Anda di halaman 1dari 39

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengetahuan

1. Pengertian pengetahuan

Notoatmodjo ( 2003 ), mendefinisikan pengetahuan merupakan

hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan

terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera

manusia, yakni: indera penglihatan, pendengaran, penciuman, perasaan,

dan perabaan. Pengetahuan manusia sebagian besar diperoleh melalui

penglihatan dan pendengaran serta sedikit yang diperoleh melalui

penciuman, perasaan, dan perabaan. Pengetahuan atau kognitif merupakan

domain yang sangat penting dalam bentuk tindakan seseorang (overt

behavior). Pengetahuan adalah hasil dari suatu produk sistem pendidikan

dan akan mendapatkan pengalaman yang nantinya akan memberikan suatu

tingkat pengetahuan atau ketrampilan dapat dilakukan melalui pelatihan.

Pengetahuan diperoleh dari proses belajar, yang dapat membentuk

keyakinan tertentu.
9

2. Tingkatan pengetahuan

Tingkatan pengetahuan di dalam domain kognitif terdapat 6 tingkatan

yaitu :

a. Tahu (Know)

Tahu dapat diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah

dipelajari sebelumnya, termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini

adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu spesifik dari seluruh

bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab

itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.

Contoh : hanya dapat menyebutkan pengertian patient safety.

b. Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan

secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat

mengintepretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah

paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan,

menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya

terhadap objek yang dipelajari. Contoh : dapat menjelaskan mengapa

program patient safety perlu untuk diterapkan secara benar.

c. Aplikasi (Aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi

yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real ( sebenarnya ).

Aplikasi di sini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaaan


10

hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks

atau situasi yang lain. Contoh : dapat menggunakan prinsip-prinsip

siklus pemecahan masalah di dalam pemecahan masalah kesehatan

dari kasus yang diberikan.

d. Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau

suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam

suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama

lain. Kemampuan analisis ini contohnya dapat dilihat dari penggunaan

kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan),

membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.

e. Sintetis (Synthetis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan

yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk

menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Contoh :

dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan, dapat

menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-

rumusan yang telah ada.

f. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi

atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian itu


11

berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan

kriteria-kriteria yang telah ada. Contoh : dapat menafsirkan sebab-

sebab mengapa keselamatan pasien itu harus diterapkan dalam

pelayanan kepada pasien.6

3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut Notoatmodjo

(2003), yaitu:

a. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan yaitu kemampuan belajar yang dimiliki manusia

merupakan bekal yang sangat pokok. Jenis pendidikan adalah macam

jenjang pendidikan formal yang bertujuan untuk meningkatkan

kemampuan belajar siswa, sehingga tingkat pendidikan dan jenis

pendidikan dapat menghasilkan suatu perubahan. Informasi juga

mempengaruhi pengetahuan yaitu dengan kurangnya informasi tentang

hubungan.

b. Budaya

Budaya sangat berpengaruh terhadap hubungan seksual selama masa

kehamilan, karena setiap budaya yang baru akan disaring sesuai

tidaknya dengan budaya yang ada dan agama yang dianut.

c. Pengalaman

Pengalaman di sini berkaitan dengan umur. Pengalaman akan lebih

luas sebagaimana umur yang semakin bertambah.


12

B. Sikap

1. Pengertian Sikap

Menurut Azwar (2009) sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau

reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan

mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung

atau tidak memihak (unfavourable) pada objek tersebut. Sikap merupakan

semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara

tertentu. Dapat dikatakan bahwa kesiapan yang dimaksudkan merupakan

kecenderungan petontial untuk bereaksi dengan cara tertentu apabila

individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya

respons.

Sikap seseorang adalah suatu predisposisi (keadaan mudah

dipengaruhi) untuk memberikan tanggapan terhadap rangsang lingkungan

yang dapat membimbing atau memulai tingkah laku orang tersebut. Secara

difinitif sikap berarti suatu keadaan jiwa (mental) dan keadaan pikir yang

dipersiapkan untuk memberi tanggapan terhadap objek yang diorganisir

melalui pengalaman serta mempengaruhi secara langsung atau tidak

langsung pada perilaku.6

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari

seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata

menunjukan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu


13

dalam kehidupan sehari-hari nerupakan reaksi yang bersifat emosional

terhadap stimulus sosial. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup,

bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka. 6

2. Fungsi Sikap

Fungsi sikap menurut Sigit (2003), dalam Perilaku Organisasional adalah :

a. Penyesuaian atau pemanfaatan artinya menghadapi perlakuan dari

pihak lain, jika diperlakukan baik, maka sikapnya positif dan

sebaliknya.

b. Pertahanan ego artinya bersikap tertentu terhadap sesuatu objek

apakah positif, netral atau negatif dan sikap ini dipertahankan dalam

waktu relatif lama.

c. Pernyataan nilai artinya ada komponen afektifnya berisi penilaian

negatif-positif atau baik-buruk.

d. Pengetahuan artinya orang yang bersikap terhadap suatu objek tentu

sedikit atau banyak telah memiliki pengetahuan tentang objek yang

disikapinya itu.

