PSORIASIS VULGARIS
OLEH:
TRI SANDIARTI RISKIYANA
205.12.1.0002
RINA ANGGRAINI
205.12.1.0019
PEMBIMBING: Dr. Boedhy Setyanto, Sp.KK
KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
RSUD KANJURUHAN KEPANJEN
MALANG
2010
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah S.W.T, karena atas rahmat dan hidayahNya panulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul Psoriasis vulgaris. Ucapan
terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Boedhy setyanto Sp.KK atas bimbingan
dalam penulisan referat ini. Tujuan penulisan referat ini adalah dalam rangka memenuhi
salah satu syarat kelulusan pada Kepaniteraan Klinik (KKS) di bagian Ilmu penyakit kulit
dan kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Islam Malang-RSUD Kanjuruhan Kepanjen
Malang.
Penulis menyadari referat ini masih memiliki kekurangan, untuk itu kritik dan saran
penulis harapkan dalam rangka penyempurnaan penulisan referat ini. Semoga referat ini
bermanfaat bagi penulis dan pembaca.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Psoriasis adalah penyakit yang penyebabnya autoimun, bersifat kronik dan residif,
ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan skuama yang kasar,
berlapis-lapis dan transparan; disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz, dan Kobner (Adhi
Djuanda, 2002).
Dewasa ini kasus psoriasis makin sering dijumpai. Meskipun penyakit ini tidak
berbahaya tetapi menyebabkan gangguan kosmetik, mengingat bahwa perjalanannya
menahun dan residif. Insidens pada orang kulit putih lebih tinggi daripada penduduk kulit
berwarna. Di Eropa dilaporkan sebanyak 3-7%, di Amerika Serikat 1-2%, sedangkan di
Jepang 0,6%. Pada bangsa berkulit hitam, misalnya di Afrika, jarang dilaporkan, demikian
pula bangsa Indian di Amerika. Insidens pada pria agak lebih banyak daripada wanita,
psoriasis terdapat pada semua usia tetapi umumnya pada orang dewasa (Adhi Djuanda,
2002).
Penyebab psoriasis masih belum diketahui, namun terdapat beberapa faktor resiko
timbulnya psoriasis seperti faktor genetik dan faktor imunologi. Berbagai faktor pencetus
pada psoriasis diantaranya stress psikis, infeksi fokal, trauma (fenomena Kobner), endokrin,
gangguan metabolik, obat, alkohol dan merokok. Stress psikis merupakan faktor pencetus
yang utama (Adhi Djuanda, 2002).
definisi,
etiologi,
patogenesis,
manifestasi
klinis,
diagnosis,
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Psoriasis ialah penyakit yang penyebabnya autoimun, bersifat kronik dan
residif, ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan skuama
yang kasar, berlapis-lapis dan transparan, disertai juga fenomena tetesan lilin, Auspitz
signs dan Koebner. Psoriasis merupakan jenis penyakit kulit yang penderitanya
mengalami proses pergantian kulit yang terlalu cepat. Kemunculan penyakit ini
terkadang untuk jangka waktu lama atau hilang timbul, penyakit ini secara klinis
sifatnya tidak mengancam jiwa, tidak menular tetapi karena timbulnya dapat terjadi
pada bagian tubuh mana saja sehingga dapat menurunkan kualitas hidup serta
menggangu kekuatkan mental seseorang bila tidak dirawat dengan baik.
Berbeda dengan pergantian kulit pada manusia normal yang biasanya
berlangsung selama tiga sampai empat minggu, proses pergantian kulit pada penderita
psoriasis berlangsung secara cepat yaitu sekitar 24 hari, (bahkan bisa terjadi lebih
cepat) pada psoriasis juga terjadi pergantian sel kulit yang banyak dan menebal.
2.2 EPIDEMIOLOGI
Psoriasis bisa terjadi pada semua individu, tidak ada hubungan dengan jenis
kelamin, etnik, warna kulit atau bangsa. Penyakit ini bisa timbul kapan saja, dari bayi
(jarang) sampai orang lanjut usia. Namun puncak umur rata rata adalah antara 15 dan
25 tahun. Kulit gelap lebih jarang kena psoriasis daripada kulit pucat atau putih.
Secara statistik diperkirakan sekitar 2 % pendudk dunia bisa terjangkit psoriasis.
