Anda di halaman 1dari 80

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di dalam segala aktifitas pekerjaan sebuah perusahaan, sering kali muncul
perselisihan yang terjadi antara pekerja/buruh dengan pimpinan perusahaan. Dan
sering mendengar berbagai nama serikat pekerja/buruh salah satu diantaranya
Federasi

Serikat

Pekerja

Metal

Indonesia

(FSPMI)

yang

bisa

membantu

menyelesaikan permasalahan tersebut.


Serikat pekerja/buruh adalah sebagai wadah organisasi pekerja/buruh yang
memegang peranan penting dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial,
Pasal 87 UU No. 2 tahun 2004 secara tegas memberi wewenang kepada serikat
pekerja/buruh menjadi kuasa hukum untuk beracara di pengadilan hubungan
industrial untuk mewakili anggotanya. Disamping wewenang tersebut, serikat
pekerja/buruh juga tetap diberikan wewenang untuk mewakili pekerja/buruh yang
menjadi anggotanya dalam perundingan-perundingan dengan pihak pengusaha.
Maka dari itu sangat penting sekali untuk pekerja/buruh yang bekerja di perusahaanperusahaan untuk masuk menjadi anggota organisasi pekerja/buruh, untuk
meletakkan hak pekerja/buruh pada porsi yang lebih baik.
Pekerja/buruh sebagai warga Negara Indonesia mempunyai persamaan
kedudukan dalam hukum, hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak,
mengeluarkan pendapat, berkumpul dalam satu organisasi, serta mendirikan dan
menjadi anggota serikat pekerja/buruh. serikat pekerja/buruh merupakan mitra kerja
bagi pengusaha, aktivitas yang dilakukan tidak hanya memperjuangkan kepentingan
anggota untuk peningkatan kesejahteraannya, tetapi juga membantu peningkatan
partisipasinya dalam rangka menjaga kelangsungan dan pengembangan usaha
perusahaan. Dengan demikian, kehadiran serikat pekerja/buruh di perusahaan tidak
menambah masalah bagi perusahaan, tetapi dapat membantu menyelesaikan
masalah yang dihadapi perusahaan, khususnya yang berkaitan dengan peningkatan

disiplin dan etos kerja. Hal ini sekaligus dapat menghilangkan pandangan negatif
terhadap serikat pekerja/buruh, tetapi kehadirannya membawa angin segar yang
sangat diperlukan dalam pertumbuhan usaha guna menumbuh kembangkan
hubungan industrial yang sehat dan dinamis, dibutuhkan serikat pekerja/buruh yang
bertanggungjawab, demokratis, dan dan dikelola oleh pimpinan perusahaan yang
professional. Dalam memperjuangkan kepentingan masing-masing diharapkan agar
kedua belah pihak saling memahami dan menghormati kepentingan pihak lainnya.
Namun kenyataannya bahwa perselisihan antara pekerja/buruh dan perusahaan
yang tidak dapat dihindari. Perselisihan perburuhan yang terjadi antara pekerja/buruh
dengan pengusaha sering mengarah kepada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Gejala PHK perlu menjadi perhatian utama pemerintah karena hal ini dapat
memperbesar angka pengangguran dan menurunkan daya beli masyarakat. PHK
dapat terjadi karena telah berakhirnya waktu tertentu yang telah disepakati bersama
atau diperjanjikan sebelumnya, dan dapat pula terjadi karena adanya perselisihan
perburuhan yang biasanya merugikan pekerja/buruh.
Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/buruh, dan pemerintah dengan segala
upaya harus mengusahakan agar tidak terjadi PHK, disadari atau tidak PHK
merugikan kedua belah pihak yaitu antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Bagi
pekerja/buruh dengan berakhirnya hubungan kerja berarti kehilangan mata
pencaharian dan merupakan permulaan dari segala kesengsaraan, bila tidak segera
mendapat pekerjaan kembali di tempat lain, sedangkan bagi perusahaan terjadinya
PHK merupakan suatu kerugian karena harus melepaskan tenaga kerjanya yang
selama ini sadar atau tidak sadar sudah dilatih dengan mengeluarkan ongkos yang
banyak dan sudah mengetahui cara-cara kerja yang dibutuhkan pengusaha. Apabila
segala upaya telah dilakukan, tetapi PHK tidak dapat dihindari, maka maksud PHK
wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/buruh atau dengan
pekerja/buruh, apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota
serikat pekerja/buruh agar tidak merugikan semua pihak.

Dengan demikian jelaslah bahwa keberadaan serikat pekerja/buruh sangat


penting artinya dalam rangka memperjuangkan, membela dan melindungi hak dan
kepentingan pekerja/buruh serta melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya. Berdasarkan hal-hal yang telah
diuraikan diatas, maka penulis tertarik untuk menyusun skripsi dengan judul
Tanggung Jawab Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Cabang
Kabupaten Karawang Dalam Pendampingan Pekerja/Buruh yang Terkena
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.1
B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana peranan serikat pekerja/buruh FSPMI cabang Kabupaten
Karawang dalam dalam proses pendampingan terhadap pekerja/buruh yang
mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ditinjau dari Undang-Undang
Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
b. Bagaimana hambatannya yang mempengaruhi serikat pekerja/buruh FSPMI
dalam proses pembelaan pekerja/buruh yang terkena Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK)
c. Upaya seperti apa yang dilakukan serikat pekerja/buruh FSPMI untuk
mengatasi

proses

Pemutusan

Hubungan

Kerja

(PHK)

terhadap

pekerja/buruh.
C. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui peranan serikat pekerja/buruh FSPMI cabang Kabupaten
Karawang dalam dalam proses pendampingan terhadap pekerja/buruh yang
mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ditinjau dari Undang-Undang
Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
b. Untuk mengetahui hambatannya yang mempengaruhi serikat pekerja/buruh
FSPMI dalam proses pembelaan pekerja/buruh yang terkena Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK)
c. Untuk mengetahui upaya seperti apa yang dilakukan serikat pekerja/buruh
FSPMI untuk mengatasi proses Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap
pekerja/buruh.
1

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2003 tentang Serikat Pekerja/Buruh

D. Mamfaaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan berguna baik secara teoritis maupun praktis.
Dengan kata lain kegunaan teoritis berarti hasil penelitian memberikan kontribusi
secara teoritis bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan secara praktis berarti hasil
penelitian memberikan kontribusi dalam pengambilan kebijakan guna perbaikan
kedepan
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan sebagai sumbangan pemikiran bagi
ilmu hukum pada umumnya dan pada bidang hukum hukum ketenagakerjaan
khususnya.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan sebagai sumbangan pemikiran bagi
kalangan akademisi dan praktisi dalam penjabaran mengenai Tanggung
Jawab Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Cabang Kabupaten
Karawang Dalam Pendampingan Pekerja/Buruh yang Terkena Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan. Selain itu juga memberikan masukan bagi
pemerintah, pemerintah daerah, pengusaha dan pekerja/buruh, serta serikat
pekerja/buruh mengenai meminimalisir perselisihan hubungan industrial
dalam kasus PHK.
E. Kerangka Pemikiran
Partisipasi pekerja dalam hubungan industrial dapat dilakukan secara langsung
dan atau melalui sistem perwakilan dalam bentuk serikat pekerja. Sebab itu,
partisipasi pekerja dalam hubungan industrial, juga merupakan perwujudan hak dan
kebebasan pekerja berorganisasi dan mengeluarkan pendapat yang dijamin oleh
Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang dan peraturan lainnya.
Indonesia telah dengan susah payah berjuang untuk merebut kemerdekaan dari
penjajah termasuk untuk memperoleh pengakuan atas hak-hak mengatur Negara
sendiri. Setelah berhasil merebut kemerdekaan tersebut, para pendahulu dan
pejuang bangsa dalam preambul dan pasal-pasal Undang-undang Dasar 1945,
secara tegas dan eksplisit menyatakan bahwa:
- Kemerdekaan adalah hak segala bangsa;
- Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan;
4

Pemerintah menjamin hak berorganisasi dan hak berbicara;


Pemerintah menjamin kebebasan setiap orang memeluk agama yang

diyakininya dan beribadah menurut iman kepercayaannya;


Pemerintah menjamin kebebasan memilih pekerjaan yang sesuai dengan

kemampuannya;
Tiap orang termasuk yang sudah bekerja, berhak mendapat pendidikan dan
pelatihan.

Dapat disimpulkan bahwa Undang-undang Dasar 1945 menjamin pekerja untuk


membentuk atau menjadi anggota serikat pekerja. Di setiap perusahaan perlu
dibentuk serikat pekerja bukan saja untuk mengakomodasikan hak mereka untuk
membentuk serikat pekerja, akan tetapi karena serikat pekerja mempunyai peranan
yang sangat penting. 2
Kehadiran organisasi pekerja dimaksudkan untuk memperjuangkan hak dan
kepentingan pekerja, sehingga tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh pihak
pengusaha.

Keberhasilan

tergantung

dari

kesadaran

para

pekerja

untuk

mengorganisasikan dirinya, semakin baik organisasi itu, maka akan semakin kuat.
Sebaliknya semakin lemah, maka semakin tidak berdaya dalam melakukan
tugasnya. Karena itulah kaum pekerja di Indonesia harus menghimpun dirinya dalam
suatu wadah atau organisasi.3
Pada dasarnya Hubungan kerja yaitu hubungan antara pekerja/buruh dengan
pengusaha/majikan, terjadi setelah diadakan perjanjian oleh pekerja/buruh dengan
pengusaha/majikan, dimana pekerja/buruh menyatakan kesanggupannya untuk
bekerja

pada

pengusaha/majikan

pengusaha/majikan

menyatakan

dengan

menerima

kesanggupannya

upah

untuk

dan

dimana

mempekerjakan

pekerja/buruh dengan membayar upah. Perjanjian yang sedemikian itu disebut


perjanjian kerja istilah perjanjian kerja menyatakan bahwa perjanjian ini mengenai
kerja, yakni dengan adanya perjanjian kerja timbul kewajiban suatu pihak untuk
2

Prof. Dr. Payaman J. Simanjuntak, Manajemen Hubungan Industrial, (Jakarta : Lembaga


Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 2011), hal. 19
3
Lalu Husni, SH., M. Hum, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2007), hal. 37-38

bekerja . perjanjian kerja harus memuat ketentuan-ketentuan yang berkenaan


dengan hubungan kerja itu, yakni hak dan kewajiban pekerja/buruh serta
pengusaha/majikan. Ketentuan-ketentuan ini dapat pula ditetapkan dalam peraturan
pengusaha/majikan

yaitu

peraturan

yang

secara

sepihak

ditetapkan

oleh

pengusaha/majikan (reglement) juga disebut peraturan perusahaan, serta dalam


suatu perjanjian, hasil musyawarah antara organisasi pekerja/buruh dengan pihak
pengusaha/majikan yang disebut perjanjian perburuhan.4
Dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 13

Tahun

2003

tentang

Ketenagakerjaan disebutkan bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian


kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. Perjanjian kerja dibuat secara tertulis
atau lisan. Jadi, hubungan kerja adalah hubungan (hukum) antara pengusaha
dengan pekerja/buruh (karyawan) berdasarkan perjanjian kerja. Dengan demikian,
hubungan kerja tersebut adalah sesuatu yang abstrak, sedangkan perjanjian kerja
adalah sesuatu yang konkret atau nyata. Dengan adanya perjanjian kerja, akan ada
ikatan antara pengusaha dan pekerja. Dengan perkataan lain, ikatan karena adanya
perjanjian kerja inilah yang merupakan hubungan kerja.
Perjanjian kerja adalah perjanjian yang dibuat antara pekerja/buruh (karyawan)
dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memenuhi syarat-syarat kerja, hak dan
kewajiban para pihak (Pasal 1 angka (14) Undang-Undang Ketenagakerjaan).
Perjanjian kerja dapat dibuat secara lisan (Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang
Ketenagakerjaan).
Syarat sahnya perjanjian kerja, mengacu pada syarat sahnya perjanjian perdata
pada umumnya, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata,
Burgerlijke Wetbook), pengertian perjanjian kerja (arbeidsovereenkomst) terdapat
dalam Pasal 1601 a, yaitu suatu perjanjian di mana pihak yang satu (buruh),
mengikatkan diri untuk bekerja pada pihak yang lain (majikan), selama waktu tertentu
dengan menerima upah. Pengertian tersebut terkesan hanya sepihak saja, yaitu
hanya buruh yang mengikatkan diri untuk bekerja pada majikan (pengusaha). Prof.
4

Prof. Imam Soepomo, SH, Pengantar Hukum Perburuhan, (Jakarta : Djambatan, 2003),
hal. 70-71

Soepomo berpendapat bahwa perjanjian kerja seharusnya adalah suatu perjanjian di


mana pihak yang satu (buruh) mengikatkan diri untuk bekerja pada pihak lain
(majikan) selama waktu tertentu dengan menerima upah dan pihak lain (majikan)
mengikatkan diri untuk mempekerjakan pihak yang satu (buruh) dengan membayar
upah.
Sementara Prof. Subekti memberikan pengertian, perjanjian kerja adalah suatu
perjanjian antara seorang majikan yang ditandai dengan ciri-ciri adanya upah atau
gaji tertentu, adanya suatu hubungan atas bawah (dietsverhouding), yakni suatu
hubungan atas dasar pihak yang satu, majikan berhak memberikan perintah yang
harus harus ditaati oleh pihak lainnya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam perjanjian kerja, setidaktidaknya mengandung empat unsur, yaitu ada unsur pekerjaan, ada upah, dan ada
(di bawah) perintah serta ada waktu tertentu. Dengan dipenuhinya unsur tersebut,
jelaslah ada hubungan kerja baik yang dibuat dalam bentuk perjanjian kerja tertulis
maupun lisan.5
Dalam melakukan hubungan kerja sudah pasti terjadi persamaan dan
perbedaan, dan dapat melahirkan perselisihan, pertentangan, dan konflik. Dalam
bidang perburuhan timbulnya perselisihan antara pengusaha dengan pekerja/buruh
biasanya berpokok pada pemutusan hubungan kerja (PHK), masalah mengenai
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) selalu menarik untuk dikaji dan ditelaah lebih
mendalam. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) telah memiliki pengaturan tersendiri.
Namun, undang-undang yang mengatur mengenai PHK tersebut juga memiliki
beberapa kelemahan. Karena law inforcement yang terdapat di lapangan juga masih
sangat rendah, sehingga infrastruktur penegakan hukum tidak mampu untuk
melaksanakan apa yang sudah diatur dalam undang-undang. Dalam literatur hukum
ketenagakerjaan dikenal adanya beberapa jenis pengakhiran hubungan kerja (PHK),
yaitu: PHK oleh pengusaha, PHK oleh pekerja, PHK demi hukum, dan PHK oleh
pengadilan.6
5
6

Andrian Sutedi, SH., MH, Hukum Perburuhan , (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 45-48
Andrian Sutedi, SH., MH, Hukum Perburuhan , (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 56-66

F. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif dan empiris
a. Jenis penelitian secara normatif dilakukan dengan mempelajari normanorma yang ada atau peraturan perundang-undangan yang erat
kaitannya dengan permasalahan yang akan dibahas
b. Jenis penelitian secara empiris dilakukan dengan melihat bagaimana
tanggung

jawab

serikat

pekerja/buruh

dalam

melakukan

proses

pendampingan terhadap pekerja/buruh yang terkena PHK


2. Sumber dan data penelitian
Sumber data yang diperoleh yaitu data primer dan data sekunder, adalah
sebagai berikut :
a. Sumber data primer, diperoleh dari penelitian lapangan
b. Sumber data sekunder terdiri dari :
1) Bahan hukum primer antara lain :
a) Undang-Undang Dasar 1945
b) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
c) Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan
d) Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat
Pekerja/ Serikat Buruh
e) Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2004 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
2) Bahan hukum sekunder terdiri dari :
Buku literature, makalah, artikel-artikel, jurnal, surat kabar dan
situs internet yang berhubungan dengan judul skripsi ini.
3) Bahan hukum tersier terdiri dari :
a) Kamus Bahasa Indonesia
b) Kamus Bahasa Inggris
c) Kamus Hukum
3. Teknik pengumpulan data
a. Studi pustaka
Yaitu
peneliti
melakukan
penelusuran
kepustakaan

guna

mendapatkan data yang relevan dengan penelitian yang sedang


dilakukan.
b. Wawancara
Adalah teknik pengumpulan data dengan cara tanya jawab langsung
dengan narasumber guna mendapatkan data yang sesuai dengan
penelitian yang sedang dilakukan.
c. Dokumentasi

Adalah teknik pengumpulan data yang diperoleh dari dokumen yang


berupa arsip atau naskah lainnya yang diperoleh dari instansi yang
berhubungan dengan penelitian.
4. Lokasi Penelitian
Diwilayah Kantor Serikat Pekerja PC SPAMK FSPMI Cabang Karawang
5. Penyusunan dan Metode Analisa
Setelah data terkumpul dan tersusun, maka dilakukan analisis deskriptif yaitu
dengan cara memaparkan dan menafsirkan data dalam bentuk kalimat secara
subtantif dan sistematis, yang akhirnya pembahasan ini akan menuju pada suatu
kesimpulan terhadap permasalahan yang diteliti.
G. Sistematika Penulisan
Didalam penulisan skripsi ini dikemukakan sistematika agar dapat diperoleh
suatu kesatuan pembahasan yang saling berhubungan erat bab satu dengan bab
yang lainnya.maka penulis membagi penyusunan skripsi ini dalam 5 (lima) bab
BAB I

dengan pembagian sebagai berikut :


: PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan bab pendahuluan, dalam hal ini memuat sub-sub bab
yaitu latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, mamfaat

BAB II

penelitian, kerangka pemikiran, metode pemikiran, sistematika penulisan.


: LANDASAN TEORI DAN YURIDIS
Bab ini menjelaskan mengenai Hak-hak pekerja jika di-PHK yaitu
Pengertian dan pengaturan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) yang terlarang, Prosedur Pemutusan Hubungan
Kerja

(PHK),

Jenis

Pemutusan

kompensasinya,Pengaturan
pelanggaran

hak-hak

Hubungan

mengenai

perkerja

yang

Kerja

kompensasi
Ter-PHK,

dan

(PHK)
PHK,

dan
Sanksi

penyelesaian

perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), serta tentang serikat


pekerja/buruh yang terdiri dari, Profil gerakan buruh indonesia, Pengertian
serikat pekerja, Fungsi, tujuan, dan peran serikat pekerja, Nilai-nilai dan
prinsip-prinsip serikat pekerja/buruh, dasar hukum yang mendasari syarat
dan prosedur pendirian serikat pekerja/buruh.

BAB III

: METODE PENELITIAN
Bab ini menggambarkan mengenai obyek yang diteliti meliputi : sejarah
serikat pekerja/buruh FSPMI, tugas dan wewenang serikat pekerja/buruh,
peranan serikat pekerja/buruh dalam suatu perusahaan, dan peranan

BAB IV

serikat pekerja/buruh dalam menciptakan hubungan industrial.


: PEMBAHASAN
Bab ini merupakan pembahasan dari identifikasi masalah meliputi : peranan
serikat pekerja/buruh FSPMI cabang Kabupaten Karawang dalam dalam
proses pendampingan terhadap pekerja/buruh yang mengalami Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) ditinjau dari Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, hambatannya yang mempengaruhi serikat
pekerja/buruh FSPMI dalam proses pembelaan pekerja/buruh yang terkena
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dan upaya yang dilakukan

serikat

pekerja/buruh FSPMI untuk mengatasi proses Pemutusan Hubungan Kerja


BAB V

(PHK) terhadap pekerja/buruh.


: PENUTUP
Dalam bab ini merupakan bab yang mengakhiri pembahasan dalam
penulisan ini, yang berisikan Kesimpulan dan Saran.

BAB II
LANDASAN TEORI DAN YURIDIS
A. HAK-HAK PEKERJA JIKA DI-PHK
a. Pengertian dan Pengaturan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Pemutusan hubungan kerja (pemberhentian pegawai) adalah pemutusan
hubungan kerja baik untuk sementara maupun untuk selamanya yang dilakukan oleh
perusahaan atas permintaan pegawai atau karena kehendak pihak perusahaan,
yang bertujuan untuk mempertahankan efektivitas dan efisiensi organisasi
perusahaan.7
Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang ketengagakerjaan memberikan
pengertian PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang
7

Dr. A. A. Anwar Prabu Mangkunegara, Drs., M. Si. Psi, Manajemen Sumber Daya Manusia
Perusahaan, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2001), hal. 165

10

mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dengan


pengusaha (Pasal 1 angka 25), hal ini dapat terjadi karena pengunduran diri,
pemberhentian oleh perusahaan atau habis kontrak.
Menurut pasal 61 Undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang tenagakerjaaan
perjanjian kerja dapat berakhir apabila:
Pekerja meninggal dunia
Jangka waktu kontrak kerja telah berakhir
Adanya putusan pengadilan atau penetapan

lembaga

penyelesaian

perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum

tetap
Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian
kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

Jadi, pihak yang mengakhiri perjanjian kerja sebelum jangka waktu yang
ditentukan, wajib membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah
pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.8
Para ahli memberikan pandangan tersendiri terkait PHK yaitu :

Menurut

Tulus

(1993),

pemutusan

hubungan

kerja

(separation)

adalah

pengembalikan karyawan ke masyarakat, sedangkan


Menurut Hasibun (2001) pemberhentian adalah pemutusan hubungan kerja
seseorang karyawan dengan suatu organisasi (perusahaan).
Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa PHK
merupakan pemberhentian karyawan dari suatu perusahaan sehingga antara
karyawan dan perusahaan (organisasi) tidak ada hubungan lagi.9
Mengenai PHK itu sendiri secara khusus juga diatur dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).
Dengan berlakunya UU PPHI 2004 tersebut, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964
tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta dan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P3)
dinyatakan tidak berlaku lagi. Namun, untuk peraturan pelaksanaan kedua Undang-

8
9

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan


http://pengertian PHK menurut para ahli.com

11

Undang tersebut masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU


PPHI 2004.
Pasal 150 UU Ketenagakerjaan 2003 yang menyebutkan, ketentuan mengenai
pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi pemutusan hubungan
kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun
milik Negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai
pengurus dan memperkerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan
dalam bentuk lain.10
b. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terlarang
Pasal 153 ayat 1 Undang-undang Nomor
Ketenagakerjaan

menyebutkan

pengusaha

13

dilarang

Tahun

2003

melakukan

tentang

pemutusan

hubungan kerja dengan alasan:


1. Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan
dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terusmenerus;
2. Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi
kewajiban

terhadap

Negara

sesuai

dengan

ketentuan

peraturan

perundang-undangan yang berlaku:


3. Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
4. Pekerja/buruh menikah;
5. Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan. Gugur kandungan, atau
menyusui bayinya;
6. Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan
dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama;
7. Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat
pekerja/buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/buruh di
luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau

10

Rocky Marbun,SH., MH, Jangan Mau di PHK Begitu Saja, (Jakarta : Visimedia, 2010), hal.
76

12

berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan


perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
8. Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib
mengenai

perbuatan

pengusaha

yang

melakukan

tindak

pidana

kejahatan;
9. Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit,
golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
10. Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja,
atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter
yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
Jika PHK dengan alasan seperti disebutkan pada pasal 153 ayat (1), PHK berarti
batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang
bersangkutan. Namun, apabila pengusaha akan melakukan PHK, maka terlebih
dahulu harus merundingkannya dengan serikat pekerja/buruh atau dengan
pekerja/buruh yang bersangkutan jika tidak menjadi anggota serikat pekerja/buruh.
Dalam hal perundingan benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha
hanya dapat memutuskan hubungan kerja (PHK) dengan pekerja/buruh setelah
memperoleh penetapan dari lembaga peyelesaian perselisihan hubungan industrial
(pasal 151 ayat 3). Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan dari lembaga yang
berwenang batal demi hukum, kecuali alasan-alasan sebagaimana diatur dalam
pasal 154.11
c. Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Undang-undang Ketenagakerjaan 2003 mengatur tata cara pelaksanaan PHK
sehingga ada acuan yang dapat digunakan oleh pekerja/buruh untuk mencermati
keputusan PHK yang dilakukan pehak pengusaha/perusahaan. Undang-undang
Ketengakerajaan 2003 mewajibkan kepada pihak pengusaha/perusahaan untuk
terlebih dahulu mengajukan permohonan izin melakukan PHK kepada Lembaga
Penyelesaian Hubungan Industrial (LPPHI).
11

Lalu Husni, SH., M. Hum, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2007), hal 177-179

13

Selama masa menunggu keputusan dari LPPHI, baik pengusaha meupun


pekerja tetap menjalankan kewajibannya seperti semula. Kecuali jika pengusaha
melakukan skorsing kepada pekerja/buruh, pekerja/buruh tetap menerima upah
beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima.
Menurut Undang-undang Ketenagakerjaan 2003 Pasal 154 penetapan atas
permohonan izin PHK hanya akan dikeluarkan jika dalam perundinganantara
pengusaha dan pekerja/buruh mengalami kegagalan. Namun, penetapan izn
tersebut tidak diperlukan jika kondisinya sebagai berikut.
1. Pekerja/buruh masih dalam masa percobaan

kerja,

bilamana

telah

dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya;


2. Pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas
kemauan sendiri tanpa ada indikasi

adanya

tekanan/intimidasi dari

pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja


waktu tertentu untuk pertama kali;
3. Pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam
perjanjiankerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau
peraturan perundang-undangan; atau
4. Pekerja/buruh meninggal dunia.
Perlu diperhatikan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 152 Undang-undang
Ketenagakerjaan 2003 bahwa permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja
tersebut harus diajukan secara tertulis kepada Lembaga Penyelesaian Hubungan
Industrial disertai alasan yang menjadi dasarnya. Dengan demikian, pekerja yang
akan

di

PHK-kan

mengetahui

alasan-alasan

yang

dijadikan

dasar

oleh

perusahaan/pengusaha.
Berdasarkan Pasal 155 ayat (3) Undang-undang Ketenagakerjaan 2003,
pengusaha dapat melakukan penyimpangan berupa tindakan skorsing kepada
pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap
wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.
Berdasarkan KEPMENAKER No. 78 Tahun 2001
ditegaskan bahwa
pekerja/buruh berhak paling sedikit sebesar 75% dari upah yang diterimanya dengan
jangka waktu paling lama enam bulan. Namun, setelah masa skorsing tersebut

14

berakhir, pengusaha tidak berkewajibaan membayar upah, kecuali ditetapkan lain


oleh panitia daerah atau panitia pusat.
Selam proses pengajuan permohonan izin PHK oleh pengusaha, dan
pekerja/buruh tidak dapat memenuhi segala kewajibannya karena dilarang oleh
pengusaha dan pengusaha tidak melakukan skorsing. Pengusaha wajib membayar
upah pekerja selama dalam proses sebesar 100%. Namun, jika pengusaha dan
pekerja tidak dapat memenuhi segala kewajibannya yang disebabkan bukan karena
pekerja/buruh dilarang bekerja oleh pengusaha atau bukan atas kemauan
pekerja/buruh sendiri, pengusaha wajib membayar upah pekerja selama dalam
proses sebesar 75%.12
d. Jenis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan kompensasinya
a) PHK atas inisiatif pengusaha
Dalam sejumlah pasal Undang-undang Ketengakerjaan mengatur tentang hak
pengusaha/pemberi

kerja

untuk

memberhentikan

pekerjaannya

berdasarkan

sejumlah alasan dan pertimbangan. Namun ini harus terlebih dahulu melalui
berbagai upaya pencegahan dan pembinaan. Untuk melakukan PHK juga harus
melalui prosedur dan disertai alasann-alasan yang kuat. PHK yang dilakukan
pengusaha disebabkan oleh banyak faktor.
1. Pekerja melakukan pelanggaran/kesalahan berat
Pasal 158 ayat (1) UUKK menunjukkan pelanggaran atau kesalahan berat yang
dapat dijadikan alasan PHK. Ketentuan pasal 158 dan juga pasal 159 UUKK
sebenarnya sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi karena dinilai bertentangan
dengan UUD 1945. Yang dimaksudkan dengan kesalahan berat yang semula diatur
dalam pasal ini adalah:
- Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang
-

milik perusahaan;
Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan

perusahaan;
Mabuk, minum-minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau
mengedarkan narkotika, spikotropika dan zat adiktif lainnya di lingkungan
kerja;

12

Rocky Marbun, SH., MH, Jangan Mau di-PHK Begitu Saja, (Jakarta : Visimedia, 2010),
hal. 82-84

15

Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;


Menyerang/menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja

atau pengusaha di lingkungan kerja;


Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;


Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha

dalam keadaan bahaya di tempat kerja;


Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya
dirahasiakan kecuali untuk kepentingan Negara melakukan perbuatan lainnya

di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara lima tahun atau lebih
Kesalahan berat yang dipakai sebagai alasan dalam PHK harus didukung pula
oleh bukti-bukti sebagai berikut.
- Pekerja tertangkap tangan saat melakukan pelanggaran
- Pekerja mengakui perbuatannya tanpa tekanan
- Adanya laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di
perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya
dua orang saksi
Pekerja yang di PHK berdasarkan alasan tersebut berhak menerima uang
penggantian hak meliputi:
- Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
- Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke
tempat di mana pekerja/burh diterima bekerja;
Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan

15% dari uang pesangon dan/atau penghargaan masa kerja bagi yang
memenuhi syarat; dan
Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan

atau perjanjian kerja bersama.


Apabila pekerja tersebut tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan
pengusaha secara langsung, selain uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan
pasal 156 ayat (4) diberikan juga uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya
diatur

dalam

perjanjian

kerja/PP/PKB.

Dalam

pasal

159

Undang-undang

Ketenagakerjaan mengatur apabila pekerja yang di-PHK dengan alasan telah


melakukan pelanggaran berat tersebut tidak menerima keputusan yang demikian,
maka pekerja tersebut dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan
Industrial.
16

Contoh:
Y sudah bekerja pada PT. Mandiri yang berkantor pusat di Jakarta. Ia ditempatkan di
cabang Banjarmasin. Upah pokok per bulan : Rp 3.000.000,-. Selain itu ia juga
diberikan tunjangan antara lain:
- Tunjangan jabatan
: Rp 500.000,-/bulan
- Tunjangan keluarga
: Rp 200.000,-/bulan
- Tunjangan masa kerja
: Rp 200.000,-/bulan
- Tunjangan makan dan transportasi
: Rp 40.000,-/hari
Jumlah
: Rp 3.900.000,Pada tahun ke-6, Y meminum minuman keras yang memabukan di lokasi
perusahaan. Tindakannya itu tertangkap tangan oleh petugas satpam perusahaan.
Atas kesalahan tersebut pihak perusahaan melakukan PHK terhadap Y. Apabila
terbukti di pengadilan bahwa yang bersangkutan melakukan hal yang dituduhkan
tersebut maka ia tidak berhak mendapat uang pesangon dan uang penghargaan
masa kerja kecuali uang penggantian hak yaitu sebesar:
- Cuti tahunan yang belum dibayar dan belum gugur
12/30 x Rp 3.900.000
= Rp 1.560.000,- Transportasi dari Banjarmasin ke Jakarta = Rp 600.000,Jumlah
= Rp 2.160.000,Sebaliknya bila tuduhan tersebut tidak terbukti maka pengusaha

wajib

mempekerjakan Y kembali. Dan, secara hukum Y dapat menuntut balik pengusaha


yang telah menuduhnya melakukan kejahatan.
2. Pekerja melakukan tindak pidana
PHK juga dapat diadakan oleh pengusaha terhadap pekerja yang setelah
enam bulan tidak dapat melakukan pekerjaan layaknya pekerja karena yang
bersangkutan tersangkut dalam proses perkara pidana bukan karena aduan
pengusaha. Menurut pasal 160 UUKK ada syarat yang harus dipenuhi untuk
PHK dengan alasan tersebut, yakni:
- Bila pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa enam bulan,
dan
-

pekerja/buruh

dinyatakan

tidak

bersalah,

pengusaha

wajib

mempekerjakan kembali pekerja/buruh bersangkutan


Bila pengadilan memutuskan perkara sebelum enam bulan dan
pekerja/buruh bersangkutan dinyatakan bersalah, maka pengusaha dapat
melakukan PHK kepada pekerja/buruh bersangkutan tanpa harus
mendapat penetapan dari Pengadilan Hubungan Industrial.

17

Hak pekerja/ buruh yang ter-PHK, karena dijerat pidana tersebut mendapat
uang penghargaan masa kerja satu kali penentuan dan uang penggantian hak
sesuai ketentuan
Pasal 160
1) Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga
melakukan tindak pidana bukan atas pengaduan pengusaha, maka
pengusaha tidak wajib membayar upah tetapi wajib memberikan bantuan
kepada keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungannya dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Untuk 1 (satu) orang tanggungan : 25% (dua puluh lima
perseratus) dari upah;
b. Untuk 2 (dua) orang tanggungan : 35% (tiga puluh lima
perseratus) dari upah;
c. Untuk 3 (tiga) orang tanggungan : 45% (empat puluh lima
perseratus) dari upah;
d. Untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih : 50% (lima puluh
lima perseratus) dari upah.
2) Bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan untuk paling
lama 6 (enam) bulan takwin terhitung sejak hari pertama pekerja/buruh
ditahan oleh pihak yang berwajib.
3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh yang setelah 6 (enam) bulan tidak dapat melakukan
pekerjaan sebagaimana mestinya karena dalam proses perkara pidana
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
4) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6
(enam) bulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) berakhir dan
pekerja/buruh

dinyatakan

tidak bersalah,

maka pengusaha

wajib

mempekerjakan pekerja/buruh kembali.


5) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6
(enam) bulan berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan bersalah, maka
pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja kepada
pekerja/buruh yang bersangkutan.

18

6) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan


ayat (5) dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial.
7) Pengusaha wajib membayar kepada pekerja/buruh yang mengalami
pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan
ayat (5), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan pasal 156
ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam pasal 156
ayat (4).
Pemutusan hubungan kerja dalam kasus seperti ini dilakukan tanpa
penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Dan oleh
karenanya pengusaha wajib membayar kepada pekerja/buruh tersebut berupa
uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.
Contoh :
Y bekerja pada PT X di Jakarta, ia ditempatkan di Manado. Uapah pokoknya per
bulan sebesar : Rp. 6.000.000,- selain itu ia juga diberikan tunjanagn antara lain:
- Tunjangan jabatan (tetap)
: Rp. 900.000,- /bulan
- Tunjangan keluarga (tetap)
: Rp. 600.000,- /bulan
- Tunjangan masa kerja (tetap)
: Rp. 300.000,- /bulan
- Tunjangan makan dan transportasi
: Rp. 60.000,- /hari
Jumlah upah + tunjangan tetap Y/bulan
: Rp. 7.800.000,Ia diberhentikan tahun ke-3 karena ditahan oleh pihak berwajib dengan sangkaan
melakukan tindak pidana. Setelah enam bulan kenudian terbukti Y melakukan
tindak pidana yang dimaksud. Kompensasi PHK yang diterima Y mangacu pada
pasal 160 UUKK yakni berupa uang penghargaan masa kerja dan uang
penggantian hak.
- Uang penghargaan masa kerja kedua bulan upah :
2 x Rp. 7.800.000,= Rp. 15.600.000,- Besarnya uang penggantian hak :
Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur :
12/30 x Rp. 7.800.000,= Rp. 3.120.000, Uang biaya transportasi dari Manado ke Jakarta
= Rp. 1.000.000, Penggantian perumahan, pengobatan, dan perawatan :
15% x Rp. 15.600.000,= Rp. 2.340.000,Jumlah
= Rp. 22.060.000,3. Pekerja indisipliner

19

Pasal 161 ayat (1) menunjukkan bahwa PHK dapat dilakukan pengusaha karena
pekerja/buruh yang bersangkutan melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur
dalam perjanjian kerja bersama, PP, PKB.
Langkah ini diambil setelah pengusaha memberikan surat penrinagatan pertama,
kedua, dan ketiga secara berturut-turut. Inilah yang dimaksudkan dengan PHK
karena melakukan pelanggaran disiplin. Pekerja/buruh bersangkutan berhak
mendapat uang pesangon satu kali ketentuan, uang penghargaan masa kerja dan
penggantian hak.
Pasal 161
1) Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama,
pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada
pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua,
dan ketiga secara berturut-turut.
2) Surat peringatan sebagaiman dimaksud dalam ayat (1) masing-masing
berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
3) Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar
1 (satu) kali ketentuan pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja
sebesar 1 (satu) kali ketentuan pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak
sesuia ketentuan pasal 156 ayat (4).
Contoh :
Y telah diterima bekerja pada PT X di Batam. Upah pokoknya per bulan adalah Rp.
1.600.000,- selain itu juga diberikan tunjangan antara lain:
- Tunjangan jabatan (tetap)
: Rp. 300.000,- /bulan
- Tunjangan keluarga (tetap)
: Rp. 150.000,- /bulan
- Tunjangan masa kerja (tetap)
:`Rp. 200.000,- /bulan
- Tunjangan makan dan transportasi
: Rp. 15.000,- /hari
Total
: Rp. 2.250.000,-

20

Pada tahun ke-4 ia melakukan pelanggaran disiplin. Atas dasar itu pimpinannya
mem-PHK Y. sesuai ketentuan pasal 161 UUKK, kompensasi yang diterima Y adalah
berupa :
-

Uang pesangon : (1 x ketentuan) = lima bulan upah


5 x Rp. 2.250.000,= Rp. 11.250.000,Uang penghargaan masa kerja (1 x ketentuan) = dua bulan upah
2 x Rp. 2.250.000,= Rp. 4.500.000,Uang penggantian hak :
Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur
12/30 x Rp. 2.250.000,= Rp. 900.000, Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan

sebesar 15% x (Rp. 11.250.000) + Rp. 4.500.000= Rp 2.362.500,Total


= Rp. 19.012.500,4. Pekerja Mangkir
Menurut pasal 168 ayat (1) UUKK, pekerja yang 5 (lima) hari kerja atau lebih
berturut-turut tanpa keterangan tertulis, setelah dipanggil pengusaha dua kali secara
patut dan tertulis, dapat di PHK karena dikualifikasikan mengundurkan diri. Dan
pekerja tersebut berhak atas uang pengganti hak dan uang pisah.
Namun, bila pada hari pertama kerja masuk kerja dan langsung menyerahkan
surat keterangan yang sah, yang menjelaskan alasan mengapa ia tidak masuk kerja,
maka pengusaha tidat dapat menjadikan hal tersebut sebagai alasan PHK.
Pasal 168
1) Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturutturut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah
dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis
dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri.
2) Keterangan tertulis dengan bukti yang sah sebagaimana simaksuddalam ayat
(1) harus diserahkan paling lambat pada hari pertama pekerja/buruh masuk
kerja.
3) Pemutusan

hubungan

kerja

sebagaimana

dimaksud

dala

ayat

(1)

pekerja/buruh yang bersangkutan berhak menerima uang penggantian hak


sesuai ketentuan pasal 156 ayat (4) dan diberikan uang pisah yang besarnya
dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
atau perjanjian kerja bersama.
Contoh:

21

Y adalah pekerja pada Yayasan Pelita Nusa di Bandung dan ditempatkan di


Yogyakarta. Upah pokoknya per bulan Rp. 1.500.000,- Selain itu, ia juga diberikan
tunjangan antara lain:
- Tunjangan jabatan
= Rp. 300.000,- /bulan
- Tunjangan keluarga
= Rp. 150.000,- /bulan
- Tunjangan masa kerja
= Rp. 150.000,- /bulan
- Tunjangan makan dan transportasi
= Rp. 25.000,- /hari
Gaji setiap bulan
= Rp. 2.100.000,Pada tahun ke-3 ia mangkir selama lima hari berturut-turut tanpa pemberitahuan
kepada perusahaan. Perusahaan pun sudah memanggilnya secara tertulis, namun Y
tetap tidak hadir kerja.dengan alasan tersebut Yayasan Pelita Nusa mem-PHK Y
karena dianggap telah mengundurkan diri. Karena Y dianggap mengundurkan diri, ia
hanya berhak mendapat uang penggantian hak dan uang pisah. Besarnya uang
penggantian hak dan uang pisah.
- Cuti tahunan yang belum dibayarkan dan belum gugur
12/30 x Rp. 2.100.000,= Rp. 840.000,- Transportasi (tiket) dari Yogyakarta ke Bandung = Rp. 700.000,Jumlah
= Rp. 1. 540.000,5. Perusahaan Jatuh Pailit
Pengusaha dapat melakukan PHK terhadap pekerja karena perusahaan pailit,
dengan ketentuan pekerja berhak atas uang pesangon sebesar satu kali ketentuan,
uang penghargaan masa kerja sebesar satu kali ketentuan, dan uang penggantian
hak sesuai ketentuan pasal 165 Undang-undang Ketenagakerjaan.
Pasal 165
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
karena perusahaan pailit, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang
pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan pasal 156 ayat (2), uang penghargaan
masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian
hak sesuai ketentuan pasal 156 ayat (4).
Contoh:
Y telah bekerja pada perusahaan di Tanggerang Banten selama 9 tahun dengan
jabatan sebagai kepala personalia. Setiap bulan Y mendapat gaji tetap Rp
8.000.000,- selain itu ia juga diberikan tunjangan antara lain:
- Tunjangan jabatan
: Rp 900.000,-/bulan
- Tunjangan keluarga
: Rp 500.000,-/bulan
- Tunjangan masa kerja
: Rp 250.000,-/bulan
- Tunjangan makan dan transportasi
: Rp
40.000,-/hari
Total
: Rp 9.650.000,22

Pada tahun ke-9 perusahaan tersebut dinyatakan pailit. Semua pekerja kemudian di
PHK termasuk Y. sesuai ketentuan pasal 165 Undang-undang Ketenagakerjaan,
kompensasi yang diterima Y adalah sebagai berikut:
- Pesangon (1 x ketentuan) = Sembilan bulan upah 9 x Rp 9.650.000,= Rp 86.850.000,-

Penghargaan masa kerja (1 x ketentuan) = 4 bulan upah Rp 4 x Rp

9.650.000,= Rp 36.600.000,Uang penggantian hak :


Cuti tahunan yang belum diambil/belum gugur 12/30 x Rp

9.650.000,= Rp 3.860.000,Uang penggantian perumahan, pengobatan dan perawatan 15% x

(9 x Rp 9.650.00,- + 4 x 9.650.000,-)
= Rp 18.817.500,Total
= Rp 148.127.500,-13
6. Perusahaan tutup disebabkan mengalami kerugian secara terus-menerus selama
dua tahun atau keadaan memaksa (force majeur)
Kadang-kadang pekerja kurang mengerti istilah keadaan memaksa (force
majeur) sehingga kenyataan ini sering dimamfaatkan oleh pihak-pihak yang memiliki
posisi yang kuat untuk menggunakan istilah tersebut.
Menurut Munir Fuady, keadaan memaksa (force majeur) adalah keadaan saat
seorang debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau
peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak, keadaan atau peristiwa
tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur, sementara itu si debitur
tersebut tidak dalam keadaan beritikad buruk.
Dalam pasal 61 huruf d Undang-undang Ketenagakerjaan 2003, yang dimaksud
keadaan memaksa adalah kejadian tertentu seperti bencana alam, kerusuhan sosial,
atau gangguan keamanan.
Pada keadaan memaksa, keadaan yang berubah membuat tidak mungkinnya
atau terhalangnya pemenuhan prestasi. Sementara itu, pada perubahan keadaan,
berubahnya keadaan menimbulkan keberatan untuk memenuhi perjanjian, karena
jika dipenuhi, salah satu pihak akan menderita kerugian.

