Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Hak merupakan sesuatu yang sudah melekat kuat sejak seseorang lahir. Hak adalah
unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam penerapannya berada
pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya
antara individu atau dengan instansi. Hak juga merupakan sesuatu yang harus diperoleh
oleh setiap manusia.
Hak Asasi Manusia (HAM) ialah hak-hak yang dimiliki manusia sejak lahir yang
berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Hak Asasi Manusia
merupakan sebuah bentuk anugerah dari Tuhan, sebagai sesuatu karunia yang paling
mendasar dalam hidup manusia yang paling berharga. Hak Asasi Manusia dilandasi
dengan sebuah kebebasan setiap individu dalam menentukan jalan hidupnya. Tetapi, Hak
Asasi Manusia juga tidak lepas dari kontrol bentuk norma-norma yang ada. Hak-hak ini
berisi tentang kesamaan atau keselarasan tanpa membedakan suku, golongan, keturunan,
jabatan, agama, dan lain sebagainya antara setiap manusia yang hakiatnya adalah samasama makhluk ciptaan Tuhan.
Terkait tentang Hak Asasi Manusia, maka sangat penting sebagai makhluk ciptaan
Tuhan untuk saling menjaga dan menghormati hak asasi masing-masing individu. Namun
pada kenyataannya, perkembangan HAM di negara ini masih banyak bentuk pelanggaran
yang sering ditemui. Masalah HAM adalah sesuatu hal yang sering kali dibicarakan dan
dibahas terutama dalam era reformasi ini. HAM lebih dijunjung tinggi dan lebih
dipentingkan dalam era reformasi dibandingkan dengan era sebelum reformasi.

1.2. Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini yang sesuai dengan
judul makalah ialah kasus Trisakti dan Semanggi, yang terkait dengan gerakan reformasi.

1.3. Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan makalah ini yaitu:
1. Untuk lebih memahami apa itu Hak Asasi Manusia (HAM)
2. Untuk lebih memahami pelaksanaan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di
Indonesia
3. Untuk menambah wawasan terkait hal yang berhubungan dengan Hak Asasi Manusia
(HAM)

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1. Pelaksanaan Penegakan HAM di Indonesia


Tegaknya HAM selalu mempunyai hubungan korelasional positif dengan tegaknya
negara hukum. Sehingga dengan dibentuknya KOMNAS HAM dan Pengadilan HAM,
regulasi hukum HAM dengan ditetapkannya UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26
Tahun 2000 serta dipilihnya para hakim ad hoc, akan memperbaiki penegakan hukum
yang sehat. Artinya, kebenaran hukum dan keadilan harus dapat dinikmati oleh setiap
warga negara secara egaliter. Disadari atau tidak, dengan adanya political will dari
pemerintah terhadap penegakan HAM, hal itu akan berimplikasi terhadap budaya politik
yang lebih sehat dan proses demokratisasi yang lebih cerah. Begitu pula keberadaan
budaya hukum dari aparat pemerintah dan tokoh masyarakat merupakan faktor penentu
yang mendukung tegaknya HAM.
Setiap orang dan setiap badan dalam masyarakat senantiasa menjunjung tinggi
penghargaan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan melalui tindakan progresif baik
secara nasional maupun internasional. Pemberian hak sebagai warga negara diatur dalam
mekanisme kenegaraan. Berikut ini adalah langkah-langkah upaya penegakan HAM di
Indonesia, yaitu:
1. Mengadakan langkah konkret dan sistematik dalam pengaturan hukum positif
2. Membuat peraturan perundang-undangan tentang HAM
3. Peningkatan penghayatan dan pembudayaan HAM pada segenap elemen
masyarakat
4. Mengatur mekanisme perlindungan HAM secara terpadu
5. Memacu keberanian warga untuk melaporkan bila ada pelanggaran HAM
6. Meningkatkan hubungan dengan lembaga yang menangani HAM
7. Meningkatkan peran aktif media massa

Dalam penegakan HAM di Indonesia, perangkat Ideologi Pancasila dan UUD 1945
harus dijadikan acuan pokok karena secara terpadu nilai-nilai dasar yang ada di dalamnya
merupakan The Indonesia Bill of Human Right.
Ada sejumlah kemajuan positif yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia
dalam kerangka penegakan HAM, khususnya terkait dengan upaya perbaikan pada
kerangka hukum dan institusi untuk mempromosikan HAM. Telah nampak dalam
kerangka hukum, pemerintah Indonesia telah melahirkan beberapa kebijakan menyangkut
HAM yang cukup positif. Pembuatan Undang-Undang (UU) HAM serta UU
Perlindungan Saksi Mata, adalah kebijakan yang dilihatnya dapat memberi sentimen
positif pada persoalan perlindungan HAM di Indonesia. Dibentuknya beberapa institusi
penegakan HAM di Indonesia, seperti pengadilan HAM ad-hoc, Komisi Nasional HAM,
Komisi Nasional Perempuan, serta organisasi HAM lainnya juga merupakan usaha yang
telah dilakukan oleh pemerintah dalam upaya penegakan HAM.
Program penegakan hukum dan HAM (PP No. 7 Tahun 2005) meliputi
pemberantasan korupsi, antiterorisme, serta pembasmian penyalahgunaan narkotika dan
obat berbahaya. Oleh sebab itu, penegakan hukum dan HAM harus dilakukan secara
tegas, tidak diskriminatif, dan konsisten.
Dalam upaya penegakan-penegakan HAM di Indonesia, dibutuhkan pula sarana dan
prasarana. Sarana dan prasarana penegakan HAM di Indonesia dapat dikategorikan
menjadi dua bagian, yaitu:
1. Sarana yang terbentuk sebagai institusi atau kelembagaan seperti lebaga advokasi
tentang HAM yang dibentuk oleh LSM, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(KOMNAS HAM), Komisi Nasional HAM Perempuan, dan institusi lainnya.
2. Sarana yang berbentuk peraturan atau Undang-Undang, seperti adanya beberapa
pasal dalam konstitusi UUD 1945 yang memuat tentang HAM, UU RI No. 39
Tahun 1999, Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1993, Keputusan Presiden RI No.
181 Tahun 1998, dan Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998. Semua perangkat
hukum tersebut merupakan sarana pendukung perlindungan HAM di Indonesia.

2.2. UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM


Dalam amandemen UUD 1945 ke dua, ada Bab yang secara eksplisit menggunakan
istilah Hak Asasi Manusia, yaitu Bab XA yang bersikan pasal 28A sampai dengan 28J.
Dalam UU RI Nomor 39 Tahun 1999, jaminan HAM lebih terinci lagi. Hal itu terlihat dari
jumlah bab dan pasal-pasal yang dikandungnya relatif banyak yaitu terdiri atas XI bab dan
106 pasal. Apabila dicermati, jaminan HAM dalam UUD 1945 dan penjabarannya dalam
UU RI Nomor 39 Tahun 1999, secara garis besar meliputi :
1. Hak

untuk

hidup

(misalnya

hak:

mempertahankan

hidup,

memperoleh

kesejahteraan lahir batin, memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat);
2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan.
3. Hak mengembangkan diri (misalnya hak : pemenuhan kebutuhan dasar,
meningkatkan kualitas hidup, memperoleh manfaat dari iptek, memperoleh
informasi, melakukan pekerjaan sosial);
4. Hak memperoleh keadilan (misalnya hak : kepastian hukum, persamaan di depan
hukum);
5. Hak atas kebebasan pribadi (misalnya hak : memeluk agama, keyakinan politik,
memilih

status

kewarganegaraan,

berpendapat

dan

menyebarluaskannya,

mendirikan parpol, LSM dan organisasi lain, bebas bergerak dan bertempat
tinggal);
6. Hak atas rasa aman (misalnya hak : memperoleh suaka politik, perlindungan
terhadap ancaman ketakutan, melakukan hubungan komunikasi, perlindungan
terhadap penyiksaan, penghilangan dengan paksa dan penghilangan nyawa);
7. Hak atas kesejahteraan (misalnya hak : milik pribadi dan kolektif, memperoleh
pekerjaan yang layak, mendirikan serikat kerja, bertempat tinggal yang layak,
kehidupan yang layak, dan jaminan sosial);
8. Hak turut serta dalam pemerintahan (misalnya hak: memilih dan dipilih dalam
pemilu, partisipasi langsung dan tidak langsung, diangkat dalam jabatan
pemerintah, mengajukan usulan kepada pemerintah);
9. Hak wanita (hak yang sama/tidak ada diskriminasi antara wanita dan pria dalam
bidang politik, pekerjaan, status kewarganegaraan, keluarga perkawinan);

10. Hak anak (misalnya hak : perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan
negara, beribadah menurut agamanya, berekspresi, perlakuan khusus bagi anak
cacat, perlindungan dari eksploitasi ekonomi, pekerjaan, pelecehan sexual,
perdagangan anak, penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif
lainnya).

2.3. UU No. 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM


Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 adalah sebuah Undang-Undang yang
mengatur Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Secara historis UU Pengadilan HAM lahir karena amanat Bab IX Pasal 104 Ayat (1)
UU No. 39 Tahun 1999. Dengan lahirnya UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM tersebut, maka penyelesaian kasus HAM berat dilakukan dilingkungan Peradilan
Umum. Ini merupakan wujud dari kepedulian negara terhadap warga negaranya sendiri.
Negara menyadari bahwa perlunya suatu lembaga yang menjamin akan hak pribadi
seseorang. Jaminan inilah yang diharapkan nantinya setiap individu dapat mengetahui
batas haknya dan menghargai hak orang lain. Sehingga tidak terjadi apa yang dinamakan
pelanggaran HAM berat untuk kedepannya.
Dengan adanya Undang-Undang ini, setidaknya memberikan kesempatan untuk
membuka kembali kasus pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di Indonesia
sebelum dicetuskannya UU Pengadilan HAM sebagaimana diatur dalam Pasal 43-44
tentang Pengadilan HAM Ad Hoc. Dan Pasal 46 tentang tidak berlakunya ketentuan
kadaluwarsa dalam pelanggaran HAM yang berat. Masuknya ketentuan tersebut
dimaksudkan agar kasus-kasus yang terjadi sebelum diundangkannya UU No. 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan HAM dapat diadili.
Dalam UU No. 26 Tahun 2000 hukum acara atas pelanggaran HAM berat dilakukan
berdasarkan ketentuan hukum acara pidana yang terdiri dari:
1. Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penangkapan.
2. Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penahanan.
3. Komnas HAM sebagai penyelidik berwenang melakukan penyelidikan.

4. Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penyidikan.


5. Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penuntutan.
6. Pemeriksaan dilakukan dan diputuskan oleh Majelis Hakim Pengadilan HAM.

2.4. Implementasi HAM dalam Kehidupan Sehari-hari


Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, setiap warga negara harus tunduk dan
patuh terhadap hukum yang berlaku di negaranya. Negara Indonesia adalah negara
hukum, maka semua warga negara harus taat dan patuh terhadap hukum Indonesia.
Hukum harus dilaksanakan dengan penuh kesadaran bahwa hukum dibuat dengan tujuan
menciptakan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat.
Baik norma maupun semua peraturan yang ada dalam masyarakat harus dilaksanakan
sejak dini dan dimulai dari lingkungan yang paling kecil. Penerapan norma, kebiasaan,
adat istiadat, dan peraturan yang berlaku pada dasarnya berkaitan dengan pengguna hak
dan pemenuhan kewajiban. Berikut ini adalah penerapan norma dan peraturan di berbagai
lingkungan, antara lain:
2.4.1. Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan yang pertama dan utama seorang anak
berinteraksi. Dalam keluarga inilah terjadi pola pembentukan perilaku anak.
Sehingga dapat dikatakan keluarga mempunyai peranan penting dalam membentuk
perilaku anak.
Setiap anggota keluarga harus melaksanakan hak dan kewajibannya dengan
baik. Dengan demikian akan dapat menciptakan suasana yang tertib, aman, tenteram
dan bahagia.
Beberapa contoh penerapan norma, kebiasaan, adat istiadat dan aturan lain
dalam kehidupan keluarga antara lain:
1. Setelah bangun tidur menata kembali tempat tidur.
2. Mengerjakan tugas di rumah yang menjadi tanggung jawabnya.
3. Menghormati orang yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda.
4. Menjaga nama baik keluarga.

