat
dioperasikan? Perlukah dilakukan insulasi untuk meningkatkan
keamanan dan kinerja dari incinerator tersebut?
2. Apakah sistem loading dan unloading incinerator tersebut sudah cukup
aman bagi operator? Perlukah dilakukan modifikasi untuk meningkatkan
keamanan dan kemudahan saat pengoperasian?
3. Apakah posisi cerobong dan kualitas asap yang dihasilkan sudah cukup
aman? Apakah perlu dilakukan modifikasi pada cerobong untuk
meminimumkan gangguan asap terhadap operator dan meningkatkan
kualitas asap?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian tersebut, tujuan penelitian ini


adalah:
1. Melakukan modifikasi incinerator tipe batch untuk perkotaan yang dilengkapi
dengan pemanas air yang dirancang oleh Pradipta (2011), untuk meningkatkan
faktor keamanan dari incinerator tersebut.
2. Menganalisis unjuk kerja incinerator tersebut setelah modifikasi.

Ruang Lingkup Penelitian

Adapun modifikasi yang akan dilakukan adalah pada sistem loading,


insulasi dinding ruang pembakaran, dan cerobong asap.

TINJAUAN PUSTAKA

Sampah

Definisi sampah menurut UU-18/2008 tentang Pengelolaan Sampah


(World Bank 1999) adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/ atau proses alam
yang berbentuk padat. Timbulan (generation) sampah masing-masing sumber
tersebut bervariasi satu dengan yang lain, seperti terlihat dalam standar pada Tabel
1.
Tabel 1 Besarnya timbulan sampah berdasarkan sumbernya
No.

Komponen sumber
Satuan
sampah
1.
Rumah permanen
/orang/hari
2.
Rumah semi permanen
/orang/hari
3.
Rumah non-permanen
/orang/hari
4.
Kantor
/pegawai/hari
5.
Toko/ruko
/petugas/hari
6.
Sekolah/murid
/murid/hari
7.
Jalan arteri sekunder
/m/hari
8.
Jalan kolektor sekunder
/m/hari
9.
Jalan lokal
/m/hari
10.
Pasar
/m2/hari
Sumber: Damanhuri E et al. 1989 dan SNI S04-1993-03

Volume (Liter)

Massa (kg)

2.25 2.50
2.00 2.25
1.75 2.00
0.50 0.75
2.50 3.00
0.10 0.15
0.10 0.15
0.10 0.15
0.05 0.10
0.20 0.60

0.350 0.400
0.300 0.350
0.250 0.300
0.025 0.100
0.150 0.350
0.010 0.020
0.020 0.100
0.010 0.050
0.005 0.025
0.100 0.300

Karakteristik sampah dapat dikelompokkan menurut sifat-sifatnya, seperti:


- Karakteristik fisika: densitas, kadar air, kadar volatil, kadar abu, nilai kalor,
distribusi ukuran. Gambar 1 menunjukkan skematis berat bahan.
- Karakteristik kimia: khususnya yang menggambarkan susunan kimia sampah
tersebut yang terdiri dari unsur C, N, O, P, H, S, dsb.
Berat basah

Berat kering

Abu pada
550 C

Gambar 1 Skematis berat bahan

4
Pembakaran Sampah

Pembakaran merupakan reaksi kimia eksotermis bersama dengan


penghasilan panas yang besar dan luminesens, dan merupakan fenomena yang
mana reaksi dapat berkelanjutan secara spontan melalui panas yang dihasilkan
dari rekasi tersebut. Pada reaksi pembakaran terjadi dua jenis pambakaran, yaitu
pembakaran sempurna dan pembakaran habis. Pembakaran habis merupakan
reaksi pembakaran yang terjadi hingga seluruh bahan bakar mengalami proses
pembakaran. Sedangkan pembakaran sempurna terjadi ketika semua karbon
beraksi dengan oksigen sehingga karbon yang mengalami proses oksidasi akan
menjadi CO2. Proses pembakaran dimulai dengan reaksi fase gas, reaksi
permukaan, atau keduanya diikuti dengan proses-proses lain seperti peleburan,
penguapan, dan pirolisis. Dalam rekasi pembakaran yang sebenarnya, fenomena
yang kompleks seperti penguapan, campuran, difusi, konveksi, konduksi panas,
radiasi, dan luminesens akan terjadi pada kecepatan yang sangat tinggi. Bentukbentuk pembakaran dari pembakaran biomassa dalam bentuk padat termasuk
pembakaran penguapan, pembakaran dekomposisi, pembakaran permukaan, dan
pembakaran membran. Dalam pembakaran penguapan, bahan bakar yang
mengandung komponen sederhana dengan struktur molekul yang memiliki titik
peleburan yang rendah akan melebur dan menguap melalui pemanasan, dan
bereaksi dengan oksigen dalam fase gas dan terbakar. Dalam pembakaran
dekomposisi, gas yang diproduksi dari dekomposisi termal melalui pemanasan
(H2, CO, CmHn, H2O, dan CO2) akan bereaksi dengan oksigen dalam fase gas,
membentuk api dan terbakar. Biasanya arang akan tersisa setelah pembakaran ini
dan akan terbakar melalui pembakaran permukaan. Pembakaran permukaan akan
terjadi apabila komponen yang hanya terdiri atas karbon yang mengandung
sebagian kecil bahan volatil seperti arang dan oksigen, CO2 atau uap yang terserap
ke dalam pori-pori yang ada di dalam atau pada permukaan padat komponen itu,
dan akan terbakar melalui reaksi permukaan. Pembakaran membran merupakan
reaksi dekomposisi termal yang terjadi pada suhu yang lebih rendah dari suhu
penyalaan komponen volatil bahan bakar reaktif seperti kayu. Jika api dipaksa
untuk terbakar atau suhu di atas titik api, pembakaran akan mudah terjadi
(Yokoyama S 2008).
Dalam proses pembakaran yang baik harus memperhatikan parameter
seperti pencampuran (mixing) udara, temperatur, waktu, dan kerapatan. Jumlah
udara pembakaran secara sempurna dipengaruhi oleh jumlah udara yang
dibutuhkan untuk proses pembakaran di incinerator. Jumlah udara yang
dibutuhkan dapat didekati melalui perbandingan kebutuhan udara dan bahan
dalam reaksi pembakaran biomassa dan melalui pendekatan kandungan karbon
dan hidrogen dalam bahan bakar.
Menurut Pichtel (2005) reaksi pembakaran biomassa secara umum adalah
sebagai berikut:
CaHbOcNd + (a+b/4-(c-d)/2 O2 aCO2 +b/2H2O + dNO......................................(1)
Incineration adalah sebuah proses pembakaran pada suhu tinggi dengan
oksidasi yang lebih sempurna dari limbah padat, cairan atau gas. Sistem
pembakaran yang sangat kompleks yang melibatkan simultan gabungan panas dan

5
transfer massa, reaksi kimia dan aliran fluida. Sebuah persamaan umum untuk
reaksi pembakaran dari limbah, dapat mengikuti bentuk ( Jenkins et al 1998 ):
Cx1Hx2Ox3Nx4Sx5Clx6Six7Kx8Cax9Mgx10Nax11Px12Fex13Alx14Tix15 + n1 H2O + n2
(1+e)(O2+3.76N2) n3 CO2 + n4 H2O + n5 O2 + n6 N2 + n7 CO + n8 CH4 + n9 NO
+ n10 NO2 + n11 SO2 + n12 HCl+ n13 KCl + n14 K2 SO4 + n15 C + ...........(2)
Rumus empiris yang diwakili dalam Pers. (2) tidak lengkap karena hanya
mencakup 15 elemen sedangkan limbah sebenarnya mungkin berisi lebih banyak
elemen. Indeks molar x1-x15 dapat bervariasi, n1 sesuai dengan kelembaban limbah;
n2 berkaitan dengan jumlah udara (dianggap sebagai campuran biner dari O2 dan
N2) yang digunakan dalam pembakaran; (1 + e) adalah kelebihan udara dalam
kaitannya dengan jumlah stoikiometri, biasanya berkisar 1.2-2.5 (tergantung
bahan bakar (gas, cair atau padat)) (BREF 2006); n3- n15 sesuai dengan koefisien
stoikiometri dari jenis yang berbeda yang dapat dihasilkan sebagai reaksi produk,
antara lain banyak yang bisa dilepas dalam bentuk emisi. Jika bahan dibakar
diwakili oleh rumus sederhana, seperti CuHvOwNxSy, maka persamaan
pembakaran dapat disederhanakan menjadi
CuHvOwNxSy + (u + v/4-w/2 + y) O2 CO2 + u v / 2 H2O + x / 2 N2 + y
SO2 (3)
Dalam lingkup perlakuan termal limbah padat, Gambar 2 menunjukkan
perbedaan dalam hal pirolisis, gasifikasi dan pembakaran dengan memperhatikan
jumlah udara yang ada. Pada proses pirolisis limbah padat tidak memerlukan
jumlah udara dan proses gasifikasi diperlukan sebagian jumlah udara, sedangkan
pada proses pembakaran limbah padat diperlukan jumlah udara berlebih.

Gambar 2

Klasifikasi teknologi termal pada MSW (Municipal Solid Waste)


(DEFRA, 2007)

Kebutuhan oksigen untuk proses pembakaran dipengaruhi oleh presentase


kandungan karbon dan hidrogen dalam bahan bakar. Volume O2 yang dibutuhkan
untuk pembakaran 1 kg karbon adalah 1.96 m3 sedangkan O2 yang dibutuhkan
untuk membakar 1 kg hidrogen adalah 5.85 m3. Dalam pembakaran, oksigen
biasanya didapat dari udara bebas. Oksigen yang terkandung di dalam udara
adalah 21 % dari total udara bebas. Kebutuhan udara minimum untuk proses
pembakaran dapat dihitung melalui persamaan berikut (Perry dan Chilton 1973):
Wmin = (100/21) x ((1.96 x C) + (5.85 x H))
(m3/kg bahan bakar).....,..(4)
Wmin = kebutuhan udara minimum (m3/kg bahan bakar)
C
= kandungan karbon dalam bahan bakar (%)
H
= kandungan hidrogen dalam bahan bakar (%)

6
Laju pembakaran (Bbt) dapat dihitung melalui perbandingan bobot bahan
bakar yang akan dibakar (m) dengan waktu pembakaran (t) (Perry dan Chilton
1973):
Bbt = m/t
(kg/jam)..................................................... (5)
Bbt
= laju pembakaran (kg/jam)
m
= bobot bahan bakar (kg)
t
= waktu pembakaran (kg/jam).
Debit udara yang dibutuhkan untuk pembakaran dapat dihitung dengan
mengalikan jumlah kebutuhan udara minimum dengan laju pembakaran (Perry
dan Chilton 1973):.
Qud = WminxBbt
(m3/jam)......................................................(6)
3
Qud = debit udara (m /jam)
Wmin = kebutuhan udara minimum (m3/kg bahan bakar)
Bbt
= laju pembakaran (kg/jam)
Menurut Abdullah et al. (1998) debit udara pada proses perancangan untuk
pembakaran perlu ditambahkan kelebihan udara sebesar 40% dari total debit udara
yang dibutuhkan secara teoritis.
Q = Qud (1+40%)
(m3/detik)....................................................(7)
Q = debit udara perancangan (m3/detik)
Pembakaran sampah dalam alat pembakar sampah, sejumlah oksigen harus
masuk ke dalam ruang pembakaran. Karena hal tersebut akan mampengaruhi
kesempurnaan pembakaran. Selain itu permulaan pembakaran juga harus
diperhatikan baik jenis dan panas yang dibutuhkan untuk memulai pembakaran.
Energi panas pembakaran yang dihasilkan oleh suatu proses pembakaran
dapat diduga besarnya melalui beberapa pendekatan diantaranya melalui
pendekatan pancaran panas dari hasil pembakaran dan pendekatan nilai kalor yang
dikandung oleh bahan bakar per massa bahan bakar.
a. Pendekatan jumlah energi panas pembakaran berdasarkan pancaran gas hasil
pembakaran didekati melalui sifat radiasi gas yang menyerap. Menurut
McCabe et al. (1999) gas-gas yang dihasilkan dalam proses pembakaran
memiliki kemampuan untuk memancarkan atau menyerap panas. Besarnya
energi yang dipancarkan atau diserap tersebut dapat dicari melalui persamaan
berikut:
Q = A Tg4
(W)........(8)
q = energi panas (Watt)
= tetapan Boltzman (95.672 X 10-8 Watt/m2K4)
Tg = duhu absolut gas (K)
g = emisivitas gas
A = luas permukaan yang menyerap panas (m2)
b. Pendekatan energi panas yang dihasilkan oleh suatu proses pembakaran adalah
melalui nilai kalor yang dikandung oleh bahan bakar. Besarnya energi panas
hasil pembakaran tersebut dapat dicari melalui persamaan berikut:
q = x Nkl x effisiensi pembakaran
(J/kg)..(9)

= laju massa bahan bakar (kg/s)


Nkl
= nilai kalor bahan bakar (J/kg)
Penanganan gas hasil pembakaran proses pembakaran yang dihasilkan gasgas buang (asap) yang memiliki kandungan bahan padat diperlukan agar gas
buangan tersebut bersih dan tidak mencemari lingkungan. Penanganan gas

7
tersebut dapat dilakukan dengan menambahkan cerobong dan ruangan
penyaringan bahan padatan pada gas.
Menurut Porges dan Porges (1979) di dalam Budiman (2001) luas cerobong
asap dapat didekati dengan persamaan berikut:
A = Qc/V
(m2)...............(10)
A
= luas lubang cerobong (m2)
Qc
= debit gas hasil pembakaran pada cerobong (m3/detik)
V
= kecepatan gas (m/detik)
Sedangkan tinggi cerobong dapat dihitung dengan persamaan berikut:
hd = 354 Hc ((1/T1) - (1/T2)
(mm.air)................(11)
hd
= tekanan udara dalam ruang pembakaran (mm.air)
Hc
= tinggi cerobong (m)
T1
= suhu diluar cerobong (K)
T2
= duhu didalam cerobong (K)

Alat Pembakar Sampah (Incinerator)

Incinerator
Incinerator adalah sebuah alat yang menggunakan sistem insenerasi.
Metode yang digunakan dalam sistem ini adalah mendisposisi sampah padat (solid)
dengan membakar sebagian atau komponen bahan bakar. Bahan-bahan yang
digunakan adalah sampah padatan. Proses insenerasi ini dilakukan dengan
membakar sampah pada temperatur yang tinggi 600 C-1000 C, sehingga
sampah padat tersebut berubah bentuk menjadi abu.
Menurut Patrick PK (1980) dalam Budiman (2001) menyatakan bahwa
incinerator adalah alat yang digunakan untuk proses pembakaran sampah. Alat ini
berfungsi untuk mengubah bentuk sampah menjadi lebih kecil dan praktis serta
menghasilkan sisa pembakaran yang steril sehingga dapat dibuang langsung ke
tanah. Menurut Hadiwiyoto (1983) dalam Budiman (2001) untuk merancang alat
pembakar sampah diperlukan beberapa pertimbangan, yaitu jumlah udara
pembakaran, sisa hasil pembakaran, dan desain incinerator. Alat pembakar
sampah terdapat dua jenis berdasarkan metode pembakaran yang berlangsung
pada alat tersebut, yaitu alat pembakar sampah tipe kontinyu dan tipe batch. Pada
alat pembakar sampah tipe kontinyu, sampah dimasukkan secara terus menerus
dengan debit tetap. Sedangkan pada alat pembakar sampah tipe batch, sampah
dimasukkan sampai batas maksimum kemudian dibakar bersamaan. Gambar 3
menyajikan jenis incinerator tipe batch (i), tipe continue (ii), fluidized bed
incinerator (iii) dan rotary kiln incinerator (iv).

(i)

(ii)
Sumber : www.ec.gc.ca

(iii)
Sumber: infohouse.p2ric.org

(iv)
Sumber: www.polutionissues.com

Gambar 3 Incinerator tipe batch (i), tipe continue (ii), fluidized bed incinerator
(iii) dan rotary kiln incinerator (iv)

9
Prinsip Kerja Incinerator
Prinsip kerja incinerator adalah sebagai tempat pembakaran dengan suhu
tinggi (> 800C) sehingga bahan yang dibakar tidak dapat didaur ulang lagi
(incineration = insenerasi). Proses insinerasi atau pembakaran yang merupakan
prinsip utama dari sebuah incinerator digunakan untuk mereduksi sampah yang
tergolong mudah terbakar (combustible) dan tidak boleh didaur ulang lagi karena
berbagai alasan. Sasaran insinerasi adalah untuk mereduksi massa dan volume
buangan, membunuh bakteri dan virus, mereduksi materi kimia toksik, serta
memudahkan penanganan limbah selanjutnya. Insinerasi dapat mengurangi
volume buangan padat domestik sampai 85 %-95 % dan pengurangan berat
sampai 70 %-80 %.
Proses insinerasi berlangsung melalui tiga tahap, yaitu:
- Mula-mula membuat air dalam sampah menjadi uap air, hasilnya limbah
menjadi kering yang akan siap terbakar pada suhu 105 C.
- Selanjutnya terjadi proses pirolisis, yaitu pembakaran tidak sempurna, dimana
temperatur belum terlalu tinggi (150 C-300 C).
- Fase berikutnya adalah pembakaran sempurna (>800 C).
Agar terjadi proses yang optimal maka ada beberapa aspek yang harus
diperhatikan dalam menjalankan suatu incinerator, antara lain:
- Aspek keterbakaran: menyangkut nilai kalor, kadar air, dan kadar abu dari
buangan padat, khususnya sampah.
- Aspek keamanan: menyangkut titik nyala, tekanan uap, deteksi logam berat, dan
operasional incinerator.
- Aspek pencegahan pencemaran udara : menyangkut penanganan debu terbang,
gas toksik, dan uap metalik.
Teknologi insinerasi mempunyai beberapa sasaran, yaitu:
a. Mengurangi massa atau volume: proses insinerasi adalah proses oksidasi
(oksigen atau udara) dengan limbah combustible pada temperatur tinggi. Akan
dikeluarkan abu, gas, limbah sisa pembakaran dan abu, dan diperoleh pula
enersi panas. Bila pembakaran sempurna, akan tambah sedikit limbah tersisa
dan gas yang belum sempurna terbakar (seperti CO). Panas yang tersedia dari
pembakaran limbah sebelumnya akan berpengaruh terhadap jumlah bahan
bakar yang dipasok. Incinerator yang bekerja terus menerus akan menghemat
bahan bakar.
b. Mendestruksi komponen berbahaya: incinerator tidak hanya untuk membakar
sampah kota. Sudah diterapkan untuk limbah non-domestik, seperti dari
industri (termasuk limbah B3), dari kegiatan medis (untuk limbah infectious).
Incinerator tidak hanya untuk membakar limbah padat. Sudah digunakan untuk
limbah non-padat, seperti sludge dan limbah cair yang sulit terdegradasi.
Teknologi ini merupakan sarana standar untuk menangani limbah medis dari
rumah sakit. Sasaran utamanya adalah mendestruksi patogen yang berbahaya
seperti kuman penyakit menular. Syarat utamanya adalah panas yang tinggi
(dioperasikan di atas 800 C). Dalam hal ini limbah tidak harus combustible,
sehingga dibutuhkan subsidi bahan bakar dari luar
c. Insinerasi adalah identik dengan combustion, yaitu dapat menghasilkan enersi
yang dapat dimanfaatkan. Faktor penting yang harus diperhatikan adalah

10
kuantitas dan kontinuitas limbah yang akan dipasok. Kuantitas harus cukup
untuk menghasilkan enersi secara kontinyu agar suplai enersi tidak terputus.
Unjuk kerja sebuah incinerator diukur berdasarkan destruction and removal
efficiency (DRE). Destruction atau pemusnahan sampah mengacu pada proses
pembakaran dan removal efficiency mengacu pada gas hasil pembakaran harus
bebas polutan ketika meninggalkan cerobong (McGuinn YC dan Louis T 1992).
Incinerator dapat menghancurkan sampah secara permanen baik secara kimia,
biologi, dan fisik. Terdapat tiga parameter utama dalam operasi incinerator yang
harus diperhatikan untuk mencapai pembakaran yang efektif, yaitu 3-T
(Temperature, Time dan Turbulence) (Wilson DG 1977):
- Temperature (suhu): berkaitan dengan pasokan oksigen (melalui udara). Udara
yang dipasok akan menaikkan temperatur karena proses oksidasi materi organik
bersifat eksotermis. Temperatur ideal untuk sampah kota tidak kurang dari 800
o
C.
- Time (waktu): berkaitan dengan lamanya fasa gas yang harus terpapar dengan
panas yang telah ditentukan. Biasanya sekitar 2 detik pada fase gas, sehingga
terjadi pembakaran sempurna.
- Turbulensi: Limbah harus kontak sempurna dengan oksigen. Incinerator besar
diatur dengan kisi-kisi atau tungku yang dapat bergerak, sedang incinerator
kecil (modular) tungkunya adalah statis.

Bagian-bagian Incinerator
Skema incinerator kapasitas besar untuk sampah kota umumnya terdiri
atas bagian-bagian sebagai berikut (Damahuri E dan Padmi T 2010) (lihat Gambar
4):

Gambar 4 Skema incinerator


- Unit penerima: perlu untuk menjaga kontinuitas suplai sampah.
- Sistem feeding atau penyuplai: agar instalasi terus bekerja secara kontinyu tanpa
tenaga manusia.
- Tungku pembakar: harus bisa mendorong dan membalik sampah.
- Suplai udara: agar tetap memasok udara sehingga sistem dapat terbakar.
Pasokan udara dari bawah adalah suplai utama. Udara sekunder perlu untuk
membakar bagian-bagian gas yang tidak sempurna.

