Anda di halaman 1dari 3

Jihad ke Dalam, Menuju Rahmat bagi Alam

[Pengantar Diskusi Martabat]


Oleh: Maulin Niam

Dewasa ini banyak sekali orang begitu semangat menyerukan jihad, berjuang dengan sungguh-sungguh dalam
mengamalkan Islam secara kaffah, menyeluruh, total. Melalui status-status di media
sosial, retweet atau share status ustadz selebritis, fanpage yang rajin mengemis amin, maupun spandukspanduk di perempatan jalan, semangat berjihad terus dikobarkan. Pesan yang istiqomah disampaikan adalah
bahwa amalan itu salah amalan ini benar, kelompok itu sesat, kami-lah yang taat.

Jihad dalam islam memang memiliki landasan dalil yang kuat. Al quran sebagai pedoman utama beberapa kali
membahas jihad. Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta,
benda dan diri mereka, adalah lebih Tinggi derajatnya di sisi Allah; dan Itulah orang-orang yang mendapat
kemenangan (Q.S Attaubah: 20). Pada surat yang sama ada juga ayat yang lebih keras lagi tentang jihad,
Hai nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah
terhadap mereka (ayat 73). Bahkan disertai dengan ancaman ketika tidak melakukan jihad, Jika kamu tidak
berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya (kamu)
dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu (QS At-Taubah : 39).

Ayat-ayat tersebut seringkali menjadi dalil pembenar bagi perbuatan agresif atas namaamar maruf nahi
munkar, hingga melakukan penyerangan fisik, mengangkat senjata, dan perang. Dengan kata lain jihad yang
bersifat keluar ini dipahami sebagai menggunakan kekuatan untuk mengatur, menguasai, dan mengubah pihak
lain agar mengikuti pahamnya, cara hidupnya, dan menjadi pengikutnya. Dengan memekikkan takbir mereka
membunuh siapa saja yang dianggapnya beda. Dengan bangga mereka menyebut apa yang mereka lakukan
adalah perang suci, Padahal bisa saja yang sebenarnya mereka lakukan adalah memuas-muaskan dendam dan
benci.

Mungkin banyak dari kita lupa kalimat nabi Muhammad sepulang dari perang Badar, Kalian baru saja
pulang dari jihad kecil menuju jihad yang lebih besar. Sahabat bertanya keheranan mengingat betapa
mengerikannya perang Badar yang baru saja mereka menangkan, Apakah jihad yang lebih besar itu? lalu
Nabi menjawab, Jihad seorang hamba melawan dirinya sendiri.

Dari kisah tersebut kita tahu bahwa jihad ke dalam diri justru, menurut nabi, merupakan jihad yang lebih besar,
lebih berat untuk dilakukan. Tujuan utama yang dicari para jihadist adalah kemuliaan hidup atau mati sebagai
syahid, penyaksi. Tapi pernahkah kita bertanya apa yang disaksikan para syahid itu? Puluhan bidadari cantik
yang menjemputnya ke surga dengan segala kenikmatannya ataukah kebenaran sejati dan keridloan Tuhan dari
apa yang diperjuangkannya selama hidup?

Jika tujuan utama jihad adalah agar seseorang mendapat predikat syahid, mati dalam keadaan syahid, maka
jihad ke dalam diri merupakan jalan terdekatnya. Syahid adalah sebutan untuk orang yang telah menyaksikan
kebenaran sejati, menyaksikan hakekat kebenaran Tuhan. Urusannya antara diri sendiri dengan Tuhan.
Bukankah nabi sendiri pernah berujar, barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya. Dan
barang siapa mengenal Tuhannya, musnahlah keakuan dalam dirinya. Dengan kata lain, semakin seseorang
berjihad mengenal diri sejatinya diri, semakin ia mengenal Tuhan dan ia pun layak mendapatkan predikat
syahid meski belum mati.

Lalu mengapa orang lebih suka jihad ke luar daripada jihad ke dalam?

Mungkin bagi sebagian orang jihad ke luar terasa sangat heroik, menantang, gagah berani, disegani dan
dihormati. Padahal jihad ke dalam sebagai jihad akbar tak kalah menantangnya, tak kalah beratnya. Tak kurang
tujuh gunung harus kita daki, tujuh samudra harus kita selami, tujuh lapis bumi harus digali, tujuh lapis langit
harus dilalui, bahkan kematian berkali-kali harus kita jalani untuk menemukan Diri yang sejati.

Salah satu kata kunci berjihad adalah kesungguh-sungguhan dalam berjuang. Kesungguhan pikiran,
kesungguhan ucapan, kesungguhan perbuatan dalam memperjuangkan kebenaran. Bagi orang islam, pedoman
utama meniti jalan kebenaran adalah kitab suci Al-quran. Dikatakan suci karena hanya orang-orang yang suci
yang bisa menyentuhnya. La yamassuhu illal muthohharuun (Q.S. Al Waqiah: 79).

Al-Quran tak hanya memuat petunjuk tentang syariat, hukum-hukum normatif dan administratif sebagai
muslim. Al quran adalah padatan informasi semesta. Di dalamnya memuat petunjuk pengetahuan biologi,
astronomi, fisika, psikologi manusia, kimia dan lain sebagainya. Sebaliknya, semesta adalah juga kitab suci
yang terbentang luas berisi ayat-ayat kauniyah, realitas empirik, yang jika kita bersungguh-sungguh
mempelajarinya akan sampai pula pada gerbang marifatullah.

Sekadar ilustrasi kita bisa meminjam disiplin ilmu kimia. Sebelum menjadi satu disiplin ilmu alam seperti
yang kita kenal sekarang, kimia atau alkimia dimulai dari obsesi manusia untuk menguasai cara mengubah
logam biasa menjadi emas yang bernilai tinggi sebagaimana kisah Qorun di masa nabi Musa. Dalam tradisi
alkimia kuno, terdapat kepercayaan bahwa dengan mencampurkan satu unsur misterius yang disebut
sebagai philosophers stone(batu filsuf) sebongkah timah bisa diubah menjadi emas. Lebih jauh lagi, para
alkemis juga percaya adanya ramuan Elixir of Life yang bisa membuat penggunanya awet muda. Upaya para
alkemis mencari unsur misterius pembuat emas melahirkan disiplin ilmu yang sekarang disebut kimia seperti
destilasi, pemurnian. Menurut seorang teman yang kuliah di jurusan Teknik Kimia, komposisi penyusun zat
kimia pada dasarnya tidak ada beda, tinggal konfigurasi unsur-unsurnya yang membuatnya jadi beda. Para
alkemis sekarang sudah sampai pada pengetahuan bahwa dengan penembakan sinar gelombang alfa beta gama
tertentu mereka bisa mengubah atau membuat unsur kimia yang berbeda.

Ada kutipan menarik dari Walter White, seorang guru SMA dalam serial Breaking Badtentang kimia.
Secara teknis, orang mengira kimia adalah ilmu yang mempelajari materi, tapi aku lebih suka melihatnya
sebagai studi tentang transformasi. Elektron mengubah tingkat energinya. Molekul mengubah ikatannya.
Elemen menggabungkan dan berubah menjadi senyawa. Bukankah hidup juga begitu?! Ini adalah sebuah
kepastian, itu siklus. penyatuan, perpisahan. Hanya berulang-ulang. Ini adalah pertumbuhan, kehancuran,
lalu perubahan.

Dari satu disiplin ilmu kimia, kita bisa belajar bahwa hidup adalah seni mengubah derajat diri sebagai asfala
safiliin menjadi makhluk ahsani taqwiim. Kesadaran timah yang beracun menjadi emas murni yang mulia.
Dengan semangat berjihad ke dalam menuju derajatahsani taqwim ini kita mulai bisa mencicil peran sebagai
rahmat bagi semesta. Segala gerak langkah kita orientasikan untuk menghadirkan kebaikan bagi semesta.
Sebagai manusia yang sungguh-sungguh berjihad, kita harus siap untuk tumbuh, untuk hancur, untuk berubah.

Untuk bisa memahami ayat-ayat realitas, kita pun harus dalam keadaan suci. Suci secara logika, suci secara
mental, suci dari motif selain bersungguh sungguh mencari kebenaran bukan pembenaran. Bagaimana
mungkin kita akan menemukan kesucian diri jika dalam mengambil keputusan kita selalu mendasarkan pada
pendapat orang lain, twit ustad itu, menurut buku anu. Itu ibarat bersuci menggunakan air mustamal (air yang
sudah digunakan orang lain. Suci tapi tak memenuhi syarat untuk mensucikan).

Jalan jihad manapun yang kita pilih, berbekal daulat diri dan kesucian tadi, yakinlah bahwa Tuhan akan
menuntun kita kembali padaNya. Sebagaimana sabdanya,
Barang siapa berjihad (bersungguh-sungguh) di jalan Kami, niscaya akan kami tunjukkan padanya
jalan-jalan (menuju) Kami (Q.S. Al-Ankabuut: 69)

Selamat berdiskusi!

Perpustakaan EAN, Sebelum Cahaya 20 Maret 2015

Anda mungkin juga menyukai