Anda di halaman 1dari 24

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan diuraikan teori tentang konsep peran perawat, konsep
pengetahuan, konsep sikap, konsep oral hygiene dan konsep dasar stroke.

2.1

Peran Perawat
Peran perawat adalah segenap kewenangan yang dimiliki oleh perawat

untuk menjalankan tugas dan fungsinya sesuai kompetensi yang dimilikinya


(Gaffar, 1995). Dalam kewenangannya perawat mempunyai tanggung jawab
profesional yaitu pemberi pelayanan (care giver), pendidik (educator), konselor
(conselor), manajer (manager), peneliti (researcher), kolaborator (colaborator),
agen perubahan (change agen). (Chitty, 1997).
2.1.1

Pemberi Pelayanan (Care Giver)


Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, perawat perlu membekali diri

dengan pengetahuan, sikap dan perilaku. (Kozier, 1991). Perawat memberikan


asuhan langsung atau tidak langsung sebagai individu, keluarga dan masyarakat.
Metode yang digunakan adalah pendekatan pemecahan masalah yang disebut
proses keperawatan. Gaffar (1995), menjelaskan peran utamanya adalah
memberikan pelayanan keperawatan kepada individu, keluarga, kelompok atau
masyarakat sesuai diagnosa masalah yang terjadi mulai dari masalah yang bersifat
sederhana sampai yang komplek.

2.1.2

Pendidik (Educator)
Sebagai pendidik (health educator), perawat berperan mendidik individu,

keluarga, kelompok dan masyarakat serta tenaga keperawatan atau tenaga


kesehatan yang berada di bawah tanggung jawabnya. Peran ini dapat berupa
penyuluhan kesehatan kepada klien maupun bantuk desiminasi ilmu kepada
peserta didik keperawtan, antara sesama perawat atau tenaga kesehatan lain
(Gaffar, 1995).
2.1.3

Konselor (Counselor)
Tugas utama perawat adalah mengidentifikasi perubahan pola interaksi

klien terhadap keadaan sehat sakitnya. Adanya perubahan pola interaksi ini
merupakan dasar dalam merencanakan metode untuk meningkatkan kemampuan
aplikasinya.

Konseling

diberikan

kepada

individu,

keluarga

dalam

mengintegrasikan pengalaman kesehatan dengan pengalaman yang lalu (Doheny,


1987).
2.1.4

Manajer (Manager)
Dalam hal ini perawat mempunyai mempunyai peran dan tanggung jawab

dalam mengelola pelayanan maupun pendidikan keperawatan yang berada di


bawah tanggung jawabnya sesuai dengan konsep manajemen keperawatan dalam
kerangka paradigma keperawatan (Gaffar, 1995).
2.1.5

Peneliti (Researcher)
Seorang perawat diharapkan dapat menjadi pembaharu dalam ilmu

keperawatan karena ia memiliki kreativitas, inisiatif, cepat tanggap terhadap


rangsangan dari lingkungannya, kegiatan ini dapat diperoleh melalui penelitian.

Penelitian pada hakekatnya adalah melakukan evaluasi, mengukur kemampuan,


menilai dan mempertimbangkan sejauh mana efektifitas tinddakan yang telah
diberikan (Gaffar, 1995).
2.1.6

Kolaborator (Collaborator)
Dalam hal ini perawat bersama klien, keluarga dan tim kesehatan berupaya

mengidentifikasi pelayanan kesehatan yang diperlukan termasuk tukar pendapat


terhadap pelayan yang diperlukan klien, pemberi dukungan, panduan keahlian dan
keterampilan dari berbagai profesional pemberi pelayanan kesehatan (Gaffar,
1995).
2.1.7

Agen Perubahan (Change Agent)


Elemen ini mencakup perencanaan, kerja sama, perubahan yang sistematis

dalam berhubungan dengan klien dan cara pemberian keperawatan kepada klien
(Gaffar, 1995).

2.2

Pengetahuan
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan Poerwadarminto

(1985), kata pengetahuan mempunyai dua pengertian. Pertama, pengetahuan


adalah segala sesuatu yang diketahui, kepandaian, kedua pengetahuan adalah
segala sesuatu apa yang diketahui berkenaan dengan sesuatu hal.
Sedangkan menurut Notoatmodjo (1993), pengetahuan merupakan hasil
dari tahu dan ini setelah orang melakukan penginderaan terhadap domain yang
sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Menurut Rogers ( 1974)

bahwa dalam diri seseorang sebelum menerima suatu obyek terjadi proses yang
berurutan yaitu :
2.

