f) Efek samping yang mungkin timbul antara lain: erupsi obat , anemia hemolitik,
leukopenia, insomnia, neuropatia, methemoglobinemia. Namun efek samping
tersebut jarang dijumpai pada dosis lazim.
3. Rifampisin
a) Bentuk kapsul atau tablet takaran 150 mg, 300 mg, 450 mg dan 600 mg
b) Sifat bakterisidal kuat, bekerja dengan menghambat enzim polymerase RNA yang
berikatan secara irreversible.
c) Dosis tunggal 600 mg/hari (atau 5-15 mg/kgbb) mampu membunuh kuman kirakira 99,9% dalam waktu beberapa hari.
d) Cara pemberian obat secara oral, bila diminum setengah jam sebelum makan
maka penyerapan lebih baik
e) Efek samping yang harus diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala
gastrointestinal dan erupsi kulit.
Rifampisin
Ofloxacin
Minocyclin
Dewasa 50-70 kg
600 mg
400 mg
100 mg
300 mg
200 mg
50 mg
Rifampisin
Dewasa
100 mg/hari
50 mg/hari
Dewasa
Dapson
Rifampisin
Klofazimin
100 mg/hari
50
mg/hari
dan
300
mg/bulan diawasi
Anak 10-14 tahun
50 mg/hari
MDT yang diberikan secara gratis oleh WHO disediakan dalam kemasan blister
untuk penderita kusta tipe MB dan PB dewasa dan anak-anak. WHO memperkirakan
kebutuhan MDT suatu negara berdasar pada data terakhir yang dikumpulkan melalui
suatu standard format tahunan (World Heath Organization Leprosy Elimination Project,
Government Request for MDT Drugs Supply by WHO in 2005) dan standard format
laporan tribulanan (World Health Organization Leprosy Elimination Project, Quarterly
Report)
Dalam beberapa tahun terakhir terjadi masalah dalam pengelolaan obat kusta di
Indonesia. Masalah tersebut antara lain terjadinya kekurangan obat di beberapa daerah
endemik terutama daerah endemik tinggi yang mengakibatkan adanya penderita yang
belum mendapatkan pengobatan. Dilain pihak ada beberapa daerah yang kelebihan,
sehingga banyak obat kusta yang kadaluarsa.
Terjadinya kekurangan dan kelebihan MDT ini kemungkinan disebabkan karena
Pusat (Subdit Kusta) tidak menerima informasi data tepat waktu dan lengkap seperti yang
diminta oleh WHO antara lain: jumlah kasus baru yang ditemukan, jumlah penderita
yang sembuh, stok obat yang masih ada di Puskesmas, Kabupaten dan Propinsi. Akibat
ketidaktepatan informasi tersebut WHO mengirimkan obat kusta tidak sesuai dengan
kebutuhan Indonesia.
Penyebab lainnya adalah overdiagnosis, salah dalam klasifikasi, pemberian
pengobatan diperpanjang (lebih dari 6 atau 12 bulan), penderita yang berobat tidak
teratur, tidak adanya penghapusan kasus yang sudah Release From Treatmen (RFT) dari
register. Maka diperlukan pedoman pengelolaan logistik MDT di Indonesia sesuai
dengan cara menghitung perkiraan kebutuhan MDT oleh WHO.
PENGELOLAAN LOGISTIK MDT6
Tujuan utama dari pengelolaan MDT ini untuk memastikan ketersediaan obat bagi
penderita kusta tepat waktu di Unit Pelayanan Kesehatan (UPK). Pengelolaan MDT juga
meliputi penggunaan obat yang aman, efektif dan berkualitas. Pengelolaan yang efisien
juga tergantung pada pelaksanaan program dan kepatuhan penderita dalam pengobatan.
Untuk mengobati penderita kusta di Indonesia dipakai regimen sesuai standard
rekomendasi WHO yaitu regimen MDT MB dan MDT PB dalam kemasan blister untuk
dewasa dan anak.
Pengelolaan MDT yang efisien membutuhkan arus pelaporan informasi penting
dan tepat waktu untuk memperhitungkan kebutuhan obat yang meliputi permintaan,
penyediaan, pengiriman ke UPK dan penyimpanan yang benar termasuk pengawasan
penggunaan dan sisa MDT. Berbagai kesulitan geografi dan operasional serta endemisitas
suatu daerah harus dipertimbangkan ketika menghitung kebutuhan dan persediaan.
Persediaan MDT yang cukup, tidak terputus dan tepat waktu di fasilitas kesehatan
diperlukan untuk melayani penderita kusta agar tidak putus berobat. Kondisi ini
seluruhnya tergantung pada efisiensi pengelolaan MDT di Puskesmas, Kabupaten,
Provinsi dan Pusat. Selain itu pengelolaan yang efisien juga akan mencegah obat
terbuang karena rusak dan kadaluarsa.
PEDOMAN PENGELOLAAN MDT6
Berikut adalah beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengelolaan MDT agar tidak
tidak terjadi kekurangan dan kelebihan.
1. Kebutuhan MDT dihitung dalam blister masing-masing menurut kategori MB
dewasa, MB anak, PB dewasa dan PB anak. Perhitungan menggunakan blister ini
selain untuk memudahkan persediaan dan mengawasi penggunaannya juga
disesuaikan dengan cara WHO menghitung kebutuhan MDT.
ditambahkan
pada
kebutuhan
sesungguhnya
untuk
FORMULIR-FORMULIR6
menghindari
keterlambatan
memperoleh
MDT
dari
pusat
serta
KESIMPULAN
1. Penyakit kusta masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.
2. Sejak tahun 1983 Indonesia telah ikut melaksanakan program MDT sesuai dengan
rekomendasi dari WHO dan obat diberikan secara gratis dari WHO.
3. Persediaan MDT yang cukup, tidak terputus dan tepat waktu di fasilitas kesehatan
diperlukan untuk melayani penderita kusta agar tidak putus berobat.
4. Diperlukan pengelolaan logistik MDT sesuai dengan cara menghitung perkiraan
kebutuhan MDT oleh WHO sehingga tidak terjadi kekurangan dan kelebihan obat
MDT.
DAFTAR PUSTAKA