11
- Kebutuhan udara: tergantung dari jenis limbah.
- Pembubuhan air: mendinginkan residu atau abu dan gas yang akan keluar dari
cerobong agar tidak mencemari lingkungan.
- Unit pemisah: memisahkan abu dari bahan padat yang lain.
- APC (Air Pollution Control): terdapat beragam pencemaran yang akan muncul,
khususnya:
- Debu atau partikulat
- Air asam
- Gas yang belum sempurna terbakar: CO
- Gas-gas hasil pembakaran seperti CO2, NOx , SOx,
- Dioksin
- Panas
Setiap jenis pencemar membutuhkan APC yang sesuai pula, sehingga bila
seluruh jenis pencemar ini ingin dihilangkan, maka akan dibutuhkan serangkaian
unit-unit APC yang sesuai. Pada incinerator modular yang sering digunakan di
kota-kota di Indonesia, dapat dikatakan sarana ini belum dilengkapi unit APC,
paling tidak untuk mengurangi partikel-partikel debu yang keluar.
- Cerobong (stack): semakin tinggi akan semakin baik, terutama untuk daerah
sekitarnya, tetapi tidak berarti tidak mengotori udara. Dengan cerobong yang
tinggi maka terjadi pendinginan-pengenceran.
- Dinding incinerator harus tahan panas, dan tidak menyalurkan panas keluar.
Nilai kalor sampah Indonesia mencapai 1.000 kkal/kg-kering2.000
kkal/kg-kering. Dapat dicapai proses insinerasi yang ekonomis bila sampah
memiliki nilai kalor paling tidak 2.000 kkal/kg-kering sehingga tidak dibutuhkan
enersi tambahan dari luar. Kebutuhan oksigen dan nilai kalor yang dikandungnya
dapat dihitung berdasarkan metode pendekatan kadar unsur sampah, misalnya
dengan rumus kimia sampah Indonesia dengan dominasi ratarata kandungan
sampah organik sekitar 60 %, sampah plastik 17 %, dan sampah kertas 16 %
adalah C351.42H2,368.63O1,099.65N13.603S.
Incinerator dapat dibagi berdasarkan perbedaan (Damahuri E dan Padmi
2010):
a. Cara pengoperasian: batch atau kontinu
b. Tungku yang digunakan:
- Statis (incinerator modular atau kecil, seperti insinerator RS)
- Mechanical stoker : biasanya untuk sampah kota
- Fluiduized bed : biasanya untuk limbah homogeny
- Rotary kiln : untuk limbah industri (limbah padat atau cair)
- Multiple hearth : untuk limbah industri
c. Cara penyuplaian limbah: dikaitkan dengan fasa limbah (padat, gas, sludge,
slurry)
Masing-masing jenis kemudian berkembang lagi, misalnya dalam
incinerator modular dikenal incinerator kamar-jamak, yang kemudian dibagi lagi
menjadi multi chamber dan multi chambere starved control-air.

12
Faktor Keamanan Incinerator

Faktor keamanan incinerator terdiri dari tiga komponen yaitu, suhu dinding
incinerator, kualitas asap, dan sistem loading dan unloading. Ketiga komponen
tersebut juga berkaitan dengan teknik pengoperasiannya. Faktor keamanan,
kesehatan, dan keselamatan pada dinding incinerator berhubungan dengan bahan
insulasi termal sedang kualitas asap berhubungan dengan teknologi penanganan
asap pembakaran. Berikut uraian tentang bahan insulasi termal dan teknologi
penanganan asap pembakaran pada incinerator untuk meningkatkan faktor
keamanan, kesehatan, dan keselamatan dari incinerator baik bagi operator
maupun lingkungan.

Definisi dan Pentingnya Insulasi Termal


Insulasi termal adalah bahan atau kombinasi bahan yang digunakan untuk
menghambat aliran panas (engel AY dan Robert TH 2001). Bahan dapat
disesuaikan dengan bentuk, ukuran atau permukaan. Insulasi termal berfungsi
sebagai penghambat panas dan berperan dalam desain dan pembuatan semua
perangkat hemat energi atau sistem dan biasanya menjadi landasan dalam
konservasi energi. Alasan untuk melakukan insulasi panas bukan untuk
menyimpan sisa panas dari suatu mesin atau alat tetapi untuk melindung
seseorang dari luka bakar ketika menyentuh permukaan yang panas dimana
permukaan tersebut terlalu panas jika tidak dilakukan insulasi. Berikut beberapa
alasan penggunaan insulasi:
a. Konservasi energi.
Konservasi energi dilakukan dengan mengurangi laju aliran panas. Bahan
insulasi dapat menahan panas rata-rata 268 C-1000 C (-450 F-1800 F).
b. Perlindungan dan kenyamanan operator.
Suhu permukaan yang terlalu panas akan berbahaya bagi operator ketika
permukaan tersebut kontak langsung dengan kulit sehingga menyebabkan luka
bakar. Untuk mencegah bahaya tersebut OSHA (Occupational Safety and
Health Administration) memberikan standar bahwa suhu permukaan yang
aman harus dikurangi sampai dibawah 60 C (140 F) dengan cara
menginsulasi. Selain itu, jika suhu permukaan terlalu panas akan berpengaruh
pada suhu lingkungan yang berdampak pada produktivitas kerja.
c. Menjaga suhu suatu proses.
Suhu menjadi penting bagi beberapa industri kimia. Oleh karena itu,
diperlukan insulasi untuk menjaga agar suhu konstan.
d. Mengurangi perubahan dan variasi suhu.
Suhu didalam suatu alat akan bervariasi antara bagian dalam dan tepi jika
tidak dilakukan insulasi. Insulasi meminimalkan ketidakseragam suhu di
dalam suatu alat dan memperlambat perubahan suhu.
e. Mencegah kondesasi dan korosi.
Cairan di permukaan terbuka dari tangki logam atau pipa dapat mempercepat
proses korosi serta pertumbuhan alga.
f. Melindungi dari kebakaran.

13
Kerusakan selama kebakaran dapat diminimalkan dengan menjaga dalam
kotak pengaman yang terisolasi dengan baik. Insulasi dapat menurunkan laju
aliran panas ke tingkat sedemikian rupa sehingga suhu di dalam kotak tidak
pernah naik ke tingkat yang tidak aman selama kebakaran.
g. Melindungi dari pembekuan.
Suhu sub beku dapat menyebabkan air di pipa atau tempat penyimpanan
membeku dan meledak sebagai akibat dari perpindahan panas dari air ke
ambien dingin. Meledaknya pipa sebagai akibat dari pembekuan dapat
menyebabkan kerusakan besar. Isolasi yang memadai akan menurunkan
hilangnya panas dari air dan mencegah pembekuan.
h. Mengurangi kebisingan dan getaran.
Bahan insulasi mempunyai kemampuan mengurangi kebisingan dan getaran.

Bahan Insulasi: Glasswool


Bahan insulasi memiliki dua sifak fisik yaitu:
a. Insulasi massa
Untuk jenis insulasi massa, sifat fisik yang paling penting adalah
konduktivitas termal. Bahan dengan konduktivitas termal yang rendah
memungkinkan lebih sedikit panas yang akan dipindahkan per satuan waktu, per
satuan perbedaan temperatur per inci ketebalan. Konduktivitas termal rendah
adalah isolator yang lebih baik. Insulasi massa yang tersedia secara komersial
memiliki konduktivitas termal pada 75 F (24 C) suhu rata-rata kurang dari 0,5
Btu in / (hr, SF, F) (Khandelwal M 2007).
b. Insulasi reflektif
Untuk jenis isolasi reflektif, sifat fisik yang penting adalah daya pancar
permukaan rendah. Permukaan dengan daya pancar rendah memiliki reflektansi
yang tinggi. Isolasi reflektif memiliki nilai daya pancar di kisaran 0.04-0.1 W/m K
(Khandelwal M 2007).
Glasswool terbuat dari serat kaca panjang dan tangguh yang berikatan
dengan resin pada pengaturan termal. Glasswool dapat menahan suhu sampai
350C (UPA Direct 2002). Bahan ini cocok untuk insulasi duting AC, atap
gudang atau rumah, perdam suara partisi atau ruang genset dan industir oven (CV.
Mekar Jaya Technic). Tabel 2 menunjukkan sebaran suhu yang dapat dihambat
oleh beberapa bahan insulasi. Karakteristik glasswool sebagai bahan insulasi
disajikan pada Tabel 3.
Tabel 2 Sebaran suhu yang dapat dihambat oleh beberapa bahan insulasi
Bahan insulasi

Calcium silicate
Cellular glass
Elastomeric foam
Fiberglass
Mineral wool
Phenolic foam
Polyisocyanurate or polyiso

Temperatur
Rendah (C)
Tinggi (C)
-18
650
-260
480
-55
120
-30
540
0
1000
150
-180
150

14
Temperatur
Rendah (C)
Tinggi (C)
Polystyrene
-50
75
Polyurethane
-210
120
Sumber: www.EngineeringToolBox.com
Bahan insulasi

Tabel 3 Karakteristik glasswool sebagai bahan insulasi


Karakteristik
Densitas (kg/m3)
Suhu maksimum (C)
Tahanan panas (W/m K)
Penyerapan air (%)
Alkalinitas
Korosif
Bau
Tahanan terhadap jamur atau bakteri
Sumber: UPA Direct 2002

Kriteria
64
350
1.2-2.1
<5
pH=9, sedikit basa
Tidak mudah untuk baja, aluminium, tembaga
Tidak ada
Tidak ada

Ketebalan Optimum untuk Insulasi


Insulasi bukan menghilangkan pindah panas tetapi hanya mengurangi
proses pindah panas. Tebalnya bahan insulasi menurunkan laju pindah panas
tetapi biaya insulasi tinggi. Oleh karena itu, diperlukan ketebalan insulasi yang
optimum dengan menyesuaikan biaya dan hilangnya panas yang terjadi. Biaya
insulasi meningkat secara linier terhadap ketebalan insulasi sedangkan biaya
insulasi terhadap hilangnya panas menurun secara eksponensial. Tabel 4
menunjukkan ketebalan sebuah insulasi yang diajurkan untuk permukaan plat
datar yang panas.
Tabel 4 Ketebalan sebuah insulasi yang diajurkan untuk permukaan plat data
yang panas
Ketebalan (in/cm)
2/5.1
3/7.6
4/10.2
6/15.2
9/22.9
10/25.44

Suhu (C)
150/ 66
250/ 121
350/ 177
550/ 288
750/ 343
950/510

Sumber: engel A Y dan Robert T H 2001

Proses pindah panas pada dinding yang terdiri dari dua lapis (misal dengan
insulasi brick) dapat didekati dengan rumus (engel AY dan Robert TH 2001):
T T 2
Q= 1
R total
(W)........................(12)
dimana Rtotal adalah total tahanan panas yang dirumuskan sebagai (engel AY dan
Robert TH 2001):
Rtotal = Rconv, 1 + Rwall, 1 + Rwall, 2 + Rconv, 2......(13)

15
=

L
L2
1
1
+ 1
h 1 A 1 k 1 A 1 k 2 A 2 h 2 A 2 ......(14)

Teknologi Penanganan Polusi pada Incinerator


Polusi yang dihasilkan dari pembakaran sampah yang menggunakan
incinerator umumnya terdiri dari tiga macam yakni polutan primer (particulate
matter (PM), SOx, NOx, volatile organic compounds (VOC), CO), polutan
sekunder ((xNO3), sulfates (xSO4) dan ozone (O3)), dan mikropolutan (metal berat
dan dioksin). Polutan tersebut akan mencemari udara yang akan mengganggu
kesehatan manusia jika tidak diatasi. Tabel 5 menunjukkan teknologi untuk
mengatasi polutan dan rentang pengurangan polusi yang dapat diatasi.
Tabel 5 Teknologi untuk mengatasi polutan dan rentang pengurangan polusi yang
dapat diatasi
Polutan
SOx
HCl
NOx
Metal berat
Abu terbang*
Dioksin dan furan

Alat
Wet scrubber atau dry multicyclone
Wet scrubber atau semi-dry
Selective catalytic reduction
Dry scrubber + electrostatic precipitator
Electrostatic precipitator + fabric hose filter
Activated carbon + fabric hose filter

Penurunan (%)
50 - 90
75 - 95
10 - 60
70 - 95
95 - 99.9
50 - 99.9

*Sering diserap oleh polutan lain seperti dioksin dan logam


Sumber: BREF 2006

Wet scrubber
Wet scrubber adalah perangkat yang dirancang untuk menghilangkan gas
asam, terutama SOX. Pada prinsipnya, gas asam hilang karena kontak langsung
dengan suspensi air kapur yang ditumbuk halus yang bereaksi dengan batu kapur
yang memproduksi gipsum dan garam lainnya. Larutan tersebut membantu
mengurangi emisi dioksin atau furan dalam bentuk uap dan partikel.
Dry srubber
Dry scrubber atau spray dryer adsorpsi dapat menghilangkan gas asam dan
partikel setelah pembakaran. Proses ini didasarkan pada reaksi gas asam dan
partikel dengan campuran kapur atau kalsium oksida dan air yang disemprotkan
ke dalam aliran gas buang yang membentuk garam kalsium. Dengan sendirinya
unit scrubber memiliki efek pada dioksin atau furan. Teknologi dry scrubber
dapat dikombinasikan dengan ESPs. Dry scrubber mengurangi suhu inlet ESPs
dan kombinasi keduanya dapat mengurangi dan mengendalikan dioksin atau furan
mencapai lebih besar dari 95 % pada incinerator MSW di USA.
(Peteves S D dan E Tzimas 2000)
Selective catalytic reduction (SCR)
Dalam sistem SCR, gas buang dari proses pembakaran didinginkan dan
amonia yang mengandung udara disemprotkan ke dalam gas buang yang
sebelumnya telah melewati katalis. Katalis membantu reaksi antara NOx dan
amonia untuk membentuk nitrogen dan uap air. Ketika dirancang dan

16
dioperasikan, sistem SCR biasanya mengurangai NOx pada kisaran 50 %-90 %.
Keterbatasan dalam menggunakan sistem SCR yaitu pembuangan katalis, modal
dan biaya operasi yang tinggi, dan kompleksitas sistem (USEPA Control of
Nitrogen Oxides Emmisions 2000 ).

Electrostatic precipitator (ESPs )


Electrostatic precipitator (ESPs ) umumnya digunakan untuk
mengumpulkan dan mengontrol partikulat dengan menggunakan medan listrik
yang kuat dalam aliran gas buang. Plat besar berbentuk piringan mengumpulkan
dan menerima muatan berlawanan dengan menarik dan mengumpulkan partikel
tersebut. Pembentukan dioksin atau furan dapat terjadi dalam ESPs pada suhu 150
C-350 C. Di atas 300 C, tingkat pembentukan dioksin atau furan akan
mengalami penurunanan. Tabel 6 menunjukkan pemisahan abu terbang dan
karbon aktif (AC) dengan beberapa teknologi pengendali polutan.
Tabel 6 Pemisahan abu terbang dan karbon aktif (AC) dengan beberapa teknologi
pengendali polutan
Peralatan

Cyclone

Efisiensi
untuk abu
terbang
hingga 80 %

ESPs

hingga 99 %

Fabric hose
filter

hingga 99 %

Efisiensi
untuk karbon
aktif
hingga
50 %
hingga
80 %
hingga
99 %

Tekanan (Pa)

10-1000

Suhu maksimum
pengoperasian
(C)
1300

Ukuran
partikel
(m)
20

50-300

450

0.08-20

500-2000
240
0.04-50
biasanya
dengan
kipas
pendorong
Sumber: Bordado JCM dan Gomes JFP 1999 dalam Quina MJ, Bordado JCM, Quinta FRM 2011

Karbon aktif
Karbon aktif dapat digunakan sebagai "add-on" untuk pengendalian organik
pada partikel dioksin atau furan dan merkuri pada gas buang dari unit pembakaran
untuk limbah kota, limbah medis, dan incinerator limbah berbahaya. Berbagai
mekanisme telah disarankan untuk proses tersebut termasuk adsorpsi fisik dalam
pori-pori karbon dan adsorpsi kimia dimediasi berdasarkan adanya oksigen dan
atau klorin.
Prinsip rancangan karbon aktif harus memiliki permukaan pori yang
sangat besar (luas permukaan terhadap volume) yang dapat diserap oleh suatu zat.
Karbon aktif memiliki luas permukaan 300 m2/g-800 m2/g. Karbon aktif kelas
tinggi dapat memiliki luas permukaan dari 1500 m2/g. Selain itu, memiliki sifat
katalitik yang dapat digunakan untuk simultan pengendali NOx jika diperlukan.
Dua jenis karbon aktif yang umum digunakan adalah formasi kokas (berdasarkan
batubara) dan lignit coke. Lignit coke lebih sering digunakan karena biayanya
murah. Karbon aktif dapat digunakan dengan beberapa cara yang berbeda untuk
kontrol dioksin dan furan dalam gas buang dari sistem pembakaran yaitu:
- Fixed bed process

17
Dalam metode ini, gas buang mengalir melalui satu atau lebih beds dari
karbon aktif yang disusun secara seri, gas tersebut dikeluarkan dengan cara
ditarik dari bawah pada setiap beds. Kadar karbon monoksida terus dipantau pada
setiap beds untuk meminimalkan risiko kebakaran. Untuk mencegah kontaminasi,
beds tersebut biasanya ditempatkan setelah perangkat kontrol partikulat gas buang.
Meskipun kinerjanya cenderung meningkat pada suhu yang lebih rendah, gas
tidak harus di bawah suhu penguapan untuk menghindari kondensasi uap air
ketika karbon aktif cenderung kehilangan kapasitas adsorpsinya. Fixed bed
process beroperasi pada suhu 120 C-150 C.
- Fluidized bed process
Dalam metode ini, gas buang mengandung karbon aktif. Proses ini
menggunakan batu arang lebih sedikit dibandingkan dengan fixed bed tetapi
memiliki penurunan tekanan yang lebih tinggi. Sirkulasi beds juga telah
digunakan dan menunjukkan pengurangan dioksin atau furan yang sangat tinggi.
Fluidised bed process beroprasi pada suhu 120 C-150 C.
- Duct injection
Dalam proses duct injection, karbon aktif disuntikkan ke dalam gas buang
hulu dari perangkat kontrol partikulat, biasanya fabric filter atau electrostatic
precipitator. Karena sifatnya mudah terbakar dari karbon aktif, electrostatic
precipitator tidak pilih sebagai pengumpul partikulat dengan metode ini. Duct
injection mengkonsumsi karbon aktif paling sedikit dibandingkan dengan tiga
metode lainnya, biasanya 50 mg/m3-400 mg/m3 gas buang untuk pembakaran
sampah kota.

Fabric hose filter (FFs)


FFs adalah perangkat kontrol materi partikulat yang menghilangkan dioksin
atau furan yang berhubungan dengan partikel dan setiap uap yang terkondensasi
menyerap partikel. Secara umum, keberadaan partikel dalam gas buang memicu
pembentukan dioxin atau furan pada reaksi permukaan, sehingga pengumpulan
partikel tersebut meminimalkan tingkat emisi dioksin dan furan. Kantong dengan
diameter 15 cm-20 cm, terbuat dari bahan fiberglass yang disusun secara seri.
Kipas memaksa gas pembakaran melalui susunan yang terjalin erat. Sifat porositas
struktur tersebut memungkinkan kantong untuk bertindak sebagai media
penyaring dan mempertahankan berbagai ukuran partikel. Fabric filter muncul
sebagai pengendali dioksin dan furan. (Peteves SD dan Tzimas E 2000).
Selain teknologi insulasi untuk mengatasi suhu dinding incinerator dan
teknologi penanganan asap untuk mengendali polusi udara terdapat prosedur
keselamatan yang umum untuk mencegah cidera ketika bekerja di sekitar
incinerator seperti (EPA 1990):
1. Wadah dari cairan yang mudah terbakar atau bahan peledak tidak boleh
dimasukkan ke incinerator.
2. Pintu pemasukan incinerator tidak boleh dibuka jika incinerator berada di
bawah tekanan positif. Selalu perhatikan saat membuka pintu pemasukan.
Mengenakan kacamata keselamatan, berada pada jarak tertentu dari pintu
pemasukan dan membuka pintu dengan sempurna.
3. Jangan pernah membuka pintu pembersihan untuk melihat ke dalam
incinerator selama operasi.

