Anda di halaman 1dari 31

BAB I

LAPORAN KASUS

STATUS PEDIATRIK
I.

II.

IDENTIFIKASI
a. Nama
b. Umur
c. Jenis Kelamin
d. Nama Ayah
e. Nama Ibu
f. Bangsa
g. Alamat
h. Dikirim oleh
i. MRS Tanggal

: An. JM
: 15 tahun
: Perempuan
: Tn. A
: Ny. S
: Sumatera
: Batu Raja
: RSUD Batu Raja
: 19 Februari 2015

ANAMNESIS
Tanggal
Diberikan oleh

(Subjektif/S)
: 9 Maret 2015
: Ibu pasien dan pasien

A. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


1. Keluhan Utama
: Demam tinggi
2. Keluhan Tambahan
: Korengan dan nyeri sendi berpindah-pindah
3. Riwayat Perjalanan Penyakit:
Sejak 1,5 bulan SMRS, anak mengalami demam tinggi. Demam
tinggi dirasakan terus menerus, riwayat pergi ke luar kota disangkal,
bintik-bintik merah di kulit disangkal. Nyeri menelan (+) yang disertai
batuk. Nyeri menelan lebih terasa ketika anak menelan makanan padat.
Anak juga mengeluh sesak. Sesak dirasakan saat berbaring, tidak
dipengaruhi aktivitas dan cuaca, mengi tidak ada, anak nyaman tidur
dengan 2 bantal. Anak sering terbangun malam hari karena sesak. Anak
mengaku sebulan sebelumnya pernah merasa sesak, namun sesak
dirasakan setelah anak beraktifitas. Jantung berdebar-debar (+). Nyeri
sendi (+). Nyeri yang dirasakan sangat berat dan berlangsung terus
menerus. Pertama-tama nyeri dirasakan di lutut kanan, selanjutnya pindah
ke lutut kiri, lalu pindah ke pergelangan kaki dan bahu. Anak tidak bisa
berjalan dikarenakan lututnya sakit bila digerakkan dan anak hanya
beristirahat. Bengkak pada lutut (+). Merah pada lutut (-). Koreng di tubuh
(+). Koreng pertama sekali muncul di paha kanan, berbentuk bulat dan
berwarna merah dengan warna putih pada tengah lesi, tidak gatal. Pasien
dibawa ke puskesmas, oleh Bidan, anak dikatakan menderita malaria.
Anak diberi obat antimalaria. Demam menurun, namun keluhan lain masih
ada.

2 minggu SMRS, anak kembali mengalami demam tinggi. Demam


dirasakan terus menerus. Nyeri menelan (+), batuk (-), pilek (-), sesak (-).
Nyeri sendi berpindah-pindah (+), makula merah di kulit masih (+).
Timbul pustula pada lesi dan terdapat rasa gatal pada lesi tersebut.
Terdapat pembesaran kelenjar getah bening di inguinal dekstra dan
sinistra. Pasien dibawa ke RSUD Batu Raja. Anak mendapat pengobatan
dan dirawat inap selama 3 hari 2 malam. Anak dikatakan menderita
penyakit jantung rematik. Untuk mendapat pengobatan lanjutan, anak
dirujuk ke RSMH Palembang.
21 hari anak dirawat RSMH. Anak mendapat pengobatan, dilakukan
pemeriksaan rontgen dan echokardiografi. Anak mengaku semua
keluhannya berkurang selama dirawat di RSMH.

B. RIWAYAT SEBELUM MASUK RUMAH SAKIT


1.
Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
Masa Kehamilan : 9 bulan 10 hari
Partus
: Normal
Tempat
: Batu Raja
Ditolong oleh : Bidan
Tanggal
: 5 Maret 2015
BB
: 3,5 kg
PB
: ibu lupa
Lingkar kepala : ibu lupa
2.
Riwayat Makanan:
ASI
: 0-1,5 tahun
Susu botol
: usia 6 bulan
Bubur Nasi
: usia 6 bulan
Nasi Tim/lembek: 9-12 bulan
Nasi Biasa
: usia 1 tahun
Anak mempunyai riwayat susah diajak makan. Makan harus dipaksa. dalam
sehari anak menghabiskan piring namun sering tidak habis.

3. RIWAYAT IMUNISASI

BCG

IMUNISASI DASAR
Umur
Umur
+

Umur

ULANGAN
Umur
2

DPT 1
HEPATITIS
B1
Hib 1
POLIO 1
CAMPAK

+
+
+
+

DPT 2
HEPATITIS
B2
Hib 2
POLIO 2

+
+

DPT 3
HEPATITIS
B3
Hib 3
POLIO 3
POLIO 4

+
+
+
+

KESAN : imunisasi cukup


4. RIWAYAT KELUARGA
Perkawinan
:
Umur
:
Pendidikan
:
Penyakit yang pernah diderita:
5. RIWAYAT PERKEMBANGAN
Gigi Pertama
Berbalik
Tengkurap
Merangkak
Duduk

: 5 bulan
: 3 bulan
: 3 bulan
: 5 bulan
: 8 bulan

6. RIWAYAT PERKEMBANGAN MENTAL


Isap Jempol
:Ngompol
:Sering Mimpi
:Aktivitas
:Membangkang
Ketakutan
:Kesan
:-

Berdiri
Berjalan
Berbicara
Kesan

: 1 tahun
: 1,5 tahun
: 9 bulan
: baik

:-

8. RIWAYAT PENYAKIT YANG PERNAH DIDERITA


Anak pernah mengalami keluhan yang serupa pada saat anak kelas 1 dan kelas 5 dan
hanya diobati dengan cara tradisional.
III. PEMERIKSAAN FISIK ( Objektif / O)
A. PEMERIKSAAN FISIK UMUM
Keadaan Umum
: tampak baik
Kesadaran
: compos mentis
BB
: 34 Kg
PB atau TB
: 145 Cm
Status gizi
:
BB/U
: 34/52 100%= 65,38% = moderate wasting
TB (PB)/U
: 145/164100%= 88,41% = mild stunting
BB/TB (PB)
: 34/38100%= 89,47% = Gizi kurang
Lingkar kepala
: 51,8 Cm ( antara mean dan -2 SD) = normosefali
3

Edema ( - / - ), sianosis ( - / - ), dispnue ( - / - ), anemia ( - / - ), ikterus ( - / - ), dismorfik


(-/-)
Suhu
: 36,2 oC = Normal
Respirasi
: 21 x/menit = Normal, Tipe Pernapasan : torakoabdominal
Tekanan Darah
: 120/70 mmHg = Normal
Nadi
: 108 x/ menit = Takikardi, Isi/kualitas: cukup, Regularitas: teratur
Kulit

: warna sawo matang, tampak bekas eritem marginatum di paha,


lutut, abdomen, dan tungkai kiri dan kanan.

B. PEMERIKSAAN KHUSUS
KEPALA : MATA : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
MULUT : Sianosis (-), cheilosis (-), anemis (-)
GIGI
: gigi 3-6 sisa akar, 4-6 mulai terbentuk caries.
LIDAH : normal
FARING/TONSIL
HIPEREMIS : BESLAG
:TONSIL
: T1/T1
LEHER
INSPEKSI
PALPASI

: statis simetris, struma (-)


: JVP 5+0 cmH2O, pembesaran KGB (-)

THORAX
INSPEKSI
: statis simetris, dinamis simetris, pernapasan dengan otot bantu (-),
bentuk dada normal.
PALPASI
: normal
A. PARU
PERKUSI
AUSKULTASI
Vesikuler
Ronkhi
Wheezing

: sonor di kedua lapang paru


: normal
::-

B. JANTUNG
PERKUSI

: batas kanan jantung ICS V linea parasternalis dextra, batas atas


ICS II, batas kiri jantung ICS V linea midklavikularis sinistra.
AUSKULTASI :
Bunyi jantung I
Mitral
: murmur sistolik (+)
Trikuspid
: normal
Bunyi jantung II
Pulmonal
: normal
Aorta
: murmur diastolik (+)
4

Bising jantung

: mumur (+)

ABDOMEN
INSPEKSI
PALPASI
PERKUSI
AUSKULTASI
HEPAR
LIEN
GINJAL
EKSTREMITAS
INSPEKSI
Bentuk
Deformitas
Edema
Trofi
Pergerakan
Tremor
Chorea
Akral
Lain-lain

: datar, terdapat bekas lesi


: lemas
: tympani, shifting dullness (-)
: Bu(+) normal
: tidak teraba
: tidak teraba
: tidak teraba, nyeri ketok CVA (-)

: normal
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
: normal
: tidak ada
: tidak ada
: pucat (-)
: tidak ada

INGUINAL
Kelenjar Getah Bening
Lain-lain

: tidak membesar.
: tidak ada

GENITALIA
LAKI-LAKI :
Phimosis
Testis
Scrotum

:::-

PEREMPUAN
Labia mayora
Labia minora
Vagina

: normal
: normal
: normal

STATUS PUBERTAS

: M3 P3

STATUS NEUROLOGIS
Lengan
Kanan

kiri

Kanan

Tungkai
Kiri

Fungsi motorik
5

Gerakan

Kekuatan

Tonus

Klonus

Reflex fisiologis

Reflex patologis

Gejala rangsang meningeal -

Fungsi sensorik

Nervi craniales

Reflex primitive

V. RESUME
An. JN, umur 15 tahun, datang dengan keluhan demam tinggi disertai makula eritema di
kulit, nyeri sendi, dan kaku. Pasien didiagnosis penyakit jantung rematik. Pasien dirawat di
RSMH sampai saat ini sudah 22 hari. Pasien telah mengalami perbaikan.
Pemeriksaan fisik:
Sensorium
: compos mentis
Nadi
: 108 x/menit
RR
: 21 x/menit
TD
: 120/70 mmHg
Suhu
: 36,2 C
Kepala
: tidak ada kelainan
Leher
: JVP 5+0 cmH2O
Thoraks
Paru : tidak ada kelainan
Jantung: ictus cordis terlihat dan teraba di ICS IV LMC sinistra, murmur sistolik (+)
grade 2/6 di ICS III/IV sinistra, gallop (-)
Abdomen
: tidak ada kelainan
Ekstremitas : tampak bekas eritem marginatum di paha, lutut, abdomen, dan tungkai kiri
dan kanan.
VI. DAFTAR MASALAH
1. Demam
2. Nyeri sendi
3. Eritem marginatum
4. Sesak
VII. DIAGNOSIS BANDING
- Juvenil remathoid arthtritis
- Systemik Lupus Eritematosus
VIII. DIAGNOSIS KERJA
Rheumatic hearth disease (RHD)

IX. TATALAKSANA (Planning / P)


a. PEMERIKSAAN ANJURAN
o Pemeriksaan darah rutin, CRP, LED
o Pemeriksaan ASTO dan kultur apusan tenggorokan
o Rontgen
o EKG
o Echocardiografi
b. TERAPI ( SUPORTIF SIMPTOMATIS-CAUSATIF)

FARMAKOLOGIS

Benzatin penisilin B 1,2 juta unit jika terbukti infeksi streptokokus


Paracetamol 3 500 mg (PO) jika demam >38,5C

c. DIET
Kalori untuk 1600 kalori dengan perbandingan karbohidrat:protein:lemak=55:15:30
d. MONITORING
Tanda vital/12 jam
Tanda kelainan katup/24 jam
Cek darah rutin, CRP, LED
e. EDUKASI
o Minum obat secara teratur untuk mencegah kekambuhan dimana pengobatan
penyakit jantung rematik biasanya berlangsung bertahun-tahun.
o Mengurangi aktifitas fisik dan stress, istirahat total selama empat minggu.
o Menjaga personal hygiene, terutama kebersihan gigi dan mulut
f. PASIEN DIPULANGKAN
Pasien dipulangkan jika decompensatio cordis sudah diatasi, jadwal tirah baring dan
terapi steroid telah selesai, dan hasil pemeriksaan ASTO, LED, dan CRP telah
kembali ke nilai ambang batas normal.
X. PROGNOSIS
a. Qua ad vitam

: dubia ad bonam

b.Qua ad functionam

: dubia

c. Qua ad sanationam

: dubia ad bonam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik


Definisi
Katup-katup jantung rusak karena proses perjalanan penyakit yang dimulai dengan
infeksi tenggorokan yang disebabkan oleh bakteri Group A -hemolytic streptococcus
(GABHS) (contoh: Streptococcus pyogenes), bakteri yang bisa menyebabkan demam rematik.
Streptococcus merupakan bakteri gram-positif berbentuk bulat, yang mempunyai
karakteristik dapat membentuk pasang atau rantai selama pertumbuhannya. Streptococcus
termasuk kelompok bakteri yang heterogen.
Sebagian besar dari streptococcus group A,B, dan C memiliki kapsul yang terdiri dari
asam hialuronat, yang menghalangi fagositosis. Dinding sel terdiri dari protein ( antigen M,
T, dan R ), karbohidrat (kelompok spesifik), dan peptidoglikan. Pili terdapat pada grup A,
yang berisi sebagian dari protein M dan dilindungi oleh asam lipoteichoic, merupakan
komponen penting untuk perlekatan streptococcus pada sel epithelial.
Protein M. Merupakan faktor utama S.pyogenes grup A, yang menjadikan bakteri virulen
dan akan menolak fagositosis oleh PMN. Terdapat lebih dari 80 jenis protein M, sehingga
menyebabkan seseorang dapat terinfeksi berkali-kali. Memiliki molekul berbentuk seperti
batang yang menggulung yang memisahkan fungsi utamanya. Struktur seperti ini
memungkinkan terjadinya perubahan urutan yang bessar ketika mempertahankan fungsinya,
dengan 2 kelas struktur utama pada protein M yaitu kelas I dan kelas II.
Protein M dan antigen dinding sel bakteri streptococcus yang lain memiliki peranan
penting dalam patogenesis pada demam rematik. Komponen dinding sel pada jenis M tertentu
yang dapat mengakibatkan antibodi bereaksi denga jaringan otot jantung.