5. Mentaati dan mematuhi peraturan yang ada dalam keluarga yang sudah
menjadi kesepakatan bersama.
2.4.2. Lingkungan Sekolah
Norma dan peraturan lainnya harus diterapkan di sekolah karena bertujuan
untuk menciptakan lingkungan, situasi, dan kondisi yang mendukung tercapainya
tujuan pendidikan. Dengan dipatuhinya norma dan peraturan yang berlaku di sekolah,
hubungan antara sesama warga sekolah akan terjalin dengan baik serta kegiatan
belajar mengajar dan kegiatan lain akan berjalan dengan tertib dan teratur. Berikut
adalah beberapa contoh penerapan norma dan peraturan lainnya dalam lingkungan
sekolah, yaitu:
1. Berbakti kepada guru dengan cara melaksanakan perintah dan nasihat-nasihat
yang baik.
2. Menghormati guru, karyawan, dan pegawai sekolah lainnya.
3. Mematuhi peraturan dan tata tertib yang ada di sekolah.
4. Terus terang dan jujur dalam mengikuti pelajaran.
5. Belajar dengan tekun dan disiplin.
6. Saling menyayangi antara sesama.
2.4.3. Lingkungan Masyarakat
Penerapan norma di masyarakat lebih kompleks, karena di dalamnya terdapat
beragam kepentingan. Semua norma diterapkan di masyarakat untuk mengatur
perilaku majemuk. Penerapan norma dalam masyarakat bertujuan untuk menciptakan
kehidupan masyarakat yang tertib, aman dan damai. Apabila semua warga menaati
dan mematuhi norma yang berlaku dalam masyarakat maka hubungan antar warga
pun akan terjalin dengan baik. Sehingga akan mampu mewujudkan tujuan bersama.
Beberapa contoh penerapan norma dan peraturan dalam kehidupan masyarakat antara
lain:
1. Tolong-menolong dengan tetangga di lingkungan masyarakat sekitar kita.
2. Menghormati dan menghargai tetangga dengan cara saling bertegur sapa.

3. Mematuhi segala peraturan dan hukum yang berlaku.


4. Bersama-sama menjaga kebersihan dan keamanan lingkungan.
5. Ikut meningkatkan mutu kehidupan masyarakat.
2.4.4. Lingkungan Bangsa dan Negara
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk yang terdiri dari beranekaragam
suku, bangsa, agama, dan golongan. Di sini aturan baik yang berupa norma maupun
peraturan lainya sangat diperlukan. Peraturan dibuat untuk ditaati dan dipatuhi bukan
hanya sekedar dijadikan alat kelengkapan negara saja. Penerapan norma dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara mutlak diperlukan. Hal ini bertujuan agar
kegiatan berbangsa dan bernegara dapat berjalan dengan baik dan benar.
Penerapan norma dan peraturan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
harus dilakukan dengan konsekuen dan konsisten. Jika tidak akan terjadi kerawanan
dan bahaya yang akan mengancam. Bahaya tersebut antara lain:
1. Munculnya penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.
2. Timbulnya kecemburuan sosial.
3. Terjadinya pertentangan dan konflik.
4. Terjadinya ketidakbenaran dan ketidakadilan.
5. Tersisihnya kepentingan rakyat.
6. Terpicunya gerakan sparatisme.
Penerapan norma hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara difokuskan
untuk mengatur perilaku pengemban kekuasaan dan aspirasi rakyat. Selain itu untuk
mengatur hubungan antar lembaga, aparat hukum dan keamanan. Contoh penerapan
norma yang berlaku dalam lingkungan bangsa dan negara antara lain:
1. Mematuhi semua hukum yang berlaku di Indonesia.
2. Tidak mencemooh suku bangsa lain.
3. Tidak melakukan tindakan yang mengarah pada SARA.
4. Membayar pajak tepat pada waktunya.
5. Tidak merusak fasilitas umum.
6. Ikut serta dalam pembelaan negara.

