Anda di halaman 1dari 20
KOORDINASI DAN HARMONISASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN* Oleh: Prof. Dr. Ahmad M. Ramli, S.H., M.H. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional A. PENDAHULUAN Pembangunan materi hukum (legal substance) atau peraturan perundang-undangan di Indonesia hingga kini terus berlangsung (never ending process) karena peraturan perundang-undangan merupakan salah satu sendi utama dari sistem hukum nasional. Namun demikian masih saja ditemukan peraturan perundang- undangan ‘bermasalah”, baik karena substansi, proses dan prosedur, maupun aspek /egal drafting-nya. Paling tidak ada tiga permasalahan utama di bidang ini, yaitu: (a) tumpang tindih dan inkonsistensi peraturan perundang-undangan; (b) perumusan peraturanperundang-undangan yang kurangjelas; danimplementasi undang-undang terhambat peraturan pelaksanaannya. Permasalahan tersebut di atas, antara lain, disebabkan oleh proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang mengabaikan pentingnya pendalaman materi, koordinasi, sinkronisasi dan harmonisasi dengan peraturan perundang- undangan lain. Oleh karena itu salah satu prioritas yang harus dilakukan dalam rangka pembangunan hukum nasional adalah melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan. Harmonisasi harus dilakukan secara sistemik sejak dini yaitu sejak * Makalah dipresentasikan pada Semiloka Kesetamatan dan Kesehatan Kerja 2008, diselenggarakan oleh Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional, di Hote! Bumikarsa, Jakarta tanggal 11-13 Maret 2008, 1 dilakukannya penyusunan naskah akademik (NA), penyusunan Program Legislasi Nasional sampai dengan penyusunan RUU. Aspek perencanaan merupakan salah satu faktor penting, oleh karena itu pula, pembentukan peraturan perundang-undangan harus dimulai dari perencanaan. Disusun secara berencana, terpadu dan sistematis, serta didukung oleh cara dan metode yang pasti, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah menentukan bahwa perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam suatu Program Legislasi Nasional atau biasa disebut ‘Prolegnas”. Melalui Pasal 18 ayat (2), UU Nomor 10 Tahun 2004 mengatur bahwa ‘pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang yang berasa\ dari Presiden, dikoordinasikan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan.” Ketentuan ini mengandung konsekuensi bahwa rancangan undang-undang dalam pengajuannya harus melewati mekanisme pengharmonisasian yang biasanya dilakukan melalui pembahasan bersama Panitia Antar Departemen agar tidak terjadi tumpang tindih pengaturan dalam sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU). Dengan demikian Prolegnas mempunyai peranan yang sangat penting agar suatu UU tidak saling tumpang tindih dan bertentangan. Menteri Hukum dan HAM dalam melaksanakan tugas koordinasi penyusunan Prolegnas dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), sedangkan tugas melakukan koordinasi dalam pengharmonisasian penyusunan rancangan peraturan perundang- undangan, dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan (Ditjen PP). Tulisan ini akan mencoba menjelaskan tentang koordinasi dan harmonisasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, sesuai dengan topik simposium yang diminta oleh Penyelenggara. B. PENGERTIAN DAN SEJARAH Pengertian Secara etimologis “koordinasi” berarti perihal mengatur suatu organisasi atau kegiatan sehingga peraturan dan tindakan yang akan dilaksanakan tidak saling bertentangan atau simpang siur. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, 2005). Sedangkan menurut istilah manajemen, koordinasi adalah kegiatan memadukan fungsi- fungsi dan sumber-daya yang ada dalam sistem atau organisasi, sehingga dapat dicapai hasil yang optimal dalam upaya pencapaian dan sasaran dan tujuan organisasi. Koordinasi pada umumnya__ berlangsung interaksi secara horizontal. Kadang dapat juga terjadi interaksi diagonal maupun vertical. Dalam hubungan vertikal, subjek koordinasi adalah koordinator, sedangkan objeknya adalah yang dikoordinasikan. Interaksi antara dalam kaitan ‘peraturan perundang-undangan’, koordinasi sangat diperlukan untuk dapat tercapainya keterpaduan dalam proses penyusunan, pembentukan sehingga implementasinya dapat mengarah kepada pencapaian hasil yang optimal. “Harmonisasi” berasal dari kata ‘harmoni’, yang berarti keselarasan, kecocokan, keserasian.' Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) diartikan upaya mencari keselarasan. Dalam Collins Cobuild Dictionary (1991) ditemukan kata harmonious dan harmonize dengan penjelasan sebagai berikut: - A relationship, agreement etc. that is harmonious is friendly and peaceful. - Things which are harmonious have parts which make up an attractive whole and which are in proper proportion to each other - When people harmonize, they agree about issues or subjects in a friendly, peaceful ways; suitable, reconcile. - If you harmonize two or morw things, they fit in with each other is part of a system, society etc. Unsur-unsur yang dapat ditarik dari perumusan pengertian harmonisasi tersebut di atas, antara lain: (a) adanya hal-hal yang bertentangan, kejanggalan; (b) menyelaraskan hal-hal yang bertentangan secara proporsional agar membentuk suatu sistem; (c) suatu proses atau suatu upaya untuk merealisasi keselarasan, kesesuaian, keserasian, kecocokan, dan keseimbangan; (d) kerja sama antara berbagai faktor yang sedemikian rupa, hingga faktor- faktor tersebut menghasilkan kesatuan yang luhur. Sedangkan yang dimaksud harmonisasi peraturan perundang- undangan ialah upaya atau proses untuk merealisasi keselarasan dan keserasian asas dan sistem hukum sehingga menghasilkan peraturan 1M Dahlan al Barry, 1995, Kamus Modern Bahasa Indonesia, Yogyakarta: Arkola, him. 185. 4 (sistem hukum) yang harmonis. BPHN memberikan pengertian harmonisasi hukum, sebagai berikut: Harmonisasi hukum adalah kegiatan ilmiah untuk menuju proses pengharmonisasian hukum tertulis yang mengacu baik pada nilai-nilai filosofis, sosiologis, ekonomis maupun yuridis. Dalam pelaksanaannya, kegiatan harmonisasi adalah pengkajian yang komprehensif terhadap suatu rancangan peraturan perundang-undangan, dengan tujuan untuk mengetahui apakah rancangan peraturan tersebut, dalam berbagai aspek, telah mencerminkan keselarasan atau kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan nasional lain, dengan hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat, atau dengan konvensi-konvensi dan perjanjian-perjanjian internasional, baik bilateral) maupun multilateral, yang telah diratifikasi oleh Pemerintah RI.? Sejarah Harmonisasi Pengembangan harmonisasi hukum sesungguhnya telah muncul dalam ilmu hukum dan praktik hukum di Belanda setelah Perang Dunia 4 dan lebih berkembang sejak tahun 1970-an. Bahkan di Jerman, pengembangan harmonisasi hukum telah muncul sejak tahun 1902. Harmonisasi hukum yang berkembang dalam limu hukum di Belanda digunakan untuk menunjukkan bahwa dalam dunia hukum, kebijakan pemerintah dan hubungan di antara keduanya terdapat kebhinnekaan yang mengakibatkan disharmoni.* Rudolf Stammler (1902) mengemukakan bahwa tujuan atau fungsi hukum adalah harmonisasi Moh. Hasan Wargakusuman, Perumusan Harmonisasi Hukum tentang Metodologi Harmonisasi Hukum, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1996/1997, him. 37. 