Awareness (kesadaran), orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui


terlebih dahulu stimulus (obyek).

3.

Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus (obyek) tersebut.

4.

Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus


tersebut bagi dirinya.

5.

Trial, subyek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang
dikehendaki oleh stimulus.

6.

Adoption, subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,


kesadaran dan sikap terhadap stimulus.
Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku baru melalui proses

seperti di atas yang didasari oleh pengetahuan maka perilaku tersebut akan
bersifat langgeng. Sebaliknya apabila perilaku tersebut tidak didasari pengetahuan
maka perilaku tersebut tidak akan berlangsung lama. (Notoatmodjo, 1993).
2.2.1

Tingkatan Pengetahuan
Selanjutnya menurut Notoatmodjo (1995), pengetahuan mempunyai 6

tingkatan, yaitu :
1. Tahu
Diartikan sebagai mengingat sesuatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.
Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali
terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau
rangsangan yang telah diterima. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu

tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan,


mendefinisikan, dan menyatakan.

2. Comprehension
Diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang
objek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara
benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat
menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan terhadap
objek yang dipelajari.
3. Aplikasi
Diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya. Aplikasi disini dapat
diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode,
prinsip dalam konteks atau situasi lain. Misalnya dapat menggunakan prinsipprinsip sekitar pemecahan masalah didalam pemecahan masalah kesehatan
dari kasus yang diberikan.
4. Analisis
Adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek dalam
komponene-komponen tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut
dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat
dari penggunaan kata kerja seperti dapat menggambarkan, membedakan,
memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.
5. Sintesis

Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau


menghubungkan bagian-bagian ke dalam suatu bentuk keseluruhan yag baru,
dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi
baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya dapat menyusun,
merencanakan, meringkaskan, menyesuaikan dan sebagainya terhadap suatu
teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.
6. Evaluasi
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan
suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang
telah ada.
Pengetahuan tentang ilmu keperawatan sangat diperlukan agar pelayanan
keperawatan yang akan diberikan pada klien mempunyai tujuan jelas dan efektif.
Pengetahuan tersebut memberikan dasar konseptual dan rasional terhadap metode
pendekatan yang dipilih untuk mencapai tujuan-tujuan keperawatan yang spesifik
dan tepat (Dorothy, 1997).
Yang termasuk domain pengetahuan menurut Arikunto (1988) :
7. Tahu (know) diartikan sebagai mengingat kembali dan ini merupakan tingkat
pengetahuan yang paling rendah dengan cara menyebutkan, menguraikan,
mendefinisikan dan menyatakan.
8. Memahami (comprehension), yaitu suatu kemampuan untuk menjelaskan
secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan.

9. Aplikasi (application), yaitu kemampuan untuk menggunakan materi yang


telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya.
10. Analisa (analysis), adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau
suatu obyek ke dalam komponen-komponennya.
11. Sintesis (syntesis), yaitu kemampuan untuk menghubungkan atau menyusun
formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada.
12. Evaluasi (evaluation), yaitu kemampuan untuk melakukan justification atau
penilaian terhadap obyek.
2.2.2

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan


Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan, yakni :

13. Pendidikan
Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup
(Notoatmodjo, 1993). Pendidikan mempengaruhi proses belajar, menurut
Mantra (1994), makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah orang
tersebut untuk menerima informasi. Dengan pendidikan tinggi maka seseorang
akan cenderung untuk mendapatkan informasi, baik dari orang lain maupun
dari media masa, semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula
pengetahuan yang didapat tentang kesehatan.
14. Pengalaman
Pengalaman belajar dalam bekerja yang dikembangkan memberikan
pengetahuan dan keterampilan profesional serta pengalaman belajar selama
bekerja akan dapat mengembangkan kemampuan mengambil keputusan yang

merupakan manifestasi dari keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik yang
bertolak dari masalah nyata dalam bidang keperawatan (Jones dan Beck,
1996).
15. Umur
Dua sikap tradisional mengenai jalannya perkembangan selama hidup.
a. Semakin tua semakin bijaksana, semakin banyak informasi yang dijumpai
dan

semakin

banyak

hal

yang

dikerjakan

sehingga

menambah

pengetahuannya.
b. Tidak dapat mengajarkan kepandaian baru kepada orang yang sudah tua
karena mengalami kemunduran baik fisik dan mental. Dapat diperkiran
bahwa IQ akan menurun sejalan dengan bertambahnya usia, khususnya
pada beberapa kemampuan yang lain seperti misalnya kosa kata dan
pengetahuan umum. Beberapa teori berpendapat ternyata IQ seseorang
akan menurun cukup cepat sejalan dengan bertambahnya usia (Malcom
dan Steve, 1995).

2.3

Sikap
Sikap (attitude) selalu berkenaan dengan obyek tertentu yang dapat

merupakan sikap pandangan atau sikap perasaan dan memberi kecenderungan


kepada seseorang untuk bertindak atau berbuat sesuai dengan sikapnya terhadap
sesuatu obyek sikap (Gerungan, 1978). Menurut Notoatmodjo (1993), sikap
merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap obyek di lingkungan tertentu sebagai
suatu penghayatan terhadap obyek.

2.3.1

Komponen Pokok Sikap


Sikap mempunyai tiga komponen pokok, yaitu :

16. Kepercayaan (keyakinan, ide dan konsep terhadap suatu objek). Kehidupan
emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek.
17. Kecenderungan untuk bertindak.
18. Pengetahuan berpikir, keyakinan dan emosi memegang peranan penting.
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang penting
dalam pembentukan sikap utuh. (Notoatmodjo, 1997).
2.3.2

Tingkatan Sikap
Seperti halnya pengetahuan, sikap terdiri dari berbagai domain, yaitu :

19. Menerima (receiving), yaitu bahwa orang atau obyek mau dari memperhatikan
stimulus yang diberikan.
20. Merespon

(responding),

yaitu

memberikan

jawaban

apabila

ditanya

mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi


dari suatu sikap.
21. Menghargai (valuing), mengajar orang lain untuk mengerjakan atau
mendiskusikan suatu masalah.
22. Bertanggung jawab (responsible), yaitu bertanggung jawab atas segala sesuatu
yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah merupakan sikap yang
paling tinggi.
2.3.3

Struktur Sikap
Struktur sikap terdiri dari tiga komponen yang saling menunjang yaitu

komponen kognitif, afektif dan konatif (Azwar, 1995).

23. Komponen kognitif merupakan representasi apa yang dipercayai seseorang


mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi objek sikap sekali
kepercayaan itu telah terbentuk, maka ia akan menjadi dasar pengetahuan
seseorang mengenai apa yang diharapkan dari objek tertentu. Tentu saja
kepercayaan itu terbentuk justru dikarenakan kurang atau tidak adanya
informasi yang mengenai obyek sikap yang dihadapi.
24. Komponen afektif merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional
kepercayaan subyek terhadap suatu obyek sikap, secara umum komponen ini
disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap komponen afektif ini
banyak dipengaruhi oleh keperayaan atau apa yang kita percayai itu benar dan
berlaku bagi obyek termaksud.
25. Komponen konatif, merupakan aspek kecenderungan berprilaku yag ada
dalam diri seseorang berkaitang dengan obyek sikap yang dihadapinya. Kaitan
ini didasari oleh asumsi bahwa keperayaan dan perasaan banyak
mempengaruhi perilaku, maksudnya bagaimana orang berprilaku dalam situasi
tertentu dan terhadap stimulus tertentu akan banyak ditentukan oleh
bagaimana kepercayaan dan perasaan ini membentuk sikap individual. Karena
itu adalah logis untuk diharapkan bahwa sikap seseorang akan dicerminkannya
dalam bentuk tertentu terhadap obyek. Pengertian kecenderungan perilaku
menunjukkan bahwa komponen afektif meliputi pula bentuk perilaku yang
berupa pernyataan atau perkataan yang diucapkan seseorang.

2.3.4

Pembentukan Sikap
Diantara berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah

pengalaman pribadi, kebudayaan orang lain yang dianggap penting, media massa,
institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi dalam
diri individu (Azwar, 1995). Berikut ini akan diuraikan peranan masing-masing
faktor-faktor tersebut dalam ikut membentuk sikap manusia.
26. Pengalaman pribadi
Apa yang telah dan sedang kita alami ikut membentuk dan mempengaruhi
penghayatan kita terhadap stimulus. Tanggapan akan menjadi salah satu dasar
terbentuknya sikap, untuk dapat mempunyai tanggapan dan penghayatan
seseorang harus mempunyai pengalaman yang berkaitan dengan obyek
psikoligis. Apakah penghayatan itu kemudian akan membetuk sikap positif
atau negatif tergantung dari berbagai faktor.
7.