13

Imam Hadi Buntoro, Petunjuk Praktis Menghitung Pesangon, (Jakarta : Forum Sahabat,
2008), hal. 63-74

23

Selain

keadaan

memaksa,

kondisi

keuangan

suatu

perusahaan

yang

disimpulkan mengalami kerugian secara terus-menerus selama dua tahun dapat


melakukan PHK. Namun, pengusaha harus membuktikan terlebih dahulu dengan
laporan keuangan secara tertulis yang dilampirkan dalam permohonan izin PHK,
yang menunjukkan bahwa perusahaan tersebut memang merugi.
Oleh karena itu, Undang-undang Ketenagakerjaan memberikan kebebasan
kepada pengusaha untuk mem-PHK pekerjanya dengan alasan karena perusahaan
tutup yang disebabkan mengalami kerugian secara terus-menerus selama dua tahun
atau keadaan memaksa (force majeur). Dalam hal ini pekerja berhak atas uang
pesangon sebesar satu kali ketentuan, uang penghargaan masa kerja satu kali
ketentuan, dan uang penggantian hak. Untuk memastikan kerugian yang terusmanerus perusahaan tersebut harus diaudit oleh akuntan publik.14
Pasal 164 ayat 1 dan 2
1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan

kerja

terhadap

pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan


mengalami kerugian secara terus-menerus selama 2 (dua) tahun, atau
keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak
atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan pasal 156 ayat (2) uang
penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan pasal 156 ayat (3)
dan uang penggantian hak sesuai ketentuan pasal 156 ayat (4).
2) Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit
oleh akuntan publik.
Contoh :
Y telah bekerja pada sebuah perusahaan di Batam selama 6 tahun dengan jabatan
sebagai kepala gudang. Ia ditempatkan di kantor cabang Jakarta. Setiap bulan Y
mendapat gaji tetap Rp 5.000.000,- selain itu ia juga diberikan tunjangan antara lain:
- Tunjangan jabatan
: Rp 500.000,-/bulan
- Tunjangan keluarga
:Rp 200.000,-/bulan
- Tunjangan masa kerja
: Rp 150.000,-/bulan
- Tunjangan makan dan transportasi
: Rp
50.000,-/hari
Total
: Rp 5.850.000,14

Rocky Marbun, SH., MH, Jngan Mau di-PHK Begitu Saja, (Jakarta : Visimedia, 2010), hal.
98-100

24

Pada tahun ke-6 perusahaan tersebut mengalami kerugian. Semua pekerja di PHK,
termasuk Y. sesuai dengan ketentuan pasal 164 Undang-undang Ketenagakerjaaan,
kompensasi yang diterima Y adalah sebagai berikut
- Pesangon (1 x ketentuan)
7 x Rp 5.850.000,= Rp 40.950.000,- Penghargaan masa kerja (1 x ketentuan)
3 x Rp 5.850.000,= Rp 17.550.000,- Uang penggantian hak :
Cuti yang belum diambil/belum gugur
12/30 x Rp 5.850.000,= Rp 2.340.000, Uang penggantian perumahan, pengobatan & perawatan 15% x (7
x Rp 5.850.000,- + 3 x Rp 5.850.000,-) = Rp 8.775.000, Biaya transportasi dari batam ke Jakarta = Rp
750.000,Total
= Rp 70.365.000,7. Perubahan status, penggabungan, peleburan atau perubahan kepemilikan dan
pekerja tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja
Sesuai dengan pasal 163 pengusaha dapat melakukan PHK terhadap pekerja
karena terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan
kepemilikan perusahaan dan pekerja tidak bersedia lagi melanjutkan hubungan
kerja. Bila keputusan ini diambil, maka pekerja bersangkutan berhak atas uang
pesangon satu kali ketentuan, uang penghargaan masa kerja satu kali ketentuan dan
uang penggantian hak.
Pasal 163 ayat 1
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
dalam hal terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan
kepemilikan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia lagi melanjutkan
hubungan kerja, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu)
kali ketentuan pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali
ketentuan pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan pasal 156
ayat (4).
Contoh:
Enam tahun lalu Y direkrut oleh sebuah perusahaan di Cikarang sebagai manajer
keuangan. Pada tahun ke-6 upah pokoknya sudah mencapai Rp 4.000.000,-. Selain
itu ia juga diberikan tunjangan antara lain:
- Tunjangan jabatan
- Tunjangan keluarga
- Tunjangan masa kerja
25

: Rp 300.000,-/bulan
: Rp 200.000,-/bulan
: Rp 100.000,-/bulan

Tunjangan makan dan transportasi


Total

: Rp 40.000,-/hari
: Rp 4.600.000,-

Pada tahun ke-6 perusahaannya melebur ke perusahaan lain. Y tidak bersedia


bekerja di perusahaan baru (hasil peleburan). Ia memilih di-PHK. Dengan demikian,
sesuai ketentuan pasal 163 Undang-undang Ketenagakerjaan, kompensasi yang
diterima Y adalah sebagai berikut:
-

Pesangon (1 x ketentuan) dengan masa kerja 6 tahun


(7 x Rp 4.600.000,-)
= Rp 32.200.000.- Penghargaan masa kerja (1 x ketentuan)
3 x Rp 4.600.000,= Rp 13.800.000,- Uang penggantian hak:
Cuti yang belum diambil/belum gugur
12/30 x Rp 4.600.000,= Rp 1.840.000, Uang penggantian perumahan, pengobatan, & perawatan :
15% x (7 x Rp 4.600.000,- + 3 x 4.600.000) = Rp 6.900.000,Total
= Rp 54.740.000,8. PHK karena perubahan status, penggabungan, atau peleburan perusahaan, dan
pengusaha tidak bersedia menerima pekerja di perusahaannya
PHK dengan alasan demikian pekerja berhak atas uang pesangon 2 kali ketentuan
uang penghargaan masa kerja satu kali ketentuan dan uang penggantian hak sesuai
dengan pasal 163 ayat (2).
Pasal 163 ayat (2)
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
karena perubahan status, penggadungan, atau peleburan perusahaan, dan
pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaannya, maka
pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan pasal 156
ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dalam pasal 156 ayat
(3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam pasal 156 ayat (4).
Contoh:
Masih terkait dengan contoh terakhir di atas bila Y masih mau bekerja di perusahaan
hasil penggabungan atau peleburan, namun manajemen baru tersebut tidak mau
mempekerjakannya kembali, maka penghitungan kompensasi PHK yang diterima Y
adalah sebagai berikut:
- Uang pesangon (2 x ketentuan)
2 x 7 x Rp 4.600.000,- Penghargaan masa kerja (1 x ketentuan)
3 x Rp 4.600.000,26

= Rp 64.400.000,= Rp 13.800.000,-

Uang penggantian hak :


Cuti yang belum diambil/belum gugur
12/30 x Rp 4.600.000,= Rp 1.840.000, Uang penggantian perumahan, pengobatan & perawatan 15% x

{(2 x 7 x Rp 4.600.000) (3 x Rp 4.600.000)}


= Rp 11.730.000,Total
= Rp 91.770.000,9. Perusahaan tutup atau pengurangan tenaga kerja (efisiensi), bukan karena
merugi atau alasan memaksa
PHK pun dapat dilakukan pengusaha terhadap pekerjanya karena perusahaan
tersebut ingin efisiensi atau perampingan organisasi perusahaan. Pekerja yang di
PHK berhak atas uang pesangon dua kali ketentuan, uang penghargaan masa kerja
satu kali ketentuan dan uang penggantian hak.
Pasal 164 ayat 3
Perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
karean perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturutturut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan
melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon
sebesar 2 (dua) kali ketentuan pasal 156 ayat (2), uang panghargaan masa kerja
sebesar 1 (satu) kali ketentuan pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai
ketentuan pasal 156 ayat (4).
Contoh:
Seorang pekerja yang telah bekerja pada sebuah perusahaan selama 10 tahun
dengan jabatan sebagai manajer produksi. Ia ditempatkan di kantor cabang
Mataram. Setiap bulan ia mendapat upah pokoksebesar Rp 9.000.000,-. Selain itu ia
juga diberikan tunjangan antara lain:
- Tunjangan jabatan
: Rp 400.000,-/bulan
- Tunjangan keluarga
: Rp 250.000,-/bulan
- Tunjangan masa kerja
: Rp 250.000,-/bulan
- Tunjangan makan & transportasi
: Rp 50.000,-/hari
Total sebulan
: Rp 9.900.000,Pada tahun ke-10 pekerja tersebut di-PHK karena perampingan dan bukan karena
perusahaan merugi atau karena force majure. Maka kompensasi yang diterima
pekerja bersangkutan sesuai ketentuan pasal 164 ayat (3) adalah sebagai berikut:
- Uang pesangon (2 xketentuan)
2 x 7 x Rp 4.600.000,= Rp 64.400.000,- Pesangon (2 X ketentuan) dengan masa kerja 10 tahun
2 x 9 x Rp 9.900.000,= Rp 178.200.000,- Penghargaan masa kerja (1 x ketentuan)
27

4 x Rp 9.900.000,= Rp 39.600.000,Uang pengganti hak:


Cuti yang belum diambil/belum gugur
12/30 x Rp 9.900.000,= Rp 3.960.000, Uang penggantian perumahan, pengobatan & perawatan 15% x

{(2 x 9 x Rp 9.900.00,-) + (4 x Rp 9.900.000,-)}= Rp 32.670.000,Transportasi dari Mataram ke Jakarta


= Rp 1.000.000.-

Total

= Rp

255.430.000,-15
10. Pekerja sakit atau cacat akibat kecelakaan kerja
Pekerja yang mengalami sakit berkepanjangan, cacat akibat kecelakaan kerja
dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan bisa
mengajukan pemutusan hubungan kerja. Kempenaker No. 150 Tahun 2000 pasal 2
ayat (5) menjelaskan maksud keadaan sakit terus-menerus sebagai a. sakit
menahun atau berkepanjangan sehingga tidak dapat menjalankan, pekerjaannya
secara terus-menerus; b. setelah sakit lama kemudian masuk bekerja kembali tetapi
tidak lebih sari 4 (empat) minggu kemudian sakit kembali. Sementara itu mengenai
kecelakaan kerja dijelaskan dalam UU Jamsostek pasal 1 angka 6, yang
menyebutkan bahwa kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi berhubung
demgam hubungan kerja, demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan
berangkat dari rumah menuju tempat kerja, dan pulang ke rumah melalui jalan yang
biasa atau wajar dilalui.
Pengertian cacat dijelaskan dalam UU Jamsostek pasal 1 angka 7, cacat adalah
keadaan hilang atau berkurangnya fungsi anggota badan yang secara langsung atau
tidak langsung mengakibatkan hilang atau berkurannya kemampuan untuk
menjalankan pekerjaan. Jika segala kriteria tersebut dimiliki oleh seorang pekerja,
pengusaha dapat mem-PHK-kan dan pekerja tersebut berhak mendapatkan uang
pesangon dua kali ketentuan, uang penghargaan masa kerja dua kali ketentuan, dan
uang penggantian hak. Jika pekerja diikutsertakan program jaminan kecelakaan
15

Imam Hadi Buntoro, Petunjuk Praktis Menghitung Pesangon, (Jakarta : Forum Sahabat,
2008), hal. 75-79

28

kerja (JKK) melalui jaminan sosial tenaga kerja (JAMSOSTEK), pekerja juga berhak
untuk memperoleh santunan dari JAMSOSTEK. Prosedur memperoleh santunan
tersebut sebagai berikut.
- Jika terjadi kecelakaan kerja, pengusaha wajib mengisi form jamsostek 3
(laporan kecelakaan tahap I) dan mengirimkan kepada PT Jamsostek
-

(Persero) tidak lebih dari 2 x 24 jam terhitung sejak terjadinya kecelakaan.


Setelah tenaga kerja dinyatakan sembuh/meninggal dunia oleh dokter
yang merawat, pengusaha wajib mengisi form 3a (laporan kecelakaan
tahap II) dan mengirimkan kepada PT Jamsostek (Persero) tidak lebih
dari 2 x 24 jam sejak tenaga kerja dinyatakan sembuh/meninggal.
Selanjutnya PT Jamsostek (Persero) akan menghitung dan membayar
santunan dan ganti rugi kecelakaan kerja yang menjadi hek tenaga

kerja/ahli waris.
From Jamsostek

3a

berfungsi

sebagai

pengajuan

permintaan

pembayaran jaminan disertai bukti-bukti berikut.


Fotokopi kartu peserta (KPJ)
Surat keterangan dokter yang merawat dalam bentuk form

jamsostek 3b atau 3c
Kwitansi biaya pengobatan

dan

perawatan

serta

kwitansi

pengangkutan.
Perincian besarnya iuran berdasarkan kelompok jenis usaha sebagaimana
tercantum dalam iuran dan daftar santunan menurut peraturan pemerintah Nomor 76
Tahun 2007 sebagai berikut.
1. Biaya transpor (maksimum)
- Darat Rp 400.000,- Laut Rp 750.000,- Udara Rp 1.500.000,2. Sementara tidak mampu bekerja
- Empat (4) bulan pertama, 100% upah
- Empat (4) bulan kedua, 75% upah
- Selanjutnya 50% upah
3. Biaya pengobatan/perawatan
Rp 12.000.000 (maksimum)
4. Santunan cacat
- Sebagian-tetap: % tabel x 80 bulan upah
- Total-tetap
- Sekaligus: 70% x 80 bulan upah
- Berkala (2 tahun) Rp 200.000 per bulan
- Kurang fungsi: % kurang fungsi x % tabel x 80 bulan upah
29

5. Santunan kematian
- Sekaligus 60% x 80 bulan upah
- Berkala (2 tahun) Rp 200.000 per bulan
- Biaya pemakaman Rp 2.000.000
6. Biaya rehabilitasi harga berupa panggantian pembelian alat bantu (orthose)
dan/atau alat pengganti (prothese) diberikan satu kali untuk setiap kasus
dengan patokan harga yang ditetapkan oleh pusat rehabilitasi rumah sakit
umum pemerintah dan ditambah 40% (empat puluh persen) dari harga
tersebut serta biaya rehabilitasi medik maksimum sebesar Rp 2.000.000 (dua
juta rupiah)
7. Penyakit akibat kerja, tiga puluh satu jenis penyakit selama hubungan kerja
dan tiga tahun setelah putus hubungan kerja
Iuran
Kelompok I : 0,24 % dari upah sebulan
Kelompok II : 0,54 % dari upah sebulan
Kelompok III : 0,89 % dari upah sebulan
Kelompok IV : 1,27 % dari upah sebulan
Kelompok V : 1,74 % dari upah sebulan
Contoh:
Y adalah karyawan di PT X, memiliki satu orang istri dan dua orang anak, dan
telah bekerja selama lima tahun dua bulan. Selama bekerja, Y memperoleh upah
sebagai berikut.
- Gaji pokok
: Rp 5.000.000,- Tabungan jabatan
: Rp 500.000,- Tunjangan keluarga
: Rp 500.000,Gaji sebulan
: Rp 6.000.000,Pada saat melakukan pekerjaannya, Y mengalami kecelakaan yang berakibat
kehilangan kaki dari pangkal paha ke bawah (cacat tetap) sehingga dia selama
enam bulan tidak dapat melakukan pekerjaanya, kemudian perusahaan
memutuskan untuk mem-PHK- kan Y. maka, Y berhak sebagai berikut.
Uang pesangon
2 x (masa kerja)x (gaji) pasal 156 ayat (2)
2 x 6 x Rp 6.000.000,= Rp 72.000.000,UMPK
1 x (masa kerja) x (gaji) pasal 156 ayat (3)
1 x 2 x Rp 6.000.000,= Rp 12.000.000,Uang panggantian hak
Pasal 156 ayat (4)
- Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur
12/30 x Rp 6.000.000,= Rp 2.400.000,- Transportasi
= Rp 0
- Penggantian perumahan, pengobatan, dan perawatan
15% x (uang pesangon + UPMK)
= Rp 12.600.000,Total
= Rp 15.000.000,30

Sehingga total yang wajib dibayarkan kepada Y = 99.000.000,Santunan kecelakaan kerja yang diperoleh:
Santunan cacat tetap
70% x 80 bulan upah
70% x 80 x Rp 6.000.000
= Rp 336.000.000,Sehingga total keseluruhan
= Rp 435.000.000,-16
b) Pemutusan Hubungan Kerja inisiatif Pekerja
Pekerja memiliki hal yang sama dalam hal mengakhiri hubungan kerja. Dari segi
kompensasi, PHK yang dilakukan pekerja dapat dikelompokan menjadi dua jenis,
yaitu PHK dengan mendapat kompensasi dan PHK tanpa kompensasi. PHK oleh
pekerja dapat memperoleh kompensasi, apabila pengakhiran hubungan kerja
tersebut sesuai prosedur dan ditetapkan dalam UU Ketenagakerjaan, perjanjian
kerja, PP atau PKB.17
1. Pekerja mengajukan pengunduran diri
Pekerja/buruh dapat mengakhiri hubungan

kerja

dengan

melakukan

pengunduran diri atas kemauan sendiri tanpa perlu meminta penetapan dari lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Pekerja yang mengundurkan diri atas
kemauan sendiri, yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha
secara langsung akan memperoleh kompensasi berupa uang penggantian hak
sesuai dengan ketentuan pasal 156 ayat (4) dan uang pisah yang besarnya dan
pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama.
Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud harus memenuhi
syarat sebagai berikut
- Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-

lambatnya 30 hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri


Tidak terikat dalam ikatan dinas
Tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran

diri18
Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas kemauan
sendiri dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian hubungan industrial.
Pekerja yang mengundurkan diri murni atas kemauan sendiri maka pekerja
16

Rocky Marbun, SH., MH, Jangan Mau di-PHK Begitu Saja, (Jakarta : Visimedia, 2010),
hal. 106-111
17
Imam Hadi Buntoro, Petunjuk Praktis Menghitung Pesangon, (Jakarta : Forum Sahabat,
2008), hal. 80
18
Rocky Marbun, SH., MH, Jangan Mau di-PHK Begitu Saja, (Jakarta : Visimedia, 2010),
hal. 112

31

bersangkutan tidak berhak atas uang pesangon tetapi berhak atas uang
penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak. Untuk mendapatkan hak
tersebut, maka pekerja bersangkutan wajib menyampaikan permohonan PHK secara
tertulis kepada pengusaha satu bulan sebelum ia mengundurkan diri.
Contoh :
Y adalah karyawan PT Tambang Dunia di Bandung dan ditempatkan di Samarinda.
Upah pokoknya per bulan sebesar Rp 2.000.000,-. Selain itu kepadanya diberikan
tunjangan antara lain:
- Tunjangan jabatan
= Rp 500.000,-/bulan
- Tunjagan keluarga
= Rp 200.000,-/bulan
- Tunjangan masa kerja
= Rp 200.000,-/bulan
Total
= Rp 2. 900.000,Pada tahun ke-4 ia mengundurkan diri atas kemauan sendiri tanpa tekanan atau
paksaan dari pihak mana pun. Satu bulan sebelum mengundurkan diri Y
menyampaikan secara tertulis kepada pimpinannya. Dan ia juga melaksanakan
tugas dan kewajibannya hingga hari pengunduran dirinya tiba. Apa saja kompensasi
yang diterima Y dan berapa jumlahnya?
Y yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan proses pengunduran dirinya
sesuai ketentuan, maka ia berhak mendapat uang penggantian hak dan uang pisah .
besarnya kompensasi sebagai uang penggantian hak Y sebagai berikut:
- Cuti tahunan yang belum diambil & belum gugur
12/30 x Rp 2.900.000,= Rp 1.160.000,- Ongkos pulang dari Samarinda ke Bandung
= Rp 1.000.000,Jumlah
= Rp 2.160.000,Cacatan :
Apabila Y tidak membuat surat dan menyampaikan pengunduran dirinya kepada
perusahaan satu bulan sebelumnya ia tidak berhak mendapat kompensasi tersebut.
Kadang-kadang terjadi, pekerja mengundurkan diri di bawah tekanan/intimidasi
atau tindakan lain yang membuat pekerja pada akhirnya mengundurkan diri. Atau
menempatkan/memutasi pekerja pada bidang yang sama sekali tidak disukainya
atau ditempatkan pada bagian yang bukan menjadi bidangnya sehingga pekerja
merasa tidak kerasan lalu akhirnya mengundurkan diri. Keadaan demikian, dapat
diperselisihkan oleh pekerja. Jika terbukti bahwa pengunduran diri itu terjadi dengan
tekanan/intimidasi maka PHK tersebut tidak dapat digolongkan sebagai pengunduran
diri atas kemauan sendiri si pekerja. Bisa jadi hal tersebut dapat digolongkan sebagai
32

efisiensi sehingga kalau pekerja tersebut tetap di PHK ia berhak mendapat


kompensasi PHK.19
2. Pengusaha melakukan pelanggaran atau kejahatan kepada pekerja
Pekerja berhak memutuskan hubungan kerja dengan pihak pengusaha, karena
pada prisipnya pekerja tidak boleh dipaksa untuk terus-menerus bekerja jika dia
sendiri tidak menghendakinya. Dengan demikian dalam PHK ini yang aktif meminta
diputuskan hubungan kerjanya adalah pekerja itu sendiri.
Dalam hal ini pekerja dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan
kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal
pengusaha melakukan perbuatan yang tercantum dalam pasal 169.ayat 120
Pasal 169
1) Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja
kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal
pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut :
a. Menyaniaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;
b. Membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan
perbuatan

yang

bertentangan

dengan

peraturan

perundang-

undangan;
c. Tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama
3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih;
d. Tidak melakukan kewajiban yang

telah

dijanjikan

kepada

pekerja/buruh;
e. Memerintah pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar
f.

yang diperjanjikan; atau


Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan,
kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan

tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.


2) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) pekerja/buruh berhak mendapat uang pesangon 2 (dua) kali
ketentuan pasal156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali

19

Imam Hadi Buntoro, Petunjuk Praktis Menghitung Pesangon, (Jakarta : Forum Sahabat,
2008), hal. 84-86
20
Rocky Marbun, SH., MH, Jangan Mau di-PHK Begitu Saja, (Jakarta : Visimedia, 2010),
hal. 113

33

ketentuan pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan
pasal 156 ayat (4).
3) Dalam hal pengusaha dinyatakan tidak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja
tanpa penetapan lembaga penyelesaian penyelisihan hubungan industrial
dan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak berhak atas uang pesangon
sesuai ketentuan pasal 156 ayat (2), dan uang penghargaan masa kerja
sesuai ketentuan pasal 156 ayat (3)
Dan atas hal tersebut itu, pengusaha wajib memberikan pesangon dua kali
ketentuan, uang penghargaan masa kerja satu kali ketentuan dan uang penggantian
hak kepada pekerja yang melakukan PHK, apabila permohonan PHK tersebut
dikabulkan oleh Pengadilan Hubungan Indusrtial.
Bila pengusaha ternyata tidak terbukti di Pengadilan Hubungan Industrial
melakukan tindakan sebagaimana yang diajukan oleh pekerja, maka pengusaha
dapat mem-PHK pekerja bersangkutan tanpa penetapan Pengadilan Hubungan
Industrial dan juga kepada pekerja yang bersangkutan tidak diberikan uang
pesangon dan uang penghargaan masa kerja (pasal 169 ayat (3) Undang-undang
Ketenagakerjaan).
Contoh:
Y seorang pekerja yang sudah bekerja selama tujuh tahun pada PT Selalu Mandiri
menuntut/menggugat pengusaha ke Pengadilan Hubungan Industrial dengan alasan
pengusaha tidak membayar upahnya tepat waktunya selama tiga bulan berturutturut. Gugatan Y tersebut dikabulkan oleh Pengadilan Hubungan Industrial dan
putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukam yang tetap. Selama bekerja, Y
mendapat uapah pokok sebesar Rp 2.500.000,- setiap bulan. Selain itu Y juga
mendapat tunjangan antara lain:
- Tunjangan jabatan
- Tunjangan keluarga
- Tunjangan masa kerja
- Tunjangan makan & transportasi : Rp
Total

34

: Rp
250.000,: Rp
200.000,: Rp 100.000,30.000,: Rp 3.050.000,-

Adapun penghitungan kompensasi yang terima Y, sesuai ketentuan pasal 169


Undang-undang Ketenagakerjaan, sebagai berikut:
- Pesangon (2 x ketentuan) yaitu
2 x 8 x Rp 3.050.000,= Rp 48.800.000,- Uang penghargaan masa kerja (1 x ketentuan)
3 x Rp 3.050.000,= Rp 9.150.000,- Uang penggantian hak:
Cuti tahunan yang belum diambil/belum gugur
12/30 x Rp 3.050.000,= Rp 1.220.000, Uang penggantian perumahan, pengobatan & perawatan 15% x (2
x 8 x Rp 3.050.000,-)
= Rp
8.692.500,Total
= Rp 67.862.500,-21
c) Hubungan kerja putus demi hukum
1. Pekerja Meninggal Dunia
Dengan meninggal dunianya seorang pekerja maka otomatis hubungan kerja
berakhir. (apabila pengusaha yang meninggal dunia, hubungan kerja tetap
berlangsung). Terhadap ahli waris pekerja yang meninggal tersebut akan diberikan
kompensasi berupa uang pesangon dua kali ketentuan, uang penghargaan masa
kerja dan uang penggantian hak.
Pasal 166
Dalam hal hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh meninggal dunia, kepada
ahli warisnya diberikan sejumlah uang yang besar perhitungannya sama dengan
perhitungan 2 (dua) kali uang pesangon sesuai ketentua pasal 156 ayat (2), 1 (satu)
kali uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan pasal 156 ayat (3), dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan pasal 156 ayat (4).
Contoh :
Seorang pekerja telah bekerja selama 15 tahun di sebuah perusahaan di Tambun
Bekasi. Pada tahun ke-15 upah pokonya sudah mencapai Rp 8.000.000,-. Selain itu
ia juga diberikan tunjangan antara lain:
- Tunjangan jabatan
- Tunjangan keluarga
- Tunjangan masa kerja
- Tunjangan makan & transportasi : Rp
Total

21

: Rp
750.000,: Rp
400.000,: Rp
400.000,40.000,: Rp 9.550.000,-

Imam Hadi Buntoro, Petunjuk Praktis Menghitung Pesangon, (Jakarta : Forum Sahabat,
2008), hal. 81-82

35

Setelah 15 tahun kemudian, pekerja tersebut meninggal dunia. Dengan demikian


hubungan

kerja

berakhir.

Sesuai

ketentuan

pasal

166

Undang-undang

Ketenagakerjaan, ahli waris dari pekerja tersebut berhak mendapat:


-

Pesangon (2 x ketentuan)
2 x 9 x Rp 9.550.000,= Rp 171.900.000,Uang penghargaan masa kerja (1 x ketentuan) 6 bulan upah
6 x Rp 9.550.000,= Rp 57.000.000,Uang penggantian hak:
Cuti tahunan yang belum diambil/belum gugur
12/30 x Rp 9.550.000,= Rp 3.820.000, Uang penggantian perumahan, pengobatan & perawatan 15% x

{(2 x 9 x Rp 9.550.000) + (6 x Rp 9.550.000)} = Rp 34.380.000,= Rp 267.400.000,2. Pekerja memasuki masa pensiun


Pengaturan pensiun bisa berdasarkan usia seorang pekerja dan bias juga karena
Total

pekerja bersangkutan telah bekerja di perusahaan dalam jangka waktu tertentu yang
di atur dalam peraturan perusahaan atau perjanjian bersama. Jika pekerja di-PHK
dapat memasuki masa pensiun ada beberapa hal yang harus diperhatikan :
- Pasal 167 ayat (1 dan 2) dikatakan apabila pekerja memasuki masa
pensiun dan pengusaha telah mengikut-sertakan pekerja tersebut pada
program pensiun yang iurannya di bayar penuh oleh pengusaha, maka
pekerja tidak berhak memdapatkan pesangon, uang penghargaan masa,
tetapi tetap berhak mendapatkan uang penggantian hak sesuai
ketentuan. Namun, bila ternyata uang dari program pensiun tersebut lebih
kecil dari pada jumlah uang pesangon dua kali ketentuan dan uang
penghargaan dan uang penghargaan masa kerja satu kali ketentuan, dan
uang
-

penggantian

hak

sesuai

ketentuan

maka

selisihnya

(kekurangannya) dibayar oleh pengusaha.


Pasal 167 ayat (3), di sebutkan bahwa PHK terhadap pekerja, karena
memasuki usia pensiun dan pengusaha telah mengikut-sertakan pekerja
dalam program

pensiun

yang iurannya dibayar oleh pengusaha dan

pekerja, maka yang diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang

36

pensiun yang premi/iurannya dibayar oleh pengusaha kecuali diatur lain


-

dalam perjanjian kerja, PP,PKB.


Pasal 167 ayat 5 dan 6 mengatur : PHK terhadap pekerja karena
memasuki usia pensiun dan pengusaha tidak mengikut-sertakan pekerja
yang mengalami PHK, karena usia pensiun pada program pensiun,
pengusaha wajib memberikan kepada pekerja uang pesangon sebesar
dua kali ketentuan, uang penghargaan masa kerja satu kali ketentuan dan

uang penggantian hak sesuai ketentuan.


Dengan mengacu pada ketentuan tersebut, maka penghitungan kompensasi
karena pekerja memasuki masa pensiun tergantung apakah di perusahaan tersebut
ada program dana pensiun atau tidak.
- Jika di perusahaan tersebut tersedia program pensiun dan premi/iuran
pensiun tidak dipotong dari pekerja maka jumlah dana pensiun tersebut
dapat dijadikan sebagai kompensasi, asal nilainya tidak boleh kurang dari
-

ketentuan UU tenaga kerja.


Apabila premi dana pensiun ada yang dipotong dari upah pekerja maka
jumlah storan premi/iuran yang dipotong dari upah pekerja tersebut tidak
dihitung sebagai kompensasi. Yang dihitung sebagai kompensasi adalah
jumlah storan dari perusahaan/pengusaha untuk pekerja bersangkutan.
Apabila nilainya

kurang dari ketentuan UU tenaga kerja maka

pengusaha/perusahaan wajib mengganti kekurangan tersebut.


Contoh 1: iuran pensiun ditanggung oleh pengusaha dan pekerja
Y bekerja pada perusahaan Tambang Toba selama 17 tahun. Sejak tiga tahun lalu Y
diangkat sebagai manajer dengan upah dan tunjangan tetap sebesar Rp
15.000.000,- per bulan. Besarnya jaminan pensiun menurut program pensiun adalah
Rp 250.000.000,-. Jumlah premi pensiun yang dibayar oleh pengusaha selama 17
tahun adalah sebesar Rp 200.000.000,-. Sedangkan setoran pekerja selama 17
tahun sebesar Rp 50.000.000,-. Pada tahun ke-17 Y memasuki masa pensiun.
Besarnya kompensasi yang diterima oleh pekerja menurut ketentuan UU tenaga
kerja adalah sebagai berikut:
- U. pesangon 2 x 9 x Rp 15.000.000,37

: Rp 270.000.000,-

U. penghargaan 1 x 7 (uang penghargaan masa kerja 17 th) x Rp


15.000.000,U. penggantian hak tdd:
Cuti 12/30 x Rp 15.000.000, Penggantian perumahan/pengobatan
15% x Rp 375.000.000,-

: Rp 105.000.000,: Rp 6.000.000,-

: Rp 56.250.000,Jumlah
: Rp 437.250.000,Catatan :
- Karena jumlah premi pensiun yang distor oleh pengusaha hanya sebesar
Rp 200.000.000,-, maka pengusaha harus menambah Rp 237.250.000,-

lagi
Total kompensasi yang diterima oleh komosaris pada saat memasuki
masa pensiun adalah Rp 437.250.000,- + Rp 50.000.000,- (premi pensiun

yang distor pekerja) = Rp 487.250.000,Contoh 2: PHK dengan tersedianya dana pensiun yang iurannya ditanggung oleh
pengusaha
Y diterima sebagai satpam bekerja di Karawang untuk ditempatkan di Banjarmasin.
Setiap bulan ia mendapat upah pokok sebesar Rp 30.000.000,-. Selain itu ia juga
diberikan tunjangan antara lain:
- Tunjangan jabatan
: Rp 200.000,-/bulan
- Tujangan keluarga
: Rp 100.000,-/bulan
- Tunjangan masa kerja
: Rp 500.000,-/bulan
- Tunjangan makan & transportasi : Rp 30.000,-/hari
Gaji sebulan
: Rp 3.800.000,Setelah bekerja selama 25 tahun ia memasuki masa pensiun. Dan perusahaan
tersebut telah menyediakan jaminan pensiun bagi pekerja bersangkutan. Yang
dihitung terlebih dahulu adalah total kompensasi PHK andai kata ia tidak
diikutsertakan dalam program pensiun. Dari upah Y maka kompensassnya adalah
sebagai berikut:
- U.pesangon 2 x 9 x Rp 3.800.000,= Rp 68.400.000,- U.penghargaan 1 x 10 x Rp 3.800.000,= Rp 38.000.000,- U.penggantian hak tdd:
Cuti 12/30 x Rp 3.800.000,= Rp 1.520.000, Penggantian perumahan/pengobatan
15% x Rp 106.400.000,= Rp 15.960.000,Jumlah
= Rp 123.880.000,Ternyata setelah dihitung total storan dan pengembangan uang pensiun juga
sebesar Rp 123.880.000,- maka perusahaan hanya menambah uang penggantian
hak yang terdiri dari
- Cuti tahunan yang belum
38

12/30 x Rp 3.800.000,= Rp 1.520.000,15% dari uang pesangon + uang penghargaan masa kerja
= Rp 15.960.000,- Tranportasi dari Banjarmasin ke Karawang
= Rp 800.000,Total
= Rp 18.280.000,Contoh 3: pensiun dengan tidak tersedianya jaminan pensiun.
Bila di perusahaan tersebut ternyata tidak tersedia jaminan pensiun maka sesuai
-

ketentuan pasal 167 Undang-undang Ketenagakerjaan, maka pekerja tersebut


berhak mendapat kompensasi sebagai berikut:
- Pesangon (2 x ketentuan)
2 x 9 x Rp 3.800.000,= Rp 68.400.000,- Penghargaan masa kerja (1 x ketentuan)
10 x Rp 3.800.000,= Rp 38.000.000,- Uang penggantian hak:
Cuti yang belum diambil/belum gugur
12/30 x Rp 3.800.000,= Rp 1.520.000, Uang penggantian perumahan, pengobatan dan perawatan 15% x

{(2 x 9 x Rp 3.800.000,-)+(10 x Rp 3.800.000,-)} = Rp 15.960.000,Transportasi dari Banjarmasin ke Karawang


= Rp 800.000,-

Total

= Rp 124.680.000,-

3. Selesainya masa kontrak


Bila PHK terjadi karena berakhirnya kontrak untuk perjanjian kerja waktu tertentu
(PKWT), maka pekerja tidak berhak mendapat uang pesangon, uang penghargaan
masa kerja dan uang panggantian hak. Begitu pun PHK terhadap pekerja PKWT
dalam masa percobaan tidak berhak mendapat uang kompensasi PHK.
4. Tanpa perlu penetapan
Untuk alasan-alasan tertentu pengusaha dapat mem-PHK pekerja tanpa perlu
menunggu penetapan Pengadilan Hubungan Industrial antara lain:
- PHK terhadap pekerja yang masih dalam masa percobaan asal
dipersyaratkan secara tertulis tentang adanya masa percobaan tersebut.
Masa percobaan pun tidak boleh melebihi tiga bulan dan tidak berlaku
bagi pengusaha yang menerima pekerja yang sebelumnya telah
-

melakukan magang di perusahaan tersebut


PHK terhadap pekerja mengajukan pengunduran diri secara tertulis atas
kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan atau intimidasi dari
perusahaan

39

PHK karena berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja

waktu tertentu untuk pertama kali


PHK terhadap pekerja yang mencapai usia pensiun sesuai dengan
ketetapan dalam perjanjian kerja, PP, PKB atau peraturan perundang-

undangan lainnya
PHK karena pekerja meninggal dunia. Kepada pekerja yang meninggal
dunia pengusaha wajib mamberikan santunan kepada ahli waris yang sah
yakni berupa uang pesangon (dua kali ketentuan, uang penghargaan
masa kerja dan uang penggantian hak). Yang perlu juga dicatat bahwa
meninggalnya pengusaha tidak berakibat berakhirnya hubungan kerja

kecuali diatur dalam perjanjian kerja, PP, PKB


PHK terhadap pekerja yang mangkir selama lima hari kerja atau lebih
berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang lengkapi dengan bukti

yang sah dan telah dipanggil pengusaha dua kali secara patut.
Pasal 154
Penetapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 151 ayat (3) tidak diperlukan dalam
hal:
a. pekerja/buruh

masih

dalam

masa

percobaan

kerja,

bilamana

telah

dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya;


b. Pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas
kemauan sandiri tanpa ada indikasi

adanya

tekanan/intimidasi dari

pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja


waktu tertentu untuk pertama kali;
c. Pekerja/buruh mancapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjiankerja bersama, atau
peraturan perundang-undangan; atau
d. Pekerja/buruh meninggal dunia.22
d) Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan
Yang dimaksud dengan pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan ialah
pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan perdata biasa atas permintaan yang
bersangkutan (pengusaha/pekerja) berdasarkan alasan penting. Dalam pasal 1603 v
KUHPerdata disebutkan tiap pihak (pekerja, pengusaha) setiap waktu, juga sebelum
22

Imam Hadi Buntoro, Petunjuk Praktis Menghitung Pesangon, (Jakarta : Forum Sahabat,
2010), hal 86-94 Jakarta:2010.

40

pekerjaan dimulai berwenang berdasarkan alasan penting mengajukan permintaan


tertulis kepada pengadilan di tempat kediamannya yang sebenarnya untuk
menyatakan perjanjian kerja putus.
Alasan penting adalah disamping alasan mendesak juga karena perubahan
keadaan pribadi atau kekayaan pemohon atau perubahan keadaan dimana
pekerjaan yang dilakukan sedemikian rupa sifatnya, sehingga adalah layak untuk
memutuskan hubungan kerja. Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh
pengadilan atas permintaan pihak pengusaha tidak memerlukan izin dari P4D atau
P4P. demikian juga halnya dengan pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh
balai harta peninggalan untuk kepentingan pengusaha yang dinyatakan pailit dan
pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh perwakilan Indonesia di luar negeri
untuk kepentingan pengusaha kapal. Terhadap putusan pengadilan negeri tersebut
tidak ada upaya untuk melawan atau menolaknya, kecuali jika Jaksa Agung
memandang perlu untuk mengajukan permintaan kasasi terhadap putusan itu, yang
semata-mata demi kepentingan undang-undang.23
e. Pengaturan mengenai kompensasi PHK
UU Ketenagakerjaan 2003 pasal 156 mengatur ketentuan dari kompensasi uang
pesangon bagi pekerja yang terkena PHK. Jika terjadi pemutusan hubungan kerja,
pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa
kerja dan uang panggantian hak yang seharusnya diterima. Perhitungan uang
pesangon tersebut sebagai berikut.
1. Masa kerja kurang dari satu tahun berhak mendapatkan satu bulan upah.
2. Masa kerja satu tahun atau lebih tetapi kurang dari dua tahun, berhak
mendapatkan dua bulan upah.
3. Masa kerja dua tahun atau lebih tetapi kurang dari tiga tahun berhak
mendapatkan tiga bulan upah.
4. Masa kerja tiga tahun atau lebih tetapi kurang dari empat tahun berhak
mendapatkan empat bulan upah.
5. Masa kerja empat tahun atau lebih tetapi kurang dari lima tahun berhak
mendapatkan lima bulan upah.

23

Lalu Husni,SH.,M.Hum:Hukum Ketenagakerjaan Indonesia edisi revisi, (Jakarta : PT


RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 188

41

6. Masa kerja lima tahun atau lebih tetapi kurang dari enam tahun berhak
mendapatkan enam bulan upah.
7. Masa kerja enam tahun atau lebih tetapi kurang dari tujuh tahun berhak
mendapatkan tujuh bulan upah.
8. Masa kerja tujuh tahun atau lebih tetapi kurang dari delapan tahun berhak
mendapatkan delapan bulan upah.
9. Masa kerja delapan tahun atau lebih berhak mendapatkan sembilan bulan
upah.
Perhitungan untuk uang penghargaan masa kerja diatur dalam pasal 156
ayat (3) sebagai berikut.
1. Masa kerja tiga tahun atau lebih tetapi kurang dari enam tahun, berhak
mendapatkan dua bulan upah.
2. Masa kerja enam tahun atau lebih tetapi kurang dari sembilan tahun berhak
mendapatkan tiga bulan upah.
3. Masa kerja sembilan tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 tahun berhak
mendapatkan empat bulan upah.
4. Masa kerja 12 tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 tahun berhak
mendapatkan lima bulan upah.
5. Masa kerja 15 tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 tahun berhak
mendapatkan enam bulan upah.
6. Masa kerja 18 tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 tahun berhak
mendapatkan tujuh bulan upah.
7. Masa kerja 21 tahun atau lebih tetapi kurang dari dua puluh empat tahun
berhak mendapatkan delapan bulan upah.
8. Masa kerja 24 tahun atau lebih berhak mendapatkan 10 bulan upah.
Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagai berikut.
1. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur.
2. Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat
pekerja/buruh diterima bekerja. Pasal ini maksudnya jika ada pekerja yang
bekerja di luar wilayah domisilinya, misalnya A berdomisili di Jakarta dan
diterima di perusahaan yang berdomisili di Sumatera Utara. Tentu saja A
harus berangkat ke Sumatera Utara untuk bekerja dan membawa serta
keluarganya. Jika kemudian terjadi PHK terhadap A, biaya transportasi dari
Sumatera Utara ke Jakarta keseluruhannya ditanggung oleh perusahaan.