Gambar 1: Struktur permukaan sel Streptococcus pyogenes dan sekresi produk yang
berperan dalam virulensi.
Epidemiologi
Demam rematik jarang terjadi sebelum usia 5 tahun dan setelah usia 25 tahun, paling
banyak ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda. Insidens tertinggi terdapat pada anak
usia 5-15 tahun dan di negara tidak berkembang atau sedang berkembang dimana antibiotik
tidak secara rutin digunakan untuk pengobatan faringitis.
Baik pada negara maju dan negara berkembang, faringitis dan infeksi kulit (impetigo)
adalah infeksi yang paling sering disebabkan oleh Group A -hemolytic streptococcus
(GABHS), yang merupakan bakteri yang paling sering menyebabkan faringitis, dengan
insidens puncak pada anak usia 5-15 tahun. Faringitis streptokokal jarang terjadi pada 3 tahun
pertama kehidupan dan diantara orang tua. Diperkirakan sebagian besar anak-anak
mengalami 1 episode faringitis per tahun, dimana 15-20% disebabkan oleh Group A hemolytic streptococcus (GABHS) dan hampir 80% oleh virus patogen.
Penyakit Jantung Rematik (PJR), adalah penyebab terutama mitral stenosis dengan 60%
mitral stenosis murni dengan riwayat demam rematik akut. Dengan insidens terjadi lebih
sering pada perempuan dibandingkan laki-laki (2:1). Pada negara berkembang, penyakit ini
memiliki periode laten 20-40 tahun sampai beberapa dekade untuk gejala penyakit ini
memerlukan intervensi bedah. Pada gejala yang terbatas 0-15% survival rate tanpa terapi.
Diperkirakan seperlima dari pasien dengan penyakit jatung postreumatik memiliki insufisensi
murni, 45% memiliki stenosis dengan insufisiensi, 34% murni stenosis, dan 20% murni
insufisiensi.

Gambar 2: Prevalensi Penyakit Jantung Rematik (cases per 1000).

Patofisiologi
Demam reumatik merupakan kelanjutan dari infeksi faring yang disebabkan Group A
-hemolytic streptococcus (GABHS). Reaksi autoimun terhadap infeksi Streptococcus secara
hipotetif akan menyebabkan kerusakan jaringan atau manifestasi demam reumatik, sebagai
berikut
1.

Group A -hemolytic streptococcus (GABHS). akan menyebabkan infeksi pada faring

2.

Antigen GABHS akan menyebabkan pembentukan antibodi pada hospes yang hiperimun

3.

Antibodi akan bereaksi dengan antigen GABHS, dan dengan jaringan hospes yang secara
antigenik sama seperti GABHS ( dengan kata lain antibodi tidak dapat membedakan
antara antigen GABHS dengan antigen jaringan jantung),

4.

Autoantibodi tesebut bereaksi dengan jaringan hospes sehingga mengakibatkan


kerusakan jaringan.
Patogenesis yang dimediasi imun pada demam rematik akut dan PJR diduga adanya

reaksi silang antara komponen GABHS dan sel mamalia. 4 Diperkirakan terjadi reaksi silang
oleh karena adanya kemiripan molekul (molekul mimikri) antara protein M ( subtipe
1,3,5,14,18,19 dan 24 )5 dari GABHS dengan antigen glikoprotein jantung, sendi dan jaringan
lainnya.

M protein pada GABHS (M1, M5, M6, dan M19) bereaksi silang dengan glikoprotein
pada jantung seperti miosin dan tropomiosin, dan endotelium katup.
Antibodi antimiosin mengenali laminin, sebuah matriks ekstraseluler alfa-heliks koil
protein yang adalah bagian dari struktur membran katup. Katup yang paling sering terkena
secara urutan mulai dari yang tersering adalah mitral, aorta, trikuspid, dan pulmonal. Dalam
banyak kasus katup mitral diikuti 1 atau 3 katup lainnya.
Sel T yang responsif terhadap protein M menginfiltrasi katup melewati endotelium katup
diaktivasi oleh ikatan antistreptokokal kabohidrat dengan pelepasan TNF dan Interleukin.
Selama demam rematik akut fokal inflamasi ditemukan pada berbagai jaringan yang
terutama dapat dibedakan di dalam jantung yang disebut badan Aschoff. Badan Aschoff ini
terdiri dari fokus-fokus eosinofil yang menelan kolagen dikelilingi limfosit, terutama sel T
terkadang plasma sel dan makrofag besar yang disebut sel Anitschkow, yang merupakan
patognomonik dari demam rematik. Sel yang berbeda ini memiliki sitoplasma yang
berlimpah dan nuklei semtral bulat-panjang dimana kromatin ditengah, ramping, seperti pita
bergelombang yang disebut caterpillar cell. Selama fase akut, inflamsi difus dan badan
Aschoff dapat ditemukan pada ketiga lapisan dari jantung, perikardium, miokardium dan
endokardium yang disebut sebagai pankarditis.
Pada perikardium, inflamasi diikuti oleh eksudat fibirinous atau serofibrinous sehingga
diistilahkan perikarditis bread and butter yang biasanya akan bersih tanpa sekule. Pada
miokarditis, badan Aschoff tersebar luas pada jaringan intersitial dan sering juga perivaskulat.
Keterlibatan terus menerus endokardium dan katup sisi kiri oleh fokus-fokus inflamasi
menghasilkan nekrosis fibrinoid didalam cusps atau sepanjang korda tendinae dimana terletak
vegetasi kecil berukuan 1-2mm yang disebut veruka di sepanjang garis penutupan. Proyeksi
ieregular seperti kutil ini mungkin timbul dari presipitasi fibrin pada daerah erosi,
berhubungan dengan inflamasi yang terjadi dan degenrasi kolagen dan menyebabakan
gangguan kecil fungsi jantung.
Secara mikroskopis terdapat fibrosis difus dan sering terdapat neovaskularisasi yang
menguranig lapisan awal dan susunan daun katup avaskular. Badan Aschoff digantikan oleh
jaringan parut fibrosis sehingga bentuk diagnostik dari lesi ini jarang ditemukan pada
spesimen jaringan autopsi dari pasien dengan PJR kronik.

PJR kronik secara keseluruhan adalah penyebab tersering dari stenosis mitral (99%
kasus). Dengan adanya mitral stenosis, atrium kiri berdilatasi secara progresif dan mungkin
terdapat trombus mural apakah pada tepi atau sepanjang dinding. Kongestif paru yang lama
memulai perubahan vaskular paru dan perubahan parenkimal dan menuju kepada hipertrofi
ventrikel kanan.

Gambar 3 Patofisiologi penyakit jantung rematik

Diagnosis
Penegakan diagnosis dahulu berdasarkan kriteria Jones, tetapi saat ini telah ada
kriteria yang diperbaharui oleh AHA dan WHO tahun 2002-2003. Dimana melalui kriteria
yang terlah diperbaharui ini dapat dilakukan diagnosis :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Episode pertama demam rematik


Serangan berulang demam rematik pada pasien tanpa PJR
Serangan berulang demam rematik pada pasien dengan PJR
Reumatik Chorea
Onset awal Karditis Rematik
PJR Kronik

Tabel 1: Kriteria WHO untuk diagnosis demam rematik dan penyakit jantung rematik tahun
2002-2003.

Demam rematik akut didiagnosis dengan menggunakan kriteria Jones. Kriteria


tersebut dibagi menjadi tiga bagian : (1) lima gejala mayor, (2) empat gejala minor, dan (3)
bukti pemeriksaan yang mendukung adanya infeksi GABHS.
Gejala Mayor

Karditis
Poliartritis
Khorea


Eritema marginatum

Nodul subkutan
Temuan klinis :

Gejala Minor

Riwayat demam rematik atau penyakit jantung


rematik

Poliarthralgia

Demam
Temuan laboratorium:

Bukti yang
mendukung adanya
infeksi Group A hemolytic
streptococcus
(GABHS)

Peningkatan reaktan fase akut ( laju pengendapan


eritrosit, protein C-reaktif, leukositosis)
Pemanjangan interval PR (elektrokardiogram)
Peningkatan titer antistreptolisin O (ASTO) atau titer
antibodi streptococcus lainnya
Kultur tenggorok Group A beta-hemolytic
streptococci atau pemeriksaan antigen streptokokus
hasilnya (+)
Rapid direct Group A strep carbohydrate antigen test
(+)
Riwayat Scarlet fever baru-baru ini.
Tabel 2 : Kriteria Jones

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis pada mereka yang menderita PJR adalah untuk mengeliminasi
faringitis SGA (bila masih ada), mensupresi inflamasi dari respon autoimun, dan memberikan
tatalakasana suportif bagi penderita gagal jantung.
Pada tahap resolusi episode akut, terapi ditujukan mencegah kekambuhan PJR pada
anak dan memonitoring komplikasi dan sequele dari PJR pada orang dewasa.

Medika Mentosa
1. Antibiotik
Penisilin V oral dalah obat pilihan untuk terapi infeksi GABHS faringitis. Dengan
dosis: 250mg tablet 2 kali sehari untuk anak-anak. 500mg tablet 2 kali sehari untuk dewasa.
Pengobatan selama 10 hari.

Bila penisilin oral tidak ada, dosis tunggal intramuskular benzathine penisilin G atau
benzathine/prokain penisilin kombinasi adalah terapinya. Dengan dosis: 1,200,000 U jika
berat badan lebih 20kg atau 600,000 U jika berat badan kurang 20kg.

Pada pasien yang alergi dengan penisilin, pemberian eritromisin atau serfalopsporin
generasi pertama, pilihan lainnya meliputi claritromisin selama 10 hari, azitromisin selama 5
hari, atau spektrum sempit (generasi pertama) sefalosporin selama 10 hari. Untuk grup
rekurren GABHS faringitis, 10 hari kedua dengan antibiotik yang sama dapat diulang. Obat
pilihan lainnya meliputi sefalosporin spektrum sempit, amoksisilin-klavulanat, dicloxacillin,
eritromisin, dan makrolid lainnya.
Tabel 3: Antibiotic regimens for treatment of group A streptococcal pharyngeal infections.
Antibiotik

Dosis

Durasi

Penicillin V

250 mg by peroral 2 to 3 kali sehari (27 kg)


10 hari
atau 500 mg peroral 2 to 3 kali sehari (>27 kg)

Benzathine penicillin G

600,000 units intramuscular (27 kg) atau


1,200,000 units intramuscular (>27 kg)

1x

Amoxicillin

50 mg/kg peroral setiap hari

10 hari

Cephalosporina (first
generation)

Drug-dependent

10 hari

Clindamycina

20 mg/kg/hari terbagi 3 dosis peroral

10 hari

Clarithromycina

15 mg/kg/hari terbagi 2 dosis peroral

10 hari

Azithromycina

12 mg/kg peroral setiap hari

5 hari

2. Anti-Inflamasi untuk Arthritis, Athralgia dan Karditis


Agen anti-inflamasi yang digunakan adalah dari golongan salisilat iaitu Aspirin.
Untuk karditis ringan hingga sedang, penggunaan aspirin saja sebagai anti inflamasi
direkomendasikan dengan dosis 4-8g/hari yang dibagi dalam 4 sampai 6 dosis.Untuk arthritis,
terapi aspirin selama 2 minggu dan dikurangi secara bertahap selama lebih dari 2 sampai 3

minggu. Adanya perbaikan gejala sendi dengan pemberian aspirin merupakan bukti yang
mendukung arthritis pada demam rematik akut. Setelah perbaikan, terapi dikurangi secara
bertahap selama 4-6 minggu selagi monitor reaktan fase akut. Pemberian prednisone
diindikasikan hanya pada kasus karditis berat.

3. Sydenham Chorea
Penanganan khorea Sydenham dilakukan dengan mengurangi stres fisik dan
emosional karena chorea adalah self-limiting. Jika chorea dengan gejala yang parah chorea
dapat diberikan antikonvulsi, seperti asam valproik atau carbamazepine.

4. Demam
Demam tidak memerlukan tertentu rawatan khusus. Demam biasanya akan bertindak balas
dengan baik terhadap terapi aspirin.
5. Carditis
Pasien dengan demam rematik akut dan gagal jatung mendapat terapi meliputi digoxin,
diuretik, reduksi afterload, suplemen oksigen, tirah baring dan retriski cairan dan natirum.
Glucocorticoids: Bila terdapat karditis sedang hingga berat di indikasikan adanya
kardiomegali, gagal jantung kongestif, blok jatung derajat III, ganti salisilat dengan prednison
per oral. Pemberian prednison selama 2-6 minggu bergantung tingkat keparahan karditis dan
tapering prednisone selama minggu terakhir. Prednison diberikan dengan dosis 1-2mg/kg/hari
maksimal 80mg/hari dalam pemberian tunggal atau dalam dosis terbagi. Diberikan selama 23 minggu kemudia diturunkan 20-25% setiap minggunya.
Digoxin: Digoxin peroral atau IV dengan dosis 125-250mcg/hari.
Diuretics: Furosemid peroral atau IV dengan dosis 20-40mg/jam selama 12-24 jam jika
terdapat indikasi.
Agen pengurang afterload: ACE inhibitor-captopril mungkin efektif untuk memperbaiki
curah jantung, terutama dengan adanya insufisiensi mitral dan aorta. Mulai dengan dosis
initial yang kecil dan berikan hanya bila telah dilakukan koreksi hipovolemia

6. Profilaksis Sekunder
Injeksi benzathine penisilin G intramuskular setiap 3-4 minggu direkomendasikan untuk
profilaksis sekunder. Injeksi diberikan sebanyak 13 kali harus diberikan setiap tahun nya bila
di resepkan setiap 4 minggu, dan 17 kali bila diresepkan 3 minggu.
Pasien dengan demam rematik dan gangguan katup memerlukan dosis tunggal antibiotik 1
jam sebelum prosedur bedah dan prosedur gigi untuk mencegah endokarditis bakterial. Pasien
demam rematik tanpa masalah katup tidak memerlukan profilaksis endokartiditis
Jangan menggunakan penisilin, ampisilin atau amoksisilin untuk profilaksis endokarditis
pada pasien yang sudah menerima penisilin sebagai profilaksis sekunder demam rematik.
Pilihan obat lain yang direkomendasikan oleh AHA meliputi klindamisin (20mg/kg untuk
anak-anak dan 600 mg untuk orang tua) dan azitromisin atau claritromisin (15mg/kg untuk
anak-anak dan 500mg untuk orang dewasa)
Antibiotic

Dose

Benzathine penicillin G 600,000 units intramuscular (27 kg) or 1,200,000 units


intramuscular (>27 kg) Every 4 weeks (3 weeks in high-risk
areas/populations)
Penicillin V

250 mg by mouth twice daily

Sulfadiazine

0.5 g by mouth daily (27 kg) or


1 g by mouth daily (>27 kg)

Macrolidea

Drug-dependent

Tabel 4 Antibiotic regimen for secondary prophylaxis of acute rheumatic fever.