2.3 ETIOLOGI
Faktor genetik diduga ikut berperan, bila orangtuanya tidak menderita
psoriasis resiko mendapat psoriasis 12%, sedangkan jika salah satu orangtuanya
menderita psoriasis resikonya mencapai 34-39%. Berdasarkan awitan penyakit
dikenal dua tipe yaitu psoriasis tipe I dengan awitan dini bersifat familial, psoriasis
tipe II dengan awitan lambat bersifat non familial. Hal lain yang mendukung adanya
faktor genetik adalah bahwa psoriasis berkaitan dengan HLA. Psoriasis tipe I
berhubungan dengan HLA-B13, B17,Bw57, dan Cw6. Psoriasis tipe II berkaitan
dengan HLA-BR7 dan Cw2, sedangkan psoriasis pustulosa berkorelasi dengan HLAB27.
Faktor imunologik juga berperan, defek genetik pada psoriasis dapat
diekspresikan pada salah satu dari tiga jenis sel, yakni limfosit T, sel penyaji antigen
(dermal), atau keratinosit. Keratinosit psoriasis membutuhkan stimuli untuk
aktivasinya. Lesi psoriasis matang umumnya penuh dengan sebukan limfosit T pada
dermis yang terutama terdiri atas limfosit T CD4 dengan sedikit sebukan limfosit
dalam epidermis. Sedangkan pada lesi baru umumnya lebih banyak didominasi oleh
limfosit T CD8. Pada lesi psoriasis terdapat sekitar 17 sitokin yang produksinya
bertambah. Sel langerhans juga berperan pada imunopatogenesis psoriasis. Terjadinya
proliferasi epidermis diawali dengan adanya pergerakan antigen, baik eksogen
maupun endogen oleh sel langerhans. Pada psoriasis pembentukan epidermis (turn
over time) lebih cepat hanya 3-4 hari, sedangkan pada kulit normal lamanya 27 hari.
Nickoloff (1998) berkesimpulan bahwa psoriasis merupakan penyakit autoimun.
Lebih 90% kasus dapat mengalami remisi setelah diobati dengan imunosupresif.
Berbagai faktor pencetus pada psoriasis antara lain stress psikis, infeksi local, trauma
(fenomena Kobner), endokrin, gangguan metabolik, obat, alcohol dan merokok.
Stress psikis merupakan faktor pencetus utama. Infeksi fokal mempunyai hubungan
erat dengan salah satu bentuk psoriasis yaitu psoriasis gutata, sedangkan hubunganya
dengan psoriasis vulgaris tidak jelas. Puncak insiden psoriasis pada waktu pubertas
dan menapouse. Pada waktu kehamilan umumnya membaik, sedangkan pada masa
pasca partus memburuk. Gangguan metabolisme contohnya hipokalsemi dan dialisis
telah dilaporkan sebagai faktor pencetus.
2.4 PATOGENESIS
jaringan yang sedang mengalami luka kepada sistem imunologi. Pelepasan TNF-
dari sel-sel yang terdestruksi pada luka nantinya akan memanggil sitokin-sitokin dan
kemokin lainnya sehingga memodifikasi permukaan endotel pada venula-venula
pascakapiler. Proses ini merupakan mekanisme alamiah yang memfasilitasi
ekstravasasi leukosit ke jaringan yang sedang luka.
Leukosit yang keluar dari pembuluh darah nantinya akan merembes
memasuki dermis melalui beberapa proses yang melibatkan beberapa molekul, di
antaranya LFA-1 (terkandung dalam contoh obat di atas, efalizumab). Leukosit yang
memasuki dermis melalui gradien kemotaktik akan mulai memediasi fungsi efektor,
misalnya untuk membunuh bakteri atau jamur. Selama perjalanannya leukosit yang
menuju jaringan luka ini juga akan mengeluarkan TNF- ke sirkulasi. Dengan
demikian semakin lama akan semakin banyak leukosit yang terpanggil ke tempat
luka. Inilah proses imunosurveilans yang melibatkan jaringan luka dan sel-sel
imunitas.
Dalam kenyataannya, proses imunitas merupakan rangkaian adaptasi
fisiologis yang senantiasa berubah demi mempertahankan hidup. Adaptasi imunitas
ini dilakukan oleh sel-sel T yang populer dengan sebutan imunitas spesifik dan
nonspesifik, meskipun dalam kerjanya dibantu oleh sel-sel dan molekul-molekul
lainnya. Setiap sel T memiliki keunikan yang spesifik untuk antigen tertentu. Inilah
target utama penyembuhan yang dilakukan oleh sistem imun alami. Yang penting
ialah bagaimana menempatkan sel-sel T tersebut pada tempat dan waktu yang tepat.
Penempatan sel T diatur oleh pajanan jutaan antigen yang masuk ke tubuh
manusia. Awalnya semua sel T merupakan sel T naif (null) yang berkelana di dalam
pembuluh darah serta sebagian tersimpan di kelenjar getah bening (KGB) proses ini
sangat.tergantung dengan LFA-1-. Ketika berada di KGB, sel-sel T akan 'dijemput'
oleh sel-sel dendritik di jaringan terdekat KGB tersebut untuk diundang ke jaringan
tadi. Ketika terdapat luka di jaringan, sel dendritik akan menjadi matur serta
bermigrasi ke KGB karena dirangsang oleh sinyal berbahaya (misalnya TNF- )
kemudian 'memberi tahu' (dengan mekanisme MHC kelas III) antigen apa yang
sedang menyerang jaringan tersebut.
Sebagaimana dipahami, MHC ( majorhistocompatibility complex) merupakan
cara pengenalan antigen dari sel-sel yang terpajan antigen melalui ligan reseptor
kepada sel T yang naif. Sel T naif ini terdiri dari sel-sel dengan reseptor yang khas.
Sel T dengan reseptor CD28 akan berikatan dengan MHC dengan reseptor CD80 dan
CD86 (kostimulasi), sedangkan sel T dengan reseptor LFA-1 akan berikatan dengan
ICAM-1 ( intercellular adhesion molecules 1) pada sel dendritik.
Sel T Menyerang :
Setelah proses permulaan tadi, sel-sel T naif yang telah berikatan dengan
reseptornya
yang
cocok
akan
bereplikasi
dan
multiplikasi,
kemudian
dendritik, akan menuju ke lokasi kejadian perkara. Sedangkan sel T dari organ serupa
KGB, yakni Patch Peyer di usus, akan menuju ke lamina propria usus.
Sel T yang menuju ke kulit akan mengekspresikan Cutaneous Lymphocyte
Antigen (CLA), reseptor chemokine CC 4 dan 10, serta LFA-1. Nantinya ekspresi
CLA dan kawan-kawannya akan berinteraksi dengan pembuluh darah untuk
menghasilkan E-selectin dan P-selectin, ligan chemokine CC (misalnya CCL17),
serta ICAM-1. Reaksi inilah yang membantu sel T untuk melawan antigen-antigen
yang masuk ke kulit. Jika memang tidak ada antigen yang masuk ke kulit, maka
perlahan-lahan sel-sel T ini akan masuk ke pembuluh limf dan berjalan menuju KGB
terdekat. Konsep sel T memori dengan CLA, LFA-1, dan reseptor CC inilah yang
menjawab pertanyaan mengapa reaksi antigen di kulit berlangsung sangat cepat.
Pasalnya,
pelepasan
TNF-
dan
sitokin-sitokin
lainnya
akan
merangsang
akibat reaksi antigen dengan sel T juga akan memproduksi TNF- yang akhirnya
akan memperburuk keadaan psoriasis.
Keadaan ini ditandai dengan respon perproliferasi epidermis serta gejala
umum psoriasis. Inilah proses reversibel dari psoriasis dan hanya bisa dihentikan
dengan cara memblok aktivasi sel-sel T pada lesi tersebut.
Proses Perlawanan :
Dari contoh di atas, misalnya etanercept, TNF- yang larut maupun tak larut
akan diikat bersama IgG yang berikatan dengan reseptor p75 TNF- . Konsep ini
sangat bermanfaat mengingat TNF- sebenarnya dibuat oleh leukosit (termasuk sel T)
dan.sel-sel yang bukan turunan dari sumsum tulang (termasuk kulit) yang
bersemayam di sekitar kulit.
Etanercept ini kabarnya telah terbukti ampuh mengobati rheumatoid arthritis,
inflammatory bowel disease (IBD), dan psoriasis arthritis. Studi terbaru (namun
belum diaplikasikan secara luas) obat semacam etanercept ini juga mampu mengatasi
keluhan pada psoriasis biasa/psoriasis vulgaris. Sedangkan obat seperti efalizumab,
yang memiliki target CD11a atau L terbukti ampuh memblok interaksi LFA-1.