BAB III
PEMBAHASAN

Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan yang melawan hukum
mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia (UU RI
Nomor 39 Tahun 1999). Hampir dapat dipastikan dalam kehidupan sehari-hari dapat
ditemukan pelanggaran HAM baik di Indonesia maupun di belahan dunia lain.
Pelanggaran itu dapat dilakukan oleh negara atau pemerintah maupun oleh masyarakat.
Menurut Richard Falk, kategori-kategori pelanggaran HAM yang dianggap kejam,
yaitu :
a. Pembunuhan besarbesaran (genocide).
b. Rasialisme resmi.
c. Terorisme resmi berskala besar.
d. Pemerintahan totaliter.
e. Penolakan secara sadar untuk memenuhi kebutuhankebutuhan dasar manusia.
f. Perusakan kualitas lingkungan.
g. Kejahatan kejahatan perang.
Dalam UURI Nomor 39 Tahun 1999 yang dikategorikan pelanggaran HAM yang
berat adalah:
1. Pembunuhan masal (genocide);
2. Pembunuhan sewenangwenang atau diluar putusan pengadilan;
3. Penyiksaan;
4. Penghilangan orang secara paksa;
5. Perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis.
Disamping pelanggaran HAM yang berat juga dikenal pelanggaran HAM biasa.
Pelanggaran HAM biasa antara lain: pemukulan, penganiayaan, pencemaran nama baik,
menghalangi orang untuk mengekspresikan pendapatnya, penyiksaan, menghilangkan
nyawa orang lain.
Banyak terjadi pelanggaran HAM di Indonesia, baik yang dilakukan pemerintah,
aparat keamanan maupun oleh masyarakat. Sebagai contoh salah satu kasus yang
berhubungan dengan HAM yaitu Kasus Trisakti dan Semanggi. Kasus Trisakti dan
Semanggi terkait dengan gerakan reformasi. Arah gerakan reformasi adalah untuk
melakukan perubahan yang lebih baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Gerakan reformasi dipicu oleh krisis ekonomi tahun 1997. Krisis ekonomi terjadi
berkepanjangan karena fondasi ekonomi yang lemah dan pengelolaan pemerintahan yang
tidak bersih dari KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme). Gerakan reformasi yang
dipelopori mahasiswa menuntut perubahan dari pemerintahan yang otoriter menjadi
pemerintahan yang demokratis, mensejahterakan rakyat dan bebas dari KKN.
Demonstrasi merupakan senjata mahasiswa untuk menekan tuntutan perubahan ketika
dialog mengalami jalan buntu atau tidak efektif. Ketika demonstrasi inilah berbagai hal
yang tidak dinginkan dapat terjadi. Karena sebagai gerakan massa tidak mudah
melakukan kontrol. Bentrok fisik dengan aparat keamanan, pengrusakan, penembakan
dengan peluru karet maupun tajam inilah yang mewarai kasus Trisakti dan Semanggi.
Kasus Trisakti terjadi pada 12 Mei 1998 yang menewaskan 4 (empat) mahasiswa
Universitas Trisakti yang terkena peluru tajam. Kasus Trisakti sudah ada pengadilan
militer. Tragedi Semanggi I terjadi 13 November 1998 yang menewaskan setidaknya 5
(lima) mahasiswa, sedangkan tragedi Semanggi II pada 24 September 1999, menewaskan
5 (lima) orang.
Dengan jatuhnya korban pada kasus Trisakti, emosi masyarakat meledak. Selama dua
hari berikutnya 13 14 Mei terjadilah kerusuhan dengan membumi hanguskan sebagaian
Ibu Kota Jakarta. Kemudian berkembang meluas menjadi penjarahan dan aksi SARA
(suku, agama, ras, dan antar golongan). Akibat kerusuhan tersebut, Komnas HAM
mencatat :
1) 40 pusat perbelanjaan terbakar;
2) 2.479 toko hancur;
3) 1.604 toko dijarah;
4) 119 mobil hangus dan ringsek;
5) 1.026 rumah penduduk luluh lantak;
6) 383 kantor rusak berat; dan
7) 1.188 orang meninggal dunia.
Dengan korban yang sangat besar dan mengenaskan di atas, itulah harga yang harus
dibayar bangsa kita ketika menginginkan perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara
yang lebih baik. Seharusnya hal itu masih dapat dihindari apabila semua anak bangsa ini
berpegang teguh pada nilai nilai luhur Pancasila sebagai acuan dalam memecahkan
berbagai persoalan dan mengelola negara tercinta ini. Peristiwa Mei tahun 1998 dicatat
disatu sisi sebagai Tahun Reformasi dan pada sisi lain sebagai Tragedi Nasional.
Meskipun seperti yang telah dikemukakan secara teori bahwa HAM telah dijamin

secara konstitusional dan telah dibentuk lembaga penegakan HAM, masih banyak
pelanggaran HAM selain kasus Trisakti dan Semanggi. Apabila dicermati lebih
mendalam, ada banyak faktor yang menyebabkan pelanggaran HAM tersebut terjadi.
Berikut adalah beberapa faktor penyebabnya, antara lain:
1. Masih belum adanya kesepahaman pada tataran konsep HAM antara yang
memandang HAM bersifat universal dan paham yang memandang setiap bangsa
memiliki paham HAM tersendiri, berbeda dengan bangsa lain terutama dalam
pelaksanaannya
2. Adanya pandangan HAM bersifat individu yang akan mengancam kepentingan
umum
3. Kurang berfungsinya lembaga-lembaga penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan
pengadilan
4. Pemahaman belum merata tentang HAM baik dikalangan sipil maupun militer
Disamping faktor-faktor penyebab pelanggaran HAM diatas, ada faktor lain yang
esensial, yaitu kurang dan tipisnya rasa tanggung jawab.
Akibat dari pelanggaran-pelanggaran HAM tersebut, bangsa Indonesia menderita dan
juga mengancam integrasi nasional. Sebagai warga negara yang baik harus ikut serta
secara aktif (berpartisipasi) dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi bangsa
dan negaranya, termasuk masalah pelanggaran HAM. Untuk itu tanggapan yang dapat
dikembangkan salah satunya adalah bersikap tegas tidak membenarkan setiap pelanggaran
HAM.

BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Perjuangan bagi Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan suatu perjalanan dan bukan
suatu tujuan, karena hak-hak asasi manusia tidak statis. Teori HAM perlu terus-menerus
dinilai kembali dari sudut pandang para moralis maupun rasionalis. HAM adalah hak-hak
mendasar yang dimiliki oleh manusia sebagaimana mestinya. Setiap individu mempunyai
keinginan agar HAM-nya terpenuhi. Tetapi perlu diingat bahwa setiap individu wajib
untuk menghormati dan tidak menindas HAM individu lainnya.
Dari pembahasan, dapat disimpulkan bahwa HAM di Indonesia masih sangat
memprihatinkan, seperti yang diketahui bahwa HAM merupakan Hak Asasi Manusia yang
paling mendasar tetapi hanya merupakan suatu wacana dalam suatu teks dan
pelaksanaannya belum sesuai dengan teori. Banyak HAM yang secara terang-terangan
dilanggar, seakan-akan hal tersebut adalah sesuatu yang wajar dilakukan.
Banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi itu dapat dikarenakan beberapa faktor,
misalnya kurangnya kesepahaman tentang konsep HAM, kesalahan pandangan terhadap
HAM, kurang berfungsinya lembaga-lembaga penegak hukum, serta belum meratanya
pemahaman tentang HAM.

4.2. Saran
Sebagai bangsa Indonesia, perlu menegakkan HAM khususnya di Indonesia. Maka
dari itu perlu kesadaran rasa kemanusiaan yang tinggi, aparat hukum yang bersih, tidak
sewenang-wenang, sanksi yang tegas bagi para pelanggar HAM, serta penanaman nilainilai keagamaan pada masyarakat Indonesia.
Selain harus mampu mempertahankan dan memperjuangkan HAM diri sendiri, harus
bisa pula menghormati dan menjaga HAM orang lain, sehingga dapat terhindar dari
pelanggaran HAM.

DAFTAR PUSTAKA

Djarot, Eros & Haas, Robert. 1998: Hak-hak Asasi Manusia dan Manusia (Human rights
and The Media). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Drs. S. Sumarsono, Dkk. 2000: Pendidikan Kewarganegaraan.
Prof. Dr. H. Zainudin Ali, M.A. 2006: Sosiologi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
https://deluk12.wordpress.com/makalah-ham/
http://makalahhamdanruleoflaw.blogspot.com/2013/04/makalah-hak-asasi-manusia-danrule-of.html?m=1.
http://www.academia.edu/8799827/Makalah_Problematika_Hak_Asasi_Manusia_Di_Ind
onesia.
http://veliarryandre.blogspot.com/2012/01/makalah-penegakan-ham-di-indonesia.html?
m=1.
(diakses pada 23 Februari 2015 pukul 11:44 WIB)

Anda mungkin juga menyukai