18
4. Jangan masuk ke ruang pengumpan ram mekanik, konveyor abu, atau
incinerator tanpa terlebih dahulu mematikan semua sumber daya dan
memastikan bahwa unit "terkunci". Jika harus memasuki ruangan setelah
mengunci unit keluar, pastikan seseorang untuk berjaga.
5. Perhatikan disekitar sabuk yang bergerak, silinder hidrolik, dan pintu.
6. Untuk sistem yang membutuhkan pembuang abu, harus hati-hati saat
membuang abu. Jangan masuk ke ruang pembakaran untuk menghilangkan
abu. Sebagai gantinya, gunakan ram abu mekanis atau konveyor (jika
tersedia) atau garu atau sholvels dengan gagang cukup panjang untuk
mencapai bagian belakang kompartemen abu incinerator. Bila
menggunakan garu atau sholves, gunakan dengan hati-hati agar tidak
merusak perangkat incinerator.
7. Menggunakan peralatan keselamatan pribadi yang tepat saat
mengoperasikan incinerator dan penanganan abu untuk mencegah luka
bakar, luka, tusukan, atau cedera mata. Peralatan keselamatan tersebut
meliputi sarung tangan, sepatu boot, dan kacamata keselamatan.
8. Hindari kontak langsung dengan suhu permukaan ruang pembakaran,
peralatan heat exchanger, ductwork, dan cerobong asap.
9. Cairan scrubber dari wet scrubber kemungkinan akan dapat membakar
kulit. Hindari kontak dengan cairan tersebut dan gunakan pelindung mata
jika berada di sekitar wet scrubber.
10. Venturi scrubber beroperasi pada tekanan positif tinggi. Berhati-hatilah
dari kebocoran scrubber vessel, ductwork, atau pipa.
11. Hindari daerah fabric filter kecuali saat perawatan. Hanya orang-orang
yang telah terlatih yang dapat memasukkan fabric filter, dan mereka harus
waspada terhadap bahaya seperti:
a. Sebelum seseorang memasuki unit, bags filter harus dibersihkan,
saringan debu harus dilepas dan getaran mekanis dari hopper
dihentikan untuk mencegah emisi dan debu yang berterbangan. Pintu
hopper hanya boleh dibuka ketika unit (termasuk sistem pemindah
hopper seperti skrup dan rantai drag) dalam keadaan mati.
b. Kekurangan oksigen umumnya terjadi pada pembakaran dalam
incinerator yang membuat fabric filter sangat berbahaya.
Membersihkan unit tidak selalu dengan menggantikan gas buang
dengan udara ambien. Pengguna harus mengetahui bahaya dari
kekurangan oksigen tersebut.
c. Ledakan mungkin terjadi di dalam ruang tertutup seperti fabric filter.
Ventilasi atau pembersihan sebelum pengoperasian sangat dianjurkan.
d. Alat pelindung diri seperti respirator harus dipakai karena bahan kimia
beracun dalam debu yang terkumpul dapat masuk ke fabric filter..
12. Pelindung mata, pelindung telinga, kemeja lengan panjang, dan sarung
tangan harus dipakai selama pemeriksaan fabric filter. Pengguna juga
harus menyadari suhu tinggi terkait dengan lamanya waktu yang
dibutuhkan untuk pemeriksaan atau perbaikan karena kondisi berdebu,
lembab dan akses yang terbatas, serta efek termal yang berbahaya.
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Emisi Sumber
Tidak Bergerak (KEP- 13/MENLH/3/1995) menyediakan BME yang dikhususkan

19
untuk industri besi dan baja, industry pulp dan kertas, pembangkit listrik tenaga
uap berbahan bakar batubara, dan industri semen. Selain itu, Kepmen ini juga
menyediakan BME untuk jenis kegiatan lainnya. Untuk sumber bergerak, KLH
menyediakan BME-nya dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
tentang ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor (KEP35/MENLH/10/1993) (Roosita H 2007). Tabel 7 menunjukkan baku mutu emisi
untuk kegiatan lain selain industri besi dan baja, industri pulp dan kertas,
pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batubara, dan industri semen serta
gas buang kendaraan bermotor yang diijinkan.
Tabel 7

Baku mutu emisi untuk kegiatan lain selain industri besi dan baja,
industri pulp dan kertas, pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar
batubara, dan industri semen serta gas buang kendaraan bermotor
Parameter

Bukan logam

Batas maksimum
(mg/m3)

1.
Amonia (NH3)
2.
Gas klorin (Cl2)
3.
Hidrogen Klorida (HCl)
4.
Hidrogen Fluorida (HF)
5.
Nitrogen Oksida (NO2)
6.
Opasitas
7.
Partikel
8.
Sulfur Dioksida (SO2)
9.
Total Sulfur Tereduksi (H2S)
Logam
10.
Air raksa (Hg)
11.
Arsen (As)
12.
Antimon (Sb)
13.
Kadmium (Cd)
14.
Seng (Zn)
15.
Timah Hitam (Pb)
Sumber: Roosita H 2007

1
15
10
20
1700
40 %
400
1500
70
10
25
25
15
100
25

Standar Pengoperasian Incinerator

Incinerator tipe batch menerima satu kali masukan sampah ke ruang


pembakaran dalam satu kali proses pembakaran. Laju pelepasan panas dikontrol
dengan mengendalikan volume awal sampah dan udara yang tersedia untuk
pembakaran. Ukuran ruang pembakaran dirancang untuk volume tertentu dan
limbah dengan kandungan Btu tertentu pula. Jika incinerator diisi dengan limbah
yang memiliki nilai Btu tinggi meskipun volume tidak melebihi kapasitas,
kapasitas termal dari incinerator dapat terlampaui. Akibatnya, diperlukan
pengurangan pemasukan volume sampah.
Incinerator tipe batch adalah unit kecil dengan kapasitas kapasitas kurang
lebih 200 lb/h-500 lb/h. Incinerator ini dioperasikan dalam periode 12 jam-24 jam.
Berikut adalah prosedur pengoperasian incinerator:
1. Pembuangan abu

20
Awal pengoperasian incinerator dimulai dengan pembuangan abu yang
dihasilkan dari siklus operasi sebelumnya. Berikut ini adalah pedoman
untuk pengoperasian yang baik:
a. Secara umum, incinerator membutuhkan waktu satu malam untuk
proses pendinginan dan menghilangkan abu. Pendinginan dapat
memakan waktu selama 8 jam (EPA 1990).
b. Operator harus membuka pintu pengeluaran abu dengan pelan untuk
meminimalkan kemungkinan kerusakan pada pintu, segel gasket dan
untuk mencegah abu berterbangan.
c. Operator harus berhati-hati karena kemungkinan abu masih dalam
kondisi yang panas pada titik tertentu serta adanya benda tajam.
d. Ruang abu dan pembakaran tidak boleh disemprot dengan air dingin
karena pendinginan cepat dari semprotan air dapat mempengaruhi
ruang refraktori.
e. Sebuah sekop tumpul datar dan tidak tajam dan tahan api harus
digunakan untuk pembersihan.
f. Hindari mendorong abu ke udara terbuka.
g. Tempatkan abu panas ke dalam wadah yang tidak mudah terbakar
(logam). Basahi abu dengan air untuk mendinginkan dan mengurangi
abu berterbangan.
h. Setelah abu dibuang dan sebelum menutup pintu pengeluaran abu,
operator harus memeriksa gasket seal pintu. Jika rusak lakukan
pergantian.
i. Untuk mencegah kerusakan pada segel pintu, operator harus menutup
pintu pengeluaran abu dengan pelan dan tidak boleh overtighten klem
pintu. Champs pintu yang overtightened dapat menyebabkan gasket
seal menjadi permanen dan memungkinkan infiltrasi udara luar
disekitar permukaan pintu.
2. Proses pemasukan sampah
Operator memiliki pilihan untuk memilih jenis sampah yang akan
dimasukkan. Sifat sampah yang harus diperhatikan diantaranya: nilai kalor,
kadar air, kandungan plastik, dan jumlah limbah patologis. Nilai kalor dan
kadar air sampah mempengaruhi kinerja incinerator. Sampah dengan nilai
kalor yang tinggi dapat melebihi kapasitas termal dari incinerator.
Hasilnya adalah pembakaran suhu tinggi yang dapat merusak incinerator
dan dapat menghasilkan emisi yang berlebihan. Demikian pula, sampah
dengan kadar air yang sangat tinggi tidak akan memberikan masukan
termal yang baik dan memerlukan penggunaan bahan bakar tambahan
lebih dari biasanya.
3. Pembakaran sampah
Panas yang dihasilkan harus diperkirakan dengan tepat jika tidak
dapat merusak incinerator.
4. Habis terbakar/ burndown
Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk sampah habis terbakar
dipengaruhi oleh desain incinerator, karakteristik sampah, dan derajat
kejenuhan yang diinginkan. Periode habis terbakar adalah 2 sampai 4 jam.
Kualitas habis terbakar dapat dilakukan dengan memeriksa abu yang
dihasilkan. Pemeriksaan abu oleh operator adalah salah satu cara untuk

21
mengevaluasi kinerja incinerator. Operator harus mencari abu halus yang
ditemukan disekitar lingkungan pengoperasian incinerator. Abu yang
berisi potongan besar bahan yang tidak terbakar (selain bahan yang tidak
mudah terbakar, seperti kaleng) menunjukkan bahwa kinerja incinerator
buruk. Warna abu juga merupakan indikator kualitas abu. Warna putih
atau abu-abu pada abu menunjukkan bahwa persentase karbon rendah dan
warna hitam menunjukkan persentase karbon yang tinggi.
5. Pertimbangan khusus
Jika limbah patologis sedang dibakar, alat pembakar harus diatur
agar sampah benar-benar terbakar. Untuk menghancurkan limbah
patologis yang efisien, limbah harus langsung terkena api dari alat
pembakar. Mengisi seluruh ruang pembakaran akan menghasilkan
pembakaran yang tidak efisien. Jika limbah patologis yang harus dibakar
dalam volume besar, incinerator harus didesain khusus untuk limbah
patologis tersebut.

Sistem Pindah Panas

Panas adalah bentuk energi yang dapat dipindahkan dari satu sistem ke
sistem yang lain sehingga menghasilkan perbedaan suhu. Laju energi yang
dipindahkan disebut pindah panas. Proses perpindahan energi panas tersebut
biasanya dari temperatur tinggi ke rendah dan proses pindah panas akan berhenti
ketika suhu dua medium sama. Panas dipindahkan melalui proses konduksi,
konveksi, dan radisai. Pada incinerator tipe batch yang dilengkapi pemanas air
pindah panas terjadi pada dua geometri yaitu pada dinding incinerator (plat datar)
dan pada pipa pemanas air (silinder). Pindah panas pada pipa yang dipanaskan
secara langsung akan mengalami pindah panas secara konduksi dan konveksi.
Proses pindah panas berlangsung secara mantap (steady) dengan asumsi tidak ada
perubahan suhu sehigga Q cond, cyl = konstan (engel AY dan Robert TH 2001).

Konduksi
Konduksi adalah proses transfer energi dari partikel yang memiliki energi
yang tinggi ke partikel dengan energi yang lebih rendah sehingga menghasilkan
interaksi antara dua partikel tersebut. Laju pindah panas ke dalam plat datar harus
sama dengan laju pindah panas yang keluar dari plat datar. Dengan kata lain laju
pindah panas tersebut terjadi secara konstan, Qcond, wall = konstan. Panas konduksi
tersebut dapat didekati dengan persamaan (engel AY dan Robert TH 2001):
T T2
Q cond , wall = kA 1
L
(W)............................................................(15)
dimana: L = tebal plat datar pada sumbu x (m)
k = panas konduktivitas (W/m K)
T1, T2= temperatur (K)
A = luas permukaan pindah panas (m2)

22
Pindah panas pada pipa (silinder) harus memperhatikan lapisan pipa yang
akan digunakan, maka terdapat r1 = jari-jari dalam, r2 = jari-jari luar, L = panjang
dan k = konduktivitas termal. Dua permukaan dari suatu pipa dengan suhu T1 dan
T2 yang konstan, tidak ada perubahan panas dan konduktivitas termalnya konstan,
panas konduksi dapat dihitung dengan menggunakan Fouriers law (engel AY
dan Robert TH 2001):
dT
Q cond ,cyl = kA
dr
(W)............................................................(16)
dimana A = 2rL adalah pindah panas pada luas permukaan di r, A dipengaruhi
oleh r dan perubahan arah dari proses pindah panas. Pemisahan variabel pada
persamaan diatas dengan mengintegerasi dari r = r1, T (r1) = T1 ke r = r2, T (r2) =
T2 sehingga (engel AY dan Robert TH 2001):
r2
T2
Q cond ,cyl
A dr = T =TkdT
r = r1
1
........................(17)
dengan subtitusi A= 2rL dan menyelesaikan integerasi diperoleh (engel AY
dan Robert TH 2001):
T T2
Q cond ,cyl = 2rL 1
ln(r2 / r1 )
(W)........(18)
Q cond, cyl = konstan sehingga persamaan menjadi
T T2
Q cond ,cyl = 1
R cyl
(W)........(19)
dimana
ln( r2 / r1 )
R cyl =
2 Lk
(C/W)...(20)

Konveksi
Konveksi adalah model transfer energi antara dua permukaan padat dan
terbatas pada pergerakan fluida atau gas termasuk efek dari konduksi dan
pergerakan fluida. Pindah panas pada plane wall dapat didekati dengan rumus:
Q conv = h A (Ts-T)
(W)........(21)
Menurut Lienhard IV dan Lienhard V (2011) konveksi dapat dibedakan
menjadi dua yaitu konveksi bebas dan konveksi paksa. Konveksi bebas adalah
perpindahan panas yang terjadi dimana aliran fluida bergerak dengan pengaruh
gravitasi tanpa pengaruh eksternal yang lain. Sedangkan konveksi paksa adalah
proses pindah panas dimana fluida bergerak dengan disengaja dan diatur
kecepatan dan debitnya. Berdasarkan jenis aliranya konveksi dapat dibagi menjadi
dua, yaitu konveksi pada aliran laminer dan konveksi pada aliran turbulen.
Menurut Lienhard IV dan Lienhard V (2011) konveksi pada pipa
dipengaruhi oleh bilangan reynold yang dapat dicari dengan persamaan berikut:
VD
Re =
v (22)

23
Menurut Lienhard IV dan Lienhard V (2011) konveksi pada pipa dengan
jenis aliran turbulen secara konveksi paksa dipengaruhi NuD dan nilai St melalui
persamaan berikut :
Nu d = 0.023 Re 0.8 Pr n ..................................(23)
0.2

2
3

St = 0.023 Re Pr .........................(24)
Persamaan tersebut berlaku jika memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Semua nilai dari sifat panas fluida berdasarkan suhu rata-rata
b. Nilai n = 0.3 jika fluida didinginkan, sedangkan nilai n = 0.4 jika fluida
dipanaskan.
c. Nilai Re harus lebih besar dari 104
d. Nilai Pr terletak antara 0.7 sampai 100
e. Perbandingan antara L dengan D lebih dari 60
Nilai koefisien pindah panas secara konveksi dapat dihitung melalui
persamaan berikut (engel AY dan Robert TH 2001):
kNu d
h=
D
(W/m2 K)......(25)
h = koefisien pindah panas secara konveksi (W/m2 K)
k = koduktivitas panas fluida (W/m K)
D = diameter pipa (m)
Suhu rata-rata pindah panas yang terjadi dapat dihitung dengan persamaan
berikut (Purwadaria et al. 1996):
T + T
T + 1

Tf =
2
(K)....(26)
Tf = suhu rata-rata (K)
T = suhu pemanasan bahan (K)
Ti = suhu fluida saat masuk (K)
To = suhu fluida saat keluar (K)
Menurut Purwadaria et al. (1996) panjang pipa dalam suatu sistem pindah
panas secara konveksi dapat didekati melalaui persamaan berikut:
T T
4L
= St
ln 1

D .....(27)
T0 T
St = bilangan Stanton
L = panjang pipa (m)
D = diameter pipa (m)
T = suhu pemanasan bahan (K)
Ti = suhu fluida masuk (K)
To = suhu fluida keluar (K)

24

Incinerator Rancangan Pradipta (2011)


Incinerator rancangan Pradipta (2011) terdiri atas 6 bagian yaitu, ruang
pembakaran, kasa penyulut api, cerobong asap, lubang udara, sistem penukar
panas, dan ruang pengendapan zat padat. Gambar 5 menyajikan incinerator
rancangan Pradipta (2011).

Hasil rancangan Pradipta (2011)

Konstruksi pipa pemanas air

Gambar 5 Incinerator rancangan Pradipta (2011)


Spesifikasi incinerator rancangan Pradipta (2011):
- Ukuran incinerator: 60x70x70 cm
- Kapasitas ruang bakar: 0.294 m3
Tebal dinding incinerator menggunakan plat eser 3 mm
- Tebal lantai incinerator menggunakan plat eser 5 mm
- Tinggi cerobong: 117.5 cm
- Diameter cerobong: 15 cm
- Panjang pipa pemanas air: 4 m
- Diameter pipa pemanas air: 0.5 inchi
Hasil uji kinerja yang dilakukan oleh Pradipta (2011) pada incinerator tipe
batch untuk sampah perkotaan yang dilengkapi dengan pemanas air diantaranya:
1. Volume ruang pembakaran sebesar 0.294 m3 dengan kapasitas 10.5 kg18.3 kg.
2. Suhu ruang pembakaran berkisar 413 C-748 C.
3. Laju pembakaran sebesar 2.18 kg/jam-6.82 kg/jam.
4. Suhu dan kualitas asap ditunjukkan pada Tabel 8.
5. Pemanfaatan energi untuk memanaskan air, suhu air meningkat 14 C-18
C.

25
6. Ruang pengendapan zat padat dapat mengarangkan 200 g dari 500 g batok
kelapa.
7. Suhu dinding incinerator bervariasi antara 123 C-242 C. Suhu cerobong
asap 51 C-263 C.
8. Lama pembakaran berkisar 2 jam-5 jam.
Tabel 8 Suhu dan kualitas asap hasil uji kinerja Pradipta (2011)
Percobaan

Suhu tertinggi
pada cerobong
(C)
253

II

210

III

239

IV

317

Warna asap

Bau asap

Zat terbang
pada asap

Lebih banyak
putih daripada
hitam
Lebih banyak
putih daripada
hitam
Lebih banyak
putih daripada
hitam
Lebih banyak
putih daripada
hitam

Bau asap

Tidak ada zat


terbang

Bau asap

Tidak ada zat


terbang

Bau asap

Tidak ada zat


terbang

Bau asap

Tidak ada zat


terbang

Teknik Pengoperasian Incinerator Rancangan Pradipta (2011)

Incinerator yang dirancang oleh Pradipta (2011) merupakan incinerator


tipe batch yang menerima satu kali masukan sampah ke ruang pembakaran dalam
satu kali proses pembakaran. Laju pelepasan panas dikontrol dengan
mengendalikan volume awal sampah dan udara yang tersedia untuk pembakaran.
Berikut adalah teknik pengoperasian incinerator tipe batch untuk perkotaan yang
dilengkapi dengan pemanas air rancangan Pradipta (2011):
1. Pembuangan abu
Awal pengoperasian incinerator dimulai dengan pembuangan abu yang
dihasilkan dari siklus operasi sebelumnya. Berikut ini adalah pedoman
untuk pengoperasian yang baik:
a. Pembuangan dapat dilakukan setelah 5 jam-8 jam proses pembakaran
agar abu hasil pembakaran benar-benar dingin sehingga tidak
menimbulkan luka bakar. Ketika melakukan pembuangan abu gunakan
kacamata agar abu tidak terbang ke mata, gunakan sarung tangan untuk
mencegah luka dan gunakan masker agar abu tidak masuk ke saluran
pernapasan yang dalam jangka waktu tertentu dimungkinkan
mengganggu kesehatan.
b. Operator harus membuka pintu pengeluaran abu dengan pelan untuk
mencegah abu berterbangan.
c. Operator harus berhati-hati karena kemungkinan abu masih dalam
kondisi yang panas pada titik tertentu serta adanya benda tajam.

26

2.

3.

4.

5.

d. Ruang abu dan pembakaran tidak boleh disemprot dengan air dingin
karena pendinginan cepat dari semprotan air dapat mempengaruhi
dapat mempercepat korosi.
e. Sebuah sekop tumpul datar, panjang, tidak tajam dan tahan api harus
digunakan untuk pembersihan.
f. Hindari mendorong abu ke udara terbuka.
g. Setelah abu dikeluarkan tutup kembali pintu pengeluaran abu.
Proses pemasukan sampah
Sifat sampah yang harus diperhatikan diantaranya: nilai kalor, kadar
air, kandungan plastik, dan jumlah limbah patologis. Nilai kalor dan kadar
air sampah mempengaruhi kinerja incinerator. Sampah dengan nilai kalor
yang tinggi dapat melebihi kapasitas termal dari incinerator. Hasilnya
adalah pembakaran suhu tinggi yang dapat merusak incinerator dan dapat
menghasilkan emisi yang berlebihan. Demikian pula, sampah dengan
kadar air yang sangat tinggi tidak akan memberikan masukan termal yang
baik dan memerlukan penggunaan bahan bakar tambahan lebih dari
biasanya.
Memasang selang pada lubang pemasukan air menuju ke pipa pemanas air
di ruang bakar dan ruang pengendapan zat padat kemudian membuka kran
agar air mengalir pada pipa pemanas air.
Pembakaran sampah
Panas yang dihasilkan harus diperkirakan dengan tepat jika tidak
dapat merusak incinerator.
Habis terbakar/ burndown
Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk sampah habis terbakar
dipengaruhi oleh desain incinerator, karakteristik sampah dan derajat
kejenuhan yang diinginkan. Periode habis terbakar adalah 2 sampai 4 jam.
Kualitas habis terbakar dapat dilakukan dengan memeriksa abu yang
dihasilkan. Abu yang berisi potongan besar bahan yang tidak terbakar
(selain bahan yang tidak mudah terbakar, seperti kaleng) menunjukkan
bahwa kinerja incinerator buruk. Warna abu juga merupakan indikator
kualitas abu. Warna putih atau abu-abu pada abu menunjukkan bahwa
persentase karbon rendah dan warna hitam menunjukkan persentase
karbon yang tinggi.

METODE

Tahapan Penelitian

Pada penelitian ini dilakukan modifikasi incinerator tipe batch untuk


sampah perkotaan yang dilengkapi dengan pemanas air yang dirancang Pradipta
(2011) kemudian dilakukan uji kinerja alat sebagai hasil modifikasi dan dilakukan

27
analisa peningkatan faktor keamanan dan unjuk kerja dari alat sebelum dan
setelah dilakukan modifikasi. Gambar 6 menyajikan bagan alir penelitian.

