Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
Di dunia ini setiap menit seorang perempuan meninggal karena komplikasi
yang terkait dengan kehamilan dan persalinan. Dengan kata lain 1400 perempuan
meninggal setiap hari atau lebih dari 500.000 perempuan meninggal setiap tahun
karena kehamilan dan persalinan. Di Indonesia, 2 orang ibu meninggal setiap jam
karena kehamilan, persalinan dan nifas. Begitu juga dengan kematian anak, di
Indonesia setiap 20 menit anak usia dibawah 5 tahun meninggal. Dengan kata lain
30.000 anak balita meninggal setiap tahun. Sekitar 99% dari kematian ibu dan
balita terjadi di negara miskin, terutama di Afrika dan Asia selatan. Di Indonesia
angka kematian anak balita menurun 15% dalam 15 tahun, dari 79 kematian per
1000 kelahiran hidup pada tahun1988 menjadi 46 per 1000 kelahiran hidup pada
kurun waktu 1998-2002 (Survei Demografi Kesehatan Indonesia 2002/2003).
Sebagian besar kematian perempuan disebabkan komplikasi karena kehamilan
dan persalinan, termasuk perdarahan, infeksi, aborsi tidak aman, tekanan darah
tinggi dan persalinan lama.
Preeklampsiaeklampsia merupakan kesatuan penyakit yang masih
merupakan penyebab utama kematian ibu dan penyebab kematian perinatal
tertinggi di Indonesia.

Wahdi, dkk (2000) mendapatkan angka kematian ibu

akibat preeklampsia/eklampsia di RSUP Dr. Kariadi semarang seama tahun 19961998 sebanyak 10 kasus (48%). Data ini sebanding dengan dokumen WHO (18
semptember 1989) yang menyatakan bahwa penyebab langsung kemtian
terbanyak adalah preeklampsia/eklampsia, perdarahan , infeksi dan penyebab tak
langsung adalah anemia, penyakit jantung. Sehingga diagnosis dini preeklampsia
yang merupakan pendahuluan eklampsia serta penatalaksanaannya harus
diperhatikan dengan sekasama. Disamping itu, pemeriksaan

antenatal yang

teratur dan secara rutin untuk mencari tanda preeklapmsia yaitu hipertensi dan
proteinuria sangat penting dalam usaha pencegahan, disamping pengendalian
faktor-faktor predisposisi lain.

Frekuensi preeklampsia untuk tiap negara berbeda-beda karena banyak


faktor yang mempengaruhiya yaitu jumlah primigravida, keadaan sosial ekonomi,
perbedaan kriteria dalam penentuan diagnosis dan lain-lain. Di Indonesia
frekuensi kejadian preeklampsia sekitar 3-10% sedangkan di Amerika serikat
dilaporkan bahwa kejadian preeklampsia sebanyak 5% dari semua kehamilan
(23,6 kasus per 1000 kelahiran). Pada primigravida frekuensi preeklampsia lebih
tinggi bila dibandingkan dengan multigravida, terutama primigravida muda
sudinaya (2000), mendapatkan angka kejadian preeklampsia dan eklampsia di
RSU tarakan kalimantan timur sebesar 74 kasus (5,1%) dari 1431 persalinan
selama periode 1 januari 2000 sampai 31 desember 2000, dengan preeklampsia
sebesar 61 kasus (4,2%) dan eklampsia 13 kasus (0,9%) . dari kasus ini terutama
dijumpai pada usia 20-24 tahun dengan primigravida (17,5%). Diabetes melitus,
mola hidatidosa, kehamilan ganda, hidrops fetalis, umur lebih dari 35 tahun dan
obesitas merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya preeklampsia.
Disamping itu preeklampsia juga dipengaruhi oleh paritas. Surjadi dkk
(1999), mendapatkan angka kejadian dari 30 sampel pasien preeklamsia di RSU
Dr. Hasan sadikin bandung paling banyak terjadi pada ibu dengan paritas 1-3
yaitu sebanyak 19 kasus dan juga paling banyak terjadi pada usia kehamilan diatas
37 minggu yaitu sebanyak 18 kasus.
Wanita dengan kehamilan kembar bila dibandingkan dengan kehamilan
tunggal, maka memperlihatkan insiden hipertensi gestasional (13% : 6%) dan
preeklampsia 13% : 5%) yang secara bermaksna lebih tinggi. Selain itu, wanita
dengan kehamilan kembar memperlihatkan prognosis neonatus yang lebih buruk
daripada dengan wanita kehamilan tunggal.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. DEFENISI
Preeklampsia merupakan penyulit kehamilan yang akut dan dapat terjadi
ante, intra dan postpartum. Preeklampsia ialah timbulnya hipertensi disertai
proteinuria dan/atau edema akibat dari kehamilan setelah umur kehamilan 20
minggu atau segera setelah persalinan, bahkan setelah 24 jam post partum.
Hipertensi (tekanan darah tinggi) di dalam kehamilan terbagi atas pre-eklampsia
ringan, preklampsia berat, eklampsia, serta superimposed hipertensi (ibu hamil
yang sebelum kehamilannya sudah memiliki hipertensi dan hipertensi berlanjut
selama kehamilan).
Preeklampsia pada perkembangannya dapat berkembang menjadi eklampsia,
yang ditandai dengan timbulnya kejang atau konvulsi. Eklampsia dapat
menyebabkan terjadinya DIC (Disseminated intravascular coagulation) yang
menyebabkan jejas iskemi pada berbagai organ, sehingga eklampsia dapat
berakibat fatal.
Preeklampsia berat adalah suatu komplikasi kehamilan yang ditandai dengan
timbulnya tekanan darah sistolik > 160 mmHg dan tekanan darah diastolik > 110
mmHg atau lebih disertai proteinuria dan/atau edema pada kehamilan 20 minggu
atau lebih.
2.2. FAKTOR RESIKO
Terdapat banyak risiko untuk terjadinya hipertensi dalam kehamilan, yang
dapat dikelompokkan dalam faktor risiko sebagai berikut:

Primigravida, primipaternitas.
Umur yang ekstrim.
Riwayat keluarga pernah preeklampsia/eklampsia.
Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil.
Obesitas.
Hiperplasentosis misalnya: hidrops fetalis, diabetes mellitus, mola
hidatidosa, kehamilan multiple, bayi besar.

2.3. ETIOLOGI
Penyebab preeklampsia sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti,
sehingga penyakit ini disebut dengan The Diseases of Theories. Beberapa faktor
yang berkaitan dengan terjadinya preeklampsia adalah :
1. Faktor Trofoblast
Semakin banyak jumlah trofoblast semakin besar kemungkina terjadinya
Preeklampsia. Ini terlihat pada kehamilan Gemeli dan Molahidatidosa. Teori ini
didukung pula dengan adanya kenyataan bahwa keadaan preeklampsia membaik
setelah plasenta lahir.
2. Faktor Imunologik
Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan jarang timbul lagi
pada kehamilan berikutnya. Secara Imunologik dan diterangkan bahwa pada
kehamilan pertama pembentukan Blocking Antibodies terhadap antigen plasenta
tidak sempurna, sehingga timbul respons imun yang tidak menguntungkan
terhadap Histikompatibilitas Plasenta. Pada kehamilan berikutnya, pembentukan
Blocking Antibodies akan lebih banyak akibat respos imunitas pada kehamilan
sebelumnya, seperti respons imunisasi.
Fierlie FM (1992) mendapatkan beberapa data yang mendukung adanya
sistem imun pada penderita Preeklampsia-Eklampsia :
a)

Beberapa wanita dengan Preeklampsia-Eklampsia mempunyai komplek imun


dalam serum.

b) Beberapa studi juga mendapatkan adanya aktivasi system komplemen pada


Preeklampsia-Eklampsia diikuti dengan proteinuri.
Stirat (1986) menyimpulkan meskipun ada beberapa pendapat menyebutkan
bahwa sistem imun humoral dan aktivasi komplemen terjadi pada
Preeklampsia-Eklampsia, tetapi tidak ada bukti bahwa sistem imunologi bisa
menyebabkan Preeklampsia-Eklampsia.
3. Faktor Hormonal

Penurunan
antagonis,

hormon

sehingga

Progesteron
menimbulkan

menyebabkan
kenaikan

penurunan

relative

Aldosteron

Aldoteron

yang

menyebabkan retensi air dan natrium, sehingga terjadi Hipertensi dan Edema.
4. Faktor Genetik
Menurut Chesley dan Cooper (1986) bahwa Preeklampsia / eklampsia bersifat
diturunkan melalui gen resesif tunggal. Beberapa bukti yang menunjukkan peran
faktor genetik pada kejadian Preeklampsia-Eklampsia antara lain:
a). Preeklampsia hanya terjadi pada manusia.
b). Terdapatnya kecendrungan meningkatnya frekuensi Preeklampsia-Eklampsia
pada anak-anak dari ibu yang menderita Preeklampsia-Eklampsia.
c). Kecendrungan meningkatnya frekwensi Preeklampsia-Eklampsia pada anak
dan cucu ibu hamil dengan riwayat Preeklampsia-Eklampsia dan bukan pada
ipar mereka.
5. Faktor Gizi
Menurut Chesley (1978) bahwa faktor nutrisi yang kurang mengandung asam
lemak essensial terutama asam Arachidonat sebagai prekursor sintesis
Prostaglandin akan menyebabkan Loss Angiotensin Refraktoriness yang
memicu terjadinya preeklampsia.
6. Peran Prostasiklin dan Tromboksan
Pada Preeklampsia-Eklampsia didapatkan kerusakan pada endotel vaskuler,
sehingga terjadi penurunan produksi prostasiklin (PGI 2) yang pada kehamilan
normal meningkat, aktivasi penggumpalan dan fibrinolisis, yang kemudian akan
diganti trombin dan plasmin. Trombin akan mengkonsumsi antitrombin III,
sehingga terjadi deposit fibrin. Aktivasi trombosit menyebabkan pelepasan
tromboksan (TXA2) dan serotonin, sehingga terjadi vasospasme dan kerusakan
endotel.
2.4. PATOFISIOLOGI
Pada saat ini ada 4 hipotesa yang mendasari patofisiologi dan patogenesa
dari Preeklampsia menurut Dekker G. A., Sibai B. M., (1998) sebagai berikut:
1. Iskemia Plasenta

Peningkatan deportasi sel tropoblast yang akan menyebabkan kegagalan


invasi ke arteri sperialis dan akan menyebabkan iskemia pada plasenta.
2. Mal Adaptasi Imun
Terjadinya mal adaptasi imun dapat menyebabkan dangkalnya invasi sel
tropoblast pada arteri spiralis. Dan terjadinya disfungsi endothel dipicu oleh
pembentukan sitokin, enzim proteolitik, dan radikal bebas.
3. Genetic Inprenting
Terjadinya preeklampsia dan eklampsia mungkin didasarkan pada gen
resesif tunggal atau gen dominan dengan penetrasi yang tidak sempurna. Penetrasi
mungkin tergantung pada genotip janin.
4. Perbandingan Very Low Density Lipoprotein (VLDL) dan Toxicity
Preventing Activity (TxPA)
Sebagai kompensasi untuk peningkatan energi selama kehamilan, asam
lemak non-esterifikasi akan dimobilisasi. Pada wanita hamil dengan kadar
albumin yang rendah, pengangkatan kelebihan asam lemak non-esterifikasi dari
jaringan lemak ke dalam hepar akan menurunkan aktivitas antitoksik albumin
sampai pada titik di mana VLDL terekspresikan. Jika kadar VLDL melebihi
TxPA maka efektoksik dari VLDL akan muncul.
Dalam perjalanannya keempat faktor di atas tidak berdiri sendiri, tetapi
kadang saling berkaitan dengan titik temunya pada invasi tropoblast dan
terjadinya iskemia plasenta.
Menurut Jaffe dkk. (1995), pada preeklampsia ada dua tahap perubahan
yang mendasari patogenesanya. Tahap pertama adalah: hipoksia plasenta yang
terjadi karena berkurangnya aliran darah dalam arteri spiralis. Hal ini terjadi
karena kegagalan invasi sel tropoblast pada dinding arteri spiralis pada awal
kehamilan dan awal trimester kedua kehamilan sehingga arteri spiralis tidak dapat
melebar dengan sempurna dengan akibat penurunan aliran darah dalam ruangan
intervilus diplasenta sehingga terjadilah hipoksia plasenta.

Hipoksia plasenta yang berkelanjutan ini akan membebaskan zat-zat toksis


seperti sitokin, radikal bebas dalam bentuk lipid peroksidase dalam sirkulasi darah
ibu, dan akan menyebabkan terjadinya oxidatif stress yaitu suatu keadaan di mana
radikal bebas jumlahnya lebih dominan dibandingkan antioksidan (Robert J. M.,
2004). Oxidatif stress pada tahap berikutnya bersama dengan zat toksis yang
beredar dapat merangsang terjadinya kerusakan pada sel endothel pembuluh darah
yang disebut disfungsi endothel yang dapat terjadi pada seluruh permukaan
endothel pembuluh darah pada organ-organ penderita preeklampsia.
Pada disfungsi endothel terjadi ketidakseimbangan produksi zat-zat yang
bertindak sebagai vasodilator seperti prostasiklin dan nitrat oksida, dibandingkan
dengan vasokonstriktor seperti endothelium I, tromboxan, dan angiotensin II

sehingga akan terjadi vasokonstriksi yang luas dan terjadilah hipertensi.


Peningkatan kadar lipid peroksidase juga akan mengaktifkan sistem koagulasi,
sehingga terjadi agregasi trombosit dan pembentukan thrombus. Secara
keseluruhan setelah terjadi disfungsi endothel di dalam tubuh penderita
preeklampsia jika prosesnya berlanjut dapat terjadi disfungsi dan kegagalan organ
seperti:

Pada ginjal: hiperuricemia, proteinuria, dan gagal ginjal.


Penyempitan pembuluh darah sistemik ditandai dengan hipertensi.
Perubahan permeabilitas pembuluh darah ditandai dengan oedema paru

dan oedema menyeluruh.


Pada darah dapat terjadi trombositopenia dan coagulopathi.
Pada hepar dapat terjadi pendarahan dan gangguan fungsi hati.
Pada susunan syaraf pusat dan mata dapat menyebabkan kejang, kebutaan,

pelepasan retina, dan pendarahan.


Pada plasenta dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan janin, hipoksia
janin, dan solusio plasenta.

Menurut Hubel (1989), Vasokonstriksi merupakan dasar patogenesis


Preeklampsia. Vasokonstriksi menimbulkan peningkatan total perifer resisten dan
menimbulkan hipertensi. Adanya vasokonstriksi juga akan menimbulkan hipoksia
pada endotel setempat, sehingga terjadi kerusakan endotel, kebocoran arteriole
disertai perdarahan mikro pada tempat endotel. Selain itu Hubel mengatakan
bahwa adanya vasokonstriksi arteri spiralis akan menyebabkan terjadinya
penurunan perfusi uteroplasenter yang selanjutnya akan menimbulkan maladaptasi
plasenta. Hipoksia/ anoksia jaringan merupakan sumber reaksi hiperoksidase
lemak, sedangkan proses hiperoksidasi itu sendiri memerlukan peningkatan
konsumsi oksigen, sehingga dengan demikian akan mengganggu metabolisme di
dalam sel Peroksidase lemak adalah hasil proses oksidase lemak tak jenuh yang
menghasilkan hiperoksidase lemak jenuh. Peroksidase lemak merupakan radikal
bebas. Apabila keseimbangan antara perok sidase terganggu, dimana peroksidase
dan oksidan lebih dominan, maka akan timbul keadaan yang disebut stess
oksidatif.
2.5. GEJALA KLINIS

Gejala preeklampsia adalah :


1. Hipertensi
2. Edema
3. Proteinuria
4. Gejala subjektif : sakit kepala, nyeri ulu hati, gangguan penglihatan.
Dikatakan preeklampsia berat bila dijumpai satu atau lebih tanda/gejala
berikut :
1. TD 160 / 110 mmHg
2. Proteinuria > 5 gr / 24 jamatau kualitatif 3+ / 4+
3. Oliguria 500 ml / 24 jam
4. Peningkatan kadar enzim hati dan / atau ikterus
5. Nyeri kepala frontal atau gangguan penglihatan
6. Nyeri epigastrium
7. Edema paru atau sianosis
8. Pertumbuhan janin intra uterin yang terhambat (IUFGR)
9. HELLP Syndrom (H = Hemolysis, E = Elevated, L = Liver enzyme, LP = Low
Platelet Counts)
10. Koma
Diagnosis preeklampsia bisa ditegakkan jika terdapat minimal gejala hipertensi
dan proteinuria.
2.6. PEMERIKSAAN FISIK

Tekanan darah harus diukur dalam setiap ANC


Tinggi fundus harus diukur dalam setiap ANC untuk mengetahui adanya

retardasi pertumbuhan intrauterin atau oligohidramnion


Edema pada muka yang memberat
Peningkatan berat badan lebih dari 0,5 kg per minggu atau peningkatan
berat badan secara tiba-tiba dalam 1-2 hari.

2.7. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Saat ini belum ada pemeriksaan penyaring yang terpercaya dan efektif untuk
preeklampsia. Dulu, kadar asam urat digunakan sebagai indikator preeklampsia,
namun ternyata tidak sensitif dan spesifik sebagai alat diagnostik. Namun,
peningkatan kadar asam urat serum pada wanita yang menderita hipertensi kronik
menandakan peningkatan resiko terjadinya preeklampsia superimpose.
Pemeriksaan laboratorium dasar harus dilakukan di awal kehamilan pada
wanita dengan faktor resiko menderita preeklampsia, yang terdiri dari
pemeriksaan kadar enzim hati, hitung trombosit, kadar kreatinin serum, dan
protein total pada urin 24 jam.
Pada wanita yang telah didiagnosis preeklampsia, harus dilakukan juga
pemeriksaan kadar albumin serum, LDH, apus darah tepi, serta waktu perdarahan
dan pembekuan. Semua pemeriksaan ini harus dilakukan sesering mungkin untuk
memantau progresifitas penyakit.
2.8. DIAGNOSIS BANDING
1)

Kehamilan dengan sindrom nefrotik

2)

Kehamilan dengan payah jantung

3)

Hipertensi Kronis

4)

Penyakit Ginjal

5)

Edema Kehamilan

6)

Proteinuria Kehamilan

2.9. PENATALAKSANAAN
a) Penanganan umum
Jika tekanan diastolik > 110 mmHg, berikan antihipertensi, sampai
tekanan diastolik diantara 90-100 mmHg.
Pasang infus RL ( Ringer Laktat )
Ukur keseimbangan cairan, jangan sampai terjadi overload
Kateterisasi urin untuk pengeluaran volume dan proteinuria

10

Jika jumlah urin < 30 ml perjam: Infus cairan dipertahankan 1 1/8 jam,
Pantau kemungkinan edema paru.

Jangan tinggalkan pasien sendirian. Kejang disertai aspirasi dapat


mengakibatkan kematian ibu dan janin.

Observasi tanda vital, refleks, dan denyut jantung janin setiap jam.

Auskultasi paru untuk mencari tanda edema paru. Krepitasi merupakan


tanda edema paru. Jika terjadi edema paru, stop pemberian cairan dan
berikan diuretik misalnya furosemide 40 mg intravena.

Nilai pembekuan darah dengan uji pembekuan bedside. Jika pembekuan


tidak terjadi sesudah 7 menit, kemungkinan terdapat koagulapati (Abdul
Bari, 2001).

b) Antikonvulsan.
Pada kasus preeklampsia yang berat dan eklampsia, magnesium sulfat
yang diberikan secara parenteral adalah obat anti kejang yang efektif tanpa
menimbulkan depresi susunan syaraf pusat baik bagi ibu maupun janinnya. Obat
ini dapat diberikan secara intravena melalui infus kontinu atau intramuskular
dengan injeksi intermiten. Infus intravena kontinu
Berikan dosis bolus 4 6 gram MgSO4 yang diencerkan dalam 100 ml
cairan dan diberikan dalam 15-20 menit.
Mulai infus rumatan dengan dosis 2 g/jam dalam 100 ml cairan
intravena.
Ukur kadar MgSO4 pada 4-6 jam setelah pemberian dan disesuaikan
kecepatan infuse untuk mempertahankan kadar antara 4 dan 7 mEg/l (4,88,4 mg/l).
MgSO4 dihentikan 24 jam setelah bayi lahir.
Injeksi intramuskular intermiten:
Berikan 4 gram MgSO4 sebagai larutan 20% secara intravena dengan
kecepatan tidak melebihi 1 g/menit.

11

Lanjutkan segera dengan 10 gram MgSO4 50%, sebahagian (5%)


disuntikan dalam di kuadran lateral atas bokong (penambahan 1 ml
lidokain 2 % dapat mengurangi nyeri). Apabila kejang menetap setelah 15
menit, berikan MgSO4 sampai 2 gram dalam bentuk larutan 20% secara
intravena dengan kecepatan tidak melebihi 1g/menit. Apabila wanita
tersebut bertubuh besar, MgSo4 dapat diberikan sampai 4 gram perlahan.
Setiap 4 jam sesudahnya, berikan 5 gram larutan MgSO4 50% yang
disuntikan dalam ke kuadran lateral atas bokong bergantian kiri-kanan,
tetapi setelah dipastikan bahwa:
o Refleks patela (+)
o Tidak terdapat depresi pernapasan
o Pengeluaran urin selama 4 jam sebelumnya melebihi 100
ml
MgSO4 dihentikan 24 jam setelah bayi lahir.
Siapkan antidotum
Jika terjadi henti napas, berikan bantuan dengan ventilator atau berikan
kalsium glukonat 2 g (20 ml dalam larutan 10%) secara intravena perlahan-lahan
sampai pernapasan mulai lagi.
c) Antihipertensi.
Obat pilihan adalah hidralazin, yang diberikan 5 mg intravena pelanpelan selama 5 menit sampai tekanan darah turun.
Jika perlu, pemberian hidralazin dapat diulang setiap jam, atau 12,5
intramuskular setiap 2 jam.
Jika hidralazin tidak tersedia, dapat diberikan:
o Nifedipine dosis oral 10 mg yang diulang tiap 30 menit.
o Labetalol 10 mg intravena sebagai dosis awal, jika tekanan darah
tidak membaik dalam 10 menit, maka dosis dapat ditingkatkan
sampai 20 mg intravena.

12

d) Persalinan.
Pada preeklampsia berat, persalinan harus terjadi dalam 24 jam. Jika
seksio sesarea akan dilakukan, perhatikan bahwa tidak terdapat koagulopati.
Anestesi yang aman/terpilih adalah anastesia umum. Jangan lakukan anastesia
lokal, sedangkan anestesia spinal berhubungan dengan hipotensi.
2.10. PROGNOSIS
Kematian ibu antara 9.8% - 25.5%, kematian bayi 42.2% -48.9%.
2.11. KOMPLIKASI

Solusio plasenta: Biasa terjadi pada ibu dengan hipertensi akut.


Hipofibrinogenemia
Hemolisis: Gejala kliniknya berupa ikterik. Diduga terkait nekrosis

periportal hati pada penderita pre-eklampsia.


Perdarahan otak: Merupakan penyebab utama kematian maternal penderita

eklampsia.
Kelainan mata: Kehilangan penglihatan sementara dapat terjadi.
Perdarahan pada retina dapat ditemukan dan merupakan tanda gawat yang

menunjukkan adanya apopleksia serebri.


Edema paru
Nekrosis hati: Terjadi pada daerah periportal akibat vasospasme arteriol

umum. Diketahui dengan pemeriksaan fungsi hati, terutama dengan enzim.


Sindrom HELLP (hemolisis, elevated liver enzymes, dan low platelet).
Prematuritas
Kelainan ginjal: Berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan
sitoplasma sel endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya.

Bisa juga terjadi anuria atau gagal ginjal.


DIC (Disseminated Intravascular Coagulation): Dapat terjadi bila telah
mencapai tahap eklampsia.
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

13

Preeklampsiaeklampsia merupakan kesatuan penyakit yang masih


merupakan penyebab utama kematian ibu dan penyebab kematian

perinatal tertinggi di Indonesia.


Preeklampsia merupakan penyulit kehamilan yang akut dan dapat terjadi
ante, intra dan postpartum. Preeklampsia ialah timbulnya hipertensi
disertai proteinuria dan/atau edema akibat dari kehamilan setelah umur
kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan, bahkan setelah 24

jam post partum.


Penyebab preeklampsia sampai saat ini masih belum diketahui secara
pasti, sehingga penyakit ini disebut dengan The Diseases of Theories.

3.2 Saran

Sebaiknya pada wanita hamil agar selalu memeriksakan kehamilannya,


kepada tenaga kesehatan untuk mencegah komplikasi kehamilan secara
dini.

DAFTAR PUSTAKA

Angsar, Dikman., 2011. Ilmu Kebidanan. Cetakan keempat. Jakarta: P.T.


bina pustaka sarwono prawirohardjo.
14

http://www.scribd.com/doc/54128496/Makalah-Preeklamsia-DanEklamsia
http://www.scribd.com/doc/6502651/BAB-1-Eklampsia
http://www.scribd.com/doc/899951/laporan kasus preeklampsia nas.
Khumaira Marsha. 2012. Ilmu kebidanan. Yogyakarta: Citra Pustaka
Mochtar, MPH.Prof. Dr. Rustam. Synopsis Obstetri. Jilid I. Edisi kedua
EGC. Jakarta; 1998.

15

Anda mungkin juga menyukai