Anda di halaman 1dari 18

A Land Without God

by reza pratama nugraha.


Ketika kubuka kelopak mataku, tanpa sadar diriku sudah berada didepan kaca besar
yang memperlihatkan refleksi diriku yang terlihat begitu tua.
Kulihat sekitarku, dan tak kukenali sama sekali ruangan kosong ini. Anehnya lagi
, refleksi yang timbul dari kaca didepanku sama sekali berbeda dengan ruangan in
i, yaitu sebuah medan pertempuran dengan mayat-mayat yang bertumpukan yang biasa
nya kami tumpuk disaat perang untuk membakar mayat musuh yang ditakuti akan meny
ebarkan penyakit.
Saat itu kugerakan tanganku untuk melihat apakah refleksi ini benar-benar diriku
, tapi refleksiku tidak mengikuti sama sekali gerakanku, melainkan bergerak den
gan kemauannya dan menatap medan pertempuran dibelakangnya yang dipenuhi oleh se
njata yang tertancap ditanah dengan genangan darah diantaranya.
"Hei diriku.."
"Eh?"
"Ya, Kamu!"
Dia kini menatapku dan menunjukan jarinya padaku. Suaranya begitu serak dan mata
nya begitu merah seperti baru saja menangis.
"Begitu banyak rakyat di negeri ini yang terbunuh demi cita-cita kita wahai Lush
an, dan itu demi tujuan apa? Kebebasan mereka? Kesejahteraan mereka?"
Dia kini bertanya sambil menatap ketumpukan mayat disebelahnya.
"Tentu saja, pengorbanan dibutuhkan demi terwujudnya impian tersebut,"
"Ya! Tentu saja, Hingga kini tidak ada sesuatu hal yang berdiri tanpa adanya pen
gorbanan!"
Dia kemudian berjalan menuju tumpukan mayat tersebut, dan mendudukinya.
Aneh, tanpa sadar aku melihat tumpukan mayat tersebut menyerupai singsana keraja
an yang begitu besar, dimana kemagahan muncul diantara mayat-mayat yang kini ten
gah membusuk didiami belatung dan lalat.
"Kau pasti sadar bahwa apa yang kududuki ini merupakan singsana kerajaaan. Tapi
apa kau juga sadar bahwa selama ini kau juga mendudukinya?"
"Maksudmu?"
"Ya, singsana itu kita dapati dan duduki dari jutaan manusia yang telah mati, me
ngorbankan dirinya demi kita dan percaya bahwa kita bisa mengubah nasib mereka,
nasib negara mereka!"
Jadi dia memetaforakan singsana kerajaan dengan tumpukan mayat tersebut?
"Tentu saja.."
"Tentu saja? Heh, kau belum tua benar seperti diriku wahai Lushan, sehingga mata
mu tidak bisa membedakan singsana megah dengan tumpukan mayat busuk ini. Matamu
belum membusuk benar sehingga apa yang kau lihat didepanmu, hasil dari usahamu,
berubah menjadi potongan-potongan tubuh manusia yang tengah digerogoti lalat dan
belatung."

Tiba-tiba aku melihat badannya yang dikelilingi lalat, dan keluar belatung dari
kulitnya yang sudah terlihat tua dan keriput.
"Ketika kau sudah dalam keadaan seperti ini.. Ketika harapan-harapan itu sudah t
erengut dari matamu, kau akan berpikir.. Apakah tuhan benar-benar ada di dunia t
anpa harapan ini? Apakah dunia ini tak lebih indah dari neraka?"
"Neraka.. Apa yang sebenarnya ingin kau ingin sampaikan wahai diriku yang berada
dikaca?"
Dia berdiri dan mengeluarkan pedangnya, lalu menghantamkannya ketanah. Dunia sea
kan terguncang, dan wajahnya kini memperlihatkan kemarahannya.
"Aku adalah kau Lushan, ingat itu! Kau akan diberi kesempatan untuk mengulangi k
esalahan yang sama, dan aku bisa menjanjikan itu!"
Ketika itu aku sadar akan maksud dari dirinya, dimana diriku yang berada pada ka
ca tersebut merupakan refleksi kegagalanku walau telah meraih kesempatan kedua d
imana diriku berhasil menghindari menghindari kematianku.
"Aku takkan gagal. Jika kau berbicara apakah aku bisa menggapai semua itu tanpa
pertumpahan darah, kita sendiri tahu bahwa hal itu terlalu naif. Tapi berbicara
tentang harapan, aku berjanji bahwa mata ini takkan pernah menjadi sepertimu!"
"Hahaha, apapun yang kau katakan wahai kau diriku yang lain, aku sudah pesimis u
ntuk mempercayai itu semua. Roh ini sudah tua dan lemah.. Ketika anaknya tidak d
apat menghunuskan pedangnya ke punggung ayahnya ini, dia tetap runtuh karenanya.
."
Dia tertawa, kemudian menggorok lehernya dengan pedangnya. Ketika itu darah kelu
ar dari lehernya, mengalir diantara tanah yang kemudian keluar dari kaca yang ku
pandang.
Ketika itu aku tidak bisa bergerak untuk menghindari noda darah yang kini tengah
mengalir di kakiku, dan kemudian aku terkagetkan ketika melihat refleksi dari d
arah tersebut, dimana aku terlihat muda..
***
"Ehh.."
Buku-buku berjatuhan dari pangkuanku karena terguncangnya kereta kuda yang berge
rak begitu cepat ditanah yang belum rampung dibuat jalan.
Aku terbengongkan oleh maksud dari mimpi yang baru saja kualami, dan ketika itu
ibu dan kakak yang berada didepanku sepertinya terganggu dengan jatuhnya bukuku.
"Hei cepat ambil bukumu, lushan sikutu buku"
Kakak mengejekku dengan senyumannya yang sinis. Mungkin dia bosan dengan perjala
nan yang lama menuju tempat pernikahan ibu sehingga dia mencoba membuat kemeriah
an, dengan cara yang salah tentunya.
Ketika itu segera kuambil bukuku yang kebanyakan berisikan karya sastra dan filo
sofi perang yang kini sangat kugemari. Seketika kubuka beberapa halaman, dan ent
ah mengapa diriku seperti merasa sudah membaca semuanya..
"Lihat dirimu Lushan.. Pria dengan buku-bukunya. Klan Ashide dengan tanpa kekuat

an sihir karena dirinya adalah pria seharusnya menggerakan pedangnya, bukan deng
an membaca buku yang usang seperti itu!"
Sekali lagi kakak mencoba membuatku kesal, kini dia mengkritikku yang tidak pern
ah tertarik berlatih pedang, dan bahkan membahas isu sensitif tentang tidak bisa
nya pria dari klan ashide yang tidak menggunakan sihir, padahal sudah jelas-jela
s dilarang ibu membahas hal tersebut.
"Buku ini adalah ilmu kakak, dan pengetahuan yang kudapatkan dari buku ini akan
lebih tajam dari pedang, dan bahkan lebih menghancurkan dari sihirmu."
"Heh, argumentasi kosong,"
"Balthiq, adikmu benar.. Hanya dengan membaca buku, bangsa bar-bar seperti kita
bisa diakui dan memasuki pemerintahan. Pria yang hanya mengayunkan pedangnya tan
pa menggunakan otaknya hanya menjadi seorang tentara dengan pangkat biasa yang m
ati konyol dimedan perperangan. Kita klan Ashide tidak perlu pria bodoh seperti
itu."
Sebenarnya aku tidak sependapat dengan ibu, dia melihat ilmu yang kudapat hanya
sebagai alat meraih pangkat. Tapi yah setidaknya dia mendukungku..
"Lushan.. kau menangis?"
"Eh?"
Tiba-tiba air mata mengalir dari mataku, dan tiba-tiba muncul perasaan aneh dari
dadaku. Aku merasa seperti sudah begitu lama tidak berbicara seperti ini dengan
keluargaku.
"Aku.. kelilipan kak"
"Heh, ternyata hatimu sensitif juga Lushan. Ayolah.. kakak cuman bosan karena ga
k ada bahan pembicaraan.."
"Cara meminta maafmu buruk sekali!"
Ketika itu segera kuusap air mataku. Entah mengapa saat itu perasaanku terasa se
perti terombang-ambing setelah mimpi tersebut.
"Omong-omong.. Lushan ibu ingin berbicara padamu.."
Tiba-tiba ibu dengan muka khawatirnya memecahkan suasana yang tercipta dari kaka
k dan diriku. Mukanya begitu serius sehingga make-up yang ia gunakan untuk perni
kahan nanti tidak bisa menutupi ekspresinya tersebut.
"Ini soal tadi malam, aku ingin menjelaskan padamu tentang marga yang kita debat
kan tadi malam.."
"Aku akan pakai marga An ibu."
"Eh!!"
Ibu dan kakak memajang wajah kaget, dan yah.. tentu saja mereka kaget dengan per
ubahan hati yang begitu cepat ini.
"Emm.. ketika kupikir-pikir.. mungkin memakai marga An akan memudahkan diriku da
lam banyak hal. Lagipula ini salah satu tujuan ibu menikahinya bukan?"
Ibu tersenyum dan mengelus kepalaku. Tidak pernah sekalipun aku melihat wajah ib

u yang terlihat sangat senang seperti ini, dia lebih cenderung berwajah serius,
sedih, dan menyeramkan. Ketika ibu sudah begitu depresi, dia akan menghirup pipa
opium yang sudah tersedia didalam bajunya, dan hanya disaat itu terlihat ketena
ngan dalam wajahnya.
"Ibu begitu senang kau mengerti lushan.. Tapi perubahan suasana hati seperti buk
an kamu saja.."
Ketika itu aku juga merasa aneh dengan perubahan hati ini, seakan tidak ada lagi
rasa marah dalam hatiku mengenai ibu yang menikahi laki-laki lain setelah menin
ggalnya ayah setahun yang lalu. Aku seakan sudah benar-benar mengerti perasaan i
bu, padahal ketika kita berdebat tadi malam, kubantah semua alasannya dan hal it
u sempat membuat kita tidak berbicara sepanjang perjalanan dikereta kuda ini.
"Heh entah mengapa kakak merasa kau juga begitu berbeda Lushan.. hei, kau mimisa
n"
Tanpa sadar darah mengalir dari hidungku, dan kepalaku begitu pusing.
Tiba-tiba dari luar terdengar suara teriakan panik dari para ksatria yang menjag
a kereta kuda kita, dan gerakan kereta kuda menjadi cepat. Ketika itu darah dari
mimisanku berceceran kemana-mana, dan ibu segera menjauhiku karena takut gaun p
ernikahannya ternodai darahku.
"Hei Balthiq! Cepat kau tutupi mimisan adikmu itu!!"
"Tunggu!! Kita.."
Kepalaku begitu pusing seperti rasanya ingin meledak. Kupegangi kepala ini yang
rasanya begitu berat, dan kakak terlihat begitu panik melihat perilaku diriku da
n segera menggunakan sapu tangannya untuk menahan darah dari hidungku.
"Kakak kau dalam bahaya!"
"Lushan kau kenapa sih!!"
Ketika itu tiba-tiba aku merasa panik, seperti merasakan terror dalam ingatanku.
Aku seperti.. melihat panah menembus kepala kakakku.
Saat itu suara trompet terdengar dari mana-mana, aku mengetahui bahwa hal terseb
ut merupakan aba-aba untuk menyerang. Lalu seseorang penjaga mengetuk jendela ke
reta kuda kita, dan ibu segera membukanya.
"Maaf nona Ashide, sebaiknya kalian.. Aghh!!"
Tiba-tiba panah menembus kepala penjaga yang berbicara pada ibu, dan darah menge
nai muka dan gaun dari ibu. Ketika itu mata dari penjaga tersebut terpental masu
k kedalam kereta kuda. Seketika aku merasakan dejavu, dimana aku malah melihat k
epala kakak yang berada diluar jendela tersebut.
"Gaunku!!"
"Kyaa!! Ibu!!"
Kakak terlihat ketakutan dengan terbunuhnya seseorang didepannya dan mata penjag
a yang kini berada didekatnya, namun ibu malah panik akan gaunnya yang terkotori
darah.
"Kalian semua! berpegangan pada sesuatu!!"

