Anda di halaman 1dari 90

ANALISIS SIFAT MEKANIK DAN METALOGRAFI BAJA

KARBON RENDAH UNTUK APLIKASI TABUNG GAS 3 KG

SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sains (S.Si) pada Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Oleh :
DEVINTA JULIAPTINI
NIM : 106097003255

PROGRAM STUDI FISIKA


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010

ANALISIS SIFAT MEKANIK DAN METALOGRAFI BAJA KARBON


RENDAH UNTUK APLIKASI TABUNG GAS 3 KG

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Sains dan Teknologi
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sains (S.Si.)
Oleh
DEVINTA JULIAPTINI
NIM: 106097003255

Pembimbing I,

PembimbingII,

Arif Tjahjono, M.Si


NIP : 19751107 200701 1 015

Edi Sanjaya, M.Si


NIP : 150 321 586

Mengetahui,
Ketua Prodi Fisika

Drs. Sutrisno M.Si


NIP : 19590202 198203 1 005

PENGESAHAN UJIAN
Skripsi berjudul ANALISIS SIFAT MEKANIK DAN METALOGRAFI BAJA KARBON
RENDAH UNTUK APLIKASI TABUNG GAS 3 KG telah diujikan dalam sidang
munaqasyah Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 29
Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sains (
S.Si ) pada Program Studi Fisika.
Jakarta, 29 Juni 2010
Sidang Munaqasyah

Penguji I,

Penguji II,

Siti Ahmiatri Saptari, M.Si


NIP : 160477 200501 2008

Drs. Sutrisno, M.Si


NIP : 19590202 198203 1 005

Mengetahui,
Dekan Fakultas Sains dan Teknologi,

Ketua Program Studi Fisika,

DR. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis


NIP : 19680117 200112 1 001

Drs. Sutrisno, M.Si


NIP : 19590202 198203 1 005

LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan
hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Juni 2010

DEVINTA JULIAPTINI

Abstrak
Telah dilakukan penelitian terhadap kualitas bahan baku tabung gas 3 kg terutama
untuk mengetahui komposisi unsur pemadunya, kekuatan tarik, kelenturan,
kekerasan, kekuatan terhadap benturan dan analisis metalografi. Adapun
karakteristik untuk mutu material dari bahan baku tabung gas 3 kg tersebut harus
berdasarkan SNI 1452:2007 atau JIS G3116 SG295 (standar of japan). Dalam JIS
standar ini berisi tentang kualitas bahan baku yang digunakan sebagai aplikasi
tabung gas, seperti komposisi kimia dan kekuatan tarik. Dari hasil pengujian
tersebut diketahui bahwa bahan baku tabung gas 3 kg ini adalah jenis baja karbon
rendah, dengan nilai kekuatan tarik (483Mpa), nilai kekerasan (140 HB), keuletan
(50.57 N/mm2), nilai kekuatan bentur (23 J) sedangkan untuk analisis struktur
mikronya bahwa bahan baku tabung gas 3 kg ini memiliki struktur mikro yang
kasar atau kurang halus.
Kata Kunci : metalografi, mikrostruktur, baja karbon rendah

Abstract
Have done a experiment to quality of raw material for gas tube 3 kg, especially for
chemical composition, tensile test, banding test, hardeness test, impact test and
analisys metalografy. Characteristic which qualify for material of gas tube have
been arranged in SNI 1452:2007 or JIS G3116 SG295 (standard of Japan). In JIS
standard, it is arranged quality of raw material to be used in gas tube application
steel like chemical composition and tensile test. From the results of experiment
know that type of this steel is low carbon steel, with value of tensile test (483
Mpa), hardness test (140 HB), banding test ( 50.57 N/mm2), impact test (23 J) and
for analysis of mikro structure that this surface of raw material is harder than
literature.
Keywords: metalografy, micro structure, low carbon steel.

ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya serta bantuan lahir dan batin sehingga penulis dapat menyusun
dan menyelesaikan Tugas Akhir ini dengan judul ANALISIS SIFAT
MEKANIK DAN METALOGRAFI BAJA KARBON RENDAH UNTUK
APLIKASI TABUNG GAS 3 KG.
Dalam mewujudkan Tugas Akhir ini dengan segala kerendahan hati
penulis menghaturkan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Allah SWT yang selalu melimpahkan segala nikmat dan anugerah-Nya,
sehingga saya bisa menyelasaikan Tugas Akhir ini.
2. Kedua orang tua yang senantiasa selalu mengasihi dan menyayangi anaknya,
atas motivasi serta doa yang tak henti-hentinya mengalir dalam tiap
langkahku.
3. Bapak DR.Syopiansyah Jaya Putra , M.Si, selaku Dekan Fakultas Sains dan
Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
4. Bapak Drs. Sutrisno, MSi selaku Ketua Prodi Fisika Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Bapak Arif Tjahjono, ST, M. Si. selaku Dosen Pembimbing I yang telah
dengan sabar membimbing saya dan banyak memberikan masukan serta kritik
yang berguna bagi saya.

iii

6. Bapak Edi Sanjaya, M. Si. selaku Dosen Pembimbing II yang juga telah
dengan sabar membimbing saya memberikan masukan serta kritik yang
berguna bagi saya dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini.
7. Teman-teman Fisika 06 UIN Jakarta (Geophysics-Team : Iiz, Iif, Cindi,
bahtiar, Agung, Aji, Kia dan Ida), (Instrument Physics-Team : Iik, Putri,
Shila, Dewi, Agus, Iwe, Dono, Karima), (Material Physics-Team : Rinan,
Rusman, Ana, Absory) . Makasih ya wat kebersamaanya selama ini.
8. Special Thanks to teman-teman senasib dan seperjuangan Iiz faizah, Iif Latifa,
Adjie Chico, Agung Satrio, Dewi Lestari, Rinan Ridwan Suhan Donoaji, Desi
Solikhati (SI06), Cindika Pandaini, Irwansyah. (Yang Telah Kalian Buat
Sungguhlah Indah Buat Diriku Susah Lupa ). Tak lupa pula adik-adik ku
tercinta (Dini, Aida, Arin) yang senan tiasa memberikan senyuman dan canda
tawanya sebagai semangat untuk menyelesaikan tugas akhir ini. Ahmad Fauzi
yang telah menemani saya dalam melakukan penelitian ini, terimakasih yah.
Penulis menyadari bahwa ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak
kekurangannya, sekalipun penulis telah berusaha dengan segala kemampuan yang
ada sehingga karya ilmiah ini dapat tersusun. Untuk menyempurnakannya, penulis
dengan senang hati menerima segala kritik dan saran dari semua pihak yang
sifatnya membangun demi kesempurnaan karya ilmiah ini.
Akhir kata penulis berharap semoga Karya Ilmiah ini bermanfaat bagi
penulis pada khususnya dan Pembaca pada umumnya.

Ciputat, Juni 2010

Penulis
iv

DAFTAR ISI

ABSTRAK ....................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ...................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................... v
DAFTAR TABEL ............................................................................................viii
DAFTAR GAMBAR........................................................................................ ix
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang......................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah ................................................................. 3
1.3. Tujuan Penelitian .................................................................... 3
1.4. Batasan Masalah ...................................................................... 3
1.5. Sistematika Penulisan .............................................................. 4

BAB II

DASAR TEORI
2.1. Baja Dan Klasifikasinya........................................................... 6
2.2. Diagram Fasa Baja karbon (Fe C) ......................................... 8
2.3 Proses Pembuatan Baja ............................................................ 10
2.4 Pengerjaan Mekanis Pada Baja ................................................ 12
2.5. Proses Pembuatan Bahan ......................................................... 13
2.6. Pengujian Radiografi ............................................................... 15
2.7. Pengujian Metalografi .............................................................. 18
2.7.1. Cutting (Pemotongan) .................................................. 18
2.7.2 Mounting ...................................................................... 19

2.7.3 Grinding (Pengamplasan) ............................................ 20


2.7.4 Polishing (Pemolesan).................................................. 21
2.7.5 Etching (Etsa) .............................................................. 22
2.8. Pengujian Kekerasan................................................................ 23
2.9. Kekuatan Tarik Bahan ............................................................. 27
2.10. Pengujian Kelenturan .............................................................. 36
2.11 Pengujian Impak ..................................................................... 37
BAB III

METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian .................................................. 43
3.2. Bahan dan Peralatan................................................................. 43
3.2.1. Bahan .......................................................................... 43
3.2.2. Peralatan Pembuatan Bahan.......................................... 44
3.2.3. Peralatan Pengujian ...................................................... 45
3.3. Penyiapan Bahan ..................................................................... 45
3.4. Tahapan Penelitian................................................................... 48
3.5. Pengujian Bahan ...................................................................... 48
3.5.1. Pengujian Komposisi ................................................... 49
3.5.2. Pengujian Metalografi .................................................. 50
3.5.3. Pengujian Mekanik ....................................................... 55

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Hasil Pengujian Komposisi Kimia............................................ 61
4.2 Hasil Pengujian Kekuatan Tarik ............................................... 64
4.3 Hasil Pengujian Bandability ..................................................... 66
4.4 Hasil Pengujian Kekerasan....................................................... 68

vi

4.5 Hasil Pengujian Impact ............................................................ 69


4.6 Hasil Pengamatan Metalografi (Struktur Mikro) ..................... 71
BAB V

PENUTUP
5.1 Kesimpulan.............................................................................. 74
5.2 Saran ....................................................................................... 75

REFERENSI

................................................................................................ 76

vii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1

Klasifikasi baja karbon berdasar kandungan karbon ....................... 7

Tabel 2.2

Komposisi kimia lembaran pelat baja karbon rendah


sebagai spesimen penelitian. .......................................................... 7

Tabel 2.3.

Skala pada Metode Uji Kekerasan Rockwel ................................... 27

Tabel 4.1.

Perbandingan Komposisi Kimia antara Produk Bahan Baku


dan Specifikasi Standar................................................................. 61

Tabel 4.2

Data Hasil Pengujian Kekuatan Tarik ............................................65

Tabel 4.3.

Perbandingan Kekuatan Tarik Antara Sampel Dengan JIS .............65

Tabel 4.4

Data Hasil Pengujian Keuletan ...................................................... 67

Tabel 4.5

Data Perbandingan Sampel Dengan Literatur. ................................67

Tabel 4.6

Data Hasil Pengujian Brinell..........................................................68

Tabel 4.7

Data Hasil Pengujian Kekuatan Benturan....................................... 69

viii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1

Diagrm Fasa Fe-C ....................................................................... 9

Gambar 2.2.

Penekanan oleh hardened steel ball ............................................. 25

Gambar 2.3.

Hasil identasi brinell berupa jejak bentuk dengan ukuran


diameter dalam skala mm ........................................................... 25

Gambar 2.4.

Skematis prinsip indentasi dengan metode Vickers ..................... 26

Gambar 2.5

Kurva tegangan-regangan dari sebuah benda uji terbuat


baja ulet ...................................................................................... 28

Gambar 2.6

Kurva tegangan-regangan dari sebuah benda uji terbuat


dari bahan getas. .........................................................................30

Gambar 2.7

Grafik tegangan-regangan beberapa baja yang


memperlihatkan kesamaan modulus kekakuan ............................ 33

Gambar2.8

Perbandingan antara kurva tegangan-regangan rekayasa


dari baja karbon rendah. .............................................................. 34

Gambar 2.9

Ilustrasi penampang samping bentuk perpatahan benda


uji tarik sesuai tingkat keuletan/kegetasan ................................... 35

Gambar 2.10 Tahapan terjadinya perpatahan ulet pada sampel uji tarik ............ 35
Gambar 2.11. Ilustrasi skematis pengujian kekuatan benturan dengan
Charpy ........................................................................................ 37
Gambar 2.12. Ilustrasi skematik pembebanan impak pada benda uji Charpy
dan Izod ...................................................................................... 38
Gambar 2.13. Efek temperatur terhadap kekuatan benturan beberapa
material ...................................................................................... 41

ix

Gambar 2.14. Bentuk dan dimensi benda uji berdasarkan ASTM E23-56T ....... 42
Gambar 3.1

Skema produksi SSP ................................................................... 44

Gambar 3.2

Diagram Alir penelitian .............................................................. 48

Gambar 3.3

Penggrindaan pada specimen uji ................................................. 49

Gambar 3.4

Specimen ditempelkan pada pembangkit sinar x ......................... 49

Gambar 3.5

Survey meter pada uji radiografi ................................................. 49

Gambar 3.6

Alat untuk melakukan pemotongan benda uji .............................. 50

Gambar 3.7

Sampel hasil pemotongan ........................................................... 50

Gambar 3.8

Mencetak sample cara dingin ...................................................... 51

Gambar 3.9

Peralatan untuk melakukan proses grinding ................................ 52

Gambar 3.10 Proses grinding ........................................................................... 52


Gambar 3.11 Peralatan untuk melakukan proses polishing ............................... 54
Gambar 3.12 Peralatan mikroskopik untuk pengambilan
photo struktur mikro ................................................................. 55
Gambar 3.13 Sampel uji tarik........................................................................... 56
Gambar 3.14 Tensile test mechine ................................................................... 56
Grafik 3.15

Ekstenso meter ........................................................................... 57

Gambar 3.16 Kurva Pengujian Tarik ............................................................... 57


Gambar 3.17 Benda setelah uji tarik................................................................. 58
Gambar 3.18 Pengujian kelenturan................................................................... 58
Gambar 3.19 Alat mengukur bekas penekanan ................................................. 59
Gambar 3.20 Pengujian metode brinell ............................................................ 59
Gambar 3.21 Impact test machine .................................................................... 60
Gambar 4.1

Struktur mikro baja karbon rendah pada sampel. ......................... 72

Gambar 4.2

Struktur mikro baja karbon rendah pada literature. ...................... 72

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Energi merupakan salah satu kebutuhan penting bagi masyarakat.
Keberadaan energi ini sangat berpengaruh bagi ketercapaian kesejahteraan bagi
masyarakat khususnya Indonesia. Indonesia memiliki sumber energi yang
melimpah dan beragam, baik yang bersumber dari sumber energi fosil maupun
sumber energi terbaharukan lainnya. Namun, sampai saat ini Indonesia masih
belum dapat memenuhi kebutuhan energi dalam negerinya sendiri.
Pada tahun 1994 produksi minyak bumi Indonesia mencapai puncak
tertingginya lalu setelah itu terus menurun sampai sekarang sehingga jika tidak
adanya cadangan minyak baru, maka dalam dua belas tahun lagi minyak bumi di
Indonesia akan habis. Menurunnya produksi minyak dikarenakan eksploitasi
berlebihan terhadap sumber energi fosil, sementara sumber energi terbaharukan
tidak mendapat perhatian. Saat ini negara Indonesia merupakan salah satu negara
yang sangat tergantung dari negara lain untuk mencukupi kebutuhan energinya.
Hal ini berdampak pada besarnya anggaran yang dibutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan energi tersebut.
Besarnya anggaran yang harus dikeluarkan pemerintah tersebut membuat
pemerintah harus melakukan upaya penghematan subsidi energi khususnya di
sektor minyak tanah untuk rumah tangga yang diprediksikan akan membengkak
sebagai akibat dari lonjakan harga minyak dunia yang terus meningkat. Salah satu

upaya penghematan tersebut adalah membuat program konversi energi dari


minyak tanah ke gas LPG.
Program konversi energi dari minyak tanah ke gas LPG ini banyak menuai
kontroversi di masyarakat Indonesia. Penyebabnya adalah mayoritas masyarakat
Indonesia terutama dalam sektor rumah tanggga masih sangat bergantung dengan
minyak tanah, selain itu juga penggunaan LPG sangat beresiko. Terbukti dalam
satu bulan ini (April 2010) telah terjadi empat kali kebakaran yang disebabkan
oleh meledaknya tabung gas LPG 3kg, pemicu kebakaran ini bisa di sebabkan
karna kulitas tabung gas yang rendah atau kesalahan manusia sendiri. Disini akan
di bahas dari segi kualitas bahan yang digunakan pada pembuatan tabung gas LPG
3kg.
Bahan yang digunakan untuk tabung gas LPG 3kg merupakan jenis baja
karbon rendah dengan komposisi karbon %C< 0,3 % dan unsur penyusun
utamanya terdiri dari besi (Fe) dan karbon (C), serta unsur-unsur lain seperti : Mn,
Si, Ni, Cr, V dan lain sebagainya yang tersusun dalam persentase yang sangat
kecil. Unsur-unsur tersebut sangat menunjang sebuah bahan memiliki kekuatan
dan kekerasan yang baik jika digunakan sesuai standar.1
Salah satu penyebab utama sering terjadinya kerusakan (failure) seperti
bocor (leak) dan meledak (burst) dalam penggunaannya diakibatkan masih
kurangnya pengontrolan terhadap kulitas bahan baku tabung gas tersebut oleh
karenanya akan dilakukan pengkajian terhadap karakteristik bahan baku (raw
material) tabungn gas 3kg yang diproduksi oleh salah satu perusahaan baja di
Indonesia.
Adapun spesifikasi yang dipersyaratkan dalam aplikasinya sebagai bahan
baku untuk tabung gas 3 kg adalah harus memenuhi JIS G3116 SG295 dan SNI
1

Davis, Joseph R. 1998. Metal Handbook desk edition ASM International

1452:2007. Untuk itu perlu dilakukan pengujian untuk memenuhi kedua


persyaratan spesifikasi tersebut baik secara mekanik maupun struktur mikronya.

1.2. Perumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah di jelaskan, bahwa setiap produk
yang dihasilkan oleh setiap industri harus memenuhi standar yang telah
ditetapkan, oleh karena itu diperlukan adanya pengujian kualitas dari produk yang
telah dihasilkan, khususnya dalam aplikasi sebagai tabung gas 3kg. Adapun
perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah komposisi kimia, kekuatan tarik, kekerasan, keuletan dan
kekuatan benturan produk bahan baku tabung gas LPG 3kg?
2. Bagaimanakah hasil pengamatan struktur mikro bahan baku hasil peleburan
tersebut?

1.3. Tujuan Penelitian


Tujuan yang akan dicapai dalam penulisan tugas akhir ini adalah :
1. Mengetahui komposisi kimia baja karbon rendah yang terkandung di
dalam produk bahan baku tabung gas 3 kg.
2. Menentukan nilai kekuatan tarik, kelenturan, kekerasan dan ketahanan
terhadap benturan produk bahan baku hasil peleburan.
3. Menganalisis struktur mikro produk bahan baku hasil peleburan.

1.4. Batasan Masalah


Penelitian ini difokuskan pada penentuan kualitas produk baja karbon
rendah yang di uji secara mekanik dan struktur mikro untuk aplikasi tabung gas
3kg. Pengujian mekaniknya meliputi pengujian tarik (tensile testing), keuletan,
3

kekerasan, dan pengujian impact. Sedangkan pengujian struktur mikronya


menggunakan pengujian metalografi dan untuk pengujian komposisi kimianya
menggunakan

radiografi.

Hasil

dari

pengujian-pengujian

tersebut

akan

dibandingkan dengan literatur pada spesifikasi JIS G3116 SG295. Sampel yang
digunakan dalam penelitian ini merupakan bahan mentah atau belum melalui
proses pembentukan menjadi tabung gas 3 kg.

1.5. Sistematika Penulisan


Sistematika penulisan dalam penelitian ini terbagi dalam beberapa bab.
Penulis membaginya menjadi lima bab, secara singkat akan diuraikan sebagai
berikut :
BAB I :

PENDAHULUAN
Pada bab ini akan membahas tentang latar belakang permasalahan,
perumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian dan sistematika
penulisan.

BAB II : DASAR TEORI


Pada bab ini akan dibahas tentang dasar dasar teori yang didasarkan
dari hasil studi literatur dan jurnal, seperti klasifikasi baja, pengujian
komposisi kimia, pengujian tarik, pengujian kekerasan, pengujian
kelenturan dan pengamatan metalografi.
BAB III : METODE PENELITIAN
Pada bab ini berisi tentang data yang diperlukan dalam penelitian, alat
dan bahan yang dipergunakan, tahapan-tahapan dalam mengolah data
tersebut.

BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN


Pada bab ini berisi tentang hasil yang didapat dari pengujian dan
perhitungan, serta pembahasan tentang bagaimana perbandingan
kualitas produk yang dilihat dari nilai kekuatan tarik, keuletan,
kekerasan, kekuatan benturan dan metalografi dengan literatur pada
JIS SG295.
BAB V : PENUTUP
Pada bab ini berisi kesimpulan dari hasil interpretasi dan pembahasan
yang telah didapat pada bab sebelumnya.

BAB II
DASAR TEORI

2.1. Baja Dan Klasifikasinya


Baja merupakan paduan yang terdiri dari unsur besi (Fe), karbon (C), dan
unsur lainnya. Baja dapat dibentuk melalui pengecoran, pencanaian, atau
penemperan. Karbon merupakan salah satu unsur terpenting karena dapat
meningkatkan kekerasan dan kekuatan baja. Baja merupakan logam yang paling
banyak digunakan di bidang teknik dalam bentuk pelat, pipa, batang, profil dan
sebagainya. Secara garis besar baja dapat dikelompokan menjadi dua yaitu baja
karbon dan baja paduan. Baja karbon terbagi menjadi tiga macam yaitu : baja
karbon rendah (0.25%C), baja karbon sedang (0,25 - 0,55%), baja karbon tinggi
(0,55). Sedangkan baja paduan terdiri dari baja paduan rendah dan baja paduan
tinggi.2
Penggunaan

dari

masing-masing

baja

berbeda-beda

berdasarkan

kandungan karbon pada baja tersebut. Baja karbon rendah digunakan salah
satunya untuk tabung gas LPG 3kg, kawat, baja profil, sekrup, ulir dan baut. Baja
karbon sedang digunakan untuk rel kereta api, poros roda gigi, dan suku cadang
yang berkekuatan tinggi, atau dengan kekerasan sedang sampai tinggi. Baja
karbon tinggi digunakan untuk perkakas potong seperti pisau, milling cutter.
Bila dilihat dari komposisi kimianya baja karbon terbagi menjadi tiga
macam yaitu : baja karbon rendah (0.25%C), baja karbon sedang (0,25 - 0,55%),
baja karbon tinggi (0,55). Sedangkan baja paduan terdiri dari baja paduan rendah

Davis, Joseph R. 1998. Metal Handbook desk edition ASM International

dan baja paduan tinggi.3 yang terkandung dalam baja karbon rendah dalam bentuk
pelat, dimana hasil komposisinya bisa dilihat pada Tabel 2.1. Baja karbon rendah
adalah salah satu jenis baja karbon, dimana persentase unsur karbonnya di bawah
0,25%, untuk lebih jelas ditunjukkan pada Tabel 2.1, sedangkan unsur pembentuk
lainnya seperti Mn tidak lebih dari 0,8%, Si tidak lebih dari 0,5%, demikian pula
unsur Cu tidak lebih dari 0,6%.
Tabel 2.1 Klasifikasi baja karbon berdasar kandungan karbon
Jenis baja karbon
Prosentase unsur karbon (%C)
1

Baja karbon rendah

Baja karbon medium

Baja karbon tinggi

0,25
0,25 - 0,55
0,55

Tabel 2.2 Komposisi kimia lembaran pelat baja karbon rendah sebagai
spesimen penelitian.
Unsur Prosentase (%)
Unsur
Prosentase (%)
C

0,16

Ni

0,018

Si

0,17

Mo

0,0018

Mn

0,76

Cu

0,054

0,020

Al

0,012

0,0001

Fe

98,83

Cr

0,0064

Di samping jenis baja karbon berdasarkan kandungan karbonnya, juga


dikelompokkan berdasarkan komposisi prosentasi unsur pemandu karbonnya
seperti yang perlihatkan pada diagram fasa Fe C Gambar 2.1, baja hypoeutektoid
kurang dari 0,8% C, baja eutektoid 0,8% C, sedangkan baja hypereutektoid lebih
besar dari 0,8% C.4

3
4

Davis, Joseph R. !998. Metal Handbook desk edition ASM International


http://www.audioenglish.net/dictionary/hypo-eutectoidsteel.htm

Dengan memperhatikan diagram fasa maka baja karbon rendah adalah


jenis baja hypoeutektoid karena prosentase unsur pemandu karbonnya tidak
melebihi 0,8% dan hanya mengandung 0,112% C. Pada kadar karbon 0,8 % akan
terbentuk fasa perlit, yaitu fasa yang terbentuk lamel-lamel yang merupakan
paduan antara ferrit sebagai matriksnya dan cementit sebagai lamel-lamelnya.
Fasa cementit merupakan fasa yang terbentuk dengan kadar karbon maksimum
6,67 %. Sementara ferrit pada kadar karbon maksimum 0,02 %.

2.2. Diagram Fasa Baja karbon (Fe C)


Baja murni yang dipanaskan akan mengalami dua perubahan struktur
mikro sebelum baja tersebut meleleh. Pada suhu ruang bentuknya stabil disebut
ferrit atau baja yang mempunyai susunan butir BCC.
Ferrit mengalami perubahan poli morfi dari BCC menjadi FCC austenit
atau baja pada suhu 9120C (16740F). Austenit ini bertahan hingga suhu 13940C
(25410F) pada suhu FCC austeit kembali pada BCC yang dikenal sebagai ferrit
yang akhirnya mendidih pada 15380C (28000F). semua perubahan itu terlihat jelas
sepanjang garis vertikal pada diagram fasa berikut.5

Clark, Donal S. & Varney, Willbur R. Physical metallurgy for engineering

Gambar 2.1 Diagrm Fasa Fe-C


Karbon adalah sebuah komponen dalam baja membentuk larutan padat
dengan yang lain setiap dan ferrit dan juga dengan austenite sebagaimna
ditunjukan pada fasa tunggal , , dan pada diagram fasa diatas dalam BCC
ferrit hingga sedikit konsentrasi karbon yang larut. Makismum daya larut adalah
0,02% pada suhu 7270C (13410F). Batas daya larut ditunjukan dengan bentuk dan
ukuran BCC position yang membuat baja sulit menampung atom karbon,
walaupun keberadaan karbon reletif kecil, karbon sangat besar mempengaruhi
sifat mekanis baja karbon.6
Austenite atau fasa dari baja, jika dipadukan dengan sedikit karbon maka
akan tidak setabil dibawah suhu 7270C (13410F) sebagaimana ditunjukan dalam
diagram fasa diatas. Maksimum daya larut karbon dalam austenite adalah 2,11% .
Daya larut maksimum ini mendekati 100 kali lebih besar dari daya larut
maksimum BCC ferit.
6

Clark, Donal S. & Varney, Willbur R. Physical metallurgy for engineering

Perubahan fasa yang terjadi dari fasa ke dalam fasa + Fe3C adalah
relative kompleks. Untuk kemudahan dalam memahami perubahan fasa, sebagai
contoh adalah sebuah baja karbon dengan kandungan karbon 0,77% yang
didinginkan dari temperature fasa sekitar 8000C. pada temperature ini perubahan
struktur mikro berubah menjadi fasa yang mempunyai kandungan karbon lebih
rendah yaitu 0,022% seperti FeC. Perubahan fasa ini mempengaruhi penyebara
karbo karena ketiga fasa mempunyai komposisi yang berbeda.7

2.3 Proses Pembuatan Baja


Proses pembuatan baja diawali dengan proses peleburan bahan baku baja
yang berupa besi kasar (pig iron) atau berupa besi spons (sponge iron).
Disamping itu bahan baku lain yang biasanya digunakan dalam proses pembuatan
baja adalah skrap baja (baja bekas) dan bahan-bahan penambah seperti ingot
ferosilikon, feromangan dan batu kapur. Proses peleburan dapat dilakukan pada
tungku BOF (Basic Oxygen Furnace) atau pada tungku busur listrik (Electric Arc
Furnace/EAF), namun selain dua metode tersebut juga terdapat banyak metode
lain yang digunakan untuk proses pembuatan baja. Tanpa memperhatikan tungku
atau proses yang diterapkan, proses peleburan baja pada umumnya mempunyai
tiga tujuan utama, yaitu :
1. Mengurangi sebanyak mungkin bahan-bahan yang bersifat impuritas.
2. Mengatur kadar karbon agar sesuai dengan tingkat grade/spesifikasi baja yang
diinginkan.
3. Menambah elemen-lemen pemadu yang diinginkan.

Clark, Donal S. & Varney, Willbur R. Physical metallurgy for engineering

10

Bahan yang dijadikan sempel pada penelitian ini dibuat dengna


menggunakan proses peleburan baja dengan teknik EAF (electric Arc Furnace).
Proses peleburan dalam EAF ini menggunakan energi listrik. Panas dihasilkan
dari busur listrik yang terjadi pada ujung bawah dari elektroda. Energi panas yang
terjadi sangat tergantung pada jarak antara elektroda dengan muatan logam
didalam tungku. Bahan elektroda biasanya dibuat dari karbon atau grafit.
Kapasitas tungku EAF ini dapat berkisar antara 2-200 ton dengan waktu
peleburannya berkisar antara 3-6 jam.8
Bahan baku yang dilebur biasanya berupa besi spons (sponge iron) yang
dicampur dengan skrap baja. Penggunaan besi sponge dimaksudkan untuk
menghasilkan kualitas baja yang lebih baik. Tetapi dalam banyak hal (terutama
untuk pertimbangan biaya) bahan baku yang dilebur seluruhnya berupa skrap baja,
karena skrap baja lebih murah debandingkan dengan besi spons.
Disamping bahan baku diatas, bahan-bahan lainnya yang ditambahkan
pada EAF adalah batu kapur, ferosilikon, feromangan, dan lain-lain dengan
maksud memisahkan dari kotoran yang menempel agar terbentuk baja murani
tanpa impuritas. Peleburan baja dengan EAF ini dapat menghasilkan kualitas baja
yang lebih baik karena tidak terjadi kontaminasi oleh bahan bakar atau gas yang
digunakan untuk proses pemanasannya.

T. Hansen and P. Jonsson: 2001 Electric Furnace Conference Proceedings, Warrendale.

11

2.4 Pengerjaan Mekanis Pada Baja


Pengerjaan mekanis baja dilakukan untuk meningkatkan sifat-sifat
mekanis pada baja agar lebih baik lagi, pengerjaan mekanis dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu pengerjaan panas dan pengerjaan dingin.
a. Pengerjaan Panas
Pengerjaan panas atau perlakuan panas adalah proses memanaskan
baja sampai temperature tertentu dan kemudian didinginkan dengan metode
tertentu. Tujuan pengerjaan panas adalah untuk memberikan sifat yang lebih
sempurna pada baja. Proses ini dapat mengubah sifat baja dengan cara
mengubah ukuran butirnya, juga mengubah unsur pelarutnya terutama karbon
dalam jumlah yang lebih kecil.
Proses perlakuan panas secara luas dapat diklasifikasikan menjadi dua
jenis, yaitu proses perlakuan panas yang menghasilkan kondisi seimbang dan
proses perlakuan panas yang menghasilkan kondisi tidak seimbang. Dalam
kondisi seimbang suatu material mempunyai nilai kekerasan yang kurang,
tetapi memiliki nilai kekenyalan lebih tinggi dari kondisi yang tidak seimbang.
b. Pengerjaan Dingin (Annealing)
Proses Annealing dapat didefinisikan sebagai pemanasan pada
temperature yang sesuai, diikuti dengan pendinginan pada kecepatan yang
sesuai pula.9 Hal ini bertujuan untuk melunakan, memperbaiki sifat-sifat
pengerjaan dingin dan membebaskan tegangan pada baja sehingga diperoleh
struktur yang dikhendaki.
Sifat-sifat baja yang disebutkan pada definisi di atas dapat diartikan
bahwa baja harus dipanaskan sampai temperature pengkristalan kembali untuk
9

Dieter, G. 1976. Mechanical Metallurgy of Engineering Materials. Mc-Graw Hill.

12

membebaskan

tegangan-tegangan

yang

ada

dalam

baja.

Kemudian

mempertahankan pemanasannya pada temperature tinggi untuk membuat


sedikit pertumbuhan butir pada struktur austenit. Selanjutnya didinginkan
secara perlahan-perlahan untuk membuat struktur lapisan perlit, sehingga sifat
baja yang dihasilkan menjadi lebih lunak dan ulet.

2.5. Proses Pembuatan Bahan


Pealatan utama yang digunakan pabrik baja lembaran panas memiliki
fungsi dan cara kerja masing-masing sebaimana tersebut dibawah ini:
a. Reheating Furnace
Merupakan peralatan berbentuk dapur untuk memanaskan slab agar
dicapai temperatur mampu tempa sehingga mamudahkan proses pengerolan
dan mencegah perubahan fisik slab. Pemanasan ini dilakukan dalam 3 zona
yaitu, preheating mencapai 6000C, heating mencapai 9000C dan soaking
mencapai temperatur 1250-12800C.
b. Sizing Press
Peralatan ini mempunyai fungsi utama untuk mereduksi lebar dari slab,
sehingga dapat meringankan kerja vertical edger yang beraada di roughing.
Temperature slab pada proses ini adalah sekitar 12000C
c. Roughing Mill
Pada peralatan ini berfungsi untuk mereduksi tebal slab sekaligus untuk
mengurangi beban pengerolan pada finishing mill. Tipe roghing mill yang
digunakan adalah four high mill disebut demikian karena mesin ini terdiri dari
4 buah roll yang disusun secara vertikal yaitu dua buah work roll dan dua buah
back up roll. Digunakan untuk mereduksi tebal slab, sedangkan untuk
13

mereduksi lebar slab didunakan l vertical edger. Hasil slab dari roging mill
disebut dengan transfer bar atau forband (jerman).
d. Thermopanel
Merupakan suatu peralatan berupa coper isolasi panas penutup roler table
antara loging mill dan finishing mill yang berfungsi mengurangi kehilangan
panas slab ke lingkungan sekitar dengan demikian temperatur sepanjang slab
relative konstan sebesar 1100 oC sebelum memasuki finishing mill. Alat ini
seperti housing atau penutup berbentuk U yang digerakkan oleh sistem
hidrolik. Terdapat 12 stand thermopanel, dimana masing-masing stand
panjangnya 5-7 meter.
e. Corp Shear
Merupakan peralatan yang digunakan untuk memotong ujung depan
(kepala) dan ekor pada transfer bar. Proses pemotongan ini bertujuan untuk
menghasilkan ujung depan dan belakang yang rata untuk proses finishing. Crop
shear ini terpasang didepan finishing stand F1.
f. Finishing Mill
Merupakan peralatan yang berfungsi untuk mengerol slab sehingga
diakhir finising mill didapatkan tebal strip yang diinginkan. Stand finishing
mill berjumlah 6 buah (disebut F1 s/d F6). Selama proses pengerolan
difinishing stand transfer bar akan mengalami reduksi ketebalan yang berbeda
disetiap stand karena pengaturan gap antara kedua work roll yang berbeda di
setiap stand.

14

g. Laminar Cooling
Setelah proses melalui finishing mill maka tahapan untuk pengerolan
dipastikan selesai dan hasil dari strip tersebut kemudian didinginkan
menggunakan laminar colling. Pendinginan ini berfungsi untuk mendapatkan
temperatur yang sesuai dengan temperatur penggulungan strip pada down
coiller. Tujuan utama dari pendinginan ini adalah untuk mencapai temperatur
kristalisasi yang sesuai untuk membentuk struktur mikro yang diinginkan
sesuai dengan standar mutu (steel grade) yang diinginkan. Pendinginan
dilakukan dengan menyemprotkan air diatas dan dibawah slab dengan tekanan
air 1 s/d 2 bar.
h. Down Coiler
Setelah mengalami proses pengerolan, maka proses berikutnya adalah
penggulungan strip, menjadi coil di down coiler. Jadi, fungsi dari coiler adalah
menggulung strip menjadi coil.
i. Shearing Line
Ini berfungsi untuk membuat plat dan merevisi coil-coil yang kurang baik
dari hasil pengerolan.

2.6. Pengujian Radiografi


Pengujian radiografi merupakan salah satu percobaan Non Destructive
Testing (NDT) yang secara garis besar dikelompokan dalam dua metoda, yaitu
metoda radiasi dan non radiasi. Pengujian radiografi ini termasuk kedalam metoda
radiasi yaitu metoda pemeriksaan dengan memanfaatkan sinar radiasi yang
dipancarkan oleh isotop tertentu dan mesin pembangkit sinar x.

15

Metoda pemeriksaan tersebut diaplikasikan sebagai Quality Control


dalam produk metalurgi, proses metalurgi. Dari gambaran tersebut maka metoda
NDT mempunyai peranan penting dalam inspeksi dan kontrol sehubungan dengan
produksi industri, kontruksi, instalasi dan operasi dari fasilitas industri.
1. Sumber Radiasi Untuk Radiografi
Sumber radiasi yang digunakan sebagai pendukung pengujian radiografi
untuk menentukan komposisi kimia ini adalah radiasi sinar x, sebagaiman
dijelaskan dibawah ini.
a. Pembangkit Sinar X
Prinsip kerja sinar x yaitu dua buah kutub listrik katoda yang cukup tinggi
dan berada di ruang hampa. Pada katoda (yang berupa filamen) akan dipancarkan
electron, karena dalam tabung hampa maka electron-elektron dari katoda akan
bergerak sangat cepat kearah anoda. Terjadi tumbukan dan electron akan
kehilangan energi yang berubah menjadi panas (sebagian besar) dan pancaran
sinar x (sebagian kecil).
Panas yang timbul di anoda harus didinginkan agar target tidak meleleh
atau rusak. Banyaknya elektron yang dilepas oleh katoda (filament) sebanding
dengan arus yang diberikan kepada filament, sedangkan tegangan-tegangan
positip yang diberikan kepada anoda adalah berhubungan erat dengan kecepatan
electron yang menumbuk anoda (target) dan mempunyai hubungan dengan energi
sinar yang dipancarkan.
Penetrasi sinar x ditentukan oleh besar tegangan (kV) yang dihasilkan oleh
pemancar sinar x. Hubungan antara panjang gelombang dengan kV adalah
0

121.4 A
=
kV
kV
16

makin kecil daya tembus sinar x semakin besar, sedangkan kuantitas sinar x
dapat diatur melalui arus (mA) pada filamen. Dua hal yang dapat diatur dalam
control box dari pesawat sinar x adalah arus dan tegangan.
b. Interaksi sinar x, dengan materi (benda uji)
Bila suatu materi dengan ketebalan tertentu diradiasi maka intensitas
radiasi semula diperlemah setelah melewati material, karena terjadi proses
atenuasi.
I = I0 e- x
I = Intensitas sinar x, setelah menembus material
I0 = Intensitas mula-mula
= koefisien pelemahan linear
x = tebal material
Perbedaan intesitas inilah yang dipakai sebagai dasar atau dimanfaatkan
dalam teknik radiografi. Jika dipakai detector, maka perbedaan intensitas I1 dan I2
akan menghasilkan tingkat kehitaman yang berbeda pada film radiografi. Proses
pelemahan sinar x atau akibat interaksi dengan materi dapat dibedakan atas tiga
pristiwa, yaitu :
- Efek photolistrik
- Pair production
- Hamburan Compton

17

2.7 Pengujian Metalografi


Pengujian metalografi ini dilakukan untuk menganalisa struktur mikro
pada sampel. Adapun prinsip dasar langkah-langkah untuk melakukan pengujian
ini adalah sebadagai berikut :
2.7.1. Cutting (Pemotongan)
Pemilihan sampel yang tepat dari suatu benda uji studi mikroskopik
merupakan hal yang sangat penting. Pemilihan sampel tersebut didasarkan pada
tujuan pengamatan yang hendak dilakukan. Pada umumnya bahan komersil tidak
homogen, sehingga satu sampel yang diambil dari suatu volume besar tidak dapat
dianggap representatif. Pengambilan sampel harus direncanakan sedemikian
sehingga menghasilkan sampel yang sesuai dengan kondisi rata-rata bahan atau
kondisi di tempat-tempat tertentu (kritis), dengan memperhatikan kemudahan
pemotongan pula. Secara garis besar, pengambilan sampel dilakukan pada daerah
yang akan diamati mikrostruktur maupun makrostrukturnya. Sebagai contoh,
untuk pengamatan mikrostruktur material yang mengalami kegagalan, maka
sampel diambil sedekat mungkin pada daerah kegagalan (pada daerah kritis
dengan kondisi terparah), untuk kemudian dibandingkan dengan sampel yang
diambil dari daerah yang jauh dari daerah gagal. Perlu diperhatikan juga bahwa
dalam proses memotong, harus dicegah kemungkinan deformasi dan panas yang
berlebihan. Oleh karena itu, setiap proses pemotongan harus diberi pendinginan
yang memadai.
Ada beberapa sistem pemotongan sampel berdasarkan media pemotong
yang digunakan, yaitu meliputi proses pematahan, pengguntingan, penggergajian,
pemotongan abrasi (abrasive cutter), gergaji kawat, dan EDM (Electric Discharge

18

Machining). Berdasarkan tingkat deformasi yang dihasilkan, teknik pemotongan


terbagi menjadi dua, yaitu :
a) Teknik pemotongan dengan deformasi yang besar, menggunakan gerinda
b) Teknik pemotongan dengan deformasi kecil, menggunakan low speed
diamond saw.
2.7.2 Mounting
Spesimen yang berukuran kecil atau memiliki bentuk yang tidak beraturan
akan sulit untuk ditangani khususnya ketika dilakukan pengamplasan dan
pemolesan akhir. Sebagai contoh adalah spesimen yang berupa kawat, spesimen
lembaran

metal

tipis,

potongan

yang

tipis,

dll.

Untuk

memudahkan

penanganannya, maka spesimen-spesimen tersebut harus ditempatkan pada suatu


media (media mounting). Secara umum syarat-syarat yang harus dimiliki bahan
mounting adalah :
1. Bersifat inert (tidak bereaksi dengan material maupun zat etsa)
2. Sifat eksoterimis rendah
3. Viskositas rendah
4. Penyusutan linier rendah
5. Sifat adhesi baik
6. Memiliki kekerasan yang sama dengan sampel
7. Flowabilitas baik, dapat menembus pori, celah dan bentuk ketidakteraturan
yang terdapat pada sampel
8. Khusus untuk etsa elektrolitik dan pengujian SEM, bahan mounting harus
kondusif

19

Media mounting yang dipilih haruslah sesuai dengan material dan jenis
reagen etsa yang akan digunakan. Pada umumnya mounting menggunakan
material plastik sintetik. Materialnya dapat berupa resin (castable resin) yang
dicampur dengan hardener, atau bakelit. Penggunaan castable resin lebih mudah
dan alat yang digunakan lebih sederhana dibandingkan bakelit, karena tidak
diperlukan aplikasi panas dan tekanan. Namun bahan castable resin ini tidak
memiliki sifat mekanis yang baik (lunak) sehingga kurang cocok untuk materialmaterial yang keras. Teknik mounting yang paling baik adalah menggunakan
thermosetting resin dengan menggunakan material bakelit. Material ini berupa
bubuk yang tersedia dengan warna yang beragam. Thermosetting mounting
membutuhkan alat khusus, karena dibutuhkan aplikasi tekanan (4200 lb/in2) dan
panas (1490C) pada mold saat mounting.
2.7.3 Grinding (Pengamplasan)
Sampel yang baru saja dipotong, atau sampel yang telah terkorosi
memiliki permukaan yang kasar. Permukaan yang kasar ini harus diratakan agar
pengamatan struktur mudah untuk dilakukan. Pengamplasan dilakukan dengan
menggunakan kertas amplas silicon karbit (SiC) dengan berbagai tingkat
kekasaran yang ukuran butir abrasifnya dinyatakan dengan mesh, yaitu kombinasi
dari 220, 330, 500, 600, 800, dan 1000. Ukuran grit pertama yang dipakai
tergantung pada kekasaran permukaan dan kedalaman kerusakan yang
ditimbulkan oleh pemotongan. Seperti perubahan struktur akibat panas yang
timbul pada saat proses pemotongan dan perubahan bentuk sample akibat beban
alat potong.

20

Hal yang harus diperhatikan pada saat pengamplasan adalah pemberian


air. Air berfungsi sebagai pemidah geram, memperkecil kerusakan akibat panas
yang timbul yang dapat merubah struktur mikro sampel dan memperpanjang masa
pemakaian kertas amplas. Hal lain yang harus diperhatikan adalah ketika
melakukan perubahan arah pengamplasan, maka arah yang baru adalah 450 atau
900 terhadap arah sebelumnya.
2.7.4 Polishing (Pemolesan)
Setelah diamplas sampai halus, sampel harus dilakukan pemolesan.
Pemolesan bertujuan untuk memperoleh permukaan sampel yang halus bebas
goresan dan mengkilap seperti cermin dan menghilangkan ketidakteraturan
sampel hingga orde 0.01 m. Permukaan sampel yang akan diamati di bawah
mikroskop harus benar-benar rata. Apabila permukaan sampel kasar atau
bergelombang, maka pengamatan struktur mikro akan sulit untuk dilakukan
karena cahaya yang datang dari mikroskop dipantulkan secara acak oleh
permukaan sampel.
Tahap pemolesan dimulai dengan pemolesan kasar terlebih dahulu
kemudian dilanjutkan dengan pemolesan halus. Ada 3 metode pemolesan antara
lain yaitu sebagai berikut :
a. Pemolesan Elektrolit Kimia
Hubungan rapat arus & tegangan bervariasi untuk larutan elektrolit dan
material yang berbeda dimana untuk tegangan, terbentuk lapisan tipis pada
permukaan, dan hampir tidak ada arus yang lewat, maka terjadi proses etsa.
Sedangkan pada tegangan tinggi terjadi proses pemolesan.

21

b. Pemolesan Kimia Mekanis


Merupakan kombinasi antara etsa kimia dan pemolesan mekanis yang
dilakukan serentak di atas piringan halus. Partikel pemoles abrasif dicampur
dengan larutan pengetsa yang umum digunakan.
c. Pemolesan Elektro Mekanis (Metode Reinacher)
Merupakan kombinasi antara pemolesan elektrolit dan mekanis pada
piring pemoles. Metode ini sangat baik untuk logam mulia, tembaga,
kuningan, dan perunggu.
2.7.5 Etching (Etsa)
Etsa merupakan proses penyerangan atau pengikisan batas butir secara
selektif dan terkendali dengan pencelupan ke dalam larutan pengetsa baik
menggunakan listrik maupun tidak ke permukaan sampel sehingga detil struktur
yang akan diamati akan terlihat dengan jelas dan tajam. Untuk beberapa material,
mikrostruktur baru muncul jika diberikan zat etsa. Sehingga perlu pengetahuan
yang tepat untuk memilih zat etsa yang tepat.
a. Etsa Kimia
Merupakan proses pengetsaan dengan menggunakan larutan kimia
dimana zat etsa yang digunakan ini memiliki karakteristik tersendiri sehingga
pemilihannya disesuaikan dengan sampel yang akan diamati. Contohnya
antara lain: nitrid acid / nital (asam nitrit + alkohol 95%), picral (asam picric +
alkohol), ferric chloride, hydroflouric acid, dll. Perlu diingat bahwa waktu etsa
jangan terlalu lam (umumnya sekitar 4 30 detik), dan setelah dietsa, segera
dicuci dengan air mengalir lalu dengan alkohol kemudian dikeringkan dengan
alat pengering.

22

b. Elektro Etsa (Etsa Elektrolitik)


Merupakan proses etsa dengan menggunakan reaksi elektoetsa. Cara
ini dilakukan dengan pengaturan tegangan dan kuat arus listrik serta waktu
pengetsaan. Etsa jenis ini biasanya khusus untuk stainless steel karena dengan
etsa kimia susah untuk medapatkan detil strukturnya.

2.8. Pengujian Kekerasan


Kekerasan suatu material dapat didefinisikan sebagai ketahanan material
tersebut terhadap gaya penekanan dari material lain yang lebih keras. Penekanan
tersebut dapat berupa mekanisme penggoresan (scratching), pantulan ataupun
indentasi dari material keras terhadap suatu permukaan benda uji. Berdasarkan
mekanisme penekanan tersebut, dikenal 3 metode uji kekerasan:
a. Metode gores
Metode ini tidak banyak lagi digunakan dalam dunia metalurgi dan
material lanjut, tetapi masih sering dipakai dalam dunia mineralogi. Metode ini
dikenalkan oleh Friedrich Mohs yang membagi kekerasan material di dunia ini
berdasarkan skala (yang kemudian dikenal sebagai skala Mohs). Skala ini
bervariasi dari nilai 1 untuk kekerasan yang paling rendah hingga skala 10 sebagai
nilai kekerasan tertinggi, sebagaimana dimiliki oleh intan.
b. Metode elastik/pantul (rebound)
Dengan metode ini, kekerasan suatu material ditentukan oleh alat
Scleroscope yang mengukur tinggi pantulan suatu pemukul (hammer) dengan
berat tertentu yang dijatuhkan dari suatu ketinggian terhadap permukaan benda
uji. Tinggi pantulan (rebound) yang dihasilkan mewakili kekerasan benda uji.

23

Semakin tinggi pantulan tersebut, yang ditunjukkan oleh dial pada alat pengukur,
maka kekerasan benda uji dinilai semakin tinggi.
c.

Metode indentasi
Pengujian dengan metode ini dilakukan dengan penekanan benda uji

dengan indentor dengan gaya tekan dan waktu indentasi yang ditentukan.
Kekerasan suatu material ditentukan oleh dalam ataupun luas area indentasi yang
dihasilkan (tergantung jenis indentor dan jenis pengujian). Berdasarkan prinsip
bekerjanya metode uji kekerasan dengan cara indentasi dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
1) Pengujian Brinell
Metode ini diperkenalkan pertama kali oleh J.A. Brinell pada tahun 1900.
Pengujian kekerasan dilakukan dengan memakai bola baja yang diperkeras
(hardened steel ball) dengan beban dan waktu indentasi tertentu, sebagaimana
ditunjukkan oleh Gambar 2.2. Hasil penekanan adalah jejak berbentuk lingkaran
bulat, yang harus dihitung diameternya di bawah mikroskop khusus pengukur
jejak. Contoh pengukuran hasil penjejakan diberikan oleh Gambar 2.3.
Pengukuran nilai kekerasan suatu material diberikan oleh rumus:

dimana P adalah beban (kg), D diameter indentor (mm) dan d diameter jejak
(mm).

24

Gambar 2.2. Penekanan oleh hardened steel ball


Prosedur standar pengujian mensyaratkan bola baja dengan diameter 10
mm dan beban 3000 kg untuk pengujian logam-logam ferrous, atau 500 kg untuk
logam-logam non-ferrous. Untuk logam-logam ferrous, waktu indentasi biasanya
sekitar 10 detik sementara untuk logamlogam non-ferrous sekitar 30 detik.
Walaupun demikian pengaturan beban dan waktu indentasi untuk setiap material
dapat pula ditentukan oleh karakteristik alat penguji. Nilai kekerasan suatu
material yang dinotasikan dengan HB tanpa tambahan angka di belakangnya
menyatakan kondisi pengujian standar dengan indentor bola baja 10 mm, beban
3000 kg selama waktu 115 detik. Untuk kondisi yang lain, nilai kekerasan HB
diikuti angka-angka yang menyatakan kondisi pengujian. Contoh: 75 HB
10/500/30 menyatakan nilai kekerasan Brinell sebesar 75 dihasilkan oleh suatu
pengujian dengan indentor 10 mm, pembebanan 500 kg selama 30 detik.

Gambar 2.3. Hasil identasi brinell berupa jejak bentuk dengan ukuran diameter
dalam skala mm

25

2) Pengujian Vickers
Pada metode ini digunakan indentor intan berbentuk piramida dengan
sudut 136o, seperti diperlihatkan oleh Gambar 2.4. Prinsip pengujian adalah sama
dengan metode Brinell, walaupun jejak yang dihasilkan berbentuk bujur sangkar
berdiagonal. Panjang diagonal diukur dengan skala pada mikroskop pengujur
jejak. Nilai kekerasan suatu material diberikan oleh:

VHN =

1.854 P
d2

dimana d adalah panjang diagonal rata-rata dari jejak berbentuk bujur sangkar.

Gambar 2.4. Skematis prinsip indentasi dengan metode Vickers

3) Pengujian Rockwell
Berbeda dengan metode Brinell dan Vickers dimana kekerasan suatu
bahan dinilai dari diameter/diagonal jejak yang dihasilkan maka metode Rockwell
merupakan uji kekerasan dengan pembacaan langsung (direct-reading). Metode
ini banyak dipakai dalam industry karena pertimbangan praktis. Variasi dalam
beban dan indetor yang digunakan membuat metode ini memiliki banyak
macamnya. Metode yang paling umum dipakai adalah Rockwell B (dengan
26

indentor bola baja berdiameter 1/6 inci dan beban 100 kg) dan Rockwell C
(dengan indentor intan dengan beban 150 kg). Walaupun demikian metode
Rockwell lainnya juga biasa dipakai. Oleh karenanya skala kekerasan Rockwell
suatu material harus dispesifikasikan dengan jelas. Contohnya 82 HRB, yang
menyatakan material diukur dengan skala B: indentor 1/6 inci dan beban 100 kg.
Berikut ini diberikan Tabel 2.3 yang memperlihatkan perbedaan skala dan range
uji dalam skala Rockwell:
Tabel 2.3. Skala pada Metode Uji Kekerasan Rockwel

2.9. Kekuatan Tarik Bahan


Uji tarik rekayasa sering dipergunakan untuk melengkapi informasi
rancangan dasar kekuatan suatu bahan dan sebagai data pendukung bagi
spesifikasi bahan. Pada uji tarik, benda uji tarik diberi beban gaya tarik sesumbu
yang bertambah besar secara kontinyu. Sampel atau benda uji dengan ukuran dan
bentuk tertentu ditarik dengan beban kontinyu sambil diukur pertambahan
panjangnya. Data yang didapat berupa perubahan panjang dan perubahan beban
27

yang selanjutnya ditampilkan dalam bentuk grafik tegangan-regangan. Data-data


penting yang diharapkan didapat dari pengujian tarik ini adalah perilaku mekanik
material dan karakteristik perpatahan.
Pengujian tarik yang dilakukan pada suatu material padatan (logam dan
nonlogam) dapat memberikan keterangan yang relatif lengkap mengenai perilaku
material tersebut terhadap pembebanan mekanis. Informasi penting yang bisa
didapat adalah:
a. Batas proporsionalitas (proportionality limit)
Merupakan daerah batas dimana tegangan dan regangan mempunyai
hubungan proporsionalitas satu dengan lainnya. Setiap penambahan tegangan
akan diikuti dengan penambahan regangan secara proporsional dalam hubungan
linier = E (bandingkan dengan hubungan y = mx; dimana y mewakili tegangan;
x mewakili regangan dan m mewakili slope kemiringan dari modulus kekakuan).
Titik P pada Gambar 2.5 di bawah ini menunjukkan batas proporsionalitas dari
kurva tegangan-regangan.

Gambar 2.5 Kurva tegangan-regangan dari sebuah benda uji terbuat baja ulet
28

b. Batas elastis (elastic limit)


Daerah elastis adalah daerah dimana bahan akan kembali kepada panjang
semula bila tegangan luar dihilangkan. Daerah proporsionalitas merupakan
bahagian dari batas elastik ini. Selanjutnya bila bahan terus diberikan tegangan
(deformasi dari luar) maka batas elastis akan terlampaui pada akhirnya sehingga
bahan tidak akan kembali kepada ukuran semula. Dengan kata lain dapat
didefinisikan bahwa batas elastis merupakan suatu titik dimana tegangan yang
diberikan akan menyebabkan terjadinya deformasi permanen (plastis) pertama
kalinya. Kebanyakan material teknik memiliki batas elastis yang hampir
berimpitan dengan batas proporsionalitasnya.
c. Titik luluh (yield point) dan kekuatan luluh (yield strength)
Titik ini merupakan suatu batas dimana material akan terus mengalami
deformasi

tanpa

adanya

penambahan

beban.

Tegangan

(stress)

yang

mengakibatkan bahan menunjukkan mekanisme luluh ini disebut tegangan luluh


(yield stress). Titik luluh ditunjukkan oleh titik Y pada Gambar 2.5 di atas. Gejala
luluh umumnya hanya ditunjukkan oleh logam-logam ulet dengan struktur Kristal
BCC dan FCC yang membentuk interstitial solid solution dari atom-atom carbon,
boron, hidrogen dan oksigen. Interaksi antara dislokasi dan atom-atom tersebut
menyebabkan baja ulet seperti mild steel menunjukkan titik luluh bawah (lower
yield point) dan titik luluh atas(upper yield point). Untuk menentukan kekuatan
luluh material seperti ini maka digunakan suatu metode yang dikenal sebagai
Metode Offset.
Dengan metode ini kekuatan luluh (yield strength) ditentukan sebagai
tegangan dimana bahan memperlihatkan batas penyimpangan/deviasi tertentu dari

29

proporsionalitas tegangan dan regangan. Pada Gambar 2.6 di bawah ini garis
offset OX ditarik paralel dengan OP, sehingga perpotongan XW dan kurva
tegangan-regangan memberikan titik Y sebagai kekuatan luluh. Umumnya garis
offset OX diambil 0.1 0.2% dari regangan total dimulai dari titik O.

Gambar 2.6 Kurva tegangan-regangan dari sebuah benda uji terbuat dari bahan
getas.
Kekuatan luluh atau titik luluh merupakan suatu gambaran kemampuan
bahan menahan deformasi permanen bila digunakan dalam penggunaan struktural
yang melibatkan pembebanan mekanik seperti tarik, tekan bending atau puntiran.
Di sisi lain, batas luluh ini harus dicapai ataupun dilewati bila bahan (logam)
dipakai dalam proses manufaktur produk-produk logam seperti proses rolling,
drawing, stretching dan sebagainya. Dapat dikatakan bahwa titik luluh adalah
suatu tingkat tegangan yang:
Tidak boleh dilewati dalam penggunaan struktural (in service)
Harus dilewati dalam proses manufaktur logam (forming process)
Kekuatan tarik maksimum (ultimate tensile strength)
Merupakan tegangan maksiumum yang dapat ditanggung oleh material
sebelum terjadinya perpatahan (fracture). Nilai kekuatan tarik maksimum uts
ditentukan dari beban maksimum Fmaks dibagi luas penampang awal Ao.

30

UTS =

Fmaks
A

Pada bahan ulet tegangan maksimum ini ditunjukkan oleh titik M (Gambar
2.6) dan selanjutnya bahan akan terus berdeformasi hingga titik B. Bahan yang
bersifat getas memberikan perilaku yang berbeda dimana tegangan maksimum
sekaligus tegangan perpatahan (titik B pada Gambar 2.6). Dalam kaitannya
dengan penggunaan structural maupun dalam proses forming bahan, kekuatan
maksimum adalah batas tegangan yang sama sekali tidak boleh dilewati.

d. Kekuatan Putus (breaking strength)


Kekuatan putus ditentukan dengan membagi beban pada saat benda uji
putus (Fbreaking) dengan luas penampang awal Ao. Untuk bahan yang bersifat
ulet pada saat beban maksimum M terlampaui dan bahan terus terdeformasi
hingga titik putus B maka terjadi mekanisme penciutan (necking) sebagai akibat
adanya suatu deformasi yang terlokalisasi. Pada bahan ulet kekuatan putus adalah
lebih kecil daripada kekuatan maksimum sementara pada bahan getas kekuatan
putus adalah sama dengan kekuatan maksimumnya.

e. Keuletan (ductility)
Keuletan merupakan suatu sifat yang menggambarkan kemampuan logam
menahan deformasi hingga terjadinya perpatahan. Sifat ini , dalam beberapa
tingkatan, harus dimiliki oleh bahan bila ingin dibentuk (forming) melalui proses

rolling, bending, stretching, drawing, hammering, cutting dan sebagainya.


