Anda di halaman 1dari 29

LI.1.

Peran Insulin dalam Tubuh


1.1 Struktur
Insulin merupakan polipeptida yang terdiri atas dua rantai asam amino, yaitu rantai A dan
B yang saling dihubungkan oleh jembatan-jembatan disulfida antar rantai (interchain) yang
menghubungkan A7 dengan B7 dan A20 dengan B19. Jembatan disulfida dalam rantai
(intrachain) ketiga menghubungkan residu 6 dan 11 dari rantai A. Lokasi ketiga jembatan
disulfida ini selalu tetap. Rantai A dan B masing-masing mempunyai 21 dan 30 asam amino.
Struktur kovalen insulin manusia (massa molekul 5,734 kDa) dilukiskan dalam gambar 1.
Substitusi terjadi pada banyak posisi di dalam kedua rantai tanpa mempengaruhi bioaktifitas dan
umumnya pada posisi 8,9 serta 10 dari rantai A, jadi daerah ini tidak penting untuk bioaktifitas.
Walaupun demikian beberapa posisi dan regio sangat dipelihara, termasuk (1) posisi tiga ikatan
disulfida , (2) residu hidrofobik pada regio C (karboksi) terminal dari rantai B dan (3) regio N
(amino) terminal serta C (karboksi) terminal dari rantai A. Modifikasi kimia atau pun substitusi
asam amino yang spesifik pada regio ini telah memungkinkan para penyelidik untuk
merumuskan regio gabungan yang aktif. Regio karboksi terminal yang hidrofobik pada rantai B
juga terlibat dalam proses dimerisasi insulin.7,8

1.2 Sintesis
Insulin disintesis sebagai suatu preprohormon (berat molekul sekitar 11.500) dan merupakan
prototipe untuk peptida yang diproses dari molekul prekursor yang lebih besar. Rangkaian
pra atau rangkaian pemandu yang bersifat hidrofobik dengan 23 asam amino mengarahkan
molekul tersebut ke dalam sisterna retikulum endoplasma dan kemudian dikeluarkan. Proses
ini menghasilkan molekul proinsulin dengan berat molekul 9.000 Dalton yang memberikan
bentuk yang diperlukan bagi pembentukan jembatan disulfida yang sempurna. Seperti terlihat
dalam gambar 2, susunan proinsulin yang dimulai dari bagian terminal amino adalah rantai
B-peptida C (penghubung)-rantai A Molekul proinsulin menjalani serangkaian pemecahan
peptida yang spesifik letaknya sehingga terbentuk insulin yang matur dan peptida C dengan
jumlah ekuimolar.7,8
Proinsulin mempunyai panjang yang bervariasi dari 78 hingga 86 asam amino, dengan
variasi yang terdapat pada panjang regio peptida C. Proinsulin memiliki daya kelarutan dan
titik isoelektrik yang sama seperti insulin, prekursor ini juga membentuk heksamer dengan
kristal seng dan bereaksi kuat dengan antiserum insulin. Proinsulin memiliki bioaktifitas
yang kurang dari 5% bioaktifitas insulin, sehingga menunjukkan bahwa kebanyakan tempat
aktif pada insulin terhalang di dalam molekul prekursornya. Sebagian proinsulin dilepas

bersama insulin dan pada keadaan tertentu (misalnya tumor sel pulau Langerhans) dengan
jumlah yang lebih besar dari pada biasanya. Karena waktu paruh proinsulin dalam plasma
secara bermakna lebih panjang dari pada waktu paruh insulin dan karena proinsulin bisa
bereaksi silang secara kuat dengan antiserum insulin maka pemeriksaan radioimmuno assay
untuk menentukan kadar insulin kadang-kadang memperkirakan secara berlebihan
bioaktivitas insulin dalam plasma. Pepida C tidak mempunyai aktivitas biologik yang
dikenal. Unsur ini merupakan molekul yang berbeda bila dilihat dari sudut pandang sifat
antigeniknya. Karena itu pemeriksaan immunoassay terhadap peptida C dapat membedakan
insulin yang disekresikan dari dalam dengan insulin yang diberikan dari luar dan dapat
mengukur jumlah insulin yang disebutkan pertama kalau antibodi insulin menghalangi
pengukuran langsung kadar insulin.
Insulin dibentuk dalam retikulum endoplasma sel , kemudian diangkut ke kompleks
golgi dan akan dibungkus dalam granula berselaput. Granula-granula ini bergerak ke dinding
sel oleh proses yang tampaknya menyertakan mikrotubulus dan selaputnya bersatu dengan
membran sel, membuang insulin keluar secara eksositosis. Insulin ini kemudian harus
menyeberangi lamina-lamina basalis sel , kapiler yang berdekatan serta endotel kapiler yang
bercelah untuk mencapai aliran darah. Molekul insulin dibentuk sebagai rantai tunggal yang
disebut preproinsulin. Setelah 23 asam amino yang memimpin rangkaian dilepaskan dari
terminal C peptida ini, akan dilipat dalam sel dan dibentuklah ikatan-ikatan disulfida.
Molekul besar sebagai hasilnya yang disebut proinsulin akan disekresi oleh adanya
rangsangan yang berlangsung lama dan oleh beberapa tumor pulau Langerhans tetapi
hubungan antara rantai A dan B dalam granula, normal akan dilepaskan sebelum sekresi.
Polipeptida yang tetap ada selain insulin setelah hubungan yang kuat dinamakan connecting
peptide (C peptida). C peptida mengandung 31 residu asam amino dan mempunyai sekitar
10% aktifitas biologik insulin, masuk ke dalam darah bersama insulin waktu isi granula
dikeluarkan secara eksositosis. Dapat diukur secara radioimmuno assay dan kadarnya
merupakan indeks fungsi sel pada penderita yang memperoleh insulin dari luar. Kalikrein
jaringan memegang peranan dalam perubahan proinsulin menjadi insulin. Endopeptidase ini
ditemukan dalam pulau Langerhans pankreas dan penyebarannya sejajar dengan penyebaran
insulin.

1.3 Sekresi
Pankreas manusia mensekresi 40-50 unit insulin perhari, yang menggambarkan kirakira 15-20% hormon yang disimpan dalam kelenjar. Sekresi insulin adalah proses
yang membutuhkan energi dan melibatkan sistem mikrotubulus mikrofilamen dalam
sel pulau Langerhans. Sejumlah perantara (mediator) terlibat dalam proses
pelepasan insulin, seperti terlihat dalam tabel 2.1.
Insulin disekresikan dalam sel normal sebagai reaksi terhadap stimulus glukosa
dengan mode bifasik dengan lonjakan dini (fase awal) yang diikuti dengan
peningkatan sekresi insulin secara progresif (fase kedua) sepanjang ada stimulus
hiperglikemik. Dengan keberadaan resistensi insulin, sekresi insulin sel pankreas

meningkat dengan cara kompensasi dan DM tipe 2 berkembang bila peningkatan


kompensasi dalam kadar insulin tidak lagi mencukupi untuk menjaga euglikemia.

1.4 Faktor penghambat&stimulasi

1.5 Fisiologi insulin&efek thdp metabolisme KH,P,L


Insulin tidak memiliki protein pengangkut dalam plasma, waktu paruh plasma kira-kira 5
menit. Organ utama yang terlibat dalam metabolisme insulin adalah hati, ginjal dan plasenta.
Kira-kira 50% insulin dibuang dalam jalan tunggal melalui hati. Mekanisme yang
memerlukan 2 sistem enzim bertanggung jawab terhadap metabolisme insulin. Mekanisme
yang pertama melibatkan protease insulin spesifik yang ditemukan dalam banyak jaringan

tetapi konsentrasi tertinggi ditemukan dalam hati, ginjal dan plasenta. Protease ini sudah
berhasil dimurnikan dari otot rangka dan dikenal sebagai enzim yang tergantung pada gugus
sulfhidril serta bekerja aktif dalam suasana pH fisiologik. Mekanisme yang kedua meliputi
enzim glutation-insulin transhidrogenase hati, enzim ini mereduksi ikatan disulfida dan
kemudian masing-masing rantai A dan B didegradasi dengan cepat.

Efek pada karbohidrat


Insulin memilik 4 efek yang menurunkan kadar glukosa darah dan menigkatkan
penyimpanan karbohidrat :
o Insulin mempermudah masuknya glukosa ke dalam sel. Beberapa jaringan yang
tidak bergantung pada insulin untuk meyerap glukosa yaitu otak,otot yang aktif
dan hati
o Insulin merangsang glikogenesis, pembentukan glikogen dari glukosa baik di otot
maupun dihati
o Insulin menghambat glikogenolisis, penguraian glikogen menjadi glukosa.
Dengan menghambat penguraian glikogen, insulin meningkatkan penyimpanan
karbohidrat dan menurunkan penguraian glukosa dalam hati
o Insulin menurunkan pengeluaran glukosa oleh hati dengan menghambat
glukoneogenesis, perubahan asam amino menjadi glukosa di hati.
Insulin menurunkan konsentrasi glukosa darah dengan meningkatkan penyerapan
glukosa dari darah untuk digunakan dan disimpan oleh sel., secara simultan menghambat
mekanisme yang digunakan oleh hati untuk mengeluarkan glukosa baru dalam darah.
Insulin adalah satu satunya hormon yang menurunkan kadar glukosa darah.
Efek pada lemak
Insulin efeknya menurunkan kadar asam lemak darah dan membentuk simpanan
trigliserida :
o Insulin meningkatkan transportasi glukosa ke dalam sel jaringan adiposa. Glukosa
berfungsi sebagai prekursor untuk pembentukan assm lemak dan gliserol, yaitu
bahan mentah untuk membentuk trigliserida.
o Insulin meningkatkan enzim enzim yang mengkatalisasi pembentukan asam
lemak dari turunan glukosa
o Insulin meningkatkan masuknya asam asam lemak dari daeah ke dalam se
jaringan adiposa.
o Insulin menghambat lipolisis (penguraian lemak), sehingga terjadi penurunan
pengeluaran asam lemak dari jaringan adiposa ke dalam darah.
Efek pada protein
Insulin menurunkan kadar asam amino darah dan meningkatkan sintesis protein :
o Insulin mendorong transportasi aktif asam asam amino dari darah ke dalam otot
dan jaringan lain. Efek ini menurunkan kadar asam amino dalam darah dan
menghasilkan bahan pembangun untuk sintesis protein dalam sel.
o Insulin meningkatkan kecepatan penggabungan asam amino ke dalam protein
dengan merangsang perangkat pembuat protein di dalam sel.
o Insulin menghambat penguraian protein.
o Faktor yang mempengaruhi sekresi insulin