3. Tingkatan Sikap

Berbagai tingkatan sikap antara lain:

a. Menerima (Receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan

stimulus yang diberikan (objek). misalnya : sikap perawat terhadap

program patient safety dapat dilihat dari kesediaan dan perhatian


14

perawat terhadap sosialisasi tentang pentingnya program patient

safety.

b. Merespon (Responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan meyelesaikan

tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan

suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang

diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti

bahwa orang menerima ide tersebut.

c. Menghargai (Valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu

masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. misalnya : seorang

perawat yang mengajak perawat yang lain untuk berperilaku

menerapkan patient safety adalah bukti bahwa perawat tersebut telah

mempunyai sikap positif terhadap program patient safety.

d. Bertanggungjawab (Responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan

segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi. misalnya, seorang

perawat mau menerapkan keselamatan pasien, meskipun mendapat

tantangan dari teman sejawatnya.


15

4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Sikap

Faktor yang mempengaruhi sikap menurut Azwar (2009) adalah:

a. Pengalaman pribadi

Apa yang telah kita alami akan ikut membentuk dan mempengaruhi

penghayatan kita terhadap stimulus sosial.

b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting

Orang lain sekitar merupakan salah satu diantara komponen sosial

yang ikut mempengaruhi sikap kita.

c. Pengaruh kebudayaan

Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh

besar terhadap pembentukan sikap kita.

d. Media massa

Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti

televisi, radio, surat kabar, majalah mempunyai pengaruh besar dalam

pembentukan opini dan kepercayaan orang.

e. Lembaga pendidikan dan lembaga agama

Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai suatu sitem

mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan budaya

meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu.

f. Pengaruh faktor emosional

Tidak semua bentuk sikap ditentukan oleh situasi lingkungan dan

pengalaman pribadi seseorang. Kadang-kadang, suatu bentuk sikap


16

merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi

sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk

mekanisme pertahanan ego.

C. Tindakan / Perilaku

Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek tentang kesehatan,

kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui,

proses selanjutnya diharapkan dirinya akan melaksanakan atau

mempraktekkan apa yang diketahui atau disikapinya (dinilai baik). Sikap

belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behaviour).

Mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor

pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan antara lain adalah

fasilitas.6 Tindakan mempunyai beberapa tingkatan :

1. Persepsi (Perception)

Mengenal dan memilih berbagai obyek sehubungan dengan tindakan yang

akan diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama.

2. Respon Terpimpin (Guided Response)

Melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan

contoh adalah merupakan indikator praktik tingkat kedua.


17

3. Mekanisme (Mechanism)

Seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis,

atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai

praktik tingkat tiga

4. Adopsi (Adoption)

Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang

dengan baik. Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung

yakni dengan wawancara terhadap kegiatan - kegiatan yang telah

dilakukan beberapa jam, beberapa hari, atau bulan yang lalu (recall).

Pengukuran juga dapat dilaksanakan secara langsung dengan cara

mengobservasi tindakan atau kegiatan responden.

D. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku

Lawrence Green berpendapat bahwa perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama

khususnya perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, antara lain :

1. Faktor Predisposisi (Predisposing Factor)

Faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap

kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang

berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat

pendidikan, tingkat sosial ekonomi dan sebagainya.


18

2. Faktor Pemungkin (Enabling Factor)

Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau

fasilitas kesehatan bagi masyarakat seperti, Puskesmas, Rumah

Sakit,Poliklinik, Posyandu, Polindes, Pos Obat Desa, Dokter Atau Bidan

Praktek swasta. Fasilitas ini pada hakikatnya mendukung atau

memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan.

3. Faktor Penguat (Reinforcing Factor)

Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat,

tokoh agama dan para petugas kesehatan. Termasuk juga disini undang-

undang, peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintah daerah

yang terkait dengan kesehatan. Untuk berperilaku sehat, masyarakat

kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif serta

dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan perilaku contoh (acuan) dari

para tokoh masyarakat, tokoh agama dan para petugas terlebih lagi

petugas kesehatan. Di samping itu, undang-undang juga diperlukan untuk

memperkuat perilaku masyarakat tersebut.

Disimpulkan bahwa perilaku seseorang (perawat) tentang program

patient safety ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi,

dari orang atau masyarakat yang bersangkutan. Di samping itu,

ketersediaan fasilitas, sikap, dan perilaku para petugas kesehatan juga

akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku. Seorang

perawat yang tidak mau menerapkan keselamatan pasien disebabkan


19

karena orang tersebut tidak atau belum mengetahui manfaat dari program

patient safety bagi dirinya (predisposing factors). Atau karena fasilitas

yang disediakan tidak ada dan peralatan yang tidak lengkap (enabling

factors). Sebab lain mungkin karena para petugas kesehatan atau tokoh

masyarakat lain disekitarnya tidak pernah memberikan contoh /

penyuluhan tentang program patient safety (reinforcing factors).

E. Sistem Keselamatan Pasien Rumah Sakit

1. Pengertian Keselamatan Pasien (Patient safety)

Kemkes (2008) mendefinisikan bahwa keselamatan pasien adalah

bebas dari bahaya atau risiko. Menurut WHO (2009) keselamatan pasien

adalah pengurangan risiko bahaya yang tidak perlu berkaitan dengan

pelayanan kesehatan minimum yang dapat diterima.

Keselamatan pasien (Patient safety) yang diterapkan di Rumah

Sakit dalam Permenkes RI No.1691 (2011) disebut sebagai Keselamatan

Pasien Pasien Rumah Sakit. Keselamatan pasien Rumah Sakit merupakan

suatu sistem dimana Rumah Sakit membuat asuhan pasien lebih aman

yang meliputi pengenalan risiko, identifikasi dan pengolahan hal yang

berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden,

kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi

solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah terjadinya


20

cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu

tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil.

2. Tujuan Sistem Keselamatan Pasien

Keselamatan pasien bertujuan untuk menciptakan budaya keselamatan

pasien di Rumah Sakit, meningkatkan akuntabilitas Rumah Sakit terhadap

pasien dan masyarakat, menurunkan kejadian yang tidak diharapkan,

terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi

pengulangan kejadian tidak diharapkan. 10

Tujuan keselamatan pasien menurut The Joint Comission yaitu :

a. Meningkatkan keakuratan identifikasi pasien dengan menggunakan

dua identitas pasien untuk mengidentifikasi serta mengeliminasi

kesalahan transfusi.

b. Meningkatkan komunikasi diantara pemberi pelayanan kesehatan

dengan menggunakan prosedur komunikasi, secara teratur melaporkan

informasi yang bersifat kritis, memperbaiki pola serah terima pasien.

c. Meningkatkan keselamatan penggunaan pengobatan dengan cara

pemberian label pada obat, mengurangi bahaya dari penggunaan

antikoagulan.

d. Mengurangi risiko yang berhubungan dengan infeksi dengan mencuci

tangan yang benar, mencegah resistensi penggunaan obat infeksi,

menjaga central line penyebaran infeksi melalui darah.


21

e. Menggunakan pengobatan selama perawatan secara akurat dan

lengkap, mengkomunikasikan pengobatan kepada petugas selanjutnya,

membuat daftar pengobatan pasien, mengupayakan pasien mendapat

pengobatan seminimal mungkin.

f. Mengurangi risiko bahaya akibat jatuh.

g. Mencegah terjadinya luka tekan.

h. Organisasi mengidentifikasi risiko keselamatan di seluruh populasi

pasien.

i. Protokol umum untuk mencegah kesalahan tempat, salah prosedur dan

orang pada saat tindakan operasi.

3. Insiden Keselamatan Pasien (IKP)

Kondisi keselamatan pasien yang tidak dijaga dan tidak diterapkan kepada

pasien akan menimbulkan insiden keselamatan pasien. Dalam Permenkes

RI nomor 1691 tahun 2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit

dijelaskan bahwa insiden keselamatan pasien disebut insiden yaitu setiap

kejadian yang tidak disengaja dan kondisi yang mengakibatkan atau

berpotensi mengakibatkan cedera yang dapat dicegah pada pasien, terdiri

dari Kejadian Tidak Diharapkan, Kejadian Nyaria Cedera, Kejadian Tidak

Cedera dan Kejadian Potensial Cedera.

a. Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) adalah insiden yang

mengakibatkan cedera pada pasien. Contohnya kesalahan pada


22

prosedur pengobatan, pelaksanaan terapi, dan metode penggunanaan

obat.

b. Kejadian Nyaris Cedera (KNC) adalah terjadinya insiden yang belum

sampai terpapar ke pasien. Contohnya kesalahan pada pemberian obat

pada pasien lain, di deteksi secara dini serta dipantau

perkembangannya sehingga tidak menimbulkan reaksi yang tidak

diinginkan.

c. Kejadian Tidak Cedera (KTC) adalah insiden yang sudah terpapar,

tetapi tidak timbul cedera. Contohnya kesalahan saat pasien menerima

suatu obat kontra indikasi tetapi tidak timbul reaksi obat.

d. Kondisi Potensial Cedera (KPC) adalah kondisi yang sangat

berpotensi untuk menimbulkan cedera, tetapi belum terjadi insiden.

Contohnya kesalahan pada alat defribilator yang standby di IGD tetapi

kemudian diketahui rusak.

e. Kejadian sentinel adalah suatu KTD yang mengakibatkan kematian

atau cedera yang serius. Contohnya kesalahan saat mengoperasi bagian

tubuh yang seharusnya tidak dioperasi.10

Kategori Insiden Keselamatan Pasien dikelompokkan menjadi:

a. Pengelolaan Klinis

b. Dokumentasi

c. Pemeriksaan Penunjang Diagnostik

d. Komunikasi
23

e. Infeksi Nosokomial

f. Pemberian Obat

g. Pemberian Transfusi

h. Perilaku Pasien

i. Kecelakaan / Patient Accident

j. Alat Medis

k. Infrastruktur

l. Sumber Daya

4. Sasaran Sistem Keselamatan Pasien

Setiap Rumah Sakit wajib mengupayakan pemenuhan sasaran

keselamatan pasien (Permenkes, 2011). Sasaran keselamatan pasien

meliputi tercapainya hal-hal sebagai berikut ketepatan identifikasi pasien,

peningkatan komunikasi yang efektif, peningkatan keamanan obat yang

perlu diwaspadai, kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat-pasien

operasi, pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan dan

pengurangan risiko pasien jatuh. Elemen penilaian sasaran keselamatan

pasien menurut Peraturan menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1691/MENKES/PER/VIII/2011 mengacu pada enam sasaran (Six Goal

Patient Safety) adalah sebagai berikut :


24

a. Elemen Ketepatan Identifikasi Pasien

Elemen ketepatan identifikasi pasien menurut Permenkes (2001)

sebagai berikut :

1) Pasien diidentifikasi menggunakan dua identitas pasien (nama

pasien, nomor rekam medis, tanggal lahir, gelang identitas pasien

dengan bar-code), tidak boleh menggunakan nomor kamar atau

lokasi pasien.

2) Pasien diidentikfikasi sebelum pemberian obat, darah, atau produk

darah.

3) Pasien diidentifikasi sebelum mengambil darah dan spesimen lain

untuk pemeriksaan klinis.

4) Pasien diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan dan

tindakan / prosedur.

5) Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan identifikasi

yang konsisten pada semua situasi dan lokasi.

Identifikasi pasien yang benar merupakan landasan

keselamatan pasien dalam pengaturan kesehatan. Kesalahan

identifikasi pasien dapat terjadi dalam setiap lokasi dimana layanan

kesehatan diberikan seperti ruang rawat inap, rawat jalan,

laboratorium. Keakuratan identifikasi pasien ditingkatkan dan

penggunaan setidaknya dua pengidentifikasi pasien ketika

memberikan perawatan, pengobatan dan pelayanan kesehatan. Nomor


25

kamar pasien atau lokasi tidak dapat digunakan untuk identifikasi.

Identifikasi yang diakui untuk pengidentifikasi pasien adalah nama,

nomor rekam medis, dan tanggal lahir.

Mengidentifikasi pasien penting saat pemberian obat dan

tranfusi darah, pemeriksaan laboratorium, prosedur/tindakan

diagnostik dan operasi karena hal tersebut banyak mengakibatkan

terjadinya kesalahan. Identifikasi gelang nama (tangan/kaki) warna dan

barcode/label nama. Perawat harus verifikasi gelang nama dan warna

setiap serah terima pasien (shift). Pada saat pemberian pengobatan

harus menggunakan prinsip 6 benar : benar obat, benar dosis, benar

pasien, benar rute, benar waktu, dan benar pendokumentasian. Perawat

mengambil sampel spesimen dan wadah spesimen diberi label

dihadapan pasien. Identifikasi pasien yang perlu dilakukan perawat

saat akan melakukan prosedur transfusi yaitu mencocokkan gelang

nama ke label kompatibilitas darah, mencocokkan identifikasi pasien

dengan permintaan darah dan peninjauan kompabilitas serta

pengecekan informasi kadaluarsa komponen darah.14

Strategi mengidentifikasi pasien dan mengurangi kesalahan

meliputi penciptaan dan pelaksanaan praktik keselamatan yang

berkualitas secara rutin, pemantauan indikator yang dapat di andalkan

secara terus menerus , analisis akar penyebab, penggunaan barcode,

kegiatan pendidikan keselamatan pasien secara profesional dan


26

bertanggung jawab, kerjasama interdisipliner (perawat dengan medis,

laboratorium dan farmasi), menangani masalah identifikasi pasien pada

perawat baru dalam masa orientasi dan pemantauan berkelanjutan.

b. Elemen Peningkatan Komunikasi yang Efektif

Elemen peningkatan komunikasi yang efektif menurut Permenkes

(2011) sebagai berikut :

1) Perintah lengkap secara lisan dan melalui telepon atau hasil

pemeriksaan dituliskan secara lengkap oleh penerima perintah.

2) Perintah lengkap lisan dan telepon atau hasil pemeriksaan

dibacakan kembali secara lengkap oleh penerima perintah.

3) Perintah atau hasil pemeriksaan dikonfirmasi oleh pemberi

perintah atau yang menyampaikan hasil pemeriksaan.

4) Kebijakan prosedur mengarahkan pelaksanaan verifikasi

keakuratan komunikasi lisan atau melalui telepon secara konsisten.

Komunikasi yang buruk merupakan penyebab yang paling

sering menimbulkan efek samping di semua aspek pelayanan

kesehatan, sehingga menimbulkan permasalahan dalam

pengidentifikasian pasien, kesalahan pengobatan dan transfusi serta

alergi diabaikan, salah prosedur operasi, salah sisi bagian yang

dioperasi, semua hal tersebut berpotensi terhadap terjadinya insiden

keselamatan pasien dan dapat dicegah dengan meningkatkan

komunikasi.
27

Komunikasi yang efektif diimplementasikan melalui

pendekatan standar / baku hand off / serah terima. Serah terima dapat

dilakukan kapanpun di saat terjadi pengalihan tanggung jawab pasien

dari satu orang caregiver kepada orang lain.

Tujuan serah terima menyediakan informasi secara akurat,

tepat waktu, tentang rencana keperawatan, pengobatan, kondisi terkini

dan perubahan kondisi pasien yang baru saja terjadi ataupun yang

dapat diantisipasi. Serah terima informasi pasien dilakukan antar

perawat antar shift, pengalihan tanggung jawab dari dokter ke perawat,

pengalihan tanggung jawab sementara (saat istirahat makan), antar

perawat ke ruangan.

Hand off bedside (serah terima disamping tempat tidur pasien)

mempromosikan keselamatan pasien. Hand Off Bedside

memungknkan perawat untuk bertukar informasi pasien yang

diperlukan untuk menjamin kelangsungan perawatan dan keselamatan

pasien, memberikan kesempatan untuk memvisualisasikan pasien dan

mengajukan pertanyaan terhadap sesuatu yang kurang dipahami selain

itu dapat meningkatkan kesadaran perawat terhadap dampak

komunikasi pada keselamatan pasien dan kepuasan serta meningkatkan

komunikasi antara perawat, dokter dan pasien/keluarga serta tim

kesehatan lain. Hand off bedside juga memungkinkan pasien terlibat

aktif dalam perawatan dengan memungkinkan bagi pasien untuk


28

mengoreksi kesalahpahaman konsep, memberikan masukan terhadap

rencana perawatan, mengklarifikasi dan memperbaiki ketidakakuratan.

c. Elemen Peningkatan Keamanan Obat Yang Perlu Diwaspadai

Elemen peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai menurut

Permenkes (2011) sebagai berikut :

1) Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan agar memuat proses

identifikasi, menetapkan lokasi, pemberian label, dan penyimpanan

elektrolit konsentrat.

2) Implementasi kebijakan dan prosedur.

3) Elektrolit konsentrat tidak berada di unit pelayanan pasien kecuali

jika di butuhkan secara klinis dan tindakan diambil untuk

mencegah pemberian yang kurang hati-hati di area tersebut sesuai

kebijakan.

4) Elektrolit konsentrat yang disimpan pada unit pelayanan pasien

harus diberi label yang jelas, dan disimpan pada area yang dibatasi

ketat.

Perawat arus mengecek alergi obat, menjelaskan tujuan dan

kemungkinan efek obat, mencatat/dokumentasi, bekerja sesuai SPO,

mengecek reaksi obat, mengecek integritas kulit untuk injeksi,

memonitor pasien, dua orang staff mengecek pemberian obat

parenteral, memperbaharui catatan obat. Pisahkan obat yang mirip,

kemasan obat yang mirip. Memberikan pendidikan kepada


29

pasien/keluarga mengenali obat, kegunaan obat, cara pakai obat dan

waktu penggunaan obat.15

d. Elemen Ketepatan Tepat Lokasi, Tepat Prosedur, Tepat Pasien

Operasi

Elemen Ketepatan Tepat Lokasi, Tepat Prosedur, Tepat Pasien

Operasi menurut Permenkes (2011) sebagai berikut :

1) Rumah Sakit menggunakan suatu tanda yang jelas dan di mengerti

untuk identifikasi lokasi opresai dan melibatkan pasien di dalam

proses penandaan.

2) Rumah Sakit menggunakan suatu checklist atau proses lain untuk

memverifikasi saat pre-operasi tepat lokasi, tepat prosedur, dan

tepat pasien dan semua dokumen serta peralatan yang diperlukan

tersedia, tepat dan fungsional.

3) Tim operasi yang lengkap menerapkan dan mencatat prosedur

“sebelum insisi/ time-out tepat sebelum dimulainya suatu

prosedur/tindakan pembedahan.

4) Kebijakan dan prosedur dikembangkan untuk mendukung proses

yang seragam untuk memastikan tepat lokasi, tepat prosedur dan

tepat pasien, termasuk prosedur medis dan dental yang

dilaksanakan diluar kamar operasi.

Ruang operasi merupakan area pekerjaan yang komplek

dengan lingkungan yang berpotensi tinggi terjadinya kesalahan, untuk


30

itu proses verifikasi perioperatif semakin direkomendasikan dalam

beberapa tahun terakhir. Lima tahapan proses untuk meningkatkan

keselamatan bedah menurut NPSA (2010) yaitu briefing, sign in

(sebelum induksi anestesi), time out (sebelum transisi), sign out

(sebelum meninggalkan kamar operasi), dan debriefing. Time out

memberikan kontribusi untuk meningkatkan keselamatan pasien

dengan memberikan kesempatan untuk mengidentifikasi dan

memecahkan masalah, konfirmasi identitas pasien, benar prosedur,

benar sisi dan pemeriksaan alergi atau penyakit menular.

e. Elemen Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan

Elemen pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan

menurut Permenkes (2011) sebagai berikut :

1) Rumah Sakit mengadopsi atau mengadaptasi pedoman hand

hygiene terbaru yang diterbitkan dan sudah diterima secara umum

2) Rumah Sakit menerapkan program hand hygiene yang efektif.

3) Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan

pengurangan secara berkelanjutan risiko dari infeksi yang terkait

pelayanan kesehatan.
31

f. Elemen Pengurangan Risiko Pasien Jatuh

Elemen pengurangan risiko pasien jatuh menurut Permenkes (2011)

sebagai berikut :

1) Rumah Sakit menerapkan proses pengkajian awal atas pasien

terhadap risiko jatuh dan melakukan pengkajian ulang bila

diindikasikan terjadi perubahan kondisi atau pengobatan dan lain-

lain .

2) Langkah-langkah diterapkan untuk mengurangi risiko jatuh bagi

mereka yang pada hasil pengkajian dianggap berisiko jatuh.

3) Langkah-langkah dimonitor hasilnya, baik keberhasilan

pengurangan cedera akibat jatuh dan dampak dari kejadian tidak

diharapkan.

4) Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan

pengurangan berkelanjutan risiko pasien cedera akibat jatuh di

Rumah Sakit.

Perawat harus melakukan pengkajian ulang secara berkala

mengenai risiko pasien jatuh, termasuk risiko potensial yang

berhubungan dengan jadwal pemberian obat serta mengambil tindakan

untuk mengurangi semua risiko yang telah diidentifikasikan.

Berdasarkan hasil penelitian faktor risiko terjadinya jatuh adalah usia,

jenis kelamin, efek obat-obat tertentu, status mental, penyakit kronis,


32

dan faktor lingkungan, keseimbangan, kekuatan dan mobilitas,

ketinggian tempat tidur.

Perawat melakukan pedoman pencegahan pasien risiko jatuh

untuk mengurangi insiden jatuh yaitu dengan : memastikan bel mudah

dijangkau, roda tempat tidur pada posisi terkunci, memposisikan

tempat tidur pada posisi terendah, pagar pengaman tempat tidur

dinaikkan. Monitoring ketat pasien risiko tinggi (kunjungi dan monitor

pasien/1jam, tempatkan pasien dikamar paling dekat dengan nurse

station jika memungkinkan), melibatkan pasien/keluarga dalam

pencegahan jatuh.2

5. Kebijakan Depkes Tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit Antara Lain:

a. Terciptanya budaya keselamatan pasien di Rumah Sakit.

b. Meningkatnya akuntabilitas Rumah Sakit terhadap pasien dan

masyarakat.

c. Menurunnya Kejadian Tak Diharapkan (KTD).

d. Terlaksananya program pencegahan sehingga tidak terjadi

pengulangan KTD.

6. Kebijakan Patient Safety Di Rumah Sakit Antara Lain:


33

a. Rumah Sakit wajib melaksanakan sistem keselamatan pasien.

b. Rumah Sakit wajib melaksanakan 7 langkah menuju keselamatan

pasien.

c. Rumah Sakit wajib menerapkan standart keselamatan pasien.

d. Evaluasi pelaksanaan keselamatan pasien akan dilakukan melalui

program Akreditasi Rumah Sakit.

7. Sistem Keselamatan Pasien Rumah Sakit :

a. Pelaporan insiden, laporan bersifat anonim dan rahasia.

b. Analisa, belajar, riset masalah dan pengembangan taxonomy.

c. Pengembangan dan penerapan solusi serta monitoring/evaluasi.

d. Penetapan panduan, pedoman, SPO, standart indikator keselamatan

pasien berdasarkan pengetahuan dan riset.

e. Keterlibatan serta pemberdayaan pasien dan keluarganya.

8. Langkah Penerapan Sistem Keselamatan Pasien

Langkah penerapan Sistem Keselamatan Pasien menurut Depkes 2006,

yaitu:

a. Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien.

b. Membangun komitmen dan fokus yang jelas tentang keselamatan

pasien.
34

c. Membangun sistem dan proses managemen resiko serta melakukan

identifikasi dan assessmen terhadap potensial masalah.

d. Membangun sistim pelaporan.

e. Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien.

f. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien dengan

melakukan analisis akar masalah.

g. Mencegah cedera melalui implementasi sistim keselamatan pasien

dengan menggunakan informasi yang ada.

9. Standar Keselamatan Pasien

Standar Keselamatan Pasien menurut Depkes.2006, yaitu:

Standar I. Hak Pasien

Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan

informasi tentang rencana dan hasil pelayanan termasuk kemungkinan

terjadinya kejadian tak diharapkan.

Kriteria:

a. Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan.

b. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana

pelayanan.

c. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib memberikan penjelasan

secara jelas dan benar kepada pasien dan keluarganya tentang rencana
35

dan hasil pelayanan, pengobatan dan prosedur untuk pasien termasuk

kemungkinan KTD.

Standar II. Mendidik Pasien Dan Keluarga.

Rumah Sakit harus mendidik pasien dan keluarganya tentang

kewajiban dan tanggung pasien dalam asuhan pasien. Keselamatan pasien

dalam pemberian pelayanan dapat di tingkatkan dengan keterlibatan

pasien yang merupakan patner dalam proses pelayanan. Karena itu di

Rumah Sakit harus ada sistem dan mekanisme mendidik pasien dan

keluarganya tentang kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan

pasien.

Kriteria:

a. Memberi informasi yang benar, jelas, lengkap dan jujur.

b. Mengetahui kewajiban dan tanggung jawab pasien dan keluarga.

c. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk hal yang tidak dimengerti.

d. Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan.

e. Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan Rumah Sakit.

f. Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa.

g. Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati.


36

Standar III. Keselamatan Pasien Dan Kesinambungan Pelayanan.

Rumah Sakit menjamin kesinambungan pelayanan dan menjamin

koordinasi antar tenaga dan antar unit pelayanan.

Kriteria:

a. Terdapat koordinasi pelayanan secara menyeluruh mulai dari saat

pasien masuk, pemeriksaan, diagnosis, perencanaan pelayanan,

tindakan pengobatan, rujukan dan saat pasien keluar dari rumah sakit.

b. Terdapat koordinasi pelayanan yang di sesuaikan dengan kebutuhan

pasien dan kelayakan sumber daya secara berkesinambungan sehingga

pada seluruh tahap pelayanan transaksi antar unit pelayanan dapat

berjalan baik dan lancar.

c. Terdapat koordinasi pelayanan yang mencakup peningkatan

komunikasi untuk memfasilitasi dukungan keluarga, pelayanan

keperawatan, pelayanan sosial, konsultasi dan rujukan, pelayanan

kesehatan primer dan tindak lanjut lainnya.

d. Terdapat komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan

sehingga dapat tercapainya proses koordinasi tanpa hambatan, aman

dan efektif.
37

Standar IV : Penggunaan Metode Peningkatan Kinerja Untuk Melakukan

Evaluasi Dan Program Peningkatan Keselamatan Pasien

Rumah Sakit harus mendesain proses baru atau memperbaiki proses

yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan

data, menganalisis secara intensif , dan melakukan perubahan untuk

meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien.

Kriteria:

a. Setiap Rumah Sakit harus melakukan proses perencanaan yang baik,

mengacu pada visi, misi, dan tujuan Rumah Sakit, kebutuhan pasien

petugas pelayanan kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik bisnis yang

sehat dan faktor-faktor lain yang berpotensi resiko bagi pasien sesuai

dengan ” Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit”

b. Setiap Rumah Sakit harus melakukan pengumpulan data kinerja antara

lain yang terkait dengan : pelaporan insiden, akreditasi, menejemen

resiko, utilisasi, mutu pelayanan, keuangan.

c. Setiap Rumah Sakit harus melakukan evaluasi intensif terkait dengan

semua KTD/KNC, dan secara proaktif melakukan evaluasi suatu

proses kasus resiko tinggi.

d. Setiap Rumah Sakit harus menggunakan semua data dan informasi

hasil analisis untuk menentukan perubahan sistem yang di perlukan,

agar kinerja dan keselamatan pasien terjamin.


38

Standar V. Peran Kepemimpinan Dalam Meningkatkan Keselamatan

Pasien

a. Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program

keselamatan pasien secara terintegrasi dalam organisasi melalui

penerapan ”7 Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit”.

b. Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif untuk

identifikasi risiko keselamatan pasien dan program menekan atau

mengurangi KTD/KNC.

c. Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan koordinasi

antar unit dan individu berkaitan dengan pengambilan keputusan

tentang keselamatan pasien.

d. Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk

mengukur, mengkaji dan meningkatkan kinerja Rumah Sakit serta

meningkatkan keselamatan pasien.

e. Pimpinan mengukur dan mengkaji efektifitas kontribusinya dalam

meningkatkan kinerja Rumah Sakit dan keselamatan pasien.

Kriteria:

a. Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program keselamatan

pasien.

b. Tersedia program proaktif untuk identifikasi resiko keselamatan dan

program meminimalkan insiden, yang mencakup jenis kejadian yang


39

memerlukan perhatian, mulai dari KNC (Near miss) sampai dengan

KTD (Adverse event).

c. Tersedia mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua komponen

dari Rumah Sakit terintegrasi dan berpartisipasi dalam program

keselamatan pasien.

d. Tersedia prosedur ”Cepat Tanggap” terhadap insiden, termasuk asuhan

kepada pasien yang terkena musibah, membatasi resiko pada orang

lain dan penyampaian informasi yang benar dan jelas untuk keperluan

analisis.

e. Tersedia mekanisme pelaporan internal dan eksternal berkaitan dengan

insiden termasuk penyediaan informasi yang benar dan jelas tentang

analisis akar masalah kejadian pada saat program keselamatan pasien

mulai di laksanakan.

f. Tersedia mekanisme untuk menangani berbagai jenis insiden atau

kegiatan proaktif untuk memperkecil risiko, termasuk mekanisme

untuk mendukung staf dalam kaitan dengan kejadian.

g. Terdapat kolaburasi dan komunikasi terbuka secara sukarela antar unit

dan antar pengelola pelayanan di dalam Rumah Sakit dengan

pendekatan antar disiplin.

h. Tersedia sumber daya dan sistem informasi yang di butuhkan dalam

kegiatan perbaikan kinerja Rumah Sakit dan perbaikan Keselamatan


40

Pasien, termasuk evaluasi berkala terhadap kecukupan sumber daya

tersebut.

i. Tersedia sasaran terukur dan pengumpulan informasi menggunakan

criteria obyektif untuk mengevaluasi efektifitas perbaikan kinerja

Rumah Sakit dan keselamatan pasien, termasuk rencana tindak lanjut

dan implementasinya.

Standar VI. Mendidik Staf Tentang Keselamatan Pasien.

a. Rumah Sakit memiliki proses pendidikan, pelatihan dan orientasi

untuk setiap jabatan mencakup keterkaitan jabatan dengan

keselamatan pasien secara jelas.

b. Rumah Sakit menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan

yang berkelanjutan untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi

staf serta mendukung pendekatan interdisiplin dalam pelayanan

pasien.

Kriteria:

a. Setiap Rumah Sakit harus memiliki program pendidikan, pelatihan dan

orientasi bagi staf baru yang memuat topik tentang keselamatan pasien

sesuai dangan tugasnya masing- masing.

b. Setiap Rumah Sakit harus mengintegrasikan topik keselamatan pasien

dalam setiap kegiatan inservice training dan memberi pedoman yang

jelas tentang pelaporan insiden.


41

c. Setiap Rumah Sakit harus menyelenggarakan pelatihan tentang

kerjasama kelompok guna mendukung pendekatan interdisiplin dan

kolaburatif dalam rangka melayani pasien.

Standar VII. Komunikasi Merupakan Kunci Bagi Staf Untuk Mencapai

Keselamatan Pasien.

a. Rumah Sakit merencanakan dan mendesain proses manajemen

informasi keselamatan pasien untuk memenuhi kebutuhan informasi

internal dan eksternal

b. Transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan akurat.

Kriteria:

Perlu di sediakan anggaran untuk merencanakan dan mendesain proses

manajemen untuk memperoleh data dan informasi tentang hal-hal terkait

dengan keselamatan pasien. Tersedia mekanisme identifikasi masalah dan

kendala komunikasi untuk merevisi manajemen informasi yang ada.

F. Perilaku Patient Safety

Perilaku mencakup 3 domain, yakni : pengetahuan (knowledge), sikap

(attitude) dan tindakan atau praktik (practice) (Notoatmodjo, 2003).

Mengukur perilaku dan perubahannya khususnya perilaku patient safety juga

mengacu kepada 3 domain tersebut., secara rinci dikaitkan dengan program

patient safety dijelaskan sebagai berikut:


42

1. Pengetahuan tentang Patient Safety

Pengetahuan tentang patient safety adalah mencakup apa yang diketahui

oleh seseorang tentang patient safety . Pengetahuan tentang patient safety

meliputi :

a. Pengetahuan tentang risiko yang bisa saja terjadi bila tidak

menerapkan program patient safety.

b. Pengetahuan tentang faktor-faktor yang terkait dan/atau

mempengaruhi keselamatan pasien.

c. Pengetahuan tentang fasilitas pelayanan yang tersedia.

d. Pengetahuan untuk menghindari kecelakaan dan kesalahan.

Pengukuran pengetahuan patient safety seperti tersebut diatas adalah

dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara langsung (wawancara)

atau melalui pertanyaan-pertanyaan tertulis atau angket. Indikator

pengetahuan patient safety adalah tingginya pengetahuan responden

tentang patient safety, atau besarnya persentase kelompok responden

tentang variabel-variabel atau komponen-komponen patient safety.

2. Sikap Terhadap Patient Safety

Sikap terhadap patient safety adalah pendapat atau penilaian orang

terhadap hal-hal yang berkaitan dengan patient safety, yang mencakup

sekurang-kurangnya 4 variabel yaitu :


43

a. Sikap terhadap risiko yang bisa terjadi bila tidak. menerapkan program

patient safety

b. Sikap tentang faktor-faktor yang terkait dan/atau mempengaruhi

keselamatan pasien.

c. Sikap tentang fasilitas pelayanan kesehatan yang tersedia.

d. Sikap untuk menghindari kecelakaan dan kesalahan.

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak

langsung. Pengukuran sikap secara langsung dapat dilakukan dengan

mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang stimulus atau objek yang

bersangkutan.

3. Praktek Patient Safety

Praktek patient safety atau tindakan untuk patient safety adalah semua

kegiatan atau aktivitas orang dalam rangka patient safety. Tindakan atau

praktek patient safety ini juga meliputi 4 faktor yaitu :

a. Tindakan atau praktek sehubungan dengan risiko yang bisa saja terjadi

bila tidak menerapkan patient safety.

b. Tindakan atau praktek sehubungan faktor-faktor yang terkait dan/atau

mempengaruhi keselamatan pasien.

c. Tindakan atau praktek sehubungan fasilitas pelayanan yang tersedia.

d. Tindakan atau praktek sehubungan untuk menghindari kecelakaan dan

kesalahan.
44

G. Peran Perawat Dalam Sistem Keselamatan Pasien

Sebagai pemberi pelayanan keperawatan, perawat mematuhi standar

pelayanan dan SPO yang ditetapkan. Menerapkan prinsip-prinsip etik dalam

pemberian pelayanan keperawatan. Memberikan pendidikan kepada pasien

dan keluarga tentang asuhan yang diberikan. Menerapkan kerjasama tim

kesehatan yang handal dalam pemberian pelayanan kesehatan. Menerapkan

komunikasi yang baik terhadap pasien dan keluarganya. Peka, proaktif dan

melakukan penyelesaian masalah terhadap kejadian tidak diharapkan.

Mendokumentasikan dengan benar semua asuhan keperawatan yang diberikan

kepada pasien dan keluarga.

Perawat di Rumah Sakit merupakan input SDM yang mempunyai

peranan penting dalam penerapan program keselamatan pasien Rumah Sakit.

Sehingga aspek kinerja nya akan berpengaruh terhadap kinerja Rumah Sakit

khususnya dalam mencegah dan mengurangi risiko terjadinya Insiden

Keselamatan Pasien (IKP) dalam proses asuhan keperawatan.

Manfaat penerapan sistem keselamatan pasien antara lain : Budaya

safety meningkat dan berkembang, Komunikasi dengan pasien berkembang,

Kejadian tidak diharapkan menurun, peta KTD selalu ada dan terkini, Risiko

klinis menurun, Keluhan dan litigasi berkurang, Mutu pelayanan meningkat,

Citra Rumah Sakit dan kepercayaan masyarakat meningkat. Kewajiban

perawat secara umum terhadap keselamatan pasien adalah Mencegah


45

malpraktek dan kelalaian dengan mematuhi standart. Melakukan pelayanan

keperawatan berdasarkan kompetensi. Menjalin hubungan empati dengan

pasien. Mendokumentasikan secara lengkap asuhan. Teliti, objektif dalam

kegiatan. Mengikuti peraturan dan kebijakan institusi. Peka terhadap

terjadinya cedera.
46

H. Kerangka Teori

Sasaran Sistem Keselamatan Pasien


1. Ketepatan identifikasi pasien
2. Peningkatan komunikasi yang
efektif
3. Peningkatan keamanan obat
4. Kepastian tepat lokasi, prosedur
dan pasien operasi
Predisposing Factor 5. Mengurangi risiko infeksi
- Pengetahuan 6. Mengurangi risiko jatuh
- Sikap
- Motivasi
- Pendidikan

Penerapan
Enabling Factor
- Sarana dan prasarana Sistem Keselamatan Pasien
kesehatan
(Patient Safety)

Reinforcing factor
- Sanksi / Hukuman
- Kebijakan
- Pelatihan
- Keluarga
- Tokoh agama
- Masyarakat

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Sumber : Modifikasi Lawrence Green

Anda mungkin juga menyukai