2 LLM, Gandhi, Harmonisas! Hukum Menuju Hukum Yang Responsif, Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Hukum Ul, Jakarta, 14 Oktober 1995, berbagai maksud, tujuan dan kepentingan antara individu dengan individu dan antara individu dengan masyarakat. Dilndonesia masalah harmonisasi hukum juga telah mulaidigagas oleh Soepomo, ahli hukum adat Indonesia yang mempunyai peran besar dalam merumuskan Undang-Undang Dasar 1945 Soepomo mengemukakan bagaimana menghubungkan sistem hukum Indonesia dangan gagasan hukum yang berasal dari sistem hukum Barat. Menurutnya: “.. Inti soal sekarang ialah, bagaimana mempersatukan tjita-tjita Timur dengan tjita-tjita dan kebutuhan modern yang berasal dari Barat supaja menjadi suatu harmoni. Djawaban satu-satunja jang efektif rupa-rupanja ialah: asimilasi pengertian Barat dalam bentuk jang sesuai dengan strukturnya masyarakat Indonesia sendiri.* Gagasan di atas menunjukkan bahwa sistem hukum Indonesia memikirkan masalah harmonisasi dengan hukum modern melalui metode asimilasi pengertian konsep hukum barat yang sesuai dengan struktur masyarakat Indonesia sendiri. Pemikiran tentang keharmonisan hukum dengan pola asimilasi itu tersirat dalam ketentuan peralihan UUD 1945 yang tidak hanya bermakna bahwa hukum peninggalan Belanda tidak hanya sekedar mengisi kekosongan hukum yang terjadi karena kemerdekaan Republik Indoensia melainkan juga dapat diartikan untuk memberi kesempatan bagi Indonesia melakukan harmonisasi hukum kolonial dengan kebutuhan masyarakat secara bertahap menurut prosedur dan tata cara pembentukan hukum nasional. Pengaturan mengenai harmonisasi peraturan perundang- “Lihat, Hertien Boediono, Het Evenwichtsbeginsel voor het indonesich Contracttenrechten, disertasi, 2001 undangan pasca kemerdekaan sesungguhnya telah mulai diatur di dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 15 Tahun 1970 tentang Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, meskipun tidak secara tegas dan rinci. Ketentuan ini kemudian diganti dengan Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang yang menghendakiperlunya harmonisasi peraturan perundang-undangan, Keppres 188/1998 ini lahir sebelum dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945 sehingga perlu dilakukan penyempurnaan atau perubahan terhadapnya. Hal tersebut berkaitan dengan terjadinya perubahan mendasar dalam UUD 1945 yang berkenaan dengan (lembaga) pembentuk peraturan perundang- undangan. Setelah Perubahan UUD 1945, harmonisasi’ diatur dengan undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Di dalam Pasal 18 UU Nomor 10 Tahun 2004 yang kemudian diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Presiden Nomor 61 tahun 2005 tentang Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional dan Peraturan Presiden Nomor 68 tahun 2005 tentang Tata Cara mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden. C. KOORDINASI DAN HARMONISAS! PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN Koordinasi Koordinasi menjadi salah satu kata kunci yang menjadi pertimbangan bagidilahirkannya UU Nomor 10 Tahun 2004, Didalam konsideran menimbang huruf b disebutkan: ‘bahwa untuk lebih meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses pembentukanan peraturan perundang-undangan, maka negara Republik Indonesia sebagai negara yang berdasar atas hukum perlu memiliki peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan”. Berdasarkan ketentuan-ketentuan pasa\didalam UU Nomor 10 Tahun 2004 maupun Perpres 61 Tahun 2005 dan Perpres 68 Tahun 2005, kata koordinasi lebih banyak dipakai dalam bentuk kata kerja (pasif dan aktif), yaitu ‘dikoordinasikan’ dan ‘mengkoordinasikan’. Kata tersebut dipergunakan untuk menyatakan, a.