LI.2. Diabetes Melitus


2.1 Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes Mellitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.6 Hiperglikemia didefinisikan
sebagai kadar glukosa puasa yang lebih tinggi dari 110 mg/dL. Kadar glukosa serum puasa
normal adalah 70 sampai 110 mg/dL. Glukosa difiltrasi oleh glomerulus dan hampir semuanya
difiltrasi oleh tubulus ginjal selama kadar glukosa dalam plasma tidak melebihi 160-180
mg/dL.14
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan klasik berupa poliuria,
polidipsi, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Jika
keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan
diagnosis DM. Hasil pemeriksaan glukosa darah puasa 126 mg/dL juga digunakan untuk
patokan diagnosis. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah
yang baru satu kali saja abnormal belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis. Diperlukan
pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali saja angka abnormal, baik kadar glukosa darah
puasa 126 mg/dL, kadar glukosa darah sewaktu sewaktu 200 mg/dL pada hari yang lain, atau
kadar glukosa sewaktu 200 mg/dL pada 2 jam pascapembebanan glukosa 75 g pada tes
toleransi glukosa oral (TTGO).
2.2 Klasifikasi
American Diabetes Association (ADA) dalam Standards of Medical Care in Diabetes
(2009) memberikan klasifikasi Diabetes Mellitus berdasarkan pengetahuan mutakhir mengenai
patogenesis sindrom diabetes dan gangguan toleransi glukosa. Klasifikasi ini telah disahkan oleh
WHO dan telah dipakai di seluruh dunia. Empat klasifikasi Diabetes Mellitus: Diabetes Mellitus
tipe 1, Diabetes Mellitus tipe 2, Diabetes Mellitus Gestasional (Diabetes kehamilan), dan
Diabetes Mellitus tipe khusus lain.16
Dikenal 2 jenis utama Diabetes Mellitus yaitu Diabetes Mellitus tipe 1 dan Diabetes
Mellitus tipe 2. Kedua jenis DM ini dibagi dengan melihat faktor etiologisnya.
2.2.1. Diabetes Mellitus Tipe 1
Diabetes Mellitus tipe 1 merupakan kondisi autoimun sel-sel beta pulau Langerhans sehingga
timbul defisiensi insulin. Individu yang memiliki kecenderungan penyakit ini tampaknya
menerima faktor pemicu dari lingkungan. Sebagai contoh faktor pencetus yang mungkin antara
lain infeksi virus seperti gondongan (mumps), rubella, dan sitomegalovirus (CMV) kronis.
Pajanan terhadap obat atau toksin tertentu juga diduga dapat memicu serangan autoimun ini.
Karena proses penyakit DM tipe 1 terjadi dalam beberapa tahun, sering kali tidak ada faktor
pencetus yang pasti. Pada saat diagnosis DM tipe 1 ditegakkan, ditemukan antibodi terhadap selsel pulau Langerhans pada sebagian besar pasien.18
Mengapa individu membentuk antibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans sebagai respon
terhadap faktor pencetus belum diketahui penyebabnya. Salah satu mekanisme yang
kemungkinan adalah bahwa terdapat agen lingkungan yang secara antigenis mengubah sel-sel
prankreas sehingga menstimulasi pembentukan autoantibodi. Kemungkinan lain bahwa para
individu yang mengidap DM tipe 1 memiliki kesamaan antigen antara sel-sel beta prankreas
mereka dengan mikroorganisme atau obat tertentu. Sewaktu berespons terhadap virus atau obat,

sistem imun mungkin gagal mengenali sel prankreas. Pada saat diagnosis DM tipe 1 ditegakkan
lebih dari 80% sel beta telah dihancurkan. 18
Sebelumnya DM tipe 1 disebut sebagai Diabetes Mellitus dependen insulin atau IDDM (insulin
dependent diabetes mellitus), karena individu pengidap penyakit ini harus mendapat insulin
pengganti. DM tipe 1 dulu juga dikenal sebagai tipe juvenile-onset. Akan tetapi, DM tipe 1 dapat
muncul pada sembarang usia . Insidens DM tipe 1 sebanyak 30.000 kasus baru setiap
tahunnya.18
2.2.2. Diabetes Mellitus Tipe 2
DM tipe 2 merupakan tipe DM yang paling sering terjadi, mencakup sekitar 85% pasien DM.
Keadaan ini ditandai dengan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif. 17 Individu yang
mengidap DM tipe 2 tetap menghasilkan insulin. Akan tetapi sering terjadi keterlambatan awal
dalam sekresi dan penurunan jumlah total insulin yang dilepaskan. Hal ini cenderung semakin
parah seiring dengan pertambahan usia pasien18
DM tipe 2 dulu disebut DM tidak tergantung insulin atau NIDDM (noninsulin dependent
diabetes mellitus), sebenarnya kurang tepat karena banyak individu yang mengidap DM tipe 2
dapat ditangani dengan insulin.18 DM tipe 2 dulu juga dikenal sebagai tipe dewasa atau tipe
onset maturitas karena lebih sering terjadi pada pasien berusia di atas 40 tahun. Namun, dengan
menigkatnya insidensi obesitas di negara barat dan onsetnya yang semakin dini, saat ini terjadi
peningkatan frekuensi DM tipe 2 pada orang dewasa muda dan anak-anak.17
Insidens DM tipe 2 sebesar 650.000 kasus baru setiap tahunnya. Sekitar 80% pasien DM tipe 2
mengalami obesitas. Karena obesitas berkaitan dengan resistensi insulin, maka kelihatannya akan
timbul kegagalan toleransi glukosa yang menyebabkan DM tipe 2.
2.2.3. Diabetes Melitus tipe lain :
A. Defek genetik fungsi sel beta :

Maturity Onset Diabetes of the Young (MODY) 1,2,3.

DNA mitokondria
B. Defek genetik kerja insulin
C. Penyakit endokrin pankreas :

pankreatitis

tumor pankreas /pankreatektomi

pankreatopati fibrokalkulus
D. Endokrinopati :

akromegali

sindrom Cushing

feokromositoma

hipertiroidisme
E.
Karena obat/zat kimia :

vacor, pentamidin, asam nikotinat

glukokortikoid, hormon tiroid

tiazid, dilantin, interferon alfa dan lain-lain


F. Infeksi :

Rubella kongenital, Cytomegalovirus (CMV)


G. Sebab imunologi yang jarang :

antibodi anti insulin


H. Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM :

sindrom Down, sindrom Kleinfelter, sindrom Turner, dan lain-lain.

2.2.4 Diabetes Melitus Gestasional (DMG)


2.3 Etiologi
Faktor resiko:
Penegakan diagnosa Diabetes Melitus, selain dilakukan uji
diagnostik dan skrining. Uji diagnostik Diabetes Melitus dilakukan pada
mereka yang menunjukkan gejala atau tanda Diabetes Melitus, sedangkan
skrining bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala,
yang mempunyai risiko Diabetes Melitus. Skrining dikerjakan pada
24
kelompok dengan salah satu risiko Diabetes Melitus Tipe 2 sebagai
berikut :
1. Tidak mempunyai aktivitas fisik
2. Keturunan dari ras yang mempunyai risiko tinggi seperti Afrika
Amerika, Latin, Asia Amerika
3. Berat badan lebih : BB > 120% BB idaman atau IMT 25 kg/m2
4. Hipertensi ( 140/90 mmHg)
5. Riwayat Diabetes Melitus dalam garis keturunan
6. Riwayat Diabetes dalam kehamilan, riwayat abortus berulang,
melahirkan bayi cacat atau berat badan lahir bayi > 4000 gram
7. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium
8. A1C 5,7 % atau Riwayat gangguan toleransi glukosa
9. Riwayat atau penderita PJK, TBC, atau hipertiroidisme.
10. Kolesterol HDL 35 mg/dl dan atau trigliserida 200 mg/dl (ADA,
2012, Gustaviani, 2007; Perkeni, 2011; Ignativicius & Workman,
2006; Smeltzer et al, 2008)
Catatan : Untuk skrining kelompok risiko tinggi yang hasilnya
negatif, skrining ulangan dilakukan tiap tahun; sedangkan bagi mereka
yang berusia lebih dari 45 tahun tanpa faktor resiko, skrining dapat
dilakukan setiap 3 tahun (ADA, 2010; Soegondo dkk, 2004; Gustaviani,
2007).
2.4 Epid
2.4.1. Distribusi dan Frekuensi
a. Menurut Orang
Umumnya penderita DM di negara berkembang berada pada kelompok umur 45-64 tahun,
sedangkan di negara maju penderita DM berada pada usia di atas 64 tahun. Secara global,
prevalensi Diabetes Mellitus lebih tinggi pada laki-laki.7 Menurut WHO (2008) prevalensi DM
pada laki-laki 9,8% dan pada perempuan 9,2%.21
Dalam sebuah penelitian dengan desain cross sectional, prevalensi diabetes pada laki-laki 7,2%
dan pada perempuan 5,8%. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa faktor yang terkait
dengan diabetes pada laki-laki dan perempuan berusia 40 tahun ke atas adalah pendapatan yang
rendah, obesitas, dan riwayat keluarga menderita diabetes.22
Berdasarkan penelitian Tarigan (2011) di RS Herna Medan tahun 2009-2010 proporsi penderita
DM berusia < 40 tahun yaitu yang menderita komplikasi akut 5,0% dan yang menderita
komplikasi kronik 4,4% sedangkan proporsi penderita DM berusia 40 tahun yaitu yang
menderita komplikasi akut 95,0% dan komplikasi kronik 95,6%. Proporsi laki-laki menderita

DM dengan komplikasi akut 55,0% dan yang mengalami komplikasi kronik 37,7% sedangkan
proporsi perempuan yang mengalami komplikasi akut 45,0% dan komplikasi kronik 62,3%.13
b. Menurut tempat
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003, diperkirakan penduduk Indonesia
yang berusia di atas 20 tahun sebanyak 133 juta jiwa. Dengan prevalensi DM sebesar 14,7%
pada daerah urban dan 7,2%, pada daerah rural, maka diperkirakan pada tahun 2003 terdapat
sejumlah 8,2 juta penyandang DM di daerah urban dan 5,5 juta di daerah rural. Selanjutnya,
berdasarkan pola pertambahan penduduk, diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta
penduduk yang berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM pada urban (14,7%)
dan rural (7,2%) maka diperkirakan terdapat 12 juta penyandang DM di daerah urban dan 8,1
juta di daerah rural.6
Laporan dari hasil penelitian di berbagai daerah di Indonesia yang dilakukan pada dekade 1980an menunjukkan sebaran prevalensi DM tipe 2 antara 0,8% di Tanah Toraja, sampai 6,1% yang
didapatkan di Manado. Hasil penelitian pada rentang tahun 1980-2000 menunjukkan
peningkatan prevalensi yang sangat tajam. Sebagai contoh, pada penelitian di Jakarta (daerah
urban), prevalensi DM dari 1,7% pada tahun 1982 naik menjadi 5,7% pada tahun 1993 dan
meroket lagi menjadi 12,8% pada tahun 2001.6
c. Menurut Waktu
Jumlah penderita DM meningkat dari 153 juta pada tahun 1980 menjadi 347 juta pada tahun
2008.23 Menurut IDF, DM menjadi salah satu masalah kesehatan yang paling menantang pada
abad 21. Secara global, 4,6 juta kematian setiap tahunnya disebabkan DM. Pada 2011 terdapat
366 juta penduduk dunia menderita DM diperkirakan 552 juta pada 2030, atau satu dari sepuluh
orang dewasa menderita DM.24
2.4.2. Determinan
a. Genetik
Pada pasien DM tipe 2, penyakitnya mempunyai pola familial yang kuat. Indeksnya untuk DM
tipe 2 pada kembar monozigot hampir 100%. Risiko berkembangnya DM tipe 2 pada saudara
kandung mendekati 40% dan 33% untuk anak cucunya. Transmisi genetik adalah paling kuat dan
contoh terbaik terdapat dalam diabetes awitan dewasa muda (MODY, maturity-onset diabetes of
the young), yaitu subtipe penyakit DM yang diturunkan dengan pola autosomal dominan. Jika
orangtua menderita DM tipe 2, rasio diabetes dan nondiabetes pada anak 1:1, dan sekitar 90%
pasti membawa (carrier) DM tipe 2.14
b. Usia
DM dapat terjadi pada semua kelompok umur. DM tipe 1 biasanya terjadi pada usia muda
ataupun juga pada orang yang berusia 40 tahun sedangkan DM tipe 2 biasanya disebut DM
yang terjadi pada usia dewasa. Kebanyakan kasus DM tipe 2 terjadi sesudah umur 40 tahun.
Pada usia ini umumnya manusia mengalami penurunan fungsi fisiologis dengan cepat, sehingga
terjadi defisiensi sekresi insulin karena gangguan pada sel beta prankreas dan resistensi
insulin.25 Sedangkan menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni) salah satu faktor
risiko DM adalah orang yang berumur > 45 tahun.6
Berdasarkan penelitian Sri A.M. Handayani di di RSUP Dr. Kariadi dan RSUD Kota Semarang
(2003) diketahui bahwa pada umur < 45 tahun berisiko tujuh kali lebih besar untuk terkena
DM.26 Berdasarkan penelitian Tri Murti Handayani di RS Dr. Sardjito Yogyakarta (2005)
penderita DM tipe 2 mengalami peningkatan jumlah kasusnya pada umur di atas 40 tahun, dan
jumlah kasus paling banyak terjadi pada umur 61 sampai 70 tahun (48%).27
c. Obesitas (Kegemukan)

DM tipe 2 sering terjadi pada individu dengan berat badan lebih dan obes (gemuk). Obesitas
merupakan pemicu terpenting penyebab DM tipe 2. Menurut definisi, obesitas berarti berat
badan berlebih sebanyak 20% dari berat badan ideal atau indeks massa tubuh (IMT) lebih dari 25
kg/m2.28
Dari berbagai penelitian didapatkan adanya keterkaitan erat antara IMT dan risiko terjadinya DM
tipe 2. Risiko Relatif meningkat lebih dari 10 kali lipat di antara perempuan dari hasil penelitian
the Nurses Health Study (2001) dengan IMT yang melebihi 29 kg/m2 dan diantara laki-laki dari
hasil penelitian the Health Professional Followup Study (2001) dengan IMT yang melebihi 31
kg/m2 jika dibandingkan dengan mereka dalam kategori IMT yang lebih rendah. WHO
memperhitungkan bahwa sekitar 64% DM tipe 2 yang diderita laki-laki Amerika dan 74% yang
diderita perempuan Amerika seharusnya dapat dihindari jika IMT mereka dipertahankan pada
atau di bawah 25 kg/m2.29
d. Pola Makan (Diet)
Pola makan merupakan determinan penting yang menentukan obesitas dan juga memengaruhi
resistensi insulin. Dengan demikian, pola makan memainkan peranan yang penting dalam proses
terjadinya DM tipe 2. Konsumsi makanan yang tinggi energi dan tinggi lemak, selain aktivitas
fisik yang rendah, akan mengubah keseimbangan energi dengan disimpannya energi sebagai
lemak simpanan yang jarang digunakan. Asupan energi yang berlebihan itu sendiri akan
meningkatkan resistensi insulin, sekalipun belum terjadi kenaikan berat badan yang signifikan.
Diet tinggi kalori, tinggi lemak dan rendah karbohidrat berkaitan dengan DM tipe 2. Diet yang
kaya energi dan rendah serat akan meningkatkan kenaikan berat badan dan resistensi insulin
kendati pada populasi yang berisiko rendah seperti orang-orang Eropa.29
e. Kurangnya Aktivitas Fisik
Olahraga juga berperan dalam kontrol kadar gula darah. Otot yang berkontraksi atau aktif tidak
atau kurang memerlukan insulin untuk memasukkan glukosa ke dalam sel, karena otot yang aktif
lebih sensitif terhadap insulin, sehingga kadar glukosa darah jadi turun.28
Untuk kedua tipe DM, olahraga terbukti dapat meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel
sehingga glukosa darah turun. Pengidap DM tipe 1 harus berhati-hati sewaktu berolahraga
karena dapat terjadi penurunan glukosa darah yang mencetuskan hipoglikemia.
2.5 Patogenesis&Patof
Semua tipe Diabetes Melitus, sebab utamanya adalah hiperglikemi
atau tingginya gula darah dalam tubuh yang disebabkan sekresi insulin,
kerja dari insulin atau keduanya (Ignativicius & Workman, 2006).
Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3 jalan, yaitu (ADA, 2012) :
a. Rusaknya sel-sel pancreas. Rusaknya sel beta ini dapat dikarenakan
genetik, imunologis atau dari lingkungan seperti virus. Karakteristik
ini biasanya terdapat pada DiabetesMelitus tipe 1.
b. Penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas.
c. Kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer.
Apabila di dalam tubuh terjadi kekurangan insulin, maka dapat
mengakibatkan (Ignativicius dan Workman, 2006; Smeltzer et al,
2008) :
a. Menurunnya transpor glukosa melalui membran sel, keadaan
ini mengakibatkan sel-sel kekurangan makanan sehingga
meningkatkan metabolisme lemak dalam tubuh. Manifestasi
yang muncul adalah penderita Diabetes Melitus selalu merasa
lapar atau nafsu makan meningkat atau yang biasa disebut

poliphagia.
b. Meningkatnya pembentukan glikolisis dan glukoneogenesis,
23
karena proses ini disertai nafsu makan meningkat atau
poliphagia sehingga dapat mengakibatkan terjadinya
hiperglikemi. Kadar gula darah tinggi mengakibatkan ginjal tidak
mampu lagi mengabsorpsi dan glukosa keluar bersama urin,
keadaan ini yang disebut glukosuria. Manifestasi yang muncul
yaitu penderita sering berkemih atau poliuria dan selalu merasa
haus atau polidipsi.
c. Menurunnya glikogenesis, dimana pembentukan glikogen dalam
hati dan otot terganggu.
d. Meningkatkan glikogenolisis, glukoneogenesis yang memecah
sumber selain karbohidrat seperti asam amino dan laktat
e. Meningkatkan lipolisis, dimana pemecahan trigliserida menjadi
gliserol dan asam lemak bebas
f. Meningkatkan ketogenesis (merubah keton dari asam lemak bebas
g. Proteolisis, dimana merubah protein dan asam amino dan
dilepaskan ke otot
2.6 Manifes
Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa
plasma puasa normal, atau toleransi glukosa setelah makan karbohidrat. Jika hiperglikeminya
berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat itu, maka timbul glikosuria. Glikosuria ini akan
mengkibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urine (poliuria) dan timbul rasa
haus (polidipsi). Karena glukosa hilang bersama urine, maka pasien mengalami keseimbangan
kalori negatif dan berat badan berkurang. Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) mungin akan
timbul sebagai akibat kekurangan kalori. Pasien mengeluh lelah dan mengantuk.14
Pasien dengan DM tipe 1 sering memperlihatkan awitan gejala yang eksplosif dengan polidipsia,
poliuria, polifagia, lemah, somnolen yang terjadi selama beberapa hari atau beberapa minggu.
Pasien dapat terjadi sakit berat dan timbul ketoasidosis, serta dapat meninggal kalau tidak
mendapatkan pengobatan segera. Sebaliknya, pasien dengan DM tipe 2 mungkin sama sekali
tidak memperlihatkan gejala apapun, dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan darah
di laboratorium dan
melakukan tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang lebih berat pasien tersebut mungkin
menderita polidipsi, poliuria, lemah dan somnolen. Biasanya mereka tidak mengalami
ketoasidosis karena pasien tidak defisiensi insulin secara absolut namun hanya relative.
1. Gejala Akut Penyakit Diabetes Melitus
Gejala penyakit Diabetes Melitus dari satu penderita ke
penderita lain bervariasi, bahkan mungkin tidak menunjukkan
gejala apa pun sampai saat tertentu. Permulaan gejala yang
ditunjukkan meliputi serba banyak (poli) yaitu banyak makan
(poliphagi), banyak minum (polidipsi) dan banyak kencing (poliuri).
Keadaan tersebut, jika tidak segera diobati maka akan timbul
gejala banyak minum, banyak kencing, nafsu makan mulai
berkurang/berat badan turun dengan cepat (turun 5 10 kg dalam
waktu 2 4 minggu), mudah lelah, dan bila tidak lekas diobati, akan
timbul rasa mual, bahkan penderita akan jatuh koma yang disebut

dengan koma diabetik.


2. Gejala Kronik Diabetes Melitus
Gejala kronik yang sering dialami oleh penderita Diabetes
Melitus adalah kesemutan; kulit terasa panas, atau seperti tertusuktusuk
jarum; rasa tebal di kulit; kram; capai; mudah mengantuk,
mata kabur, biasanya sering ganti kacamata; gatal di sekitar
kemaluan terutama wanita; gigi mudah goyah dan mudah lepas
kemampuan seksual menurun, bahkan impotensi dan para ibu hamil
22
sering mengalami keguguran atau kematian janin dalam kandungan,
atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4 kg (Soegondo dkk, 2004).
2.7 Diagnosis+DD
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis tidak dapat
ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa
darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma
vena. Penggunaan bahan darah utuh (wholeblood), vena, ataupun angka kriteria diagnostik yang
berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan
dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer.6
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:
a. Jika keluhan klasik ditemukan (poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan)
maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dL (11,1 mmol/L) sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis DM. Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada
suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.
b. Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dL (7,0 mmol/L) dengan adanya keluhan klasik.
Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam.
c. Tes toleransi glukosa oral (TTGO) dengan kadar gula plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dL
(11,1 mmol/L). TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang
setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air. Meskipun TTGO dengan
beban 75 g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma
puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan
berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan
khusus.6
Pemeriksaan kadar HbA1c ( 6,5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah satu
kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah terstandardisasi
dengan baik.6 Kadar HbA1C normal pada bukan penyandang DM antara 4% sampai dengan 6%.
Pemeriksaan hemoglobin terglikasi (HbA1C), disebut juga glycohemoglobin atau disingkat
sebagai A1C, merupakan salah satu pemeriksaan darah yang penting untuk mengevaluasi
pengendalian gula darah.19 HbA1c adalah zat yang terbentuk dari reaksi kimia antara glukosa
dan hemoglobin (bagian dari sel darah merah).20
Ketika gula darah tidak terkontrol (yang berarti kadar gula darah tinggi) maka gula darah akan
berikatan dengan hemoglobin (terglikasi). Oleh karena itu, rata-rata kadar gula darah dapat
ditentukan dengan cara mengukur kadar HbA1C. Bila kadar gula darah tinggi dalam beberapa
minggu, maka kadar HbA1C akan tinggi pula. Ikatan HbA1C yang terbentuk bersifat stabil dan
dapat bertahan hingga 2-3 bulan (sesuai dengan usia sel darah merah). Kadar HbA1C akan
mencerminkan rata-rata kadar gula darah dalam jangka waktu 2-3 bulan sebelum pemeriksaan.

2.8 Tatalaksana (farmako&non farmako)


Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu
(2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi
farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin.
b.1. Obat Hipoglikemik Oral
Berdasarkan cara kerjanya obat hipoglikemik oral (OHO) dibagi menjadi 5 golongan:
1. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonylurea dan glinid.
Golongan Sulfonilurea mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang.
Sedangkan golongan glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama.
2. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: tiazolidindion
Golongan tiazolidindion ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di
perifer.
3. Penghambat glukoneogenesis: metformin
Golongan metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai
pada penyandang DM yang gemuk.
4. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidasealfa.
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai efek
menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
5. DPP-IV inhibitor
DPP-IV inhibitor, mampu menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1 tetap dalam konsentrasi
yang tinggi dalam bentuk aktif dan mampu merangsang penglepasan insulin serta menghambat
penglepasan glukagon.6
b.2. Insulin
Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM tipe 1. Pada DM tipe 1, selsel Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak, sehingga tidak lagi dapat memproduksi
insulin. Sebagai penggantinya, maka penderita DM tipe 1 harus mendapat insulin eksogen untuk
membantu agar metabolisme karbohidrat di dalam tubuhnya dapat berjalan normal.40 Terapi
insulin pada pasien DM tipe 2 dapat dimulai antara lain untuk pasien dengan kegagalan terapi
oral, kendali kadar glukosa darah yang buruk (HbA1C > 7,5% atau kadar glukosa darah puasa >
250 mg/dL), riwayat pankreatektomi, atau disfungsi pankreas, riwayat fluktuasi kadar glukosa
darah yang lebar, riwayat ketoasidosis, riwayat penggunaan insulin lebih dari 5 tahun, dan
penyandang DM lebih dari 10 tahun.
Jenis-jenis olahraga yang baik untuk pasien DM antara lain:
Aerobik

Latihan aerobik membuat jantung dan tulang kuat, mengurangi stress


dan meningkatan aliran darah. Aerobik juga menurunkan risiko DM tipe 2, penyakit jantung dan
stroke dengan menjaga kadar gula, kolesterol dan tekanan darah dalam rentang normal. Lakukan
latihan aerobik selama 30 menit minimal 5 kali seminggu. Jika Anda belum terbiasa berolah
raga, lakukan 5- 10 menit sehari, lalu tingkatkan secara bertahap setiap minggu.
Contoh latihan aerobik yang dapat dilakukan adalah berjalan cepat, berdansa atau mengikuti
kelas aerobik. Jika Anda memiliki masalah pada saraf kaki atau sendi lutut, sebaiknya Anda
mengurangi beban pada kaki dengan memilih berenang, bersepeda atau mendayung.
Angkat beban (weight lifting)

Latihan angkat beban dapat membantu meningkatkan kekuatan tulang


dan otot sambil membakar lemak, serta menjaga kepadatan tulang. Lakukan latihan beban 2-3
kali seminggu sebagai tambahan latihan aerobik.
Latihan beban dapat dilakukan dengan sit up, push up, mengangkat barbel di rumah atau
menggunakan alat-alat latihan di pusat kebugaran.

Peregangan (stretching)

Stretching atau peregangan dapat mencegah kram otot, kekakuan dan


cedera otot. Beberapa jenis latihan fleksibilitas seperti yoga dan tai chi melibatkan meditasi dan
teknik bernapas sehingga mengurangi stress. Lakukan latihan peregangan 5 10 menit sebelum
berolah raga (pemanasan) dan lakukan lagi setelah berolah raga (pendinginan).
Aktivitas lain?
Selain berolah raga, aktivitas fisik dapat juga dilakukan sambil melakukan kegiatan sehari-hari
secara ekstra, misalnya:
Memilih naik tangga dari pada naik escalator atau elevator
Parkir mobil di tempat yang jauh dari pintu masuk mal
Berjalan cepat atau bersepeda saat ada kesempatan

Bermain dengan anak-anak


Mengajak anjing peliharaan berjalan-jalan
Bangun dari temat duduk untuk mengganti saluran TV daripada menggunakan remote
control

Berkebun, membersihkan rumah dan mencuci mobil sendiri


Saat di pasar swalayan, berjalan menyusuri setiap lorong yang ada
Olahraga harus dilakukan secara RUTIN agar kondisi tubuh Anda menjadi STABIL. Terutama
bagi penderita DM, aerobik merupakan jenis olahraga yang sangat baik.
Read more: http://diabetesmelitus.org/olahraga-untuk-penderita-diabetes/#ixzz3CuHhDCxB
2.9 Komplikasi
2.6.1. Komplikasi Akut
Komplikasi metabolik Diabetes Mellitus disebabkan oleh perubahan relatif akut dari konsentrasi
glukosa plasma.14
a. Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah <60 mg/dL. Bila terdapat
penurunan kesadaran pada penyandang DM harus selalu dipikirkan kemungkinan terjadinya
hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin.
Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal yang harus dihindari, mengingat dampaknya
yang fatal atau terjadinya kemunduran mental bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada
DM usia lanjut sering lebih lambat dan memerlukan pengawasan yang lebih lama.6
Gejala-gejala hipoglikemia disebabkan oleh pelepasan epinefrin (berkeringat, gemetar, sakit
kepala, palpitasi), juga akibat kekurangan glukosa dalam otak (tingkah laku yang aneh,
sensorium yang tumpul, dan koma). Harus ditekankan bahwa serangan hipoglikemia adalah
serangan berbahaya, bila sering terjadi atau terjadi dalam waktu yang lama dapat menyebabkan
kerusakan otak permanen atau bahkan kematian.14
b. Hiperglikemia
Krisis hiperglikemia merupakan komplikasi akut yang dapat terjadi pada DM, baik tipe 1
maupun tipe 2. Keadaan tersebut merupakan komplikasi serius yang mungkin terjadi sekalipun
pada DM yang terkontrol dengan baik. Krisis hiperglikemia dapat terjadi dalam bentuk
ketoasidosis diabetik (KAD), status hiperosmolar hiperglikemik (SHH) atau kondisi yang
mempunyai elemen kedua keadaan diatas. Krisis hiperglikemia pada DM tipe 2 biasanya terjadi
karena ada keadaan yang mencetuskannya. Faktor pencetus krisis hiperglikemia ini antara lain
infeksi penyakit vaskular akut, trauma, heat stroke, kelainan gastrointestinal dan obat-obatan.
Pada DM tipe 1, krisis hiperglikemia sering terjadi karena yang bersangkutan menghentikan
suntikan insulin ataupun pengobatannya tidak adekuat.30
b.1. Ketoasidosis Diabetik (KAD)
Pada ketoasidosis diabetik, kadar glukosa darah meningkat dengan cepat akibat glukoneogenesis
(300-600 mg/dL), dan peningkatan penguraian lemak yang progresif. Osmolaritas plasma
meningkat (300-320 mOs/ mL). Terjadi poliuria dan dehidrasi. Kadar keton juga meningkat
(ketosis) akibat penggunaan asam lemak yang hampir total untuk menghasilkan ATP. Keton
keluar melalui urine menyebabkan bau napas seperti buah. Pada ketosis, pH turun di bawah 7,3
yang menyebabkan asidosis metabolik.17

Individu dengan KAD sering mengalami mual dan nyeri abdomen. Dapat terjadi muntah yang
memperparah dehidrasi ekstrasel dan intrasel. Kadar kalium turun total tubuh tubuh turun akibat
poliuria dan muntah berkepanjangan.17
Kejadian tahunan dari KAD berdasarkan suatu penelitian population-based pada tahun 1980 di
Amerika Serikat diperkirakan berkisar dari 4 sampai 8 kejadian per 1000 pasien DM setiap
tahunnya. Insiden KAD terus meningkat, diperkirakan terdapat 115.000 pasien rawat inap di
Amerika Serikat pada tahun 2003.31 Walaupun data komunitas di Indonesia belum ada, agaknya
insiden KAD di Indonesia tidak sebanyak di negara Barat, mengingat prevalensi DM tipe 1 yang
rendah. Laporan KAD di Indonesia umumnya berasal dari data rumah sakit, dan terutama pada
pasien DM tipe 2.32
Di negara maju dengan sarana yang lengkap, angka kematian KAD berkisar antara 9-10%,
sedangkan di klinik dengan sarana sederhana dan pasien usia lanjut angka kematian dapat
mencapai 25-50%. Angka kematian KAD di RS Dr. Cipto Mangunkusumo selama periode 5
bulan (Januari-Mei 2005) terdapat 39 kasus KAD dengan angka kematian 15%.
b.2. Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH)
SHH adalah komplikasi akut yang dijumpai pada pengidap DM tipe 2. SHH adalah manifestasi
awal DM pada 7-17% pasien DM.33 Walaupun tidak rentan mengalami ketosis, pengidap DM
tipe 2 dapat mengalami hiperglikemia berat peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-1200
mg/dL). Kadar hiperglikemia ini menyebabkan osmolaritas plasma sangat meningkat (330-380
mOs/mL). Situasi ini menyebabkan pengeluaran berliter-liter urine, rasa haus yang hebat, defisit
kalium yang parah dan sekitar 15-20 menit dapat terjadi koma dan kematian.17
Pada penelitian retrospektif oleh Wachtel T.J. dan kawan-kawan di Rhode Island negara bagian
AS pada tahun 1986,1987, dan 1988, ditemukan bahwa dari 613 pasien DM yang diteliti, 22%
adalah pasien KAD, 45% SHH dan 33% merupakan campuran dari kedua keadaan tersebut. Pada
penelitian tersebut ternyata sepertiga dari mereka yang presentasi kliniknya campuran KAD dan
SHH, adalah mereka yang berusia lebih dari 60 tahun.34
Data di Amerika menunjukkan bahwa insiden SHH sebesar 17,5 per 100.000 penduduk. SHH
lebih sering ditemukan pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Angka mortalitas pada
kasus SHH cukup tinggi , sekitar 10-20%.
2.6.2. Komplikasi Kronik
Terdapat banyak komplikasi jangka panjang pada DM. Sebagian besar disebabkan langsung oleh
tingginya konsentrasi glukosa darah. Komplikasi DM tersebut hampir mengenai semua organ
tubuh.18 Komplikasi kronis ini berkaitan dengan gangguan vaskular, yaitu: komplikasi
mikrovaskular dan komplikasi makrovaskular.18
a. Komplikasi Mikrovaskular
a.1. Retinopati Diabetik (Kerusakan Mata)
Komplikasi jangka panjang DM yang sering dijumpai adalah gangguan penglihatan. Ancaman
paling serius terhadap penglihatan adalah retinopati diabetik, atau kerusakan pada retina karena
tidak mendapatkan oksigen. Retina adalah jaringan yang aktif bermetabolisme dan pada hipoksia
kronis akan mengalami kerusakan secara progresif dalam struktur kapilernya, membentuk
mikroaneurisma, dan memperlihatkan bercak-bercak perdarahan. Terbentuk jaringan-jaringan
infark (jaringan yang mati) yang diikuti neuvaskularisasi (pembentukan pembuluh baru),
bertunasnya pembuluh-pembuluh lama. Sayangnya pembuluh-pembuluh baru dan tunas-tunas
dari pembuluh lama berdinding tipis dan sering hemoragik, menyebabkan aktivasi sistem
inflamasi dan pembentukan jaringan parut di retina. Edema interstisial terjadi dan tekanan

intaokulus meningkat, yang menyebabkan kolapsnya kapiler dan saraf yang tersisa sehingga
terjadi kebutaan. DM juga berkaitan dengan peningkatan katarak dan glaukoma.18
Pada stadium awal retinopati dapat diperbaiki dengan kontrol gula darah yang baik, sedangkan
pada kelainan sudah lanjut hampir tidak dapat diperbaiki hanya dengan kontrol gula darah,
malahan akan menjadi lebih buruk apabila dilakukan penurunan kadar gula darah yang terlalu
singkat.30
Retinopati diabetik terjadi pada penderita DM tipe 1 maupun tipe 2. Retinopati diabetik
berkembang hampir pada semua penderita DM tipe 1 dan juga pada 77% lebih penderita DM
tipe 2 yang bertahan hidup lebih dari 20 tahun. WHO menyatakan bahwa pada tahun 2002
retinopati diabetik bertanggung jawab atas 4,8% dari 37 juta kasus kebutaan di seluruh dunia.38
DM adalah penyebab nomor satu kebutaan di Amerika Serikat. Retinopati dabetik juga
bertanggung jawab atas sekitar 10.000 kasus kebutaan setiap tahunnya di Amerika Serikat.
a.2. Nefropati Diabetik (Kerusakan Ginjal)
Nefropati diabetik merupakan salah satu penyebab kematian terpenting pada DM yang lama.
Nefropati diabetik merupakan istilah yang mencakup semua lesi yang terjadi di ginjal pada
DM.18 Lesi awalnya adalah hiperfiltrasi glomerulus (peningkatan laju filtrasi glomerulus) yang
menyebabkan penebalan difusi pada membran basal glomerulus, bermanifestasi sebagai
mikroalbuminuria (albumin dalam urin 30-300 mg/hari), merupakan tanda sangat akurat
terhadap kerusakan vaskular secara umum yang menjadi prediktor kematian akibat penyakit
kardiovaskular. Albuminuria persisten (albumnin urin >300 mg/hari) awalnya disertai dengan
GFR (Glomerular Filtration Rate) yang normal, namun setelah terjadi protenuria berlebih
(protein dalam urin >0,5 g/24 jam), GFR menurun secara progresif dan terjadi gagal ginjal.30
Telah diperkirakan bahwa sekitar 35% hingga 45% pasien DM tipe 1 akan berkembang menjadi
gagal ginjal kronik dalam waktu 15 hingga 25 tahun setelah awitan DM. Individu dengan DM
tipe 2 lebih sedikit yang berkembang menjadi gagal ginjal kronik (sekitar 10% hingga 20%)
dengan insidensi mendekati 50%.14 Nefropati diabetik adalah penyebab nomor satu gagal ginjal
di Amerika Serikat dan negara-negara barat lainnya.18
a.3. Neuropati Diabetik (Kerusakan Saraf)
Diabetes Mellitus merusak sistem saraf perifer, termasuk komponen sensorik dan motorik divisi
somatik otonom. Penyakit saraf yang disebabkan DM disebut neuropati diabetik. Neuropati
diabetik disebabkan hipoksia kronis sel-sel saraf yang kronis serta efek hiperglikemia, termasuk
hiperglikosilasi protein yang melibatkan fungsi sel saraf. Sel-sel penunjang saraf, terutama sel
Schwann mulai menggunakan metode alternatif untuk mengatasi beban peningkatan glukosa
kronis, yang akhirnya mengakibatkan demielinisasi segmental saraf perifer.18
Neuropati diabetik terjadi 60-70% individu DM. Neuropati diabetik yang paling sering
ditemukan adalah neuropati perifer dan otonom.36 Neuropati perifer, pada awalnya
menyebabkan hilangnya sentakan pergelangan kaki dan tidak adanya sensasi getar pada
extremitas bawah. Kemudian sensasi raba dan nyeri menghilang. Pasien sering kali mengeluh
baal (kesemutan), dan rasa seperti terbakar di malam hari. Ulkus kronis tanpa nyeri berkembang
di tempat-tempat yang terkena trauma berulang.39
Semua penyandang DM yang disertai neuropati perifer harus diberikan edukasi perawatan kaki
untuk mengurangi risiko ulkus kaki karena kulit pada daerah ekstremitas bawah merupakan
tempat yang sering mengalami infeksi. Kuman stafilokokus merupakan kuman penyebab utama.
Ulkus kaki terinfeksi biasanya melibatkan banyak mikroorganisme, yang sering terlibat adalah
stafilokokus, streptokokus, batang gram negatif dan kuman anaerob. Neuropati otonom dapat
menyebabkan disfungsi ereksi (impotensi seksual) pada 25% pasien pria dan disfungsi
gastrointestinal serta infeksi saluran kemih.36 Prevalensi disfungsi ereksi pada penyandang DM

tipe 2 lebih dari 10 tahun cukup tinggi dan merupakan akibat adanya neuropati autonom,
angiopati dan masalah psikis. Upaya pengobatan utama adalah memperbaiki kontrol glukosa
darah senormal mungkin dan memperbaiki faktor risiko disfungsi ereksi lain seperti dislipidemia,
merokok, obesitas dan hipertensi.
b. Komplikasi Makrovaskular
Komplikasi makrovaskular terutama terjadi akibat aterosklerosis (pengerasan arteri). Komplikasi
makrovaskular ikut berperan dan menyebabkan gangguan aliran darah, penyulit komplikasi
jangka panjang, dan peningkatan mortalitas. Pada DM terjadi kerusakan pada lapisan sel endotel
arteri dan dapat disebabkan secara langsung oleh tingginya kadar glukosa dalam darah, metabolit
glukosa, atau tingginya kadar asam lemak dalam darah yang sering dijumpai pada pasien DM.
Akibat kerusakan tersebut, permeabilitas sel endotel meningkat sehingga molekul yang
mengandung lemak masuk ke arteri. Kerusakan sel-sel endotel akan mencetuskan reaksi imun
dan inflamasi sehingga akhirnya terjadi pengendapan trombosit, makrofag, dan jaringan fibrosis.
Sel-sel otot polos berproliferasi. Penebalan dinding arteri menyebabkan hipertensi, yang semakin
merusak lapisan endotel arteri karena menimbulkan gaya yang merobek-robek sel-sel endotel.17
Komplikasi makrovaskular akan mengakibatkan penyumbatan vaskular. Jika mengenai arteriarteri perifer, maka dapat mengakibatkan insufisiensi vaskular perifer yang disertai klaudikasio
intermitten dan ganggren pada ekstremitas serta insufisiensi serebral dan stroke. Jika yang
terkena adalah arteri koronaria dan aorta maka dapat mengakibatkan angina dan infark
miokardiun.14
Pada penderita DM, risiko penyakit serebrovaskular meningkat dua kali lipat, penyakit jantung
koroner meningkat tiga sampai lima kali lipat, dan penyakit pembuluh darah perifer meningkat
40 kali.25 Risiko relatif penyakit kardiovaskular adalah dua sampai empat kali lipat lebih tinggi
pada pria dan tiga sampai empat kali lebih tinggi pada wanita DM dari pada kelompok kontrol
berusia sama. Makrovaskular merupakan penyebab utama kematian pada pasien DM tipe 2,
mancakup 50% kematian pada kelompok ini.
2.10 Prognosis
Diabetes mellitus sangat berisiko menimbulkan penyakit vaskuler, termasuk kardiovaskuler.
Berdasarkan pada suatu studi, wanita dengan tekanan darah tinggi (hipertensi) 3 kali lebih sering
menderita diabetes tipe 2 dibandingkan dengan wanita dengan tekanan darah normal, setelah
disesuaikan dengan beberapa variasi faktor seperti umur, etnik, kebiasaan merokok, asupan
alkohol, BMI, pengendalian yang dilakukan, dan riwayat diabetes dalam keluarga, dsb.
Penelitian ini dilakukan pada 38.000 wanita sehat yang dilakukan secara kohort pada 10 tahun.
Kecuali dalam kasus diabetes tipe 1, dimana kasus tersebut selalu membutuhkan penggantian
insulin, untuk memanage diabetes tipe 2 dilakukan berdasarkan umur atau dengan kata lain jenis
terapi dan manajemen berbeda menurut umur. Produksi insulin menurun karena bertambahnya
umur, dihubungkan dengan kerusakan atau memburuknya fungsi beta sel pangkreas.
Ditambahkan juga, peningkatan resistensi insulin bisa dikarenakan kehilangan lemak-lemak
jaringan dan akumulasi lemak, terutama pada bagian intra-abdomial, dan penurunan sensitivitas
jaringan terhadap insulin. Toleransi terhadap glukosa secara progresif menurun karena faktor
umur, hal ini mendorong terjadi tingginya prevalensi diabetes tipe 2 dan kejadian hiperglikemia
pada populasi penduduk usia tua. Umur memang berhubungan dengan intoleransi glukosa pada
manusia dan sering hal tersebut terjadi bersamaan dengan resistensi insulin, akan tetapi sirkulasi
kadar insulin pada orang tua sama dengan pada orang dengan usia muda. Treatmen ditujukan
untuk pasien dengan usia tua yang menderita diabetes berbeda-beda menurut masing-masing

individu, tergantung status kesehatan individu, seperti usia harapan hidup, derajat
ketergantungan, dan kemauan untuk mengkonsumsi obat obatan untuk penyembuh. Kadar
glikogen dalam hemoglobin lebih baik digunakan sebagai acuan dibandingkan kadar glukosa
puasa untuk menentukan besarnya risiko kejadian penyakit kardiovakular dan kematian akibat
diabetes dilihat dari banyaknya penyebab kematian pada penyakit ini.
2.11 Pencegahan
Pencegahan Primer
Pencegahan primer berarti mencegah terjadinya Diabetes Mellitus. Pencegahan primer adalah
upaya yang ditujukan pada kelompok yang memiliki faktor risiko, yakni mereka yang belum
terkena, tetapi berpotensi untuk mendapat DM dan kelompok intoleransi glukosa.
Pencegahan primer dilakukan dengan tindakan penyuluhan yang ditujukan untuk kelompok
masyarakat yang mempunyai risiko tinggi dan intoleransi glukosa. Materi penyuluhan meliputi
antara lain:
a. Program penurunan berat badan. Pada seseorang yang mempunyai risiko DM dan mempunyai
berat badan lebih, penurunan berat badan merupakan cara utama untuk menurunkan risiko
terkena DM tipe 2 atau intoleransi glukosa. Beberapa penelitian menunjukkan penurunan berat
badan 5-10% dapat mencegah atau memperlambat munculnya DM tipe 2.
b. Diet sehat. Diet sehat dapat dilakukan dengan mengatur jumlah asupan kalori agar tercapai
berat badan yang ideal, mengonsumsi makanan yang mengandung karbohidrat kompleks agar
tidak menimbulkan puncak (peak) glukosa darah yang tinggi setelah makan dan juga makanan
yang mengandung sedikit lemak jenuh, dan tinggi serat larut.
c. Latihan jasmani, latihan jasmani teratur dapat memperbaiki kendali glukosa darah,
mempertahankan atau menurunkan berat badan, serta dapat meningkatkan kadar kolesterol HDL.
Latihan jasmani yang dianjurkan, dikerjakan sedikitnya selama 150 menit/minggu dengan latihan
aerobik sedang (mencapai 50-70% denyut jantung maksimal), atau 90 menit/minggu dengan
latihan aerobik berat (mencapai denyut jantung >70% maksimal). Latihan jasmani dibagi
menjadi 3-4 kali aktivitas/minggu
d. Menghentikan merokok.
Merokok merupakan salah satu risiko timbulnya gangguan kardiovaskular. Meskipun merokok
tidak berkaitan langsung dengan timbulnya intoleransi glukosa, tetapi merokok dapat
memperberat komplikasi kardiovaskular dari intoleransi glukosa dan DM tipe 2.6
Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit pada pasien
yang telah menderita DM. Dilakukan dengan pemberian pengobatan yang cukup dan tindakan
deteksi dini penyulit sejak awal pengelolaan penyakit DM. Dalam upaya pencegahan sekunder
program penyuluhan memegang peran penting untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam
menjalani program pengobatan dan dalam menuju perilaku sehat. Untuk pencegahan sekunder
ditujukan terutama pada pasien baru.6
a. Penyuluhan
Berbagai penelitian menunjukkan kepatuhan pada pengobatan penyakit yang bersifat kronik,
pada umumnya rendah. Untuk mengatasi ketidakpatuhan tersebut, penyuluhan atau edukasi bagi
penyandang DM beserta keluarganya diperlukan. Penyuluhan diperlukan karena penyakit DM
adalah penyakit yang berhubungan dengan gaya hidup.2
Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat awal dan materi edukasi tingkat lanjutan.
Materi edukasi pada tingkat awal meliputi pemahaman tentang: perjalanan penyakit DM,

perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara berkelanjutan, penyulit DM dan risikonya,


intervensi farmakologis dan nonfarmakologis serta target pengobatan, interaksi antara asupan
makanan, aktivitas fisik, dan obat hipoglikemik oral atau insulin serta obat-obatan lain,
mengatasi sementara keadaan gawat darurat seperti rasa sakit atau hipoglikemia, pentingnya
latihan jasmani yang teratur, pentingnya perawatan kaki, dan cara mempergunakan fasilitas
perawatan kesehatan.6 Materi edukasi pada tingkat lanjut yaitu: mengenal dan mencegah
penyulit akut DM, pengetahuan mengenai penyulit menahun DM, penatalaksanaan DM selama
menderita penyakit lain, makan di luar rumah, hasil penelitian dan pengetahuan masa kini dan
teknologi mutakhir tentang DM, dan pemeliharaan/perawatan kaki.6
b. Pengobatan
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu
(2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi
farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin.6
b.1. Obat Hipoglikemik Oral
Berdasarkan cara kerjanya obat hipoglikemik oral (OHO) dibagi menjadi 5 golongan:
1. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonylurea dan glinid.
Golongan Sulfonilurea mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang.
Sedangkan golongan glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama.
2. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: tiazolidindion
Golongan tiazolidindion ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di
perifer.
3. Penghambat glukoneogenesis: metformin
Golongan metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai
pada penyandang DM yang gemuk.
4. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidasealfa.
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai efek
menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
5. DPP-IV inhibitor
DPP-IV inhibitor, mampu menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1 tetap dalam konsentrasi
yang tinggi dalam bentuk aktif dan mampu merangsang penglepasan insulin serta menghambat
penglepasan glukagon.6
b.2. Insulin
Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM tipe 1. Pada DM tipe 1, sel-sel
Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak, sehingga tidak lagi dapat memproduksi insulin.
Sebagai penggantinya, maka penderita DM tipe 1 harus mendapat insulin eksogen untuk
membantu agar metabolisme karbohidrat di dalam tubuhnya dapat berjalan normal.40 Terapi

insulin pada pasien DM tipe 2 dapat dimulai antara lain untuk pasien dengan kegagalan terapi
oral, kendali kadar glukosa darah yang buruk (HbA1C > 7,5% atau kadar glukosa darah puasa >
250 mg/dL), riwayat pankreatektomi, atau disfungsi pankreas, riwayat fluktuasi kadar glukosa
darah yang lebar, riwayat ketoasidosis, riwayat penggunaan insulin lebih dari 5 tahun, dan
penyandang DM lebih dari 10 tahun.41

2.7.3. Pencegahan Tersier


Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang DM yang telah mengalami penyulit
dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut. Upaya rehabilitasi pada pasien
dilakukan sedini mungkin, sebelum kecacatan menetap. Pada upaya pencegahan tersier tetap
dilakukan penyuluhan pada pasien dan keluarga.
Materi penyuluhan termasuk upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk mencapai kualitas
hidup yang optimal.
Pencegahan tersier memerlukan pelayanan kesehatan holistik dan terintegrasi antar disiplin yang
terkait, terutama di rumah sakit rujukan. Kolaborasi yang baik antar para ahli di berbagai disiplin
(jantung dan ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi, rehabilitasi medis, gizi,
podiatris, dll.) sangat diperlukan dalam menunjang keberhasilan pencegahan tersier

LI.3. Hitung kebutuhan kalori


3.1 Perhitungan kebutuhan kalori menurut braca&benedict
Penghitungan Jumlah Kalori
Perhitungan julah kalori ditentukan oleh stasus gizi, umur, ada tidaknya stress akut, dan kegiatan
jasmani. Penetuan stasu s gizi dapat dipakai indeks massa tubuh (IMT) atau rumus Brocca.
Penentuan stasus gizi berdasarkan IMT
IMT dihitung berdasarkan pembagian berat badan (dalam kilogram) dibagi dengat tinggi badan
(dalam meter) kuadrat.
o
Berat badan kurang <18,5
o
Berat badan normal 18,5-22,9
o
Berat badan lebih 23,0
o
Dengan resiko 23-24.9
o
Obes I 25-29,9
o
Obes II 30
Penentuan stasus gizi berdasarkan rumus Brocca
Pertama-tama dilakukan perhitungan berat badan idaman berdasarkan rumus:
berat badan idaman (BBI kg) = (TB cm - 100) -10%.
Penetuan stasus gizi dihitung dari : (BB aktual : BB idaman) x 100%
o
Berat badan kurang BB <90% BBI
o
Berat badan normal BB 90-110% BBI
o
Berat badan lebih BB 110-120% BBI
o
Gemuk
BB>120% BBI
Penentuan kebutuhan kalori perhari:

1. Kebutuhan basal:
o
Laki-laki : BB idaman (Kg) x 30 kalor
o
Wanita : BB idaman (Kg) x 25 kalori
2. Koreksi atau penyesuaian:
o
Umur diatas 40 tahun
: -5%
o
Aktivitas ringan
: +10%
o
Aktifitas sedang
: +20%
o
Aktifitas berat
: +30%
o
Berat badan gemuk
: -20%
o
Berat badan lebih
: -10%
o
Berat badan kurus
: +10%
3. Stress metabolik
: +10-30%
4. Kehamilan trimester I dan II
: +300 kalori
5. Kehamilan trimester II dan menyusui : +500 kalori
Makanan tersebut dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), makan siang (25%), serta
2-3 porsi ringan (10-15%) di antara makan besar. Pengaturan makan ini tidak berbeda dengan
orang normal, kecuali dengan pengaturan jadwal makan dan jumlah kalori. Usahakan untuk
merubah pola makan ini secara bertahap sesuai kondisi dan kebiasaan penderita.
3.2 Daftar Komposisi Bahan Makanan Penukar
Daftar Bahan Makanan Penukar
Daftar bahan makanan penukar (BMP) dibuat untuk memudahkan diabetisi dan masyarakat
umum yang ingin merencanakan makan dan mengatur menu yang seimbang namun tetap
bervariasi. BMP digolongkan berdasarkan nilai gizi yang setara. dimana terdapat kandungan
kalori, protein, lemak, dan karbohidrat yang hampir sama. Dengan daftar ini, setiap jenis
makanan dapat ditukar dengan jenis makanan lain, dengan nilai kalori dan gizi yang sama.
Golongan I : Sumber Karbohidrat
Setiap makanan berat yang terdapat dalam tabel di bawah ini, mengandung : 175 KKal, 4 gram
protein, 40 gram karbohidrat

Golongan II : Sumber Protein Hewani


Rendah Lemak : Setiap jenis makanan dengan berat seperti dalam tabel ini, mengandung 50
KKal, 7 gram protein, 2 gram lemak

Lemak Sedang : Setiap jenis makanan dengan berat seperti dalam tabel ini, mengandung 75
KKal, 7 gram protein, 5 gram lemak

Tinggi Lemak : Setiap jenis makanan dengan berat seperti dalam tabel ini, mengandung 150
KKal, 7 gram protein, 5 gram lemak

Golongan III : Sumber Protein Nabati


Setiap jenis makanan yang terdapat dalam tabel di bawah ini mengandung 75 KKal, 5 gram
protein, 3 gram lemak, 7 gram karbohidrat

Golongan IV : Sayuran

http://prodia.co.id/tips-kesehatan/daftar-bahan-makanan-penukar
3.3 Komposisi Makronutrien (gram)
(Terlampir)

LI.4. pola makan dan olahraga yang baik dalam Islam


A Prinsip
1 Diniatkan bahwa tujuan makan dan minum adalah untuk menambah ketaqwaan
kepada Allah SWT.
2 Makanan dan minuman yang dikonsumsi adalah yang halal dan baik (halalan
thoyyiban) serta bersih.
B Larangan.

1
2
3

Apabila makanan dan minuman dalam keadaan panas, tunggulah sampai dingin dan
jangan ditiup
Tidak menggunakan peralatan makanan/ minuman berupa bejana dari emas atau
perak.
Jangan makan sambil berdiri.

C Tata cara makan Rasulullah SAW .


1 Cara/ adab makan:
a Mencuci (wudhu) tangan terlebih dahulu.
b Duduk, tidak bersandar pada punggung atau bersila. Cara duduk nabi saw adalah
duduk berlutut, duduk diatas kaki yang kiri dan menegakkan kaki kanannya.
c Meletakkan makanan di sebelah kanan.
d Makan bersama keluarga dan mengajak orang banyak, dengan duduk mengitari
makanan.
e Mengambil makanan yang terdekat.
f Tidak mencela makanan.
g Menggunakan tangan kanan.
h Hanya menggunakan 3 jari: ibu jari, jari telunjuk, dan jari tengah.
i Membaca bismillah ( ) setiap kali memasukkan makanan atau minuman ke
dalam mulut, ; apabila lupa sewaktu teringat bacalah bismillahi awwallohu wa
aakhirohu.
j Menjilati jari-jari tangan atas makanan yang menempel dijari tersebut.
k Makan ketika terasa lapar dan berhenti sebelum kenyang, prinsipnya ruang
lambung dibagi 3 bagian: yaitu 1/3 air, 1/3 makanan, dan 1/3 udara.
l Bersyukur dan berdoa sesudah makan, mengucapkan:alhamdulillahi ladzii
athamana wa saqoona wa jaalana muslimin.
m Mencuci tangan sesudah makan.
n Berkumur-kumur dan bersiwak (menyikat gigi) sesudah makan.
o Mencuci bejana bekas makanan dan minuman.
p Menutup kembali wadah tempat makanan dan minuman.
2

3.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.

Sifat makanan.
a Berimbang, maksudnya: setiap jenis makanan yang dimakan disesuaikan dengan
kebutuhan porsi/ gizinya masing-masing, dan tidak berlebihan.
b Makanan dapat berupa apa saja, asalkan terhindar dari hal yang diharamkan,
Jenis makanan yang pernah dimakan Rasulullah SAW:
Roti dan kue (makanan yang terbuat dari tepung dan rempah-rempah)
Bubur
Mentimun
Semangka
Kurma, ruthab, tamar (kurma kering)
Labu (dicampur roti atau tidak)
Keju
Gula-gula dan madu
Mentega
Daging kelinci
Daging kambing (bagian lengan atau punggung)
Daging burung hubara (burung yang panjang lehernya)
Dendeng

n.
o.

Belalang
Ikan laut

Olahraga yang baik menurut Islam


"Sesungguhnya pada tubuhmu ada hak yang harus engkau penuhi."
(HR Bukhari, Ahmad, Nasai)
"Dan perhatikanlah hal-hal yang bermanfaat bagimu."
(HR Muslim, Ibnu Majah, dan Ahmad)
"Mukmin yang kuat lebih baik dari mukmin yang lemah."
(HR Muslim, Ibnu Majah, dan Ahmad)
"Dan pergunakanlah masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu."
(HR Bukhari)
Berolahraga teratur dibarengi dengan gizi yang seimbang dapat membantu menjaga kebugaran,
kesehatan biologis, dan aktivitas tubuh. aktivitas tubuh yang teratur memiliki beberapa manfaat,
antara lain :
menormalkan fungsi hati
sirkulasi darah dan pernafasan
menambah daya pompa otot-otot hati
membantu menjaga kekuatan otot tubuh
mencegah kerapuhan tulang (terutama karena bertambahnya usia)
membakar kalori
menjaga berat badan ideal
membantu individu melaksanakan tugasnya dengan kemampuan yang lebih besar
Penyakit pencernaan disebabkan oleh bertambahnya berat badan atau kegemukan antara lain :
sulitnya pencernaan
radang (infeksi) kantung empedu dan ginjal
penyakit sistem pernafasan, jika badan bertambah berat, ketika mengeluarkan nafas
gerakan selaput dinding pemisah dan gerakan rongga dada makin lambat mengakibatkan
oksigen makin berkurang.
penyakit sistem sirkulasi adalah darah tinggi dan gejala penebalan pada pembuluh nadi
hati yang dapat menyebabkan serangan jantung dan pembekuan darah.
penyakit kelenjar buntu adalah kencing manis serta penebalan pada pembuluh otak yang
dapat mengakibatkan stroke dan lumpuh setengah badan (hemiplegia)
orang kegemukan terancam penyakit radang persendian, reumatik, dll

LI.5. Retinopati diabetic


5.1 Definisi
Retinopati adalah salah satu komplikasi mikrovaskular DM yang merupakan penyebab utama
kebutaan pada orang dewasa.2,3 Penelitian epidemiologis di Amerika, Australia,Eropa, dan Asia
melaporkan bahwa jumlah penderita retinopati DM akan meningkat dari 100,8 juta pada tahun
2010 menjadi 154,9 juta pada tahun 2030 dengan 30% diantaranya terancam mengalami
kebutaan.4 The DiabCare Asia 2008 Study melibatkan 1 785 penderita DM pada 18 pusat
kesehatan primer dan sekunder di Indonesia dan melaporkan bahwa 42% penderita DM
mengalami komplikasi retinopati, dan 6,4% di antaranya merupakan retinopati DM proliferatif.

Risiko menderita retinopati DM meningkat sebanding dengan semakin lamanya seseorang


menyandang DM. Faktor risiko lain untuk retinopati DM adalah ketergantungan insulin pada
penyandang DM tipe II, nefropati, dan hipertensi.6,7 Sementara itu, pubertas dan kehamilan
dapat mempercepat progresivitas retinopati DM. Kebutaan akibat retinopati DM menjadi
masalah kesehatan yang diwaspadai di dunia karena kebutaan akan menurunkan kualitas hidup
dan produktivitas penderita yang akhirnya menimbulkan beban sosial masyarakat. Masalah
utama dalam penanganan retinopati DM adalah keterlambatan diagnosis karena sebagian besar
penderita pada tahap awal tidak mengalami gangguan penglihatan.
5.2 Etiologi
Faktor-faktor yang mendorong terjadinya retinopati adalah :
Terjadi karena adanya perubahan dinding arteri
Adanya komposisi darah abnormal
Meningkatnya agregasi platelet dari plasma menyebabkan terbentuknya mikrothrombin
Gangguan endothelium kapiler menyebabkan terjadinya kebocoran kapiler,
selanjutnyaterjadi insudasi dinding kapiler dan penebalan membran dasar dan diikuti
dengan eksudasidinding haemorhagic dengan udem perikapiler
Perdarahan kapiler dapat terjadi di retina dalam sybhyaloid dimana letaknya di depan
jaringan retina. Hemoraghi tidak terjadi intravitreal tetapi terdapat dalam ruangvitreo
retinal yang tersisa karena vitreus mengalami retraksi
Aliran darah yang kurang lancar dalam kapiler-kapiler, sehingga terjadi hipoksiarelatif di
retina yang merangsang pertumbuhan pembuluh-pembuluh darah yang baru.
Perubahan arteriosklerotik dan insufisiensi koroidal
Hipertensi yang kadang-kadang mengiringi diabetes

5.3 Epidemiologi
Penelitian epidemiologis di Amerika, Australia, Eropa, dan Asia melaporkan bahwa jumlah
penderita retinopati DM akan meningkat dari 100,8 juta pada tahun 2010 menjadi 154,9 juta
pada tahun 2030 dengan 30% di antaranya terancam mengalami kebutaan.4 The DiabCare Asia
2008 Study melibatkan 1 785 penderita DM pada 18 pusat kesehatan primer dan sekunder di
Indonesia dan melaporkan bahwa 42% penderita DM mengalami komplikasi retinopati, dan
6,4% di antaranya merupakan retinopati DM proliferatif.
5.4 Patogenesis&Patof
Hiperglikemia kronik mengawali perubahan patologis pada retinopati DM dan terjadi melalui
beberapa jalur. Pertama, hiperglikemia memicu terbentuknya reactive oxygen intermediates
(ROIs) dan advanced glycation endproducts (AGEs). ROIs dan AGEs merusak perisit dan
endotel pembuluh darah serta merangsang pelepasan faktor vasoaktif seperti nitric oxide (NO),
prostasiklin, insulin-like growth factor-1 (IGF-1), dan endotelin yang akan memperparah
kerusakan. Kedua, hiperglikemia kronik mengaktivasi jalur poliol yang meningkatkan glikosilasi
dan ekspresi aldose reductase sehingga terjadi akumulasi sorbitol. Glikosilasi dan akumulasi
sorbitol kemudian mengakibatkan kerusakan endotel pembuluh darah dan disfungsi enzim
endotel. Ketiga, hiperglikemia mengaktivasi transduksi sinyal intraseluler protein kinase C
(PKC). Vascular endothelial growth factor (VEGF) dan faktor pertumbuhan lain diaktivasi oleh

PKC. VEGF menstimulasi ekspresi intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) yang memicu
terbentuknya ikatan antara leukosit dan endotel pembuluh darah. Ikatan tersebut menyebabkan
kerusakan sawar darah retina, serta thrombosis dan oklusi kapiler retina. Keseluruhan jalur
tersebut menimbulkan gangguan sirkulasi, hipoksia, dan inflamasi pada
retina. Hipoksia menyebabkan ekspresi faktor angiogenik yang berlebihan sehingga merangsang
pembentukan pembuluh darah baru yang memiliki kelemahan pada membran basalisnya,
defisiensi taut kedap antarsel endotelnya, dan kekurangan jumlah perisit. Akibatnya, terjadi
kebocoran protein plasma dan perdarahan di dalam retina dan vitreous.9-11
5.5 Manifes
Sebagian besar penderita retinopati DM, pada tahap awal tidak mengalami gejala penurunan
tajam penglihatan. Apabila telah terjadi kerusakan sawar darah retina, dapat ditemukan
mikroaneurisma, eksudat lipid dan protein, edema, serta perdarahan intraretina.6,11,13
Selanjutnya, terjadi oklusi kapiler retina yang mengakibatkan kegagalan perfusi di lapisan
serabut saraf retina sehingga terjadi hambatan
transportasi aksonal. Hambatan transportasi tersebut menimbulkan akumulasi debris akson yang
tampak sebagai gambaran soft exudates pada pemeriksaan oftalmoskopi. Kelainan tersebut
merupakan tanda retinopati DM nonproliferatif. Hipoksia akibat oklusi akan merangsang
pembentukan pembuluh darah baru dan ini merupakan tanda patognomonik retinopati DM
proliferatif.6,11,13 Kebutaan pada DM dapat
terjadi akibat edema hebat pada makula, perdarahan masif intravitreous, atau ablasio retina
traksional.

5.6 Diagnosis+DD
Deteksi dini retinopati DM di pelayanan kesehatan primer dilakukan melalui pemeriksaan
funduskopi direk dan indirek. Dengan fundus photography dapat dilakukan dokumentasi
kelainan retina.9 Metode diagnostik terkini yang disetujui oleh American Academy of
Ophthalmology (AAO) adalah fundus photography. Keunggulan pemeriksaan tersebut adalah
mudah dilaksanakan, interpretasi dapat dilakukan oleh dokter umum terlatih sehingga mampu
laksana di pelayanan kesehatan primer. Selanjutnya, retinopati DM dikelompokkan sesuai
dengan standar Early Treatment Diabetic

Retinopathy Study
(ETDRS) yang tampak
pada Tabel 1. Di
pelayanan primer
pemeriksaan fundus
photography berperanan
sebagai pemeriksaan
penapis. Apabila pada
pemeriksaan ditemukan
edema makula, retinopati
DM nonproliferatif
derajat berat dan
retinopati DM
proliferatif maka harus
dilanjutkan dengan
pemeriksaan mata
lengkap oleh dokter
spesialis mata.
Pemeriksaan mata
lengkap oleh dokter
spesialis mata terdiri dari
pemeriksaan visus,
tekanan bola mata, slitlamp biomicroscopy, gonioskop, funduskopi dan stereoscopic fundus photography dengan
pemberian midriatikum sebelum pemeriksaan. Pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan optical
coherence tomography (OCT) dan ocular ultrasonography
bila perlu. OCT memberikan gambaran penampang aksial untuk menemukan kelainan yang sulit
terdeteksi oleh pemeriksaan lain dan menilai edema makula serta responsnya terhadap terapi.
Ocular ultrasonography bermanfaat untuk evaluasi retina bila visualisasinya terhalang oleh
perdarahan vitreous
atau kekeruhan media refraksi.6

5.7 Tatalaksana
Tata laksana retinopati DM dilakukan berdasarkan tingkat keparahan penyakit. Retinopati DM
nonproliferatif derajat ringan hanya perlu dievaluasi setahun sekali. Penderita retinopati DM
nonproliferatif derajat ringan-sedang tanpa edema makula yang nyata harus menjalani
pemeriksaan rutin setiap 6-12 bulan. Retinopati DM nonproliferatif derajat ringan-sedang dengan
edema makula signifikan merupakan indikasi laser photocoagulation untuk mencegah
perburukan. Setelah dilakukan laser photocoagulation, penderita perlu dievaluasi setiap 2-4
bulan. Penderita retinopati DM nonproliferatif derajat berat dianjurkan untuk menjalani
panretinal laser photocoagulation, terutama apabila kelainan berisiko tinggi untuk berkembang
menjadi retinopati DM proliferatif. Penderita harus dievaluasi setiap 3-4 bulan pascatindakan.
Panretinal laser photocoagulation
harus segera dilakukan pada penderita retinopati DM proliferatif. Apabila terjadi retinopati DM
proliferatif disertai edema makula signifikan, maka kombinasi focal dan panretinal laser
photocoagulation menjadi terapi pilihan
5.10 Pencegahan
Deteksi Dini Retinopati DM
Pada tahun 2010, The American Diabetes Association7 menetapkan beberapa
rekomendasi pemeriksaan untuk deteksi dini retinopati DM. Pertama, orang dewasa dan anak
berusia lebih dari 10 tahun yang menderita DM tipe I harus menjalani pemeriksaan mata lengkap
oleh dokter spesialis mata dalam waktu lima tahun setelah diagnosis DM di- tegakkan. Kedua,
penderita DM tipe II harus menjalani pemeriksaan mata lengkap oleh dokter spesialis mata
segera setelah didiagnosis DM. Ketiga, pemeriksaan mata penderita DM tipe I dan II harus
dilakukan secara rutin setiap tahun oleh dokter spesialis mata. Keempat, frekuensi pemeriksaan
mata dapat dikurangi apabila satu atau lebih hasil pemeriksaan menunjukkan hasil normal dan
dapat ditingkatkan apabila ditemukan tanda retinopati progresif. Kelima, perempuan hamil
dengan DM harus menjalani pemeriksaan mata rutin sejak trimester pertama sampai dengan satu
tahun setelah persalinan karena risiko terjadinya dan/atau perburukan retinopati DM meningkat,
dan ia harus menerima penjelasan menyeluruh tentang risiko tersebut

Anda mungkin juga menyukai