Non Medika Mentosa


1. Diet
Diet bernutrisi dan tanpa restriksi kecuali pada pasien dengan gagal jantung, yang mendapat
pembatasan cairan dan asupan garam. Suplemen kalium mungkin diperlukan bila digunakan
steroid dan diuretik.

2. Aktivitas
Pasien tirah baring dan melakukan aktivitas didalam rumah sebelum diperbolehkan
bersekolah kembali. Aktivitas sepenuhnya tidak diperbolehkan sampai fase akut reaktan
kembali normal.
3. Edukasi
Ketika diagnosis demam rematik akut ditegakkan, diperlukan edukasi kepada pasien dan
orang tuanya tentang perlunya pemakaian antibiotik secara berkelanjutan untuk mencegah
infeksi streptokokus berikutnya. Adanya keterlibatan jantung, diperlukan pemberian
profilaksis untuk menangani endokarditis infektif.

Penatalaksanaan Operatif
1. Mitral stenosis

Prinsip dasar pengelolaan adalah melebarkan lubang katup mitral yang menyempit,

tetapi indikasi intervensi ini hanya untuk penderita kelas fungsional III ke atas. Intervensi
dapat bersifat bedah (valvulotomi, rekonstruksi aparat sub valvular, kommisurotomi atau
penggantian katup.
2. Insufisiensi Mitral
Tindakan bedah hendaknya dilakukan sebelum timbul disfungsi ventrikel kiri. Jika
mobilitas katup masih baik, mungkin bisa dilakukan perbaikan katup (valvuloplasti,
anuloplasti). Bila daun katup kaku dan terdapat kalsifikasi mungkin diperlukan penggantian
katup (mitral valve replacement). Katup biologik (bioprotese) digunakan terutama digunakan
untuk anak dibawah umur 20 tahun, wanita muda yang masih menginginkan kehamilan dan
penderita dengan kontra indiksi pemakaian obat-obat antikoagulan. Katup mekanik misalnya
Byork Shiley, St.Judge dan lain-lain, digunakan untuk penderita lainnya dan diperlukan
antikoagulan untuk selamanya.
3. Stenosis Aorta
Pasien dengan gejala-gejala akibat stenosis aorta membutuhkan tindakan operatif.
Pasien tanpa gejala membutuhkan penanganan yang sangat hati-hati serta follow up untuk

menentukan kapan tindakan bedah dilakukan. Penanganan stenosis dengan pelebaran katup
aorta memakai balon masih diteliti. Pasien-pasien dengan gradien sistolik 75 mmHg harus
dioperasi walaupun tanpa gejala. Pasien tanpa gejala tetapi perbedaan tekanan sistolik kurang
dari 75 mmhg harus dikontrol setiap 6 bulan. Tindakan operatif harus dilaksanakan bila
pasien menunjukkan gejala terjadi pembesaran jantung, peningkatan tekanan sistolik aorta
yang diukur denagn teknik Doppler. Pada pasien muda bisa dilakukan valvulotomi aorta
sedangkan pada pasien tua membutuhkan penggantian katup. Risiko operasi valvulotomi
sangat kecil, 2% pada penggantian katup dan risiko meningkat menjadi 4% bila disertai
bedah pintas koroner. Pada pembesaran jantung dengan gagal jantung, risiko naik jadi 4
sampai 8%. Pada pasien muda yang tidak bisa dilakukan valvulotomi penggantian katup
perlu dilakukan memakai katup sintetis. Keuntungan katup jaringan ini adalah kemungkinan
tromboemboli jarang, tidak diperlukan antikoagulan, dan perburukan biasanya lebih lambat
bila dibandingkan dengan memakai katup sintetis.
4. Insufisiensi Aorta
Pilihan untuk katup buatan ditentukan berdasarkan umur, kebutuhan, kontra indikasi
untuk koagulan, serta lamanya umur katup. Penderita dengan katup jaringan, baik porsin atau
miokardial mungkin tidak membutuhkan penggunaan antikoagulan jangka panjang. Risiko
operasi kurang lebih 2% pada penderita insufisiensi kronik sedang dengan arteri koroner
normal. Sedangkan risiko operasi pada penderita insufisiensi berta dengan gagal jantung, dan
pada penderita penyakit arteri, bervariasi antara 4 sampai 10%. Penderita dengan katup
buatan mekanis harus mendapat terapi antikoagulan jangka panjang.
Pencegahan
1. Pencegahan primer
Pencegahan primer dari demam rematik dimungkinkan dengan terapi penisilin selama
10 hari untuk faringitis karena streptokokus. Namun, 30% pasien berkembang menjadi
subklinis faringitis dan oleh karena itu tidak berobat lebih lanjut. Sementara itu, 30% pasien
lainnya berkembang menjadi demam rematik akut tanpa keluhan dan tanda klinis faringitis
streptokokus.
2. Pencegahan sekunder
Pasien dengan riwayat demam rematik, termasuk dengan gejala khorea dan pada
pasien dengan tidak adanya bukti pemeriksaan yang menunjukkan pasien menderita demam

rematik akut harus diberikan profilaksis. Sebaiknya, pasien menerima profilaksis dalam
jangka waktu tidak terbatas.
Kategori
Demam rematik tanpa karditis

Durasi
Minimal selama 5 tahun atau sampai usia
21 tahun, yang mana lebih lama

Demam rematik dengan karditis tetapi Minimal 10 tahun atau hingga dewasa,
tanpa penyakit jantung residual (tidak yang mana lebih lama
ada kelainan katup)
Demam rematik dengan karditis dan Minimal 10 tahun sejak episode terakhir
penyakit jantung residual (kelainan dan minimal sampai usia 40 tahun,
katup persisten)
kadang-kadang selama seumur hidup
Tabel 5: Durasi profilaksis untuk demam rematik
Prognosis
Perkembangan penyakit jantung sebagai akibat demam rematik akut diperngaruhi
oleh tiga faktor, yaitu:
1.

Keadaan jantung pada saat memulai pengobatan. Lebih parahnya kerusakan jantung
pada saat pasien pertama datang, menunjukkan lebih besarnya kemungkinan insiden
penyakit jantung residual.

2.

Kekambuhan dari demam rematik : Keparahan dari kerusakan katup meningkat pada
setiap kekambuhan.

3.

Penyembuhan dari kerusakan jantung : terbukti bahwa kelainan jantung pada serangan
awal dapat menghilang pada 10-25% pasien. Penyakit katup sering membaik ketika
diikuti dengan terapi profilaksis.

Prognosis sangat baik bila karditis sembuh pada permulaan serangan akut demam rematik.
Selama 5 tahun pertama perjalanan penyakit demam rematik dan penyakit jantung rematik
tidak membaik bila bising organik katup tidak menghilang.
Prognosis memburuk bila gejala karditisnya lebih berat, dan ternyata demam rematik akut
dengan payah jantung akan sembuh 30% pada 5 tahun pertama dan 40% setelah 10 tahun.
Dari data penyembuhan ini akan bertambah bila pengobatan pencegahan sekunder dilakukan
secara baik.
Penyakit Katup Jantung Akibat Demam Rematik

Gambar 2.2. Katup-katup Jantung


Seseorang yang mengalami demam rematik apabila tidak ditangani secara
adekuat, maka sangat mungkin sekali mengalami serangan penyakit jantung rematik.
Infeksi oleh kuman Streptococcus beta hemolyticus group A yang menyebabkan
seseorang mengalami demam rematik dimana diawali terjadinya peradangan pada
saluran tenggorokan, dikarenakan penatalaksanaan dan pengobatannya yang kurang
terarah menyebabkan racun/toksin dari kuman ini menyebar melalui sirkulasi darah
dan mengakibatkan peradangan katup jantung. Akibatnya daun-daun katup
mengalami perlengketan sehingga menyempit, atau menebal dan mengkerut sehingga
kalau menutup tidak sempurna lagi dan terjadi kebocoran.

Stenosis Mitral
Patofisiologi
Stenosis mitral reumatik adalah akibat fibrosis cincin mitral, perlekatan
komisura, dan kontraktur daun katup, korda dan muskulus papilare selama periode
waktu yang lama. Stenosis ini biasanya 10 tahun atau lebih agar lesi betul-betul bisa
tegak, walauun prosesnya kadang-kadang bisa dipercepat. Stenosis mitral reumatik
jarang ditemukan sebelum remaja dan biasanya tidak dikenali sampai umur dewasa.
Stenosis mitral secara klinis diketahui jika lubang katup mengurang aampai 25% atau
kurang dari lubang katup yang diharapkan normal. Pengurangan demikian berakibat
kenaikan tekanan dan pembesaran serta hipertrofi atrofi kiri. Kenaikan tekanan
menyebabkan hipertensi vena pulmonalis, kenaikan tahanan vaskuler pulmonal dan
hipertensi pulmonal. Dilatasi ventrikel
dengan disertai gagal jantung sisi kanan.

dan atrium kanan, dan terjadi hipertrofi

Gambar 2.4. Stenosis Mitral

Manifestasi Klinis
Biasanya ada korelasi yang baik antara gejala dan keparahan obstruksi.
Penderita dengan lesi ringan tidak bergejala. Derajat obstruksi yang lebih berat
disertai dengan tidak tahan kerja dan dispnea. Lesi berat dapat ortopnea, dispnea
nokturnal paroksismal, dan edema paru yang nyata. Gejala-gejala ini dapat dipercepat
oleh takikardia yang tidak terkendali, fibrilasi atrium, atau infeksi paru. Gagal jantung
kongestif biasanya ada tetapi tidak selalu disertai dengan hipertensi pulmonal berat.
Dilatasi ventrikel kanan dapat menyebabkan insufisiensi trikuspidal fungsional,
hepatomegali, asites dan edema. Hemoptisis karena robekan vena bronkhial atau vena
pleurohilus, dan kadang-kadang dapat terjadi infark paru. Sputum dengan bercak
darah tampak selama episode edema paru. Pada stenosis mitral berat kronis, tampak
sianosis dan kemerahan pipi.
Tekanan vena jugularis naik bila ada gagal jantung kongestif, penyakit katup
trikuspidalis atau penyakit hipertensi pulmonal berat. Ukuran jantung normal pada
penyakit minimal. Kardiomegali sedang biasanya ada pada stenosis mitral berat dan
irama sinus, tetapi pembesaran jantung dapat masif terutama bila timbul fibrilasi atrial
dan gagal jantung. Impuls apeks normal, tetapi kuat angkat ventrikel kanan
parasternal dapat diraba bila tekanan pulmonal tinggi. Tanda auskultasi utama adalah
bunyi jantung pertama keras, opening snap katup mitral, dan bising diastolik mitral
rumbel, panjang, nada rendah dengan pergeseran presistolik pada apeks. Bising
diastolik mitral sebenarnya mungkin tidak ada pada penderita yang dalam keadaan
gagal jantung kongestif. Bising holosistolik karena insufisiensi trikuspidal mungkin
juga dapat didengar. Bila ada hipertensi pulmonal, komponen pulmonal bunyi jantung

ke-2 keras. Bising diastolik awal dapat disebabkan oleh insufisiensi aorta yang terkait
atau insufisiensi katup pulmonal sekunder (bising Graham Steell).
Elektrokardiogram dan roentgenogram normal jika lesi ringan; bila keparahan
bertambah, ada gelombang P berlekuk dan mencolok dan berbagai tingkat hipertrofi
ventrikel kanan. Fibrilasi atrium merupakan manifestasi lambat yang sering. Lesi
sedang atau berat yang disertai dengan tanda-tanda roentgenografi pembesaran atrium
kiri, penonjolan arteria pulmonalis dan ruang jantung sisi kanan, dan aorta serta
ventrikel kiri normal atau kecil; mungkin ada kalsifikasi yang tampak pada daerah
katup mitral. Obstruksi berat disertai dengan pembagian kembali aliran darah
pulmonal sehingga apeks paru mempunyai perfusi lebih besar (kebalikan normal).
Garis sekat pada sudut kostofrenikus

mungkin

juga ada. Ekokardiografi

menampakkan penyempitan lubang mitral yang nyata selama diastole dan


pembesaran atrium kiri.
Penatalaksanaan
Pembedahan terindikasi bila ada tanda-tanda klinis dan bukti hemodinamik
obstruksi berat tetapi sebelum manifestasi berat tampak lebih awal. Valvotomi mitral
balon kateter atau pembedahan biasanya menghasilkan hasil yang baik; penggantian
katup dihindari kecuali kalau sangat diperlukan. Valvuloplasti balon terindikasi pada
katup penderita yang tidak mengapur, lunak, stenotik bergejala tanpa aritmia atrium
atau trombus.
Regurgitasi Trikuspid
Etiologi dan Patologi
Regurgitasi tricuspid adalah suatu keadaan kembalinya sebagian darah ke
atrium kanan pada saat sistolik. Keadaan ini dapat terjadi primer akibat kelainan
organic katup, ataupun sekunder karena hipertensi pulmonal, perubahan fungsi
maupun geometri ventrikel berupa dilatasi ventrikel kanan maupun annulus tricuspid.
Tabel 6. Penyebab Regurgitasi Trikuspid
Anatomis katup abnormal

Penyakit jantung reumatik


Bukan reumatik :
o Endokarditis infektif

o Anomali Ebsteins
o Prolaps katup tricuspid
o Kongenital, Defak kanan atrio-ventrikular
o Karsinoid (dengan hipertensi pulmonal)
o Infark miokard, iskemi/rupture muskulus papilaris
o Trauma
o Kelainan jaringan ikat (sindrom Marfan)
o Artritis rheumatoid
o Radiasi, dengan akibat gagal jantung
o Fibrosis endomiokard
Anatomis katup normal
Kenaikan tekanan sistolik ventrikel kanan oleh berbagai sebab (dilatasi annulus)
Lain lain

Kawat pacu jantung (jarang)


Hipertiroidisme
Endokarditis Loeffler
Aneurisma sinus valsava

Penyakit jantung reumatik, dapat mengenai katup tricuspid secara langsung


walupun lebih sering disertai dengan katup jantung lain. Biasanya bila penyebabnya
penyakit jantung reumatik, selain regurgitasi disertai pula dengan stenosis.

Hemodinamik
Pada regurgitasi tricuspid baik organic maupun sekunder, akan terjadi kenaikan
tekanan akhir diastolic pada atrium dan ventrikel kanan. Tekanan atrium kanan akan
meningkat mendekati tekanan ventrikel kanan sesuai dengan kenaikan tekanan
ventrikel kanan, yaitu sesuai dengan kenaikan derajat regurgitasi tricuspid.
Tekanan sistolik arteri pulmonalis dan ventrikel kanan dapat dipakai sebagai
petunjuk kasar terhadap regurgitasi primer atau sekunder. Bila tekanan kurangg dari 40
mmHg, lebih menunjukkan kelainan primer dibandingkan bila tekanan lebih dari 40
mmHg. Curah jantung biasanya sangat menurun.