Tiba-tiba aku berteriak demikian, dan memegang pegangan yang berada dekat ditemp
at dudukku seperti tahu bahwa akan terjadi sesuatu. Di jendela, banyak sekali ba
ndit-bandit menggunakan kudanya menyerang penjaga, dan saat itu tiba-tiba kereta
kuda berguncang seperti menginjak sesuatu.
"Ibu kenapa kereta kudanya?"
"Kesini nak! Oh dewa pelindung, berilah kami perlindunganmu, kami yang.."
Ketika itu Balthiq segera ketempat ibu yang sedang membacakan mantranya, namun t
iba-tiba disaat dirinya berjalan, terdengar suara ledakan yang begitu dahsyat da
n karena sihir ibu yang mengelilingi kereta kuda ini membuat kita terlindungi da
ri dahsyatnya mesiu yang meledak melainkan terpental menuju keatas, dan saat itu
Balthiq yang tengah berjalan kini terlihat melayang dan berputar sampai pada ak
hirnya kereta kuda terjatuh lagi ketanah, dan semuanya gelap seketika.
...
Tidak ada suara dari ibu maupun kakak. Kereta kuda ambruk karena terbentur tanah
dan kita terjebak didalamnya. Ibu dan kakak sepertinya tidak sadarkan diri, dan
diluar sepertinya masih terdengar suara pertarungan.
Saat itu rasa sakit dan pening dikepalaku menghilang, dan darah berhenti mengali
r dari hidungku.
Aku ingat semuanya.. apa yang akan terjadi setelah ini, semua terlihat jelas sep
erti aku sudah mengalaminya..
Bukan, aku memang sudah mengalaminya. Ah, apa benar diriku kembali kemasa lalu?
Ini kesempatan kedua yang mahluk tersebut maksudkan?
Tapi tidak salah lagi..
Tak lama setelah ini kakak akan menemui ajalnya.
***
Aku begitu ingat momen-momen diriku dikereta kuda ini yang jelas sangat berbeda
dengan apa yang tengah terjadi barusan. Aku dan ibuku saat itu melanjutkan perti
kaian panas diantara kita tadi malam tentang marga yang kupakai dimana aku bersi
keras memakai marga Kang milik ayahku dulu, dan ibu memaksaku untuk memakai marg
a An dari ayah baruku. Hal ini menjadikan alasan mengapa dia menyiapkan pipa opi
umnya, perdebatannya dengan anak-anaknya pasti sangat membuatnya depresi.
"Ingat Lushan, dengan memakai marga mereka secara otomatis kau akan dianggap seb
agai bangsawan! Aku menikahinya demi kesempatan ini, apalagi mengingat dia tidak
memiliki anak laki-laki.. Masa depanmu dikeluarga ini begitu cerah Lushan!"
"Peduli demi diriku? Lalu bagaimana dengan ayah ibu? Bagaimana aku bisa menghorm
ati almarhum ayah yang telah merawatku ketika kau pergi bertahun-tahun demi peke
rjaanmu? Lihat istrinya kini, setahun ditinggal mati, lalu dia menikah lagi deng
an seorang lelaki yang ditengahi alasan murahan seperti itu!"
"Jaga omonganmu anak durhaka!"
Ibu menamparku dengan begitu keras dengan mata yang dipenuhi air mata, karena it
u juga make-upnya yang sudah berjam-jam dia persiapkan kini luntur membuat mukan
ya begitu mengerikan.
Mengenai alasan kemarahanku, ibu karena sumpahnya sebagai klan Ashide diharuskan

mengabdi pada kaisar Dinasti Tang semeninggal ibunya yang dulu juga mengurus pe
rserikatan penyihir. Ketika itu dia meninggalkan keluarganya, dan tak pernah sek
alipun pulang, bahkan beberapa tahun kemudian berhenti mengirim surat.
Perginya ibuku membuat aku dan kakak begitu bergantung pada Ayahku, Kang Ushan,
yang merupakan rakyat biasa yang mengajari dan merawat kami hingga dewasa, dan b
ahkan kematiannya berkaitan dengan betapa susah payahnya dia dalam merawat kami.
Saat itu ibuku akhirnya pulang ketika ajal sudah begitu dekat menghampirinya.
Ibu yang menjenguk saat itu dibentak oleh ayah walau dia sudah begitu lemah. Ibu
terlihat begitu sedih ketika ayah tidak menerimanya masuk kedalam kamarnya lagi
, dan saat ayah meninggal, kami begitu enggan untuk tinggal bersama ibu yang cut
i dari tugasnya. Namun setelah setahun, kami akhirnya mencoba mengerti dan bahka
n kakak sudah mulai menyukainya karena ibu begitu rajin mengajarkan sihir kepada
nya.
Tentunya ketika mendengar dia ingin menikah lagi, semua itu menghancurkan segala
hal yang ia ingin bangun kepada anak-anaknya.
"Aku begitu mencintai ayahmu.. tapi kini semuanya sudah sangat berbeda, dunia bu
kan lagi soal impian-impian muda tersebut. Kau akan mengetahuinya Lushan, bahwa
harapan muda seperti cinta, dan semacamnya akan sirna didepan matamu.."
Ketika itu aku tidak menghiraukan pembicaraannya, dan fokus membaca bukuku. Dia
menatapku sedih, dan segera ia keluarkan pipa opiumnya walau dia tahu menghirup
opium merupakan hal terlarang sebelum upacara pernikahan.
...
Setelah perdebatan itu, suasana
yut dalam bukuku, dan ibu hanya
u terlihat bosan, dan segera ia
ika itu ia berpikir tentang apa
ng kini sedang kita lewati.

di kereta kuda ini menjadi bagitu sunyi. Aku han


terdiam sambil menghirup opiumnya. Kakak saat it
buka jendela kereta kuda dan menatap keluar, ket
yang mau ia omongkan dari suasana tanah Tujue ya

"Ibu, bukankah lucu ketika kita memakai kereta kuda yang begitu mewah dengan pen
jagaan ksatria-kstaria dengan kuda mereka yang bersinar, namun orang-orang ditan
ah ini begitu miskin dan kumuh.. Seperti permata diantara kotoran-kotoran.."
Saat itu perkataan kakak memang ironis, tapi saat itu memang wajar jika hal ini
terjadi. Kesenjangan miskin dan kaya terlihat, terutama masyarakat dengan para b
angsawan. Mereka masyarakat selalu tidak diuntungkan dengan tingginya pajak, dan
tanah tandus di Tujue ini membuat kesejahteraan mereka ambruk, sudah ditelanjan
gi alam, mereka ditusuk oleh pemerintahan.
Kemudian kereta kuda memasuki pemukiman, dan kuda akhirnya melambat. Ketika itu
banyak anak-anak yang mengejar kereta kuda sambil meminta-minta, yang kemudian t
entunya diusir oleh penjaga kami.
Ketika itu orang-orang yang melihat kami dengan sinis, mereka pasti muak dengan
perilaku bangsawan yang mendapatkan kemewahan diatas susah payahnya mereka dalam
mencari makan. Mereka merasa telah dirampok oleh pemerintahan, namun dengan kat
a yang lebih lembut dari itu, yaitu 'pajak' yang kini mencekik mereka perlahan u
ntuk mati kelelahan ataupun mati kelaparan.
Tak sengaja kereta kami melindas mayat seseorang dijalan, dan tak ada satupun or
ang yang menganggapinya serius seakan hal itu adalah hal yang biasa disini.
"Disini bahkan lebih buruk dari tempat tinggal kita dulu Lushan.. Mayat yang ber
gelatakan karena gejala kelaparan, dan orang-orang yang tinggal disini seperti s

udah terbiasa dengan bau busuk, sehingga mereka tidak sama sekali menguburkannya
.."
"Tidak Balthiq, itu adalah kepercayaan disini. Mereka menganggap bahwa dengan me
mbiarkan mayat bergelatakan akan mendapatkan simpati tuhan yang mungkin melewati
tanah ini."
Ibu akhirnya membalas omongan kakak. Dia masih berbicara lancar walaupun kini te
ngah dipengaruhi opium.
"Tapi mencari perhatian tuhan.. bukankah itu begitu ironis ibu? Seakan tanah ini
tidak memiliki perhatian tuhan.."
"Itu cara mereka untuk hidup, dan tanpa harapan akan adanya tuhan, mereka akan m
ati menggorok leher mereka sendiri. Mereka kini terjebak ditanah gersang ini, di
cekik oleh pajak, dan banyak dari mereka yang mati karena penyakit dan rasa lapa
r. Disini.. bahkan matipun lebih baik dari hidup.. Tak ada cara lain selain mene
lan bulat-bulat omongan pemuka agama yang menjual harapan tersebut."
Ketika itu muncul kegelisahan dimuka ibu. Tanah Tujue ini adalah tanah milik kel
uarga An yang akan dinikahi ibu, dan ibu pasti risau dengan kemakmuran tanah dar
i An tersebut. Walau demikian, sebenarnya keluarga An sendiri tidak memiliki pil
ihan ketika kaisar secara asal menaruh keluarga bangsawan ditanah-tanahnya yang
baru ia jajah, dan keluarga An tidak bisa menolak karena mereka tetap merasakan
kemewahan ditanah manapun yang mereka tempati.
"Ibu apa kau pikir.. bahwa tidak ada tuhan ditanah ini?"
"Kakak! Tuhan itu maha melihat sesuatu, dia pasti memiliki alasan tersendiri men
gapa tanah ini mendapati nasib demikian"
Aku saat itu merupakan orang yang begitu mempercayai tuhan. Ayah sendiri yang se
ring mengajariku ajaran kebaikan, dan tuhanlah yang menciptakan ajaran-ajaran ke
baikan tersebut. Ketika terdapat keraguan akan tuhan dari seseorang, entah menga
pa kita akan segera mencoba menjaga kepercayaan kita tersebut.
"Mungkin lebih baik kita berpikir demikian Balthiq. Disini.. ugh.. moral sudah b
egitu jatuh, pembunuhan, perampokan, dan bahkan pemerkosaan. Walau mereka masih
terkekang oleh agama, sudah separah itulah tanah ini.."
Omongan ibu mulai terlihat tidak jelas, dia seakan mendukung argumentasiku, tapi
kemudian berbicara tentang moral yang cenderung mendukung kakakku. Saat itu efe
k opium sepertinya sudah mulai mempengaruhi cara berpikir maupun bicaranya.
...
Akhirnya kereta keluar dari pemukiman, dan kakak sudah sepertinya sudah tidak me
ndapatkan bahan omongannya keluar dari pemukiman tersebut. Kita kembali terjebak
dalam kekosongan.
"Sepi sekali.. padahal sebentar lagi diriku akan jarang bertemu kalian lagi.."
Kakak saat itu berusaha menjaga hubungan baik antara kakak dan adik maupun ibu d
an anaknya karena dia akan segera memasuki akademi sihir di ibukota Luoyang. Ibu
sempat menjelaskan bahwa akademi sihir merupakan tempat yang memiliki aturan ya
ng ketat dan kakak akan susah bertemu diriku maupun ibu karena peraturan yang ti
dak membolehkan mereka yang belajar untuk pulang kecuali jika kakak sudah menaik
i tingkatan yang baru. Itupun menurut ibu perlu bertahun-tahun untuk satu tingka
tannya.

Kakak merenung sedih, dia kini mendekatiku dan memebisikkanku sesuatu.


"Ini semua salahmu lushan! Kau pikir bangsawan sinting mana yang mau menikahi ba
ngsa bar-bar seperti kita. Kita mendapatkan gelar dan marga bangsawan seperti in
i merupakan anugrah.. Dibandingkan hidup bersama ayah.. aku tak mau lagi hidup s
eperti itu.."
Walau demikian dia memiliki kebiasan buruk dalam memakai kata-kata tanpa memikir
kannya terlebih dahulu suasana maupun situasi, dan seringkali aku bertengkar kar
enanya.
"Aku akan memukulmu walau kau perempuan dan kaakku sendiri.."
"Ugh.. baik aku diam! Dasar adik keras kepala!!"
Kakak memang terlihat menyebalkan, tapi diantara marahku terkadang muncul sebuah
senyuman. Sudah 17 umurnya, kecantikannya sudah mulai muncul dengan mata biruny
a yang menawan, dan umur yang cukup untuk menikahi seseorang, namun sayangnya di
a masih memiliki perilaku kekakanak-kanakan. Walau begitu dialah yang menjaga ay
ah dikala sakit, dan menemani maupun menghidupi diriku yang saat itu terlalu lem
ah untuk pekerjaan laki-laki dilingkunganku yang kebanyakan merupakan pekerjaan
kuli. Diantara sifat kekanak-kanakannya, aku bisa melihat rasa optimis hidup, se
mangat, dan kasih sayang terhadapku maupun pada ibuku yang dulu meninggalkannya
bertahun-tahun. Tapi tetap, semua kebaikan dari kakakku tertutupi oleh sifat bur
uknya ini.
"Eh bukankah kereta kuda ini berjalan begitu cepat?"
Ketika itu kakak mulai memegang pegangan didekat kursinya. Terdengar suara panik
diluar..
Ya, tepat seperti tadi, pemandangan kepala yang tertembus panah, suara trompet d
ari atas bukit, kereta yang terpental, dan pertarungan diluar dengan kereta kuda
yang kini menimpa kami kemudian membuat kami terjebak didalamnya, semuanya sama
dengan apa yang terjadi barusan..
...
Tepat ketika suara sudah mulai sunyi dan tidak terdengar suara langkah maupun or
ang-orang yang berbicara, tiba-tiba ada yang memegang pundakku yang sedang ketak
utan akan nasib kami.
"Lushan, kau tidak apa-apa?"
Kakak saat itu sudah sadarkan diri, dan segera ia ambil korek dari gaun ibu yang
kini masih tidak sadarkan diri untuk menyinari diantara kegelapan ini.
"Kakak.."
"Kau terluka lushan!"
Kakak panik dan segera memotong gaunnya, dan mengikatnya dikepalaku. Darah masih
mengalir dari kepalaku, dan kakak sepertinya semakin khawatir dengan keadaanku
saat itu.
"Apa mereka sudah selesai bertarung? kenapa tidak ada suara dari mereka? Ah.. ya
ng penting kita keluar dari sini dulu Lushan!"
Kakak segera memusatkan sihir ditangannya dan membuat lubang untuk jalan keluar.
Segera cahaya keluar, dan terdapat beberapa kaki didepan kita. Kakak langsung m

erangkak keluar, namun tiba-tiba sebuah tangan menariknya.


"Lushan!!"
"Kakak!"
"Hei masih ada seseorang didalam!"
Ketika itu sebuah tangan yang panjang memasuki lubang tersebut, dan memegang kak
iku kemudian menyeretku keluar.
"Jangan sampai kau apa-apakan adikku dasar kalian bajingan!"
"Hei-hei, galak juga gadis yang baru mekar ini!"
Ketika itu begitu banyak bandit yang mengepung kereta kuda, dan terdapat anak mu
da diantara mereka yang mungkin masih berumur berkisar 8 sampe 13 tahun. Kini se
bagian dari mereka sedang menyeret mayat-mayat penjaga, dan juga berusaha membon
gkar lubang yang kami buat.
"Kau pegangi anak itu! Sekarang Suo yan sini, kau belum pernah merasakan tubuh w
anita bukan?"
Anak kecil tersebut keluar dari keremunan anak-anak muda lainnya, mungkin dia ya
ng paling muda diantara mereka. Mukanya begitu polos, dan rasanya tidak mungkin
anak kecil seperti ini menjadi pelaku kejahatan.
"Kau mau apakan kakakku bandit brengsek!"
"Hei, hei.. Kita disuruh untuk menghancurkan kereta kuda yang akan lewat kejalan
ini, dan mengetahui kalian selamat dari ranjau tersebut tidak boleh menjadi ke
sempatan yang sia-sia, apalagi isinya hanyalah bocah dan gadis cantik ini.."
Dia mulai meraba kakakku, dan saat itu muka kakak memerah.
"Jika kau teruskan, aku berjanji nyawamu akan melayang.."
"Heh, maksudmu seperti ini?"
Dia kini memasukan tangannya ke gaun kakakku, dan kini kakakku benar-benar marah
.
"Oh..dewa.."
"Eh?!"
Kakak membisikan mantra, dan tiba-tiba suara petir bergerumuh diatasnya. Laki-la
ki tersebut yang mengetahui indentitas asli kakakku yang merupakan seorang penyi
hir segera menjauhi kakakku dan mengambil pedangnya yang tertancap disalah satu
badan penjaga.
"Pemanah cepat serang wanita tersebut selagi dia belum selesai mengucapkan mantr
anya!"
"Kakak!!"
Ketika panah menyerang kakak, sebuah petir menyambar panah tersebut hingga hilan
g menjadi abu. Ketika itu kakak memakai mantra yang membuat dewa petir menjagany
a, dan membuatnya dalam kendali kakak.

"Dewa.. mereka yang telah mengotoriku dan mengancam nyawa saudaraku!! Berilah hu
kuman pada mereka semua!!"
Ketika kakak menunjukan tangannya, seketika petir menyambar kesemua orang yang m
engelilingi kakak. Bau daging terbakar seketika memenuhi udara, dan kakak kemudi
an terjatuh seperti kehilangan semua energinya.
"Kakak.. kau tidak apa?"
Aku segera mendekatinya, dan kakak berusaha membedirikan kakinya yang sudah begi
tu lemas.
"Aku tidak apa Lushan.. kau disana saja.. dan Hei kau bocah..!"
"Eh! Ampun.."
Tiba-tiba mataku tertuju pada bocah yang kakak tunjuk. Diantara mayat teman-tema
nnya dia terduduk lemas dengan air seni yang membasahi celananya. Matanya dipenu
hi oleh air mata ketakutan.
"Cepat pergi dari sini, dan jangan berani lagi kau melakukan hal tidak terpuji s
eperti ini! atau aku.. akan membunuhmu seperti teman-temanmu ini.."
"Hii!!"
Dia kemudian berlari menjauhi mayat-mayat temannya. Ketika itu kakak tersenyum m
elihat anak tersebut, seakan rasa ampunnya memperlihatkan secercah harapan bahwa
anak tersebut tidak jatuh kedalam jurang yang sama.
"Lushan cepat kau ambil kembang api di mayat para penjaga, dan tembakan keudara.
. tentara keluarga An akan segera kesini melihat kembang api tersebut.."
Kakak melemparkan korek ibu kepadaku dan kemudian terduduk lemas sambil menghela
nafas. Saat itu aku melihat kemata kakak yang seakan berubah 180 derajat. Dia t
erlihat begitu dewasa dengan tatapan dinginnya melihat begitu banyak nyawa yang
ia ambil.
"Kakak, bagaimana rasanya membunuh seseorang ?"
Aku bertanya sambil mengecek mayat penjaga yang tertumpuk. Ketika itu kakak sepe
rti begitu lama berpikir untuk menjawab pertanyaanku tersebut.
"Aku tidak merasakan apa-apa Lushan.. Kita semua pasti mati, cepat atau lambat.
Mengingat kematian adalah proses yang pasti akan berlangsung ditambah lagi demi
hidupku, hidupmu, dan juga hidup ibu, Ketika berpikir demikian.. aku tidak ragu
untuk membunuh mereka."
Ketika itu kakak mengucapkan pembenarannya dengan nada yang dipenuhi dengan kera
guan, dan aku bisa melihat air mata mengalir dari matanya.
"Lalu kenapa kau menangis kakak?"
"Eh?"
Kakak segera mengelap tangisnya, namun tiba-tiba sesuatu menembus dadanya.
"Lushan.."
Seketika mulutnya terucapkan namaku sambil darah mengalir dari bibirnya, beberap
a panah menembus lagi badannya dengan cepat, diakhiri dengan menembusnya panah m

enuju kepalanya. Seketika kakak terjatuh ketanah, dan aku sama sekali tidak sada
r tentang apa yang terjadi.
"Kakak..oh tidak.."
Aku segera menuju kakak yang kini tergeletak ditanah. 3 panah menembus badannya,
dan 1 panah menembus matanya. Ketika itu aku begitu ketakutan melihat jasad kak
ak, namun aku masih bisa merasakan hangatnya tubuh kakak sehingga seketika aku m
emeluk mayatnya.
"Rasakan pembalasan kami penyihir sialan!"
Aku menatap marah pada suara tersebut, yaitu anak kecil yang kakak lepaskan. Kin
i dia membawa teman-temannya yang seumurannya dengan panah ditangan mereka.
"Kenapa kau melakukan ini! Kakak.. dia sudah membiarkanmu hidup bukan.."
"Karena kebodohan kakakmu lah yang membawakan kematian pada dirinya. Dia begitu
meremehkan umurku sehingga dia tidak sadar bahwa aku bisa merebut nyawanya!"
"Bodoh!! Dia membiarkanmu.. karena kau.."
Marah dan sedih bercampur dibatinku. Ketika kakak dengan sifat belas kasihnya me
mbebaskan seorang anak kecil yang ia kira sebagai korban dari betapa hancurnya m
oral ditempat ini, kematian malah timbul dari seseorang yang ia beri belas kasih
.
"Balthiq!!"
Ketika itu ibu berteriak dari kejauhan, dia sudah sadarkan diri dan sepertinya d
ia mendengar teriakanku sehingga menyadari apa yang terjadi pada kakak.
"Oh Balthiq.. Tuhan.. mau kau ambil apa lagi dari diriku..*hiks* Siapa yang memb
unuh anakku!!"
Anak-anak tersebut terkagetkan dengan suara ibuku yang begitu keras seperti suar
a halilintar yang mampu mentulikan telinga. Ibu begitu marah hingga terlihat aur
a pembunuh disekitarnya, dan keluar api dari tangannya tanpa sekalipun mantra ke
luar dari mulutnya.
"Panah penyihir tersebut!!"
"Jadi kalian!!"
"Hii!!..."
Ketika itu mayat-mayat terbangun dan memegangi anak-anak tersebut hingga mereka
tidak bisa bergerak.
Kemudian ibu tiba-tiba berada didepan mereka, dan kemudian ibu memandangiku deng
an tatapan yang begitu menyeramkan.
"Lushan.. siapa yang kakakmu lepaskan dari kematian?"
Aku menunjuk kepada anak kecil tersebut, dia berada ditengah-tengah komplotan an
ak-anak tersebut. Ketika itu segera ibu menaikan tangannya, dan anak-anak diseki
tar bocah yang kutunjuk tersebut semuanya mengeluarkan darah dari segala lubang
ditubuhnya, kemudian mati dengan tubuh mereka yang menciut seperti tidak berisik
an apapun didalamnya.
"Hii!! kau monster!!"

"Aku memberikan kematian yang cepat bagi mereka, tapi tidak dengan kau.."
Ibu membuat tangannya yang diselimuti api menjadi seperti sebuah pedang. Kemudia
n dia memenggal kedua tangan anak tersebut dengan begitu cepat, dan ketika itu l
uka dari anak tersebut segera tertutupi oleh api dari pedang tersebut
"Argghh!!! Ampun.."
Anak tersebut terlihat begitu kesakitan, dan air mata mengalir begitu deras dari
kedua matanya. Kini dia terduduk lemas, dan terlihat begitu shock melihat kedua
tangannya sudah menghilang.
"Aku minta maaf telah.. *hiks* membunuh *hiks* anakmu.. aku.."
"Ya, tentu ini bukan salahmu. Ini salah tuhan, salah tanah terkutuk ini, salah p
emerintahan yang sudah begitu busuk.. Tentu ini bukan salahmu nak.."
Ibu segera menghilangkan sihirnya, dan ketika itu anak tersebut terlihat lega de
ngan sedikit senyum keluar dari wajahnya.
"Kau.. *hiks* akan melepaskanku? Aghh!!!"
Segera tangan ibu menembus kedua matanya, dan anak tersebut berteriak begitu pan
jang. Aku menutup mataku karena tidak tega melihat penyiksaan ini, dan tidak per
caya dengan apa yang ibu lakukan didepan mataku sendiri.
"Dengan keadaanmu kini, hidup akan lebih menyakitkan daripada kematian. Kau tida
k akan melihat keindahan bumi ini, dan hanya suara yang menggerogoti hatimu yang
tersisa. Makanan adalah hasil suapan rasa kasihan, dan kau menjadi manusia tida
k berguna. Kematian akan menjadi hal yang sangat memilukan bagimu ketika tidak a
da lagi tangan yang menyuapimu ditanah yang miskin ini"
"Tidak!! oh..tidak.."
"Bahkan seseorang masih bisa mengalirkan air mata walau sudah direbut kedua mata
nya.."
Ketika itu Ibu meninggalkan anak tersebut, dan mendekati kakak. Dia memeluk kaka
k tanpa peduli bahwa panah telah menghancurkan mukanya. Aku begitu ingat bahwa k
akaklah yang pertama kali memaafkan apa yang telah dilakukan ibu, dan dia juga y
ang begitu dekat dengan ibu sehingga ibu rela meninggalkan pekerjaannya demi men
gajari kakak ilmu sihir.
"Suamiku.. kini anakku.. Jika benar ini adalah cara tuhan untuk menghukumku, mak
a akan kuhancurkan apa yang telah tuhan bangun didunia ini!"
"Ibu.. apa kau sungguh-sungguh?"
Ibu kemudian tersenyum padaku, dan ikut memelukku. Saat itu tentara keluarga An
mulai berdatangan, namun ibu tetap memeluk diriku dan jasad kakakku yang kini su
dah mulai mengundang perhatian lalat. Dia tidak ingin sekalipun melepaskan kedua
anaknya ini.
"Tidak lushan, ini bukan salah tuhan.. Ini karena realita bahwa harapan tidak pe
rnah ada.. tidak pernah tuhan ditanah ini, didunia ini. Ini semua salahku semata
, yang tidak bisa melindungi kalian dan menyerahkan semuanya pada harapan yang m
erupakan omong kosong.. Aku berjanji bahwa hal ini takkan terjadi lagi.."
...

Ketika itu, momen ini menjadi momen perubahan terbesar dalam hidup kami. Aku men
jadi semakin terobsesi oleh impianku, dan ibu.. dia berubah menjadi penyihir pal
ing diagungkan dalam dinasti tang dengan sihir kekuasaan absolut yang mampu menc
iptakan masyarakat yang tidak mungkin melakukan tindak kejahatan, dan saat itu..
aku terpaksa membunuhnya..
***
Kembali teringat semua momen-momen tersebut, dan kini suasana kembali sunyi, aku
tidak bisa membiarkan kejadian yang sama terulang lagi.. tapi apa yang terjadi
jika kuubah sejarah ini? Apakah aku akan mendapati kedudukan yang sama? Atau mal
ah menghancurkan semua itu..
"Lushan kau tidak apa-apa?"
Dejavu kembali menghantuiku, kakak kini menepuk pundakku dan menyalakan api dari
korek yang ia ambil dari gaun ibu yang kini tidak sadarkan diri. Semuanya persi
s seperti apa yang terjadi dulu.
"Hei kepalamu.. Agh!"
Aku segera memukul perut kakak dan membuatnya pingsan.. dan ah.. apa yang kulaku
kan..
Saat itu secara refleks aku mencoba menyelamatkan kakak, tapi juga dengan mengac
aukan sejarah, rasa paranoia kembali menghantuiku.. Pencapaian yang kumiliki buk
an main-main untuk meraihnya, dan momen ini merupakan momen yang begitu krusial
dalam hidupku..
Ah.. kupikir tidak ada gunanya berpikir terlalu panjang, aku segera menendang ka
yu rapuh didepanku dan keluar dengan perlahan. Berbeda dengan sihir yang digunak
an kakakku dulu, kini apa yang kulakukan tidak mengundang perhatian mereka yang
sedang sibuk menumpuk mayat.
Ketika berjalan perlahan untuk mencari peluang mengitari kereta kuda yang ambruk
ini, tiba-tiba secara tidak sengaja aku menginjak dedaunan kering dibawah kakik
u.
"Hei apa kau mendengar suara?"
Ketika salah satu dari mereka sepertinya tersadar, aku segera mengambil pedang d
ari pinggang salah satu dari mereka yang kini sedang mengobrol dan menusuknya da
ri belakang.
"Hei musuh!!"
Aku melepaskan mayat didepanku, dan segera membunuh seseorang yang akan segera m
embunyikan terompet.
"Heh bocah!"
Tiba-tiba terdapat serangan dari samping, dan hal tersebut membuatku tidak sempa
t memberhentikan orang yang memegang trompet yang akhirnya membuat orang-orang y
ang sedang menumpuk mayat berkumpul mengelilingiku, dan para pemanah dipepohonan
dan bukit kini mengarah padaku.
"Hei tunggu.. Aku sendirian dan kalian begitu banyak. Kenapa kalian tidak mengha
dapiku satu-satu?"

Ketika itu sebenarnya aku sedikit percaya diri dengan kemampuan pedangku yang su
dah terasah dari ratusan perang yang pernah kulalui dikehidupanku sebelumnya, na
mun dengan tubuh yang tidak terlatih ini, aku tidak percaya bahwa aku bisa menga
lahkan mereka semua.
"Baiklah bocah.. dari yang muda dulu bukan..?"
Ketika itu lima bocah seumuranku mulai mengelilingiku, dan bandit tersebut agakn
ya tidak setuju dengan konsep satu-satu, tapi tentunya ini memudahkan diriku dib
andingkan semua bandit berbadan besar mengeroyokiku dengan pedang mereka.
"Hyaa!! aghh.."
"Shi lao!! Brengsek!!"
Satu dari mereka menyerangku, namun begitu lambat, pedangku sudah sampai duluan
ke leher anak tersebut. Matinya anak yang bernama Shi Lao ini membuat suasana se
makin panas, dan kini mereka berempat bermaksud untuk segera mengakhiri pertarun
gan ini dengan bersama-sama menyerangku.
"Mati kau sialan!! Ekgh!"
Segera aku menghindar membuat mereka malah menebas teman mereka sendiri, membuat
kini hanya tersisa dua orang.
"Oh.. apa yang sudah kulakukan.."
"Bodoh, kita masih bertarung!"
Sudah tidak tertarik dengan pertarungan ini, aku segera menusuk salah satu dari
mereka yang masih terlihat shock akan kecerobohan yang baru saja ia lakukan, dan
kemudian melemparkan pedangku ke anak yang merasa panik dengan betapa cepatnya
teman-temannya berguguran. Kemudian aku mengambil pedang yang tertancap dibadann
ya.
"Hahaha, menarik!"
Ketika itu seseorang paling besar diantara bandit menepuk tangannya. Aku ingat b
enar siapa pria ini, seorang yang memegang kendali penyerangan kereta kuda, dan
dulu yang memancing kemarahan kakak.
"Hebat benar kau bocah, membunuh anak-anak muda bodoh seumuranmu.. Kini sebagai
hadiah, kau akan menghadapiku Sao Lung! Orang terkuat di tanah tujue ini.."
Dia memasuki tempat pertarungan, dan dengan pedangya yang besar di langsung mene
baskan pedangnya padaku. Mengetahui tidak mungkin aku bisa menahannya, aku seger
a meloncat menghindari serangannya tersebut.
"Kau ketakutan pada kekuatan pedangku bukan? Sebuah kehormatan bagimu untuk bisa
mati dengan kekuatan seperti ini!"
"Heh.. dan suatu penghinaan bagimu yang akan terbunuh oleh bocah yang hanya meng
gunakan pedang mainan dibandingkan dengan pedangmu"
"Kurang ajar!!"
Dengan memancing kemarahannya, dia segera mengeluarkan segala kemampuannya, dan
ketika itu gerakannya mulai terbaca. Dia terlihat tidak memiliki ilmu pedang, da
n semuanya murni dari pengalamannya bertarung dimedan pertempuran yang memeperli

hatkan jenis pertarungan yang simple namun efektif untuk membunuh lawan. Ketika
dia menyerang, pedangnya yang besar akan tertancap ditanah dan butuh kekuatan ya
ng besar untuk mengeluarkannya. Ketika kudekati, dia sudah tau cara menutupi cel
ah ini dengan pedang panjang ia keluarkan dari punggungnya dengan tangan kiri ya
ng ia ayunkan menyamping secara cepat, yang ketika ku menjauh, dia sudah menyaru
ngkan kembali pedangnya dan secara cepat dia keluarkan pedangnya dari tanah.
"Kau takkan bisa menyerangku bocah!!"
Mencoba memahami trik tersebut, aku mengambil salah satu pedang yang tergeletak
ditanah dari anak-anak muda tersebut. Tidak kuat, tapi cukup untuk menahan salah
satu serangan raksasa tersebut.
"Aku tidak bodoh untuk bisa kalah dengan trik bodohmu itu"
Kembali ia terpancing, dan semakin kekuatannya bertambah dalam mengayunkan pedan
g yang kini menghancurkan tanah yang percikan tanahnya membuat pipiku terluka. K
etika pedang tersebut kembali tertancap, dia kemudian kembali mengambil pedang p
anjangnya untuk menjaga jarak, tapi kini sekarang kesempatan menyerang!
"Ehh!!"
Serangan yang memakai tangan kirinya saja merupakan serangan yang ringan, dan de
ngan diriku yang sudah terbiasa dengan kecepatan dan jarak serangan pedang panja
ngnya membuatku mampu menahan dan menyeret pedangku mendekati badannya. Kemudian
kunaiki pedang besar tersebut yang masih belum bisa dilepaskan karena serangann
ya yang tersulut emosi membuatnya tidak dapat segera menaikan pedang berat terse
but.
"Brengsek!! Kau tidak boleh meremehkan kekuatanku!!"
Dia segera melepaskan pedang ditangan kirinya, dan dengan tangan kanannya sendir
i akhirnya mampu melepaskan pedang tersebut. Aku yang berada diatasnya terpental
, tapi dengan pasti pedangku mengarah tepat ke lehernya.
"Aghh..."
"Ketua!!!"
Darah keluar dengan begitu indah dari leher raksasa tersebut. Seketika itu, oran
g-orang terlihat takjub sekaligus marah dengan hal ini. Aku begitu yakin kini pe
manah sudah siap untuk melepaskan panahnya.
"Pemanah!! Serang bocah tersebut!!"
Aku segera ingin berlindung ditubuh raksasa tersebut, tapi kakiku.. rasa sakit b
enar-benar membuat kakiku tidak bisa digerakan, sepertinya aku jatuh ketanah den
gan cara yang salah..
Ah.. sudah diberi kesempatan kedua, kini aku mengacau..
Aku hanya bisa menutup mataku, tapi tak satupun panah mengenai badanku..
"Dia bisa menggunakan sihir!"
Ketika itu panah-panah tertahan dilangit-langit. Aku begitu terkagetkan oleh fak
ta bahwa sihir masih berlaku dibadanku walau disaat ini.. aku belum memakan dagi
ng ibuku..
"Hahaha.. kalian semua akan mati!"

Aku begitu senang dengan fakta


mbali ke orang yang melepaskan
pada orang-orang yang tersisa
tubuh mereka seperti apa yang

ini, dan segera kuarahkan panah-panah tersebut ke


panah, lalu dengan segera kupakai sihir terlarang
didepanku dengan membuat darah mereka keluar dari
dilakukan ibuku dulu.

"Ahh..Ahh!!Oh tuhan vaskala lindungilah hambamu ini.. *hiks*"


Ketika itu rasa nostalgia menghantui dadaku, suara bocah itu.. ah..
"Kau.."
"Ampun.. Aku..*hiks* dipaksa oleh mereka.."
Bocah tersebut yang dulu membunuh kakakku. Kembali keberuntungan membuatnya ters
isa hidup diantara mayat-mayat temannya yang terbunuh oleh sihir.
"Siapa namamu bocah?"
"Suo Yan.."
"Vaskala adalah tuhanmu disini?"
Dia menganggukinya. Walau berbuat kemungkaran, ternyata mereka masih memiliki ag
ama. Apakah mereka hanya ingat tuhan mereka didalam keadaan putus asa seperti in
i?
"Coba kau jelaskan tentang tuhanmu itu.. Aku berjanji akan melepaskanmu dari sin
i jika kau memuaskanku"
"Ehh.. Vaskala.. *hiks* Dia tuhan kebaikan yang berbelas kasih pada kita.. maha
mengampuni orang yang bertaubat, dan memberikan mereka kesempatan untuk *hiks* u
ntuk hidup dijalan yang benar"
"Heh.. Jika Vaskala benar-benar ada dan aku memberikanmu kesempatan.. Apakah kau
akan berlari menuju temanmu, dan menyuruh mereka memanahku dari belakang?"
"Maksudmu..?"
Aku berkata demikian mengingat kejadian kakakku. Melihat kedua kalinya anak ini
selamat, mungkin tuhan memang memberkahi anak ini, memberikannya kesempatan untu
k hidup dijalan pertaubatan. Sayangnya, pada momen ini sepertinya tuhan memberik
an nasib anak ini padaku, dan aku.. tidak begitu setuju dengan pendapat tuhan me
ngenai ini.
"Begitu baik tuhanmu Suo Yan, tapi begitu busuk umatnya. Ditanah seperti ini, mo
ral dan agama tidak akan berjalan dengan semestinya, esensi ketuhanan terkotori
karenanya.. Tapi aku ini percaya dengan tuhan, dan aku juga percaya tuhan pasti
memaafkanmu."
"Jadi kau akan melepaskanku?"
Aku tersenyum melihat bocah tersebut.
"Ya"
Segera kutebaskan pedangku kelehernya. Aku memberikannya kematian yang cepat kar
ena tidak sekalipun ada dendam dihatiku padanya, dan karenanya aku memberikan ke
matian yang lebih baik dari hidup.

"Semoga..ah, tuhan Vaskala memberikanmu jalan menuju surga.. Suo Yan"


Ketika itu aku berdoa, atas korban busuknya dunia ini yang sengaja tuhan membiar
kannya. Tuhan bekerja secara misterius, dan bukan hak kita untuk mempertanyakann
ya. Jika kubiarkan dia lepas, dia akan berbuat dosa lagi, dan kuanggap apa yang
kulakukan tadi merupakan perbuatan terpuji walau tentu itu hanya pembenaranku at
as dosa yang telah kulakukan.
"Walau tuhan benar-benar ada, tuhan telah mati didalam diriku"
Aku sudah sering mengucapakan hal tersebut ketika melakukan dosa. Kembali aku me
ngingat mimpiku, ketika dia mengatakan matanya yang telah membusuk dan tuhan tid
ak pernah ada. Ketika aku sudah tidak bisa lagi melihat harapan, dan tuhan sudah
lagi tidak ada dimataku, karena itu aku hanya bisa menanggung beban ini sendiri
an tanpa menyalahkan siapapun lagi, dan lalu dengan begini esensi kebaikan dan k
esucian tuhan tidak akan hilang..
...
"Lushan.."
Tiba-tiba kakak berada diluar seakan sudah melihat segala hal yang sudah kulakuk
an.
"Kau.. memakai pedang.. dan kau bisa menggunakan sihir?"
Ketika itu terror kembali menghantui pikiranku. Aku ingat betul bahwa rahasia me
nggunakan sihir ini tidak boleh sampai bocor, dan aku tidak bisa mentolerir siap
apun itu.
"Kau membunuh orang.. dan bahkan kau membunuh anak kecil tidak bersalah seperti
itu"
Ah, aku sudah 60 tahun hidup.. Ya, tidak akan meninggalkan apa-apa jika kubunuh
kakakku sekarang.. Ingatan indah bersamanya hanya fragmen kecil dalam hidupku, d
an dengan membunuhnya membuat masa depanku aman.. sepertinya aku tidak bisa mena
ng dengan sifat paranoid ini..
Maafkan aku kakak..
"Lushan!! Apa-apaan dengan pandangan membunuhmu itu!!"
Ketika itu ibu berteriak, dia berdiri dengan mukanya yang marah melihatku yang b
ahkan belum melakukan apa-apa.
"Siapa kau! Kenapa kau rasuki anakku!!"
"Ibu aku anakmu.."
"Lushan tidak mempunyai pandangan membunuh seperti itu.. Lushan tidak membunuh o
rang dengan keji seperti ini!! Dia anakku yang baik hati dan lembut, kembalikan
dia dasar kau iblis!"
Ketika itu aku kebingungan dengan perkembangan peristiwa yang terjadi. Pasukan p
rajurit An kembali datang dengan terlambat persis seperti kejadian lalu, dan.. K
epalaku begitu pusing..
"Lushan.. kau mimisan.."
Ketika itu darah kembali mengalir dari hidungku, dan kesadaranku memudar..

Mungkin tubuh kecil ini memang tidak bisa menggunakan sihir tingkat tinggi seper
ti tadi, dan aku sudah mengacaukan sejarah ini.
Kakak hidup, sejarah terkacaukan, mereka tahu sihirku..
Tapi entah mengapa perasaan senang muncul diantara ketakutan diriku. Kini aku ta
k bisa menerka nasib apa yang akan terjadi setelah ini..

Anda mungkin juga menyukai