Pengujian tarik memberikan dua metode pengukuran keuletan bahan yaitu:

Persentase perpanjangan (elongation)


Diukur sebagai penambahan panjang ukur setelah perpatahan terhadap
panjang awalnya.

31

 Elongasi, (%) = [(Lf-Lo)/Lo] x 100%


dimana Lf adalah panjang akhir dan Lo panjang awal dari benda uji.

Persentase pengurangan/reduksi penampang (Area Reduction)


Diukur sebagai pengurangan luas penampang (cross-section) setelah
perpatahan terhadap luas penampang awalnya.

 Reduksi penampang, R (%) = [(Ao-Af)/Ao] x 100%


dimana Af adalah luas penampang akhir dan Ao luas penampang awal.

f. Modulus elastisitas (E)


Modulus elastisitas atau modulus Young merupakan ukuran kekakuan
suatu material. Semakin besar harga modulus ini maka semakin kecil regangan
elastis yang terjadi pada suatu tingkat pembebanan tertentu, atau dapat dikatakan
material tersebut semakin kaku (stiff). Pada grafik tegangan-regangan (Gambar 2
dan 3), modulus kekakuan tersebut dapat dihitung dari slope kemiringan garis
elastis yang linier, diberikan oleh:

 E = / atau E = tan
dimana adalah sudut yang dibentuk oleh daerah elastis kurva teganganregangan. Modulus elastisitas suatu material ditentukan oleh energi ikat antar
atom-atom, sehingga besarnya nilai modulus ini tidak dapat dirubah oleh suatu
proses tanpa merubah struktur bahan. Sebagai contoh diberikan oleh Gambar 2.7
di bawah ini yang menunjukkan grafik tegangan-regangan beberapa jenis baja:

32

Gambar 2.7 Grafik tegangan-regangan beberapa baja yang memperlihatkan


kesamaan modulus kekakuan

g. Modulus kelentingan (modulus of resilience)


Mewakili kemampuan material untuk menyerap energi dari luar tanpa
terjadinya kerusakan. Nilai modulus dapat diperoleh dari luas segitiga yang
dibentuk oleh area elastik diagram tegangan-regangan pada Gambar 2.2.

h. Modulus ketangguhan (modulus of toughness)


Merupakan kemampuan material dalam menyerap energi hingga terjadinya
perpatahan. Secara kuantitatif dapat ditentukan dari luas area keseluruhan di
bawah kurva tegangan-regangan hasil pengujian tarik seperti Gambar 2.2.
Pertimbangan disain yang mengikut sertakan modulus ketangguhan menjadi
sangat

penting

untuk

komponen-komponen

yang

mungkin

mengalami

pembebanan berlebih secara tidak disengaja. Material dengan modulus


ketangguhan yang tinggi akan mengalami distorsi yang besar karena pembebanan

33

berlebih, tetapi hal ini tetap disukai dibandingkan material dengan modulus yang
rendah dimana perpatahan akan terjadi tanpa suatu peringatan terlebih dahulu.

i. Kurva tegangan-regangan rekayasa dan sesungguhnya


Kurva tegangan-regangan rekayasa didasarkan atas dimensi awal (luas
area dan panjang) dari benda uji, sementara untuk mendapatkan kurva teganganregangan sesungguhnya diperlukan luas area dan panjang aktual pada saat
pembebanan setiap saat terukur. Perbedaan kedua kurva tidaklah terlampau besar
pada regangan yang kecil, tetapi menjadi signifikan pada rentang terjadinya
pengerasan regangan (strain hardening), yaitu setelah titik luluh terlampaui.
Secara khusus perbedaan menjadi demikian besar di dalam daerah necking. Pada
kurva tegangan-regangan rekayasa, dapat diketahui bahwa benda uji secara aktual
mampu menahan turunnya beban karena luas area awal Ao bernilai konstan pada
saat penghitungan tegangan = P/Ao. Sementara pada kurva tegangan-regangan
sesungguhnya luas area actual adalah selalu turun hingga terjadinya perpatahan
dan benda uji mampu menahan peningkatan tegangan karena = P/A. Gambar2.5
di bawah ini memperlihatkan contoh kedua kurva tegangan-regangan tersebut
pada baja karbon rendah (mild steel).

Gambar2.8 Perbandingan antara kurva tegangan-regangan rekayasa


dari baja karbon rendah.

34

j. Model perpatahan material


Sampel hasil pengujian tarik dapat menunjukkan beberapa tampilan
perpatahan seperti diilustrasikan oleh Gambar 2.6 di bawah ini:

Gambar 2.9 Ilustrasi penampang samping bentuk perpatahan benda uji


tarik sesuai tingkat keuletan/kegetasan.
Perpatahan ulet memberikan karakteristk berserabut (fibrous) dan gelap
(dull), sementara perpatahan getas ditandai dengan permukaan patahan yang
berbutir (granular) dan terang. Perpatahan ulet umumnya lebih disukai karena
bahan ulet umumnya lebih tangguh dan memberikan peringatan lebih dahulu
sebelum terjadinya kerusakan Pengamatan kedua tampilan perpatahan itu dapat
dilakukan baik dengan mata telanjang maupun dengan bantuan stereoscan

macroscope.
a. Perpatahan ulet
Gambar 2.10 di bawah ini memberikan ilustrasi skematis terjadinya
perpatahan ulet pada suatu spesimen yang diberikan pembebanan tarik:

Gambar 2.10 Tahapan terjadinya perpatahan ulet pada sampel uji tarik

35

(a) Penyempitan awal


(b) Pembentukan rongga-rongga kecil (cavity)
(c) Penyatuan rongga-rongga membentuk suatu Retakan
(d) Perambatan retak
(e) Perpatahangeser akhir pada sudut 45.
b. Perpatahan Getas
Perpatahan getas memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Tidak ada atau sedikit sekali deformasi plastis yang terjadi pada material
2. Retak/perpatahan merambat sepanjang bidang-bidang kristalin membelah
atom-atom material (transgranular).
3. Pada material lunak dengan butir kasar (coarse-grain) maka dapat dilihat
pola-pola yang dinamakan chevrons or fan-like pattern yang berkembang
keluar dari daerah awal kegagalan.
4. Material keras dengan butir halus (fine-grain) tidak memiliki pola-pola
yang mudah dibedakan.
5. Material amorphous (seperti gelas) memiliki permukaan patahan yang
bercahaya dan mulus.

2.10. Pengujian Keuletan


Bahan uji diberikan gaya tekan. Rumus tegangan dan regangan sama
dengan yang dipakai pada uji tarik, hanya tanda beban negative (tekan). Hasil uji
akan memberikan harga negatif. Tegangan geser di rumuskan :

F
A0

F = gaya yang diberikan


Ao = luas bidang permukaan

36

2.11 Pengujian Kekuatan Benturan


Dasar pengujian kekuatan benturan ini adalah penyerapan energi potensial
dari pendulum beban yang berayun dari suatu ketinggian tertentu dan menumbuk
benda uji sehingga benda uji mengalami deformasi. Gambar 2.11 di bawah ini
memberikan ilustrasi suatu pengujian kekuatan benturan dengan metode Charpy:

Gambar 2.11. Ilustrasi skematis pengujian kekuatan benturan dengan Charpy


Pada pengujian kekuatan benturan ini banyaknya energi yang diserap oleh
bahan untuk terjadinya perpatahan merupakan ukuran ketahanan benturan atau
ketangguhan bahan tersebut. Pada Gambar 2.11 di atas dapat dilihat bahwa setelah
benda uji patah akibat deformasi, bandul pendulum melanjutkan ayunannya
hingga posisi h. Bila bahan tersebut tangguh yaitu makin mampu menyerap
energi lebih besar maka makin rendah posisi h. Suatu material dikatakan tangguh
bila memiliki kemampuan menyerap beban kejut yang besar tanpa terjadinya retak
atau terdeformasi dengan mudah. Pada pengujian kekuatan benturan, energi yang
diserap oleh benda uji biasanya dinyatakan dalam satuan Joule dan dibaca
langsung pada skala (dial) penunjuk yang telah dikalibrasi yang terdapat pada
37

mesin penguji. Harga impak (HI) suatu bahan yang diuji dengan metode Charpy
diberikan oleh :

Dimana E adalah energi yang diserap dalam satuan Joule dan A luas
penampang di bawah takik dalam satuan mm2. Secara umum benda uji impak
dikelompokkan ke dalam dua golongan sampel standar yaitu : batang uji Charpy
sebagaimana telah ditunjukkan pada Gambar 2.8, banyak digunakan di Amerika
Serikat dan batang uji Izod yang lazim digunakan di Inggris dan Eropa. Benda uji
Charpy memiliki luas penampang lintang bujur sangkar (10 x 10 mm) dan
memiliki takik (notch) berbentuk V dengan sudut 45o, dengan jari-jari dasar 0,25
mm dan kedalaman 2 mm. Benda uji diletakkan pada tumpuan dalam posisi
mendatar dan bagian yang bertakik diberi beban impak dari ayunan bandul,
sebagaimana telah ditunjukkan oleh Gambar 2.11. Benda uji Izod mempunyai
penampang lintang bujur sangkar atau lingkaran dengan takik V di dekat ujung
yang dijepit. Perbedaan cara pembebanan antara metode Charpy dan Izod
ditunjukkan oleh Gambar 2.12 di bawah ini:

Gambar 2.12. Ilustrasi skematik pembebanan impak pada benda uji Charpy dan
Izod
38

Serangkaian uji Charpy pada satu material umumnya dilakukan pada


berbagai temperature sebagai upaya untuk mengetahui temperatur transisi (akan
diterangkan pada paragraph paragraf selanjutnya). Sementara uji impak dengan
metode Izod umumnya dilakukan hanya pada temperatur ruang dan ditujukan
untuk material-material yang didisain untuk berfungsi sebagai cantilever. Takik
(notch) dalam benda uji standar ditujukan sebagai suatu konsentrasi tegangan
sehingga perpatahan diharapkan akan terjadi di bagian tersebut. Selain berbentuk
V dengan sudut 45o, takik dapat pula dibuat dengan bentuk lubang kunci (key
hole). Pengukuran lain yang biasa dilakukan dalam pengujian impak Charpy
adalah penelaahan permukaan perpatahan untuk menentukan jenis perpatahan
(fracografi) yang terjadi. Secara umum sebagaimana analisis perpatahan pada
benda hasil uji tarik maka perpatahan impak digolongkan menjadi 3 jenis, yaitu:
1. Perpatahan

berserat

(fibrous

fracture),

yang

melibatkan

mekanisme

pergeseran bidang bidang kristal di dalam bahan (logam) yang ulet (ductile).
Ditandai dengan permukaan patahan berserat yang berbentuk dimpel yang
menyerap cahaya dan berpenampilan buram.
2. Perpatahan granular/kristalin, yang dihasilkan oleh mekanisme pembelahan
(cleavage) pada butir-butir dari bahan (logam) yang rapuh (brittle). Ditandai
dengan permukaan patahan yang datar yang mampu memberikan daya pantul
cahaya yang tinggi (mengkilat).
3. Perpatahan campuran (berserat dan granular). Merupakan kombinasi dua jenis
perpatahan di atas.
Selain dengan harga impak yang ditunjukkan oleh alat uji, pengukuran
ketangguhan suatu bahan dapat dilakukan dengan memperkirakan berapa persen

39

patahan berserat dan patahan kristalin yang dihasilkan oleh benda uji yang diuji
pada temperatur tertentu. Semakin banyak persentase patahan berserat maka dapat
dinilai semakin tangguh bahan tersebut. Cara ini dapat dilakukan dengan
mengamati permukaan patahan benda uji di bawah miskroskop stereoscan.
Informasi lain yang dapat dihasilkan dari pengujian impak adalah temperatur
transisi bahan.
Temperatur transisi adalah temperatur yang menunjukkan transisi
perubahan jenis perpatahan suatu bahan bila diuji pada temperatur yang berbedabeda. Pada pengujian dengan temperatur yang berbeda-beda maka akan terlihat
bahwa pada temperatur tinggi material akan bersifat ulet (ductile) sedangkan pada
temperatur rendah material akan bersifat rapuh atau getas (brittle). Fenomena ini
berkaitan dengan vibrasi atom-atom bahan pada temperatur yang berbeda dimana
pada temperatur kamar vibrasi itu berada dalam kondisi kesetimbangan dan
selanjutnya akan menjadi tinggi bila temperatur dinaikkan (ingatlah bahwa energi
panas merupakan suatu driving force terhadap pergerakan partikel atom bahan).
Vibrasi atom inilah yang berperan sebagai suatu penghalang (obstacle) terhadap
pergerakan dislokasi pada saat terjadi deformasi kejut/impak dari luar. Dengan
semakin tinggi vibrasi itu maka pergerakan dislokasi mejadi relatif sulit sehingga
dibutuhkan energi yang lebih besar untuk mematahkan benda uji. Sebaliknya pada
temperatur di bawah nol derajat Celcius, vibrasi atom relatif sedikit sehingga pada
saat bahan dideformasi pergerakan dislokasi menjadi lebih mudah dan benda uji
menjadi lebih mudah dipatahkan dengan energi yang relatif lebih rendah.
Informasi mengenai temperatur transisi menjadi demikian penting bila
suatu material akan didisain untuk aplikasi yang melibatkan rentang temperatur

40

yang besar, misalnya dari temperatur di bawah nol derajat Celcius hingga
temperatur tinggi di atas 100 derajat Celcius, contoh sistem penukar panas (heat

exchanger). Hampir semua logam berkekuatan rendah dengan struktur kristal


FCC seperti tembaga dan aluminium bersifat ulet pada semua temperatur
sementara bahan dengan kekuatan luluh yang tinggi bersifat rapuh. Bahan
keramik, polimer dan logam-logam BCC dengan kekuatan luluh rendah dan
sedang memiliki transisi rapuh-ulet bila temperatur dinaikkan. Hampir semua baja
karbon yang dipakai pada jembatan, kapal, jaringan pipa dan sebagainya bersifat
rapuh pada temperatur rendah. Gambar 2.13 memberikan ilustrasi efek temperatur
terhadap kekuatan benturan beberapa bahan, sedangkan Gambar 2.14 menyajikan
bentuk benda uji berdasarkan ASTM E-23-56T.

Gambar 2.13. Efek temperatur terhadap kekuatan benturan beberapa material

41

Gambar 2.14. Bentuk dan dimensi benda uji berdasarkan ASTM E23-56T

42

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian tugas akhir ini di lakkukan selama 6 bulan dari September 2009
sampai Maret 2010. Pengujian tarik, pengujian kelenturan dan pengujian impack
di lakukan di laboratorium mekanik, sedangkan pengujian kekerasan dilakukan di
laboratorium metalografi Balai Pengkajian Penelitian Teknologi (BPPT)
Tangerang.

3.2. Bahan dan Peralatan


Adapun alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai
berikut dibawah ini.

3.2.1. Bahan
Bahan baku untuk sempel uji ini terbuat dari slab yang diproduksi oleh
pabrik baja Slab (Slab Steel Plant/ SSP). Bahan baku lembar baja atau slab ini
adalah besi sepons dan scrap ditanbah dengan batu kapur, serta dicampur dengan
unsur-unsur lain seperti C, Fe, dan Si. Pabrik ini memproduksi baja slab dengan
ukuran : tebal 200 mm, lebar 600-2080 mm, dan panjang maksimum 12.000 mm,
dengan berat maksimum 30 ton. Baja yang digunakan sebagi sampel ini memiliki
tebal 200 mm dan lebar 950 mm dan panjang 12. 000 mm dan berat 30 ton. Baja
yang dihasilkan dari SSP ini merupakan baja ultra low carbon dengan kandungan
gas terlarut (hydrogen dan nitrogen) relatif rendah. Hasil produksi SSP ini
kemudian dikirim ke Pabrik Baja Lembar Panas (Hot Strip Mill/HSM).

43

Di HSM slab mengalami reduksi ketebalan sehingga berbentuk sheet


dengan pemanasan suhu 1250 0C dan kemudian dilakukan pengerolan panas
(milling). Pengendalian proses dilakukan secara otomatis dengan control set up

computer sehingga terbentuklah baja berupa lembaran, kemudian dari lembaran


tersebut di potong sesuai ukuran bahan pengujian.

Gambar 3.1 skema produksi SSP

3.2.2. Peralatan Pembuatan Bahan


Pealatan utama yang digunakan pabrik baja lembaran panas adalah :
a. Reheating Furnace
b. Sizing Press
c. Roughing Mill
d. Thermopanel
e. Corp Shear
f. Finishing Mill
g. Laminar Cooling
h. Down Coiler
i. Shearing Line

44

3.2.3 Peralatan Pengujian


Peralatan yang digunakan dalam pengujian sample ini adalah sebagai beerikut.
a. Sinar Radiasi (sinar x)
b. Film Radiografi
c. Survey meter
d. Tensil Test Machine
e. Impact Test Machine
f. Extenso
g. Brinell Test Machine
h. Alat pemotong
j. Grinding
k. Polishing

3.3 Penyiapan Bahan


Tahapan proses pembuatan bahan secara garis besar terdapat 7 tahap yang
masing-masing tahapan dijelaskan sebagaimana berikut:

Tahap I
Proses produksi dimulai dari pembersihan slab terlebih dahulu dari scale
yang terbentuk, menggunakan cold descaling device. Kemudian slab ditransferkan
melalui cold roll table. Selanjutnya slab masuk kedalam reheting furnace untuk
dipanaskan sampai dengan suhu 1250oC selanjutnya slab dikeluarkan oleh
extraktor dari furnace untuk diletakkan di hot roll table.

Tahap II
Setelah slab mencapai panas yang diinginkan, slab keluar dari hot roler
table menuju mesin sizing press sebelum memasuki sizing press, slab membara

45

tersebut dibersihkan di water discaller dari scale dan terak yang terbentuk karena
reaksi kimia yang terjadi didalam furnace. Air disemprotkan dengan tekanan 200
bar untuk membersihkan primeris scale dan terak. Pada sizing press ini lebar slab
direduksi, alat yang dibeli dari jepang ini juga berfungsi meringankan kerja
vertikal edger dalam mempertahankan lebar slab. Suhu pengerjaan pada tahap ini
adalah sekitar 1180-12000C

Tahap III
Selanjutnya slab yang telah direduksi lebarnya meluncur diatas roler table
menuju mesin beruikutnya. Pada bagian ini terintegrasi tiga alat sekaligus yaitu
water discaler untuk membersihkan scon dari skill yang masih tersisa, kemudaian
masuk vertikal edgerol untuk menjaga lebarnya kemudian lansung masuk dalam

roughing untuk dibentuk menjadi vorband (jerman)

atau transferbar (baja

lembaran yang lebih tinggi dan panjang). Pada roughing slab dirol 5-9 kali sampai
didapat ketebalan yang diinginkan. Slab dibersihkan dari scale dan terak pada
pengerolan maju yang pertama dan terakhir

Tahap IV
Produk dari pengerjaan pada tahap III diatas disebut vorban atau
transferbar. Diantara roughing dan finishing mill digunakan thermopanel, dimana
fungsinya adalah mengurangi kalor yang terbuang sebelum vorband masuk
croupshear, karena ketidak sesuaian suhu akan menyebabkan pengerjaan kurang
sempurna.
Croupshear adalah alat yang digunakan untuk memotong kepala dan ekor
vorband agar mudah masuk kedalam finishing stands. Kepala dan ekor vorband
strip biasanya melengkung keatas atau kebawah atau juga bengkok ke kiri atau ke

46

kanan. Jika tidak dipotong, ini akan menyulitkan saat memasuki finishing stands.
Akibat lebih parah adalah kerusakan roll.

Tahap V
Setrip memasuki finishing stands yang merupakan 6 roll kontinu dimana
fungsinya adalah untuk menipiskan dan menghaluskan permukaan strip.
Pengalusan ini juga dengan pengerolan. Tetapi juga dengan beban yang
diringankan sehingga reduksi tebalnya sangat kecil. Pada akhir pengerolan disini,
strip melewati electric recorder yang berfungsi merekam segala kondisi dari strip
meliputi dimensi, tebal dan lebar, suhu, dan kondisi permukaan yang selanjutnya
tercatat dalam sistem komputer sebagai status produk dari awal sampai dengan
proses ini.

Tahap VI
Selanjutnya strip ini meluncurkan plan melewati laminar cooling
didinginkan suhunya sehingga mencapai 6000C. Proses pendinginan ini
menggunakan media air yang disemprotkan dari atas dan dari bawah dengan
tekanan tertentu. Selanjutnya strip sampai di down coiler untuk digulung menjadi
coil. Ada dua mesin down coiler yang tersedia dan bekerja bergantian. Setelah
selesai kemudian hot roller coil (HRC) tersebut mengalami inspeksi dimensi dan
visual inspection. Sampai disini proses utama selesai.

Tahap VII
Selanjutnya HRC dipindahkan ke gudang dengan transforter untuk
didinginkan. Setelah dingin, baru kemudian coil ini mengalami penanganan hasil
produksi (PHP). Coil yang telah dingin Masuk shearing line 1 untuk dibuat plate
dari bentuk plate ini dipotong untuk kemudian dijadikan sampel pengujian.

47

3.4 Tahapan Penelitian


Tahapan penelitian ini melilputi :

Preparasi Sampel

Non Destructive Test

Metalografi

Destructive Test

Pengujian Komposisi

Tensile Test
Banding Test

Hasil
Analisis

Brinell Test
Impact Test

Kesimpulan

Gambar 3.2 Diagram Alir penelitian

3.5 Pengujian Bahan


Untuk mengetahui apakah bahan baku tabung gas 3kg produksi PT. X dapat
digunakan sebagai bahan baku tabung gas 3 kg, maka bahan baku baja tersebut
dikenakan beberapa pengujian, yaitu uji meknik (uji tarik, uji kekerasan, uji tekan
dan uji impak), uji komposisi dan pengamatan metalografi.
Uraian tentang prosedur penelitian secara garis besar dimulai dengan
pengambilan contoh bahan uji untuk bahan baku di PT. X melelui pemotongan
sampel bahan baku setelah proses akhir pembuatan bahan baku tersebut. Setelah
pengambilan contoh baha uji, maka prosedur pengujian dilakukan sesuai dengan
prosedur pengujian masing-masing sebagaiman auraian berikut. :
48

3.5.1. Pengujian Komposisi


Pengujian ini menggunakan metoda radiografi yaitu salah satu non

destructive testing yang menggunakan radiasi sinar x. Dimana prinsip kerja dari
pesawat atau pembangkit sinar x ini adalah memiliki dua buah kutub listrik katoda
dan anoda diberi perbedaan tegangan listrik yang cukup tinggi dan berada diruang
hampa. Sebelum specimen ditembakan dengan sinar x terlebih dahulu digrinda
seperti terlihat pada gambar 3.3. Specimen di grinda sampai mengkilat untuk
menghilangkan kotoran yang menempel dan lebih mudah untuk mendeteksi
komposisi yang terkandung dalam suatu material.

Gambar 3.3 penggrindaan pada specimen uji


Setelah penggrindaan specimen diletakan pada pembangkit sinar x untuk
mendeteksi komposisi hasil dari pendeteksian tersebut ditampilkan pada survey
meter berupa persentase jumlah komposisi dari benda uji.

Gambar 3.4 specimen ditempelkan


pada pembangkit sinar x

Gambar 3.5 survey meter pada uji


radiografi
49

3.5.2 Pengujian Metalografi


Metalografi dilakukan dengan menggunakan peralatan mikroskop atau
Normal-Mikroskop dengan perbesaran lebih dari 20 : 1 (20x). Pada uji
metalografi, kerataan dan kehalusan permukaan bahan uji adalah suatu keharusan
untuk mendapatkan hasil uji yang akurat.
Adapun tahapan pengujian adalah sebagai berikut :
1. Memilih dan mengambil sample
2. Pemotongan Sampel
Mengambil sampel dari material dasar atau komponen aslinnya
dilakukan dengan cara memotong mekanis, sampel dipotong arah memenajang
Selama proses pemotongan sampel yang perlu dihindari adalah perubahan bentuk
sampel akibat beban alat potong.

Gambar 3.6 Alat untuk melakukan

Gambar 3.7 sampel hasil pemotongan

pemotongan benda uji

Arah potongan memanjang akan memberikan informasi perubahan


bentuk struktur mikro akibat pertumbuhan butir-butir kristal (dalam
rekristalisasi, atau akibat pengerjaan panas lainnya.

50

3. Membentuk atau mencetak sampel


Membentuk atau mencetak sampel dilakuka didalam suatu cetakan
plastik atau karet yang kemudian dicorkan suatu cairan tertentu. Tujuan
mencetak sampel adalah untuk menjamin permukaan sampel rata, disamping
mudah pegang selama proses preparasi (grinding dan polishing). Sampel
dicetak dengan menggunakan dengan cara dingin, bagian dalam cetakan
dioleskan bahan pasta khusus atau disemprotkan silicon spray. Pekerjaan ini
bertujuan agar memudahkan mengeluarkan sampel dari cetakan. Seperti
terlihat pada gambar

Gambar 3.7 Mencetak sampel cara dingin

Gambar 3.8 mencetak sample cara dingin


Sebagai medium cetak digunakan bubuk technovit atau acryfix yang
dicampur dengan cairan pengeras dengan perbandingan 1:2, dimana campuran
cairan tersebut menjadi keras didiamkan 1 jam.
4. Memberi Tanda
Pekerjaan ini dilakukan sebelum sampel mengalami preparasi, tujuannya :
a. Untuk membedakan antara contoh yang satu dengan yang lain.
b. Untuk memudahkan dalam dokumentasi
Memberi tanda pada umumnya dikerjakan dengan grafik elektrik pada bagian
belakang sampel, sebelum dicetak atau sesudah dicetak.
5. Grinding
Pada tingkat pekerjaan ini dipakai mesin grinding putar atau grinding
manual. Sebagai medium grinding dipakai kertas amplas silicon karbit (SIC)
51

dengan berbagai itingkat kekerasan, yaitu kombinasi 80, 220, 330,500, 600,
800, 1000, 1200, ketika sampel mengalami grinding diatas kertas amplas,
harus dialiri air bersih secara continue. Tujuan yang untuk menghindari
timbulnya panas di pemakaian sampel yang kontak langsung dengan kertas
amplas.
Dalam proses grinding, pertama-tama sampel dikerjakan pada kertas
amplas yang paling kasar yaitu 80, hasil preparsi tahap ini diperoleh
permukaan permukaan goresan yang searah dan homogeny, tidak hanya. pada
permukaan permukaan, tetapi juga pada medium cetaknya. Untuk itu sampel
dipegang yang kuat agar tidak bergerak dan diberi sedikit tekanan agar tidak
bergeser. Pengerjaan ketingkat kekasaran selanjutnya (missal 220), sampel
diputar 900 sehingga diperoleh goresan baru yang tegak lurus dan relatif lebih
halus dari goresan sebelumnya. Demikian seterusnya posisi sampel selalu
diubah 900 pada tingkat kekasaran berikutnya. Hasil akhir dari proses grinding
diperoleh permukaan sampel dengan goresan yang searah, halus, dan homogen
(akibat kekkasaran amplas gradasi 1000 dan 1200). Untuk mengetahui arah
goresan smple digunakan mikroskop dengan pembesaran rendah. Sebelumnya
sampel perlu dicuci dengan air dan alkohol lalu dikeringkan dengan alat
pengering (drayer).

Gambar 3.9 Peralatan untuk

Gambar 3.10 Proses Grinding

melakukan proses grinding

52

6.

Pencucian
Salah satu tahap preparasi yang tidak dapat diabaikan adalah pencucian
disaat grinding, polishing, dan setelah sampel mengalami etsa. Dalam proses
pencucian digunakan air bersih, aquades dan alkohol, selanjutnya dikeringkan
dengan pengering. Apabila pada sampel terdapat cacat poros, retak dan lainlain, pencucian sebaiknya dengan ultrasonic yang menggunakan medium
alkohol atau acetone. Medium tersebut akan bergerak secara ultrasonic akibat
adanya impulse-impulsi listrik.

7. Polishing
Media polishing yang bisa dipakai adalah diamond pasta, alumunium
oksida suspense dan lain-lain.
Tujuan polishing adalah :
a. Bebas dari goresan akibat grinding
b. Bebas dari flek-flek yang timbul selama grinding
c. Tidak ada perubahan logam, khususnya pada permukaan logam preparat
yang akan diselidiki.
Yang perlu diperhatikan selama polishing adalah:
a. Media poles tidak boleh terlalu kering dan tidak boleh terlalu basah, hal ini
bertujuan untuk menghindari terjadinya gesekan yang berlebihan.
b. Setiap penggantian tingkat kekasaran telebih dahulu harus dicuci.
c. Setiap polishing tidak boleh terlalu lama untuk menghindari timbulnya
relief-relief.

53

Gambar 3.11 Peralatan untuk melakukan proses polishing


8. Etsa
Struktur mikro suatu logam akan dapat dilihat dengan baik dengan
menggunakan mikroskop, apabila sampel telah mengalami etsa dengan
medium etsa tertentu untuk jenis material tertentu pada dasarnya ada
perubahan atau struktur mikro yang terjadi selama proses etsa, yang
disebabkan oleh :
a. Perbedaan warna akibat distribusi sturktur mikro.
b. Jenis kekasaran yang beda, akibat perbedaan orientasi kisi-kisi kristalnya.
c. Perbedaan kemampuan larut struktur mikro dan sifat anisotropy Kristal
terdapat agresifitas medium etsa yang dapat menimbulkan relief pada
permukaan.
Beberapa faktor yang harus diperhatikan selama proses etsa adalah:
a. Kemampuan medium etsa
b. Konsentras larutan medium etsa
c. Kemampuan larut logam dalam medium etsa.