|: a. Penyusunan Program Legislasi Nasional antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah dikoordinasikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat melalui alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang khusus menangani bidang legislasi. b. Penyusunan Program Legislasi Nasional di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat dikoordinasikan oleh alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang khusus menangani bidang legislasi. c. Penyusunan Program Legislasi Nasional di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang Peraturan Perundang- undangan. d. Upaya pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang dilaksanakan melalui forum konsultasi yang dikoordinasikan oleh Menteri. e. Apabila Presiden berpedapat Rancangan Undang-Undang masih mengandung permasalahan, Presiden menugaskan Menteri dan Pemrakarsa untuk mengkoordinasi kembali penyempurnaan Rancangan Undang-Undang tersebut. f. Untuk kelancaran pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2), Menteri mengkoordinasikan pembahasan konsepsi fersebut dengan pejabat yang berwenang mengambil keputusan, ahli hukum, dan/atau perancang peraturan perundang-undangan dari Lembaga Permrakarsa dan lembaga terkait lainnya. Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa koordinasi yang dimaksud adalah kegiatan memadukan berbagai fungsi dalam tahap penyusunan Prolegnas dan tahap perancangan RUU yang dilakukan oleh DPR dan Pemerintah. Kegiatan koordinasi lebih bersifat teknis. Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Pengharmonisasian adalah upaya untuk menyelaraskan, menyesuaikan, memantapkan dan membulatkan konsepsi suatu fancangan peraturan perundang-undangan dengan _ peraturan perundang-undangan lain, baik yang lebih tinggi, sederajat, maupun yang lebih rendah, dan hal-hal lain selain peraturan perundang- undangan, sehingga tersusun secara sistematis, tidak saling bertentangan atau tumpang tindih (overlaping). Hal ini merupakan konsekuensi dari adanya hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU No. 10 tahun 2004. Dengan dilakukan pengharmonisasian maka akan tergambar dengan jelas dalam pemikiran atau pengertian bahwa suatu peraturan perundang- undangan merupakan bagian integral yang utuh dari keseluruhan sistem peraturan perundang-undangan. Mengapa Perlu Harmonisasi? Paling tidak ada tiga alasan mengapa perlu melakukan pengharmonisasian RUU dalam rangka memenuhi ketentuan Pasal 18 UU Nomor 10 Tahun 2004, yaitu: 1) Undang-Undang sebagai salah satu jenis peraturan perundang- undangan merupakan subsistem dari sistem hukum nasional. Sebagai suatu subsistem dari sistem yang lebih besar, peraturan perundang-undangan harus ada saling keterkaitan dan saling ketergantungan serta merupakan satu kebulatan yang utuh dengan subsistem yang lain; 2) UU dapat diuji (judicial review) baik secara materiil maupun formal. Mahkamah Konstitusi (MK) berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, antara lain berwenang menguji Undang- Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Berhubung dengan itu, pengharmonisasian peraturan perundang-undangan sangat strategis fungsinya sebagai upaya preventif untuk mencegah diajukannya permohonan pengujian peraturan perundang- undangan kepada kekuasaan kehakiman yang berkompeten. Putusan MK dapat menyatakan bahwa suatu materi muatan 10 pasal, ayat, dan/atau bagian dari peraturan perundang- undangan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat atau tidak mempunyai dampak yuridis, sosial dan politis yang luas.5 Karena itu pengharmonisasian perlu dilakukan secara cermat, 3) Menjamin proses pembentukan peraturan perundang-undangan dilakukan secara taat asas demi kepastian hukum. Tahapan Harmonisasi Secara ideal, harmonisasi sebaiknya telah dilakukan sejak tahapan penyusunan Naskah Akademik RUU, tahapan Prolegnas, dan tahapan perancangan draf RUU. Namun menurut peraturan yang ada, harmonisasi RUU dilakukan pada saat penyusunan Prolegnas dan penyusunan/perancangan RUU. 1) Harmonisasi pada Tahapan Penyusunan Naskah Akademik Untuk memperlancar saat pembahasan RUU di DPR, dan untuk menghidari kekurangsiapan konsepsi, harmonisasi peraturan perundang-undangan sebaiknya dilakukan sejak penyusunan Naskah Akademik. Naskah Akademik (NA) adalah naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturan RUUS Menurut Perpres 68 Tahun 2005, penyusunan NA sifatnya “Lihal, Kelentuan Pasal $7 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ®Pasal 1 angka 7 Perpres 68 Tahun 2005 I opsional, tidak wajib, demikian pula yang ditetapkan di dalam Tata Tertib DPR yang tertuang di dalam Keputusan DPR RI Nomor: 08/ DPR RI/I/2005-2006 tentang Tata Tertib DPR RI (27 September 2005). Namun demikian pada saat Rapat Koordinasi penyusunan Prolegnas tanggal 6-8 Oktober 2006 antara Baleg DPR RI dengan Pemerintah (Menteri Hukum dan HAM), disepakati bahwa program RUU yang akan diajukan sebagai prioritas pembahasan harus telah disusun NA-nya. Sehingga dalam praktiknya menjadi wajib Harmonisasi pada tahapan ini dilakukan melalui analisis dan evaluasi terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait, baik peraturan nasional maupun konvensi atau perjanjian internasional, dan harmonisasi terhadap asas-asas serta teori hukum serta kesesuaiannya terhadap Dasar Negara dan UUD NRI 1945. Pada tahapan ini juga sudah mulai dirumuskan norma dalam bentuk rumusan akademik sebagai landasan dibentuk atau dirumuskannya sesuatu pasal secara konkret. 2) Harmonisasi pada Tahapan Penyusunan Prolegnas Mekanisme pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU (selanjutnya disingkat pengharmonisasian) dalam rangka penyusunan Prolegnas berdasarkan Perpres Nomor 61 Tahun 2606’ secara garis besar menyangkut tiga hal: (a) aspek kelembagaan: ¢ Koordinator pengharmonisasian adalah Menteri Hukum dan HAM, c.g. Badan Pembinaan Hukum Nasional "Lihat, ketentuan Pasal 14 s.d, Pasal 18 Perpres Nomor 61 Tahun 2005, 12 Pihak yang terlibat, di samping Departemen Hukum dan HAM adalah instansi pemrakarsa dan instansi-instansi Pemerintah terkait lainnya sesuai dengan substansi yang diatur. Pengharmonisasian dilaksanakan melalui forum konsultasi yang dikoordinasikan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional. Dalam praktik, forum yang sudah ada sebagai forum konsultasi, yaitu Rapat Pembahasan Tahunan Prolegnas yang dilaksanakan oleh BPHN. Forum ini terutama untuk melakukan harmonisasi dan sinkronisasi program RUU dalam rangka penyusunan RUU prioritas tahunan yang akan diajukan. Dalam forum konsultasi, dapat menyertakan para ahli dari lingkungan perguruan tinggi dan organisasi di bidang sosial, politik, profesi atau kemasyarakatan sesuai dengan kebutuhan. Dalam hal RUU disertai Naskah Akademik, maka NA dijadikan bahan pembahasan. Untuk mendukung pelaksanaan proses penyusunan Prolegnas yang dilakukan oleh BPHN, dibentuk Tim Antar Departemen Prolegnas. Tim yang terdiri dari Biro Hukum Departemen/LPND ini dalam kadar atau tingkat tertentu juga melakukan pengharmonisasian dan sinkronisasi program RUU yang diajukan oleh Departemen/LPND. Sampai saat ini belum ada format baku di dalam Prolegnas dalam melaksanakan fungsi pengharmonisasian RUU dalam rangka penyusunan Prolegnas. (b) aspek substansi Arah harmonisasi adalah keselarasan konsepsi dengan falsafah negara, tujuan nasional berikut aspirasi yang melingkupinya, UUD NRI Tahun 1945, UU lain yang telah ada berikut segala peraturan péelaksanaannya dan kebijakan lainnya yang terkait dengan bidang yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang tersebut. {c} aspek prosedur ¢ Pemrakarsa RUU mengajukan pengharmonisasian kepada Menteri Hukum dan HAM. * Konsepsi RUU yang sudah diharmonisasi wajib dimintakan persetujuan Presiden sebagai RUU Prolegnas. Selanjutnya berkaitan dengan RUU yang diajukan oleh DPR melalui Prolegnas, terdapat mekanisme sebagai berikut: 1) Menteri Hukum dan HAM mengkonsultasikan terlebih dahulu masing-masing konsepsi RUU yang dihasilkan oleh DPR kepada Menteri lain atau Pimpinan LPND sesuai dengan lingkup bidang tugas dan tanggung jawabnya dengan masalah yang akan diatur dalam RUU dan Pimpinan instansi Pemerintah terkait lainnya, Konsultasi sebagaimana dimaksud di atas dilaksanakan dalam fangka pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan. konsepsi RUU termasuk kesiapan dalam pembentukannya. 2) Hasil penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR dan konsuitasi dalam rangka pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU, oleh Menteri Hukum dan HAM dimintakan persetujuan terlebih dahulu kepada Presiden sebelum dikoordinasikan kembali dengan DPR (Pasal 23). 14 3) Persetujuan Presiden terhadap Prolegnas yang disusun di lingkungan DPR diberitahukan secara tertulis kepada dan sekaligus menugaskan Menteri Hukum dan HAM untuk mengkoordinasikan kembali dengan Dewan Perwakilan Rakyat. 3) Harmonisasi pada Tahapan Perancangan draf RUU Harmonisasi pada tahap ini dilakukan oleh Direktorat Harmonisasi Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Harmonisasi dilaksanakan dalam suatu Rapat Antar Departemen yang dipimpin oleh Departemen Hukum dan HAM. Aspek-aspek yang diharmonisasikan Setidak-tidaknya ada 2 aspek yang perlu diharmonisasikan pada waktu menyusun peraturan perundang-undangan, yaitu yang berkaitan dengan aspek konsepsi materi muatan dan aspek teknik penyusunan peraturan perundang-undangan. a, yang berkenaan dengan konsepsi materi muatan peraturan perundang-undangan mencakup: 4) Pengharmonisasian konsepsi materi muatan rancangan peraturan perundang-undangan dengan Pancasila. Pancasila merupakan cita hukum (rechtsidee). Cita hukum tidak hanya berfungsi sebagai tolok ukur yang bersifat regulatif, yaitu yang menguji apakah suatu hukum positif adil atau tidak, melainkan juga sekaligus sebagai dasar yang bersifat konstitutif, yaitu yang menentukan bahwa tanpa cita hukum, hukum akan kehilangan maknanya sebagai hukum. 2) Pengharmonisan konsepsi materi muatan rancangan peraturan 3 4 16 perundang-undangan dengan Undang-Undang Dasar. Materi muatan peraturan perundang-undangan _harus diselaraskan dengan ketentuan Undang-Undang Dasar sebagai hukum dasar negara. Pengharmonisasian peraturan perundang-undangan dengan Undang-Undang Dasar selain berkaitan dengan pasal-pasal tertentu yang dijadikan dasar pembentukannya dan pasal-pasal yang terkait juga dengan prinsip-prinsip negara hukum dan negara demokrasi baik di bidang sosial politik maupun ekonomi Undang-undang yang bertentangan dengan pasal-pasal dan semangat Undang-Undang Dasar sebagaimana termaktub dalam pembukaan dapat diuji keabsahannya oleh Mahkamah Konstitusi karena Undang-undang yang demikian kehilangan dasar konstitusionainya. Pengharmonisasianrancanganperaturan perundang-undangan dengan asas pembentukan dan asas materi muatan peraturan perundang-undangan. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 menggolongkan asas peraturan perundang-undangan menjadi 3 (tiga) golongan yaitu asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik; asas materi muatan dan asas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Pengharmonisasian materi muatan rancangan peraturan perundang-undangan secara horizontal agar tidak tumpang tindih dan saling bertentangan, karena hal tersebut akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ambiguitas dalam penerapannya. 2 Pengharmonisasian materi muatan rancangan peraturan perundang-undangandengan konvensi/perjanjian internasional. Konvensi/perjanjian internasional juga harus diperhatikan agar peraturan perundang-undangan nasional tidak bertentangan dengan konvensi/perjaniian internasional, terutama yang telah diratifikasi oleh negara Indonesia. 