Anda di halaman 1dari 2

unculnya Syiah sama sekali bukan bersebab faktor tunggal.

Sintesis antara ajaran Abdullah


ibn Sabaa dengan kezhaliman yang dialami keturunan Sayyidina Ali, kelak ditambah faktor
ketiga yang amat dominan; dendam Persia.
Leopold Weiss, Yahudi Polandia yang mengganti namanya menjadi Muhammad Assad
setelah meraih hidayah mengisahkan perjalanannya di Iran dalam The Road to Mecca.
Alangkah kontrasnya kegembiraan dan keriangan khas suku-suku Arab gurun yang
ditemuinya di Hijjaz dan Najd dengan kemurungan dan kesayuan yang menjadi lekatan di
wajah orang-orang Iran. Secara fisik mereka gagah, tapi tidak tegap. Kesedihan yang parah.
Seolah mendung selalu bergayut di raut muka itu. Ada apa ini? Adakah hubungannya dengan
perayaan ratap duka yang senantiasa mereka lakukan di tanggal 10 Muharram untuk
mengenang syahidnya Husain di Karbala?
Ya. Tepatnya bukan hubungan sebab akibat, tapi sama-sama akibat. Akibat dari sebuah shock
budaya dan shock peradaban. Sebuah frustrasi atas kekalahan peradaban mereka yang begitu
agung dalam memori, peradaban Imperium Persia Sassaniyah. Ketika angkatan perang
Khalifah Umar dipimpin Sad ibn Abi Waqqash menklukkan kekaisaran ini dan sekaligus
membawakan Islam, kultus Zoroaster telah memasuki palung kebekuan, sehingga ia tak
mampu melakukan perlawanan terhadap ide dinamis baru dari jazirah Arab. Peremajaan
sosial dan intelektual yang sedang berkecambah di titik balik itu tiba-tiba larut oleh serbuan
kekuatan baru yang sungguh-sungguh berbeda.
Islam hadir menghancurkan sistem kasta bangsa Iran kuno dan menghadirkan satu sistem
sosial yang egaliter dan bebas. Islam membuka celah baru bagi berkembangnya energi-energi
kebudayaan yang sejak lama menggelegak diam tak tentu bentuknya. Tetapi kultus
keagungan keturunan Darius dan Xerxes yang tak serta merta terpinggir, seolah diputus,
dipenggal antara hari kemarin dan esok. Hari ini, oleh Islam. Suatu bangsa yang memiliki
watak begitu halus, telah mendapatkan ekspresinya dalam dualisme asing agama Zand dan
pemujaan pantheistis terhadap keempat unsur udara, air, api, dan tanah-, kini dihadapkan
pada kesederhanaan Islam dengan monotheisme tak kenal kompromi. Peralihan itu, kata
Assad, terlalu tajam dan perih.
Lebih dari itu, ada perasaan terpendam mendalam ketika mereka mengidentikkan
kemenangan cita Islam sebagai kekalahan peradaban mereka. Perasaan sebagai bangsa yang
dikalahkan dan kehancuran tak kenal ampun terhadap wadah warisan peradaban mereka
memperparah keberantakan mereka, sehingga Islam, yang bagi bangsa-bangsa lain adalah
pembebasan dan rangsang kemajuan, menjadi sebuah kerinduan supernatural dan simbolik
yang samar.
Syiah, yang digarap Abdullah ibn Sabaa menawarkan sesuatu yang lebih dekat dengan
masa lalu jiwa-jiwa kalah ini. Doktrin mistik, manifestasi Tuhan dalam jasad-jasad terpilih
yang agung, kesemuanya disambut sebagai jalan tengah untuk Islam yang lebih ramah
terhadap kejiwaan dan kemasyarakatan mereka. Syiah, yang hampir menyerupai pendewaan
terhadap Ali dan keturunannya itu, menyembunyikan cita benih inkarnasi dan penjelmaan
kembali terus menerus. Ini suatu cita yang sangat asing bagi Islam, tetapi sangat akrab bagi
kalbu bangsa Iran. Syiah menawarkan ratap duka atas Husain sebagai cermin kepedihan atas
kekalahan jiwa yang telah terjadi saat Umar menaklukkan peradaban lama mereka. Begitu
seterusnya.

Dulu kita bertanya, mengapa Husain lebih diratapi daripada Al Hasan, atau bahkan Ali?
Mereka sama-sama terbunuh terzhalimi. Terlepas bahwa pembunuhan Husain memang
tampak lebih dahsyat kezhalimannya, tapi ternyata Muharram punya makna tersendiri.
Sepuluh Muharram bukan hanya tanggal terbunuhnya Husain. Pada tanggal yang kurang
lebih sama di tahun 14 H, demikian menurut Saif ibn Umar At Tamimi sebagaimana dikutip
Ibn Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah, pasukan Sad ibn Abi Waqqash yang diutus
Umar ibn Al Khaththab untuk Futuhat Persia menghancurkan pasukan agung Imperium
Sassaniyah di bawah pimpinan Rustum Farrakhzad di Qadisiyah. Muharram bukan cuma
duka untuk Husain, ia juga ratapan untuk sebuah kekalahan yang takkan dilupakan.
Kini mudah menjawab, mengapa meski Syiah membenci Abu Bakr, Umar, dan Utsman
sebagai perampas hak Ali, kebencian itu dibidikkan lebih ganas kepada Umar. Haditshadits yang dikarang untuk menista Umar sampai pada tingkat keterlaluan hingga risi
menyebutnya. Mengapa bukan Abu Bakr si perampas pertama? Barangkali, karena
Umarlah yang meleburkan kebanggaan psikologis bangsa Iran itu, sesuatu yang diterakan
dalam jiwa sebagai kenangan pahit; Imperium Sassaniyah Persia.
Dan Umar pun, Allah ridha padanya, syahid di mihrab, di tangan seorang budak Persia
bernama Firouz.

Anda mungkin juga menyukai