54

Larutan etsa disesuaikan dengan medium dietsa, misalnya untuk baja


digunakan medium nital (campuran HNO3 dengan alkohol) biasanya 95%
setelah proses selesai specimen kemudian dicuci dengan air bersih dan
alcohol, selanjutnya dikeringkan dengan pengering kemudian siap untuk
dianalisis struktur mikronya dengan menggunakan mikroskop mikro
9.

Analisis Struktur Mikro


Contoh diletakan dimeja pemegang yang telah diberi bahan plastis,
setelah itu contoh bersama meja pemegang diletakkan pada hand press, untuk
memperoleh permukaan yang rata, baru contoh dianalisa dibawah mikroskop.

Gambar 3.12 Peralatan mikroskopis untuk pengambilan photo struktur mikro

3.5.3 Pengujian Mekanik


1. Pengujian tarik
Sebelum dilakukan pengujian sampel terlebih dahulu dipotong dengan
panjang dan dimeter tertentu. Pemotongan dilakukan dengan mennggunakan
mesin miling dan pisau edmil yang r nya di sesuaikan.

55

Gambar 3.13 sampel uji tarik


Setelah sampel dipotong, sempel tersebut diletakan pada tensile
machine. Kemudian diberi beban statis dan diberi gaya uni axial dengan gaya
vertikal, benda menerima secara beban terus menerus sampai benda tersebut
mengalami deformasi dan putus.

Gambar 3.14 Tensile Test Mechine


Gaya yang dihasilkan tercatat dalam bentuk kurva yang tercatat secara
otomatis pada ekstenso yaitu 25.05 kN, seperti ditunjukan pada gambar 3.12
dibawah ini. Kurva ini menujukkan hubunngan antara gaya tarikan dengan
perubahan panjang, yang menjadi perhatian khusus pada pengujian ini adalah
kemampuan maksimum bahan dalam menahan beban Kemampuan ini

56

umumnya disebut "Ultimate Tensile Strength" disingkat dengan UTS, dalam


bahasa Indonesia disebut tegangan tarik maksimum.

Gambar 3.15 Ekstenso meter

Grafik 3.16 Kurva pengujian tarik

57

Gambar 3.17 Benda yang telah di uji tarik


2. Pengujian Keuletan (bending test)
Pada uji keuletan benda uji atau specimen diletakan memanjang 1800
kemudian diberi beban hingga specimen membentuk sudut lebih kecil dari
1800. Hasil pengamatan ini berupa kurva tegangan-regangan seperti yang telah
diuraikan diatas dan alat yang digunakan sama dengan pengujian tarik.

Gambar 3.18 benda pada pengujian kelenturan


3. Pengujian Kekerasan (Brinell Test)
Sedangkan pada pengujian kekerasan menggunakan metode brinnel
yang dilakukan dengan cara penekanan benda uji dengan indentor dengan
gaya tekan dan waktu indentasi yang ditentukan. Pengujian kekerasan
58

dilakukan dengan memakai bola baja yang diperkeras (hardened steel ball)
dengan beban 300kg dan waktu 10 detik, hasil penekanan adalah jejak
berbentuk lingkaran bulat, yang harus dihitung diameternya di bawah
mikroskop khusus pengukur jejak.

Gambar 3.19 Alat untuk melihat atau mengukur bekas penekanan


Prinsip sistem Brinell menggunakan sebuah bola kecil (identor) yang
ditekan

dengan

daya

tertentu

kedalaman

material

yang

diselidiki

kekerasannya. Kekerasan material tersebut didapat dari hubungan gaya dengan


luas bekas penekan.

Gambar 3.20 Pengujian metode brinell

59

4. Pengujian Kekuatan Benturan (Impact Test)


Pengujian kekuatan benturan ini dilakukan dengan jalan memukul
specimen dengan kecepatan tertentu (5,42m/s) oleh suatu bandul (pendulum)
yang diayunkan. Specimen standar yang digunakan pada penelitian ini adalah
standar Charpy (USA). Specimen charpy berpenampang 10 x 10 mm dan
memiliki takikan 450 , dalam takikan 2 mm dan radius dasar takikan 0,25 mm.
pengujian impact ini dilakukan pada suhu kamar. Specimen diletakkan
horizontal dan bandul memukul specimen dari belakang takikan. Sebelum
dilepas bandul membentuk sudut dengan sumbu tegak dan setelah
memutuskan specimen mengayun sampai maksimum membuat sudut
dengan sumbu tegak.

Gambar 3.21 Impact test machine

60

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengujian Komposisi Kimia


Pengujian komposisi kimia dilakukan di Badan Pengkajian dan Penelitian
Teknologi PUSPITEK Serpong Tangerang. Pengujian komposisi kimia bahan
baku tabung gas LPG 3 kg dengan menggunakan alat radiografi. Pengujian ini
untuk mengetahui unsur-unsur kimia yang terkandung dalam bahan baku tabung
gas 3 kg. Adapun hasil pengujian komposisi kimia yang dibandingkan dengan
standar JIS G3116 SG295 Steel sheets, plates and strip for gas cylinders seperti
yang terlihat dalam table 4.1 dibawah ini .
Tabel 4.1. Perbandingan Komposisi Kimia antara Produk Bahan Baku PTX dan
Specifikasi Standar
Jumlah Kandungan Unsur (%)
Unsur
SAMPEL
JIS G3116
Kimia
SG295
C
0.16
0.20 max
Si
0.17
0.35 max
0.76
Mn
1.00 max
0.020
P
0.040 max
0.0001
S
0.040 max
0.0064
Cr
0.0018
Mo
0.018
Ni
Al
0.012
Cu
0.054
Ti
0.0027
V
0.063
B
0.0001
CE (IIW) *)
0.30
0.40 max
Pcm **)
0.21
0.23 max
*) CE (IIW) (%) = C + (Mn)/6 + (Cr+Mo+V)/5 + (Ni+Cu)/15
**) Pcm (%) = C + Si/30 + Mn/20 + Cu/20 + Ni/60 + Cr/20 +
Mo/15 + V/10 + 5B

61

Hasil pengujian terlihat pada table 4.1 diatas memperlihatkan bahwa


unsur kimia yang terkandung pada bahan baku tabung gas LPG 3 kg terdiri dari
0.16% C, 0.17% Si, 0.76% Mn, 0.020% P, 0.0001% S, 0.0064% Cr, 0.0018% Mo,
0.018% Ni, 0.012% Al, 0.054% Cu, 0.0027% Ti, 0.063% V dan 0.0001% B.
Komposisi yang terkandung dalam bahan baku tersebut masih masuk dalam
standard dan tidak menunjukan perbedaan yang berarti. Pada tabel 4.1 juga
terlihat 0.16% karbon dimana kadar karbon dengan persentas kurang kurang dari
0.2% termasuk dalam klasifikasi baja karbon rendah ( low carbon steel). Kadar %
karbon sangat mempengaruhi kekerasan dan keuletan bahan baku tersebut sebab
terlalu banyak kandungan karbon maka akan semakin keras namun rapuh
kekuatan dan keuletannya pun akan menurun, karena kandungan karbon ini akan
membentuk grafit, pembentukkan grafit inilah yang menyebabkan bahan tersebut
keras dan rapuh. Oleh karna itu, kadar karbon tidak boleh melebihi 2%. Begitu
juga dengan kandungan mangan yang terlalu banyak kandungan mangan akan
mengurangi keuletan dan ketangguhan bahan baku tersebut.10
Pada tabel perbandingan diatas terlihat hanya beberapa unsur saja yang
memiliki standar sebab unsur-unsur inilah yang sangat berpengaruh dalam
pembuatan bahan baku tabung gas 3 kg ini. Seperti karbon, karbon yang melebihi
standar hanya akan menaikan kekerasan namun menurunkan kekuatan
sedanngkan dalam pembuatan bahan baku ini yang lebih diutamakan adalah nilai
kekuatannya bukan kekerasan. Kemudian mangan, unsur ini dapat mengikat sulfur
dengan membentuk MnS dengan demikian MnS ini dapat mencegah pembentukan
FeS sebagai akibat terjadinya kegetasan pada temperatur tinggi (hot shortness).

10

Leslie. 1983. The Physical Metallurgy of Steel. Mc-Graw Hill

62

Unsur Phosphor (P) dan sulfur (S) mempunyai dampak yang negtif dalam
pembuatan bahan baku tabung gas ini sebab dapat mengurangi kekuatan lasnya
bila kandungn tersebut melebihi batas yang ditentukan dan juga akan
menyebabkan sumber keretakan pada prose rolling. Oleh karena itu, kadar sulfur
dan phosphor sangat rendah dalam pembuatan bahan baku tabung gas ini. Unsur
terpenting lainya adalah Si (silicon), unsur ini sebagai elemen dioksida
(penyetabil) yang dapat menaikan kekuatan tanpa menurunkan keuletanya.
Dalam pembuatan sebuah produk bahan baku tidak hanya unsur-unsur
yang terpenting saja yang digunakan dalam pembuatannya tetapi juga ada unsurunsur pendukung lainnya. Seperti Cr (chrom), unsur ini dapat meningkatkan
ketahanan korosi dan oksidasi. Ni (nikel) unsur ini memperkuat ferrit, dan
meningkatkan ketahanan pada suhu tinggi. Mo (molikdenum) unsur ini dapat
menguatkan fasa ferrit selain itu juga sebagai penyetabil sementid sehingga
mencegah pembentukan grafit pada pemanasan yang lama seperti yang trjadi di
furnace pada proses pembuatan bahan baku tabung gas ini. V (vanadium), unsur
ini bekerja sebagai oksidasi yang dapat membentuk karbida yang keras sehingga
menaikan kekuatan tariknya pada suhu tinggi.
Untuk melihat kemampuan lasnya (weldability) umumnya mengacu pada
nilai karbon ekivalen (CE) yang diadopsi dari International welding Institute
(IIW). Dari tabel 4.1 terlihat bahwa nilai CE sampel masih masuk dalam standar,
demikian pula untuk nilai sensitifitas retak (Pcm), sampel tidak lebih sensitive
terhadap retak karena nilai Pcm-nya masih masuk dalam rentan standar. Nilai
ekivalen yang rendah direnakan kadar karbon yang rendah dan kelarutan karbon
yang rendah pula. Kelarutan yang rendah bisa dilihat dari diagram fasa, dimana

63

kelarutan karbon kurang dari 2% akan membentuk larutan padat intertisi pada
temperatur 7270C. Fasa yang terbentuk pada temperatur ini adalah Fe (fasa ferit).
Ferrit mengalami perubahan dari BCC menjadi FCC austenit atau baja pada
suhu 9120C (16740F). aurtenit ini bertahan hingga suhu 13940C (25410F) yang
mana suhu FCC austeit kembali pada BCC yang dikenal sebagai ferrit yang
ndidih padaakhirnya me 15380C (28000F). semua perubahan itu terlihat jelas
sepanjang garis vertikal pada diagram fasa.
Nilai sensitif retak yang terlihat pada tabel 4.1 diatas memiliki nilai yang
rendah pula dan masuk dalam rentan standar, hal ini tersebut disebab karena
jumlah kandungan unsur sulfur dan pospor yang rendah sehingga akan
menurunkan nilai sensif retaknya. Semakin rendah nilai sensitive retaknya
semakin baik pula kualitas bahan baku tersebut.

4.2 Hasil Pengujian Kekuatan Tarik


Pengujian kekuatan tarik bahan baku tabung gas LPG 3 kg dilakukan pada
sampel dengan menggunakan mesin uji tarik Shimadzu Servopulser berkapasitas
20 Ton (200 KN). Pengujian ini dilakukan berdasarkan standar pengujian JIS Z
2201 Test pieces for tensile test for metallic materials. Pengujian ini adalah untuk
melihat kekuatan tarik material lembaran baja bahan baku gas LPG 3 kg.
Selanjutnya hasil pengujian tersebut akan dibandingkan dengan standar JIS
G3116 SG295. Adapun hasil pangujian sampel seperti yang ditujukan pada tabel
4.2 dibawah ini:

64

Tabel 4.2 Data Hasil Pengujian Kekuatan Tarik

Sempel Uji
1
2
3
Rata-rata

Kekuatan Tarik,
Mpa
501
465
483
483

Intensitas
Kekutan Luluh, Mpa

Elongasi (%)

355
345
353
351

38
38
38
38

Data pada tabel 4.1 diatas didapat dari hasil perhitungan dan setiap data
yang dihasilkan bergantung pada gaya (F) yang ditunjukan oleh extensor (kN) dan
luas dari sampel uji . Misal, untuk kekuatan tarik pada sampel 1, gaya yang
tercatat pada extensor adalah 25.05 kN dan luas benda uji adalah 50 mm2 maka
kekuatan tariknya adalah hasil bagi gaya dengan luas kemudian dikali seribu dan
didapat hasil 501 Mpa (Rm = F/A0). begitu pula dengan kekuatan luluhnya namun
dengan gaya yang berbeda. Untuk elongasi didapat dari perhitungan yaitu, luas
awal dikurang luas setelah di uji tarik kemudian dibagi dengan luas awal
kemudian dikali seratus.

Dari ketiga sampel yang diujikan diambil nilai rata-rata yang akan
dibandingkan dengan standar literature yaitu JIS G3116 SG295 Steel sheets,

plates and strip for gas cylinders. Hasil nilai perbandingan bisa dilihat pada tabel
4.3 dibawah ini:
Tabel 4.3. Perbandingan Kekuatan Tarik Antara Sampel Dengan JIS
Intensitas
Sampel Uji
JIS G3116 SG295
Kekuatan tarik, Mpa

483

440

Kekuatan luluh, Mpa

351

295

Elongasi (%)

38

26

65

Berdasarkan tabel 4.3 diatas, terlihat jelas bahwa hasil pengujian tarik
sampel lembaran baja masik dalam rentang persyaratan standar material baja JIS
G3116 SG295, yaitu kekuatan tarik sampel 483 Mpa, kekuatan luluh 351 Mpa
maupun keuletannya (elongasi) 38 Mpa. Nilai kekuatan tarik, kekuatan luluh dan
elongasi ini berhubungan erat dengan proses manufactur (pembuatan) tabung gas
LPG 3 kg, yang meliputi proses pembentukan (metal forming deep drawing)
dan pengelasan (welding). Jadi sifat yang paling penting adalah kekuatannya (tarik
dan luluh) serta elongasinya. Semakin tinggi kekuatannya maka semakin baik
material tersebut menahan beban dari luar (seperti tekanan gas maupun benturan).
Demikian pula keuletannya, semakin tinggi keuletannya maka semakin baik
material tersebut untuk diubah bentuk (deep drawing) dan mampu menahan
pembebanan sebelum retak maupun pecah.11 Jadi dapat dikatakan bahwa
manufacturnya (formability) sampel memenuhi standar dengan mengacu pada
nilai kekuatan tarik, kekuatan luluh dan elongasinya.