Antibodi monoklonal ini mampu menghalangi interaksi ICAM-1 dan ICAM-2.
Bedanya dengan jenis etanercept, efalizumab terfokus melawan LFA-1 yang notabene
hanya dihasilkan oleh leukosit, tidak seperti TNF- yang bisa juga dihasilkan oleh
sel-sel lainnya. Sel T sangat bergantung pada LFA untuk melakukan perlawanan,
terutama ketika ekstravasasi ke tempat yang rusak.
pada kulit penderita psoriasis, misalnya garukan dapat menyebabkan kelainan yang
sama dengan kelainan psoriasis dan disebut fenomena kobner yang timbul kira-kira
setelah 3 minggu. Psoriasis juga dapat menyebabkan kelainan kuku, yakni sebanyak
kira-kira 50%, yang agak khas ialah yang disebut pitting nail atau nail pit berupa
lekukan-lekukan miliar. Kelainan yang tak khas adalah kuku yang keruh, tebal,
bagian distalnya terangkat karena terdapat lapisan tanduk dibawahnya (hyperkeratosis
subungual) dan onikolisis.
EXAMPLES OF PSORIASIS
Gambar A-J menampilkan bentuk-bentuk lesi psoriasis di kulit. Lesi bisa muncul di seluruh bagian tubuh. Gambar
D adalah contoh psoriasis yang minimal. K-M merupakan contoh-contoh psoriasis yang ada di kuku. Pada
penderita athlete's foot, bentuk kuku jari-jarinya juga bisa sangat mirip dengan psoriasis pada kuku. Jadi tidak salah
jika diagnosis psoriasis sering dilihat dari penampilan kuku jarinya. Gambar K dan L menampilkan lubang-lubang di
kuku, dan gambar M menunjukkan karakteristik warna kekuningan atau coklat yang dikenal sebagai "oil spot."
2. psoriasis gutata
diameter kelainan biasanya tidak melebihi 1 cm. Timbulnya mendadak dan
diseminata, umumnya setelah infeksi streptococcus di saluran napas bagian
atas sehabis influenza atau morbili, terutama pada anak dan dewasa muda.
Selain itu juga dapat timbul setelah infeksi yang lain, baik bakterial maupun
viral.
3. psoriasis inversa
Psoriasis tersebut mempunyai tempat predileksi pada daerah fleksor
sesuai dengan namanya. Inverse psoriasis ditemukan pada ketiak, pangkal
paha, dibawah payudara, dan di lipatan-lipatan kulit di sekitar kemaluan dan
panggul Tipe psoriasis ini pertama kali tampak sebagai bercak (lesions) yang
sangat merah dan biasanya lack the scale associated dengan psoriasis plak.
Bercak itu bisa tampak licin dan bersinar.
Pada umumnya Elidel tidak se-efektif Protopic, tapi lebih tidak berminyak.
Kadang-kadang sebuah obat yang diberikan pakai resep oleh seorang dokter,
pembuatannya dicampur oleh seorang apoteker, atau dibawa keluar negeri
dengan nama brand Castederm) digunakan untuk pengobatan psoriasis
inverse. Obat berbentuk cairan dapat dioleskan pada bercak kulit dan dapat
membantu mengeringkan bercak-bercak psoriasis pada lipatan kulit, seperti
penggunaan macam-macam bedak kulit. Sebagian orang akan menggunakan
krem pada malam hari dan bedak pada pagi hari, Zeasorb dan Zeasorb AF
adalah bedak yang efekfif untuk digunakan untuk psoriasis inverse.
Pengobatan dengan penyuntikan pertama kali dipelajari dan diakui untuk
penderita psoriasis plak, obat tersebut efektif juga dipergunakan untuk
mengobati psoriasis inverse.
4. psoriasis eksudativa
bentuk tersebut sangat jarang. Biasanya kelainan psoriasis kering, tetapi pada
bentuk ini kelainannya eksudatif seperti dermatitis akut.
5. psoriasis seboroik
gambaran klinis psoriasis seboroik merupakan gabungan antara psoriasis dan
dermatitis seboroik, skuama yang biasanya kering menjadi agak berminyak
dan agak lunak. Selain berlokasi pada tempat yang lazim, juga terdapat pada
tempat seboroik.
6. psoriasis pustulosa
terdapat dua bentuk psoriasis pustulosa, bentuk lokalisata, dan generalisata.