Manifestasi Klinis
Regurgitasi tricuspid tanpa hipertensi pulmonal biasanya tidak memberikan
keluhan dan dapat ditoleransi dengan baik. Rasio wanita terhadap pria adalah 2 : 1,

dengan rata rata umur 40 tahun. Oleh karena lebih sering bersamaan dengan stenosis
mitral, maka symptom oleh stenosis mitral biasanya lebih dominant. Riwayat sesak
napas pada latihan yang progresif, mudah lelah dan juga timbul batuk darah. Bila
keadaan lebih berat dan timbul keluhan bengkak tungkai, perut membesar, maka
kelelahan/fatig dan anoreksia merupakan keluhan yang paling mencolok. Adanya
asites dan hepatomegali akan menimbulkan keluhan kurang enak pada perut kanan atas
dan timbul pulsasi pada leher, akibat pulsasi regurgitasi vena. Pada keadaan ini justru
pasien dapat tidur berbaring dengan rata.

Pemeriksaan Fisis
Pada inspeksi selalu terlihat adanya gambaran penurunan berat badan,
kakeksia, sianosis dan ikterus. Biasanya selalu dijumpai pelebaran vena yugularis,
gambaran gelombang x dan x1 yang normal akan menghilang, sedangkan y descent
akan menjadi nyata, terutama pada inspirasi. Akan terlihat juga impuls ventrikel kanan
yang mencolok hiperdinamik. Pada saat sistolik juga dapat teraba impuls atrium kanan
pada garis sternal kiri bawah. Biasanya pada fase awal dapat teraba pulsasi sistolik
pada permukaan hati, namun pada keadaan sirosis kongestif pulsasi menghilang karena
hati menjadi tegang dan keras. Selain itu terlihat juga asites dan edema.
Pada auskultasi dapat terdengar S3 dari ventrikel kanan yang terdengar lebih
keras pada inspirasi, dan bila disertai hipertensi hipertensi pulmonal suara P2 akan
mengeras. Bising pansistolik dengan nada tinggi terdengar paling keras di sela iga 4
garis parasternal kiri dan dapat pula sampai ke subsifoid. Bila regurgitasi ringan, bising
sistolik pendek, tetapi bila ventrikel kanan sangat besar bising dapat sampai ke apeks
dan sulit dibedakan dengan regurgitasi mitral. Perlu diingat bahwa derajat bising pada
regurgitasi tricuspid akan meningkat pada inspirasi (Rivero-Carvellos sign). Adanya
kenaikan aliran melalui katup tricuspid dapat menimbulkan bising diastolic pada
daerah parasternal kiri.

Gambaran Radiologis
Adanya kardiomegali yang mencolok akibat pembesaran ventrikel kanan.
Kadang kadang akibat tingginya tekanan ventrikel kanan yang akan berlangsung
lama dapat terjadi kalsifikasi pada annulus trikuspidalis. Dapat terjadi gambaran
hipertensi pulmonal, dan pada fluoroskopi terlihat pulsasi sistolik pada atrium kanan.

Elektrokardiogram
Biasanya tidak spesifik, dapat berupa blok cabang bundle kanan, tanda
pembesaran atrium dan ventrikel kanan, dan sering juga terjadi fibrilasi atrium.

Ekokardiografi
Pulsed color doppler echocardiography, merupakan sarana yang mempunyai
akurasi, sensitivitas dan spesifitas yang tinggi dalam menentukan adanya regurgitasi
tricuspid. Disini dapat dilihat morfologi katup mitral, sehingga dapat diketahui
berbagai penyebab yang mendasari regurgitasi tricuspid ini. Demikian pula dapat
dilakukan pemeriksaan semikuantitatif terhadap tekanan ventrikel kanan, maupun
arteri pulmonalis.

Kateterisasi
Dengan kateterisasi berupa ventrikulografi ventrikel kanan dapat diketahui
adanya regurgitasi, namun adanya kateter pada katup dapat juga menimbulkan
regurgitasi positif palsu

Pengobatan
Konservatif
Ditujukan terutama bila terdapat tanda tanda kegagalan fungsi jantung, berupa
istirahat, pemakaian diuretitk dan digitalis.
Pembedahan
Tanpa suatu tanda hipertensi pulmonal biasanya tidak diperlukan suatu tindakan
pembeda han. Tetapi pada keadaan tertentu dapat dilakukan tindakan anuloplasti dan
pada yang lebih berat dilakukan penggantian katup dengan prostesis.
BAB III
ANALISIS KASUS
Keluhan utama pada pasien ini yakni demam tinggi sejak 2 minggu SMRS. Demam
tinggi dapat dipengaruhi oleh adanya suatu infeksi di dalam tubuh. Hal ini didukung dari
anamnesis yang didapatkan, yaitu adanya keluhan lain seperti nyeri menelan dan batuk.

Selain itu, anak juga mengeluh sesak nafas. Sesak nafas dapat dipengaruhi oleh oksigenasi
jaringan menurun, kebutuhan oksigen meningkat, kerja pernapasan meningkat, dan
rangsangan pada sistem saraf pusat. Untuk penyebabnya, sesak nafas bisa disebabkan oleh
berbagai hal, yakni penyakit jantung dengan gagal jantung kongestif dengan tanda-tanda
bendungan paru sehingga terjadi hambatan pada respiratory dan ventilatory work, penyakit
saluran pernapasan, terutama pada paru-paru yang mengalami hambatan ventilasi dalam
rongga dada (cavity ventilation) dan hambatan difusi udara pernapasan (actual ventilation),
kelainan dinding dada, otot pernapasan atau gangguan persarafan pada otot pernapasan
sehingga menyebabkan hambatan mekanis pada pernapasan (restrictive work yang
menghambat), gangguan psikologis, misalnya pada keadaan neurosis atau keadaan cemas,
intoksikasi, asidosis dan gangguan metabolisme yang lain, serta gangguan hematologi seperti
anemia, hipoksia, dan lain lain.
Dari anamnesis didapatkan sesak yang dipengaruhi aktivitas yang diawali dengan
gangguan pada aktifitas berat-sedang lalu seiring waktu sesak timbul bahkan saat melakukan
aktivitas ringan. Sesak ini khas pada sesak yang disebabkan oleh organ jantung. Sesak tidak
dipengaruhi cuaca, dapat disimpulkan bahwa sesak tidak berasal dari reaksi alergi pada
saluran pernafasan seperti pada asma bronchial. Terlebih lagi ditambah dengan penjelasan
bahwa tidak terdapat mengi semakin dapat menyingkirkan kemungkinan asma bronkial.
Selain itu tidak terdapat keluhan pada BAK yang menunjukkan tidak ada keterlibatan ginjal.
Dari anamnesis diperoleh informasi bahwa pasien sesak timbul saat beraktivitas
(dyspneu deffort), kemudian sesak timbul saat berbaring (ortopneu) dan anak sering
terbangun pada malam hari karena sesak (paroxysmal nocturnal dyspneu). Pada pemeriksaan
fisik umum didapatkan tekanan darah dan nadi dalam batas normal, regular, isi dan tegangan
cukup, serta pernafasan dalam batas normal. Benjolan pada leher tidak teraba. Kemudian
didapatkan peningkatan JVP (5+0) cmH20 yang menandakan adanya bendungan vena
jugularis.
Pada inspeksi statis dan dinamis, thoraks simetris kanan dan kiri, tidak ada spider nevi
yang merupakan tanda sirosis hati. Pada auskultasi jantung ditemukan murmur sistolik grade
2/6 di ICS III-IV sinistra, gallop S3 (-). Ictus kordis terlihat dan teraba di ICS IV LMC
sinistra.
Berdasarkan kriteria Framingham, kriteria epidemiologi yang telah digunakan secara
luas untuk mendiagnosis gagal jantung kongestif, diagnosis gagal jantung kongestif
mensyaratkan minimal dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor disertai dua kriteria minor.
Kriteria mayor dan minor dari Framingham untuk gagal jantung kongestif adalah: Kriteria
mayor berupa paroxysmal nocturnal dyspneu, ronkhi basah halus, bunyi jantung S3, refluks