Pengaruh orang lain yang dianggap penting


Orang lain disekitar kita merupakan salah satu diantara komponen yang ikut
mempengaruhi sikap. Pada umumnya individu cenderung untuk memiliki
sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggap penting.
Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan berafiliasi dan
keinginan untuk menghindari konflik dengan orang lain yang dianggap
penting tersebut.

8.

Pengaruh kebudayaan
Kebudayaan dimana seseorang hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh
besar terhadap pembentukan sikap seseorang. Seseorang mempunyai pola

sikap dan perilaku tertentu dikarenakan mendapat reinforcement (penguatan,


ganjaran) dari masyarakat untuk sikap dan perilaku tersebut.
9.

Media massa
Sebagai sarana komunikasi berbagai bentuk media massa mempunyai
pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang. Dalam
menyampaikan informasi sebagai tugas pokoknya, media massa membawa
pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya
informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan berpikir kognitif
baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Apabila cukup kuat, akan
memberi dasar efektif dalam menilai sesuatu hal, sehingga terbentuklah arah
sikap tertentu.

10.

Lembaga pendidikan dan lembaga agama


Lembaga pendidikan dan lembaga agama sebagai suatu sistem mempunyai
pengaruh dalam pembentukan sikap, dikarenakan keduanya meletakkan dasar
pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan
buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan,
diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya.

11.

Pengaruh faktor emosional


Tidak semua bentuk ditentukan situasi lingkungan dan pengalaman pribadi
seseorang. Kadang-kadang sesuatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang
didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai pengalaman frustasi atau peralihan
bentuk mekanisme pertahan ego, sikap demikian dapat merupakan sikap yang

sementara dan segera berlalu begitu frustasi telah hilang akan tetapi dapat pula
merupakan sikap yang lebih persisten dan lebih lama.

2.4

Konsep Dasar Oral Hygiene


Mulut merupakan bagian pertama dari saluran makanan dan bagian dari

sistem pernafasan (Wolf, 1984). Mulut juga merupakan gerbang masuknya


penyakit (Adam, 1992). Di dalam rongga mulut terdapat saliva yang berfungsi
sebagai pembersih mekanis dari mulut (Taylor, 1997).
Di dalam rongga mulut terdapat berbagai macam mikroorgnisme
meskipun bersifat komensal, pada keadaan tertentu bisa bersifat patogen apabila
respon penjamu terganggu. (Roeslan, 2002). Pembersihan mulut secara alamiah
yang seharusnya dilakukan oleh lidah dan air liur, bila tidak bekerja dengan
semestinya dapat menyebabkan terjadinya infeksi rongga mulut, misalnya
penderita dengan sakit parah dan penderita yagn tidak boleh atau tidak mampu
memasukkan sesuatu melalui mulut mereka (Bouwhuizen, 1996).
Menurut Roeslan (2002), sistem imunitas rongga mulut dipengaruhi oleh :
27. Membran mukosa.
Mukosa rongga mulut terdiri atas epitel skuamosa yang berguna sebagai barier
mekanik

terhadap

infeksi.

Mekanisme

proteksinya

tergantung

pada

deskuamasinya sehingga bakteri sulit melekat pada sel epitel dan derajat
keratinisasinya yang sangat efisien menahan penetrasi mikrobial. (Lehner,
1992, dikutip dari Roeslan, 2002)
28. Nodus Limfatik

Jaringan lunak rongga mulut berhubungan dengan nodus limfatik ekstra oral
dan agregasi limfoid intra oral. Kapiler limfatik yang terdapat pada permukaan
mukosa lidah, dasar mulut, palatum, pipi dan bibir, mirip yang berasal dari
ginggiva dan pulpa gigi. Kapiler ini bersatu membentuk pembuluh limfatik
besar dan bergabung dengan pembuluh lmfatik yangberasal dari bagian dalam
otot lidah dan struktur lainnya. Di dalam rongga mulut terdapat tonsil palatel,
lingual dan faringeal yang banyak mengandung sel B dan sel T. (Lehner,
1992, dikutip dari Roeslan, 2002).
12.

Saliva
Sakresi saliva merupakan perlindungan alamiah karena fungsinya memelihara
jaringan keras dan lunak rongga mulut agar tetap dalam keadaan fisiologis.
Saliva yang disekresikan oleh kalenjar parotis, submandibularis dan beberapa
kelenjar saliva kecil yang tersebar dibawah mukosa, berperan dalam
membersihkan rongga mulut

dari debris dan mikroorganisme, selain

bertindak sebagai pelumas pada saat mengunyah dan berbicara (Lehner, 1992,
dikutip dari Roeslan, 2002).
13.

Celah Ginggiva
Epitel jangsional dapat dilewati oleh komponen seluler dan humoral dari
daerah dalam bentuk cairan celah ginggiva (CCG). Aliran CCG merupakan
proses fisiologik atau meriapakan espon terhadap inflamasi (Lehner, 1992,
dikutip dari Roeslam, 2002).
Oral hygiene merupakan tindakan untuk membersihkan dan menyegarkan

mulut, gigi dan gusi (Clark, 1993). Menurut Taylor et al (1997), oral hygiene

adalah tindakan yang ditujukan untuk : (1) menjaga kontiunitas bibir, lidah dan
mukosa membran mulut, (2) mencegah terjadinya infeksi rongga mulut dan (3)
melembabkan mukosa membran mulut dan bibir. Sedangkan menurut Clark
(1993), oral hygiene bertujuan untuk : (1) mencegah penyakit gigi dan mulut, (2)
mencegah penyakit yang penularannya melalui mulut, (3) mempertinggi daya
tahan tubuh, dan (4) memperbaiki fungsi mulut untuk meningkatkan nafsu makan.
Pada

penderita

yang

tidak

berdaya

perawat

tidak

boleh

lupa

memperhatikan perhatian khusus pada mulut penderita. Pengumpulan lendir dan


terbentuknya kerak pada gigi dan bibir dikenal sebagai sordes. Jika terbentuk
sordes atau lidahnya berlapis lendir menunjukan kalau kebersihan rongga
mulutnya kurang. (Wolf, 1984).
2.4.1

Prosedur Pelaksanaan Tindakan Oral Hygiene


Menurut Clark, (1991), prosedur pelaksanaan tindakan oral hygiene

sebagai berikut :
29. Persiapan alat :
a. Kom
b. Kapas lidi
c. Bengkok
d. NaCl 0,9 % atau larutan antiseptik
e. Handschoon
f. Deppres
g. Borax glyserin
14.

Persiapan penderita

a. Penderita diberitahu prosedur yang akan dilakukan


b. Posisi kepala miring kanan/kiri.
15.

Pelaksanaan
a. Perawat cuci tangan
b. Dekatkan alat-alat ke tempat penderita
c. Posisikan kepala miring kanan/kiri
d. Pakai sarung tangan
e. Tuang NaCl 0,9 % pada kom/mangkuk
f. Celup kapas lidi pada cairan NaCl 0,9 %
g. Gunakan kapas lidi untuk membersihkan gigi tiap bagian gigi dalam dan
luar masing-masing 4 5 kali.
h. Bersihkan bagian dalam pipi (check pouches).
i. Lakukan massase gusi dengan kapas lidi
j. Oleskan borak glyserin / pelembab bibir lainnya
k. Rapikan penderita
l. Perawat cuci tangan
m. Lakukan dokumentasi.
Catatan :
a. Apabila penderita menggunakan gigi palsu dilepas dahulu
b. Apabila ada penumpukkan sekret dilakukan suctioning terlebih dahulu.

Petunjuk Pengkajian Untuk Perencanaan Perawatan Penderita


Yang Memerlukan Perhatian Khusus Pada Mulut

Pengobatan

Pengkajian Oral
Ketergantungan
Mukosa membran
Hidrasi
Independent
intake, sehat
*
1
1
1
Makan melalui
- Gigi palsu
Memerlukan
Terapi obat
mulut
- Ada krusta/sordes
bantuan
2
2
2
2
- Caries gigi
Terapi oksigen
Dehidrasi
Total dependent
- Penyakit gusi
(Dikutip dari Jenifer E. Clark, (1993), Clinical Nursing Manual, Prentice Hall Inc
Ltd, Trownbridge).
2.5
2.5.1

Status Hidrasi

Konsep Dasar Infeksi Rongga Mulut


Definisi
Infeksi rongga mulut adalah suatu inflamasi pada mukosa mulut dengan

berbagai penyebab (Taylor et al, 1997). Menurut Lynch (1992), mukosa mulut
merupakan bagian yang tipis sehingga mudah sekali terkena gigi geligi maupun
makanan serta mengalami infeksi sekunder oleh flora mulut.
Bentuk infeksi rongga mulut dapat berupa stomatitis, gingivitis, glositis,
cheilosis dikemukakan oleh Taylor et al (1997), stomatitis diartikan sebagai
inflamasi pada mukosa rongga mulut. Glositis adalah inflamasi pada lidah. Wolf
(1984), menyebutkan bahwa gingivitis adalah radang pada gusi sedangkan
cheilosis menurut Taylor et al (1997), berarti terjadinya ulserasi pada bibir (pecahpecah kemerahan pada sudut bibir).
2.5.2

Penyebab
Rongga mulut dihuni oleh berbagai jenis mikroorganisme yang

membentuk mikroflora komensal. Mikroflora ini biasanya mengandung bakteri,


mikroplasma, jamur dan protozoa yang kesemuanya dapat menimbulkan infeksi

oportunistik simptomatik tergantung dari faktor-faktor lokal atau daya penjamu


yang rendah. (Lewis dan Lamey, 1998).
Dari berbagai pendapat tentang penyebab infeksi rongga mulut, Taylor
(1995) membaginya menjadi 6 penyebab, yaitu :
30. Bakteri
Bakteri endogenous terutama terlibat dalam dua penyakit manusia yang paling
umum yaitu penyakit periodontal dan caries gigi. Penderita mengeluh tentang
rasa sakit pada mukosa mulut diiringi terjadinya perubahan pengecapan,
halitosis, serta limfadenopati. (Lewis dan Lamey, 1998).
16.

Virus
Banyak virus yang dapat menimbulkan penyakit oral dan perioral. Berjenisjenis virus, seperti kelompok herpes menimbulkan erosi atau ulserasi. Tetapi
jenis lainnya seperti virus papilloma dapat menimbulkan pertumbuhan mukosa
yang berlebihan. Riset-riset mutakhir ditujukan untuk mengetahui peranan
virus dalam menimbulkan berbagai penyakit, termasuk Lichen planus dan
karsinoma sel skuamosa. Paramikovirus dan virus Epstein-Barr telah
dinyatakan terlibat dalam terjadinya kelainan kelenjar saliva. (Lewis dan
Lamey, 1998).

17.

Trauma Mekanis
Kerusakan fisik pada mukosa mulut dapat disebabkan oleh permukaan yang
tajam atau tepi-tepi protesa, peralatan ortodonik, kebiasaan menggigit pipi
atau gigi yang fraktur. Ulserasi oral juga dapat timbul karena tergigit sewaktu
kejang. (Lewis dan Lamey, 1998).

18.

Iritasi
Iritasi kimiawi pada mukosa dapat menimbulkan ulserasi. Penyebab umum
dari ulserasi jenis ini adalah tablet aspirin atau krim sakit gigi yang diletakkan
pada gigi-gigi yang sakit atau dibawah protesa (Lewis dan Lamey, 1998).

19.

Definisi Nutrisi
Sudah lama diketahui bahwa gejala-gejala oral merupakan indikasi awal
adanya kelainan haematologis atau defisiensi nutrisi yang mendasarinya.
Kekurangan atau defisiensi zat besi, vitamin B12 dan asam folat dapat
mengakibatkan terjadinya penipisan mukosa mulut, sehingga pasien rentan
terhadap stomatitis aptosa rekuren. (Lewis dan Lamey, 1998).

20.

Infeksi Sistemik
Kondisi-kondisi menular seperti tuberkulosis, gonorea, sifilis serta infeksi
HIV dapat menimbulkan pengaruh pada mukosa mulut. (Lewis dan Lamey,
1998).
Selain 6 penyebab diatas Lewis dan Lamey (1998), menyebutkan bahwa

jamur dapat menimbulkan infeksi rongga mulut. Berbagai jamur dapat


menimbulkan penyakit orofasial sebagian besar kondisi tersebut disebabkan oleh
kandida. Kira-kira 40 % dari populasi mempunyai spesies kandida didalam mulut
dalam jumlah kecil sebagai bagian normal dari mikroflora oral. Terkolonisasinya

sudut mulut oleh kandida mungkin diakibatkan oleh penyebaran langsung


mikroorganisme flora mulut.
2.5.3

Gejala Infeksi Rongga Mulut


Gejala infeksi rongga mulut beragam tergantung dari penyebabnya.

Namun secara umum Lewis dan Lamey (1998), menyebutkan gejala infeksi
rongga mulut berupa :
1. Adanya ulkus baik tunggal maupun multiple.
Ahmad Ramali dan Pamoentjak (1992), menyebutkan bahwa ulkus merupakan
luka terbuka pada permukaan kulit dan selaput lendir. Ulserasi traumatik
memberi gambaran khas berupa ulkus tunggal yang tidak teratur. Lesi intra
oral terbentuk pada permukaan dorsal lidah atau ditempat lain pada infeksi
karena bakteri. Infeksi karena jamur ditunjukkan dengan adanya plak yang
tidak melekat dan mudah terkelupas memperlihatkan mukosa eritematos
dibawahnya. (Lewis dan Lamey, 1998).

2. Rasa sakit (nyeri)


Price dan Wilson (1993) menyebutkan rasa sakit dari reaksi peradangan
mungkin ditimbulkan oleh berbagai cara. Perubahan pH lokal atau konsentrasi
ion-ion tertentu dapat merangsang ujung syaraf. Pengeluaran zat kimia
tertentu seperti histamin atau zat kimia bioaktif lainnya dapat merangsang
saraf, selain itu peningkatan tekanan lokal dapat menimbulkan rasa sakit.
3. Panas

Panas merupakan suatu reaksi peradangan pada permukaan badan yang dalam
keadaan normal lebih dingin dari 37 C. Daerah peradangan pada kulit
menjadi lebih panas dari sekelilingnya karena lebih banyak darah yang
disalurkan dari dalam tubuh ke permukaan daerah yang terkena daripada yang
disalurkan ke daerah yang normal. (Price dan Wilson, 1993).
4. Limfadenopati
Merupakan penyumbatan atau bendungan pada kelenjar limfe (Ahmad Ramali
dan Pamoentjak, 1992). Sedangkan Wolf (1982), menyebutkan bahwa
limfadenopati menggambarkan setiap kelainan kelenjar limfe, tidak saja
menyatakan limfadenitis tetapi pada setiap pembesaran kelenjar limfe dan
kebanyakan reaksi-reaksi kelenjar disertai dengan pembengkakan. Bila suatu
daerah terkena radang, biasanya terjadi kenaikan yang menyolok pada aliran
limfe daerah itu.
5. Halitosis
Nafas yang berbau busuk, dapat bersal dari faring, sampai saluran nafas
bawah. Biasanya disebabkan oleh karies gigi atau penyakit gusi dan hygiene
yang buruk. Bau amis dan apek pada penyakit hati yang berat, bau metalik
pada uremia dan bau busuk pada abses paru (Burnside dan McGlynn, 1993).

2.6
2.6.1

Konsep Dasar Stroke


Definisi
Stroke adalah awitan defisit neurologis yang berhubungan dengan

penurunan aliran darah serebral yang disebabkan oleh oklusi atau stenosis

pembuluh

darah

karena

embolisme,

trombosis,

atau

hemorragi

yang

mengakibatkan iskemia otak (Tucker et al, 1998)


2.6.2

Jenis stroke
Menurut Chandra (1994), stroke dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu

31. Stroke perdarahan, terdiri dari :


a. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan yang terjadi dalam jaringan otak, penyebab tersering
perdarahan intraserebral adalah hipertensi kronik yang mengakibatkan
perubahan struktur dinding pembuluh darah menjadi lemah dan mudah
robek. (Islam, 2000).
b. Perdarahan Subaraknoid
Penyebab perdarahan spontan pada ruang subaraknoid adalah pecahnya
aneurisma sakular di dasar otak. Yang sering mengakibatkan pecahnya
aneurisma adalah meningkatnya tekanan atau aliran darah. Hal tersebut
dapat terjadi pada saat aliran darah mengangkat benda berat, olah raga,
buang air besar, senggama dan aktivitas fisik yang berat lainnya.
Tumpahnya aliran ke dalam liquor cerebrospinal di ruang sub arachnoid
akan menimbulkan gejala nyeri kepala yang sangat hebat, muntah,
penururnan kesadaran dan tanda rangsangan selaput otak. (Islam, 2000).
32. Stroke Infark (iskemik)
Stroke infakr/iskemik secara patogenesis dibagi menjadi :
a. Stroke trombotik

Stroke iskemis yang disebabkan karena trombosis pada arteri karotik


interna secara langsung masuk ke arteria serebri madia (Chauda, 1994).
Proses trombosis berawal dari rusaknya lapisan endotel pembuluh darah.
Terkelupasnya endotel dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain
pecahnya plak ateromatus, berkaitan dengan hipertensi, merokok,
hiperkolesterolemia, diabetes mellitus dan sebagainya (Islam, 2000).
b. Stroke embolik
Stroke iskemik yag disebabkan karena embolik yang pada umumnya
berasal dari jantung. (Chandra, 1994). Selain berasal dari jantung dapat
pula berasal dari pembuluh darah besar seperti arteria karotis, arteria
vertebralis dan aorta. (Islam, 2000).
2.6.3

Patofisiologi Terjadinya Gangguan Perawatan Diri Penderita Stroke.


Akibat stroke dapat mempengaruhi gerakan tubuh. Hemiparese atau

hemiplegia dapat terjadi sebagai akibat dari kerusakan motorik otak (Hudak dan
Gallo, 1994), sehingga penderita dapat mengalami hypotonia dan tidak mampu
melawan gaya gravitasi sehingga ekstremitas cenderung jatuh kesisi (Donna dan
Marylin, 1991). Selain itu penderita dapat mengalami gangguan kontrol volunter
terhadap gerakan dalam menghadapi kesulitan perawatan diri (Hudak dan Gallo,
1994).
Gerakan volunter terjadi akibat dari hubungan sinapsis dari kedua
kelompok neuron yang besar. Sela saraf pada kelompok pertama muncul pada
bagian posterior lobus frontalis yang disebut Girrus presentral atau Strip
Motorik. Akson dari neuron motorik atas ini berakhir pada batang otak atau

ujung anterior kornu abu-abu pada berbagai tingkat medulla spinalis. Disini kedua
bagian saraf ini bersinapsis dengan kelompok neuron-neuron motorik bawah.
Masing-masing neuron dari kelompk neuron ini mentransmisikan informasi
tertentu pada gerakan, sehingga penderita akan menujukkan gejala khusus jika
salah satu neuron ini cidera (Hudak dan Gallo, 1994).
Kerusakan pada neuron motorik atas mengakibatkan kehilangan kontrol
terhadap gerakan volunter dan kehilangan inhibisi neuron motorik bawah.
Sedangkan kerusakan neuron motorik bawah mengakibatkan kehilangan gerakan
otot volunter (Hudak dan Gallo, 1004), menimbulkan terjadinya gangguan
mobilitas fisik yang mengakibatkan penderita mengalami gangguan diri
(Carpenito, 2000). Intervensi keperawatan harus berdasarkan pengkajian fungsi
morotik pasien dan dampak pada pola hidup (Hudak dan Gallo, 1994).
Penderita mengalami gangguan pemenuhan perawatan diri yang meliputi
(1)

ketidakmampuan

membawa

makanan

dari

piring

ke

mulut,

(2)

ketidakmampuan untuk mandi dan membersihkan mulut, (3) ketidakmampuan


berpakaian dan (4) kesulitas menyelesaikan tugas toileting (Doenges, Moorhouse
dan Geissler, 1999).
Perawat berperan sekali dalam membantu penderita untuk makan, buang air
besar/kecil, berpakaian, mandi, gosok gigi, berjalan dari tempat tidur ke kursi dan
berkomuniksi, baik secara total maupun sebagian (Lumbantobing, 1994). Perawat
juga perlu memberikan pendidikan kesehatan/penyuluhan kepada keluarga
penderita tentang perawatan penderita sepulang dari rumah sakit meliputi; jadwal
pemberian obat, cara membantu mobilisasi penderita dan keterampilan merawat
diri penderita. Pada akhirnya diharapkan penderita dan anggota keluarga mampu
memahami beradaptasi dengan alat-alat untuk meningkatkan meterampilan
merawat diri secara mandiri. (Donna dan Marilyn, 1991)

Anda mungkin juga menyukai