42

3. Penggantian perumahan, pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari


uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi
syarat.
4. Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
atau perjanjian kerja bersama, misalnya uang pisah.
Berkaitan dengan ketentuan 15% dari uang pesangon, maka disimpulkan
sebagai berikut:
1. Ketentuan sebesar 15% dapat dihitung dari uang pesangon yang seharusnya
didapat dan dari uang penghargaan masa kerja.
2. Ketentuan sebesar 15% dapat dihitung hanya dari jumlah uang pesangon
saja.
3. Ketentuan sebesar 15% dapat dihitung dari uang penghargaan masa kerja.
Dalam hal pengertian uang penghargaan yang berasal dari masa kerja yang
memenuhi persyaratan, pekerja harus meneliti kembali, sejak kapan dia diangkat
dan disahkan sebagai pekerja tetap yang dibuktikan dengan surat keputusan dari
pihak perusahaan.
Inilah fungsi dan tujuan dari pentingnya perjanjian kerja yang disepakati oleh
pekerja dan perusahaan. Yakni, agar menjamin kepastian hak dari pekerja dalam
menuntut haknya.24
f. Sanksi pelanggaran hak-hak perkerja yang Ter-PHK
Dalam hukum ketenagakerjaan ditemukan banyak pasal yang mencantumkan
sanksi/hukuman yang

dapat dijatuhkan

kepada siapapun yang

melakukan

pelanggaran, tergantung jenis pelanggarannya. Dari segi hukum ada tiga jenis sanksi
yang dapat dijatuhkan, bila terjadi pelanggaran terhadap hak dalam hubungan
industrial, yaitu sanksi administratif, sanksi perdata, dan sanksi pidana. Berikut
sebagian dari sanksi yang ada hubungannya dengan Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK) atau hak-hak mendasar lainnya.
1. Sanksi Administratif
Pasal 190 Undang-Undang Ketenagakerjaan (UUKK) Tahun 2003 mengatur
tentang sanksi administratif apabila pengusaha melakukan pelanggaran-pelanggaran
antara lain :
a) Melakukan diskriminasi kesempatan kerja kepada pekerja;
b) Penyelengaraan pelatihan kerja yang tidak memenuhi syarat;
24

Rocky Marbun,SH,MH, Jangan Mau di-PHK Begitu Saja, (Jakarta : Visimedia, 2010), hal.
128-130

43

c) Melakukan pemagangan pekerja di luar negeri, tanpa izin dari instansi


tenaga kerja;
d) Perusahaan penempatan

tenaga

kerja

yang

memungut

biaya

penempatan kepada pekerja;


e) Perusahaan yang tidak membentuk lembaga kerja biparti, padahal sudah
f)

mempekerjakan lebih dari 50 orang pekerja;


Pengusaha tidak mencetak atau memperbanyak naskah Perjanjian

Bersama Kerja (PKB);


g) Pengusaha yang tidak memberikan bantuan paling lama enam bulan
takwin kepada keluarga pekerja yang menjadi tanggunganya terhitung
sejak hari pertama pekerja ditahan oleh pihak yang berwajib. Kewajiban
pengusaha tersebut diatur dengan presentase berikut: untuk satu orang
tanggungan 25% dari upah, dua orang tanggungan 35% dari upah, tiga
orang tanggungan 45% dari upah, empat orang atau lebih tanggungan
50% dari upah (Pasal 190 UUKK).
Sebagaimana yang dimaksudkan UUKK, bentuk sanksi administratif tersebut
dapat berupa.
a) Teguran;
b) Peringatan tertulis;
c) Pembatasan kegiatan usaha;
d) Pembekuan usaha;
e) Pembatalan pendaftaran;
f) Penghentian sementara sebagaian atau keseluruhan alat produksi;
g) Pencabutan ijin usaha.
2. Sanksi Perdata
Sanksi perdata yang diatur dalam UUKK antara lain:
a) Batalnya perjanjian kerja bila perjanjian kerja, bukan karena kesepakatan
dan kecakapan kedua belah pihak;
b) Batalnya perjanjian kerja apabila pekerjaan yang diperjanjikan tersebut
bertentangan dengan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban
umum;
c) Batalnya PHK bila sebelumnya tidak ada penetapan dari pengadilan HI,
untuk jenis PHK yang mempersyaratkan adanya penetapan dari
Pengadilan Hubungan Industrial;

44

d) Hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan penerima borongan


pekerjaan beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja dengan pemberi
pekerjaan, apabila pekerjaan borongan tidak memenuhi syarat (Pasal 65
ayat 8 dan 9 UUKK);
e) Status hubungan kerja antara pekerja dengan PPJP beralih menjadi
hubungan kerja antara pekerja dengan pemberi pekerjaan, apabila PPJP
itu
f)

digunakan

oleh

pemberi

kerja

untuk

melaksanakan

tugas

pokok/produksi (Pasal 66 ayat 3 dan 4 UUKK)


Mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah, maka pekerja yang
melakukan mogok kerja dianggap mengkir. Dan bila sudah dipanggil
secara patut dan tertulis, pekerja tidak juga datang, maka dianggap
mengundurkan diri. Ia tidak berhak mendapat uang pesangon dan uang

penghargaan masa kerja;


g) Mogok kerja di perusahaan yang melayani kepentingan umum atau yang
berkaitan dengan keselamatan jiwa manusia, sehingga jatuh korban,
maka

dianggap

sebagai

melakukan

kesalahan

berat.

Pekerja

bersangkutan tidak berhak mendapat uang pesangon.


3. Sanksi Pidana
Sanksi pidana dalam hubungan industrial dapat dijatuhkan kepada pekerja atau
pengusaha, apabila melakukan tindak pidana kejahatan. Sebagian dari bentukbentuk sanksi pidananya antara lain (Pasal 183-188 UUKK)
1) Dikenakan ancaman sanksi pidana penjara paling singkat satu tahun dan
paling lama liam tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,dan paling banyak Rp. 500.000.000,- bagi pengusaha yang tidak
mengikutsertakan pekerja yang mengalami PHK, karena usia pensiun
pada program pensiun dan tidak memberikan pesangon sebesar dua kali
ketentuan, uang penghargaan dan uang penggantian hak sesuai
ketentuan (Pasal 184 UUKK).
2) Pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,- dan paling tinggi Rp.
50.000.000,- bila memungut biaya penempatan tenaga kerja oleh
perusahaan penempatan tenaga kerja swasta (Pasal 38 ayat 2 UUKK).
45

3) Sebagai kejahatan dan diancam pidana penjara paling singkat satu tahun
dan paling lama empat tahun dan atau denda paling sedikit Rp.
100.000.000,- dan paling banyak Rp. 400.000.000,- bagi pengusaha yang
membayar upah lebih rendah dari ketentuan upah minimum (Pasal 90
ayat 1 Pasal 185 ayat 1 UUKK).
4) Pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama empat tahun
dan atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,- dan paling banyak Rp.
400.000.000,- bagi pengusaha yang tidak membayar kepada pekerja
yang mengalami PHK yang setelah enam bulan tidak dapat melakukan
pekerjaan sebagaiman mestinya, karena dalam proses perkara pidana,
uang penghargaan masa kerja satu kali ketentuan dan uang penggantian
hak sesuai ketentuan (Pasal 185 UUKK)
5) Sanksi pidana pelanggaran dengan ancaman penjara paling singkat satu
bulan dan paling lama empat bulan dan atau denda paling sedikit Rp.
10.000.000,- dan paling banyak Rp. 400.000.000,- bagi peengusaha
yang:
a) Tidak membayar upah dalam hal pekerja tidak dapat melakukan
pekerjaan karena sakit;
b) Tidak membayar upah pekerja perempuan yang sakit pada hari
pertama dan kedua masa haid;
c) Tidak membayar upah kepada pekerja yang tidak masuk kerja
karena

pekerja

menikah,

mengkitankan/membaptiskan

anak,

menikahkan
atau

karena

anak,
istri/anak/

menantu/orang tua/mertua dan anggota keluarga dalam satu


rumah meninggal dunia;
d) Tidak membayar upah pekerja yang sedang menjalankan
kewajiban terhadap Negara dan kewajiban agamanya;
e) Tidak mempekerjakan pekerja pekerjaan yang dijanjikan;
f) Memaksa pekerja untuk bekerja padahal sedang melaksanakan
hak istirahat

46

g) Pengusaha yang memaksa pekerja untuk bekerja pada saat


pekerja sedang melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan
(Pasal 186 UUKK).25
B. PENYELESAIAN PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)
Mekanisme perselisihan PHK beragam dan berjenjang.
1. Perundingan Bipartit
Secara umum perundingan dapat digambarkan sebagai pertemuan dua pihak
antara buruh dan pengusaha dalam rangka mencari solusi atas suatu perselisihan.
Perundingan antara buruh dan pengusaha ditingkat perusahaan disebut perundingan
bipartit. Pada level ini perundingan dilakukan secara tertutup dengan dihadiri oleh
buruh atau serikat pekerja/buruh bersama pengusaha.26
Penyelesaian bipartit adalah penyelesaian perselisihan hubungan industrial
antara pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha secara internal di dalam
lingkungan perusahaan tanpa melibatkan pihak ketiga seperti pemerintah. Secara
yuridis

yang

dimaksud

dengan

perundingan

bipartit

adalah

perundingan

pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan


perselisihan

hubungan

industrial.27

Penyelesaian

pada

tahap

ini

lebih

mengedepankan kemampuan negosiasi. Pengusaha dan buruh/serikat buruh harus


melaksanakan perundingan secara efektif sebab waktu bipartit dibatasi selama 30
(tiga puluh) hari kerja terhitung sejak bipartit dilaksanakan.28
Dalam perundingan ini, harus dibuat risalah yang ditandatangai para Pihak.
Risalah bipartit berfungsi sebagai tiket masuk mendaftar perselisihan pada instansi
ketenagakerjaan.29 isi risalah diatur dalam Pasal 6 Ayat 2 UU PPHI. Apabila tercapai
kesepakatan maka Para pihak membuat Perjanjian Bersama yang mereka
tandatangani. Kemudian Perjanjian Bersama ini didaftarkan pada PHI wilayah oleh
25

Imam Hadi Buntoro, Petunjuk Praktis Menghitung Pesangon, (Jakarta : Forum Sahabat,
2010), hal. 97-102
26
Juanda Pangaribuan, SH., MH, Tuntunan Praktis Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial Edisi Revisi, (Jakarta : PT Bumi Intitama Sejahtera, 2010), hal. 23
27
Pasal 1 butir 10 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004
28
Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004
29
Pasal 4 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004

47

para pihak ditempat Perjanjian Bersama dilakukan. Perlunya menddaftarkan


perjanjian bersama, ialah untuk menghindari kemungkinan salah satu pihak ingkar.
Bila hal ini terjadi, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi.
Apabila gagal dicapai kesepakatan, maka pekerja dan pengusaha mungkin harus
menghadapi prosedur penyelesaian yang panjang melalui Perundingan Tripartit.
2. Perundingan Tripartit
Dalam pengaturan Undang-undang Ketenagakerjaan, terdapat tiga forum
penyelesaian yang dapat dipilih oleh para pihak:
a. Mediasi
Mediasi menurut Huala Adolf adalah suatu cara pentelesaian melalui pihak
ketiga.30 Joni Emirzon mengatakan mediasi (mediation) adalah penyelesaian
sengketa dengan menengahi.31 Secara juridis pengertian mediasai dapat ditemukan
dalam peraturan Mahkamah Agung. Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa
melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan
dibantu oleh mediator. Dalam kamus umum bahasa Indonesia mediator diartikan
sebagai pihak ketiga yang bertindak sebagai pemisah antara pihak-pihak yang
bersengketa.32 Mediator adalah pihak yang netral dan independen yang terlibat
dalam suatu sengketa.33
Forum Mediasi difasilitasi oleh institusi ketenagakerjaan. Dinas tenagakerja
kemudian menunjuk mediator. Mediator berusaha mendamaikan para pihak, agar
tercipta kesepakatan antar keduanya. Dalam hal tercipta kesepakatan para pihak
membuta perjanjian bersama dengan disaksikan oleh mediator. Bila tidak dicapai
kesepakatan, mediator akan mengeluarkan anjuran.
b. Konsiliasi
Dalam Undang-undang PPHI, yang dimaksud dengan konsiliasi adalah
penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja,
atau perselisihan antarserikat pekerja/buruh hanya dalam satu perusahaan melalui
musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.
Forum Konsiliasi dipimpin oleh konsiliator yang ditunjuk oleh para pihak. Seperti
mediator, Konsiliator berusaha mendamaikan para pihak, agar tercipta kesepakatan
antar keduanya. Namun, seorang konsiliator bersikap lebih aktif dibandingkan
seorang mediator. Konsiliator dapat memanggil, memeriksa, dan menyuruh
30

Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, (Jakarta : Sinar Grafika,


2006), hal. 21
31
Joni Emirzon, Op. Cit, hal.67
32
W.J.S. Poerwadarminta, Op. cit, hal 756
33
Huala Adolf, Op. Cit, hal. 33

48

membuka apa saja yang berkaitan dengan pemeriksaan perkara. Hasil akhir dari
proses pemeriksaan melalui konsiliasi berupa anjuran yang wajib dijalankan oleh
para pihak.
c. Arbitrase
Lain dengan produk Mediasi dan Konsiliasi yang berupa anjuran dan tidak
mengikat, putusan arbitrase mengikat para pihak. Satu-satunya langkah bagi pihak
yang menolak putusan tersebut ialah permohonan Pembatalan ke Mahkamah
Agung. Perlu diingat adalah keberatan terhadap putusan arbitrase ketenagakerjaan
yang diajukan adalah gugatan pembatalan bukan upaya banding atau kasasi. Hal
tersebut perlu menjadi perhatian serius agar gugatan yang diajukan tidak ditolak atau
tidak dapat diterima oleh majelis hakim. 34 Kelebihan menggunakan arbitrase adalah
rahasia para pihak dilindungi, wajib membayar biaya arbitrase, hubungan antara
para pihak dapat terjaga dengan baik, prosedur lebih sederhana, waktu memutus
lebih cepat, putusan Final dan binding, lebih fleksibel. Namun, karena adanya
kewajiban membayar arbiter, mekanisme arbitrase kurang populer.35
3. Pengadilan Hubungan Industrial
Pengadilan hubungan industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di
lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi
putusan terhadap suatu perselisihan hubungan industrial.36 Peran sentral pengadilan
adalah memberikan keadilan. Tujuan masyarakat menyampaikan tuntutan melalui
pengadilan adalah untuk mendapatkan keadilan. Yang memeriksa dan memutus
perselisihan pada PHI adalah majelis hakim yang terdiri dari satu orang sebagai
ketua majelis dan dua orang hakim anggota. Ketua majelis berasal dari hakim karir
dan anggota majelis masing-masing berasal dari organisasi buruh atau pengusaha
Dua hakim anggota disebut Hakim ad-hoc. PHI tidak mengenal upaya hukum
banding untuk jenis perselisihan tertentu hanya dapat mengajukan kasasi ke
Mahkamah Agung. Dan dalam PHI dikenal dengan adanya petitum adalah uraian
tuntutan yang diinginkan sebagai konsekuensi dari terjadinya perkara. Dalam
perselisihan tentang PHK petitum pilihannya adalah:
-

Menghukum tergugat memperkarakan kembali (bila buruh sebagai

penggugat masih ingin tetap bekerja);


Menghukum tergugat membayar pesangon ( bila buruh tidak lagi
menginginkan kelangsungan hubungan kerja);

34

Rocky Marbun, SH.,MH, Jangan Mau di-PHK Begitu Saja, (Jakarta : Visimedia, 2010), hal.
148-150
35
Juanda Pangaribun,SH,MH, Tuntunan Praktis Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial, (Jakarta : PT Bumi Intitama Sejahtera, 2010), hal. 90
36
Pasal 1 butir 17 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004

49

Menyatakan putus hubungan kerja antara penggugat dan tergugat tanpa


kompensasi pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang

penggantian hak (bila penggugat pengusaha).37


4. Upaya Hukum
Upaya hukum adalah hak dari para pihak yang merasa dirugikan pada
pemeriksaan tingkat pertama atau sesudahnya yang diajukan ke pengadilan tingkat
lebih tinggi. Dalam hal penyelesaian perselisihan hubungan industrial (PPHI) hanya
terdapat dua tingkatan, yaitu pada pengadilan hubungan industrial dan Mahkamah
Agung, sehingga di dalam UU PPHI ini tidak dikenal upaya banding yang ada hanya
upaya hukum kasasi.
Hal tersebut dimaksudkan agar dapat tercapai suatu kepastian hukum, proses
persidangan yang cepat, ringan dan sederhana. 38
C. SERIKAT PEKERJA/BURUH
a. Profil gerakan buruh Indonesia
Gerakan buruh Indonesia menjadi salah satu perjuangan Bangsa Indonesia
dalam

mencapai

Kemerdekaan

Indonesia,

mewujudkan

kemakmuran

dan

kesejahteraan bangsa, serta mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia


Bangsa Indonesia mengapresiasi perjuangan gerakan buruh Indonesia sejak
berdirinya serikat buruh di Indonesia pada awal 1990-an hingga memasuki Era Pra
Kemerdekaan Indonesia. Kiprah gerakan buruh Indonesia dapat ditandai oleh
kegigihan para tokohnya dalam skala kejuangan nasional ataupun keberhasilannya
dalam memperjuangkan prinsip dan hak mendasar di tempat kerja (fundamental
principles and rights at work) dan hak kaum pekerja (wokersright)
Kebangkitan dan perkembangan gerakan buruh Indonesia pada awal sebelum
kemerdekaan Republik Indonesia (awal tahun 1990-an sampai 1945), ditandai oleh
kesadaran politik era eksponen gerakan buruh. Pembentukan serikat-serikat
pekerja/buruh oleh pribumi pada tahun 1912-an lebih cenderung berlatar belakang
politik daripada pertimbangan sosial ekonomi. Pada era ini, perjuangan serikat
pekerja/buruh dalam memperoleh persamaan hak sosial dan hak politik bersifat
pararel dengan perjuangan partai politik yang sangat radikal. Serikat pekerja/buruh
dan partai politik bahu-membahu melawan kedoliman, ketidak-adilan, tindakan
represif, dan diskriminatif yang dilakukan pemerintah kolonial. tumbuh sebagai
37

Juanda Pangaribun,SH.,MH, Tuntunan Praktis Penyelesaian Perselisihan Hubungan


Industrial, (Jakarta ; PT Bumi Intitama Sejahtera, 2010), hal. 105-108
38
Rocky Marbun,SH,MH, Jangan Mau di-PHK Begitu Saja, (Jakarta : Visimedia, 2010), hal.
154

50

bagian tak terpisahkan dari gejolak pilitik untuk merebut kemerdekaan. Gerakan
buruh pada periode ini timbul dan tenggelam, maju dan mundur bersama dengan
perjuangan politik. Ciri ini sama halnya dengan pertumbuhan gerakan buruh di Asia
pada umumnya atau negeri-negeri yang pernah terjajah oleh bangsa lain. Inspirasi
perjuangannya

dipengaruhi

oleh

aspirasi

nasional

bangsanya

untuk

mempertahankan harkat dan martabat sebagai suatu bangsa yang merdeka dan
berdaulat
Berbeda dengan hadirnya kebangkitan gerakan buruh di Eropa, yang terkait erat
dengan perubahan yang dahsyat dan dramatis di sector perindustrian yang terjadi di
Inggris tahun 1750 s/d 1840, dikenal dengan revolusi industri (industrial revolution).
Periode ini ditandai oleh karakteristik terjadinya arus urbanisasi, mekanisme
pertanian, kemajuan di bidang transportasi dan telekomunikasi, dan pengembangan
sistem pabrikasi secara besar-besaran. Ditindak lanjuti dengan pembagian kerja dan
percepatan mekanisme secara simultan yang mencirikan perubahan-perubahan
industrial, hasilnya adalah berupa produksi masal yang berlipat ganda. Mengiringi
perubahan industrial yang cepat ini timbul pengangguran, kesengsaraan, dan
kemiskinan yang melanda sejumlah tenaga kerja terutama yang tergantikan oleh
mekanisme mesin di pabrik-pabrik terjadi pergolakan sosial ekonomi dan benturan
antara pihak pengusaha dan pihak pekerja/buruh. Dengan hasil produksi yang
melimpah ruah, menyebabkan perusahaan memperoleh keuntungan yang berlipat
ganda. Sebaliknya, pihak pekerja/buruh

merasa bahwa pembagian keuntungan

yang diterimanya jauh dari memadai. Pembagian keuntungan ini secara alamiah
menimbulkan

benturan

kepentingan

antara

pihak

pengusaha

dan

pihak

pekerja/buruh, hal yang mana menjadi factor utama kehadiran serikat pekerja/buruh
di Eropa yang terorganisasi secara modern.39
Pembentukan serikat pekerja di Indonesia sudah mulai sejak awal kolonialisme
Belanda. Serikat pekerja pertama didirikan adalah Nederland Indische Onderwijs

39

M.S Hidayat, Seabad Gerakan Buruh Indonesia, (Bandung: CV.Nuansa Aulia, 2012), hal.
1-2

51

Genootschap (NIOG) pada tahun 1897 sebagai perserikatan guru-guru bangsa


Belanda. Yang pada dasarnya termasuk pegawai pemerintah Kolonial Belanda.
Kemudian disusul dengan pembentukan serikat pekerja di sector pemerintah yaitu
postbond di bidang pos (1905). Di sektor swasta bangkit pula beberapa serikat
pekerja seperti: Suikerbond di perkebunan gula (1906) dan Cultuurbond di
perkebunan karet (1907), dan Vereniging v spooren Tram Personeel (VSTP).
Sesudah itu timbul yang bersipfat gerakan kebangsaan seperti Budi Utomo
(1908), Serikat Dagang Islam (1911), Partai Komunis Indonesia (1920) dan Partai
Nasional Indonesia (1927). Bersamaan dengan gerakan nasional tersebut, beberapa
organisasi pekerja baru juga dibentuk seperti Handelsbond di sector perdagangan
(1909), Tiong Hoa Sim Gie (1909), Perserikatan Guru Hindia Belanda (1912),
Spoorbond (1913), Persatuan Pegawai Pegadaian Bumi Putera (1914). Pada tahun
1914,Social Democratische Party mendirikan Serikat Pekerja Indische Social
Democratische Vereniging. Lebih lanjut terbentuk Serikat Pegawai Pekerjaan Umum
pada tahun 1917. Pada tanggal 23 Maret 1918, organisasi-organisasi serikat pekerja
di sector Pemerintah bergabung dalam Verbond van Landsdienaren (VvL), dan yang
di perusahaan swasta tanggal 6 juli 1919 bergabung dalam Federatie van
Europeesche Worknemers.
Pada tanggal 26 Desember 1919, Perserikatan Pegadaian Bumi Putera (PPBP)
mengadakan kongresnya di bandung dan mencetuskan gagasan agar serikat-serikat
pekerja yang ada bergabung dalam satu wadah, sehingga terbentuklah Persatuan
Pergerakan Kaum Buruh (PPKB). Wadah ini hanya berumur kurang dari dua tahun,
karena tahun 1921 sebagian pengurusnya keluar dan membentuk Persatuan
Vakbond atau yang disebut Revolutionaire Vakcentrale dengan ketuanya Semaun.
Pada bulan September 1922, dibentuk kembali federasi baru yaitu Persatuan
Vakbond Hindia (PVH).
Pada saat itu, beberapa Serikat Pekerja telah melakukan kerjasama dengan
serikat pekerja internasional seperti VSTP dengan Red Internasional Labour Union d
Moskow (1923), Postbond dengan Internationale des Personals der Pos,
52

Telegraphen und Telephon Betrecbs di Wiena, dan Spoorbond dengan International


Transportworkers Federation di Amsterdam.
Pada tahun 1921 terjadi kemorosotan ekonomi (malaise) di Eropa yang
mengakibatkan banyak pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia. Untuk
merespon tindakan PHK tersebut, beberapa serikat pekerja melakukan aksi mogok.
Untuk menghindari pemogokan yang berkepanjangan, pemerintah kolonial pada
tanggal 10 Mei 1923 menambah artikel 161 bis pada KUHP yang intinya melarang
pemogokan yang dapat menyebabkan terganggunya ketertiban umum atau dapat
melumpuhkan penghidupan ekonomi. Dengan menggunakan artikel tersebut, banyak
pimpinan serikat pekerja yang di tahan, terutama yang memimpin pemogokan atau
gerakan yang dianggap bernuansa atau berkaitan dengan politik.
Sejak tahun 1927, gerakan serikat pekerja mulai marak lagi dengan secara
bersamaan terjadi pembentukan Persatuan Beamte Spoor dan Tram (PBST) di
Bandung dan di Jakarta didirikan Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) yang
menghimpun beberapa organisasi guru-guru: Hogere Kweekscholieren Bond
(HKSB), Perserikatan Normaal School (PNS), Persatuan School Opziener (PSO),
Kweekschool Bond (KB), Perhimpunan dan Perserikatan Guru Bantu (PGB),
Persatuan Guru Ambachts School (PGAS), dan Persatuan Guru Desa (PGD). Pada
tahun 1929 di Yogyakarta beberapa serikat pekerja mendirikan Persatuan
Vakbonden Pegawai Negeri (PVPN) dengan ketua Soeroso, dan bulan Mei 1930 di
Surabaya didirikan Persatuan Serikat Sekerja Indonesia (PSSI) dengan pimpinan Mr.
Soewono dan Roeslan Wongsokoesoemo. Pada kongresnya tanggal 4-7 Mei 1933,
PSSI berubah nama menjadi Centrale Perhimpunan Buruh Indonesia (CPBI).
Pegawai Belanda kelahiran di Belanda mendirikan organisasi Verenigingen van
Overheidspersoneel (VVO) sementara pegawai orang Belanda kelahiran di
Indonesia mendirikan Centrale va Indische Verenigingen van Overheids personeel
(CIVO). Dalam tahun 1940 di Semarang didirikan Gabungan Serikat-serikat Sekerja
Partikelir Indonesia (GASPI), yang disusul dengan pembentukan GASPI di kota-kota
lain. Kemudian tanggal 26-27 Juli 1941 mengadakan Konferensi di Semarang dan
53

memilih Pengurus Pusat yang terdiri dari: RP Suroso, Mr. Hendromartono, Mr.
Suprapto, Sukarto, Mr. Samsudin, SK Trimurti, dan lain-lain.
HA Salim sebagai anggota delegasi Indonesia menghadiri sidang ILO tahun 1929
di Geneva. Dalam kesempatan itu, HA Salim berkenalan dengan delegasi
Nederlandsche Vak Verbond (NVV) dari Belanda dan pejabat-pejabat ILO sendiri.
Sebagai tindak lanjut pertemuan tersebut wakil NVV pada bulan April 1931
berkunjung ke Indonesia dan mengadakan pertemuan dengan pimpinan beberapa
serikat pekerja seperti PPPB, PVPN, dan PSSI. Demikian juga pada bulan Oktober
1937, Direktur ILO, Harold B.Butler, berkunjung ke Indonesia, dan bertemu dengan
pimpinan beberapa serikat pekerja da partai politik. Pada tahun 1939 Dr. Soekiman
dari PPBB menjadi delegasi buruh menghadiri siding ILO di Genewa, dan pada
tahun 1941, Mr. Hendromartono dari GASPI delegasi Indonesia ke siding ILO di New
York.
Pada tanggal 21 Mei 1932 didirikan Gabungan Politik Indonesia yang mendapat
dukungan dari beberapa serikat pekerja. Bahkan tanggal 7 Oktober 1938 didirikan
Indische Partij van Werknemers (IPW). Dalam rangka mengantisipasi dan
mengakomodasikan tuntutan perlindungan pekerja. Pada tahun 1940 Pemerintah
Kolonial

Belanda

mengeluarkan

Peraturan

Ketenagakerjaan

dalam

bentuk

Ordonansi Regeling Arbeedsverhoding.


1. Gerakan serikat pekerja setelah kemerdekaan
Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945,
tumbuh beberapa organisasi pekerja. Barisan Buruh Indonesia (BBI) didirikan pada
tanggal 19 September 1945 di Jakarta dan menganggap bahwa semua serikat
pekerja yang ada menjadi anggotanya. BBI mengadakan kongresnya yang pertama
tanggal 17 November 1945 di Solo. Dalam kongres itu terjadi perpecahan. Kelompok
pertama adalah serikat pekerja yang setuju agar gerakan pekerja ini menjadi
gerakan politik dan mereka mendirikan Partai Buruh Indonesia (PBI). Kelompok
kedua adalah serikat pekerja yang menghendaki agar gerakan pekerja ini tetap
bersifat sosial ekonoms. Kelompok kedua ini kemudian mengadakan kongresnya di
54

Madiun tanggal 21 Mei 1946, dan mendirikan Gabungan Serikat Buruh Indonesia
(GASBI) dengan tujuan meningkatkan taraf hidup para anggotanya. Namun
beberapa pengurus merasa tidak puas dengan organisasi GASBI dan pada bulan
Juli 1946 mendirikan Gabungan Serikat Buruh Vertikal (GASBEV).
Pada

tanggal

29

November

1946

GASBI

dan

GASBEV

menyatukan

organisasinya dan mengganti nama menjadi Sentarl Organisasi Buruh Seluruh


Indonesia (SOBSI) di bawah pimpinan Surjono, Haryono, Asnarudin, dan Nyonyo.
Pada bulan Mei 1947 SOBSI mengadakan kongresnya di Malang. Kongres ini
dihadiri oleh beberapa wakil serikar pekerja luar negeri dari Belanda, Australia dan
Malaysia. Kongres mengambil beberapa keputusan di bidang politik seperti
mendukung persetujuan Linggar Jati sejalan dengan garis politik PKI. Juga kongres
menyatakan SOBSI masuk menjadi anggota World Federation of Trade Unions
(WFTU) di Praha, Cekoslowavia. Mulai saat itu SOBSI menyatakan dirinya berkiblat
ke komunis internasional dan berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
SOBSI kemudian ikut terlibat dalam pemberontakan PKI-MUSO di Madiun bulan
September 1948, dan kemudian ternyata terlibat juga pada gerakan 30 September
yang didalangi oleh PKI (G30S/PKI) tahun 1965.
Tidak sepakat dengan kiblat Keputusan Kongres SOBSI bulan Mei 1947 di
Malang, beberapa serikat pekerja mengundurkan diri dan pada bulan April 1948 di
Solo mendirikan Gabungan Serikat Buruh Revolusioner Indonesia (GASBRI).
Demikian juga pada bulan November 1948 di Yogyakarta terbentuk Ikatan Central
Organisasi Serikat-serikat Sekerja (ICOSS) dipimpin oleh Sudiro; dan tanggal 5
Desember 1948 di Solo, terbentuk Persatuan Organisasi Buruh (POB). ICOS dan
POB mencoba melakukan fusi dalam Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI),
sementara koordinasi kegiatan serikat-serikat pekerja dicoba dilakukan melalui
Himpunan Serikat-serikat Buruh Indonesia (HISSBI). Pada tanggal 27-30 April 1951
di Jakarta, beberapa serikat pekerja yang tergantung dengan HISSBI menarik diri
55

dan mengadakan kongres dan mendirikan Sentral Organisasi Buruh Republik


Indonesia (SOBRI)
Pada tanggal 5 Juli 1952 di Bandung, Badan Pusat Serikat-serikat Sekerja
(BPSS) dari Bandung dan Pusat Organisasi Buruh (POB) dari Jakarta melebur diri
menjadi Pusat Serikat-serikat Buruh Indonesia (PSBI). Kemudian PSBI ini bersama
GSBI mendirikan Dewan Serikat-serikat Buruh Indonesia (DSBI). Namun pada
kongresnya tanggal 11-12 Mei 1953 di Bandung, DSBI berubah nama menjadi
Kongres Buruh Seluruh Indonesia (KBSI).
Dalam kurun waktu 1945 dan 1960 pertumbuhan Serikat-serikat Pekerja di
Indonesia juga ditandai dengan nuansa politik. Hal ini terjadi karena semua partai
politik mulai mendirikan serikat pekerjanya masing-masing dan menempatkannya
sebagai onderbouw partainya. Tujuannya adalah untuk mengumpulkan jumlah
anggota partai sebanyak-banyaknya, terutama menjelang pelaksanaan pemilihan
umum pertama tahun 1955. Maka terbentuk pula Serikat Buruh Islam Indonesia
(SBII,1947) yang berafiliasi dengan Partai Masyumi; Gabungan Serikat Buruh
Revolusioner Indonesia (GSBRI, 1948) berafiliasi dengan Partai MURBA; Serikat
Buruh Muslim Indonesia (SARBUMUSI, 1955) berafiliasi dengan Nahdatul Ulama;
dan Gerakan Organisasi Buruh Serikat Islam (GOBSI, 1955) berafiliasi dengan Partai
Serikat Islam Indonesia (PSII).
Dalam kepengurusan Partai Nasional Indonesia (PNI) dibentuk satu Seksi HIMBI
yang bertugas mendidik anggotanya menjadi ahli perburuhan dan sanggup menjadi
pemimpin serikat pekerja. Pada tanggal 10 Desember 1952 di Surabaya, HIMBI
bersama Buruh Demokrat sepakat meleburkan diri dan mendirikan Konsentrasi
Buruh Kerakyatan Indonesia (KBKI)
Disamping itu Peraturan Menteri Perburuhan No. 90 tahun 1955 tentang
pendaftaran Serikat Buruh, turut mendorong tumbuhnya serikat-serikat Buruh,
56

karena syarat pembentukannya cukup ringan, yaitu hanya dengan memiliki Anggaran
Dasar, Susunan Pengurus dan Daftar Nama-nama Anggota tanpa menyebutkan
jumlah minimumnya, menurut perkiraan pada masa itu ada sekitar 150 Serikat Buruh
Nasional, ratusan Serikat Buruh Lokal dan tujuh Federasi Organisasi Buruh. Hampir
semua organisasi tersebut menitik beratkan kegiatan di bidang politik, kurang
menjalankan fungsi utamanya yaitu berusaha meningkatkan kesejahteraan pekerja
dan keluarganya
Tahun 1956 pemerintah mulai mengambil alih atau menasionalisasi perusahaanperusahaan milik pemerintah Belanda. Oleh karena itu kegiatan serikat pekerja perlu
dikoordinir. Lahir Badan Kerjasama Buruh dan Militer (BKS-BUMIL), sebagai bentuk
kerjasama tidak permanen, tetapi semangat persatuan di kalangan pemimpinpemimpin pekerja tetap terperihara.
Menjelang Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden Sukarno membentuk Dewan
Perancang Nasional (Depernas) dan DPA sementara. Untuk kedua Lembaga
tersebut, wakil pekerja diikutkan sebagai golongan fungsional. Untuk Depernas
diangkat Runturambe dari SOBSI, Soetedjo Dirdjosubroto dari RKS, Kobarsik dari
SOBSI, serta Iskandar Wahono dan Faturhadi dari KBKI. Untuk DPA Sementara
diangkat Munir dari SOBSI dan Datuk dari KBKI.
Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, para pimpinan serikat pekerja membentuk
Koordinasi Buruh Indonesia (KOBI) dengan ketua S.Narto dari SBII. Tahun 1960
timbul gagasan untuk mendirikan Organisasi Persatuan Pekerja Indonesia (OPPI)
sebaga wadah yang mempersatukan semua serikat pekerja yang ada. Usaha ini
tidak berhasil karena adanya tantangan dari SOBSI, yaitu organisasi pekerja
berafiliasi pada PKI. Namun demikian pada tahun 1961 terbentuk Sekretariat
Bersama Perjuangan Buruh Pelaksana Trikora (SEKBER BURUH), maksudnya

57

untuk menggalang persatuan di kalangan Serikat-serikat pekerja berjuang bersama


mengembalikan Irian Barat ke dalam pangkuan Republik Indonesia
Dalam rangka menumpas G30/PKI yang mencoba melakukan perebutan
kekuasaan (kudeta) tanggal 30 september 1965, para pemimpin serikat pekerja pada
awal tahun 1966 membentuk Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI). Perjuangan
KABI bersifat politis dan soal-soal yang bersifat sosial ekonomi serikat pekerja di
Indonesia tetap diselesaikan oleh Sekber Buruh. Tanggal 1 November 1969
semangat

persatuan

ini

terwujud

kembali

dengan

berdirinya

Majelis

Permusyawaratan Buruh Indonesia (MPBI). Anggota MPBI terdiri atas 21 organisasi


pekerja.maksudnya untuk menyehatkan kembali kehidupan gerakan pekerja. Asas
organisasi MPBI adalah Pancasila dan UUD 1945. Kegiatan nyata yang dilakukan
oleh MPBI adalah menjadikan dirinya sebagai wadah / tempat serikat-serikat pekerja
bertemu dan berdialog tentang masalah-masalah ketenagakerjaan.
2. Mono serikat pekerja
Memasuki kurun waktu

1970-an

pemerintah

terus

berikhtiar

untuk

menyederhanakan kehidupan partai-partai politik dalam arti mengurangi jumlahnya.


Upaya pemerintah menyederhanakan jumlah partai-partai politik ini berhasil melalui
proses fusi sehingga lahir dua partai politik (Partai Persatuan Pembangunan dan
Partai Demokrasi Indonesia) serta golongan karya. Penyederhanaan jumlah partaipartai politik ini membawa pengaruh pada serikat pekerja yang menjadi onderbouwnya. Serikat-serikat pekerja mulai kehilanhan induknya. Dalam suasana seperti ini
MPBI menyelenggarakan seminar di Tugu, tanggal 21-28 Oktober 1971, setelah
mengadakan refleksi diri, seminar ini berhasil menegaskan identitas gerakan pekerja
di Indonesia, sebagai berikut:
- Gerakan pekerja harus lepas sama sekali dari kekuatan politik manapun;
- Kegiatan serikat pekerja harus dititik beratkan pada bidang sosial
-

ekonomi;
Serikat pekerja yang ada secara organisatoris harus ditata kembali dan
dipersatukan melalui pendekatan yang persuasive;
58

Perlu menyempurnakan struktur organisasi gerakan pekerja;


Serikat-serikat pekerja tidak boleh menggantungkan dirinya pada sumber
dana dari luar.

Dengan demikian terlihat bahwa seminar ini berhasil menampilkan gagasan


untuk meluruskan kembali gerakan pekerja pada tugas yang seharusnya menjadi
tanggung jawabnya dan sekaligus menyatukan serikat pekerja.
Kelanjutan dari seminar ini MPBI pada tanggal 24-26 Mei 1972 mengadakan
rapat pleno guna membahas usaha-usaha pembaharuan dan penyederhanaan
eksistensi serikat-serikat pekerja. Dalam musyawarah ini ide pembaharuan dan
penyederhanaaan terus berkembang sehingga timbul tekad organisasi-organisasi
pekerja yang ada meleburkan diri ke dalam satu organisasi pekerja yang baru sama
sekali. Untuk itu dioerlukan pembaharuan sikap mental serta pola piker terutama
dalam diri pemimpin-pemimpin serikat-serikat pekerja itu sendiri.
Tekad untuk membentuk satu kaum wadah pekerja di Indonesia ini direalisasikan
melalui Deklarasi Persatuan Buruh Seluruh Indonesia yang dinyatakan di Jakarta
pada tanggal 20 Februari 1973. Melalui Deklarasi ini berdirilah Federasi Buruh
Seluruh Indonesia (FBSI).