Pendekatan masalah

Penentuan parameter faktor keamanan dari alat

Melakukan penelitian pendahuluan

Melakukan modifikasi

Melakukan uji kinerja setelah modifikasi

Komposisi sampah yang


dibakar:
uji I
: 66 % kertas
uji II : 66 % plastik
uji III : 70 % plastik
uji IV : 60 % plastik

Menganalisa perbedaan faktor keamanan dan unjuk kerja alat sebelum dan
setelah dilakukan modifikasi

Selesai
Selesai
Gambar 6 Bagan alir penelitian

Pendekatan Masalah

Incinerator harus memiliki suhu ruang bakar yang tinggi 982.2 C1204.4 C untuk dapat membakar sampah dengan sempurna (Mc Guinn Y C dan
Louis T 1992). Suhu ruang bakar incinerator untuk sampah perkotaan harus lebih
besar dari 800 C. Dengan suhu ruang bakar lebih besar dari 800 C maka dinding
incinerator diperkirakan memiliki suhu yang tinggi. Menurut OSHA
(Occupational Safety and Health Administration) suhu aman suatu permukaan
ketika sebuah proses berlangsung harus dibawah 60 C yang merupakan suhu
aman bagi operator untuk menghindari luka bakar. Selain itu, suhu permukaan

28
yang terlalu tinggi akan berpengaruh pada suhu lingkungan yang berdampak pada
produktivitas kerja (engel AY dan Robert TH 2001).
Incinerator tipe batch untuk perkotaan yang dilengkapi dengan pemanas
air yang dirancang Pradipta (2011) dari hasil uji kinerja memiliki suhu ruang
bakar rata-rata 303.91 C dan suhu tertinggi yang dapat dicapai sebesar 748 C.
Dengan kisaran suhu ruang bakar tersebut, suhu dinding incinerator ketika
beroperasi antara 26 C-230 C dengan rata-rata 70.13 C. Suhu tersebut kurang
aman bagi operator karena dapat menyebabkan luka bakar ketika kontak langsung
dengan kulit operator. Untuk itu perlu dilakukan insulasi untuk mereduksi suhu
dinding incinerator sehingga aman bagi operator ketika dioperasikan. Tujuan
dilakukan insulasi selain untuk mereduksi suhu dinding incinerator hingga di
bawah 60 C juga diharapkan dapat meningkatkan suhu ruang bakar menjadi lebih
dari 800 C untuk memusnahkan sampah sampai terjadi pembakaran sempurna
karena suhu tertinggi yang dapat dicapai incinerator rancangan Pradipta (2011)
masih dibawah 800 C dimana dengan suhu tersebut sampah yang dibakar belum
terbakar dengan sempurna.
Asap hasil pembakaran merupakan masalah utama yang dihasilkan dari
proses pembakaran sebuah incinerator karena asap mengandung polutan yang
dapat mengganggu kesehatan operator dan lingkungan sekitar. Asap hasil
pembakaran harus bebas polutan ketika meninggalkan cerobong. Polutan yang
terkandung dari asap hasil pembakaran incinerator diantaranya gas asam (HCl,
SO2, NO2), CO, hidrokarbon, CO2, dioksin, dan furan. Pembakaran 1 ton
Municipal Solid Waste (MSW) di dalam sebuah Municipal Solid Waste
Incinerators (MSWI) menurut World Bank Report (1999) dapat menghasilkan
emisi berupa debu (11 g-19 g), SO2 (40 g-50 g), NOx (800 g-900 g), HCl (30 g-40
g), Hg (5 mg-40 mg). Teknologi APC (Air Pollution Control) untuk mengatasi
emisi hasil pembakaran dari sebuah incinerator sudah banyak berkembang dan
biasanya diterapkan untuk incinerator kapasitas besar. Incinerator yang dirancang
Pradipta (2011) adalah incinerator skala kecil sehingga teknologi APC kurang
cocok untuk diterapkan karena memerlukan biaya yang tidak sedikit. Selain itu,
memerlukan keahlian khusus untuk perawatan. Untuk mengurangi pencemaran
udara tersebut dapat dilakukan dengan membuat cerobong pengeluaran asap
cukup tinggi sehingga asap langsung bercampur dengan udara di atmosfer dan
tidak turun ke bawah yang kemungkinan dapat dihirup oleh operator yang mana
dalam jangka waktu tertentu dapat menggangu kesehatan operator dan lingkungan.
Tinggi cerobong pada incinerator yang dirancang Pradipta (2011) setelah
dilakukan pengukuran memiliki tinggi 1.175 m dimana asap masih dimungkinkan
turun ke bawah yang mana mengganggu kinerja operator. Dengan menambah
tinggi cerobong diharapkan asap pembakaran tidak lagi turun ke bawah dan
mengganggu kinerja operator.
Pintu pemasukan sampah pada incinerator yang dirancang Pradipta (2011)
sering menutup dengan sendirinya ketika dilakukan proses pemasukan sampah
dan pengeluaran abu karena ketika pintu dibuka membentuk sudut 90. Selain itu,
operator mengalami kesulitan ketika proses penutupan saat proses pembakaran di
mulai karena api sudah memulai menyebar. Hal tersebut kurang aman bagi
operator. Untuk mengatasi hal tersebut pada pintu pemasukan sampah akan
ditambahkan penyangga sehingga pintu tersebut tidak menutup dengan sendirinya

29
dan memudahkan penutupan ketika awal proses pembakaran karena sudut yang
terbentuk < 90 .

ntuan Parameter Faktor Keamanan Inc


nya
Pene
Penen
Inciinerator dan Unjuk Kerja
Kerjanya
pada Penelitian Pendahuluan

Parameter faktor keamanan dari incinerator tipe batch untuk perkotaan


yang dilengkapi dengan pemanas air rancangan Pradipta (2011) diantaranya:
a. Suhu dinding luar incinerator
Menurut OSHA (Occupational Safety and Health Administration) suhu
aman suatu permukaan ketika sebuah proses berlangsung harus dibawah 60 C
yang merupakan suhu aman bagi operator untuk menghindari luka bakar. Selain
itu, suhu permukaan yang terlalu tinggi akan berpengaruh pada suhu lingkungan
yang berdampak pada produktivitas kerja.
b. Asap hasil pembakaran
Proses pembakaran berlangsung dengan baik atau mendekati sempurna
ketika keberadaan asap dapat diminimalisir. Selain itu jika terdapat asap, asap
tersebut menimbulkan dampak negatif yang relatif kecil. Kualitas asap
pembakaran dapat dilihat dari warna asap, bau asap, dan kadar zat yang dibawa
terbang. Penentuan kualitas asap akan dilakukan dengan melakukan pengamatan
pada proses pembakaran. Parameter yang diuji menurut Susanto (2001) adalah
warna asap, bau asap, kadar zat terbang, serta gangguan yang ditimbulkan oleh
asap yang dihasilkan dari pembakaran.
Parameter unjuk kerja dari incinerator tipe batch untuk perkotaan yang
dilengkapi dengan pemanas air rancangan Pradipta (2011):
a. Suhu ruang bakar
Suhu ruang bakar harus lebih besar dari 800 C agar sampah dapat terbakar
dengan sempurna. Selain itu, pembakaran sampah dengan sempurna dapat
meminimalisir kandungan polutan yang dihasilkan dari proses pembakaran.
b. Pemanfaatan energi panas
Parameter yang diukur untuk mengetahui pemanfaatan energi panas
diantaranya: suhu pipa pemanas air, suhu air masuk pipa pemanas air, suhu keluar
pipa pemanas air, dan suhu ruang pengendapan zat padat.
c. Laju aliran udara
Laju aliran udara diketahui dari fenomena chimney effect pada cerobong
sehingga dilakukan pengukuran suhu inlet cerobong, suhu aliran cerobong, dan
suhu outlet cerobong sehingga diketahui laju aliran udara yang keluar
meninggalkan cerobong. Laju aliran udara ini mempengaruhi jumlah panas yang
ada pada ruang bakar.
d. Laju pembakaran
Parameter yang diukur dalam analisa laju pembakaran adalah bobot
sampah sebagai bahan bakar dan lama pembakaran. Laju pembakaran tersebut
dihitung dengan membandingkan bobot sampah (m) yang dibakar dengan waktu
pembakaran (t).

30
m (kg)
t (jam)
e. Jumlah dan kualitas arang yang dihasilkan pada ruang pengendapan zat padat
Kualitas arang yang baik ketika dipatahkan akan mengkilap dan terdengar
suara dentingan.
f. Menimbang abu hasil pembakaran
Jumlah abu yang dihasilkan dari proses pembakaran untuk mengetahui
besar persen mengurangan sampah setelah dibakar. Incinerator dapat menurangi
berat sampah 70 %- 80 %
massa sampah terbakar
% pengurangan massa sampah =
100 %
massa awal
Laju pembakaran (kg/ jam ) =

Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui metode pengukuran


unjuk kerja dari incinerator tipe batch untuk perkotaan yang dilengkapi dengan
pemanas air dan mengetahui kualitas asap. Adapun prosedur pengukuran unjuk
kerja dari incinerator tipe batch untuk perkotaan yang dilengkapi dengan pemanas
air pada penelitian pendahuluan yakni:
1. Memasang alat ukur. Tabel 9 menunjukkan titik pengukuran pada
penelitian pendahuluan dan Gambar 7 menunjukkan penempatan alat
ukur pada penelitian pendahuluan.
2. Menimbang sampah kering yang telah disiapkan untuk dibakar.
3. Mengukur kadar air sampel sampah kering yang akan dimasukkan ke
dalam alat pembakar sampah dan batok kelapa yang akan diarangkan.
4. Memasukkan sampah ke dalam alat pembakar sampah hingga 5 cm dari
permukaan ruang pembakaran.
5. Memasukkan batok kelapa ke dalam ruang pengendapan zat padat asap.
6. Mengukur debit aliran air. Rata-rata debit air yang mengalir melalui pipa
sebesar 4.74 L/menit. Pengukuran debit dilakukan sebelum proses
pembakaran dimulai.
7. Kemudian mulai menyalakan recorder. Pengukuran suhu dilakukan
setiap 5 menit sekali.
8. Mulai membakar sampah dengan menggunakan korek api dan
memasukkannya ke kasa pembakaran.
a. Pada percobaan I massa sampah 14.1 kg (89.36 % kertas) dengan
kadar air 9.9 % dan II massa sampah 4.99 kg (45.68 % plastik) dengan
kadar air 9.2 %. Setelah api menyala pada bagian bawah kemudian
menutup pintu alat pembakar sampah.
b. Pada percobaan III massa sampah 4.365 kg (65.63 % plastik) dengan
kadar air 10 % dan IV massa sampah 4.04 kg (66.83 % plastik) dengan
kadar air 14.14 %. Setelah api menyala kemudian tunggu hingga api
merata sampai ada jilatan api keluar pintu, kemudian menutup pintu
pemasukan sampah.

31
9. Tunggu hingga api pada ruang pembakaran mati dan semua titik
pengukuran suhu menunjukkan dibawah 60 C sebagai indikator proses
pembakaran telah selesai.
10. Tunggu 5 sampai 8 jam kemudian timbang abu hasil pembakaran untuk
mengetahui besar berat penurunan sampah.
11. Menganalisa faktor keamanan alat berdasarkan data yang diperoleh.

8
9
11
1
2

10
3

4
5

12

Gambar 7 Penempatan alat ukur pada penelitian pendahuluan


Tabel 9 Titik pengukuran pada penelitian pendahuluan
No.
1.
2.
3.

Bagian
Ruang pembakaran
Pipa penukar panas
Dinding ruang pembakaran

Jumlah titik pengukuran


2
1
2

32
No.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.

Bagian
Ruang pengendapan zat padat/ ruang pengarangan
Suhu air masuk
Suhu air keluar
Cerobong asap
Suhu lingkungan
Pintu pemasukan sampah
Pintu pengeluaran abu
Pintu pemasukan batok kelapa
Pintu pengeluaran arang

Jumlah titik pengukuran


1
1
1
1
1
1
1
1
1

Modifikasi Alat

Modifikasi alat didasarkan pada hasil penelitian Pradipta (2011) dan hasil
penelitian pendahuluan. Berdasarkan hasil penelitian Pradipta (2011) perlu
dilakukan modifikasi pada dinding incinerator untuk mereduksi suhu dinding agar
aman bagi operator saat kontak langsung dengan dinding incinerator ketika proses
pembakaran sedang berlangsung dengan cara menginsulasi, mengubah tinggi
cerobong agar asap hasil pembakaran langsung bercampur dengan udara di
atmosfer sehingga tidak mengganggu operator dan lingkungan sekitar area
pengoperasian serta pemanfaatan energi panas pada ruang zat padat. Dari hasil
penelitian pendahuluan perlu dilakukan modifikasi pada sistem loading untuk
keamanan dan kemudahan pengoperasian.

Pengujian Unjuk Kerja Incinerator Hasil Modifikasi

Paramater Pengujian Incinerator Hasil Modifikasi


Parameter pengujian incinerator hasil modifikasi dibagi menjadi dua yaitu
parameter faktor keamanan incinerator dan unjuk kinerja incinerator sebagai hasil
modifikasi. Parameter untuk faktor keamanan incinerator diantaranya:
a. Suhu dinding luar incinerator
Menurut OSHA (Occupational Safety and Health Administration) suhu
aman suatu permukaan ketika sebuah proses berlangsung harus dibawah 60 C
yang merupakan suhu aman bagi operator untuk menghindari luka bakar. Selain
itu, suhu permukaan yang terlalu tinggi akan berpengaruh pada suhu lingkungan
yang berdampak pada produktivitas kerja.
b. Asap hasil pembakaran
Proses pembakaran berlangsung dengan baik atau mendekati sempurna
ketika keberadaan asap dapat diminimalisir. Selain itu jika terdapat asap, asap
tersebut menimbulkan dampak negatif yang relatif kecil. Kualitas asap
pembakaran dapat dilihat dari warna asap, bau asap, dan kadar zat terbang.
Penentuan kualitas asap akan dilakukan dengan melakukan pengamatan pada
proses pembakaran. Parameter yang diuji menurut Susanto (2001) adalah warna

33
asap, bau asap, kadar zat terbang, serta gangguan yang ditimbulkan oleh asap
yang dihasilkan dari pembakaran.
Parameter unjuk kerja dari incinerator tipe batch untuk perkotaan yang
dilengkapi dengan pemanas air rancangan Pradipta (2011) diantaranya:
a. Kesempurnaan pembakaran
Kesempunaan pembakaran meliputi suhu pada ruang bakar, laju
pembakaran, abu hasil pembakaran, dan laju aliran udara. Suhu ruang bakar harus
lebih besar dari 800 C agar sampah dapat terbakar dengan sempurna. Selain itu,
pembakaran sampah dengan sempurna dapat meminimalisir kandungan polutan
yang dihasilkan dari proses pembakaran.
Laju pembakaran adalah perbandingan bobot sampah sebagai bahan bakar
dan lama pembakaran. Laju pembakaran tersebut dihitung dengan
membandingkan bobot sampah (m) yang dibakar dengan waktu pembakaran (t).
m (kg)
Laju pembakaran (kg/ jam ) =
t (jam)
Abu hasil pembakaran adalah jumlah abu yang dihasilkan dari proses
pembakaran untuk mengetahui besar persen mengurangan sampah setelah dibakar.
Incinerator dapat mengurangi berat sampah 70 %-80 %.
massa sampah terbakar
% pengurangan massa sampah =
100 %
massa awal
Laju aliran udara mempengaruhi jumlah udara masuk ke ruang bakar dan
meninggalkan cerobong yang akan berpengaruh pada jumlah panas yang ada pada
ruang bakar. Laju aliran udara diketahui dari fenomena chimney effect pada
cerobong sehingga dilakukan pengukuran suhu inlet cerobong, suhu aliran
cerobong, dan suhu outlet cerobong sehingga diketahui laju aliran udara yang
keluar meninggalkan cerobong.
b. Pemanfaatan energi panas
Parameter yang diukur untuk mengetahui pemanfaatan energi panas
diantaranya: suhu pipa pemanas air (suhu pipa pada ruang bakar dan suhu pipa
pada ruang pengendapan zat padat), suhu air masuk pipa pemanas air, suhu keluar
pipa pemanas air, dan suhu ruang pengendapan zat padat.

Metode Pengambilan Data


Pengambilan data dilakukan dengan menempatkan alat pengukur suhu
(termokopel) pada 21 titik pengukuran seperti yang ditunjukkan pada Tabel 10
dan Gambar 8 menunjukkan penempatan alat ukur pada uji kinerja setelah
modifikasi. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui sebaran suhu yang
dihasilkan selama proses pembakaran sampah. Pada ruang pembakaran terdapat
dua titik pengukuran hal tersebut dilakukan agar dapat dilihat perbandingan suhu
pada ruang pembakaran bagian atas dengan ruang pembakaran bagian bawah.
Pengukuran suhu pada ruang pengedapan zat padat asap dilakukan untuk
mengetahui suhu pada ruangan tersebut sehingga dapat dianalisis pemanfaatannya.
Pencatatan data dilakukan setiap 5 menit sekali. Waktu ke nol dihitung pada saat
api mulai dinyalakan. Proses pembakaran dinyatakan selesai jika seluruh titik
pengukuran suhu dibawah 60 C.

34
Tabel 10 Titik pengambilan data pada pengujian unjuk kerja setelah modifikasi
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.

Bagian
Ruang pembakaran
Pipa penukar panas pada ruang bakar
Suhu inlet cerobong/ ruang pengendapan zat padat
Suhu aliran cerobong
Suhu outlet cerobong
Dinding dalam kiri dan depan ruang pembakaran
Dinding luar kiri dan depan ruang pembakaran
Pintu pemasukan sampah
Pintu pengeluaran abu
Pintu pemasukan batok kelapa
Pintu pengeluaran arang
Pipa pada ruang pengendapan zat padat
Suhu air masuk pipa pada ruang bakar dan ruang
pengendapan zat padat
Suhu air keluar pada pipa ruang pengendapan zat
padat
Suhu air keluar pada pipa ruang bakar
Suhu bola basah
Suhu bola kering
Kecepatan angin

Jumlah titik pengukuran


2
1
1
1
1
2
2
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1

16, 17

14

1
7

35

12

10

11

3
11

13

15

Gambar 8 Penempatan alat ukur pada uji kinerja setelah modifikasi

Pengujian Alat
Pengujian ini dilakukan dengan melakukan proses pembakaran pada
incinerator. Proses pembakaran dilakukan sebanyak 4 kali percobaan. Setiap
percobaan dilakukan satu hari sehingga tidak ada pengaruh sebaran suhu setelah
pembakaran sebelumnya. Percobaan dilakukan 4 kali seperti yang dilakukan

36
Pradipta (2011) karena hasil uji kinerja akan dibandingkan sebelum dan setelah
dilakukan modifikasi kemudian akan dilakukan analisa peningkatan faktor
keamanan dan unjuk kerja dari alat. Sampah yang dibakar berupa sampah
perumahan yang terdiri dari sampah kertas, plastik dan daun kering. Sedangkan
air yang dipanaskan dalam pipa pemanas air berupa air sumur dengan debit 3.52
L/menit. Tabel 11 menyajikan komposisi sampah yang dibakar dan Tabel 12
menunjukkan debit aliran air pada pipa ruang bakar dan ruang pengendapan zat
padat.
Tabel 11 Debit aliran air pada pipa ruang bakar dan pengendapan zat padat
Percobaan

Ruang bakar (L/menit)

Ruang pengendapan zat padat


(L/menit)

I
II
III
IV

4.182
3.525
3.625
3.700

13
10.4
13.82
12.13

Tabel 12 Komposisi sampah yang dibakar pada uji kinerja setelah modifikasi
Percobaan
I
II
III
IV

Massa sampah (kg)


4.182
3.525
3.625
3.700

Kadar air (%)


13
10.4
13.82
12.13

Jenis sampah
66% kertas
66% plastik
70% plastik
60% plastik

Pengujian I dan II setelah api menyala pada bagian bawah kemudian


dilakukan penutupan pintu alat pembakar sampah dan pada pengujian III dan IV
setelah api menyala tunggu hingga api merata sampai ada jilatan api keluar pintu
alat pembakar sampah baru dilakukan penutupan pintu pemasukkan sampah.
Bagan alir pengujian alat incinerator tipe batch tersebut dilakukan beberapa tahap
yang ditunjukkan pada Gambar 9.

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Siswadhi Soepardjo dan


Laboratorium Energi dan Elektrifikasi Pertanian, Departemen Teknik Mesin dan
Biosistem, Institut Pertanian Bogor. Modifikasi alat akan dilakukan pada bulan
April 2013 sampai dengan bulan Juli 2013. Sedangkan uji kinerja dilakukan pada
bulan Juli 2013.

37
Alat dan Bahan Penelitian

Bahan
Bahan yang digunakan dalam modifikasi alat adalah plat seng ukuran 1 mm,
besi siku 4x4, dan glasswool. Bahan yang digunakan dalam pengujian alat terdiri
dari plastik, kertas, dan daun kering. Dengan kadar air 9 %-14 %. Sampah padat
tersebut diperoleh dari rumah tangga di kampung Babakan, Darmaga, Bogor.
Sedangkan air yang digunakan untuk memanfaatkan energi panas melalui pipa
pemanas air menggunakan air yang berasal dari fasilitas kampus IPB Darmaga.

Alat
Peralatan yang digunakan dalam uji faktor keamanan, kesehatan, dan
keselamatan alat adalah termokopel batang tipe K untuk suhu pembakaran,
termokopel tipe CA dan termokopel tipe CC. Hybrid Recorder, timbangan, digital
moisture tester, anemometer merek Kinomax, termometer alkohol, dan peralatan
pelengkap lainnya. Tabel 13 menunjukkan akurasi alat ukur.
Tabel 13 Akurasi alat ukur
Alat
Termokopel CA: temokopel batang tipe K dan
termokopel kabel
Temokopel tipe CC
Timbangan

Akurasi
-200 C-1370 C
-200 C-400 C
Maksimum pengukuran 2 kg. Nst = 0.01 kg

Analisa Data

Analisa data akan dilakukan dengan membandingkan hasil unjuk kerja


incinerator tipe batch untuk perkotaan yang dilengkapi dengan pemanas air yang
telah dirancang oleh Pradipta (2011) sebelum dan setelah dilakukan modifikasi.
Data sebelum dilakukan modifikasi diperoleh dari hasil penelitian pendahuluan.
Dari perbandingan tersebut dapat diketahui perbedaan faktor keamanan dan unjuk
kerja alat dari alat sebelum dan setelah modifikasi.

38

Mulai

Memasang alat ukur pada incinerator

Menimbang sampah kering yang telah disiapkan untuk dibakar

Mengukur kadar air sampel sampah kering yang akan dimasukkan ke


dalam incinerator

Memasang selang air ke pipa pemanas air pada ruang bakar dan ruang
pengendapan zat padat

Mengukur debit aliran air pada pipa pemanas air di ruang bakar dan ruang
pengendapan zat padat lihat Tabel 11

Mulai membakar sampah menggunakan korek api dengan memasukkannya ke


kasa pembakaran. Komposisi ditunjukkan pada Tabel 12
Gambar 9 Prosedural pengujian incinerator

Timbang abu sisa pembakaran untuk mengetahui besar penurunan


berat sampah

Menganalisa faktor keamanan dan unjuk kerja alat berdasarkan hasil uji
kinerja

Selesai
Gambar 9 Prosedural pengujian incinerator

39

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian Pendahuluan

Tabel 14 menunjukkan debit aliran air pada penelitian pendahuluan, Tabel


15 menyajikan data rata-rata hasil penelitian pendahuluan dan Tabel 16
menunjukkan data maksimum suhu ruang bakar. Contoh perhitungan debit aliran
air pada penelitian pendahuluan terlampir pada Lampiran 1.
Tabel 14 Debit aliran air pada penelitian pendahuluan
Percobaan
I
II
III
IV
Rata-rata

Debit (L/s)
0.07
0.07
0.08
0.08
0.08

Debit (L/menit)
4.62
4.74
4.80
4.86
4.76

Tabel 15 Data rata-rata hasil penelitian pendahuluan


Parameter
Ruang bakar atas (C)
Ruang bakar bawah (C)
Pipa ruang bakar (C)
Suhu inlet cerobong/ruang zat
padat (C)
Suhu outlet cerobong (C)
Dinding luar depan (C)
Dinding luar kiri (C)
Pintu masuk sampah (C)
Pintu abu (C)
Pintu masuk arang (C)
Pintu keluar arang (C)
Suhu air masuk (C)
Suhu air keluar (C)
T (C)
Tbb (C)
Tbk (C)
Vangin (m/ s)

P1
88.2
251.46
59.34

P2
229.62
202.77
62.53

P3
217.62
226.72
84.25

P4
246.92
239.83
87.6

212.89

88.52

125.94

102.7

138.25

113.85

133.37
147.33
95.53
72.6
116.4
103.11
50.4
28.32
35.01
6.69
26.96
28.65
0.39

116.99
136.74
115.13
78.39
85.01
91.02
52.37
28.16
33.11
4.95
29.05
33.47
0.31

137.62
75.4
108.01
86.83
98.96
104.86
56.49
26.42
31.83
5.41
29.11
31.39
0.57

59.71
137.36
98.61
87.49
78.32
91.33
40.81
27.33
32.6
5.27
28.07
32.35
0.19

111.92

Tabel 16 Data suhu maksimum pada ruang bakar


Percobaan
I
II
III
IV

Ruang bakar atas (C)


107.22
597.80
589.40
592.60

Ruang bakar bawah (C)


441.50
665.40
647.60
698.90

Rata-rata

73.43

114.26
81.32
94.67
97.58
50.01
27.56
33.14
5.58
28.29
31.46
0.36

40
Hasil Modifikasi

Modifikasi yang dilakukan pada alat pembakar sampah (incinerator) tipe


batch untuk perkotaan yang dilengkapi dengan pemanas air yang telah dirancang
oleh Pradipta (2011) diantaranya menginsulasi dinding incinerator, mengubah
tinggi cerobong, modifikasi sistem loading, pemanfaatan energi panas pada ruang
pengendapan zat padat untuk memanaskan air melalui pipa pemanas air,
penggantian pipa pemanas air pada ruang bakar, dan penambahan jumlah lubang
udara. Modifikasi tersebut dilakukan untuk meningkatkan faktor keamanan alat.
Insulasi pada dinding incinerator diperlukan untuk mereduksi panas pada
dinding incinerator sampai dibawah 60 C sehingga aman bagi operator saat
kontak langsung dengan dinding incinerator ketika proses pembakaran sedang
berlangsung. Selain itu, hal ini dimaksudkan untuk mencegah kehilangan panas
hasil pembakaran sehingga diharapkan terjadi peningkatan suhu pembakaran
incinerator, laju pembakaran, energi yang dimanfaatkan untuk memanaskan pipa
pemanas air, suhu air panas yang dihasilkan, dan suhu ruang pengendapan zat
padat untuk dimanfaatkan panasnya. Proses insulasi pada tahap pertama yakni
mengkombinasikan antara sabut kelapa dan glasswool. Sabut kelapa memiliki
konduktivitas termal 0.048 W/mK (Rodriguez et al. 2011) dan glasswool
memiliki nilai konduktivitas termal 0.0407 W/mK dari hasil pengukuran (data
pengukuran terlampir pada Lampiran 2). Penggunaan sabut kelapa sebagai bahan
insulan karena memiliki nilai konduktivitas termal mendekati glasswool sehingga
dimungkinkan sabut kelapa dapat menahan suhu yang cukup tinggi seperti
glasswool. Selain itu, sabut kelapa merupakan bahan insulan yang alami dan
mudah diperoleh serta ramah lingkungan karena memanfaatkan limbah sabut
kelapa. Proses pemasangan bahan insulasi dimulai dengan glasswool ditempelkan
pada dinding incinerator menggunakan lem kemudian dilapisi alumunium foil
untuk memudahkan pemasang sabut kelapa. Tebal insulasi glasswool setelah
direkatkan menjadi 0.3 cm dari 2.5 cm. Sabut kelapa yang digunakan sudah dalam
bentuk keset untuk memudahkan pemasangan dengan tebal 1.8 cm. Setelah bahan
insulan terpasang dinding incinerator kemudian dilapisi dengan seng. Dengan
tebal insulasi 2.1 cm tersebut diharapkan suhu dinding incinerator turun sampai
dibawah 60 C. Gambar 10 menyajikan proses pemasangan insulasi.

Gambar 10 Proses pemasangan insulasi


Setelah dilakukan uji kinerja dengan insulasi pertama, pada saat pengujian
insulasi terbakar karena ruang insulasi tidak kedap udara dimana udara masuk

41
melalui celah-celah yang ada dibagian bawah. Adanya udara, panas dan sabut
kelapa menyebabkan insulasi terbakar karena sabut kelapa tidak dapat menahan
panas langsung yang dihasilkan oleh dinding incinerator. Suhu rata-rata dinding
incinerator berkisar 94.13 C.
Setelah insulasi yang pertama gagal. Insulasi yang kedua digunakan
seluruhnya glasswool karena pada saat proses pembongkaran insulasi yang
pertama bahan insulasi glasswool tidak terbakar. Hal ini menunjukkan bahwa
bahan tersebut mampu menahan suhu dinding incinerator. Secara teori glasswool
dapat menahan suhu sampai 350 C dan suhu tertinggi dinding incinerator pada
proses pembakaran hasil penelitian pendahuluan sebesar 337.30 C dengan ratarata 114.26 C. Dalam melakukan insulasi pada dinding incinerator dilakukan
perhitungan tebal insulasi untuk mereduksi dinding incinerator menjadi dibawah
60 C. Gambar 11 menunjukkan aliran pindah panas pada dinding majemuk.
Berikut perhitungan tebal insulasi
Suhu yang digunakan dalam perhitungan adalah suhu rata-rata
Diketahui:
T1 = suhu ruang bakar = 213 C
T1 = suhu dinding dalam = 150 C
T2 = suhu dinding luar 1 = 114 C
T3 = suhu dinding luar 2 (setelah diinsulasi) = 40 C (suhu yang diharapkan)
T2 = suhu lingkungan = 31.5 C
k1 = konduktivitas besi = 80.2 W/mK
k2 = konduktivitas glasswool = 0.0407 W/mK
L1 = tebal dinding = 2 mm = 2x10-3 m
L2 = tebal glasswool
T1

L1

LL22

T1
T2

T3
T2

Rconv1

R 1 R2

Rconv 2

Gambar 11 Aliran pindah panas pada dinding majemuk


Mencari h1 = koefisien pindah panas konveksi pada dinding dalam
T + T1 213 + 150
Tf = 1
=
= 181 .5 C = 454.5 K
2
2
1
1
=
=
= 2.2 x10 3
Tf
454 .5
Sifat gas pada tekanan 1 atm
T (K)
k (W/mC )
v (m2/s)
Pr
-5
450
0.0363
3.18x10
0.700
454.5
0.0365
3.23x10-5
0.69991
-5
500
0.0395
3.80x10
0.699
Bilangan Nusselt untuk konveksi alami pada permukaan plat vertikal

42
Ra =

g T1 T1 3
v

Pr

9.81 2.2 10 3 (213 150) (0.70) 3

(3.23 10 )

5 2

0.69991

= 3.128 10 8
1

Nu = 0.59Ra 4
1

= 0.59 (3.128 10 8 ) 4
= 78 .463
k
h 1 = Nu

0.0365
=
78.643
0.70
= 4.091 W/m 2 C
Mencari h2 = koefisien pindah panas konveksi pada dinding luar
T + T3 40 + 31.5
Tf = 1
=
= 35.75 C = 308.75 K
2
2
1
1
=
=
= 3.238 10 3
Tf 308.75
Sifat gas pada tekanan 1 atm
T (K)
k (W/mC )
v (m2/s)
300
0.0261
1.57x10-5
308.75
0.0267
1.6575x10-5
310
0.0268
1.67x10-5

Pr
0.712
0.71125
0.711

Bilangan Nusselt untuk konveksi alami pada permukaan plat vertikal


g (T3 T 2 ) 3
Ra =
Pr
v2
9.81 3.238 10 3 (40 31.5) (0.70) 3
=
0.711125
(1.6775 10 5 )2
= 2.397 10 8
Nu = 0.59Ra

1
4
1

= 0.59 ( 2.397 10 8 ) 4
= 73 .412
k
h 1 = Nu

0.0267
=
73.412
0.70
= 2.8 W/m C
A = 0.70 0.60 = 0.42 m 2

43
R conv1 =

1
1
=
= 0.582 C/W
h 1 A 4.091 0.42

L1
2 10 3
=
= 5.937 10 3 C/W
k 1 A 80.2 0.42
L2
L2
L2
R2 =
=
=
C/W
k 2 A 0.407 0.42 0.0170
1
1
R conv 2 =
=
= 0.850 C/W
h 2 A 2.8 0.42
R1 =

R total = R conv1 + R 1 + R 2 + R conv 2 = 0.582 + 5.937 10 5 +

L2
+ 0.850
0.0170

0.024 + L2
0.0170
T T 2 (213 31.5)
3.085
Q= 1
=
0.0170 =
R total
0.024 + L 2
0.024 + L 2
T T3 (114 40)
1.258
Q2 = 2
=
0.0170 =
R2
L2
L2
Q = Q2
3.085
1.258
=
0.024 + L 2
L2
L 2 = 0.0164 m = 1.64 cm
Tebal insulasi= 1.64 cm
Dengan ketebalan tersebut diharapkan suhu dinding incinerator menjadi
dibawah 60 C yang merupakan suhu aman saat pengoperasian. Tebal insulasi
dinding incinerator setelah dipasang sebesar 2.2 cm. Hasil perhitungan tebal
insulasi sebesar 1.6 cm. Jika 2 m2 glasswool dengan tebal 2.5 cm setelah
terpasang akan menjadi 0.3 cm maka dibutuhkan 6 m2 glasswool sehingga
diperoleh tebal 1.8 cm selisih 0.2 cm dari hasil perhitungan. Nilai hasil
perhitungan berbeda dengan hasil pengukuran setelah insulasi terpasang karena
glasswool belum terpadatkan dengan sempurna saat terpasang. Seiring dengan
penggunaan glasswool akan memadat dengan sempurna.
Modifikasi pada cerobong asap dilakukan dengan mengubah tinggi
cerobong menjadi 2 m. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi asap yang
mengandung polutan turun ke bawah yang dapat mencemari udara yang akan
berdampak pada kesehatan operator, pengguna, dan lingkungan sekitar area
pengoperasian. Berikut perhitungan tinggi cerobong:
Menghitung Indeks Polutan (Anzola M 2012)
D
PI =
GB
D = tingkat debit polutan (mg/s)
G = batas nilai konsentrasi yang diijinkan (mg/m3)
B = konsentrasi kontaminan pada daerah studi kasus (mg/m3)
Polutan (SO2, CO, NO2)
=

44
Bedasarkan penelitian Istam YC (2007) yang berlokasi di Kebun Raya Bogor nilai
diperoleh nilai B
Polutan
SO2
CO
NO2

B (ppm)
0.01
1.37
0.02

B (mg/m3)
0.026
1.593
0.038

Berat molekul (g/mol)


64.066
28.01
46.0055

Nilai D diperoleh dari literatur (EURIST, 2002)


Polutan
SO2
CO
NO2

t/yr
60.6
76.2
1191

mg/s
1921.61
2409.94
37766.362

Perbandingan nilai D, G dan B


Polutan
SO2
CO
NO2

D (mg/s)
1921.61
2409.94
37766.362

G (mg/m3)
1500
2.26
1700

B (mg/m3)
0.026
1.593
0.038

D
1921.61
=
= 1.281 m 3 / s
G B 1500 0.026
D
2409.94
PI CO =
=
= 3613.103 m 3 / s
G - B 1500 1.593
D
37766.362
PI NO 2 =
=
= 22.216 m 3 / s
G - B 1500 0.038
PI total = 1.281 + 3613.103 + 22.216 = 3636.6 m 3 / s
PI SO 2 =

50 < PI total < 10 7


Kecepatan aliran udara cerobong sebelum dilakukan modifikasi
Ti = suhu aliran cerobong = 142.3 C = 415.3 K
To = suhu lingkungan = 31.5 C = 304.5 K
D = diameter cerobong = 0.15 m
1
1
A cerobong = D 2 = (0.15 2 ) = 0.0176m 2
4
4
Q = Debit aliran udara (m3/s)
h = Tinggi cerobong = 1.175 m
T To
Q = k A 2 g h i
Ti

415.3 304.5
3
= 0.65 0.0176 2 9.81 1.175
= 0.028 m / s
415.3

Q = vA
Q
0.028
v= =
= 1.590 m/s
A 0.0176
Kondisi aliran cerobong belum memenuhi aliran cerobong yang baik yakni
15.24 m/s-20.32 m/s (Vatavuk WM, 1995) sehingga dalam perhitungan untuk
mendapatkan aliran udara dalam cerobong yang baik diasumsikan aliran
cerobong 17.78 m/s diperoleh dari:
15.24 + 20.32
= 17.78
2
Sehingga
Diketahui:

45
v = kecepatan aliran cerobong =17.78 m/s
A = diameter cerobong = 0.0176 m2
V = debit aliran udara = 0.312 m3/s
Q = nilai dari bouyancy
Ta = suhu lingkungan = 31.5 C = 304.5 K
Tf = suhu aliran cerobong = 142.3 C = 415.3 K
Ta
304.5
1
1 415.3
Tf

Q = V
= 0.312
= 0.028 MW
2.9
2.9
Q<0.03 MW maka Ub (Uncorrected discharge stack height for bouyancy) tidak
dapat dihitung sehingga U=Um
M (Uncorrected discharge stack height for momentum)
T
304 .5
M = a vV =
17.78 0.312 = 4.067
Tf
415.3
1<M<104
0.9
0.9
x = 3.7 + (log M ) = 3.7 + (log 4.067 ) = 3.059
y = 5.9 0.624 log M = 5.9 0.624 log 4.067 = 5.519
z = 4.24 9.7 log M + 1.47(log M ) 0.07(log M ) 3
2

= 4.24 9.7 log 4.067 + 1.47(log 4.067 ) 0.07(log 4.067) 3


= 4.24 5.909 + 0.545 0.0158
= 1.139
log Um = x + ( y log PI + z) 0.5
2

= 3.059 + (5.519 log 3636.6 + (1.139)) 0.5


= 1.234
Um = 17.523
1<Um<200
Maka U=Um=17.523
H = tinggi bangunan = 0.7 m
K = nilai terendah dari lebar atau tinggi bangunan
Lebar = 0.9 m
Tinggi = 0.7 m
Tmax = H+1.5xK= 0.7+(1.5 x 0.7)= 1.75
Jika U>Tmax, maka C=Tmax
C= Tinggi cerobong = 1.75 m = 2 m
Modifikasi sistem loading perlu dilakukan karena pada desain yang ada,
ketika dilakukan pembersihan abu atau pemasukan sampah pintu tersebut sering
menutup dengan sendirinya. Hal ini kurang aman bagi operator saat proses
pemasukan sampah ke ruang bakar dan saat pembersihan abu sisa pembakaran.
Pada sisem loading dilakukan modifikasi pada pintu pemasukan sampah ke ruang
pembakaran dengan menambahkan penyangga dari pipa besi yang memiliki
diameter 0.5 inchi dan panjang 60 cm sehingga sudut bukaan pintu pemasukan
sampah yang awalnya 90 menjadi < 90. Dengan demikian pintu pemasukan
tidak menutup dengan sendirinya ketika proses pemasukan sampah dan
memudahkan operator untuk melakukan penutupan saat proses pembakaran
sampah dimulai.

46
Pemanfaatan energi panas pada ruang pengendapan zat pada awalnya
digunakan untuk proses pengarangan batok kelapa. Namun, setelah dilakukan
penelitian pendahuluan suhu pada ruang pengendapan zat padat tidak dapat
mengarangkan batok kelapa. Rata-rata suhu ruang pengendpan zat padat sebesar
113.85 C. Suhu tersebut berkisar 33.1 C-281.8 C. Sedangkan suhu untuk
melakukan pengarangan berkisar 150 C-500 C. Oleh karena itu, energi panas
tersebut dimanfaatkan untuk memanaskan air melalui pipa dengan harapan air
yang dihasilkan lebih bersih karena pipa tidak kontak langsung dengan sampah
pada ruang pembakaran dan untuk mencegah terjadinya korosi pada pipa pemanas
air. Panjang pipa pemanas air yang dipasang pada ruang pengendapan zat padat
sepanjang 4.14 m yang merupakan panjang maksimum yang dapat diinstalasikan
pada ruangan tersebut. Perhitungan perkiraan suhu air yang keluar dari pipa
pemanas air pada ruang pengendapan zat padat sebagai berikut:
Diketahui:
Tg = suhu rata-rata ruang pengendapan zat padat = 114 C = 387 K
Tp = suhu pipa = 50 C (target)
Ta = suhu rata-rata air masuk = 27.5 C
D2 = diameter dalam pipa pemanas air = 0.0127 m
r2 = jari-jari dalam pipa pemanas air = 6.35 x 10-3 m
D1 = diameter luar pipa pemanas air = 0.0137 m
r1 = jari-jari luar pipa pemanas air = 6.85 x 10-3 m
L = panjang pipa = 4.14 m
C = kalor jenis air = 4200 J/gC
Menghitung koefisien pindah panas konveksi antara ruang pengendapan zat padat
dan pipa pemanas air
Tg + Tp 114 + 50
Tf =
=
= 82 C = 355 K
2
2
1
1
=
=
= 2.816 10 3
Tf 355
Sifat gas pada tekanan 1 atm
k (W/mC)

T
350
355
400

Ra =

0.0297
0.0300
0.0331

g (Tg Tp ) 3

v (m2/s)

Pr

2.06 x 10-5

0.706

2.11 x 10-5

0.705

2.60 x 10-5

0.703

Pr
v2
9.81 2.816 10 3 (114 50 ) (0.0127) 3
=
0.705
(2.11 10 5 ) 2
= 5736 .6118

47

Nu = 0.6 +

0.387 R a 6
8
5 27

6
1
+
(
0
.
559
/
Pr
)

6
0.387 (5736.6118)
Nu = 0.6 +

5 27

1 + (0.559 / 0.705) 6

= 3.836
k
0.0300
h g = Nu =
3.836 = 0.061 W/m 2 C
D
0.0127
Menghitung koefisien pindah panas konveksi antara air dan pipa pemanas air
T = suhu rata-rata air masuk = 27.5 C
Ts = suhu pipa = 50 C (target)
Q = debit aliran air = 0.079 L/s= 0.079 x 10-3 m3/s = 4.74 x 10-3 m3/menit
D2 = diameter dalam pipa pemanas air = 0.0127 m
T + T 50 + 27.5
Tf = s
=
= 38.75 C
2
2
Sifat air pada tekanan 1 atm
(kg/m3)

k (W/mC)

(kg/ms)
0.720x 10-3

Pr

35

994

0.623

38.75

992.575

0.629

0.669 x 10-3

4.4475

992.1

0.631

0.653 x 10-3

4.32

40

4.83

1
1
( D 2 ) 2 = (0.0127) 2 = 1.266 10 4 m 2
4
4
A = luas permukaan pipa = p L = D 2 L = 0.0127 4.14 = 0.165 m 2
= laju aliran massa (kg/s)
Ac = luas penampang pipa =

m = Q = 992 .575 0.079 = 0.078 kg/s


m = kecepatan aliran air

V
4.74 10 3
m =
=
= 37.440 m/menit = 0.624 m/s
A c 1.266 10 4
= viskositas kinematis
0.669 10 3
= =
= 6.74 10 7 m 2 / s

992 .575
Re = Reynold number

48
m D 2 0.624 0.0127
=
= 11575.863

6.74 10 7
Re > 104 (aliran turbulen)
Nu = 0.023 Re 0.8 Pr 0.4
0. 8
0. 4
Nu = 0.023 (11575.863) (4.4475) = 74.441
k
0.629
ha =
Nu =
74.441 = 3686.881 W/m 2 C
D2
0.0127
R total = R konveksi 1 + R konduksi + R konveksi 2
Re =

ln(r2 / r1 )
1
1
+
+
h g A1 2 k L h a A 2

ln(r2 / r1 )
1
1
+
+
h g D1 L 2 k L h a D 2 L

1
ln(6.85 10 3 / 6.35 10 3 )
1
+
+
9.061 0.0137 4.14
2 80 .2 4.14
3686 .881 0.0127 4.14

= 0.619 + 3.633 10 5 + 1.642 10 3


= 0.620
Tg Ta 114 27.5
Q total =
=
= 139.516 W = 139.516 J/s
R total
0.620

Q total = m C T
139.516 J/s = 0.078 kg/s 4200 J/kg C T
T = 0.425 C
T = Tout Tin

0.425 = Tout 27.5


Tout = 27.925 = 28 C
Jari-jari kritis untuk insulasi pipa silinder dapat diketahui dari persamaan:
h
rcr ,cylinder =
k ..............................................................................................(28)
dimana k adalah konduktivitas termal dan h adalah koefisien pindah panas
konveksi. Laju pindah panas dari pipa silinder meningkat dengan penambahan
insulasi untuk r2<rcr, mencapai nilai maksimum ketika r2=rcr dan akan mengalami
penurunan saat r2>rcr (engel A Y dan Robert T H 2001).
Selain modifikasi di atas, ditambahkan pula jumlah lubang udara pada
dinding incinerator masing-masing tiga buah pada sisi kiri dan kanan atas dinding.
Hal ini dilakukan untuk menambah jumlah udara yang masuk ke ruang bakar
karena lubang udara pada bagian bawah incinerator banyak yang tertutup oleh
sisa pembakaran sampah yang sulit dibersihkan. Dengan ditambahkan jumlah
lubang udara diharapkan proses pembakaran dapat berlangsung lebih sempurna.
Pada lubang udara tersebut dipasang dop yang dapat dilepas dan dipasang
sehingga memudahkan pengaturan udara yang masuk ke dalam incinerator dan
mengurangi kehilangan panas melalui lubang udara pada saat proses pembakaran
akan berakhir sehingga suhu pembakaran tidak cepat mengalami penurunan.

49
Pipa pemanas air pada ruang bakar setelah dilakukan beberapa kali uji
coba mengalami kebocoran karena terjadi korosi karena adanya suhu tinggi, air,
dan oksigen saat proses pembakaran berlangsung sehingga dilakukan penggantian
pipa pemanas air dengan pipa baru dimana memiliki spesifikasi yang sama dengan
sebelumnya yakni diameter 0.5 inchi dengan tebal 1 mm. Tabel 17 menyajikan
perbandingan hasil modifikasi dan sebelum dilakukan modifikasi pada alat.
Tabel 17 Perbandingan hasil modifikasi dan sebelum dilakukan modifikasi pada
alat
No.

Sistem kerja

1.

Sistem
pengumpanan
(loading)

2.

Sistem
pemanfaatan
panas
pada
ruang
pengendapan
zat padat

3.

Sistem
pembuangan
asap

Incinerator (Pradipta,2011)
Kondisi
Ukuran

Nama bagian

Pintu masuk

Tidak terdapat
penyangga. Saat
terbuka membentuk
sudut 90

70 x 70 x
0.2 cm

Ruang
pengendap
padat

Untuk mengarangkan
batok kelapa

70 x 20 x
70 cm

zat

Cerobong asap

Tinggi: 1.175 m

Diameter
: 15 cm
Tinggi :
117. 5
cm
Diameter
: 2 cm
Jumlah :
25 buah
-

4.

Pemasukkan
udara

Lubang Udara

Samping kiri (6 buah),


samping kanan (6
buah), depan (4 buah),
dan bawah (9 buah)

5.