4.3 Hasil Pengujian Keuletan


Pada dasarnya pengujian keuletan atau uji tekan ini hampir sama dengan
uji tarik dimana gaya dan dimensi/luas sangat mempengaruhi nilai tegangan
geser(keuatan tekan) yang dihasilkan. Sebagaimana dirumuskan tegangan geser
sama dengan gaya yang diberikan dibagi dengan luasnya ( = F/A). Luasnya
sangat bergantung pula pada ketebalan/dimensi yang dimiliki benda uji, Gaya
ditunujkan pada ekstensor dan panjang dari katiga sampel ini adalah 38,85 mm.

11

Dieter, G. 1976. Mechanical Metallurgy of Engeneering Materials. Mc-Graw Hill.

66

Standar untuk dimensi ini mengacu pada standar JIS G3116 SG295. Data hasil
pegujian dapat dilihat pada tebel 4.4 dibawah ini.

Sampel
1
2
3
Rata-rata

Tabel 4.4 Data Hasil Pengujian Keuletan


Dimensi
F, Gaya (kN)
Tegangan
(mm)
geser (N/mm2)
2.25
5.00
57.20
2.29
4.45
50.02
2.30
4.00
44.76
2.28
4.45
50.57

Dari tabel 4.4 hasil perhitungan diatas terlihat jelas bahwa gaya dan
dimensi sangat mempenngaruhi tegangan geser dari sampel tersebut, semakin
besar dimensi yang ditimbulkan gaya yang ditunjukan pun akan semakin kecil dan
tegangan geser akan berubah sesuai gaya dan dimensi yang diberikan. Dimensi
dari hasil pengujian tersebut maka dibandingkan dengan standar literature untuk
mengetahui kualitas dari bahan baku tabung gas ini. Nilai perbandingan dapat
dilihat pada tabel 4.5 dibawah ini.
Tabel 4.5 Data Perbandingan Sampel Dengan Literatur.
Dimensi (mm)
Sampel
JIS SG 295
2.28
<3

Tabel perbandingan nilai dimensi yang ditujukan pada tabel 4.3 diatas
menunjukan nilai dimensi yang masih memenuhi standar, yaitu 2,28 mm. Ini
menunjukan bahwa sampel ini memiliki kualitas yang baik. Namun bila melebihi
standar yang diberikan maka pengujian pada sampel ini adalah salah dan hasil
yang akan diberikan pun tidak baik karna setiap bahan telah memiliki ketentuan
masing-masing berdasarkan aplikasinya. Untuk aplikasi tabung gas 3 kg ini
menggunakan standar JIS G3116 SG295 dimana pada standar ini mengharuskan
dimensinya yaitu 1.5 x 2 mm (ketebalan). Jadi ketebalan pun sangat
67

memepengaruhi nilai kekuatan bendingnya, oleh karena itu pembuatan bahan


baku tabungn gas ini tidak boleh melebihi dari 2 mm karena akan membuat
dimensinya semakin besar nilai banding yang semakin kecil.

4.4 Hasil Pengujian Kekerasan


Hasil penyajian data yang diperoleh dari pengujian kekerasan dengan
metode brinell ini adalah dalam bentuk angka. Pada pengujian ini dilakukan satu
kali pengujian dengan enam penekanan disetiap titik, sedangkan pada pengujian
ini diberikan gaya atau beban dengan nilai 30 N. Adapun hasil dari pengujian ini
adalah seperti terlihat pada tabel 4.6 dibawah ini.
Tabel 4.6 Data Hasil Pengujian Brinell
Rm
HB
490
140
465
133
483
138

Standar

140

Data pada tabel 4.6 diatas didapat berdasarkan hasil perhitungna.


Perhitungan tersebut didasarkan hubungan kekuatan tarik (Rm) dengan kekuatan
brinell (HB) sebagaimana dirumuskan HB = Rm/3.5. nilai 3.5 ini adalah ketentuan
dalam pengujian brinell. Missal, kekutan tarik pada sampel ini adalah 483 Mpa
maka HB yang nya adalah 483/3.5 = 138 HB.
Pengujian kekuatan kekerasan behan baku tabung gas 3 kg dilakukan pada
sampel dengan menggunakan mesin uji kekerasan brinell. Pengujian ini untuk
melihat nilai kekerasan material lembaran baja bahan baku LPG 3 kg kemudian
hasil tersebut dibandingkan dengan standar JIS Z2243. Berdasarkan tabel 4.6
diatas, hasil pengujian lembaran baja bahan baku tabung gas 3 kg ini menunjukan

68

bahwa nilai kekerasan material tersebut masih masuk dalam standar kelayakan
suatu produk.

4.5 Hasil Pengujian Kekuatan Benturan


Pengujian kekuatan benturan ini dilakukan dengan jalan memukul
specimen dengan kecepatan tertentu (5,42m/s) oelh suatu bandul (pendulum) yang
diayunkan. Specimen standar yang digunakan pada penelitian ini adalah standar

charpy (USA). Specimen charpy berpenampang 10x10 mm2 dan memiliki takikan
450, dalam takikan 2 mm dan radius dasar takikkan 0.25 mm. pengujian ini
dilakukan pada suhu kamar.
Banyaknya energi yang diserap oleh bahan untuk terjadinya perpatahan
merupakan ukuran ketahanan impact atau ketangguhan bahan tersebut. Suatu
material dikatakan tangguh bila memiliki kemampuan menyerap beban kejut yang
besar tanpa terjadinya retak atau terdeformasi dengan mudah.12 Pada pengujian
impact, energi yangdiserap oleh benda uji biasanya dinyatakan dalam satuan joule
dan dibaca langsung pada skala (dial) penunjuk yang telah dikalibrasi yang
terdapat pada mesin penguji. Harga impact (HI) suatu bahan yang diuji dengan
metode charpy sangat bergantung oleh energi yang diserap dan luas penampang.
Data hasil pengujian bisa dilihat pada tabel 4.6 dibawah ini.
Tabel 4.7 Data Hasil Pengujian Kekuatan Benturan
A,Luas (m2)
U,Energi yang serap
Energi Serap (J)
Sampel
(J)
JIS G3115 SVP
Sampel
235
2.4 x 10-5
22
27
2.4 x 10-5
21
2.4 x 10-5
23
12

Clark, Donal S. & Varney, Wilbur R. 1961. Physical Metallurgy For Engineering, New

York

69

Seperti yang telah dijelaskan diatas bahawa, energi serap sangat


menentukan kekuatan imapact bila energi serapnya besar maka ketahanan
impactnya pun akan besar. Sedangkan luas tidak mempengaruhi sebab untuk luas
pada specimen uji impact sudah ditentukan yaitu tidak melebihi dari 100 mm2
atau 10-4 m2 . Dari tabel 4.6 terlihat bahwa energi serap yang dimiliki specimen
benda yang digunakan sebagai bahan baku tabung gas ini tidak memenuhi standar
yang ditetapkan, yakni lebih rendah dari nilai yang disyaratkan pada JIS G3115
SPV235 steel plates for pressure vessels for intermediate temperature service.
Jika energi serapnya rendah maka kekuatan benturan yang dimiliki pun akan
rendah, sebagaimana hubungn antara kekuatan impact dan energi serap yaitu
energi serap yang ditunjukan dibagi dengan luasnya (U1=U/A).
Semakin kecilnya harga impact menyebabkan material bahan baku ini
semakin getas, kegetasan ini bisa disebabkan karena unsur nikel yang rendah
yakni 0.018%. Unsur nikel ini dapat menaikan ketahanan pada suhu tinggi dan
ketahanan pada benturan atau beban impact. Selain unsur nikel yang
mempengaruhi patah getas atau rendahnya nilai impact, takikan atau daerah
sambungan (notch) juga bisa menjadi penyebab patah getas dan rendahnya nilai
impact .
Faktor lainya penyebab patah getas adalah temperatur rendah, harga
impact sangat menurun di daerah temperatur sekitar -20 sampain -1000C.
temperature ini sering disebut temperatur transisi yaitu temperatur dimana harga
impactnya sangat rendah. Penggunaan bahan pada temperatur rendah perlu
mendapat perhatian untuk menghindarkan terjadinya patah getas. Untuk itu perlu
dilakukan usaha untuk menurunkan temperatur transisi suatu bahan yaitu dengan

70

cara menurunkan persentase karbon, menaikan persentase mangan dan


bertambahnya persentase pospor. Nilai kandungan persentase ketiga unsur
tersebut pada komposisi kimia diatas memenuhi standar namun tidak mencapai
nilai maksimum sehingga tempertur transisi naik dan harga impact rendah. Selain
komposisi kimia ukuran butir kristal juga menjadi salah satu faktor yang dapat
menurunkan temperatur transisi yaitu dengan makin kecilnya ukuran butir kristal
(ukuran butir makin halus) maka temperatur transisi akan turun.
Rendahnya nilai kekuatan impact yang dimiliki menyebabkan material
bahan baku tabung gas ini tidak kuat dalam menerima benturan yang dating dari
luar, terutama pada ttemperatur transisi. Kejadian dilapangan terlihat bahwa
tabung gas yang sudah kosong serinng kali dibanting dari mobil pengankut untuk
menukar

tabung-tabung

yang

kosong

dengan

yang

berisi,

dalam

pendistribusiannya ke warung-warung atau toko yang menjual tabung gas 3 kg


tersebut. Tabung gas yang secara terus menerus menerima benturan meskipun
bukan dalam temperatur transisi akan mengalami kebocoran atau membentuk
lubang pada tabung gas tersebut sehingga bisa menyebabkan kebakaran bila ada
percikan api.

4.6 Hasil Pengamatan Metalografi (Struktur Mikro)


Pengamatan mikro struktur lembaran baja bahan baku tabung gas 3 kg
dilakukan pada sampel dengan menggunakan mikroskop optic (OM) dengan
perbesaran 100x. pengamatan ini untuk melihat bentuk struktur material bahan
baku tabung gas 3 kg. Berikutnya hasil pengamatan tersebut akan dibandingkan

71

dengan literatur. Hasil pengamatan sampel dengan mikroskop optic pada gambar
4.1 dan struktur mikro pada literature pada gambar 4.2 dibawh ini.

Gambar 4.1 Struktur mikro baja karbon rendah pada sampel.

Gambar 4.2 Struktur mikro baja karbon rendah pada literature.


Berdasarkan kedua gambar diatas, hasil pengamatan mikro struktur kedua
lembaran baja low karbon menunjukan struktur mikro yang hampir sama yakni,
memiliki struktur mikro yang lebih membulat dan seragam dengan batas batas
butir yang sangat jelas. Namun yang membedakan adalah ukuran butirnya, ukuran
butir pada literatur memiliki ukuran yang lebih kecil dan halus dari ukuran butir
yang dimiliki pada sampel.
Ukuran butir ini sangat dipengaruhi oleh pengaturan komposisi kimia
yakni, unsur-unsr yang terkandung dalam sebuah material atau lembaran baja.
Niobium (Nb) adalah salah satu unsur yang sangat berperan dalam penghalusan
ukuran butir, karena kelarutan niobium dalam austenite relative lebih kecil
dibandingkan titanium dan vanadium atau unsur lainnya, maka penghalusan butir
pada fase ferit dapat dicapai dengan hanya menambahkan sedikit unsur niobium
kedalam baja karbon rendah. Namun sampel uji yang dijadikan sebagai aplikasi

72

tabung gas 3 kg ini tidak mengandung unsur niobium sehingga ukuran butir yang
dimiliki tidak halus. Ukuran butir ini sangat mempengaruhi kekuatan suatu bahan,
semakin kecil ukuran butirnya maka akan semakin halus permukaan dan semakin
kuat material tersebut. Penguatan terjadi karena semakin kecil ukuran butir akan
meningkatkan jumlah batas butir yang menghambat dislokasi. Penguatan
penghalusan butir ferit juga dapat memperbaiki sifat ketangguhan, karena akan
menurunkan temperatur transisi patah ulet getas. 13

13

Richard H.G & Wrighton. 1971. Practical Microscopical Metallurgraphy. Chapman

Hall Ltd.

73

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil pengujian radiografi bahwa baja yang digunakan
sebagai bahan baku tabung gas 3 kg adalah jenis baja karbon rendah yang
memiliki kadar karbon 0.16%.
2. Produk bahan baku tabung gas 3 kg ini memiliki nilai kekuatan tarik
produk 483 Mpa (JIS : 140 Mpa). Sedangkan nilai kekerassannya 140
HB (JIS : 140 HB) dan keuletanya yang bergantung pada dimensi yaitu
sekitar 2.28 mm sesuai dimensi yang disyaratkan yakni 3 mm.
3. Namun nilai kekuatan bentur dari bahan baku tabung gas 3 kg ini masih
kurang memenuhi standar yaitu 23 J ( JIS : 27 J). Hal ini terlihat dari
energi serap yang ditunjukan, energi serap ini yang mempengaruhi nilai
kekuatan impact atau ketahanan terhadap benturan.
4. Hasil pengamatan metalografi menujukan bahwa struktur yang dimiliki
produk bahan baku tabung gas ini kurang halus dari struktur mikro baja
karbon yang terdapat pada literatur.

74

5.2 Saran
1. Adanya penelitian lebih lanjut untuk melihat komposisi bahan baku tabung
gas 3 kg ini dengan menggunakan XRF.
2. Bahan baku tabung gas 3 kg ini memiliki kelemahan pada nilai ketahannya
terhadap benturan hal tersebut kerena persentase unsur nikel pada
komposisi kimianya hanya sebesar 0.018%, oleh sebab itu perlu adanya
penambahan unsur tersebut agar memiliki nilai ketahanan bentur yang
baik.

75

Refrensi
http://www.infometrik.com/wp-content/uploads/2009/09/Mengenalujitarik.pdf
kamis, 29 april 2010. pkl 09.00 WIB)

http://ft.unsada.ac.id/wp-content/uploads/2008/03/bab4-mt.pdf ( senin, 12 april


2010. pkl 22.00 WIB)
http://www.audioenglish.net/dictionary/hypo-eutectoid_steel.htm ( minggu, 2 mei
2010. pkl 13.00 WIB)
http://www.thaimetaltrade.com/2005/document/steel%209grade (selasa, 16 maret
2010. pkl 18.30 WIB)
Clark, Donal S. & Varney, Wilbur R. 1961. Physical Metallurgy for Engineering,
New York.
Callister William D, Jr. 1994. Material Science And Engineering A Introduction,
Third edition, Canada.
Dieter, G. 1976. Mechanical Metallurgy of Engineering Materials. Mc-Graw Hill
International Book Company.
Handbook of JIS Standard 2005 (English Version)
Handbook of JIS standard Ferrous Material & metallurgy I & II, Tokyo, 2005
Leslie. 1983. The Physical Metallurgy of Steel. Mc-Graw Hill International Book
Company.
Richard H.G. & Wrighton. 1971. Practical Microscopical Metallography.
Chapman Hall Ltd.
T. Hansen and P. Jonsson: 2001. Electric Furnace Conference Proceedings, ISS,
Warrendale, PA, (2001), 59, 71-81.
Davis, Joseph R. 1998. Metal Handbook Desk Edition. ASM International.
Second Edition. NewYork.

76

Anda mungkin juga menyukai