Serikat-serikat pekerja yang melebur diri ke dalam

Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) pada waktu itu adalah:


-

Gabungan Serikat-serikat Buruh Islam Indonesia (GASBIINDO);


Kesatuan Buruh Pancasila (KUBU PANCASILA);
Konsentrasi Nasional Gerakan Karya Buruh (KONGKARBU);
Gabungan Organisasi Buruh Serikat Islam Indonesia (GOBSII);
Kesatuan Buruh Marhaenis (KBM);
Kongres Buruh Islam Merdeka (KBIM);
Sentral Organisasi Buruh Republik Indonesia (SOBSI);
Gerakan Buruh Muslim Indonesia (GERBUMI);
Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI);
Serikat Buruh Muslim Indonesia (SARBUMUSI);
Persatuan Karyawan Buruh Indonesia (PERKABI);
Kesatuan Pekerja Kristen Indonesia (KESPEKRI);
Federasi Buruh Islam Indonesia (FBII);
Persatuan Organisasi Buruh Islam Indonesia (PORBISI);
Kesatuan Buruh Kerakyatan Indonesia (KBKI);
Sentral Organisasi Buruh Pancasila (SOB PANCASILA);
Ikatan Karyawan Muhammadiyah (IKM);
59

- Kongres Buruh Seluruh Indonesia (KBSI);


- Kesatuan Karyawan Buruh (KEKARBU);
- Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI);
- Serikat Peketja Pegawai Pos, Telepon dan Telegraf (SPPPTT).
Pemerintah menghargai kesepakatan para pemimpin serikat pekerja tersebut
dan mengeluarkan pengukuhan dengan Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja,
Transmigrasi dan koperasi tanggal 11 Maret 1974 No. 286/A/DD/II/DPHK/74, sejak
terbentuknya FBSI, para pemimpin terus memperkokoh persatuan dan kesatuan
kaum pekerja indonesia dalam satu wadah. Konsolidasi dan restrukturisasi
organisasi pekerja terus dilakukan. Organisasi pekerja terorganisir atas dasar
lapangan kerja dan atau profesi. FBSI menghimpun kaum pekerja Indonesia non
pegawai negeri dan non ABRI serta merupakan satu-satunya wadah yang mewakili
seluruh pekerja Indonesia secara nasional dan internasional.
Pada mulanya FBSI disusun menjadi 20 serikat buruh lapangan pekerja (SBLP).
Namun pada tahun 1973, kongres persatuan guru republik Indonesia (PGRI
menetapkan PGRI sebagai organisasi profesi yang berdiri sendiri dan melepaskan
diri dari FBSI. Kemudian kongres serikat buruh transportasi yang pertama tahun
1976 memutuskan untuk memecahkan diri menjadi 3 SBLP yaitu serikat buruh
abggkutan jalan raya (SB AJR), serikat buruh angkutan sungai, danau dan ferry (SB
ASBF), dan serikat buruh Transpor udara (SB TU), dengan demikian terdapat 21
SBLP.
3. Serikat pekerja unitaris
Dengan pertimbangan untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan keadaan
di dalam negeri , kongres II FBSI tanggal 26-30 november 1985 di Jakarta
menetapkan bahwa FBSI diganti menjadi serikat pekerja seluruh Indonesia (SPSI),
yang merupakan kelanjutan dari FBSI yang didirikan pada tanggal 20 Pebruari 1973.
Tujuan reorganisasi FBSI menjadi SPSI adalah untuk lebih mempersatukan dan
menjamin rasa setia kawan diantara sesame kaum pekerja, membela dan
mempertahankan kepentingan serta hak-hak kaum pekerja, memperjuangkan
perbaikan tingkat kesejahteraan hidup serta memperjuangkan syarat-syarat kerja
yang lebih baik bagi kaum pekerja. Orgaanisasi SPSI disusun menjadi anggota yang
60

unitaris dengan hanya satu Dewan pimpinan pusat yang terdiri dari 9 Departemen
dan pada musyawarah nasional SPSI ketiga bulan November 1990 merubah
departeman menjadi 13 sektor.
Dalam rangka meningkatkan

pemahaman

pekerja

mengenai

hak

dan

kewajibannya , maka serikat pekerja seluruh Indonesia menetapkan Doktrin Pekerja


indonesaia disertai dengan Panca Prasetya SPSI. Salah satu program utama SPSI
adalah untuk membentuk serikat pekerja di perusahaan-perusahaan yang disebut
Pengurus Unit Kerja (PUK) SPSI dan membentuk Kesepakatan Kerja Bersama
(KKB).
Dalam perkembangan selanjutnya pada musyawarah pimpinan ke II SPSI di
Kopo-Bogor pada tanggal 3-8 Oktober 1994, SPSI mengadakan reformasi dan
restrukturisasi organisasi dengan menyempurnakan Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga SPSI dari bentuk unitaris menjadi bentuk federasi (gabungan).
Kedudukan 13 sektor dirubah menjadi serikat pekerja anggota (industrial union) yang
otonom menjalankan organisasinya sendiri berdasarkan peraturan dasar dan
peraturan rumah tangga masing-masing sektor. Masing-masing serikat pekerja
anggota tersebut telah terdaftar pada Departemen Tenagakerja.
Pada tahun 1995 menjelang diselenggarakan musyawarah nasional ke IV SPSI
untuk memilih dan menyusun pengurus sektor. Musyarawarah Nasional IV Serikat
Pekerja Seluruh Indonesia dilaksanakan pada tanggal 15-19 November 1995,
menetapkan:
- Struktur Organisasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, dirubah dari
Unitaris ke Federasi dengan Nama Federasi Serikat Pekerja Seluruh
Indonesia (FSPSI);
- Pengesahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga FSPSI;
- Pemilihan pengurus periode 1999-2000
Pada tahun 19991, berupa aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat dan hak asasi
manusia mendirikan serikat buruh merdeka setia kawan (SBM). Bulan Juni 1991,
SMB berdemontrasi di depan Kantor ILO di Jakarta memprotes pemilihan Menteri
Tenagakerja, Cosmas Batubara menjadi Presiden Internasional Conference di
Jenewa.
61

Kembali dalam bulan April 1992, beberapa aktivis LSM dan hak asasi manusia
dengan beberapa kedutaan asing di Jakarta membentuk Serikat Buruh Sejahtera
Indonesia (SBSI). Sejak didirikan hingga era Reformasi tahun 1998, SBSI terus
mendapat tekanan dari Pemerintah Orde Baru. ILO, beberapa serikat pekerja di
berbagai Negara serta Negara-negara maju terus menekan Pemerintah Indonesia
untuk memberikan kebebasan bagi SBSI.
4. Serikat pekerja tingkat perusahaan (SPTP)
Dalam rangka mendorong pertumbuhan organisasi pekerja dan keanggotaan
serikat pekerja, Menteri Tenagakerja menerbitkan peraturan Menteri Tenaga Kerja
No. Per-01/MEN/1994 tentang serikat pekerja tingkat perusahaan.
Berdasarkan peraturan ini para pekerja di tiap perusahaan dimungkinkan
mendirikan serikat pekerja yang bebas dan berdiri sendiri, tanpa bergabung atau
berafiliasi dengan serikat pekerja lain. Dan langsung mendaftar ke Departemen
Tenagakerja dan lebih lanjut berunding dengan pengusaha untuk merumuskan
kesepakatan kerja bersama atau KKB. Hingga pertengahan tahun 1998 sudah
terbentuk di sekitar 1200 perusahaan dan sebagian sudah melakukan KKB.
5. Serikat pekerja pasca reformasi
Seperti dikemukakan diatas eufora reformasi yang dimulai pada awal tahun1998
dan ratifikasi Konvensi ILO No.87 mengenai kebebasan berserikat telah mendorong
pembentukan serikat pekerja baru di Indonesia, hingga akhir 2002 telah tumbuh dan
terdaftar 63 serikat pekerja berbentuk federasi; 76 serikat pekerja tingkat nasional
menurut jenis usaha yang non afiliasi di perusahaan swasta, dan 56 serikat pekerja
di BUMN. Disamping itu, sekitar 1200 serikat pekerja tingkat perusahaan (SPTP)
yang independen atau berdiri sendiri masih tetap terdaftar dan berfungsi. Jumlah
organisasi pekerja tersebut terus bertambah.
Sampai akhir tahun 2008, Direktorat Kelembagaan dan Pemasyarakatan
Hubungan

Industrial,

Departemen

Tenagakerja

dan

Transmigrasi

mencatat

perkembangan organisasi Serikat Pekerja, unit kerja atau Basis, serta jumlah
anggota sebagai berikut:
a. Jumlah yang terdaftar 90 Federasi Serikat Pekerja; 35 di antaranya
bergabung dalam 3 Konfederasi;
62

b. Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) mencakup 16


Federasi, 6779 Unit Kerja atau Basis, dengan jumlah anggota 1.601.378
orang;
c. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mencakup 7 Federasi, 973 Unit
Kerja atau Basis, dengan jumlah anggota 458.345 orang;
d. Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) mencakup 12
Federasi, 1.559 Unit Kerja atau Basis, dengan anggota berjumlah 337.670
orang;
e. Tedapat 20 Federasi Serikat Pekerja yang berdri sendiri dengan 1.864 Unit
f.

Kerja atau Basis dengan anggota berjumlah 883.761 orang;


Berarti masih terdapat 35 Federasi Serikat Pekerja yang belum melaporkan

jumlah Unit Kerja dan jumlah anggotanya;


g. Juga tercatat 14 Serikat Pekerja Lokal dengan 174 Unit Kerja dan anggota
berjumlah 26.537 orang;
h. Disamping itu tercatat 437 Serikat Pekerja Tingkat Perusahaan dengan
i.

jumlah anggota 97.924 orang


Secara keseluruhan sampai akhir tahun 2008 telah terbentuk serikat pekerja
di 11.786 Unit Kerja Perusahaan dengan jumlah anggota berjumlah

3.405.615 orang.
Dilihat dari perkembangannya, kondisi serikat pekerja Pasca Repormasi ini
tampaknya mundur kembali ke kondisi sebelum Deklarasi Buruh tahun 1973 . dan
struktur serikat pekerja yang demikian cenderung membuat mereka menjadi lemah
dan menjadi kurang menarik bagi pekerja untuk menjadi anggota serikat pekerja.
Oleg sebab itu para pimpinan serikat pekerja perlu duduk bersama menyusun
strategi perjuangan mereka ke depan.4041
b.
Pengertian serikat pekerja
Dalam pasal 1 angka 17 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
pengertian serikat pekerja sebagai berikut Serikat Pekerja adalah organisasi yang
dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun diluar
perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung

40

Prof. Dr. Payaman J. Simanjuntak, Manajemen Hubungan Industrial, (Jakarta : Lembaga


Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 2011)
41
Iskandar Tedjasukmana, Watak Politik Gerakan Serikat Buruh Indonesia, (Jakarta :
TURC, 2008)

63

jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan


pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.42
Serikat pekerja adalah kekuatan demokrasi dan kekuatan kolektif yang signifikan.
Dan pekerja dimanapun juga adalah kekuatan ekonomi. Ini sungguh suatu hal yang
dahsyat kalau peran serikat pekerja dimainkan dengan benar, dengan kombinasi
kekuatan yang dimiliki tentunya akan memberikan pengaruh secara polotik dan
ekonomi. Tetapi kekuatan dahsyat ini tentunya membutuhkan anggota yang banyak,
dan partisipasi yang luas dan tinggi dari anggotanya sehingga serikat pekerja dapat
memainkan peranan pentingnya.
Secara tradisional uraian atau definisi serikat pekerja dapat dijabarkan sebagai
sebuah organisasi demokratis yang berkesinambungan, mandiri dan permanen
dibentuk secara sukarela dari, oleh dan untuk serta dibiayai pekerja. Serikat
pekerja/buruh itu sendiri dibentuk berdasarkan :
a. Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945
b. Piagam PBB tentang Hak-Hak Azasi Manusia (HAM) pasal 20 (ayat 1)
dan pasal 23 (ayat 4)
c. Undang-Undang No.18 Tahun 1956 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No.
98 mengenai Hak Berorganisasi dan Berunding Bersama
d. KePres No. 23 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 87
tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi
e. KeMenaker No. PER-201/MEN 1999 tentang Pendaftaran Serikat Pekerja
f. KepMenaker No. PER-16/MEN/2000 tentang tata cara Pendaftaran
Serikat Pekerja
g. Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja (SP)
h. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
i. Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
j.

Hubungan Industrial (PPHI)


Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Serikat Pekerja

yang bersangkutan
Serikat pekerja/buruh adalah organisasi yang didirikan oleh, dari dan untuk
pekerja di dalam atau di luar perusahaan, milik Negara atau pribadi, yang bersifat
tidak terikat, terbuka, independen dan demokratis dan dapat dipertanggungjawabkan
untuk memperjuangkan, membela dan melindungi hak-hak dan kepentingan pekerja,

42

Pasal 1 angka 17 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003

64

maupun untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya. Istilah


pekerja/buruh mengacu pada setiap orang yang bekerja untuk memperoleh upah
atau bentuk pendapatan yang lain.43
Serikat harus bersifat bebas,

terbuka, mandiri,

demokratis dan dapat

dipertanggungjawabkan, maksudnya adalah:


1. Bebas
Serikat pekerja bersifat bebas berarti serikat pekerja bebas melaksanakan hak
dan kewajibannya, tidak dibawah pengaruh atau tekanan dari pihak lain. Setiap
pekerja berhak membentuk dan atau menjadi anggota serikat pekerja atas kehendak
bebas pekerja sendiri tanpa paksaan atau tekanan pengusaha atau pemerintah atau
oleh serikat pekerja sendiri. Pekerja juga bebas untuk tidak menjadi anggota serikat
pekerja.
2. Terbuka
Serikat pekerja

harus

terbuka

dalam

menerima

anggota

dan

atau

memperjuangkan kepentingan pekerja, tidak membedakan manurut aliran politik,


agama, suku bangsa, dan jenis kelamin.
3. Mandiri
Bahwa dalam mendirikan, menjalankan, dan mengembangkan organisasi
ditentukan oleh kekuatan sendiri tidak dikendalikan oleh pihak lain diluar organisasi.
4. Demokratis
Bahwa dalam pembentukan organisasi, pemilihan pengurus, memperjuangkan
dan melaksanakan hak dan kewajiban organisasi dilakukan sesuai dengan prinsip
demokratis.
5. Dapat dipertanggungjawabkan
Dapat dipertanggungjawabkan kepada anggotanya, masyarakat dan Negara
dalam mencapai tujuannya dan melaksanakan hak dan kewajibannya. Bertanggung
jawab

kepada

masyarakat

termasuk

bertanggung

jawab

untuk

menjamin

kelangsungan aliran produksi dan jasa, demi kebaikan konsumen/masyarakat secara


umum.44
c.
Fungsi, tujuan, dan peran serikat pekerja
Fungsi utama serikat pekerja:
1. Menyusun PKB atau dokumen penyelesaian perselisihan;
2. Mewakili pekerja dalam forum kerja sama ketenagakerja manapun;
3. Sebagai fasilitator hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan adil;

43
44

http//:pengertian Serikat Pekerja.com


Pasal 3 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000

65

4. Sebagai wahana untuk menyalurkan aspirasi dalam membela hak dan


kepentingan anggotanya;
5. Perencanaan, pelaksanaan dan bertanggung jawab selama berlangsungnya
pemogokan sesuai ketentuan hukum;
6. Mewakili pekerja dalam membela hak kepemilikan bersama dalam
perusahaan.
Tujuan serikat pekerja:
1. Menciptakan suasana kerja yang sehat dan kondusif.
2. Membela dan memperjuangkan hak-hak para buruh/pekerja agar tidak
terjadi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pihak pengusaha.
3. Agar buruh/pekerja merasa adil dan sejahtera.
4. untuk melindungi anggotanya dan untuk membela hak dan kepentingan
maupun meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya hingga ke
tingkat yang wajar.
5. untuk memperbaiki

kesejahteraan

anggotanya

atau

pekerja

secara

keseluruhan.
6. Mengisi cita cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, demi
terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil secara materi dan
spiritual, khususnya masyarakat pekerja berdasarkan pancasila ;
7. Melindungi dan membela hak dan kepentingan pekerja;
8.
Terlaksananya hubungan industrial yang harmonis, dinamis,

dan

berkeadilan;
9. Terhimpun dan bersatunya kaum pekerja di segala kelompok industrial
barang

dan

jasa

serta

mewujudkan

rasa

kesetiakawanan

dan

menumbuhkembangkan solidaritas diantara sesama kaum pekerja ;


10. Terciptanya perluasan kesempatan kerja, meningkatkan produksi dan
produktivitas ;
11. Terciptanya kehidupan dan penghidupan pekerja Indonesia yang selaras,
serasi dan seimbang menuju terwujudnya tertib sosial, tertib hukum dan
tertib demokrasi ;
12. Meningkatkan kesejahteraan pekerja serta memperjuangkan perbaikan
nasib, syarat syarat kerja dan kondisi serta penghidupan yang layak
sesuai dengan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Peran serikat pekerja:
1. Menampung aspirasi dan keluhan pekerja, baik anggota maupun bukan
anggota serikat pekerja yang bersangkutan;
66

2. Menyalurkan aspirasi dan keluhan tersebut kepada manajemen atau


pengusaha baik secara langsnug atau melalui Lembaga Bipartit;
3. Mewakili pekerja di Lembaga Bipartit;
4. Mewakili pekerja di tim perundingan untuk merumuskan perjanjian kerja
bersama;
5. Mewakili pekerja di lembaga-lembaga kerjasama ketenagakerjaan sesuai
dengan tingkatannya seperti Lembaga Tripartit, Dewan Keselamatan dan
Kesaehatan Kerja, Dewan Pelatihan Kerja, dan lain-lain;
6. Memperjuangkan realisasi hak dan kepentingan anggota, baik secara
langsung

kepada

pengusaha

maupun

melalui

lembaga-lembaga

ketenagakerjaan;
7. Membantu menyelesaikan perselisihan industrial;
8. Meningkatkan disiplin dan semangat kerja anggota;
9. Aktif mengupayakan, menciptakan atau mewujudkan hubungan industrial
yang aman, harmonis, dinamis dan berkeadilan antara pekerja dengan
pengusaha; dan
10. Menyampaikan saran kepada manajemen baik untuk penyelesaian keluh
kesah pekerja maupun untuk penyempurnaan sistem kerja dan peningkatan
produktivitas perusahaan.45
d.
Nilai-nilai dan prinsip-prinsip serikat pekerja/buruh
1. Serikat pekerja/buruh harus bebas dan mandiri
Yang dimaksud dengan kemandirian serikat pekerja/buruh adalah bahwa
serikat

pekerja/buruh

wajib

bertanggung

jawab

dan

wajib

memberikan

pertanggungjawaban kepada para anggotanya. Ini merupakan hal pertama dan


hal

terpenting

yang

harus

diperhatikan

serikat

pekerja/buruh.

Serikat

pekerja/buruh harus independen. Artinya, serikat pekerja/buruh tidak boleh


bergantung pada pengusaha atau manajemen perusahaan, tidak bergantung
kepada pemerintah, tidak pada lembaga, organisasi atau yayasan keagamaan
seperti mesjid atau gereja dan tidak dikuasai oleh partai politik manapun.
Serikat pekerja/buruh hendaknya hidup dari dan dibiayai dari konstribusi
(iuran) yang dibayarkan oleh anggotanya. Manajer senior dan direktur
perusahaan tidak boleh menjadi anggota serikat pekerja karena serikat pekerja

45

Prof. Dr. Payaman J. Simanjuntak, Manajemen Hubungan Industrial, (Jakarta : Lembaga


Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 2011), hal.39

67

harus bebas mewakili kepentingan pekerja, sekalipun hal ini menimbulkan konflik
kepentingan dengan pihak manajemen.
2. Serikat pekerja/buruh menegakkan keadilan hukum dan moral
Serikat pekerja/buruh mengupayakan agar semua pihak diperlakukan dengan
adil, agar semua pihak menikmati kebebasan sepenuhnya dan agar semua pihak
menghormati hak-hak asasi manusia. Keadilan hukum dan keadilan moral harus
ditegakkan di tempat kerja dan ini merupakan hal yang secara khusus
diprioritaskan oleh serikat pekerja/buruh.
3. Serikat pekerja/buruh mewakili kepentingan anggotanya
Serikat pekerja/buruh memiliki kewenangan penuh untuk menyuarakan
kepentingan para anggotanya, dan mewakili pandangan, pendapat dan kemauan
mereka. Karena itu serikat pekerja/buruh harus menyupayakan agar ada
sebanyak mungkin pekerja mau menjadi anggotanya, membayar iuran dan ikut
serta dalam kegiatan-kegiatan serikat pekerja/burur.
4. Serikat pekerja/buruh tidak memaksa pekerja menjadi anggotanya
Prinsip berserikat secara sukarela artinya adalah bahwa pekerja dengan
sukarela

mau

menjadi

anggota

serikat

pekerja/buruh

tanpa

dipaksa.

Keanggotaan serikat pekerja/buruh tidak boleh dipaksakan.


Ini berarti bahwa banyak atau sedikitnya anggota serikat pekerja/buruh
tergantung pada kemampuan serikat pekerja/buruh yang bersangkutan untuk
menyakinkan pekerja bahwa serikat pekerja/buruh sebenarnya diadakan demi
kepentingan mereka juga.
5. Serikat pekerja/buruh menentang diskriminasi
Serikat pekerja/buruh menentang diskriminasi berdasarkan rasa tau jenis
kelamin. Serikat pekerja/buruh menghargai semua budaya, adat-istiadat dan
masyarakat. Serikat pekerja mengupayakan agar pekerja-pekerja yang sama
nilai kerjanya mendapatkan upah yang sama dan kesempatan yang sama untuk
memperoleh pelatihan dan promosi ke jabatan yang lebih tinggi.
6. Serikat pekerja/buruh mendorong demokrasi dan partisipasi
Serikat pekerja/buruh mengupayakan hak setiap pekerja untuk memperoleh
informasi dan dilibatkan dalam setiap kegiatan serikat pekerja/buruh. Serikat
pekerja/buruh juga mengupayakan agar pandangan dan pendapat pekerja

68

didengar dan dihargai. Hal ini penting agar keputusan dapat diambil secara
demokratis, sah dan dapat diterima oleh semua pihak.
7. Pertanggungjawaban dan keterbukaan pemimpin serikat pekerja/buruh
Para pemimpin serikat pekerja/buruh di semua tingkatan hendaknya dipilih
melalui suatu prosedur yang demokratis. Para pemimpin ini harus memberikan
pertanggungjawaban kepada para anggota serikat pekerja/buruh yang telah
memilih mereka dan harus mereka layani.
8. Kesatuan dan kekuatan serikat pekerja/buruh
Serikat pekerja/buruh berupaya memaksimalkan kekuatan suara pekerja dengan
memastikan bahwa para pekerja benar-benar bersatu dan tidak terpecah-belah.
Untuk itu diperlukan banyak kesabaran untuk menjelaskan posisi masing-masing,
berkonsultasi dengan para pekerja dan mengajak mereka menyetujui dan
mengambil sikap yang telah disetujui bersama
Hal ini sama sekali bukanlah persatuan palsu yang dipaksakan oleh seorang
diktator dan dipertahanankan secara paksa. kesatuan serikat pekerja/buruh
menuntut adanya demokrasi.46
D. DASAR HUKUM YANG MENDASARI SYARAT DAN PROSEDUR PENDIRIAN
SERIKAT PEKERJA/BURUH
Berdasarkan pasal 104 ayat (1) UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
jo pasal 5 ayat (1) UU No. 21 tahun 2000 tentang serikat pekerja/buruh. Setiap
pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/buruh.
Serikat pekerja/buruh ini dibentuk oleh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang
pekerja/buruh (pasal 5 ayat (2) UU serikat pekerja/buruh).
Pada saat pembentukannya, suatu serikat pekerja/buruh (SP) harus memiliki
anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Hal ini berdasarkan pasal 11 serikat
pekerja/buruh, yang berbunyi:
1) Setiap serikat pekerja/serikat buruh federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh harus memiliki anggaran dasar dan anggaran
rumah tangga.
2) Anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurangkurangnya harus memuat:
a. Nama dan lambang;
46

Proyek Pendidikan Untuk Pekerja Buku Pegangan Untuk Serikat Pekerja, ILO office
Jakarta.