Insulasi
dinding

Insulasi dinding

Tidak ada

Incinerator modifikasi
Kondisi
Ukuran
Terdapat penyangga dari
pipa besi sepanjang 60 cm
70 x 70 x
dengan diamter 0.5 inchi.
0.2 cm
Saat terbuka membentuk
sudut <90
Dipasang pipa pemanas air
sepanjang 4.14 m dengan
diameter 0.5 inchi untuk
memanaskan air.

70 x 20 x
70 cm

Tinggi: 200 cm

Diameter :
15 cm
Tinggi :
200 cm

Samping kiri (9 buah),


samping kanan (9 buah),
depan (4 buah), dan bawah
(9 buah)
Insulasi menggunakan
glasswool

Spesifikasi incinerator rancangan Pradipta (2011) setelah modifikasi:


- Ukuran incinerator: 60x70x70 cm
- Kapasitas ruang bakar: 0.294 m3
- Tebal dinding incinerator menggunakan plat eser 3 mm
- Bahan insulasi dinding: glasswool
- Tebal insulasi: 2.2 cm
- Tebal lantai incinerator menggunakan plat eser 5 mm
- Tinggi cerobong: 2 m
- Diameter cerobong: 15 cm
- Panjang pipa pemanas air pada ruang bakar: 4 m
- Panjang pipa pemanas air pada ruang pengendapan zat padat: 4.14 m
- Diameter pipa pemanas air pada ruang bakar dan ruang pengendapan zat
padat: 0.5 inchi
- Diameter lubang udara: 2 cm
- Jumlah lubang udara: 31 buah

Diameter :
2 cm
Jumlah :
31 buah
Tebal
insulasi:
2.2 cm

50
Hasil Uji Kinerja

Modifikasi incinerator yang dirancang oleh Pradipta (2011) dilakukan


untuk meningkatkan faktor keamanan dari alat. Modifikasi yang dilakukan selain
untuk meningkatkan faktor keamanan, diharapkan dapat meningkatkan kinerja
dari incinerator. Modifikasi dilakukan pada sistem loading, insulasi dinding
incinerator, mengubah tinggi cerobong, pemanfaatan panas pada ruang
pengendapan zat padat untuk memanaskan air, dan penggantian pipa pemanas air
pada ruang bakar karena mengalami kebocoran disebabkan terjadi korosi pada
pipa. Penggantian tersebut menggunakan spesifikasi pipa yang sama dengan pipa
sebelum dilakukan penggantian. Hasil unjuk kerja setelah modifikasi akan
dibandingkan dengan unjuk kerja sebelum dilakukan modifikasi untuk
mengetahui peningkatan faktor keamanan dan unjuk kerja alat.
Aspek keamanan perlu diperhatikan dari sebuah incinerator adalah suhu
dinding incinerator karena berpotensi menimbulkan luka bakar, polusi udara yang
dihasilkan dari proses pembakaran yang berpotensi mengganggu operator, sistem
loading dan unloading, dan prosedur keamanan untuk mencegah kecelakaan pada
saat pengoperasian.

Suhu Dinding Incinerator


Menurut OSHA (Occupational Safety and Health Administration) suhu
aman suatu permukaan ketika sebuah proses berlangsung harus dibawah 60 C
yang merupakan suhu aman bagi operator untuk menghindari luka bakar. Selain
itu, suhu permukaan yang terlalu tinggi akan berpengaruh pada suhu lingkungan
yang berdampak pada produktivitas kerja.
Rata-rata suhu dinding incinerator sebelum dilakukan modifikasi ketika
sedang dioperasikan sebesar 114.26 C dan suhu tertinggi mencapai 337.30 C
dimana suhu tersebut kurang aman bagi operator karena dapat menyebabkan luka
bakar ketika operator menyentuh dinding incinerator. Untuk mereduksi suhu
tersebut dilakukan modifikasi dengan menambahkan insulasi pada dinding
incinerator menggunakan glasswool setebal 2.2 cm. Dari hasil uji kinerja setelah
dilakukan modifikasi suhu rata-rata dinding incinerator turun menjadi 42.64 C
dan suhu tertinggi yang dicapai sebesar 61.4 C. Suhu tersebut sedikit berbeda
dengan standar dari OSHA untuk suhu aman suatu permukaan ketika sebuah
proses berlangsung. Namun, dengan suhu tersebut resiko operator untuk terkena
luka bakar ketika sedang mengoperasikan alat dapat dihindari. Tabel 18
menyajikan perbandingan suhu dinding incinerator sebelum dan setelah dilakukan
modifikasi.

51
Tabel 18 Perbandingan suhu dinding incinerator sebelum dan setelah dilakukan
modifikasi
Sebelum modifikasi
Percobaan

Parameter

Setelah modifikasi
Percobaan

II

III

IV

Ratarata

II

III

IV

Ratarata

Rata-rata suhu
ruang bakar (C)

169.83

216.20

222.17

243.38

212.89

163.88

207.61

183.89

228.41

195.90

Suhu maksimum
dinding luar (C)

251.65

303.20

225.95

306.90

271.93

49.70

54.35

55.00

76.55

57.68

Suhu rata-rata
dinding luar (C)

121.43

125.93

91.70

117.98

114.26

40

42.77

42.98

44.81

42.64

Asap Hasil Pembakaran


Alat pembakar sampah (incinerator) dirancang untuk mengurangi polusi
yang dapat ditimbulkan pada proses pembakaran sampah secara terbuka. Polusi
tersebut antara lain zat terbang dalam asap, warna asap, dan bau asap yang dapat
mengganggu lingkungan sekitar tempat proses pembakaran sampah berlangsung.
Pada alat pembakar sampah yang dirancang Pradipta (2011) telah dilengkapi
ruang pengendapan zat padat dan cerobong asap untuk mengurangi gangguan
tersebut. Cerobong asap didesain masuk ke ruang pengendapan zat padat. Hal
tersebut dilakukan agar asap yang membawa partikel-partikel padat tersebut dapat
berputar-putar terlebih dahulu (proses siklomisasi) sehingga partikel-partikel
padat yang terbawa asap dapat mengendap terlebih dahulu di ruang pengendapan
zat padat. Selain itu, ruang pengendapan zat padat oleh Pradipta (2011)
dimanfaatkan untuk mengarangkan batok kelapa.
Modifikasi yang dilakukan pada cerobong asap yaitu mengubah tinggi
cerobong dari 1.175 m menjadi 2 m agar asap hasil pembakaran tidak turun ke
bawah tetapi langsung bercampur dengan udara di atmosfer sehingga tidak
mengganggu kinerja operator. Pada penelitian pendahuluan dimana belum
dilakukan modifikasi ketika awal pembakaran, asap hasil pembakaran masih turun
ke bawah dan banyak keluar dari celah pintu pemasukan sampah. Setelah
dilakukan penambahan tinggi cerobong asap pembakaran ketika diawal
pembakaran berkurang karena aliran udara semakin cepat dan asap tidak turun ke
bawah yang mana mengganggu kinerja operator. Selain mengubah tinggi
cerobong juga ditambahkan jumlah lubang udara pada bagian atas dinding
incinerator sisi kanan dan kiri untuk memperlancar aliran udara pada bagian atas
ruang bakar agar asap pembakaran tidak keluar melalui celah pintu pemasukkan
sampah.
Kualitas asap hasil pembakaran lebih baik setelah dilakukan modifikasi
pada cerobong dengan menambah tinggi cerobong dari 1.175 m menjadi 2 m.
Warna asap setelah dimodifikasi memiliki standar warna asap 20 %-40 % dan
sebelum dimodifikasi 40 %-80 % berdasarkan standar warna asap UNL
Enviromental Health and Safety (2011) dimana nilai kadar asap 20 % adalah nilai
yang diijinkan. Gambar 12 menyajikan perbandingan warna asap sebelum dan
setelah dilakukan modifikasi dan Gambar 13 menyajikan standar warna asap dari

52
UNL Eviromental Health and Safety (2011). Untuk bau asap hasil pembakaran
baik sebelum dan setelah dilakukan modifikasi dominan bau asap pembakaran
secara umum dan kadar zat terbang hasil pembakaran baik sebelum dan setelah
dilakukan modifikasi tidak ada zat terbang yang keluar dari cerobong asap.

Sebelum dimodifikasi

Setelah dimodifikasi

Gambar 12 Perbandingan warna asap sebelum dan setelah dilakukan modifikasi

Gambar 13 Standar warna asap UNL Eviromental Health and Safety (2011)
Suhu ruang bakar baik sebelum dan setelah dilakukan modifikasi tidak
melebihi angka 800 C dimana nilai tersebut adalah suhu yang harus dicapai
sebuah incinerator untuk membakar sampah. Suhu ruang bakar maksimum yang
dapat dicapai sebelum dimodifikasi sebesar 698.9 C dan setelah dilakukan
modifikasi sebesar 718.2 C. Pembakaran dengan menggunakan incinerator pada
temperatur 400 C-600 C sudah dapat menghancurkan sampah organik. Namun
pada suhu tersebut merupakan kondisi yang optimum untuk pembentukan
senyawa dioksin. Dimana senyawa tersebut bersifat karsiogenik (menyebabkan
kanker). Karena suhu ruang bakar belum mencapai lebih dari 800 C maka masih
ada kemungkinan senyawa dioksin dapat terbentuk. Untuk mengurangi senyawa
dioksin hasil pembakaran dari incinerator dapat dilakukan dengan menambahkan

53
unit Air Polution Control (APC) berupa fabric filter (FFs). Selain dapat
mengendalikan dioksin, FFs juga disebut sebagai pengontrol particulat matter
(abu terbang hasil pembakaran). Adanya partikel dalam aliran gas buang biasanya
disertai dengan pembentukan dioksi atau furan pada rekasi permukaan. Oleh
karena itu, pengumpulan partikel ditujukan untuk mengurangi kadar dioksin dan
furan. Bags dalam bentuk lingkaran dengan diameter 15 cm-20 cm yang terbuat
dari fibreglass yang berbentuk anyaman tersusun secara seri. Adanya kipas akan
memaksa gas pembakaran melewati fabric filter yang tersusun rapat. Pori-pori
dari fabric filter sebagai media untuk mengumpulkan partikel dan menahannya
memiliki diameter kurang dari 1m. Gambar 14 menyajikan sketsa fabric fliter.

Gambar 14 Sketsa fabric filter (FFs)


Sumber: www.eimisi.vito.be

Sistem Loading dan Unloading


Sistem loading dan unloading pada incinerator yang dirancang Pradipta
(2011) sudah cukup baik. Namun, ada kelemahan saat proses pemasukan sampah
ke ruang bakar dan pembersihan abu dari ruang bakar yaitu pintu untuk sistem
loading sering menutup dengan sendirinya ketika terbuka karena sudut bukaan
pintu 90. Hal ini membahayakan operator karena adanya resiko kecelakaan atau
cedera ketika proses pemasukan sampah dan pembersihan abu. Selain itu, pintu
pemasukan sampah yang terbuka tegak lurus seperti terlihat pada Gambar 15
operator akan kesulitan untuk melakukan penutupan ketika proses pembakaran
dimulai dimana sebaran api mulai menyebar melalui celah bukaan pintu yang
beresiko menimbulkan luka bakar. Untuk itu dilakukan modifikasi pada pintu
pemasukan sampah dengan menambahkan penyangga menggunakan pipa
berdiameter 0.5 inchi sepanjang 60 cm sehingga sudut bukaan pintu menjadi 60.
Hal ini memudahkan operator ketika melakukan pemasukan sampah ke ruang
bakar dan penutupan pintu pemasukan sampah ketika proses pembakaran sampah
dimulai. Untuk memudahkan proses pengeluran abu ganggang pintu pemasukan
sampah dikaitkan dengan cerobong sehingga tidak menutup dengan sendirinya
ketika proses pembersihan abu berlangsung walaupun sudut bukaan pintu yang

54
terbentuk 90. Gambar 16 menyajikan kondisi pintu pemasukan sampah setelah
ditambahkan penyangga.

Gambar 15 Sudut bukaan pintu pemasukan sampah

Penyangga

Gambar 16 Kondisi pintu pemasukan sampah setelah ditambahkan penyangga


Sebaran suhu rata-rata pada sistem loading dan unloading sebelum dan
setelah dilakukan modifikasi ditunjukkan pada Tabel 19. Dari tabel tersebut
terlihat bahwa suhu pintu pemasukan sampah, pintu pengeluaran abu, dan pintu
pemasukan arang rata-rata diatas 60 C. Pintu pemasukan sampah hanya kontak
langsung dengan operator ketika proses pemasukan sampah dan awal pembakaran
dimana selama proses pembakaran berlangsung pintu pemasukan sampah tidak
dibuka tutup lagi sehingga hal tersebut tidak menimbulkan resiko kecelakaan atau
menyebabkan luka bakar bagi operator. Untuk pintu pengeluaran abu, walaupun
suhu diatas 60 C pintu tersebut dibuka ketika proses pengeluran abu berlangsung
yakni 5 jam-8 jam setelah proses pembakaran dimana incinerator sudah
mengalami pendinginan sehingga tidak menimbulkan resiko luka bakar bagi
operator. Untuk pintu pemasukan arang, dioperasikan pada saat proses pemasukan
arang dimana proses pembakaran belum dimulai sehingga tidak membahayakan
operator. Pintu pemasukan arang terletak pada ruang pengendapan zat padat dan
dioperasikan saat belum dilakukan modifikasi pada alat. Setelah dilakukan
modifikasi pada alat dimana ruang pengendapan zat padat dipasang pipa pemanas
air untuk memanaskan air yang sebelumya ruangan tersebut dimanfaatkan untuk

55
mengarangkan batok kelapa sehingga setelah dilakukan modifikasi pintu tersebut
tidak digunakan lagi untuk sistem loading batok kelapa. Dan untuk pintu
pengeluaran arang memiliki suhu rata-rata dibawah 60 C karena pintu tersebut
terletak pada sisi bawah ruang pengendapan zat padat sehingga aman bagi
operator. Selain itu, setelah dilakukan modifikasi pintu tersebut tidak dioperasikan
lagi untuk pengeluaran arang karena ruangan tersebut tidak lagi digunakan untuk
mengarangkan batok kelapa melainkan untuk memanaskan air melalui pipa
pemanas air.
Tabel 19 Sebaran suhu rata-rata pada sistem loading dan unloading sebelum dan
setelah dilakukan modifikasi
Sebelum modifikasi

Setelah modifikasi

Percobaan

Percobaan

Parameter
I

II

III

IV

Ratarata

II

III

IV

Ratarata

Pintu masuk sampah


(C)

72.60

78.39

86.83

87.49

81.32

49.69

69.41

79.72

79.38

69.55

Pintu pengeluaran
abu(C)

116.4

85.01

98.96

78.32

94.67

58.68

55.96

64.57

70.18

62.34

Pintu masuk arang (C)

103.11

91.02

104.86

91.33

97.58

82.88

152.97

157.26

144.75

134.46

Pintu keluar arang (C)

50.4

52.37

56.49

40.81

50.01

42.99

47.73

43.86

50.27

46.21

Prosedur Keamanan
Prosedur keamanan, kesehatan, dan keselamatan perlu dilakukan untuk
mengurangi resiko kecelakaan bagi operator. Berikut prosedur keamanan dalam
mengoperasikan incinerator:
1. Alat pelindung diri (APD)
Operator harus selalu memiliki alat pelindung diri yang memadai untuk
mengurangi resiko terluka saat mengoperasikan incinerator. Standar APD
umumnya:
- Sarung tangan: gunakan sarung tangan saat menangani sampah.
Sarung tangan tahan panas harus dipakai saat mengoperasikan
incinerator.
- Boots: sepatu keselamatan atau sepatu kulit memberikan perlindungan
ekstra untuk kaki dari cedera oleh benda tajam atau benda berat yang
mungkin secara tidak sengaja jatuh.
- Gunakan pakaian yang menutup seluruh tubuh saat pengoperasian.
- Celemek: celemek tahan panas harus dipakai saat mengoperasikan
incinerator.
- Goggles: kacamata tahan panas dapat melindungi mata dari percikan
api, kecelakaan atau cedera lainnya.
- Respirator mulut untuk mengurangi gangguan asap atau abu terbang.

56
2. Tindakan menjaga kesehatan dan keselamatan operator
- Kebersihan tangan
Mencuci tangan untuk menjaga kebersihan merupakan tindakan
pencegahan terhadap penyebaran penyakit karena operator kontak
langsung dengan sampah. Operator harus selalu menjaga kebersihan
setelah penanganan sampah untuk mengurangi resiko terkontaminasi oleh
berbagai penyakit.
- Pemeriksaan kesehatan
Operator incinerator harus rutin melakukan pemeriksaan kesehatan
setiap 6 bulan sekali dan harus diimunisasi tetanus dan hepatitis B.
- Pertolongan pertama saat terjadi luka
Operator harus: - membiarkan darah terlebih dahulu mengalir dari luka
- mencuci luka dengan air dan sabun
- menggunakan antiseptik untuk membersihkan luka
3. Tindakan terhadap keadaan darurat
Menyediakan peralatan pemadam kebakaran seperti standar pemadam
kebakaran, tumpukan pasir, dan air. Operator harus mengerti prosedur
penggunaan alat pemadam kebakaran. Jauhkan bahan yang mudah terbakar dari
incinerator. Operator harus memastikan pintu loading dan unloading tertutup
saat proses pembakaran agar api tidak keluar dari ruang pembakaran.

Kesempurnaan Pembakaran
Modifikasi yang dilakukan selain untuk meningkatkan faktor keamanan dari
alat juga ditujukan untuk meningkatkan unjuk kerja dari alat. Unjuk kerja
incinerator ditentukan oleh kemampuan incinerator dalam memusnahkan sampah
dan meminimalkan polutan yang dihasilkan dari pembakaran. Unjuk kerja
incinerator yang dirancang oleh Pradipta (2011) ditentukan berdasarkan dua
parameter yaitu kesempurnaan pembakaran dan pemanfaaatan energi panas hasil
pembakaran.
Kemampuan incinerator untuk memusnahkan sampah ditandai dengan
kesempunaan proses pembakaran. Kesempurnaan proses pembakaran dipengaruhi
oleh suhu pada ruang bakar, laju pembakaran, abu hasil pembakaran, dan laju
aliran udara. Suhu ruang bakar harus lebih dari 800 C agar sampah dapat terbakar
dengan sempurna. Selain itu, pembakaran sampah dengan sempurna dapat
meminimalisir kandungan polutan yang dihasilkan dari proses pembakaran. Laju
pembakaran berkaitan berapa lama waktu yang dibutukan untuk membakar
sampah dan berapa banyak sampah yang dapat dibakar. Abu hasil dari proses
pembakaran untuk mengetahui besar persen pengurangan berat sampah setelah
dibakar. Incinerator dapat mengurangi berat sampah 70 %-80 %. Laju aliran
udara mempengaruhi jumlah udara yang masuk ke ruang bakar dan meninggalkan
cerobong yang akan berpengaruh pada jumlah panas yang ada pada ruang bakar.
Modifikasi yang dilakukan untuk meningkatkan suhu ruang bakar adalah
dengan menginsulasi dinding incinerator menggunakan glasswool setebal 2.2 cm
selain untuk mengurangi resiko operator terkena luka bakar juga untuk mencegah
kehilangan panas. Perbandingan nilai tertinggi sebaran suhu ruang pembakaran,
dinding luar ruang pembakaran, suhu inlet cerobong, dan suhu outlet cerobong

57
sebelum dan setelah modifikasi disajikan pada Tabel 20 dan Tabel 21 menyajikan
perbandingan rata-rata sebaran suhu ruang pembakaran, dinding luar ruang
pembakaran, suhu inlet cerobong, dan suhu outlet cerobong sebelum dan setelah
modifikasi.
Tabel 20 Perbandingan nilai tertinggi sebaran suhu ruang pembakaran, dinding
luar ruang pembakaran, suhu inlet cerobong, dan suhu outlet cerobong
sebelum dan setelah modifikasi
Sebelum modifikasi
Percobaan

Parameter

Setelah modifikasi
Percobaan

II

III

IV

Suhu maksimum ruang


bakar atas (C)

107.22

596.80

589.40

592.60

Suhu maksimum ruang


bakar bawah (C)

441.50

665.40

647.60

698.90

251.65

303.20

225.95

306.90

167.00

280.90

232.60

239.10

251.90

302.10

Suhu maksimum
dinding luar (C)
Suhu inlet cerobong
(C)
Suhu outlet cerobong
(C)

Ratarata

Ratarata

II

III

IV

372.60

616.70

718.20

539.60

696.60

653.70

697.70

494.20

271.93

49.70

54.35

55.00

76.55

57.68

281.80

240.58

114.20

73.60

50.80

205.80

111.10

141.20

233.58

108.70

225.60

280.50

312.70

231.87

542.43

598.66

Tabel 21 Perbandingan suhu rata-rata ruang pembakaran, dinding luar ruang


pembakaran, suhu inlet cerobong, dan suhu outlet cerobong sebelum
dan setelah modifikasi
Sebelum modifikasi
Percobaan
Parameter
Suhu ruang bakar atas
(C)
Suhu ruang bakar
bawah (C)
Suhu dinding luar (C)
Suhu inlet cerobong
(C)
Suhu outlet cerobong
(C)

II

III

IV

88.20

229.62

217.62

246.92

Setelah modifikasi
Percobaan
Ratarata

II

III

IV

131.03

198.56

173.7

242.59

196.73

216.66

193.67

214.23

212.89

Ratarata
195.90

251.46

202.77

226.72

239.83

121.43

125.93

91.70

117.98

114.26

40.00

42.77

42.98

44.81

42.64

88.52

125.94

102.7

138.25

113.85

55.53

46.84

40.76

90.62

58.43

133.37

116.99

137.62

59.71

111.92

52.21

93.15

124.94

142.25

103.13

Rata-rata suhu ruang bakar setelah dilakukan modifikasi sebesar 195.89 C.