Bentuk lokalisata, contohnya psoriasis pustulosa palmo-plantar (barber).
Sedangkan bentuk generalisata, contohnya psoriasis pustulosa generalisata
akut.
7. Eritroderma psoriatic
eritroderma psoriatik dapat disebabkan oleh pengobatan topical yang terlalu
kuat atau oleh penyakit sendiri yang meluas. Biasanya lesi yang khas untuk
psoriasis tidak tampak lagi karena terdapat eritema dan skuama yang tebal
universal. Ada kalanya lesi psoriasis masih tampak samar-samar yakni lebih
eritematosa dan kulitnya lebih meninggi.
2.9 PENGOBATAN
2.9.1 PENGOBATAN SISTEMIK
1. kortikosteroid
kortikosteroid dapat mengontrol psoriasis, dosisnya kira-kira ekivalen dengan
prednisone 30 mg per hari. Setelah membaik, dosis diturunkan perlahan-lahan,
kemudian diberi dosis pemeliharaan. Penghentian obat secara mendadak akan
menyebabkan kekambuhan dan dapat terjadi psoriasis pustulosis generalisata
2. obat sitostatik
obat sitostatik yang biasanya digunakan adalah metotreksat. Indikasinya ialah
untuk psoriasis, psoriasis pustulosa, psoriasis artritis dengan lesi kulit, dan
eritroderma karena psoriasis, yang sukar terkontrol dengan obat standar.
Kontraindikasinya adalah kelainan hepar, ginjal, sistem hematopoetik,
Levodopa
levodopa sebenarnya dipakai untuk penyakit Parkinson. Diantara penderita
Parkinson yang sekaligus juga menderita psoriasis, ada yang membaik
psoriasisnya dengan pengobata levodopa.
4.
DDS
DDS (diaminodifenilsulfon) dipakai sebagai pengobatan psoriasis pustulosa
tipe barber dengan dosis 2 x 100 mg sehari. Efek sampingnya adalah anemia
hemolitik, methemoglobinemia, dan agranulositosis
5.
Etretinat
merupakan retinoid aromatic digunakan bagi psoriasis
yang sukar
Siklosporin
efeknya adalah imunosupresif. Dosisnya 6 mg/kgBB sehari. Bersifat
nefrotoksis dan hepatotoksik. Hasil pengobatan untuk psoriasis baik, hanya
setelah obat dihentikan dapat terjadi kekambuhan.
preparat ter
2.
kortikosteroid
3.
ditranol (antralin)
4.
5.
calcipotriol
6.
tazaroten
7.
emolien
2.9.3 FOTOTERAPI
1. PUVA
Karena psoralen bersifat fotoaktif, maka dengan UVA akan terjadi efek yang
sinergik. Mula-mula 10-20 mg psoralen diberikan per os, 2 jam kemudian
dilakukan penyinaran. Terdapat bermacam-macam bagan, diantaranya 4 x
seminggu. Penyembuhan mencapai 93% setelah pengobatan 3-4 minggu,
setelah itu dilakukan terapi pemeliharaan (maintenance) seminggu sekali atau
dijarangkan untuk mencegah rekuren. PUVA juga dapat digunakan untuk
eritroderma psoriatik dan psoriasis pustulosa.
2.
UV B (290-320 nm)
2.10
PROGNOSIS
Meskipun psoriasis tidak menyebabkan kematian, tetapi bersifat kronis dan
residif.
BAB III
KESIMPULAN
Bentuk klinis :
Psoriasis vulgaris
Psoriasis gutata
Psoriasis inversa
Psoriasis pustulosa
Psoriasis seboroik
Psoriasis eritroderma
Terapi :
Pengobatan topical:
preparat ter
kortikosteroid
ditranol (antralin)
pengobatan dengan penyinaran
calcipotriol
tazaroten
emolien
Fototerapi:
UV B (290-320 nm)
Psoralen + UVA (PUVA)
Terapi biologik
Yaitu terapi yang menggunakan protein (agen biologic) dalam bentuk
antibody monoclonal, protein fusi, sitokin rekombinan yang bekerja selektif
pada elemen spesifik system imun.
DAFTAR PUSTAKA
Barakbah et al. 2007. Atlas penyakit kulit dan kelamin. FK UNAIR. Surabaya hal
131-136
Djuanda A. 2001. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. FKUI, Jakarta. hal 189-194.
Kapita Selekta Kedokteran. 2005. FK UI, Jakarta