69

b.
c.
d.
e.
f.
g.

Dasar negara, asas, dan tujuan;


Tanggal pendirian;
Tanggal kedudukan;
Keanggotaan dan kepengurusan;
Sumber dan pertanggungjawaban keuangan; dan
Ketentuan perubahan anggaran dasar dan/atau anggaran rumah

tangga.
Setelah proses pembentukannya selesai, maka tahapan yang harus dilakukan
berikutnya adalah memberitahukan secara tertulis kepada instansi pemerintah yang
bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan (Dinas Tenaga Kerja dari pemerintah
Kabupaten atau walikotamadya dimana perusahaan berdomisili) untuk dilakukan
pencatatan atas pembentuka SP tersebut. Hal ini diatur dalam pasal 18 UU serikat
pekerja/serikat buruh, yang berbunyi:
1) Serikat pekerja/serikat buruh,
pekerja/serikat buruh yang telah

federasi

dan

konfederasi

serikat

terbentuk memberitahukan secara

tertulis kepada instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang


ketenagakerjaan setempat untuk dicatat.
2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan dilampiri:
a. Daftar nama anggota pembentuk;
b. Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga;
c. Susunan dan nama pengurus.
Selain itu, ditentukan pula bahwa nama dan lambing serikat pekerja/serikat buruh
tidak boleh sama dengan nama dan lambing serikat pekerja/serikat buruh yang telah
tercatat terlebih dahulu (pasal 19 UU serikat pekerja/serikat buruh).
Dalam proses pembentukannya, tidak boleh ada pihak yang menghalang-halangi
atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk serikat pekerja/serikat buruh dengan
cara melakukan pemutusan hubungan kerja. Barangsiapa menghalang-halangi atau
memaksa pekerja/buruh untuk membentuk SP, dikenakan sanksi pidana paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau dendan paling sedikit
Rp100 juta dan paling banyak Rp500 juta (pasal 28 jo. Pasal 43 ayat (1) UU serikat
pekerja/serikat buruh).
Setelah seluruh proses pembentukan SP ini selesai, pengurus serikat
pekerja/serikat buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan harus
memberitahukan

secara

tertulis

keberadaannya

70

kepada

pihak

perusahaan

(manajemen perusahaan). Hal ini diatur dalam pasal 23 UU serikat pekerja/serikat


buruh yang berbunyi:
pengurus serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan harus
memberitahukan secara tertulis keberadaannya kepada mitra kerjanya sesuai
dengan tingkatannya.
Hal ini sesuai dengan penjelasan umum UU serikat pekerja/serikat buruh yang
menyebutkan bahwa pekerja/buruh merupakan mitra kerja pengusaha. Jadi dapat
disimpulkan bahwa syarat dan prosedur pendirian SP adalah :
1. Ada setidaknya 10 orang anggota;
2. Pembuatan AD/ART
3. Pencatatan di Dinas Tenaga Kerja dari pemerintah Kabupaten atau
walikotamadya setempat;
4. Pemberitahuan ke pihak perusahaan mengenai keberadaan SP 47

BAB III
GAMBARAN OBJEK PENELITIAN
A. Sejarah serikat pekerja/buruh FSPMI
Pada era reformasi di Indonesia tahun 1998 telah membuahkan diratifikasinya
konvensi ILO No. 87 tentang kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk
bernegosiasi dengan keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 83 tahun 1998
berdampak tumbuh dan kembangnya organisasi serikat pekerja/buruh, satu
diantaranya adalah Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI).
Pada waktu itu diselenggarakan suatu Musyawarah Nasional Luar Biasa Serikat
Pekerja Logam, Elektronika dan Mesin SPSI Reformasi tanggal 4-7 februari 1999 di
Garut-Jawa Barat, yang semangat dan idenya bermaksud mengkonsolidasi gerakan
buruh reformis untuk memurnikan kembali gerakan buruh di Indonesia sesuai citacita dan ciri universal gerakan buruh yang demokratis, independen, bebas dan
47

Undang-undang nomor 21 tahun 2000 tentang serikat pekerja

71

representatif, yang kemudian peristiwa ini merupakan tonggak sejarah terbentuknya


organisasi Serikat Pekerja Metal Indonesia dan juga ditetapkan sebagai kongres I.
Perkembangan lebih lanjut pada tanggal 29 agustus-1 september 2001
diselenggarakan kongres II SPMI di Lembang-Bandung yang dimaksudkan
mengkonsolidasikan organisasi untuk mencapai tujuan organisasi serta merespon
secara kreatif tantangan dan hambatan multi dimensi yang dihadapi kini dan di masa
depan yang antara lain menetapkan suatu kebijakan dan strategi organisasi, yaitu
memperkuat peran dan fungsi sekretaris jenderal dan serikat pekerja anggota
Untuk itu organisasi SPMI yang lahir pada tanggal 6 Februari 1999 bersifat
unitaris berubah menjadi federatif sebagai gabungan dari 5 (lima) Serikat Pekerja
yaitu Serikat Pekerja Elektronik-Elektrik (SPEE); Serikat Pekerja Logam (SPL);
Serikat Pekerja Automotif, Mesin dan Komponen (SPAMK); Serikat Pekerja Dok dan
Galangan Kapal (SPDG); serta Serikat Pekerja Dirgantara (SPD) dengan otoritas
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga masing-masing.
Dalam kaitan tersebut diatas seluruh anggota Federasi Serikat Pekerja Metal
Indonesia berkehendak mewujudkan serikat pekerja yang kuat, mandiri, bebas,
demokratis, egaliter, konsisten, jujur, beradab, bertanggungjawab dan berkelanjutan
serta merupakan mitra kerja dan analog pada tatanan hubungan industrial dengan
prinsip saling percaya, saling menghormati dan professional untuk mewujudkan
ketenangan kerja dan ketenangan usaha dengan tujuan peningkatan kesejahteraan
pekerja dan pertumbuhan perusahaan atau dengan pengertian lain mewujudkan
masyarakat industri yang maju dan berkeadilan sosial sebagai pencerminan
ketakwaan pada Tuhan Yang Maha Esa serta pengabdian pada nusa dan bangsa
Indonesia.
Anggota Federasi SPMI :
- SP Elektronik Elektrik (SPEE)
- SP Automotif, Mesin & Komponen (SPAMK)
- SP Logam (SPL)
- SP Dok & Galangan Kapal (SPDG)
- SP Dirgantara (SPD)
VISI FSPMI
Terwujudnya organisasi dan gerakan buruh

yang

independent, reprensentatif, kesejehteraan dan keadilan Sosial


MISI FSPMI
72

demokratis,

bebas,

Turut berperan aktif dalam mewujudkan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945

dan menjalankan UUD 1945 beserta amandemennya.


Menghimpun dan menyatukan kaum pekerja khususnya dalam lapangan
pekerjaan industri dan jasa: Logam, Elektronik Elektrik, Automotif Mesin

Komponen, Dirgantara serta Dok dan Galangan Kapal.


Meningkatkan kualitas kehidupan dan penghidupan pekerja Indonesia dan

keluarganya yang layak bagi kemanusiaan yang adil dan beradab.


Meningkatkan rasa kesetiakawanan dan persaudaraan kaum pekerja dan

keluarganya.
Meningkatkan produktifitas kerja, syarat-syarat kerja, dan kondisi kerja.
Memantapkan Hubungan Industrial guna mewujudkan ketenangan kerja dan
ketenangan usaha.

PROGRAM AKSI FSPMI


Untuk mewujudkan visi dan misi tersebut maka pada Kongres II FSPMI
menetapkan Program Aksi FSPMI yang harus ditangani yaitu :
1. Perlindungan dan Pembelaan
- Meningkatkan kualitas & kuantitas PKB
- Membentuk Lembaga Bantuan Hukum dan team advokasi Perburuhan
- Memantau pelaksanaan Kebijakan Perlindungan Tenaga Kerja dan
Pengawasan Ketenagakerjaan
- Memperkuat tim Advokasi di setiap wilayah
2. Pemberdayaan Pekerja Perempuan
- Membentuk biro perempuan diseluruh perangkat organisasi.
- Mempromosikan pekerja perempuan untuk aktif dalam berorganisasi.
- Mensosialisasikan dan mengkampanyekan permasalahan Gender.
- Meningkatkan peran & program Direktorat Perempuan
3. Konsolidasi & Revitalisasi Organisasi
- Mengorganisir pekerja yang belum terorganisir dengan target jumlah
-

anggota 250.000 orang dan 400 unit kerja


Menguatkan fungsi dan peran Sekretaris Jenderal dan Serikat Pekerja

Anggota
Membentuk dan mengoptimalkan fungsi team Audit sebagai prinsip dan

metode kerja organisasi yang transparan dan bertanggungjawab


4. Ekonomi dan Kesejahteraan
- Mempromosikan terwujudnya perundangan pengupahan sebagai acuan
sistim pengupahan nasional dan sistim upah sektoral.

73

Memperjuangkan terlaksananya jaring pengaman sosial melalui Jaminan

sosial tenaga kerja dan jaminan pemeliharaan kesehatan


- Mendorong tumbuhnya koperasi pekerja disetiap perusahaan.
- Mempromosikan pembentukan jaminan dana pensiun.
5. Keselamatan dan Kesehatan Kerja
- Mensosialisasi undang-undang dan peraturan K3
- Menyelenggarakan Lokakarya K3 sesuai prioritas
- Melakukan pelatihan K3
- Melakukan moitoring pelaksanaan K3 ditempat kerja
6. Konsolidasi Keuangan
- Mendorong disiplin anggota dalam membayar iuran
- Konsisten melaksanakan keputusan Kongres II tentang mekanisme
-

pembayaran iuran anggota


Menyusun program anggaran penerimaan dan pengeluaran organisasi
Meningkatkan disiplin dan profesional dalam administrasi keuangan.
Menyusun dan menyiapkan data keuangan untuk auditor serta secara

berkala dilaporkan
- Memfungsikan bendahara dalam mengelola keuangan secara efektif
- Mengkaji tentang PO keuangan Organisasi
7. Pengembangan Kemampuan Informasi & Komunikasi
- Mempromosikan seluruh perangkat organisasi memiliki perangkat keras
-

dan perangkat lunak penunjang komunikasi


Menerbitkan brosur dan buletin serta mendokumentasi kegiatan.
Aktif membangun komunikasi dengan perangkat organisasi perburuhan

Nasional dan International


8. Pendidikan, Pelatihan dan Kaderisasi
- Menyusun pedoman kurikulum pendidikan dan standrisasi juru didik
- Melaksanakan pelatihan-pelatihan kaderisasi, peningkatan kemampuan
-

kepemimpinan dan pengorganisasian.


Aktif dan bekerjasama dalam pelaksanaan aktifitas pendidikan dengan

organisasi organisasi perburuhan International.


- Menyusun PO tentang pelaksanaan pendidikan
- Membangun pola dan sistem kaderisasi
9. Membangun Solidaritas Pekerja
- Berperan aktif menjadi dan sebagai anggota International Metalworkers
-

Federation (IMF)
Membangun dan membina kerjasama dengan serikat pekerja/buruh

sebagai bentuk solidaritas kaum pekerja/buruh


- Membentuk dan menjadi anggota Konfederasi di tingkat Nasional
10. Membangun Solidaritas Sosial
- Membentuk GARDA METAL untuk menangani isu-isu sosial, seperti
-

bencana alam dan aksi-aksi /Demonstrasi


Menangani event event aksi massa

74

DATA ANGGOTA FSPMI


No.

Anggota Serikat Pekerja Metal

Jumlah

Jumlah

Indonesia

PUK

Anggota

Serikat Pekerja Automotif Mesin

87

23.909

dan Komponen
2

Serikat Pekerja Elektronik Elektrik

83

52.857

Serikat Pekerja Logam

100

18.949

Serikat Pekerja Dok dan Galangan

62

15.163

271

110.940

Kapal
5

Serikat Pekerja Dirgantara


Total

Data : Desember 2006

75

SUSUNAN PENGURUS FSPMI DEWAN

PIMPINAN

PUSAT FEDERASI

PEKERJA METAL INDONESIA PERIODE TAHUN 2006 - 2011


1. Presiden
2. Senior Wakil Presiden
3. Wakil Presiden
4. Wakil Presiden
5. Wakil Presiden
6. Wakil Presiden
7. Wakil Presiden
8. Wakil Presiden
9. Wakil Presiden
10. Wakil Presiden
11. Wakil Presiden
12. Wakil Presiden
13. Sekretaris Jenderal
14. Wakil Sek. Jenderal
15. Wakil Sek. Jenderal
16. Wakil Sek. Jenderal
17. Wakil Sek. Jenderal

: Ir. H. Said IqbalL, ME.


: Vonny Diananto, A.Md.
: Drs. H. Thamrin Mosii
: R.H. Endang Thamrin
: Drs. Ridwan Monoarfa
: Oobon Tabroni, SE.
: Kaspo, Spd. SH.
: Ir. Iswan Abdulah
: H. Makmur Komarudin
: Suparno .B
: Drs. Ali Arifin Tanjung
: Aghni Dhamayanti, A.Md.
: Basril Hendrisman, A.Md.
: Drs. M.Syawal Harahap
: Nani Kusmaeni
: Wati Anwar
: Kambusiha, SH.
76

SERIKAT

18. Bendahara Umum


19. Bendahara Satu
20. Bendahara Dua

: H.M. Yadun Mufid, SE.


: Ridwan Panjaitan
: Wahyu Diana Sari

SUSUNAN PENGURUS FSPMI PENGURUS PIMPINAN PUSAT SERIKAT PEKERJA


ANGGOTA FEDERASI SERIKAT PEKERJA METAL INDONESIA PERIODE 2006 ~ 2011
1. Serikat Pekerja Elektronik Elektrik (SPEE)
Ketua Umum
: Drs. Ridwan Monoarfa
Sekretaris Umum
: Judy Winarno, ST.
2. Serikat Pekerja Automotif Mesin Dan Komponen (SPAMK)
Ketua Umum
: Ir. Jefry Helian
Sekretaris Umum
: M. Jamsari
3. Serikat Pekerja Logam (SPL)
Ketua Umum
: R.H. Endang Thamrin
Sekretaris Umum
: M. Taufik Hidayat, SH
4. Serikat Pekerja Dok dan Galangan Kapal (SPDG)
Ketua Umum
: Drs. Thamrin Mosii
Sekretaris
: H. Makmur Komarudin
5. Serikat Pekerja Dirgantara
Ketua Caretaker
:Sekretaris Caretaker : Afiliasi FSPMI di tingkat Nasional dan International
Dalam membangun aliansi strategis dan kerjasama untuk solidaritas kaum
pekerja ditingkat Nasional, FSPMI berafiliasi dengan Kongres Serikat Pekerja
Indonesia (KSPI) sebagai Konfederasi yang merupakan gabungan dari beberapa
Federasi Serikat Pekerja yaitu: FSPTSK, FSPKEP, SP.PAR, SP.PPMI, PGRI,
SPKAHUTINDO, GASBIINDO, SP.FARKES Reformasi, ASPEK Indonesia, SP ISI,
dan FSPMI.
Ditingkat dunia International, FSPMI pada Kongres Dunia IMF Ke 30 tanggal 1116 November 2001 di Sydney, resmi diterima berafiliasi menjadi anggota pada
International Metalwokers Federation (IMF) yang berkantor pusat di GenevaSwiss dan mempunyai 207 afiliasi Serikat Pekerja di 101 negara dengan jumlah
+24.800.000 anggota.
B. Tugas dan wewenang serikat pekerja/buruh
Tugas serikat pekerja/buruh:
77

1. Untuk membela pekerja/buruh bila terjadi intimidasi antara pekerja dengan


pengusaha yang merugikan pekerja;
2. Mensejahterakan anggota serikat pekerja/buruh atau pun yang bukan menjadi
anggota dan keluarganya;
3. Membuat suatu aturan organisasi;
4. Menegaskan adanya antara hak dan kewajiban dalam bekerja.
Wewenang serikat pekerja/buruh:
1. Menjadi kuasa hukum untuk beracara di pengadilan hubungan industrial untuk
mewakili anggotanya;
2. untuk mewakili pekerja/buruh yang menjadi anggotanya dalam perundinganperundingan dengan pihak pengusaha;
3. menciptakan hubungan industrial yang harmonis dan dinamis.
C. Peranan serikat pekerja/buruh dalam suatu perusahaan:
Dalam suatu perusahaan biasanya terdapat organisasi serikat pekerja/serikat
buruh yang dalam pelaksanaanya mempunyai peranan yang sangat penting dalam
hubungan industrial. Serikat pekerja dalam memecahkan persoalan menuju suatu
kemajuan dan peningkatan yang diharapkan, hendaknya menata dan memperkuat
dirinya melalui upaya :
1. Menciptakan tingkat solidaritas yang tinggi dalam satu kesatuan diantara pekerja
dengan pekerja, pekerja dengan serikat pekerjanya, pekerja/serikat pekerja
dengan manajemen
2. Menyakinkan anggotanya untuk meleksanakan kewajibannya disamping haknya
diorganisasi dan di perusaahaan, serta pemupukan dana organisasi
3. Dana organisasi dibelanjakan berdasarkan program dan anggaran belanja yang
sudah ditetapkan guna kepentingan peningkatan kemampuan dan pengetahuan
terjait dengan keadaan dan kebutuhan ditempat bekerja. Termasuk pelaksanaan
hubungan industrial
4. Sumber Daya Manusia yang baik akan mampu berinteraksi dengan pihak
manajemen secara rasional dan obyektif
Bilamana, paling tidak 4 persyaratan diatas terpenuhi, serikat pekerja melalui
wakilnya akan mampu mencari cara terbaik menyampaikan usulan positif guna
kepentingan bersama perlu diyakini bahwa tercapainya hubungan industrial yang
harmonis, dinamis, berkeadilan, dan bermartabat, hanya akan ada ditingkat
perusahaan. Karenanya social dialogue yang setara, sehat, terbuka, saling percaya
78

dan dengan visi yang sama guna pertumbuhan perusahaan sangat penting dan
memegang peranan menentukan.
Faktor diluar itu pada dasarnya hanya merupakan pedoman dan faktor
pendukung dan pembantu. Pembinaan dan peningkatan kualitas SDM dapat
dirumuskan melalui LKS Bipartit. Program Quality Circle perlu dilakukan. Selain itu
peran serikat pekerja juga memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja itu
sendiri. Sebagai dasar dari kebebasan pekerja dapat dijumpai dalam pasal 28 UUD
1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya seperti :
-

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1956 tentang Ratifikasi Konvensi ILO Nomor


98 mengenai Convention Concerning the Application of the Principles of the Right

to Organize and to Bargain Collectivelly


Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang berlakunya Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1997 tentang ketentuan pokok tenaga kerja yang mengatur
prinsip-prinsip serikat pekerja yang antara lain :
Hak pekerja membentuk serikat kerja
Serikat pekerja di bentuk secara demokratis serta tidak boleh adanya
campur tangan pihak lain

D. Peranan serikat pekerja/buruh dalam menciptakan hubungan industrial


1. Saling percaya
Menanamkan sikap kepercayaan sesama anggota agar tidak adanya kesalah
pahaman dalam berserikat.
2. Terbuka
Dalam menerima anggota dan/atau memperjuangkan kepentingan pekerja, tidak
membedakan menurut aliran politik, agama, suku bangsa, dan jenis kelamin. Serikat
pekerja mendirikan, menjalankan, dan mengembangkan organisasi secara mandiri
atau atas kekuatan sendiri, tidak dikendalikan oleh pihak lain di luar organisasi.
3. Demokratis

79

Pemilihan pengurus, memperjuangkan dan melaksanakan hak dan kewajiban


organisasi dilakukan sesuai dengan prinsip demokrasi. Dalam mencapai tujuan dan
melaksanakan hak dan kewajibannya, serikat pekerja bertanggung jawab kepada
anggota, masyarakat, dan Negara.
4. Saling mengerti
Di dalam berorganisasi harus bias saling mengerti satu sama lainnya agar tidak
adanya permasalahan dalam mengeluarkan pendapat

80

Anda mungkin juga menyukai