Nilai tersebut lebih kecil dari sebelum dilakukan insulasi sebesar 212.89 C. Hal
ini disebabkan oleh chimney effect karena penambahan tinggi cerobong menjadi 2
m dari sebelumnya 1.175 m menyebabkan kecepatan aliran udara yang keluar
melalui cerobong lebih cepat dari 1.590 m/s menjadi 1.794 m/s (perhitungan pada
Lampiran 3) sehingga terjadi penurunan suhu ruang bakar. Fenomena chimney
effect adalah udara dengan suhu lebih rendah dan kerapatan lebih tinggi berada di
bagian bawah sedangkan udara dengan suhu lebih tinggi dan kerapatan lebih
rendah berada di bagian atas. Fenomena ini terlihat setelah dilakukan modifikasi
dengan mengubah tinggi cerobong menjadi 2 m dimana suhu rata-rata inlet
cerobong setelah modifikasi sebesar 58.43 C lebih kecil daripada suhu outlet

58
cerobong sebesar 103.13 C. Sebelum dimodifikasi suhu inlet sebesar 113.85 C
lebih besar dari suhu outlet cerobong sebesar 111.92 C.
Selain itu, penurunan suhu tersebut juga dikarenakan jumlah udara yang
masuk ke ruang bakar mengalami penurunan karena kondisi lubang udara tidak
sebaik sebelum dilakukan modifikasi yang mana banyak lubang udara pada
bagian bawah incinerator yang tertutup oleh sisa-sisa pembakaran sampah yang
sulit dibersihkan. Walaupun sudah ditambahkan lubang udara sebanyak tiga
lubang pada sisi kanan dan kiri atas dinding. Namun, udara yang masuk ke ruang
bakar tidak mencukupi kebutuhan jumlah udara yang dibutuhkan untuk proses
pembakaran pada ruang bakar karena proses pencampuran antara udara dengan
sampah tidak merata dimana sebelum dilakukan modifikasi udara yang masuk ke
bagian bawah ruang bakar berasal dari 9 lubang udara dan pada uji kinerja setelah
modifikasi hanya menerima masukan udara dari 3 lubang udara.
Suhu tertinggi yang dapat dicapai sebelum modifikasi sebesar 698.90 C
dan setelah modifikasi sebesar 718.2 C. Suhu tertinggi ruang bakar atas yang
dapat dicapai setelah dilakukan modifikasi sebesar 718.2 C lebih besar dari
sebelum dilakukan modikasi sebesar 596.80 C dan untuk ruang bakar bawah
sebesar 697.7 C lebih kecil 698.9 C dari sebelum dilakukan modifikasi. Hal ini
disebabkan oleh adanya efek insulasi karena selain untuk melindungi operator dari
terkena luka bakar ketika kontak langsung dengan dinding incinerator juga untuk
mencegah kehilangan panas melalui dinding incinerator. Hal tersebut dibuktikan
dengan nilai suhu dinding luar tertinggi setelah dilakukan insulasi menurun
menjadi 61.4 C dari 337.30 C dan rata-rata suhu dinding luarnya menjadi 42.64
C dari 114.26 C. Nilai tersebut menunjukkan bawah kehilangan panas dapat
direduksi dengan menambahkan insulasi. Nilai suhu tertinggi ruang bakar yang
dapat dicapai setelah dilakukan modifikasi lebih besar daripada sebelum
dilakukan modifikasi. Namun, nilai tersebut belum cukup baik untuk sebuah
incinerator yang harus mencapai suhu diatas 800C untuk sampah rumah tangga.
Suhu tertinggi yang dicapai tidak dapat dipertahankan dalam waktu yang lama
karena aliran udara yang meninggalkan cerobong lebih cepat setelah dilakukan
modifikasi.
Kesempurnaan pembakaran dipengaruhi laju pembakaran yang merupakan
perbandingan massa sampah yang dibakar dengan lama waktu pembakaran. Tabel
22 menyajikan perbandingan nilai laju pembakaran sebelum dan setelah dilakukan
modifikasi.
Tabel 22 Perbandingan nilai laju pembakaran sebelum dan setelah dilakukasi
modifikasi
Sebelum modifikasi

Setelah modifikasi

Percobaan

Percobaan

Parameter
I

II

III

IV

Rata-rata

II

III

IV

Rata-rata

Massa sampah (kg)

14.1

4.99

4.37

4.04

6.87

4.182

3.53

3.63

3.70

3.76

Jenis sampah

89.36
%K

45.68
%P

65.38
%P

66.83 %
K

66 %
K

66 %
P

70 %
P

60 %
P

Kadar air sampah (%)

9.90

9.20

10

14.40

10.87

13

10.4

13.82

12.13

12.33

Waktu pembakaran
(menit)

165

90

85

70

102.5

145

90

115

145

59
Sebelum modifikasi

Setelah modifikasi

Percobaan

Percobaan

Parameter
Laju pembakaran
(kg/jam)

II

III

IV

Rata-rata

II

III

IV

Rata-rata

5.13

3.33

3.08

3.46

3.75

3.35

2.35

1.89

1.72

2.33

Keterangan: P = plastik
K = kertas
Waktu yang dibutuhkan untuk proses pembakaran dan massa sampah yang
dibakar berpengaruh terhadap laju pembakaran sampah. Dari hasil uji kinerja alat
pembakar sampah setelah dilakukan modifikasi, rata-rata laju pembakaran lebih
kecil dari sebelum dilakukan modifikasi. Rata-rata laju pembakaran sampah
setelah dilakukan modifikasi sebesar 2.327 kg/jam lebih kecil dari sebelum alat
dilakukan modifikasi sebesar 3.749 kg/jam. Hal ini disebabkan karena rata-rata
suhu ruang bakar mengalami penurunaan setelah dilakukan modifikasi sehingga
mempengaruhi berlangsungnya proses pembakaran sampah. Hal ini ditunjukkan
oleh rata-rata waktu pembakaran setelah dilakukan modifikasi sebesar 123.75
menit lebih lama dari sebelum dilakukan modifikasi sebesar 102.5 menit.
Abu yang dihasilkan dari proses pembakaran menunjukkan apakah
incinerator dapat berfungsi dengan baik atau tidak. Abu yang dihasilkan dari
proses pembakaran merupakan parameter kinerja incinerator dimana incinerator
harus dapat mengurangi berat sampah 70 %-80 %. Tabel 23 menujukkan persen
pengurangan berat sampah sebelum dilakukan modifikasi dan Tabel 24
menyajikan persen pengurangan berat sampah setelah dilakukan modifikasi.
Tabel 23 Persen pengurangan berat sampah sebelum dilakukan modifikasi
Massa tidak terbakar

Percobaan

Massa awal (kg)

Massa abu (kg)

14.1

1.95

0.02

86.19

II

4.99

0.51

0.01

89.76

III

4.37

0.55

0.13

82.15

IV

4.04

0.50

0.06

87.44

(kg)

% pengurangan massa

Tabel 24 Persen pengurangan berat sampah setelah modifikasi


Percobaan
I
II
III
IV

Massa total (kg)


4.182
3.525
3.625
3.700

Massa abu (kg)


0.715
0.380
0.460
0.435

Tidak terbakar (kg)


0.095
0.445
0.69
0.040

Pengurang massa (%)


82.51
87.66
84.33
88.11

Kedua tabel tersebut menunjukkan bahwa incinerator yang dirancang


Pradipta (2011) baik sebelum maupun setelah dilakukan modifikasi dapat
mengurangi persen berat sampah lebih dari 80 % .

60
Pemanfaatan Energi Panas
Pemanfaatan Energi Panas pada Ruang Bakar
Pemanfaatan energi panas pada incinerator yang dirancang oleh Pradipta
(2011) terdapat pada ruang bakar dan ruang pengendapan zat padat. Energi panas
yang dihasilkan dari proses pembakaran sampah digunakan untuk memanaskan air
menggunakan pipa pemanas air yang terpasang pada ruang bakar. Pada pengujian
sebelum dilakukan modifikasi rata-rata debit air yang mengalir pada pipa pemanas
air di ruang bakar sebesar 4.75 liter/menit dan pada uji kinerja setelah dilakukan
modifikasi rata-rata debit air yang digunakan sebesar 3.48 liter/menit. Perbedaan
debit disebabkan karena debit aliran air yang mengalir dari sumber air utama tidak
konstan. Tabel 25 menyajikan perbandingan suhu rata-rata dari suhu pipa, suhu air
masuk, suhu air keluar, dan perubahan suhu air sebelum dan setelah dilakukan
modifikasi dan Tabel 26 menyajikan perbandingan lama waktu pembakaran, debit
air, dan massa total air sebelum dan setelah dilakukan modifikasi. Dari tabel 25
tersebut terlihat bahwa rata-rata perbedaan suhu air yang masuk dan keluar pipa
( suhu air) serta energi yang dapat dimanfaatkan untuk memanaskan air lebih
tinggi sebelum dilakukan modifikasi. Hal ini dipengaruhi oleh pemanfaatan
energi panas pada ruang bakar yang dapat dimanfaatkan pipa untuk memanaskan
air lebih besar sebelum dilakukan modifikasi dengan rata-rata 11.771 MJ
dibandingkan setelah dilakukan modifikasi sebesar 7.511 MJ. Energi yang
dihitung untuk memanaskan air adalah jumlah energi total yang dapat
dimanfaatkan selama proses pembakaran berlangsung. Contoh perhitungan energi
yang dimanfaatkan untuk memanaskan air terlampir pada Lampiran 4. Penurunan
rata-rata energi yang dapat dimanfaatkan untuk memanaskan air disebabkan oleh
rata-rata suhu ruang bakar mengalami penurunan setelah dilakukan modifikasi
karena efek penambahan tinggi cerobong yang mempercepat aliran udara keluar
dari incinerator.
Tabel 25 Perbandingan suhu rata-rata dari suhu pipa, suhu air masuk, suhu air
keluar, dan perubahan suhu air sebelum dan setelah dilakukan
modifikasi
Sebelum modifikasi

Setelah modifikasi

Percobaan

Parameter

Percobaan

II

III

IV

Suhu pipa (C)

59.34

62.53

84.25

87.6

Ratarata
73.43

II

III

IV

92.71

56.93

194.06

74.22

Ratarata
104.48

Suhu air masuk (C)

28.32

28.16

26.42

27.33

27.55

25

26.97

27.15

27.42

26.64

Suhu air keluar (C)

35.01

33.11

31.83

32.60

33.13

29

30.47

32.75

32.9

31.28

suhu air (C)


Energi pemanasan
air (MJ)

6.69

4.95

5.41

5.27

5.58

3.5

5.6

5.48

4.65

21.42

8.87

9.27

7.53

11.77

4.8

4.76

7.63

12.83

7.51

61
Tabel 26 Perbandingan lama waktu pembakaran, debit air, dan massa total air
sebelum dan setelah dilakukan modifikasi
Parameter
I
Lama waktu pembakaran
(menit)
Debit aliran air (L/menit)
Massa total air (kg)

Sebelum modifikasi
Percobaan
II
III
IV

Setelah modifikasi
Percobaan
II
III

IV

165

90

85

70

75

90

115

145

4.62
762.3

4.74
426.6

4.8
408

4.86
340.2

3.84
288

3.6
324

2.82
324.3

3.86
556.8

Hasil uji kinerja setelah dilakukan modifikasi menunjukkan bahwa energi


panas yang dapat dimanfaatkan untuk memanaskan air pada percobaan satu lebih
kecil daripada sebelum dilakukan modifikasi. Walaupun suhu pipa setelah
dilakukan modifikasi lebih tinggi dari sebelum modifikasi. Hal ini dipengaruhi
oleh delta suhu air, lama waktu pembakaran, dan debit air yang mengalir yang
akan berpengaruh pada massa total air. Pada percobaan satu, uji kinerja sebelum
dilakukan modifikasi waktu pembakaran berlangsung lebih lama daripada uji
kinerja setelah dilakukan modifikasi sehingga delta suhu air yang dihasilkan lebih
besar. Selain itu, debit aliran air yang mengalir juga lebih besar yang berpengaruh
pada massa total air.
Hasil percobaan kedua menunjukkan lama waktu pembakaran percobaan
sebelum dan setelah dilakukan modifikasi sama. Energi yang dapat digunakan
untuk memanaskan air setelah dimodifikasi lebih kecil daripada sebelum
dilakukan modifikasi. Hal ini dipengaruhi oleh suhu pipa sebelum dilakukan
modifikasi lebih besar daripada setelah dilakukan modifikasi yang berpengaruh
pada delta suhu air yang dihasilkan dan dipengaruhi oleh debit aliran air sebelum
dimodifikasi juga lebih besar daripada setelah dimodifikasi yang berpengaruh
pada massa total air.
Hasil percobaan ketiga energi yang dimanfaatkan untuk memanaskan air
lebih besar sebelum dilakukan modifikasi. Hal ini dipengaruhi oleh debit aliran air
yang mengalir sebelum dimodifikasi lebih besar daripada setelah dilakukan
modifikasi dimana akan berpengaruh pada massa total air yang dihasilkan.
Hasil percobaan keempat, delta suhu air dan energi yang dimanfaatkan
untuk memanaskan air lebih besar setelah dilakukan modifikasi. Hal ini
dipengaruhi oleh lama waktu pembakaran setelah dilakukan modifikasi lebih lama
daripada sebelum dilakukan modifikasi dan delta suhu air pada uji kinerja setelah
dilakukan modifikasi lebih besar daripada sebelum dilakukan modifikasi.
Dari empat percobaan tersebut yang mempengaruhi jumlah energi yang
dimanfaatkan untuk memanaskan air yaitu debit aliran air dan suhu pipa. Debit
aliran air memengaruhi jumlah massa total air yang dipanaskan. Semakin besar
debit air semakin besar massa air yang keluar semakin banyak energi yang
dikeluarkan untuk memanaskan air. Suhu pipa mempengaruhi delta suhu air,
semakin tinggi suhu pipa semakin tinggi delta suhu air yang dihasilkan sehingga
semakin tinggi energi yang dapat dimanfaatkan untuk memanaskan air. Hal ini
ditunjukkan oleh data setelah dilakukan modifikasi.

62
Pemanfaatan Energi Panas pada Ruang Pengendapan Zat Padat
Alat pembakar sampah yang dirancang Pradipta (2011) dilengkapi dengan
ruang pengendapan zat padat asap. Ruangan tersebut digunakan untuk
mengendapkan zat padat yang terbawa oleh asap sehingga tidak ikut keluar
dengan asap melalui cerobong. Pemanfaatan energi panas pada ruang
pengendapan zat padat sebelum dilakukan modifikasi, ruang pengendapan zat
padat digunakan untuk mengarangkan batok kelapa. Namun, setelah dilakukan
penelitian pendahuluan suhu yang dihasilkan pada ruangan tersebut tidak dapat
mengarangkan batok kelapa sehingga dilakukan modifikasi dengan memasang
pipa pemanas air pada ruang pengendapan zat padat. Selain untuk memanfaatkan
energi panas pada ruang pengendapan zat padat hal ini dilakukan untuk mencegah
pipa pemanas air kontak langsung dengan sampah sehingga air yang dihasilkan
lebih bersih dan untuk mencegah percepatan korosi pada pipa. Tabel 27
menyajikan nilai suhu tertinggi pada ruang pengendapan zat padat dengan jumlah
arang yang dihasilkan dari hasil uji kineja Pradipta (2011), Tabel 28 menyajikan
nilai suhu tertingi pada ruang pengendapan zat padat dengan jumlah arang yang
dihasilkan pada penelitian pendahuluan, dan Tabel 29 menyajikan sebaran suhu
ruang zat padat setelah ditambahkan insulasi.
Tabel 27 Nilai suhu tertinggi pada ruang pengendapan zat padat dengan jumlah
arang yang dihasilkan hasil uji kinerja Pradipta (2011)
Percobaan

Suhu ruang zat padat (C)

Jumlah arang yang


dihasilkan (g)

Suhu rata-rata ruang zat padat (C)

I
II
III
IV
Rata-rata

405
381
390
317
373.25

500
400
250
200
337.5

121.69
122.16
136.64
167.42
136.97

Tabel 28 Nilai suhu tertingi pada ruang pengendapan zat padat dengan jumlah
arang yang dihasilkan pada penelitian pendahuluan
Percobaan
I
II
III
IV
Rata-rata

Suhu ruang zat padat


(C)
167
280.90
232.60
281.80
240.57

Jumlah arang yang


dihasilkan (g)
0
0
0
0
0

Suhu rata-rata ruang


zat padat (C)
88.52
125.94
102.7
138.25
113.85

Tabel 29 Sebaran suhu ruang pengendapan zat padat setelah ditambahkan insulasi
Percobaan
I
II
III
IV
Rata-rata

Suhu maksimum ruang zat padat (C)


44.40
182.30
54.80
63.90
86.35

Suhu rata-rata ruang zat padat (C)


30.28
70.38
43.91
36.94
45.38

Suhu ruang pengendapan zat padat yang dihasilkan ketika dilakukan


pengujian setelah ditambahkan insulasi mengalami penuruan seperti terlihat tabel

63
29. Hal ini terjadi karena terjadi penurunan suhu ruang bakar dan efek dari
penambahan tinggi cerobong yang mempercepat aliran udara meninggalkan
cerobong. Suhu maksimum yang dapat dicapai ruang zat padat mengalami
penurunan dari rata-rata 373.25 C menjadi rata-rata 86.35 C dan suhu rata-rata
ruang pengendapan zat padat mengalami penurunan dari 136.97 C menjadi
45.38 C dimana penurunan suhu yang terjadi tidak dapat digunakan untuk
mengarangkan batok kelapa. Selain itu, berdasarkan data pada penelitian
pendahuluan dimana belum dilakukan modifikasi, ruang pengendapan zat padat
tidak berhasil untuk mengarankan batok kelapa. Suhu maksimum yang dicapai
sebesar 280.90 C dengan rata-rata 113.85 C. Suhu untuk proses pengarangan
berkisar 150 C-300 C. Oleh sebab itu, pada ruang pengendapan zat padat
ditambahkan pipa pemanas air untuk mencoba memanfaatkan energi panas yang
ada. Diameter pipa yang digunakan 0.5 inchi sama dengan diameter pipa pemanas
air pada ruang bakar sehingga hasilnya dapat dibandingkan. Pipa pemanas air
pada ruang pengedapan zat padat memiliki panjang 4.14 m. Gambar 17
menyajikan pipa pada ruang pengendapan zat padat.

Gambar 17 Pipa pada ruang pengendapan zat padat


Tabel 30 menyajikan rata-rata suhu ruang pengendapan zat padat, suhu pipa,
suhu keluar pipa, perbedaan suhu air masuk dan suhu keluar pipa. Rata-rata debit
air yang mengalir pada pipa zat padat sebesar 3.81 L/menit. Suhu air yang keluar
dari pemanas air tertinggi dapat dicapai pada percobaan empat karena pada
percobaaan empat suhu ruang pengendapan zat padat, pipa pemanas air, dan
perbedaan suhu air masuk dan suhu keluar pipa juga mencapai suhu tertinggi. Hal
ini disebabkan karena pada percobaan empat nilai suhu ruang zat padat juga
mencapai suhu tertinggi. Dari tabel tersebut terlihat bahwa perbedaan suhu air
masuk dan keluar pipa tertinggi sebesar 6 C dimana suhu tertinggi air panas yang
dihasilkan sebesar 31 C dari suhu awal 25 C dan perbedaan suhu rata-rata air
masuk dan keluar sebesar 1.57 C dimana suhu rata-rata air panas yang dihasilkan
sebesar 27.9 C dari suhu awal 25 C. Hal ini menunjukkan bahwa ruang tersebut
dapat dimanfaatkan untuk memanaskan air. Suhu air keluar dapat ditingkatkan
dengan mengurangi laju aliran air dari kran sumber air agar kecepatan aliran air
yang mengalir dalam pipa berkurang sehingga waktu untuk memutari pipa lebih
lama.

64
Tabel 30 Sebaran suhu ruang pengendapan zat padat, suhu pipa, suhu keluar pipa,
perbedaan suhu air masuk dan keluar pipa
Percobaan

II

Suhu ruang
pengendapan zat
padat (C)
RataMaksirata
mum
55.53
114.2
73.60
46.84

III

40.76

IV

90.62

Rata-rata

58.43

50.80
205.80
111.1

Suhu pipa (C)


Ratarata
43.26

Maksimum
78.30

44.41

78.30

54.59

97.90

62.45

122.60

51.17

94.28

Suhu air masuk


(C)
Ratarata
25
26.9
7
27.1
5
27.4
2
26.6
3

Suhu keluar
(C)

Perbedaan suhu
air masuk dan
keluar pipa (C)
Rata- Maksirata
mum
2.9
6

Maksimum
25

Ratarata
27.9

Maksimum
31

27

27.47

28.5

0.5

1.5

27.5

28.58

30.5

1.43

27.5

28.88

32

1.46

4.5

26.75

28.20

30.5

1.57

3.75

Energi yang dapat dimanfaatkan untuk memanaskan air dapat dilihat pada
Tabel 31. Perhitungan energi yang dimanfaatkan adalah energi total dan data yang
digunakan dalam perhitungan adalah data rata-rata. Contoh perhitungan terlampir
pada Lampiran 5. Pada percobaan satu, energi yang dimanfaatkan untuk
memanaskan air pada pipa pemanas air yang terpasang di ruang pengendapan zat
padat merupakan nilai terbesar. Hal ini dipengaruhi oleh delta suhu air dan massa
total air yang dipanaskan pada percobaan satu lebih besar dibandingkan dengan
percobaan lain. Pada percobaan dua, energi yang dapat dimanfaatkan untuk
memanaskan air pada pipa pemanas air merupakan nilai terkecil. Hal ini
dipengaruhi oleh delta suhu air dan massa total air yang dipanaskan pada
percobaan dua paling kecil dibandingkan dengan percobaan lain. Hal ini
menunjukkan bahwa energi yang dapat dimanfaatkan untuk memanaskan air
dipengaruhi oleh delta suhu air yang merupakan perbedaan suhu air keluar dan
suhu air masuk serta massa total air yang dipengaruhi oleh debit aliran air dan
lama waktu pembakaran. Semakin besar debit air dan semakin lama waktu
pembakaran maka semakin besar energi yang digunakan untuk memanaskan air
dalam pipa pemanas air.
Energi rata-rata yang dapat dimanfaatkan untuk memanaskan pada ruang
pengendapan zat padat sebesar 3.492 MJ lebih kecil dari pipa pemanas air ruang
bakar dengan nilai pemanfaatan energi sebesar 7.511 MJ. Hal ini dipengaruhi
sebaran suhu ruang dimana pipa pemanas air dipasang dan suhu pipa. Rata-rata
suhu ruang pengendapan zat padat sebesar 58.43 C lebih kecil dari suhu ruang
bakar sebesar 195.90 C dan suhu rata-rara pipa pemanas air pada ruang
pengendapan zat padat sebesar 51.17 C lebih kecil dari suhu pipa pemanas air
pada ruang bakar dengan rata-rata 104.48 C. Namun demikian, hal ini dapat
menjadi alternatif dalam memasang pipa pemanas air karena ketika pipa pemanas
air dipasang pada ruang pengendapan zat padat, pipa tidak kontak langsung
dengan sampah pada saat proses pembakaran sampah sedang berlangsung
sehingga lebih bersih dibandingkan dengan pipa pemanas air yang dipasang pada
ruang bakar dan dapat mencegah percepatan korosi pada pipa pemanas air.