hepatojugular, edema paru, kardiomegali, peninggian tekanan vena jugularis dan kriteria
minor berupa batuk malam hari, edema ekstremitas, dyspnea deffort, hepatomegali,
takikardi, efusi pleura, penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien ini didiagnosis banding dengan
penyakit jantung reumatik, artritis rheumatoid juvenil dan lupus eritematosus sistemik. Dapat
disingkirkannya artritis rheumatoid juvenil sebagai diagnosis kerja karena nyeri sendi pada
penyakit ini dalam batas sedang, tidak eritem, dan terjadi pada pagi hari, terdapat nodul
reumatoid, dan karditis jarang dijumpai. Dapat disingkirkannya lupus eritematosus sistemik
sebagai diagnosis kerja karena sakit sendi hanya bersifat ringan, bengkak tidak spesifik, lesi
makula eritema khas berbentuk kupu-kupu di wajah, dan karditis terjadi jika penyakit sudah
lanjut. Sehingga, diagnosis kerja kasus ini adalah RHD (Rheumatic Heart Disease). Diagnosis
ini ditegakkan berdasarkan kriteria Jones yang dimodifkasi oleh AHA, yaitu kriteria mayor
berupa poliartritis migrans, karditis, korea, nodul subkutaneus, eritema marginatum dan
kriteria minor berupa suhu tinggi, atralgia, dan riwayat pernah menderita DR/PJR.
Dari kriteria di atas, ditemukan 3 kriteria mayor yaitu poliarthritis migrans, eritem
marginatum, serta karditis dimana ditemukannya murmur pada katup jantung. Kriteria minor
yaitu pasien sering mengalami demam yang hilang timbul, sakit tenggorokan, dan batuk yang
berulang-ulang sejak kecil. Pasien ini juga pernah memiliki riwayat demam reumatik
sebanyak dua kali. Dapat disimpulkan bahwa pasien ini menderita RHD.
Terapi pada pasien ini terdiri dari terapi farmakologis dan non farmakologis. Pada
terapi non farmakologis, pasien disuruh istirahat. Oksigen diberikan bila anak sesak.
Tatalaksana farmakologis pada pasien ini diberikan. Pada pasien yang telah terkena penyakit
jantung rematik sebaiknya dilakukan pencegahan sekunder agar tidak terjadi kekambuhan.
Pencegahan tersebut dalam bentuk pemberian Benzatin Penisilin G IM (1,2 juta unit untuk
BB>27 kg, 600ribu-900ribu unit BB 27kg). Lama pemberian berdasarkan kondisi penderita.
Pada penderita dengan demam rematik yang disertai penyakit katup jantung persisten
diberikan terapi selama 10 tahun atau sampai usia 40 tahun atau seumur hidup. Penderita
dengan demam rematik yang disertai karditis tanpa disertai penyakit jantung diterapi selama
10 tahun atau sampai 21 tahun. Pasien dengan riwayat demam rematik saja diterapi selama 5
tahun atau sampai usia 21 tahun. Pasien pada kasus ini anak direncanakan untuk diberikan
Benzatin Penisilin G IM 1,2 juta unit karena berat pasien >27kg. Pemberian antibiotic ini
diberikan satu bulan satu kali. Pilihan obat lain yang direkomendasikan oleh AHA (American
Heart Association) meliputi klindamisin, eritromisin, sulfadiazin, dan azitromisin atau
laritromisin.

Prognosis pada pasien ini baik vitam adalah dubia functionam dubia ad bonam karena
belum mengalami komplikasi lanjut.

DAFTAR PUSTAKA
1. Ganong. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Penerbit Buku Kedokteran EGC,Jakarta, 2002.
2. Hanafi,Idrus Alwi, Muin Rahman,S Harun. Ilmu Penyakit Dalam jilid III. Jakarta: FKUI,
2006, hal 1606-1633.
3. Panggabean MM. Gagal Jantung.Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Pusat
Penerbitan IPD FK UI: Jakarta, 2006, 1503-1504.
4. Price, Sylvia A, Lorraine M. Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
EGC: Jakarta, 2005.
5. Gray, HH., Dawkins, KD., Morgan, JM., Simpson, IA. Lecture Notes Kardiologi. Alih
bahasa : Azwar Agoes & Asri Dwi Rachmawati. Edisi 4. Jakarta. Penerbit Erlangga. 2005.
6. Madiyono, B. Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik pada Anak di Akhir
Milenium Kedua dalam Penyakit Kardiovaskular dari Pediatrik Sampai Geriatrik. Editor
: Kaligis RWM., Kalim H., Yusak M., et al. Jakarta. Balai Penerbit Rumah Sakit Jantung
Harapan Kita. 2001.
7. Harimurti, GM. Demam Reumatik dalam Buku Ajar Kardiologi. Editor : Lily Ismudiati
Rilantono, Faisal Baraas, Santoso Karo Karo, & Poppy Surwianti Roebiono. Jakarta.
Balai Penerbit FKUI. 2001.
8. Mycek, MJ., Harvey, RA., Champe, PC. Farmakologi Ulasan Bergambar. Alih bahasa:
Azwar Agoes. Edisi 2. Jakarta. Widya Medika. 2001.
9. Prabowo, P. Gagal Jantung dalam Ilmu Penyakit Jantung. Editor : Boedi Soesetyo
Joewono. Surabaya. Airlangga University Press. 2003.
10. Price, SA. & Wilson, LM. Patofisologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Vol 1.
Edisi 6. Alih bahasa : Brahm U. Pendit, dkk. Jakarta. EGC. 2006.
11. Soemantri, D. & Atmoko, R. Demam Rheuma Akut dalam Ilmu Penyakit Jantung. Editor
: Boedi Soesetyo Joewono. Surabaya. Airlangga University Press. 2003.
12. Stollerman GH. Rheumatic Fever As We Enter The 21st Century. Available from:
http://www/rheumatic%20fever%20as%20we%20enter%20the%2021st% 20century.htm
13. Yusak, M. Stenosis Mitral dan Insufisiensi Mitral dalam Buku Ajar Kardiologi. Editor :
Lily Ismudiati Rilantono, Faisal Baraas, Santoso Karo Karo, & Poppy Surwianti
Roebiono. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. 2001.

Anda mungkin juga menyukai