PEMBAHASAN
Pendidikan kesehatan adalah suatu upaya atau kegiatan untuk menciptakan perilaku
masyarakat yang kondusif untuk kesehatan. Artinya, pendidikan kesehatan berupaya agar
masyarakat menyadari atau mengetahui bagaimana cara memelihara kesehatan mereka,
bagaimana menghindari atau mencegah hal–hal yang merugikan kesehatan mereka dan
kesehatan orang lain, kemana seharusnya mencari pengobatan jika sakit, dan sebagainya.
(Notoatmodjo, 2007: 12).
Perilaku merupakan faktor terbesar kedua setelah faktor lingkungan yang mempengaruhi
kesehatan individu, kelompok, atau masyarakat (Blum:1974). Oleh sebab itu dalam rangka
membina dan meningkatkan kesehatan masyarakat, maka intervensi atau upaya yang ditunjukan
kepada factor perilaku ini sangat strategis. Intervensi terhadap faktor perilaku ini secara garis
besar dapat dilakukan melalui dua upaya yang saling bertentangan. Masing-masing upaya
tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Kedua upaya tersebut dilakukan melalui :
1. Tekanan (enforcement)
Upaya agar masyarakat mengubah perilaku atau mengadopsi perilaku kesehatan dengan cara-
cara tekanan, paksaanatau koersi (coertion). Upaya enforcement ini bisa dalam bentuk undang-
undang atau peraturan- peraturan, instruksi- instruksi, tekanan-tekanan (fisik atau non-fisik)
sanksi-sanksi, dan sebagainya.
Pendekatan atau cara ini biasanya menimbulkan dampak yang lebih cepat terhadap perubahan
perilaku. Tetapi pada umumnya perubahan perilaku baru yang dihasilkan tidak langgeng karena
perubahan perilaku ini tidak didasari oleh kesadaran yang tinggi terhadap tujuan perilaku
tersebut.
2. Edukasi (Education)
Upaya agar masyarakat berperilaku atau mengadopsi perilaku kesehatan dengan cara persuasi,
bujukan, himbauan, ajakan, memberikan informasi, memberikan kesadaran, dan sebagainya,
melalui kegiatan yang disebut pendidikan atau penyuluhan kesehatan. Memang dampak yang
timbul dari cara ini terhadap perubahan perilaku masyarakat akan memakan waktu lama,
dibandingkan dengan cara koersi. Namun demikian bila perilaku tersebut berhasil diadopsi
masyarakat, maka akan langgeng, bahkan selama hidup dilakukan. Agar intervensi atau upaya
tersebut efektif, maka sebelum dilakukan intervensi perlu dilakukan diagnosis atau analisis
terhadap masalah perilaku tersebut.
Output yang diharapkan dari pendidikan khususnya pendidikan kesehatan adalah
terbentuknya perilaku baru yang sesuai dengan harapan pendidikan yang bermanfaat dan
memberikan nilai bagi upaya peningkatan dan pemeliharaan kesehatan. Beberapa dimensi
perilaku tersebut adalah sebagai berikut :
1. Perubahan Perilaku : Perilaku individu, keluarga dan masyarakat yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai kesehatan diubah menjadi perilaku yag mengandung nilai-nilai
kesehatan, atau dari perilaku negatif ke perilaku positisif. Misalnya kebiasaan merokok,
minum minuman keras, ibu hamil yang tidak memeriksakan kehamilannya pada petugas
kesehatan, termasuk bermalasan-malasan juga merupakan salah satu perilaku yang harus
diubah, dan sebagainya.
2. Pembinaan Perilaku : Pembinaan ini ditujukan kepada perilaku individu, keluarga dan
masyarakat yang sudah sehat agar dipertahankan. Misalnya olahraga teratur, makan
dengan menu seimbang, membuang sampah pada tempatnya, dan sebagainya.
3. Pengembangan Perilaku : pengembangan perilaku sehat ditujukan membiasakan hidup
sehat pada usia dini. Misalnya membiasakan anak untuk mencuci angan sebelum makan
dan setelah melakukan aktifitas fisik, mengosok gigi dan mandi secara teratur, dan
sebagainya.
b. Sikap (attitude)
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap
suatu stimulus atau obyek. Sikap terdiri dari berbagai tingkatan:
1) Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan stimulus
yang diberikan (obyek).
2) Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas
yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.
3) Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah
adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.
4) Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala
resiko merupakan sikap yang paling tinggi.
c. Praktik atau tindakan (practice)
Praktik ini mempunyai beberapa tingkatan:
1) Persepsi (perception)
Mengenal dan memilih berbagai obyek sehubungan dengan tindakan yang akan
diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama.
2) Respon terpimpin (guided response)
Dapat dilakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan
contoh adalah merupakan indikator praktik tingkat dua.
3) Mekanisme (mecanism)
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis,
atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktik
tingkat tiga.
4) Adopsi (adoption)
Adopsi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik.
Artinya tindakan itu sudah dimodifikasikannya tanpa mengurangi kebenaran
tindakan tersebut.
Menurut Undang-undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992 dan WHO, tujuan pendidikan
kesehatan adalah meningkatkan kemampuan masyarakat untuk memelihara dan meningkatkan
derajat kesehatan; baik secara fisik, mental dan sosialnya, sehingga produktif secara ekonomi
maupun social, pendidikan kesehatan disemua program kesehatan; baik pemberantasan penyakit
menular, sanitasi lingkungan, gizi masyarakat, pelayanan kesehatan, maupun program kesehatan
lainnya (Mubarak, 2009).
5) Rehabilitasi (rehabilitation)
Pada tingkat ini pendidikan kesehatan diperlukan karena setelah sembuh dari suatu
penyakit tertentu, seseorang mungkin menjadi cacat. Untuk memulihkan kecacatannya
itu diperlukan latihan – latihan. Untuk melakukan suatu latihan yang baik dan benar
sesuai program yang ditentukan, diperlukan adanya pengertian dan kesadaran dari
masyarakat yang bersangkutan.
d. Sasaran dan tujuan
Sasaran utama pendidikan / promosi kesehatan adalah masyarakat khususnya perilaku
masyarakat. Berdasarkan tahapan upaya promosi kesehatan, maka sasaran digolongkan dalan 3
(tiga) kelompok yaitu :
1) Sasaran Primer : ditujukan kepada masyarakat langsung sebagai objek program,
misalnya ibu hamil dan menyusui (untuk progran KIA/KB) ataupun anak sekolah
(untuk program kesehatan remaja). Upaya ini sejalan dengan strategi pemberdayaan
masyarakat (empowerment).
2) Sasaran Sekunder : ditujukan kepada para tokoh masyarakat dan tokoh agama dengan
harapan agar menjadi jembatan dalam penyebarluasan informasi kesehatan. Upaya ini
sejalan dengan strategi dukungan sosial (social support).
3) Sasaran Tersier : ditujukan kepada para pembuat kebijakan terkait kesehatan dengan
harapan agar kebijakan atau kepuusan yang dihasilkan berdampak positif terhadap
kesehatan. Upaya ini sejalan dengan strategi mempengaruhi (advocate).
D. Metode Pendidikan Kesehatan
Dibawah ini akan diuraikan beberapa metode pendidikan individual, kelompok, dan massa
(public). (Notoatmodjo, 2003: 104)
a. Metode pendidikan individual (perorangan)
Dalam pendidikan kesehatan, metode pendidikan yang bersifat individual ini digunakan
untuk membina perilaku baru, atau seseorang yang telah mulai tertarik kepada suatu perubahan
perilaku atau inovasi. Dasar digunakannya pendekatan individual ini disebabkan karena setiap
orang mempunyai masalah atau alasan yang berbeda – beda sehubungan dengan penerimaan atau
perilaku baru tersebut. Bentuk dari pendekatan ini:
1) bimbingan dan penyuluhan (guidance and counseling)
2) wawancara (interview).
b. Metode pendidikan kelompok
Dalam memilih metode pendidikan kelompok harus mengingat besarnya kelompok sasaran
serta tingkat pendidikan formal pada sasaran. Untuk kelompok yang besar metodenya akan lain
dengan kelompok kecil. Efektifitas suatu metode akan tergantung pula pada besarnya sasaran
pendidikan.
1) Kelompok besar
Yang dimaksud kelompok besar disini adalah apabila peserta penyuluhan itu lebih dari
15 orang. Metode yang baik untuk kelompok besar ini antara lain ceramah dan
seminar.
2) Kelompok kecil
Apabila peserta kegiatan itu kurang dari 15 orang disebut kelompok kecil. Metode-
metode yang cocok untuk kelompok kecil ini antara lain diskusi kelompok, curah
pendapat (brain storming), bola salju (snow bolling), kelompok kecil-kecil (bruzz
group), memainkan peran (role play), permainan simulasi (simulation game).
c. Metode pendidikan massa (public)
Metode pendidikan (pendekatan) massa untuk mengkomunikasikan pesan-pesan kesehatan
yang ditujukan kepada masyarakat yang sifatnya massa atau public, maka cara yang paling tepat
adalah pendekatan massa. Pada umumnya bentuk pendekatan (cara) massa ini tidak langsung.
Biasanya menggunakan atau melalui media massa. Contoh metode ini adalah ceramah umum
(public speaking).
3. Kepercayaan
Kepercayaan klien terhadap suatu kondisi dapat mempengaruhi proses asuhan
keperawatan. Contohnya adalah The Menopause Representations Questinnaire
yang mengukur pengetahuan individu mengenai identitas, konsekuensi, dan
persepsi mengenai kontrol dan penyembuhan, hal ini bisa mempengaruhi asuhan
keperawatan. Kepercayaan yang tidak benar akan suatu kondisi kelien bisa jadi
mempengaruhi proses penyembuhan klien.
4. Manajemen diri
Contoh pengukuran tolak ukur manajemen diri ini adalah Heart Failure
Questionnaire yang menilai bagaimana perilaku seseorang dengan penyakit
jantung dan apa yang mereka lakukan saat gejalanya datang. Hasilnya adalah
orang yang lebih berpengalaman pada kesehariannya mencoba untuk mengurangi
konsumsi sodium.Hal ini adalah contoh penilaian manajemen diri yang baik.
b. Evaluasi komunitas
Perawat komunitas akan mengukur apakah rencana asuhan keperawatan yang
telah dibuat membuahkan hasil yang dilakukan pada fase evaluasi ini. Komunitas
maupun perawat, mengukur keberhasilan ini berdasarkan objektif yang tercapai.
Perawat memiliki tanggung jawab sepenuhnya terhadap hasil ini, namun, dengan
berkolaborasi dengan anggota komunitas serta tenaga kesehatan lain, akan membuat
hasil evaluasi yang lebih valid (Edelmen, Mandle, & Kudzuma, 2010).
Rencana asuhan keperawatan yang melibatkan diagnosis keperawatan, ekspektasi
hasil, dan intervensi, membutuhkan data menganai bagaimana komunitas tersebut
merespon terhadap rencana asuhan keperawatan yang dibuat.Hasil dari respon tersebut
dibandingkan antara sebelum dan sesudah intervensi.Perbandingan ini akan
memberikan gambaran mengenai seberapa efektif rencana asuhan keperawatan
tersebut (Edelmen, Mandle, & Kudzuma, 2010)
Frekuensi penilaian evaluasi juga tergantung akan situasi, seberapa cepat
perubahan diharapkan, dan objektifnya. Contoh, seseorang yang berdarah akan
membutuhkan evaluasi dengan interval yang singkat, sementara perubahan
perilaku komunitas akan berjalan perlahan dan membutuhkan metode evaluasi jangka
panjang. Interval evaluasi berbeda-beda tergantung apakah objektifnya jangka pendek
atau jangka panjang (Edelmen, Mandle, & Kudzuma, 2010).
c. Evaluasi keluarga
Fungsi dari evaluasi ini adalah untuk menilai bagaimana keluarga merespon
terhadap rencana asuhan keperawatan dan apakah intervensi ini berhasil. Tujuan
dan objektif yang spesifik terhadap suatu kasus akan mempermudah hasil evaluasi
dibandingkan evaluasi yang umum. Kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi hasil
intervensi dengan tolak ukur simpel adalah seperti perubahan berat badan,
peningkatan kapasitas paru-paru dari program olahraga, Sementara itu, hasil dari
promosi kesehatan dan pencegahan penyakit lainnya tidak semudah itu untuk diukur
atau dinilai, namun harus tetap dilakukan dalam tahapan asuhan keperawatan.
Saat menilai faktor-faktor seperti kepercayaan, perspektif pribadi, atau peran
dalam suatu hubungan, perawat harus mengevaluasi berdasarkan pendapat keluarga
tersebut apakah mereka merasa intervensi itu berhasil atau tidak.Setelah itu, data yang
diperoleh dari keluarga digunakan untuk dibandingkan dengan informasi saat awal
pengkajian untuk dapat menentukan apakah ada perubahan (Edelmen, Mandle, &
Kudzuma, 2010).
Tolak ukur berikut ini dapat digunakan untuk menentukan keefektifan
sebuah intervensi, yaitu: 1) perubahan pola interaksi, 2) komunikasi efektif, 3)
kemampuan untuk mengekspresikan emosi, 4) kepekaan terhadap kebutuhan anggota
keluarga lain, dan 5) kemampuan memecahkan masalah. Tolak ukur tersebut dapat
dibandingkan dengan kondisi keluarga pada saat pengkajian awal.Hasil dari penilaian
tolak ukur ini masih bisa digunakan untuk menilai potret keluarga bahkan hingga hari
ini, saat keluarga sudah lebih bervariasi (Edelmen, Mandle, & Kudzuma, 2010).
Saat melakukan perencanaan asuhan keperawatan, perawat harus menentukan
kriteria terkait norma dasar yang diharapkan untuk muncul, hal ini adalah dasar dari
hasil evaluasi. Bila kriteria yang dibuat semakin objektif, maka hasil evaluasi akan
semakin valid. Saat tujuan dan objektif tercapai, maka masalah sudah terselesaikan.
Sebaliknya, bila tujuan tidak tercapai, maka perawat harus mengkaji ulang apa
penyebab tidak tercapainya tujuan dan merencanakan intervensi alternative.
Kesalahan bisa dari faktor keluarga maupun faktor pelayanan kesehatan itu
sendiri seperti kekurangan staf ahli atau kekurangan dalam pendanaan (Edelmen,
Mandle, & Kudzuma, 2010).