Anda di halaman 1dari 16

KELOMPOK III

03007282

YUSMIATI TOMALIMA

03007300

MOHD FITRI B. MOHAMED

03007310

NIK MUHID FARIS BIN NIK AB

03007325

NUR HIDAYAH BINTI KASIM

03007327

NUR SHARAFINA BT SAFIEE

03008003

ADELINA DWI PUTRI

03008059

BHASTIYAN D W

03008101

FEMBRIYA TENNY UTAMI

03008103

FIFI TANDION

03008124

I MADE SURYA DINAJAYA

03008125

INDRI SEPTIANY UTAMI

03008128

IRFAN SUGIYANTO

03008138

KRISNA HERDIYANTO

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI


JAKARTA, NOVEMBER 2010

BAB I
PENDAHULUAN
Demam reumatik merupakan penyakit anak-anak dan remaja.Biasanya penyakit
ini mulai terjadi 1 sampai 3 minggu setelah seseorang menderita pharyngitis. Di Amerika
Serikat, telah dikembangkan antibiotik untuk mengatasi penyakit ini. Akan tetapi dengan

menggunakan antibiotik agaknya masih menemui jalan buntu dikarenakan pengaruhnya


terhadap kesehatan organ hati.
Diseluruh dunia, terdapat 15-20 juta kasus baru demam reumatik per tahun, dan di
negara-negara berkembang insidensi demam reumatik sekitar 25-50% perawatan
penyakit jantung di rumah sakit. Demam reumatik akut merupakan satu penyakit pada
masa kanak-kanak dengan insidensi puncak antara usia 5 dan 11 tahun; 20% kasus dapat
terjadi pada orang dewasa. Dari hasil penelitian menyebutkan bahwa demam rematik
lebih sering dialami oleh anak gadis dibandingkan anak lelaki. Namun setelah mencapai
dewasa, ukuran tentang jenis kelamin mana yang lebih sering terkena sudah mulai kabur.
Ini sangat tergantung dengan sistem imunitas seseorang dan lingkungan mereka berada.
Prevalensi demam rematik/penyakit jantung rematik yang diperoleh dan
penelitian WHO mulai tahun 1984 di 16 negara sedang berkembang di Afrika, Amerika
Latin, Timur Jauh, Asia Tenggara dan Pasifik Barat berkisar 0,1 sampai 12,6 per 1.000
anak sekolah, dengan prevalensi rata-rata sebesar 2,2 per 1.000. Prevalensi demam
rematik di Indonesia belum diketahui secara pasti, meskipun beberapa penelitian yang
pernah dilakukan menunjukkan bahwa revalensi penyakit jantung rematik berkisar 0,3
sampai 0,8 per 1.000 anak sekolah. Dengan demikian, secara kasar dapat diperkirakan
bahwa prevalensi demam rematik di Indonesia pasti lebih tinggi dan angka tersebut,
mengingat penyakit jantung rematik merupakan akibat dari demam rematik.

BAB II
PEMBAHASAN KASUS
Datang Ny. Nani, 26 tahun, dengan keluhan bengkak pada kedua tungkai. Pembengkakan
makin besar pada sore hari. Timbul sudah sejak 2 bulan terakhir.

Pada anamnesis selanjutnya, didapatkan hal sebagai berikut :


Sering batuk, sesak napas terutama malam hari atau saat bekerja (pekerjaan rumah
tangga). Ny. Nani baru menikah beberapa bulan. Saat kanak-kanak sering demam, sakit
menelan sehingga sering tidak masuk sekolah.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan :
TD : 110/70 mmHg
RR : 16x/menit
HR : 120/menit
N : isi cukup, tidak ada pulsus alternans
JVP : 5+4cm, melebar,hepatojugular refluks (+)
Struma (-). Arteri carotis normal
Ictus cordis pada ICS V, 2 jari lateral garis midclavikularis kiri. S1-S2 reguler, M1 keras,
OS (+), middiastolik murmur di apeks sesudah OS, berlanjut dengan presistolic murmur.
Pansystolic murmur pada parasternal kiri ICS IV. Protodiastolic murmur pada ICS II kiri.
Pada palpitasi aktivitas jantung kanan meningkat.
Hepatomegali 3 jari dibawah arcus kosta, tepi tumpul, nyeri tekan, permukaan licin.
Splenomegali (-). Ascites(-)
Pitting edema kedua tungkai.
Laboratorium klinik :
Hb

: 11g%

Lekosit

: 6000/l

Hematokrit

: 33%

LED

: 20mm/jam

CRP

: (-)

ASTO

: 150 lU

Echocadiogram menunjukan :
Katup mitral tebal. Mitral valve area saat diastolic 0.8 cm2. Tampak kalsifikasi (ringan).
Anamnesis :
1. Identitas
Nama
Usia

: Ny. Nani
: 26 tahun

Jenis kelamin
: perempuan
Alamat
: Agama:
: Pekerjaan
:2. Keluhan utama
: bengkak pada kedua tungkai
3. Keluhan tambahan
Bengkak makin besar pada sore hari
Sering batuk
4. Riwayat penyakit sekarang
Sesak napas terutama malam hari atau saat bekerja(pekerjaan
5.
6.
7.
8.

rumah tangga)
Riwayat penyakit dahulu
Saat kanak-kanak sering demam, sakit menelan
Riwayat penyakit keluarga
Riwayat pengobatan
Riwayat kebiasaan

Pemeriksaan fisik
1. Kesadaran : compos mentis
2. Tanda vital :
Tekanan darah
: 110/70 mmHg (N : )
Heart rate : 120x/teratur (N: 60-100)
Pernapasan : 16x/menit (N : 16-20)
Nadi
: isi cukup, tidak ada pulsus alternans
3. JVP
: 5+4, melebar, hepatojugular refluks (+)
Menandakan adanya gagal jantung kanan
4. Struma (-). Arteri carotis normal
5. Inspeksi
Pitting edema kedua tungkai
6. Palpasi
Hepatomegali 3 jari di bawah arcus kosta, tepi tumpul, nyeri
tekan, permukaan licin
akibat stenosis mitral yang menyebabkan gagal jantung
kiri dan menjalar menjadi gagal jantung kanan
7. Pekusi
8. Auskultasi
Ictus cordis pada ICS V, 2 jari lateral garis midclavikularis kiri
S1-S2 reguler
M1 keras, OS (+), middiastolik murmur di apeks sesudah OS,
berlanjut dengan presystolic murmur di apeks sesudah OS.
Pansystolic murmur pada parasternal kiri ICS IV
Menandakan stenosis mitral

Pemeriksaan laboratorium

Hb

: 11 g%

(N: 12-15 g%)

Lekosit

: 6000/Ul

(N: 5000-10000/Ul)

Hematokrit

: 33%

(N: 36-47%)

LED

: 20 mm/jam

(N: <15mm/jam)

CRP

: (-)

(N: (-) )

ASTO

: 150 IU/dl

(N: <200)

- Penurunan kadar Hb pada pasien ini menunjukkan adanya anemia. Pada pasien ini
terjadi anemia
- Penurunan kadar Hematokrit menunjukkan adanya anemi
- Peningkatan LED menunjukkan adanya infeksi.

Pemeriksaan EKG
Gambaran EKG menunjukkan LAH, LVH, QRS rate 120/menit menandakan
stenosis mitral.

Pemeriksaan Foto Thoraks


Pada pemeriksaan Foto Thoraks didapati adanya gambaran Kardiomegali. Pada
penghitungan CTR (Cardio Thorax Ratio) didapatkan hasil >50%. Juga terlihat gambaran

pembesaran atrium kiri, ventrikel kiri dan ventrikel kanan. Apeks ke lateral dibentuk oleh
ventrikel kanan, segmen pulmonal menonjol menunjukkan edema paru.
Pembesaran atrium kiri bisa terjadi karena stenosis aorta atau insufisiensi mitral.
Pembesaran ventrikel kiri bisa terjadi karena insufisiensi mitral atau stenosis aorta.
Pembesaran ventrikel kanan bisa terjadi karena stenosis mitral, stenosis trikuspid,
regurgitasi trikuspid.
Pemeriksaan Echocardiogram
- stenosis mitral
- mitral valve area saat diastolic 0.8 cm2. tampak kalsifikasi (ringan). Menandakan
stenosis mitral,.
Diagnosis
Diagnosis Anatomi : Stenosis mitral berat
Diagnosis Etiologi : RHD (Reumatic Heart Disease)
Diagnosis fungsional : NYHA 3
Diagnosis patofisiologi : Udema paru dan gagal jantung kanan
Diagnosis Etiologi : RHD (Reumatic Heart Disease)
Karditis akibat demam rematik adalah perikarditis, berarti mengenai endokardium,
myocardium dan pericardium. Pada penderita yang meninggal akibat karditis demam
rematik miokard tampak pucat, lembek, udematus sedikit hipertrofik, ruangan jantung
dilatasi, 1 atau lebih katup mengalami incompetent (bocor), nodul translucent yang
disebut verrucae didapati pada pinggir-pinggir dari daun katup
Diagnosis fungsional NYHA kelas 3 karena adanya pembatasan bermakna dari aktivitas
sehari-hari.

Diagnosis

patofisiologi

Udema

paru

dan

gagal

jantung

kanan

Pada gagal jantung kanan, jugularis vena pressure meningkat, dan pada udema paru,
mekanisme terjadinya : terdapat stenosis mitral dimana katup mitral tidak membuka
dengan sempurna => terjadi hipertrofi di atrium kiri => darah yang dari paru akan
terhambat => paru yang mendapat darah terus menerus dari ventrikel kanan akan
membengkak, sehingga ventrikel kanan pun ikut membengkak karena menampung
banyak darah. Adanya bendungan di jantung kanan juga dapat menyebabkan stenosis
trikuspidalis sehingga tekanan hidrostatik lebih besar daripada tekanan osmotik yang
mengakibatkan

darah

keluar

masuk

jaringan

intersisial

=>

udema

Diagnosis kerja
Gagal jantung kanan et causa mitral stenosis et causa RHD
Patofisiologi
Keterlibatan jantung pada demam reumatik dapat mengenai setiap komponen
jaringannya. Proses radang selama karditis akut paling sering terbatas pada endokardium
dan miokardium, namun pada pasien dengan miokarditis berat, perikardium dapat juga
terlibat. Beberapa dengan pada penyakit kolagen lain seperti lupus eritematosus
sistematik atau artristis reumatoid juvenil (pada kedua penyakit ini serositas biasanya
ditunjukkan oleh perikarditis), pada demam reumatik jarang ditemukan perikaditis tanpa
endokarditis atau miokarditis. Perikaditis pada pasien reumatik bisanya menyatakan
adanya pankarditis atau perluasan proses radang.
Penemuan histologis pada karditis reumatik akut tidak selalu spesifik. Tingkat
perubahan histologis tidak perlu berkolerasi dengan derajat klinis. Pada stadium awal,
bila ada dilatasi jantung, perubahan histologis dapat minimal, walaupun gangguan fungsi
jantung mungkin mencolok.
Dengan berlanjutnya radang, perubahan eksudatif dan proliferatif menjadi lebih
jelas. Stadium ini ditandai dengan perubahan edematosa jaringan, disertai oleh infiltrasi

selular yang terdiri dari limfosit dan sel plasma dengan beberapa granulosit. Fibrinoid,
bahan granular eusinofil ditemukan tersebar di seluruh jaringan dasar. Bahan ini meliputi
serabut kolagen ditambah bahan granular yang berasal dari kolagen yang sedang
berdegenerasi dalam campuran fibrin, globulin, dan bahan-bahan lain.
Reaksi radang juga mengenai lapisan endokardium yang mengakibatkan
endokarditis. Proses endokarditis tersebut mengenai jaringan katup serta dinding
endokardium. Radang jaringan katup menyebabkan manifestasi klinis yang mirip karditis
reumatik. Yang paling sering terlibat adalah katup mitral, disusul katup aorta. Katup
trikuspid jarang terlibat, dan katup pulmonal jarang sekali terlibat.
Radang awal pada endokarditis juga menyebabkan terjadinya insufisiensi katup.
Penemuan histologis dalam endokarditis terdiri dari edema dan linfiltrasi selular jaringan
katup dan korda tendine. Lesi yang khas endokarditis reumatik adalah tambalan (patch)
MacCallum, daerah jaringan menebal yang ditemukan dalam atrium kiri, yakni di atas
dasar daun katup mitral posterior. Degenerasi hialin pada katup yang terkena akan
menyebabkan pembentukan veruka pada tepinya, yang akan menghalangi pendekatan
daun-daun katup secara total dan menghalangi penutupan ostium katup. Dengan radang
yang menetap, terjadilah fibrosis dan kalsifikasi katup.

Penatalaksanaan
Medikamentosa
-Diuretika digunakan pada Mitral stenosis (MS) sedang berat yang bertujuan untuk
mengurangi udema.
- Furosemid : 1 tablet 40 mg, dosis - 1 tablet/ hari, diberikan intra vena bila terjadi
udema paru.
-Warfarin : antikoagulan oral untuk mencegah thrombosis dan emboli.
- Benzatin penisilin G 1,2 juta U i.m : selama 10 tahun sejak terjadi serangan pertama.

- Digoxin : untuk memperpanjang fase diastolik, dosis : 2 x 1 tablet selama 2-3hari,


selanjutnya 1 x 1 tablet /hari, per oral. Efektif saat istirahat, saat bekerja tidak. Untuk
NYHA kelas II, III, IV
Non Medikamentosa
Diperlukan tindakan invasif untuk memperbesar orifisium katup mitral
menggunakan balloon mitral valvuloplasti (BMV).

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Demam reumatik merupakan penyakit peradangan akut yang dapat menyertai
faringitis yang disebabkan oleh Streptococcus beta hemolyticus grup A.
Etiologi
Demam reumatik, seperti halnya dengan penyakit lain merupakan akibat interaksi
individu, penyebab penyakit dan faktor lingkungan. Infeksi Streptococcus beta
hemolyticus grup A pada tenggorok selalu mendahului terjadinya demam reumatik, baik
pada serangan pertama maupun serangan ulangan. Untuk menyebabkan serangan demam
reumatik, Streptokokus grup A harus menyebabkan infeksi pada faring, bukan hanya

kolonisasi superficial. Berbeda dengan glumeronefritis yang berhubungan dengan infeksi


Streptococcus di kulit maupun di saluran napas, demam reumatik agaknya tidak
berhubungan dengan infeksi Streptococcus di kulit.
Hubungan etiologis antara kuman Streptococcus dengan demam reumatik diketahui
dari data sebagai berikut:
1. Pada sebagian besar kasus demam reumatik akut terdapat peninggian kadar
antibodi terhadap Streptococcus atau dapat diisolasi kuman beta-Streptococcus
hemolyticus grup A, atau keduanya.
2. Insidens demam reumatik yang tinggi biasanya bersamaan dengan insidens oleh
beta-Streptococcus hemolyticus grup A yang tinggi pula. Diperkirakan hanya
sekitar 3% dari individu yang belum pernah menderita demam reumatik akan
menderita komplikasi ini setelah menderita faringitis Streptococcus yang tidak
diobati.
3. Serangan ulang demam reumatik akan sangat menurun bila penderita mendapat
pencegahan yang teratur dengan antibiotika.

Faktor Predisposisi
Faktor Individu
1.

Faktor Genetik
Banyak demam reumatik/penyakit jantung reumatik yang terjadi pada satu

keluarga maupun pada anak-anak kembar. Karenanya diduga variasi genetik merupakan
alasan penting mengapa hanya sebagian pasien yang terkena infeksi Streptococcus
menderita demam reumatik, sedangkan cara penurunannya belum dapat dipastikan.
2.

Jenis Kelamin

Tidak didapatkan perbedaan insidens demam reumatik pada lelaki dan wanita.
Meskipun begitu, manifestasi tertentu mungkin lebih sering ditemukan pada salah satu
jenis kelamin, misalnya gejala korea jauh lebih sering ditemukan pada wanita daripada
laki-laki. Kelainan katub sebagai gejala sisa penyakit jantung reumatik juga menunjukkan
perbedaan jenis kelamin. Pada orang dewasa gejala sisa berupa stenosis mitral lebih
sering ditemukan pada wanita, sedangkan insufisiensi aorta lebih sering ditemukan pada
laki-laki.
3.

Umur
Paling sering pada umur antara 5-15 tahun dengan puncak sekitar umur 8 tahun.

Tidak biasa ditemukan pada anak antara umur 3-5 tahun dan sangat jarang sebelum umur
3 tahun atau setelah 20 tahun. Distribusi umur ini dikatakan sesuai dengan insidens
infeksi Streptococcus pada anak usia sekolah.
4.

Keadaan Gizi dan adanya penyakit lain


Belum dapat ditentukan apakah merupakan faktor predisposisi. Hanya sudah

diketahui bahwa penderita sickle cell anemia jarang yang menderita demam
reumatik/penyakit jantung reumatik.

Patogenesis
Meskipun pengetahuan serta penelitian sudah berkembang pesat, namun
mekanisme terjadinya demam reumatik yang pasti belum diketahui. Pada umumnya para
ahli sependapat bahwa demam reumatik termasuk dalam penyakit autoimun.
Streptococcus diketahui dapat menghasilkan tidak kurang dari 20 produk
ekstrasel; yang terpenting diantaranya ialah streptolisin O, streptolisin S, hialuronidase,
streptokinase,

disfosforidin

nukleotidase,

deoksiribonuklease

serta

erythrogenic toxin. Produk-produk tersebut merangsang timbulnya antibodi.

streptococcal

Demam reumatik diduga merupakan akibat kepekaan tubuh yang berlebihan


terhadap beberapa produk ini. Kaplan mengemukakan hipotesis tentang adanya reaksi
silang antibodi terhadap Streptococcus dengan otot jantung yang mempunyai susunan
antigen mirip antigen streptococcus, hal inilah yang menyebabkan reaksi autoimun.
ASTO (anti streptolisin O) merupakan antibodi yang paling dikenal dan paling
sering digunakan untuk indikator terdapatnya infeksi streptococcus. Lebih kurang 80%
penderita demam reumatik/penyakit jantung reumatik akut menunjukkan kenaikan titer
ASTO ini; bila dilakukan pemeriksaan atas 3 antibodi terhadap Streptococcus, maka pada
95% kasus demam reumatik/penyakit jantung reumatik didapatkan peninggian atau lebih
antibodi terhadap Streptococcus.
Penelitian menunjukkan bahwa komponen streptokokus yang lain memiliki reaktivitas
bersama dengan jaringan lain. Ini meliputi reaksi silang imunologik di antara karbohidrat
streptokokus dan glikoprotein katup, di antara membran protoplasma streptokokus dan
jaringan saraf subtalamus serta nuklei kaudatus dan antara hialuronat kapsul dan kartilago
artikular. Reaktivitas silang imunologik multiple tersebut dapat menjelaskan keterlibatan
organ multiple pada demam reumatik.
Peran antibodi sebagai mediator cedera jaringan belum sepenuhnya diterima.
Adanya antibodi bereaksi silang yang serupa pada serum pasien tanpa demam reumatik
mendorong penelitian mediator imun lain. Data muthakir menunjukkan pada sitotoksitas
yang ditengahi oleh sel sebagai mekanisme alternatife untuk cedera jaringan. Penelitian
menunjukkan bahwa limfosit darah perifer pasien dengan karditis reumatik akut adalah
sitotoksik terhadap sel miokardium yang dibiak in vitro, dan bahwa serum penderita
demam reumatik menghapuskan pengaruh sitotoksik tersebut. Ini memberi kesan bahwa
antibodi yang bereaksi silang dapat mempunyai pengaruh protektif dalam pejamu
tersebut. Sekarang hipotesis yang paling banyak dipercaya adalah bahwa mekanisme
imunologik, humoral atau selular, menyebabkan cedera jaringan pada demam reumatik.

BAB IV
KESIMPULAN
Demam reumatik merupakan suatu reaksi autoimun terhadap faringitis
Streptococcus beta hemolyticus grup A yang mekanismenya belum sepenuhnya
dimengerti. Demam reumatik tidak pernah menyertai infeksi kuman lain maupun infeksi
Streptococcus di tempat lain. Penyakit ini juga cenderung berulang.
Insidens tertinggi penyakit ini ditemukan pada anak berumur 5-15 tahun dan
pengobatan yang tuntas terhadap faringitis akut hampir meniadakan risiko terjadinya
demam reumatik.
Perjalanan klinis penyakit demam reumatik/penyakit jantung reumatik didahului
pertama kali oleh infeksi saluran napas atas oleh kuman Streptococcus beta hemolyticus
grup A dan selanjutnya diikuti periode laten yang berlangsung 1-3 minggu kecuali korea
yang dapat timbul 6 minggu atau bahkan berbulan-bulan. Setelah periode laten, periode
berikutnya merupakan fase akut dari demam reumatik dengan timbulnya berbagai

manifestasi klinis, dan diakhiri dengan stadium inaktif, yang pada demam reumatik tanpa
kelainan jantung atau penyakit jantung reumatik tanpa gejala sisa katup tidak
menunjukkan gejala apa-apa.
Manifestasi klinis demam reumatik dibagi menjadi manifestasi klinis mayor yaitu
artritis, karditis, korea, eritema marginatum dan nodulus subkutan. Manifestasi klinis
minor yaitu demam, artralgia, peningkatan LED dan C-reactive protein dan pemanjangan
interval PR. Kriteria diagnosis berdasarkan kriteria Jones (revisi 1992) ditegakkan bila
ditemukan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor +2 kriteria minor ditambah dengan
bukti infeksi Streptococcus grup A tenggorok positif + peningkatan titer antibodi
Streptococcus.
Penatalaksanaan pada demam reumatik/penyakit jantung reumatik berupa
eradikasi dari kuman Streptococcus beta hemolyticus grup A, obat-obat analgesik dan
antiinflamasi, diet, istirahat dan mobilisasi serta pengobatan lain yang diberikan sesuai
klinisnya seperti pengobatan korea. Kemudian diikuti dengan pencegahan sekunder yang
lamanya sesuai dengan klinisnya. Pencegahan sekunder ini diharapkan dapat efektif
untuk mencegah timbulnya demam reumatik berulang.
Pengobatan serta pencegahan yang harus dilaksanakan secara teratur ini,
informasinya harus disampaikan kepada pasien atau keluarga pasien sehingga prognosis
pasien dengan penyakit ini baik walaupun pada pasien dengan penyakit jantung yang
berat.

BAB V
DAFTAR PUSTAKA
1.Kasper DL, Braunwald E, Fauchi AS et al (editor). Harrisons Principles of internal
medicine. 16 ed, 2003.
2.Palupi, S.E.E, Khairani Rita (editor). Kumpulan Kuliah Kardiologi. Bagian Ilmu
penyakit

dalam

Fakultas

Kedokteran

Universitas

Trisakti.

Jakarta:2007.

3.Rilantono Lily. I, dkk. Buku Ajar Kardiologi. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta:1996.
4.Sudoyo Aru W, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 4 ed, 2006.

Anda mungkin juga menyukai