6 Pengharmonisasian rancangan peraturan _ perundang- undangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi dan putusan Mahkamah Agung atas pengujian terhadap peraturan perundang-undangan. 7 Hal yang tidak kalah pentingnya adalah pengharmonisasian rancangan peraturan perundang-undangan dengan teori hukum, pendapat para ahli (dogma), yurisprudensi, hukum adat, norma-norma tidak tertulis, rancangan peraturan perundang- undangan, dan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yang akan disusun. b. Teknik penyusunan peraturan perundang-undangan _ baik menyangkut kerangka peraturan perundang-undangan, hal-hal khusus, ragam bahasa dan bentuk peraturan perundang-undangan. Teknik penyusunan peraturan perundang-undangan tertuang dalam lampiran Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, Pengabaian terhadap teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, tidak 17 dapat menjadi alasan batalnya peraturan perundang-undangan atau alasan untuk melakukan judicial review. Akan tetapi akan mengindikasikan penyusunan peraturan perundang-undangan yang jelek. D. KENDALA Permasalahan yang dihadapi dalam proses pengharmonisasian antara fain adalah: Mekanisme pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU dalam rangka penyusunan Prolegnas berdasarkan Perpres Nomor 61 Tahun 2005 sebagaimana diuraikan di atas belumlah sepenuhnya berjalan karena Perpres tersebut terbentuk setelah disusunnya Prolegnas Tahun 2005- 2009 berdasarkan Keputusan DPR-RI No. 01/DPR-RI/III/ 2004-2005 tentang Persetujuan Penetapan Program Legislasi Nasional Tahun 2005-2009 tanggal 1 Februari 2005. Pembahasan suatu RUU di DPR, baik melalui Komisi maupun Panitia Khusus (Pansus) seringkali tidak dikoordinasikan atau dikomunikasikan kepada Komisi atau Pansus yang lain, sehingga seringkali pula antara satu RUU dengan RUU. yang lain tidak sinkron dan tidak dalam satu kesatuan sistem perundang-undangan atau sistem hukum nasional. Adanya semangat egoisme sektoral dari masing-masing instansi terkait dan tiadanya persamaan persepsi tentang fancangan peraturan perundang-undangan sebagai suatu sistem. Hal tersebut menyebabkan pembahasan materi tidak * Beniuk hukum penetapan Prolegnas tidak diatur dalam UU No, 10/2004 maupun Perpres 61/2005. 18 bersifat menyeluruh tetapi bersifat fragmentaris menurut kepentingan masing-masing instansi. 4, Perwakilan dari instansi terkait sering berganti-ganti dan tidak mempunyai kapasitas untuk mengambil keputusan sehingga pendapat yang diajukan tidak konsisten. Hal ini dalam praktiknya menghambat pembahasan. 5. Rancangan peraturan perundang-undangan yang akan dikarmoniskan tidak dipersiapkan sebelumnya dan seringkali baru didistribusikan pada saat rapat sehingga pendapat yang diajukan bersifat spontan dan belum tentu mewakili pendapat instansi yang diwakili. 6. Tenaga fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan masih terbatas dan belum memilikispesialisasi untuk menguasai bidang hukum tertentu. 7. Biro Hukum Departemen/LPND seringkali tidak dilibatkan sejak awal sering terjadi biro hukum justru baru terlibat pada saat pengharmonisasian yang dikoordinasikan oleh Departemen Hukum dan HAM. ©. PENUTUP Koordinasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan merupakan hal yang sangat penting dan strategis dalam membentuk dan melahirkan Undang-Undang yang baik dan implementatif. Melihat permasalahan dan praktik yang berkembang dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, upaya revitalisasi harmonisasi RUU menjadi penting dan mendesak untuk dilakukan. Revitalisasi harmonisasi peraturan perundang-undangan paling tidak meliputi sistem dan prosedur harmonisasi yang dimulai dari Naskah Akademik. Perlu dikaji adanya tahapan harmonisasi pasca pembahasan RUU di DPR untuk sinkronisasi kesisteman dalam bingkai sistem hukum nasional serta lembaga yang menanganinya. 20

Anda mungkin juga menyukai