65
Tabel 31

Energi yang dimanfaatkan untuk memanaskan air pada ruang


pengendapan zat padat

Ulangan

Q
(L/menit)

Waktu
(menit)

1
2
3
4

4.02
3.60
4.02
3.84

145
90
115
145

Volume
air (m3)

0.5829
0.3240
0.4623
0.5568
Rata-rata

Massa air
(kg)

T (C)

582.90
324.00
462.30
556.80

2.9
0.5
1.43
1.46

Energi yang
dimanfaatkan
(MJ)
7.10
0.68
2.78
3.41
3.49

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan

1.

2.

3.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:


Modifikasi yang dilakukan adalah menginsulasi dinding incinerator
menggunakan glasswool dengan tebal insulasi 2.2 cm, mengubah tinggi
cerobong menjadi 2 m, membuat penyangga pada sistem loading
menggunakan pipa sepanjang 60 cm dengan diameter 0.5 inchi,
memanfaatkan ruang pengendapan zat padat untuk memanaskan air melalui
pipa pemanas air sepanjang 4.14 m dengan diameter 0.5 inchi yang mana
ruang ini sebelumya dimanfaatkan untuk mengarangkan batok kelapa,
penggantian pipa pemanas air pada ruang bakar, dan penambahan lubang
udara sebanyak 3 buah pada sisi atas kanan dan kiri dinding incinerator.
Modifikasi yang telah dilakukan tersebut berhasil menurunkan suhu dinding
incinerator dimana suhu dinding luar tertinggi setelah dilakukan insulasi
menurun dari 337.30 C menjadi 61.4 C dan rata-rata suhu dinding luarnya
dari 114.263 C menjadi 42.64 C. Dimana penurunan suhu tersebut
menjadikan suhu aman bagi operator saat pengoperasian suatu proses.
Penambahan tinggi cerobong menjadi 2 m berhasil membuat asap tidak turun
ke bawah saat proses pembakaran sampah berlangsung yang mana dapat
mengganggu kinerja operator dan lingkungan sekitar. Penambahan
penyangga pada pintu pemasukkan sampah menggunakan pipa sepanjang 60
cm menjadikan pintu pemasukan sampah tidak menutup dengan sendirinya
saat proses pemasukan sampah dan pengeluaran abu sehingga lebih mudah
dan aman saat dioperasikan.
Hasil uji kinerja sebagai hasil modifikasi insulasi dinding dan penambahan
tinggi cerobong menunjukkan kinerja incinerator mengalami penurunan
terutama pada suhu ruang pembakaran yang menjadi bagian utama dari
sebuah alat pembakar sampah mengalami penurunan. Rata-rata suhu ruang
bakar turun dari 212.89 C menjadi 195.89 C. Suhu tertinggi ruang bakar
atas yang dapat dicapai setelah dilakukan modifikasi sebesar 718.2 C lebih
besar dari sebelum dilakukan modikasi sebesar 596.80 C. Suhu ruang bakar

66
yang baik untuk incinerator harus mencapai > 800C untuk sampah rumah
tangga. Modifikasi pada sistem loading tidak mempengaruhi unjuk kerja
incinerator setelah modifikasi tetapi meningkatkan faktor keamanan alat saat
dioperasikan.

Saran

Dari hasil uji kinerja setelah dilakukan modifikasi disarankan beberapa hal;
sebagai berikut:
1. Pemasangan teknologi APC pada cerobong untuk mereduksi gas polutan
terutama dioksin karena suhu pembakaran yang ada merupakan suhu dimana
gas dioksin terbentuk dimana gas tersebut bersifat karsiogenik. Teknologi APC
yang dapat diterapkan diantaranya fabric hose filter (FFs) dan activated carbon
yang dapat mereduksi polutan dioksin dan furan 50 %- 99.9%.
2. Membuat desain penempatan lubang udara pada bagian bawah ruang bakar
sehingga mengurangi kemungkinan lubang tersebut tertutup oleh sisa
pembakaran sampah sehingga diharapkan proses pembakaran lebih sempurna.
3. Suhu air keluar dapat ditingkatkan dengan mengurangi laju aliran air dari kran
sumber air agar kecepatan aliran air yang mengalir dalam pipa berkurang
sehingga waktu untuk memutari pipa lebih lama.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah et al. 1998. Energi Listrik Pertanian. Bogor (ID): JICA.


Anzola M. 2012. Biomass boiler emissions and chimney height- A review of
practice in the UK and other EU countries. University of Strathclyde
Engineering.
Batterman S. 2004. Findings on an Assessment of Small-scale Incinerators for
Health-care Waste. Geneva (CH): World Health Organization [internet].
[diunduh 2013 April 13]. Tersedia pada: http://smincinerator.pdf.
Bordado JCM, Gomes JFP. 1999. Practical determination of the efficiency of
electrostatic precipitators. Powder and Bulk Engineering, 2 , 37-42. Di
dalam: Quina MJ, Bordado JCM, Quinta FRM. 2011. Air Pollution Control
in Municipal Solid Waste Incinerators, The Impact of Air Pollution on
Health, Economy, Environment and Agricultural Sources.
Khallaf
M,
editor, ISBN: 978-953-307-528-0, InTech, Available [internet]. [Waktu dan
tempat tidak diketahui]. [diunduh 2013 Februari 27]. Tersedia pada:
http://www.intechopen.com/books/the-impact-of-air-pollutionon
health
economy-environment-andagricultural-sources/air-pollution-control
in
municipal-solid-waste-incinerators.

67
[BREF] The BAT (Best Available Techniques) Reference Document. 2006.
Integrated pollution prevention and control reference document on the best
available techniques for waste incineration. Di dalam: Quina MJ, Bordado
JCM, Quinta F RM. 2011. Air Pollution Control in Municipal Solid
Waste
Incinerators, The Impact of Air Pollution on Health, Economy,Environment
and Agricultural Sources. Khallaf M, editor, ISBN: 978 953-307-528-0,
InTech, Available [internet]. Portugal (PT): n Tech Europe. hlm. 339;
[diunduh
2013
Februari
27].
Tersedia
pada:
http://www.intechopen.com/books/the-impact-of-air-pollution-onhealthe
economy-environment-andagricultural-sources/air-pollution-control
inmunicipal -solid-waste-incinerators.
Budiman A. 2001. Modifikasi desain dan uji unjuk kerja alat pembakar sampah
(incinerator) tipe batch. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
engel AY, Robert TH. 2001. Fundamentals of Thermal-Fluid Sciences. New
York: Mc-Graw-Hill.
CV Mekar Jaya Technic. [tahun tidak diketahui]. Rockwool [internet]. Diunduh
2013 Februari 18. Tersedia pada: rockwool.html.
Damanhuri E, Padmi T, Azhar N , Meilany LT . 1989 : Pengkajian laju timbulan
sampah di Indonesia. Bandung: Pus.Lit.Bang.Pemukiman Dept PU-LPM
ITB. Didalam: Damanhuri E, Tri P. 2010. Diktat Kuliah TL-3104
Pengelolaan Sampah [internet]. Bandung (ID): Program Studi Teknik
Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi
Bandung. hlm 13; [diunduh 2013 Februari 13]. Tersedia pada:
http://hmtl.itb.ac.id/wordpress/wp-content/uploads/2011/03/DiktatSampah2010.pdf.
Damanhuri E, Padmi T. 2010. Diktat Kuliah TL-3104 Pengelolaan Sampah
[internet]. Bandung (ID): Program Studi Teknik Lingkungan Fakultas
Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung. hlm 75; [diunduh
2013 Februari 13]. Tersedia pada: http://hmtl.itb.ac.id/wordpress/wpcontent/uploads/2011/03/DiktatSampah-2010.pdf.
DEFRA. 2007 . Incineration of municipal solid waste, Report of Department for
Environment, Food & Rural Affairs, UK. Di dalam: Quina M J1, Bordado J
C M2, Quinta F RM. 2008a, Air pollution control in municipal solid waste
incinerators [internet]. [Waktu dan tempat tidak diketahui]. Portugal (PT):
1
Research Centre on Chemical Processes Engineering and Forest Products,
Department of Chemical Engineering, University of Coimbra dan
2
Department of Chemical and Biological Engineering, IBB, Instituto
Superior Tcnico. hlm 2; [diunduh 2013 Februari 27]. Tersedia pada:
www.intechopen.com/download/pdf/18646.
[EPA] Environmental Protection Agency. 1989. Operation and maintenance of
hospital medical waste incinerators. North Carolina (NC): EPA. hlm: 48;
[internet].
[diunduh
2013
November
22].
Tersedia
pada:
http://www.epa.gov/osw/nonhaz/industrial/medical/mwpdfs/rti3/6.pdf.
[EPA] Environmental Protection Agency. 1990. Handbook Operation and
Maintenance of Hospital Medical Waste Incinerator. United States (US):
Office of air quality planning and standards and air and energy engineering
research laboratory, U. S. enviromental protection agency research triangle

68
park, center for environmental research information, office of research ang
development, U. S. enviromental protection agency, cincinnati.
[EPA] Environmental Protection Agency (1990), UNDP (2003), dan De Montfort.
Didalam Batterman S. 2004. Findings on an Assessment of Small-scale
Incinerators for Health-care Waste. Geneva (CH): World Health
Organization. hlm: 26; [internet]. [diunduh 2013 April 13]. Tersedia pada:
http://smincinerator.pdf.
EURITS. 2002. Overview of information on Eurits members. Di dalam: [BREF]
The BAT (Best Available Techniques) Reference Document. 2006.
Integrated pollution prevention and control reference document on the best
available techniques for waste incineration [internet]. Spain (ES): European
Commission. hlm 200; [diunduh 2013 Maret 12]. Tersedia pada:
http://eippcb.jrc.ec.europa.eu/reference/BREF/wt_bref_0806.pdf.
Hadiwiyoto S. 1983. Penanganan dan Pemanfaatan Sampah [internet]. Jakarta
(ID): Yayasan Idayu. [diunduh 2013 Maret 30]. Tersedia pada:
books.google.com/books?id=KmbqGwAACAAJ.
Istam YC. 2007. Respon lumut kerak pada vegetasi pohon sebagai indikator
pencemaran udara di kebun raya bogor dan hutan kota manggala wana bakti.
[skripsi]. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata,
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Jenkins BM, Baxter LL, Miles Jr TR , Miles TR. 1998. Combustion properties of
biomass, Fuel Processing Technology, 54, pp. 1746. Di dalam: Quina MJ,
Bordado JCM, Quinta FRM. 2008a, Air pollution control in municipal solid
waste incinerators [internet]. [Waktu dan tempat tidak diketahui]. Portugal
(PT): 1Research Centre on Chemical Processes Engineering and Forest
Products, Department of Chemical Engineering, University of Coimbra dan
2
Department of Chemical and Biological Engineering, IBB, Instituto
Superior Tcnico. hlm 2; [diunduh 2013 Februari 27]. Tersedia pada:
www.intechopen.com/download/pdf/18646.
Khandelwal M. 2007. Thermal insulation [Internet]. [Waktu dan tempar
pertemuan tidak diketahui]. Gujarat (IN): Nirma Limited. hlm 1-13;
[diunduh
2013
Februari
14].
Tersedia
pada:
www.energymanagertraining.com/Documents/Manish-(A)-EE07.pdf.
Lienhard IV John H, Lienhard V John H. 2011. A Heat Transfer Textbook.
Massaclucetts (US): Philogiston Pr.
Maxpell Technolgy. 2008. Incinerator alat pembakar sampah ramah lingkungan
Maxpell Technology. Bandung: Maxpell Technology [internet]. [diunduh
2013 Februari 12]. Tersedia pada: www.maxpelltechnology.com.
McCabe Warren L et al.2005. Unit Operation of Chemical Engineering [internet].
7th edition. McGraw-Hill: Singapore (SG). [diunduh 2013 Maret 30].
Tersedia pada: books.google.com/books?isbn=0071247106.
McGuinn YC, Louis T. 1992. Pollution Prevention. New York (GB): Van
Nostrand Reinhold.
Patrick PK. 1980. WHO activities in the field of solid waste management.
Didalam: Schelhaas RM, Solid waste disposal and utilization in developing
countries: proceedings of the VAM/ KIT Workshop [internet]. [Amsterdam,
13-17 Oktober 1980]. Amsterdam (NL): Koninklijk Instituut voor de Tropen;

69
[diunduh
2013
Maret
30].
Tersedia
pada:
http://trove.nla.gov.au/work/19247078?selectedversion=NBD4788997.
Perry RH, Chilton CH. 1973. Chemical Engineers Handbook Fifth Edition
[internet]. Kogakusha (JP): Mc Graw-Hill LTD. [diunduh 2013 Maret 30].
Tersedia pada: books.google.com/books?isbn=0071593136.
Peteves SD, Tzimas E . 2000. NOx and dioxin emissions from waste incineration
waste. [internet]. [Waktu dan tempar pertemuan tidak diketahui]. European
(EUR): Energy Technology Observatory Institute for Energy. hlm 32-41;
[diunduh
2013
Februari
27].
Tersedia
pada:
www.prewin.eu/index.php/download/category/47-infodocs?...14...
Pichel J. 2005. Waste Management Practices Municipal,Hasardous, and
Industries.CRC Pr: New York (GB). [diunduh 2013 Maret 30]. Tersedia
pada: books.google.com/books?isbn=0849335256.
Porges J, Porges F. 1979. Handbook of Heating and Air Conditioning Seventh
Edition. Newwes Butterworth, London (GB): U.K.
Pradipta ANG. 2011. Desain dan uji kinerja alat pembakar sampah (incinerator)
tipe batch untuk perkotaan dilengkapi dengan pemanas air. [skripsi]. Bogor:
Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Purwadaria H et al. 1996. Termodinamika Teknik dan Pindah Panas. Bogor (ID):
FATETA IPB Bogor.
Rodriguez NJ, Yanez-Limon M, Gutierrez-Miceli FA, Gomez-Guzman O,
Matadamas-Ortiz TP, Lagunez-Rivera L, Feijoo JAV. 2011. Assessment of
coconut fibre insulation characteristics and its use to modulate temperatures
in concrete slabs with the aid of a finite element
methodology. Mexico
[MX]. Elsevier B. V.
Roosita H. 2007. Memprakirakan Dampak Lingkungan Kualitas Udara [internet].
Jakarta (ID): Deputi Bidang Tata Lingkungan-Kementerian Negara
Lingkungan Hidup Republik Indonesia. hlm 23; [diunduh 2013 Maret 9].
Tersediapada:http://www.esp2indonesia.org/sites/default/files/publications/
ESP1_udara.pdf.
The Engineering ToolBox. [tahun tidak diketahui]. Insulation material and
temperature ranges [internet]. Diunduh 2013 Februari 18. Tersedia pada:
The Engineering ToolBox.insulation-temperatures-d-922.html.
[UNL] University of Nebraska Lincoln. 2011. Safe operating procedure [internet].
Nebraska (NE): University of Nebraska Lincoln. hlm 7; [diunduh 2013 Mei
03]. Tersedia pada: http://ehs.unl.edu/sop/s-opacity_emissions.pdf.
UPA Direct. 2002. Glasswool Insulation Batts [internet]. North Malbourne (AU):
UPA Direct. hlm 1-2; [diunduh 2013 Februari 27]. Tersedia pada:
www.upadirect.com.au/files/UPA%20Insulation%20Batt.pdf.
USEPA Control of Nitrogen Oxides Emmisions. 2000. NOx reduction technique
and control measures. [internet]. [Waktu dan tempat]. North Tryon: MCAQ.
hlm
2;
[diunduh
2013
Februari
27].
Tersedia
pada:
charmeck.org/mecklenburg/.../NOxReductionhandoutFINAL.pdf.
Vatavuk WM. 1995. Generic Equipment and Device. [internet]. North Carolina
(NC): Enviromental protection and agency. hlm 36: EPA/452/B-01-001.
[diunduh
2013
April
23].
Tersedia
pada:
http://www.epa.gov/ttn/catc/dir1/cs2ch1.pdf.

70
WILSON DG (Editor). 1977. Handbook of solid waste management. [tempat
tidak diketahui]: Van Nostrand Reinhold Company. Didalam: Damanhuri E,
Tri P. 2010. Diktat Kuliah TL-3104 Pengelolaan Sampah [internet]. Bandung
(ID): Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan
Lingkungan, Institut Teknologi Bandung. hlm 74; [diunduh 2013 Februari
13].
Tersedia
pada:
http://hmtl.itb.ac.id/wordpress/wpcontent/uploads/2011/03/DiktatSampah-2010.pdf.
World Bank Technical Guidance Report. 1999. Municipal Solid Waste
Incineration. WB Washington DC (US): World Bank. Didalam: Damanhuri
E, Tri P. 2010. Diktat Kuliah TL-3104 Pengelolaan Sampah [internet].
Bandung (ID): Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan
Lingkungan, Institut Teknologi Bandung. hlm 5; [diunduh 2013 Februari 13].
Tersedia
pada:
http://hmtl.itb.ac.id/wordpress/wpcontent/uploads/2011/03/DiktatSampah-2010.pdf.
Yokoyama S. 2008. A Guaide for Biomass production and utilization [internet].
Japan (JP): The Japan Institute of Energy. [diunduh 2013 Maret 30].
Tersedia
pada:
http://www.jie.or.jp/biomass/AsiaBiomassHandbook/English/Part-0_E080917.pdf.

71

LAMPIRAN
Lampiran 1 Contoh perhitungan debit aliran air pada penelitian pendahuluan
Percobaan I:
Volume (L)
1
1
1
Rata-rata
Q (L/ s) =

Waktu (detik)
12.75
12.94
12.76

Debit (L/s)
0.07
0.07
0.07
0.07

Debit (L/ menit)


4.2
4.2
4.2
4.2

V
1
=
= 0.07 L / s = 4.2 L / menit
t 12.75

Lampiran 2 Data pengukuran nilai konduktivitas termal glasswool


Ulangan
1
2
3
Rata-rata

T1 (C)
27
27
28
27.33

T (C)
18
18
18
18

T (C)
36
36
37
36.33

k (W/ m K)
0.0402
0.0413
0.0406
0.0407 0.040

Lampiran 3 Perhitungan kecepatan aliran cerobong setelah modifikasi


Ti = suhu aliran cerobong = 109.69 C = 110 C = 383 K
To = suhu lingkungan = 30.5 C = 303.5 K
Diameter cerobong = 0.10 m
1
1
A cerobong = D 2 = (0.10) 2 = 0.00785 m 2
4
4
Q = debit aliran udara (m3/s)
h = tinggi cerobong = 2 m
T To
Q = k A 2 g h i
Ti

383 303.5
3
= 0.65 0.0078 2 9.81 2
= 0.014 m / s
383

Q = vA
Q
0.014
v= =
= 1.794 m/s
A 0.0078

Lampiran 4 Contoh perhitungan pemanfaatan energi panas pada ruang bakar


Pemanfaatan energi panas pada ruang bakar sebelum modifikasi
Ulangan

Q
(L/menit)

Waktu
(menit)

Volume
air (m3)

Massa air
(kg)

T (C)

1
2
3
4

4.62
4.74
4.80
4.86

165
90
85
70

0.7623
0.4266
0.4080
0.3402

762.30
426.60
408.00
340.20

6.69
4.95
5.41
5.27

Energi yang
dimanfaatkan
(MJ)
21.42
8.87
9.27
7.53

72
Volume air (m 3 ) = Q waktu 10 3 = 4.62 165 10 3 = 0.7623
air = 1000 kg/m3
m
=
v
m = v = 1000 0.7623 = 762 .30 kg
Energi yang dimanfaatkan (Q)
cair = 4200 J/kgC
T (C) = Tout -Tin = 35.01-28.32=6.69 C
Q = m c T = 762 .30 4200 6.69 = 21419105 .40 kJ = 21.42 MJ

Lampiran 5 Contoh perhitungan pemanfaatan energi panas pada ruang


pengendapan zat padat
Ulangan

Q
(L/menit)

Waktu
(menit)

1
2
3
4

4.02
3.60
4.02
3.84

145
90
115
145

Volume
air (m3)

0.5829
0.3240
0.4623
0.5568
Rata-rata

Massa air
(kg)

T (C)

582.90
324.00
462.30
556.80

2.9
0.5
1.43
1.46

Volume air (m 3 ) = Q waktu 10 3 = 4.02 145 10 3 = 0.5829


air = 1000 kg/m3
m
=
v
m = v = 1000 0.5829 = 582.90kg
Energi yang dimanfaatkan (Q)
cair = 4200 J/kgC
T (C) = Tout -Tin = 27.90-25=2.9 C
Q = m c T = 582 .90 4200 2.9 = 7099722 .00 kJ = 7.10 MJ

Energi yang
dimanfaatkan
(MJ)
7.10
0.68
2.78
3.41
3.49

73

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Wonogiri pada tanggal 15 Juni 1991 dari ayah Suyadi
dan ibu Warsini. Penulis adalah putri kedua dari dua bersaudara. Tahun 2009
penulis lulus dari SMA Negeri 1 Wonogiri dan pada tahun yang sama penulis
lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk IPB dan diterima di Departemen Teknik Pertanian, Mayor Teknik
Pertanian yang mana pada tahun 2010 berubah nama menjadi Departemen Teknik
Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Peratanian.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum Fisika
TPB pada tahun 2010/2011. Penulis juga aktif mengajar privat untuk siswa SD,
SMP, dan SMA. Penulis juga pernah aktif sebagai bendahara Departemen Bisnis
dan Kewirausahaan BEM FATETA 2010/2011 dan sekretaris Departemen
Akademi dan Profesi BEM FATETA 2011/202. Bulan Juni-Agustus 2012 penulis
melaksanakan Praktik Lapangan di PT Sido Muncul, Semarang dengan judul
Mempelajari Proses Produksi Bioetanol di PT Sido Muncul, Semarang.
Penulis juga aktif mengikuti lomba menulis surat untuk rektor tingkat IPB
dan meraih juara III. Selain itu juga mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa
(PKM) dan berhasil didanai dikiti untuk PKM-K (Pekan Kreativitas MahasiswaKewirausahaan) dengan judul Dodol Agar-agar Waran-Warni sebagai Jajanan
Sehat Kaya Akan Serat dan PKM-T (Pekan Kreativitas Mahasiswa-Teknologi)
dengan judul Mesin Cassava Rutris Solusi Hemat Sahabat Usaha Kecil Menengah
(UKM) Opak dan Kripik Singkong Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai