Anda di halaman 1dari 12

SISTEM SURVAILANS ISPA

A. Pengertian ISPA
Istilah ISPA mengandung tiga unsur yaitu infeksi, saluran pernapasan dan akut. Infeksi adalah
masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga
menimbulkan gejala penyakit. Adapun saluran pernapasan adalah organ dimulai dari hidung
sampai alveoli beserta organ adneksa seperti sinus-sinus, rongga telinga dan pleura. Istilah
ISPA secara anatomis mencakup saluran pernapasan bagian bawah (termasuk jaringan paruparu) dan organ adneksanya saluran pernapasan. Sedangkan infeksi akut adalah infeksi yang
berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut
meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan ISPA, proses ini dapat berlangsung
lebih dari 14 hari (Depkes RI, 2002).
Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli) biasanya
disebabkan oleh invasi kuman bakteri, yang ditandai oleh gejala klinis batuk, disertai adanya
nafas cepat ataupun tarikan dinding dada bagian bawah/kedalam (Depkes RI, 2002).

B. Epidemiologi
1. Distribusi dan Frekwensi ISPA
Penyakit ISPA adalah penyakit yang dapat menyerang semua kelompok usia dari bayi, anakanak dan sampai orang tua. Menurut WHO 1981, bahwa satu dari tiga penyebab kematian anak
dibawah lima tahun adalah ISPA dengan pneumonia sebesar 75% dari semua jumlah kematian.
Data CBS-UNICEF juga mengungkapkan bahwa pneumonia menyebabkan 28% kematian anak
di dunia (Zairil, 2000).
Penelitian yang dilakukan di Klaten tahun 1996 menemukan bahwa sebagian besar kasus ISPA
terjadi pada kelompok umur 7 12 bulan (65,23%) dan sebagian besar kasus terjadi pada bayi
laki-laki (73, 45 %). (Dewi, 1996). ISPA merupakan pembunuh utama bayi dan balita di
Indonesia. Sebagian besar kematian tersebut diakibatkan oleh ISPA pneumonia, namun
masyarakat masih awam dengan gangguan ini. Penderita cepat meninggal akibat pneumonia
berat dan sering tidak tertolong. Lambatnya pertolongan ini disebabkan oleh ketidaktahuan
masyarakat tentang gangguan ini (DepKes RI., 2000).
2. Determinan ISPA
Terjadinya infeksi saluran pernapasan pada anak balita disamping adanya bibit penyakit, juga
dipengaruhi oleh faktor anak itu sendiri, seperti anak yang belum mendapat imunisasi campak
dan kontak dengan asap dapur, serta kondisi perumahan yang ditempatinya. Secara umum
faktor-faktor tersebut dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu :
a. Bibit Penyakit (Agent)
ISPA disebabkan oleh berbagai infectious agent yang terdiri dari 300 lebih jenis virus, bakteri,
ricketsia. Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus Streptococcus, Stafilococcus,
Pneumococcus, Haemofilus, Bordetella, dan Corynebacterium. Virus penyebab ISPA antara lain,

golongan Paramyksovirus termasuk didalamnya virus Influenza, Parainfluenza, dan virus


campak, adenovirus, Coronavirus, Picornavirus, Herpesvirus dan lain-lain.
Pneumonia umumnya disebabkan oleh bakteri. Di negara berkembang yang tersering sebagai
penyebab pneumonia pada anak ialah Streptococcus pneumonia dan Haemofilus influenza.
Sedangkan di negara maju, dewasa ini pneumonia pada anak umumnya disebabkan oleh virus.
b. Pejamu (Host)
Banyak faktor yang mempengaruhi seseorang terserang bibit penyakit, terutama faktor yang ada
pada dirinya sendiri seperti :
1. Umur
Terjadinya ISPA terutama pneumonia pada bayi dan pada anak balita dipengaruhi oleh faktor
usia anak. Bayi yang berumur kurang dari 2 bulan mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk
terkena pneumonia dibandingkan dengan anak umur 2 bulan sampai 5 tahun (Depkes RI.,
1996).
Hasil analisis faktor resiko membuktikan bahwa umur merupakan salah satu faktor resiko
penyebab terjadinya kematian pada balita yang sedang menderitapneumonia. Semakin tua usia
balita yang sedang menderita pneumonia, semakin kecil resiko meninggal akibat pneumonia
dibandingkan balita yang berusia muda (Djaja S,1999). Insidens ISPA paling tinggi terdapat
pada bayi dibawah satu tahun dan insidens menurun dengan bertambahnya umur (Kartasamita,
2000).
Hasil penelitian Sukar dkk (1996) didapatkan bahwa anak yang berumur 1-2 tahun lebih peka 5
kali terkena ISPA dibandingkan dengan umur 5 tahun.
2. Jenis Kelamin
Menurut buku pedoman program pemberantasan penyakit ISPA untuk penanggulangan
pneumonia pada balita (1996), anak jenis kelamin laki-laki mempunyai resiko yang lebih tinggi
untuk terkena ISPA dibandingkan dengan anak perempuan (Depkes RI., 1996).
Penelitian yang dilakukan oleh Dewi dkk (1996), didapatkan hasil bahwa proporsi kasus ISPApneumonia menurut jenis kelamin tidak sama, yaitu laki-laki 59% dan perempuan 41%,
terutama pada anak usia muda. Hasil Survei Demografi & Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun
1997, menunjukkan adanya perbedaan prevalensi 2 minggu pada balita dengan batuk dan napas
cepat (yang merupakan ciri khas pneumonia) antara anak laki-laki dengan anak perempuan,
dimana prevalensi untuk anak laki-laki adalah 9,4% sedangkan perempuan 8,5% (Depkes RI.,
1997).
3. Status Gizi
Keadaan gizi buruk muncul sebagai faktor resiko yang penting untuk ISPA menurut Martin yang
dikutip oleh Djaja (1999), membuktikan adanya hubungan antara gizi buruk dengan infeksi paru
sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering mendapat pneumonia. Beberapa penelitian
terdahulu juga menunjukkan bahwa malnutrisi merupakan faktor resiko penting untuk ISPA.
Anak yang menderita malnutrisi berat dan kronis lebih sering terkena ISPA dibandingkan anak
dengan berat badan normal.
Anak balita yang mengkonsumsi makanan yang tidak cukup baik dapat mengakibatkan daya
tahan tubuhnya melemah yang akan mudah diserang penyakit infeksi.

Penelitian yang dilakukan oleh Dewi dkk (1996), didapatkan hasil bahwa status gizi kurang
pada anak balita mempunyai resiko untuk terkena ISPA 2,5 kali lebih besar dibandingkan
dengan anak yang bergizi baik. Dalam penelitian ini proporsi anak yang bergizi kurang lebih
banyak pada kasus (41,03%) dari pada pembanding (25,64%).
4. Berat Badan Lahir
Berat badan lahir ditetapkan sebagai suatu berat lahir kurang dari 2500 gram. Bayi dengan
Berat Lahir Rendah (BBLR) akan meningkatkan resiko kesakitan dan kematian karena bayi
rentan terhadap kondisi-kondisi infeksi saluran pernapasan bagian bawah. Ibu yang sedang
hamil harus mendapatkan asupan makanan yang cukup dengan gizi seimbang, kekurangan
asupan gizi pada saat hamil dapat menyebabkan bayi yang dilahirkan berat badannya rendah.
Penyakit anemia defisiensi zat besi pada ibu yang tengah hamil juga dapat menyebabkan bayi
lahir dengan berat badan rendah atau bayi lahir prematur (Sulistyowati (1999).
tatus gizi ibu pada waktu pembuahan dan selama hamil dapat mempengaruhi pertumbuhan
janin yang sedang dikandung. Menurut Thomson (1959) yang diikutip Pudjiadi (2000)
membuktikan bahwa berat badan lahir bayi naik dan insiden BBLR menurun bila kandungan
energi diet ibu bertambah. Jika ibu hamil menderita anemia berat, resiko morbiditas maupun
mortalitas bagi ibu dan bayinya meninggi, kemungkinan melahirkan bayi BBLR dan prematur
lebih besar (Pudjiadi, 2000). Bayi dengan berat lahir rendah mempunyai angka kematian lebih
tinggi dari pada bayi dengan berat lebih dari 2500 gram saat lahir selama tahun pertama
kehidupannya.
ISPA adalah penyebab terbesar kematian akibat infeksi pada bayi yang baru lahir dengan berat
rendah, bila dibandingkan dengan bayi yang beratnya diatas 2500 gram (Tuminah, S., 1999).
5. Status ASI dan Makanan Tambahan
ASI eksklusif adalah ASI yang diberikan pada bayi tanpa tambahan cairan lain (seperti susu
formula, jeruk, madu, air teh, air putih), dan tanpa makanan tambahan (seperti pisang, pepaya,
bubur susu, biskuit, bubur nasi dan tim). Pemberian ASI secara eksklusif ini dianjurkan untuk
jangka waktu sampai 6 bulan.
Setelah bayi berumur 6 bulan, bayi mulai diberikan makanan pendamping secara bertahap dan
bervariasi, dari mulai bentuk bubur cair ke bentuk bubur kental, sari buah, buah segar,
makanan lumat, makanan lembek, dan akhirnya makanan padat. Menyusukan bayi harus selalu
dianjurkan bila bayi dan ibunya ada dalam keadaan sehat dan tidak terdapat kelainan-kelainan
yang tidak memungkinkan untuk menyusukan, jika memungkinkan ASI diberi sampai 2 tahun
(Roesli, 2001).
Dari penelitian-penelitian yang dilakukan sepuluh tahun terakhir ini menunjukkan bahwa ASI
kaya akan faktor antibodi untuk melawan infeksi-infeksi bakteri dan virus. Terutama selama
minggu pertama (4 sampai 6 hari) payudara akan menghasilkan kolostrum, yaitu ASI awal yang
mengandung zat kekebalan (imunoglobin, komplemen, lisozim, laktoferin, dan sel-sel leukosit)
yang sangat penting untuk melindungi bayi dari infeksi. Penelitian di beberapa negara sedang
berkembang menunjukkan bahwa ASI melindungi bayi terhadap infeksi saluran pernapasan
berat. Angka kematian kasus secara berarti lebih tinggi pada anak yang telah disapih daripada
anak yang masih diberi ASI (Tuminah, S., 1999).

Menurut Roesli (2001) yang mengutip pendapat Cunningham dan Howwie (1990) bahwa
kematian akibat penyakit saluran pernapasan 2 6 kali lebih banyak pada bayi yang diberi susu
formula daripada bayi yang mendapat ASI. Penelitian Gani (2004), menunjukkan bahwa anak
balita yang menderita ISPA 5,3 kali tidak mendapatkan ASI eksklusif dibandingkan dengan anak
balita yang tidak menderita ISPA.
Bila ASI cukup bayi tidak perlu diberikan makanan tambahan dengan makanan lain sampai usia
4 bulan atau bahkan 6 bulan. Namun bila ternyata bayi menangis karena lapar, dapat diberikan
makan tambahan sejak kira-kira umur 2 bulan. Sejak 2 bulan dapat diberikan buah-buahan
(pisang) atau biskuit, sedangkan pemberian makanan lumat sampai lembek (bubur susu) pada
usia 3-4 bulan sesuai keperluan bayi masing-masing. Bayi akan lapar dan menangis terus bila
ASI kurang memuaskan. Untuk mengawasi pertumbuhan, bayi perlu ditimbang secara berkala.
Pada bulan ke empat biasanya mulai pemberian makanan padat bayi yang pertama, yaitu
makanan lumat misalnya; bubur susu yang dapat dibuat dari tepung, susu dan gula (Roesli,
2001).
6. Status Imunisasi
Imunisasi berarti memberi kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Setiap anak harus
mendapatkan imunisasi dasar terhadap 7 penyakit utama sebelum usia 1 tahun yaitu imunisasi
BCG, DPT, polio, campak dan hepatitis B. (Roesli, 2001). Imunisasi adalah cara untuk
menimbulkan kekebalan terhadap berbagai penyakit. Anak yang belum pernah diimunisasi
campak lebih berisiko terhadap terjadinya kematian karena pneumonia, terutama pada balita
yang sedang menderita pneumonia (Djaja, S., 1999).
Imunisasi yang tidak memadai merupakan faktor risiko yang dapat meningkatkan insidens ISPA,
sehingga faktor anak yang diimunisasi sangat menentukan dalam tingginya angka insidens ISPA
(Depkes RI., 1996).
Menurut The World Health Report 2005, angka kematian balita di Indonesia sebesar 46 per
1000 kelahiran hidup, penyebab utama kematian pada anak balita adalah penyakit infeksi
saluran napasan akut, diare, penyakit yang ditularkan binatang dan penyakit-penyakit yang bisa
dicegah melalui vaksinasi . UNICEF menyebutkan bahwa 27 juta anak balita dan 40 juta ibu
hamil di seluruh dunia masih belum mendapatkan layanan imunisasi rutin. Akibat penyakit yang
dapat dicegah oleh vaksin ini diperkirakan menyebabkan lebih dari dua juta kematian tiap
tahun, termasuk 1,4 juta anak balita yang meninggal karena tidak divaksin. Di Indonesia 2.400
anak meninggal setiap hari termasuk yang meninggal karena sebab-sebab yang seharusnya
dapat dicegah dengan vaksin. Misalnya tuberculosis, pertusis, difteri dan tetanus (Francais,
2007). Penelitian yang dilakukan Dewi dkk (1996), diketahui bahwa ketidakpatuhan imunisasi
(imunisasi tidak lengkap) mempengaruhi berkembangnya ISPA pada anak balita. Jumlah anak
pada penelitian ini yang imunisasi tidak lengkap pada kasus 10,25% dan kontrol 5,13%.
7. Vitamin A
Pada anak-anak yang kekurangan vitamin A sering ditemukan berbagai macam infeksi, namun
asosiasi langsung antara kekurangan vitamin A dan infeksi tidak begitu jelas (Pudjiadi, 2000).
Vitamin A mulai menarik perhatian para ilmuwan setelah beberapa laporan penelitian oleh

Somar dkk mengenai pentingnya vitamin A. Sejak itu beberapa penelitian dilakukan untuk
mengetahui efek suplementasi vitamin A terhadap morbiditas, mortalitas dan lamanya ISPA,
akan tetapi hasilnya masih saling bertentangan (Zairil, 2000).
Sampai saat ini satu hal mengenai suplementasi vitamin A yang diterima secara luas yang juga
direkomendasikan oleh WHO adalah untuk memberikan vitamin A pada penderita campak,
didaerah dimana angka kematian akibat penyakit campak (CFR) lebih dari 1%. Hasil penelitian
prospektif yang pernah dilakukan menunjukkan tidak adanya perbedaan bermakna pada insiden
dan derajat ISPA diantara anak yang mendapat vitamin A, juga tidak didapatkan perbedaan
ISPA sebelum dan setelah pemberian vitamin A, hanya didapatkan lama ISPA agak lebih
panjang pada anak yang tidak mendapat vitamin A (Kartasasmita, 2000).
3. Lingkungan (environment)
Faktor lingkungan memegang peranan yang cukup penting dalam menentukan terjadinya proses
interaksi antara pejamu dengan unsur penyebab dalam proses terjadinya penyakit. Secara garis
besarnya lingkungan terdiri dari lingkungan fisik, biologis dan sosial. Keadaan fisik sekitar
manusia berpengaruh terhadap manusia baik secara langsung maupun tidak terhadap
lingkungan-lingkungan biologis dan lingkungan sosial manusia. Lingkungan fisik (termasuk
unsur kimia) meliputi udara, kelembaban, air dan pencemaran udara. Berkaitan dengan ISPA,
adalah tergolong air bornediasease karena salah satu penularannya melalui udara yang
tercemar dan masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernapasan, maka udara secara
epidemiologi mempunyai peranan yang besar pada transmisi penyakit infeksi saluran
pernapasan. Salah satu gangguan yang mungkin disebabkan oleh pencemaran udara dalam
ruangan (indoor) adalah infeksi saluran pernapasan akut. ISPA dapat meliputi bagian atas saja
dan atau bahkan bagian bawah seperti laryngitis, tracheobronchitis, bronchitis dan pnemonia
(Depkes RI, 1993).
Secara garis besarnya, kualitas udara dalam ruangan dipengaruhi oleh asap dalam ruangan
yang bersumber dari perokok, penggunaan bahan bakar kayu / arang / minyak tanah dan
penggunaan obat nyamuk bakar. Disamping itu ditentukan oleh ventilasi, tata ruangan dan
kepadatan penghuninya.
a. Asap Dalam Ruangan
Pencemaran udara dalam rumah terjadi terutama karena aktivitas penghuninya, antara lain ;
penggunaan bahan bakar biomasa untuk memasak maupun memanaskan ruangan, asap dari
sumber penerangan yang menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakarnya, asap rokok,
penggunaan insektisida semprot maupun bakar. Disamping itu ditentukan juga oleh ventilasi,
penggunaan bahan bangunan sintetis berupa cat dan asbes (Anwar, A., 1992). Penggunaan
bahan bakar biomasa seperti kayu bakar untuk memasak, arang dan minyak tanah muncul
sebagai faktor resiko terhadap terjadinya infeksi saluran pernapasan. Saat ini sebagian
masyarakat pedesaan masih menggunakan bahan bakar biomasa untuk memasak (Charles dkk,
1996). Ditambah lagi dengan kebiasaan ibu yang membawa bayi/anak balitanya di dapur yang
penuh asap sambil memasak akan mempunyai resiko yang lebih besar untuk terkena ISPA
dibandingkan dengan ibu yang tidak membawa bayi/anak balitanya didapur (Sukar dkk., 1997).
Dengan bahan bakar minyak tanah baik untuk memasak maupun sumber penerangan

memberikan resiko terkena ISPA pada balita 3,8 kali lebih besar dibandingkan dengan bahan
bakar gas (Soesanto, dkk, 2000). Keadaan dapur yang penuh dan lembab juga merupakan faktor
resiko terjadinya infeksi pernapasan. (Charles, dkk.,1996) Rokok pada dasarnya merupakan
pabrik bahan bakar kimia. Satu batang rokok dibakar akan mengeluarkan sekitar 4000 bahan
kimia seperti nikotin, karbon monoksida, nitrogen oksida, hiydrogen cyanida, amoniak, acrolein,
artcresor, peryline dan lain-lain. Secara umum bahan ini dapat dibagi menjadi 2 golongan
besar, yaitu komponen gas dan komponen padat atau partikel, sedangkan komponen padat atau
partikel dibagi menjadi nikotin dan tar. Bila rokok dibakar maka asapnya akan berterbangan
disekitar perokok. Asap yang berterbangan itu mengandung bahan yang berbahaya dan bila
dihisap oleh orang yang berada disekitar si perokok, maka orang itu juga akan menghisap
bahan kimia berbahaya didalam dirinya walau ia sendiri tidak merokok. Anak balita misalnya
akan lebih berbahaya dibanding orang dewasa karena daya tahan tubuhnya masih rendah
(Aditama, T.Y., 1996).
Menurut Riyadina (1995), bahwa pada anak-anak paparan asap rokok (sidestream smoke) dapat
menimbulkan gangguan pernapasan terutama mempererat timbulnya infeksi saluran pernapasan
akut dan gangguan fungsi paru-paru pada waktu dewasanya nanti. Paparan asap rokok
memperberat timbulnya ISPA, karena dari 1 batang rokok yang dinyalakan akan menghasilkan
asap sampingan selama sekitar 10 menit, sementara asap utamanya hanya akan dikeluarkan
pada waktu rokok itu dihisap dan biasanya hanya kurang dari 1 menit. Walaupun asap
sampingan dikeluarkan dahulu ke udara bebas sebelum dihisap perokok pasif, tetapi karena
kadar bahan berbahayanya lebih tinggi dari pada asap utamanya, maka perokok pasif tetap
menerima akibat buruk dari kebiasaan merokok orang sekitarnya (Aditama, T. Y., 1996). Di
negara maju, anak-anak yang orang tuanya merokok dalam rumah didapatkan memiliki suatu
peningkatan resiko bronkitis dan pnemonia jika dibandingkan dengan anak-anak yang orang
tuanya tidak merokok (Tuminah, 1999).
b. Ventilasi
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi yang pertama adalah menjaga agar aliran
udara dalam rumah tetap segar sehingga keseimbangan O2 tetap terjaga, karena kurangnya
ventilasi menyebabkan kurangnya O2 yang berarti kadar CO2 menjadi racun Fungsi kedua
adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen dan
menjaga agar rumah selalu tetap dalam kelembaban yang optimum (Notoatmodjo, 2007).
Pergantian udara bersih untuk orang dewasa adalah 33 m3/orang/jam, dengan kelembaban
sekitar 60% optimum. Untuk memperoleh kenyaman udara seperti dimaksud diatas diperlukan
adanya ventilasi yang baik. Luas lubang ventilasi insidentil (dapat buka tutup) minimum 5%
dari luas lantai ruangan. Jumlah keduanya adalah 10% dari luas lantai ruangan (Sanropie, D.,
1989).
Udara yang bersih merupakan komponen utama didalam rumah dan sangat diperlukan oleh
manusia untuk hidup secara sehat. Sirkulasi udara berkaitan dengan masalah ventilasi. Sebuah
penelitian menunjukkan hubungan penyakit saluran pernapasan dengan kondisi ventilasi. Sebab
itu kondisi ventilasi dapat dijadikan indikator rumah sehat (Achmadi, U.F., 1991).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dewi (1996) diketahui bahwa rumah yang berventilasi

buruk lebih banyak anggota keluarganya yang menderita ISPA dibandingkan dengan rumah
yang ventilasinya memenuhi syarat kesehatan.
c. Tata Ruang dan Kepadatan Hunian
Setiap rumah harus mempunyai bagian ruangan yang sesuai fungsinya. Penentuan bentuk,
ukuran dan jumlah ruangan perlu memperhatikan standar minimal jumlah ruangan. Sebuah
rumah tinggal harus mempunyai ruangan yaitu kamar tidur, ruang tamu, ruang makan, dapur,
kamar mandi dan kakus. Hasil dari beberapa penelitian telah membuktikan adanya hubungan
antara kesehatan lingkungan dalam rumah dengan kejadian kesakitan. Studi terhadap kondisi
rumah menunjukkan hubungan yang tinggi antara koloni bakteri dan kepadatan penghuni per
meter persegi, sehingga adanya efek sinergi yang diciptakan dimana sumber pencemar
mempunyai potensi menekan reaksi kekebalan, bersamaan dengan terjadinya peningkatan
bakteri patogen dengan kepadatan penghuni pada setiap keluarga. Dengan demikian kuman
yang umumnya sebagai penyebab penyakit menular saluran pernapasan terdapat makin banyak,
bila jumlah penghuni semakin banyak jumlahnya. Jadi ukuran rumah yang kecil dengan jumlah
penghuni yang padat serta jumlah kamar yang sedikit akan memperbesar kemungkinan
penularan penyakit melalui droplet kontak langsung (Poerno, K., 1983). Demikian halnya
dengan Achmadi (1991) yang melaporkan bahwa anak yang tinggal dirumah yang padat (<10
m2 / orang) akan mendapat resiko ISPA sebesar 1,75 kali dibandingkan anak yang tinggal
dirumah yang tidak padat. Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di
dalamnya, artinya luas lantai bangunan tersebut harus disesuaikan dengan jumlah
penghuninya. Luas bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan
menyebabkan perjubelan (overcrowded). Luas bangunan yang optimum adalah apabila dapat
menyediakan 2,5 3 m2 untuk setiap anggota keluarga (Notoatmodjo, 2007). Untuk menilai
kepadatan penghuni dalam rumah, konsep dari Fakultas Tehnik Universita Indonesia (FT UI)
menggunakan luas rumah per penghuni, yang dibedakan dalam 5 kategori yaitu 3,9 m2 /
orang, 4-5 m 2 / orang, 5-6,9 m2/ orang, 7-8 m2/ orang, dan 9 m2/ orang (FT UI., 1983).
d. Status Ekonomi dan Kependidikan
Keterbatasan kesempatan untuk memperoleh pendidikan merupakan faktor yang dapat
mempengaruhi tingkat kesehatan, serta upaya pencegahan penyakit. Pada kelompok masyarakat
dengan tingkat pendidikan yang rendah pada umumnya status ekonominya rendah pula. Mereka
sulit untuk menyerap informasi mengenai kesehatan dalam hal penularan dan cara
pencegahannya. Pendidikan yang rendah menyebabkan masyarakat tidak tahu cara untuk
memilih makanan yang bergizi dan pengadaan sarana sanitasi yang diperlukan (Soewasti, dkk.,
1997).
Tingkat pendidikan ibu yang rendah merupakan faktor resiko yang meningkatkan kematian ISPA
terutama pnemonia. Kekurangpahaman orang tua terhadap pnemonia juga menyebabkan
keterlambatan mereka mambawa anak mereka yang sakit pada tenaga kesehatan. Mereka
beranggapan bahwa bayi/anak balita mereka hanya menderita batuk-batuk biasa, yang
sebenarnya merupakan tanda awal pnemonia. Orang tua hanya memberikan obat batuk
tradisional yang tidak memecahkan masalah (Tuminah, S., 1999).
Dari hasil penelitian yang dilakukan Djaya (1999), ibu dengan pendidikan lebih tinggi akan

lebih banyak membawakan anak berobat ke fasilitas kesehatan, sedangkan ibu dengan
pendidikan rendah lebih banyak mengobati sendiri maupun berobat ke dukun ketika anaknya
sakit.
C. Arah dan Kebijakan P2 ISPA
Pelaksanaan pemberantasan penyakit ISPA ditujukan pada kelompok usia, yaitu bayi ( 0 - <1
tahun ) dan anak balita ( 1- <5 tahun ) dengan fokus penanggulangan pada penyakit pnemonia
(Depkes RI,2002).
1. Kebijakan
Untuk mencapai tujuan program pemberatasan penyakit ISPA balita maka dirumuskan
kebijakan sebagai berikut :
a. Melaksanakan promosi penanggulangan pnemonia balita sehingga masyarakat, mitra kerja
terkait dan pengambil keputusan mendukung pelaksanaan penanggulangan pnemonia balita.
b. Melaksanakan penemuan penderita melalui saran kesehatan dasar (pelayanan kesehatan di
desa, Puskesmas Pembantu, Puskesmas dan Sarana Rawat Jalan Rumah Sakit) dibantu oleh
kegiatan Posyandu dan Kader Posyandu.
c. Melaksanakan tatalaksana standard penderita ISPA dengan deteksi dini, pengobatan yang
tepat dan segera, pencegahan komplikasi dan rujukan ke sarana kesehatan yang lebih memadai.
d. Melaksanakan surveilans kesakitan dan kematian pnemonia balita serta faktor
e. resikonya termasuk faktor resiko lingkungan dan kependudukan.
2. Strategi
Rumusan umum strategi pemberantasan penyakit ISPA adalah sebagai berikut:
a. Promosi penanggulangan pnemonia balita melalui advokasi, bina suasana dan gerakan
masyarakat.
b. Penurunan angka kesakitan dilakukan dengan upaya pencegahan atau penanggulangan
faktor resiko melalui kerjasama lintas program dan lintas sektor, seperti melalui kerjasama
dengan program imunisasi, program bina kesehatan balita, program bina gizi masarakat dan
program penyehatan lingkungan pemukiman.
c. Peningkatan penemuan melalui upaya peningkatan prilaku masyarakat dalam pencaharian
pengobatan yang tepat.
d. Melaksanakan tatalaksana kasus melalui pendekatan Manejemen Terpadu Balita sakit
(MTBS) dan audit kasus untuk peningkatan kualitas tatalaksana kasus ISPA.
e. Peningkatan sistem surveilans ISPA melalui kegiatan surveilans rutin, autopsi verbal dan
pengembangan informasi kesehatan serta audit manejemen program.
3. Kegiatan Pokok P2 ISPA
Dalam mencapai sasaran dan tujuan pemberantasan penyakit ISPA, maka Strategi
Pemberantasan Penyakit ISPA dijabarkan dalam 8 kegiatan pokok yaitu promosi
penanggulangan pnemonia balita, kemitraan, peningkatan penemuan kasus, peningkatan
kualitas tatalaksana kasus ISPA, peningkatan kualitas sumber daya, surveilans ISPA,
pemantauan dan evaluasi dan pengembangan program ISPA. Dalam pelaksanaannya kegiatan
P2ISPA mengacu kepada pendekatan Manajemen Pemberantasan Penyakit Menular Berbasis
Wilayah atau dengan kata lain diarahkan menanggulangi secara komprehensif faktor-faktor

yang berhubungan dengan ksakitan dan kematian balita termasuk faktor resiko lingkungan,
faktor resiko kependudukan dan penanganan kasus yang dilakukan secara terpadu dengan mitra
kerja terkait yang didukung oleh surveilans yang baik serta tercemin dalam perencanaan dan
penganggaran kesehatan secara terpadu (P2KT). Secara rinci kegiatan pokok ISPA dijabarkan
sebgai berikut:
4. Promosi Penanggulangan Pnemonia Balita
Promisi pemberantasan penyakit ISPA di Indonesia mencakup kegiatan advokasi, bina suasana
dan gerakan masyarakat. Tujuan yang diharapkan dari kegiatan promosi balita secara umum
adalah meningkatnya pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat dalam upaya dalam
penanggulangan pnemonia balita. Sasaran promosi dalam P2 ISPA mencakup sasaran primer
(ibu balita dan keluarganya), sasaran sekunder (petugas kesehatan dan petugas lintas program
serta lintas sektor), dan sasaran tersier (pengambil keputusan). Pesan pokok, metode dan media
yang digunakan sesuai dengan sasaran.
5. Kemitraan
Merupakan faktor penting untuk menunjang keberhasilan program. Pembangunan kemitraan
dalam program P2 ISPA diarahkan untuk meningkatkan peran serta masyarakat, peran serta
lintas program dan lintas sektor terkait serta peran pengambil keputusan termasuk penyandang
dana. Dengan demikian pembangunan kemitraan diharapkan pendekatan pelaksanaan program
pemberantasan penyakit ISPA khususnya pnemonia dapat terlaksana secara terpadu dan
kompherensif. Dengan kata lain intervensi pemberantasan penyakit ISPA tidak hanya tertuju
pada penderita saja, tetapi juga terhadap faktor resiko (lingkungan dan kependudukan) dan
faktor lain yang berpengaruh melalui dukungan peran aktif sektor lain yang berkompeten.
6. Peningkatan Penemuan dan Tatalaksana Kasus
Kegiatan ini merupakan kegiatan terpenting, karena keberhasilan upaya penurunan kematian
pnemonia pada balita ditentukan oleh keberhasilan upaya penemuan dan tatalaksana penderita
ini. Dalam kebijakan dan strategi Program P2 ISPA maka penemuan dan tatalaksana penderita
ini dilaksanakan di rumah tangga dan masyarakat (keluarga, kader dan posyandu), di tingkat
pelayanan kesehatan swasta (praktek dokter, poliklinik swasta, RS swasta). Dengan demikian
yang melaksanakan kegiatan secara langsung adalah tenaga kesehatan di sarana-sarana
kesehatan tersebut dan kader posyandu di masyarakat. Adapun prosedur penemuan dan
tatalaksana penderita ISPA di masing-masing sarana/tingkatan mengacu pada tatalaksana
standar yang tetapkan. Sedangkan tatalaksana kasus ISPA dilaksanakan melalui pendekatan
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) disarana kesehatan dasar. Disamping itu perlu
dilakukan audit kasus dalam upaya peningkatan kualitas tatalaksana kasus yang dilaksanakan
dengan koordinasi tingkat kabupaten/kota.
7. Peningkatan Kualitas Sumber Daya
a. Sumber Daya Manusia (SDM)
Sumber Daya Manusia yang terlibat dalam program P2 ISPA meliputi kader, petugas kesehatan
yang memberikan tatalaksana ISPA di sarana pelayanan kesehatan (Polindes, Pustu,
Puskesmas, RS, Poliklinik), pengelola program ISPA di puskesmas, kabupaten/kota, provinsi dan
pusat. Upaya peningkatan kualitas SDM P2 ISPA dilakukan di berbagai jenjang melalui

kegiatan pelatihan, setiap pelatihan yang dilakukan perlu ditindaklanjuti dengan supervisi dan
monitoring serta pembinaan di lapangan. Selanjutnya pelaksanaan pelatihan secara terpadu
dengan program lain perlu dikembangkan, terutama pelatihan menyangkut aspek manajemen
atau pengelola program P2 ISPA dilakukan pula melalui kegiatan magang, asistensi tatalaksana
oleh dokter ahli, studi banding, seminar dan workshop sesuai dengan kebutuhan.
b. Logistik
Dukungan logistik sangat diperlukan dalam menunjang pelaksanaan program P2 ISPA. Aspek
logistik Pemberantasan Penyakit ISPA mencakup peralatan, bahan dan sarana yang diperlukan
untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan. Sampai saat ini logistik kegiatan distandarisasi, dari
logistik untuk kegiatan penemuan dan tatalaksana penderita dan logistik untuk kegiatan
komunikasi dan penyebaran informasi. Untuk kegiatan penemuan dan tatalaksana penderita
mencakup obat dan alat bantu hitung pernapasan (soundtimer). Untuk kegiatan komunikasi dan
penyebaran informasi, logistik yang telah disediakan program meliputi media cetak dan
elektronik.
8. Surveilans ISPA
Untuk melaksanakan kegiatan pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan penyakit
termasuk ISPA secara efektif dan efisien, diperlukan data dasar (baseline) dan data program
yang lengkap dan akurat. Upaya dalam mendapatkan data atau informasi tersebut diatas
dilakukan melalui kegiatan surveilans epidemiologi ISPA yang aktif dengan diferivikasi oleh
survey atau penelitian yang sesuai. Surveilans epidemiologi ISPA diarahkan untuk mendapatkan
data dan informasi yang dapat digunakan sebagai landasan dalam perencanaan dan
pelaksanaan kegiatan program pemberantasan ISPA secara efektif dan efisien serta mampu
mengantifikasi kecenderungan-kecenderungan yang bakal muncul. Data dan informasi
dimaksud meliputi data dan informasi kesakitan dan kematian pnemonia, sumber penularan,
faktor resiko yang berhubungan dengan pnemonia (faktor resiko lingkungan dan kependudukan)
dan data yang berhubungan dengan kinerja program. Untuk itu mulai tahun 2002
dikembangkan kegiatan autopsi verbal kematian balita akibat pnemonia dan audit kasus
pnemonia. Dalam pelaksanaanya di lapangan, kegiatan surveilans dapat disesuaikan dengan
situasi dan kebutuhan setempat, baik mekanisme kerja maupun bentuk instrumennya. Namun
demikian secara umum pelaksanaan surveilans Program P2 ISPA mengikuti langkah-langkah
surveilans epidemiologi pada umumnya, sebagaimana diuraikan berikut:
a. Tujuan Surveilans ISPA
Menyediakan informasi tentang situasi dan besarnya masalah penyakit ISPA khususnya kejadian
pnemonia balita dan kematian balita akibat pnemonia di masyarakat beserta faktor resikonya
dan informasi lain yang diperlukan bagi upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA
secara efektif sehingga angka kesakitan dan kematian balita akibat pnemonia dapat diturunkan
sesuai tujuan pemberantasan penyakit ISPA.
b. Kegiatan
1. Pengumpulan data
Data penyakit ISPA termasuk pnemonia balita dikumpulkan di sarana kesehatan tingkat pertama
(rawat jalan rumah sakit, Puskesmas, Pustu dan Posyandu, serta pelayanan kesehatan swasta)

dengan menggunakan formulir, kartu atau buku khusus. Selanjutnya kasus pnemonia dari
sarana tersebut dilaporkan ke puskesmas yang menangani wilayah kerja dari sarana kesehatan
yang bersangkutan, secara aktif (melaporkan sendiri) maupun pasif (puskesmas menjemput
laporan dari sarana kesehatan di wilayah kerjanya) dengan menggunakan instrumen standar
yang dibuat oleh puskesmas. Puskesmas selanjutnya meneruskan laporan ke Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota. Untuk laporan kasus pnemonia dari rumah sakit, laporan langsung ke Dinas
Kesehatan (Subdin P2M).
2. Pengolahan dan Analisa Data
Data yang telah terkumpul, baik dari institusi sendiri maupun dari luar selanjutnya dilakukan
pengolahan dan analisa. Pengolahan dan analisa data dilaksanakan baik oleh puskesmas,
Kabupaten/kota maupun Propinsi.
3. Penyajian Data Umpan Balik
Sebagai bahan atau dasar bagi kepentingan pelaksanaan kegiatan atau perbaikan pelaksanaan
kegiatan, hasil kerja survailans ISPA perlu disajikan dan disebarluaskan atau diumpanbalikan
kepada pihak-pihak yang memerlukannya secara teratur, baik kalangan internal maupun
eksternal.
4. Peningkatan Jaringan Informasi
Jaringan informasi antara Kabupaten/Kota, Provinsi dan pusat sangat diperlukan untuk
membangun sistem informasi kesehatan yang handal sehingga mampu meningkatkan koordinasi
dan keterpaduan pelaksanaannya pemberantasan penyakit ISPA antar berbagai jenjang dari
mulai perencanaan sampai dengan evaluasi program.
9. Pemantauan dan Evaluasi
Kegiatan pokok ini terdiri dari dua kegiatan penting, yaitu pemantauan (monitoring) dan
penilaian (evaluasi).
a. Pemantauan
Pemantauan Pemberantasan Penyakit ISPA (monitoring) dimaksudkan untuk memantau secara
teratur kegiatan dan pelaksanaan program agar dapat diketahui apakah kegiatan program
dilaksanakan sesuai dengan yang telah direncanakan dan digariskan oleh kebijaksanaan
program. Pelaksanaan pemantauan Pemberantasan Penyakit ISPA dapat memanfaatkan
kegiatan supervisi dan bimbingan tehnis, Pencatatan Pelaporan Pemberantasan Penyakit ISPA,
dan Pemantauan program P2M&PL di Kabupaten/kota.
b. Evaluasi dilakukan untuk menilai apakah pencapaian hasil kegiatan telah memenuhi target
yang diharapkan, mengidentifikasi masalah dan hambatan yang dihadapi serta menyusun
langkah-langkah perbaikan selanjutnya termasuk perencanaan dan penganggaran. Kegiatan
evaluasi dilaksanakan di berbagai jenjang administrasi kesehatan, baik ditingkat pusat, provinsi
maupun Kabupaten/Kota.
10. Peningkatan Manajemen Program
Aspek manajemen program P2 ISPA yang masih memerlukan perhatian terus ditingkatkan
diantaranya aspek perencanaan, pembiayaan,dan administrsi. Aspek manajemen tersebut diatas
merupakan beban kerja terbesar untuk unit yang mengelola Pemberantasan Penyakit ISPA baik
di tingkat pusat, provinsi maupun Kabupaten/Kota. Kegiatan ini juga dilaksanakan di berbagai

tingkat administrasi kesehatan. Peningkatan manajemen program pada aspek perencanaan


dilakukan melalui penerapan perencanaan dan penganggaran kesehatan terpadu (P2KT) dalam
perencanaan kegiatan program P2 ISPA. Penerapan P2KT dalam pelaksanaan program P2ISPA
akan efektif bila didukung kinerja surveilans yang mampu memberikan informasi yang lengkap
dan akurat sehingga menghasilkan perencanaan program P2 ISPA berdasarkan fakta (evidence
based palanning). alam meningkatkan manajemen pembiayaan, diupayakan penggalian potensi
sumber biaya masyarakat, swasta, organisasi non pemerintah, dan lembaga-lembaga donor,
mengingat kemampuan pemerintah dalam penyediaan biaya untuk program cukup terbatas.
Pembiayaan dipusat terutama bersumber pada APBN dengan sumber dana tambahan dari
sumber dana lain seperti dana kerjasama Pemerintah RI dengan organisasi internasional, dana
bantuan pinjaman luar negeri. Di provinsi pembiayaan terutama bersumber dari APBN dan
Dana Alokasi Umum (DAU) provinsi disamping sumber dana lain. Begitu pula di tingkat
Kabupaten/Kota sebagian besar masih bertumpu pada APBN disamping DAU Kabupaten/Kota,
sedangkan potensi sumber dana dari masyarakat atau swasta belum teralokasi dengan baik.
Untuk itu dalam mewujudkan pembiayaan program P2ISPA yang memadai di berbagai jenjang
administrasi kesehatan, perlu diupayakan secara terus-menerus penggalian potensi sumber
biaya non pemerintah.

11. Pengembangan Program


Dalam upaya pencapaian tujuan pemberantasan penyakit ISPA khususnya pnemonia, perlu
dilakukan pengembangan program sesuai dengan tuntutan perkembangan di masyarakat.
Pengembangan program P2 ISPA dilakukan diantaranya melalui kegiatan penelitian, uji coba
konsep-konsep intervensi baru seperti pendekatan tatalaksana penderita ISPA, pencegahan dan
penanggulangan faktor resiko baik dilingkungan maupun kependudukan, peningkatan
kemitraan, peningkatan manajemen dan sebagainya serta kegiatan-kegiatan ilmiah lainnya
seperti pertemuan kajian program, seminar, workshop dan sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai