Anda di halaman 1dari 30

Laporan Kasus

ENSEFALOPATI METABOLIK

Disusun Oleh:
Tarash Burhanuddin
NIM: 030.10.265

Pembimbing:
Dr. Fitriani Nasution, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK SMF NEUROLOGI


RSUP FATMAWATI JAKARTA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
Periode 01 Desember 2014 3 Januari 2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan pembuatan makalah presentasi kasus yang berjudul
Ensefalopati Metabolik ini.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan klinik bagian
Neurologi Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Trisakti di Rumah Sakit Umum
Pusat Fatmawati Jakarta.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para dokter
pengajar SMF Neurologi, khususnya dr. Fitriani Nasution, Sp.S, atas bimbingan dan segala
masukan di bagian neurologi ini sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini dengan
sebaik baiknya.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna sehingga penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki makalah ini serta
untuk melatih kemampuan penulis dalam menulis makalah berikutnya.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca, khususnya bagi teman sejawat yang sedang menempuh pendidikan.

Jakarta, Desember 2014

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..........................................................................................

DAFTAR ISI ........................................................................................................

BAB I

STATUS PASIEN .........................................................................

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA ................................................................

18

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................

32

BAB I
2

STATUS PASIEN

1.1 IDENTITAS PASIEN

Nama

: Ny. Eti Haryati

Jenis Kelamin

: Perempuan

Usia

: 72 tahun

Agama

: Islam

Alamat

: JL. Masjid Lio

Suku bangsa

: Indonesia

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Pendidikan terakhir

: Tidak Tamat SD

Status Menikah

: Menikah

No. RM

: 01336379

Ruangan

: 529

1.2 ANAMNESIS
Pasien datang ke IGD RSUP Fatmawati pada tanggal 05 Desember 2014 dan masuk ruang
rawat inap RSUP Fatmawati pada tanggal 08 Desember 2014. Autoanamnesis dan
alloanamnesis pada tanggal 10 Desember 2014.
a. Keluhan Utama
Tiba-tiba tidak sadar dari 2 jam SMRS
b. Riwayat Penyakit Sekarang
3

Pasien dibawa ke IGD RSUP Fatmawati dalam keadaan tidak sadar. Pasien sudah
tidak sadar dari 2 jam SMRS, sebelum tidak sadar pasien sedang beraktifitas dengan
keluarga dan sehabis makan malam. 3 hari SMRS, pasien merasakan mual dan muntah.
Muntahnya dalam waktu sehari 2x dengan isinya makanan yang di makan pasien. Pasien
sadar setelah 2 hari masuk rumah sakit dan dipindahkan ke ruang inap. Demam, kejang,
kelemahan sisi tubuh, dan rasa kesemutan disangkal oleh pasien. Tidak ada pandangan
mata kabur, penglihatan ganda, gangguan penciuman, gangguan pendengaran, dan
gangguan merasakan makanan.. Buang air besar dan buang air kecil baik.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami kejadian serupa sebelumnya. Pasien memiliki
riwayat pengapuran di lutut kanannya dari 10 tahun yang lalu. Selain itu pasien juga
pernah terkena batu ginjal 5 tahun yang lalu dan dinyatakan sembuh oleh dokternya.
Pasien tidak memiliki riwayat darah tinggi dan gula. Riwayat Jantung, Asma disangkal
oleh pasien.

d. Riwayat Penyakit Keluarga


Di keluarga pasien, bapak pasien memiliki penyakit darah tinggi.

e. Riwayat Sosial dan Kebiasaan


Pasien tidak merokok dan riwayat kebiasaan minum alkohol disangkal.
1.3 PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik di ruangan 529 lantai 5 Teratai bangsal RSUP Fatmawati tanggal 05
Desember 2014
A. Keadaan Umum
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran

: Compos mentis

Tekanan darah
Nadi
Pernapasan
Suhu
Berat badan

: 80/50 mmHg
: 84x/menit, regular, kuat, isi cukup, ekual
: 20x/menit, reguler
: 36,50C
: 67 kg
4

Tinggi badan
BMI

: 160 cm
: 26,17 kg/m2

B. Status Generalis
Kulit
Kepala
Mata

: Warna sawo matang, sianosis (-), ikterik (-)


: Normosefali, rambut hitam, distribusi merata
: Konjungtiva anemis -/-,sklera ikterik -/-, pupil bulat
isokor 3mm/3mm, refleks cahaya langsung +/+,

refleks cahaya tidak langsung +/+


Telinga, Hidung,Tenggorokan
Telinga :
- Inspeksi :
o Preaurikuler : hiperemis (-)/(-)
o Preaurikuler : hiperemis (-)/(-)
o Postaurikuler : hiperemis (-)/(-), abses (-)/(-), massa (-)/(-)
o Liang telinga : lapang, serumen (-)/(-), otorhea (-)/(-)
Hidung :
- Inspeksi : deformitas (-), kavum nasi lapang, sekret (-)/(-), deviasi septum (-)/(-),
edema (-)/(-)
- Palpasi : nyeri tekan pada sinus maksilaris (-)/(-), etmoidalis(-)/(-), frontalis(-)/(-)
Tenggorokan dan tongga mulut :
- Inspeksi :
o Bucal : warna normal, ulkus (-)
o Lidah : pergerakan simetris, plak (-)
o Palatum mole simetris pada keadaan diam dan bergerak,
arkus faring dan uvula simetris, penonjolan (-)
o Tonsil : T1/T1, kripta (-)/(-), detritus(-)/(-)
o Dinding anterior faring licin, hiperemis (-),
o Dinding posterior faring licin, hiperemis (-), post nasal
drip (-)
o Pursed lips breathing (-), karies gigi (-), kandidisasis oral (-)
Leher
: Bentuk simetris, trakea lurus di tengah, tidak teraba
Pulsasi Aa. Carotis
Kelenjar Getah Bening

KGB dan kelenjar tiroid.


: Teraba kanan=kiri, regular, equal
: Tidak ada pembesaran KGB submandibula, parotis
dan submental

Pemeriksaan Thoraks
o Pemeriksaan jantung
Inspeksi
: Ictus cordis tidak tampak
Palpasi
: Ictus cordis teraba di ICS V2 linea midclavikula sinistra
Perkusi
: Batas kanan kanan ICS IV linea sternalis dextra, batas kiri
ICS VI 2 jari lateral linea midklavikula sinistra
Auskultasi
: S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
o Pemeriksaan Paru
Inspeksi
: Pergerakan naik-turun dada simetris kanan kiri
Palpasi
: Vocal fremitus kanan=kiri, tidak ada benjolan
Perkusi
: Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi
: Suara nafas vesikuler +/+, Ronki +/+, Wheezing -/o Columna Vertebralis
: Lurus di tengah, skoliosis (-), kifosis (-)
Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi
: Jejas (-), perut tidak buncit
Palpasi
: Nyeri tekan (-), hepar/lien tidak teraba membesar
Perkusi
: Timpani
Auskultasi
: Bising usus (+) normal
Pemeriksaan Ekstremitas
Proksimal
: akral hangat +/+, edema -/Distal
: akral hangat +/+, edema -/ Pembuluh Darah Perifer
: Capillary refiil time < 2 detik
C.Status Neurologis
1) GCS
Compos mentis, GCS: E4M6Vafasia
2) Rangsang Selaput Otak

Kanan

Kiri

Kaku Kuduk

(-)

Laseque

>70

>70

Kernig

> 135

> 135

Brudzinski I

(-)

(-)

Brudzinski II

(-)

(-)

3) Peningkatan Tekanan Intrakranial


Muntah proyektil

: (-)

Sakit kepala hebat

: (-)

Papil edema

: tidak dilakukan pemeriksaan

4) Saraf-saraf Kranialis
N. I
N.II

: Normosmia kanan dan kiri


Kanan

Kiri
6

Acies Visus

Baik

Baik

Visus Campus

Normal

Normal

Melihat Warna

Normal

Normal

Funduskopi

tidak dilakukan

N. III, IV, VI
Kedudukan Bola Mata

Kanan

tidak dilakukan
Kiri

Ortoposisi

Ortoposisi

Ke Nasal

Normal

Normal

Ke Temporal

Normal

Normal

Ke Nasal Atas

Normal

Normal

Ke Nasal Bawah

Normal

Normal

Ke Temporal Atas

Normal

Normal

Ke Temporal Bawah

Normal

Normal

Eksopthalmus

(-)

(-)

Nistagmus

(-)

(-)

Pupil

Isokor

Isokor

Bentuk

Bulat, 3mm

Bulat, 3mm

Refleks Cahaya Langsung :

(+)

(+)

Refleks Cahaya Konsensual:

(+)

(+)

Pergerakan Bola Mata

Akomodasi

Normal

Normal

Konvergensi

: `

Normal

Normal

Kanan

Kiri

Normal

Normal

Opthalmik

Normal

Normal

Maxilla

Normal

Normal

Mandibularis

Normal

Normal

Kanan

Kiri

N. V
Cabang Motorik
Cabang Sensorik

N. VII
Motorik Orbitofrontal

Normal

Normal

Motorik Orbicularis

Normal

Normal

Pengecap Lidah

Normal

Normal
7

N. VIII

Kanan

Kiri

Vestibular
Romberg

: tidak dilakukan

Nistagmus

tidak dilakukan

(-)

(-)

Cochlear
Tinnitus

(-)

(-)

Rinner

(+)

(+)

Weber

tidak ada lateralisasi

Schwabach

sama dengan pemeriksa

N. IX, X
Bagian Motorik
Suara biasa/parau/tak bersuara

: normal

Kedudukan Arcus Pharynx

: simetris, kuat angkat

Kedudukan Uvula

: normal

Bagian Sensorik
Reflek Muntah (pharynx)
N. XI

: normal
Kanan

Kiri

Mengangkat bahu

Normal

Normal

Menoleh

Normal

Normal

N. XII

Kanan

Kiri

Kedudukan Lidah
Waktu istirahat

normal

Waktu gerak

normal

Atrofi

(-)

(-)

Fasikulasi/tremor

(-)

(-)

5) Sistem Motorik
Ekstremitas Atas Proksimal Distal

: 5555

5555

Ekstremitas Bawah Proksimal Distal

: 5555

5555

6) Gerakan Involunter
8

Tremor

: (-)

Chorea

: (-)

Atetose

: (-)

Mioklonik

: (-)

7) Trofik

: eutrofi pada keempat ekstremitas

8) Tonus

: normotonus pada keempat ekstremitas

9) Sistem Sensorik

Kanan

Kiri

Proprioseptif

(+)

(+)

Eksteroseptif

(+)

(+)

10) Fungsi Cerebellar dan Koordinasi


Jari-Jari

: Normal

Jari-Hidung

: Normal

11) Fungsi Luhur


Astereognosia

: (-)

Apraksia

: (-)

Afasia

: (-)

12) Fungsi Otonom


Miksi

: baik

Defekasi

: baik

Sekresi Keringat

: baik

13) Refleks-refleks Fisiologis

Kanan

Kiri

Kornea

(+)

(+)

Bisep

(+2)

(+2)

Trisep

(+2)

(+2)

Patella

(+2)

(+2)

Achilles

(+2)

(+2)

14) Refleks-refleks Patologis

Kanan

Kiri

Hoffman Tromner

(-)

(-)

Babinsky

(-)

(-)

Chaddock

(-)

(-)

Gordon

(-)

(-)

Gonda

(-)

(-)
9

Schaeffer

(-)

(-)

Klonus Lutut

(-)

(-)

Klonus Tumit

(-)

(-)

15) Keadaan Psikis


Intelegensia

: Normal

Tanda regresi

: (-)

Demensi

: (-)

1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


1.4.1 Laboratorium
A. Darah
Pemeriksaan

Tanggal

Jam

Hasil

Nilai
Normal

5/12/2014

23

91

6/12/2014

09

121

15

168

06

92

13

105

18

144

22

131

06

141

11

98

16

209

06

180

11

100

16

120

06

140

7/12/2014

<180

GULA DARAH SEWAKTU


8/12/2014

09/12/2014

10/12/2014

Pemeriksaan

Hasil

Satuan

Nilai normal
10

ELEKTROLIT DARAH
Natrium

132

mmol/l

137-145

Kalium

5,30

mmol/l

36-5,0

Klorida

105

mg/dl

8,4-10,2

Calsium Ion

0,96

mmol/L

1-1,15

1.4.2 Radiologi
1. Foto Thorax

Trakea relatif di tengah

Mediastinum superior tak melebar

Aorta baik

Cor

Pulmo : kedua hilus tidak menebal. Tampak infiltrat di lapangan atas paru

: ukuran kesan membesar

kanan, lapangan tengah paru kiri, basal kedua paru.

Kedua sinus costofrenikus lancip dan diafragma licin.

Tulan-tulang intak

Kesan : Kardiomegali
Infiltrat di lapangan atas paru kanan, lapangan tengah paru kiri, basal
kedua paru

11

1.5 RESUME
Pasien dibawa ke IGD RSUP Fatmawati dalam keadaan tidak sadar. Pasien sudah
tidak sadar dari 2 jam SMRS, sebelum tidak sadar pasien sedang beraktifitas dengan
keluarga dan sehabis makan malam. 3 hari SMRS, pasien merasakan mual dan muntah.
Muntahnya dalam waktu sehari 2x dengan isinya makanan yang di makan pasien. Pasien
sadar setelah 2 hari masuk rumah sakit dan dipindahkan ke ruang inap.
Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum compos mentis, tampak sakit ringan
dengan tanda batas dalam batas normal. Status lokalis dalam batas normal. Status
neurologis dalam batas normal.

1.6 PEMERIKSAAN ANJURAN

Pemeriksaan darah lengkap

Pemeriksaan profil lipid

Pemeriksaan GDP dan GD2PP

Pemeriksaan fungsi ginjal

Pemeriksaan fungsi hepar

Pemeriksaan asam urat

1.7 DIAGNOSIS
Diagnosis klinis
Diagnosis etiologis
Diagnosis kerja

: Riwayat penurunan kesadaran


: hipoglikemi, hiponatremi
: Ensefalopati Metabolik ec hipoglikemi dan hiponatremi

1.8 TATALAKSANA
Tirah baring
Dextrose 5% 500cc/12 jam IV
Citicolin 500mg 2x1 IV
Asam Folat 1x1 tab PO

1.9 PROGNOSIS
12

Ad vitam

: ad bonam

Ad functionam

: ad bonam

Ad sanationam

: ad bonam

13

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Definisi

Ensefalopati metabolik adalah gangguan neuropsikiatrik akibat penyakit metabolik


otak(Dorland, 2010). Ensefalopati metabolik adalah pengertian umum keadaan klinis yang
ditandai dengan :
1. Penurunan kesadaran sedang sampai berat
2. Gangguan neuropsikiatrik : kejang, lateralisasi
3. Kelainan fungsi neurotransmitter otak
4. Tanpa disertai tanda-tanda infeksi bakterial yang jelas
Ensefalopati metabolik merupakan suatu kondisi disfungsi otak yang global yang
menyebabkan terjadi perubahan kesadaran, perubahan tingkah laku, dan kejang yang
disebabkan oleh kelainan pada otak atau di luar otak(Sumantri, 2009). Prosesnya disfungsi
otak ini termasuk gangguan metabolik (elektrolit, fungsi renal, dan disfungsi hepar),
beberapa defisiensi (substrat metabolik, hormon tiroid, vitamin B12, dll), racun (obatobatan, alkohol, dll), atau kelainan toksik sistemik (misalnya sepsis). Pada ensefalopati
metabolik terdapat disfungsi difus otak, yang onsetnya cepat dengan fluktuasi tingkat
kesadaran (perhatian dan konsentrasi)(Suspanc, Vargek-solter, & Demarin, 2003).
2.2

Klasifikasi
Klasifikasi ensefalopati metabolik dapat dibagi menjadi dua kelompok

yaitu(Mardjono & Priguna, 1989) :


1.

Ensefalopati metabolik primer merupakan penyakit yang memperlihatkan


a. Degenerasi di substansia grisea otak, yaitu :
-

Penyakit jacob-creutzfeldt

Penyakit pick

Penyakit Alzheimer

Epilepsi mioklonik progresif

b. Degenerasi di substansia alba otak, yaitu :


14

Penyakit schilder

2.

Ensefalopati metabolik sekunder, sangat beragam hingga diklasifikasikan menurut

sebab pokoknya, sebagai berikut


a.

Kekurangan zat asam, glukosa, dan kofaktor-kofaktor yang diperlukan

untuk metabolisme sel


(1).

Hipoksia, yang bisa timbul karena :


- Penyakit paru-paru
- Anemia
- Intoksikasi karbon monoksida

(2). Iskemia, yang bisa berkembang karena Cerebral Blood Flow (CBF) yang
menurun akibat penurunan cardiac output seperti pada kondisi aritmia, infark jantung,
dekompensasi kordis, dan stenosis aorta. CBF menurun akibat penurunan resistensi
vaskular perifer. CBF menurun akibat resistensi vaskular yang meningkat, seperti pada
ensefalopati hipertensif, sindrom hiperventilasi, dan sindrom hiperviskositas.
(3).

Hipoglikemia, yang bisa timbul karena pemberian insulin atau pembuatan

insulin endogenik meningkat.


(4).

Defisiensi kofaktor thiamin, niacin, pyridoxin, dan vitamin B1

b.

Penyakit-penyakit organik di luar susunan saraf

(1).

Penyakit non-endokrinologik seperti :


Penyakit hepar, ginjal, jantung, dan paru

(2).

Penyakit endokrinologik seperti :

Penyakit addison, cushing sindrom, tumor pankreas, feokromositoma dan


tirotoksikosis
c. Intoksikasi eksogenik :
(1).

Sedativa, seperti barbiturat, opiat, obat anti kolinergik, ethanol, dan penenang

(2).

Racun yang menghasilkan banyak katab(olit acid, seperti paraldehyde,

methylalcohol, dan ethylene


(3).

Inhibitor enzim, seperti cyanide, salicylat, dan logam-logam berat.


15

d.

Gangguan balans air dan elektrolit

(1).

Hipo dan hipernatremia

(2).

Asidosis respiratorik dan metabolik

(3).

Alkalosis respiratorik dan metabolik

(4).

Hipo dan hiperkalemia

2.3

Etiologi dan Faktor Risiko


Etiologi terjadinya ensefalopati metabolik dapat dilihat pada tabel 2.1. Secara

umum, penyebab ensefalopati metabolik dibagi menjadi intoksikasi obat atau


ketergantungan obat, abnormalitas elektrolit dan glukosa, disfungsi organ mayor (seperti
hepar, ginjal, paru, dan endokrin), defisiensi nutrisi, terpapar terhadap toksin,sindrom
paraneoplastik(Varelas & Graffagrino, 2013).

Tabel 2.1 Etiologi Ensefalopati Metabolik (Suspanc, Vargek-solter, & Demarin, 2003)
Etiologi
Hipoksia

Iskemia

Penyakit Sitemik

Anemia

Penyakit Paru

Hipoventilasi alveolar

Penyakit kardiovaskuler (termasuk cardiac arrest)

Aritmia

Penyakit mikrovaskular

Hipotensi

Hipertensi

Penyakit hepar

Penyait ginjal

Penyait pankratikus

Malnutrisi (defisiensi vitamin)

Disfungsi endokrin (hipoglikemia atau hiperglikemia dan


keadaan hiperosmolar)
16

Agen Toksik

Gangguan keseimbangan cairan, asam basa, dan elektrolit

Vaskulitis

Infeksi dan sepsis

Keganasan (Sindrom paraneoplastik)

Alkohol, sedatif (barbiturat, narkotik, da obat penenang)

Pengobatan psikiatri (antidepresan trisiklik, obat-obat


antikolinergik, Fenotiazin, MAO Inhibitor

Logam berat

Organofosfat, bensin

Obat-obat lain (Kortikosteroid, penisilin, anti konvulsan)

Selain itu, terdapat beberapa faktor risiko yang berhubugan dengan terjadinya ensefalopati
metabolik, antara lain(Varelas & Graffagrino, 2013):
a. Usia tua (> 70 tahun)
b. Jenis kelamin laki-laki
c. Status fungsional buruk
d. Malnutrisi
e. Penyalahgunaan zat kimia
f. Kondisi kesehatan pre-morbid atau gangguan kognitif
g. Polypharmacy termasuk pengobatan yang berefek terhadap neurootransmitter
(seperti antikolinergik atau dopaminergik)
h. Kondisi fisik terbatas
i. Gangguan penglihatan atau pendengaran
j. Riwayat delirium sebelumnya

2.4

Patofisiologi

17

Berbagai mekanisme dapat berkontribusi terhadap terjadinya ensefalopati, namun


faktor toksik, anoksik, dan metabolik merupakan mekanisme tersering dan signifikan.
a.

Hipoksia
Neuron membutuhkan suplai oksigen dan glukosa untuk mempertahankan gradien

neurotransmitter dan ion. Tekanan oksigen tidak merata pada seluruh jaringan otak.
Tekanan tersebut lebih tinggi pada substansia grisea dibandingkan substansia alba,
demikian pula halnya dengan aliran darah dan penggunaan glukosa. Adapun efek pertama
dari efek hipoksia serebral adalah peningkatan pH intraseluler. Selanjutnya, kandungan
kalsium inraselulaer meningkat sebagai konsekuensi pelepasan kalsium dari retikulum
endoplasmik. Konsentrasi ATP mulai jatuh, dan ketika sebanyak 50-70% ATP neuronal
hilang, pompa sodium gagal sehingga saluran ion bervoltase terbuka, maka menyebabkan
penurunan konsentrasi gradient Na+, K+, Ca++, dan Cl- serta melepaskan cadangan
neurotransmitter. Kemudian air akan memasuki sel sehingga terjadi peingkatan osmolalitas
dan sel membengkak. Konsentrasi kalsium intraselular neuronal dapat meningkat hingga
empat kali lipat. Konsentrasi kalsium intraselular tersebut selanjutnya mengaktifkan lipase,
protease, dan enzim katabolik lainnya(Suspanc, Vargek-solter, & Demarin, 2003).
Perubahan tekanan oksigen memiliki efek yang cepat dan langsung pada saluran
ion membran yang sebagian terkait dengan fosforilasi. Beberapa saluran ion mengalami
down regulation untuk mengurangi saluran ion dan mengurangi kebutuhan energi selular.
Beberapa saluran ion mengalami up regulation yang menimbulkan depolarisasi dan
kematian sel. Hipoksia juga merangsang terbentuknya molekul hypoxia-inducible factor
(HIF). Pembentukan molekul ini terjadi setelah terjadi efek hipoksia terhadap saluran ion.
Molekul ini mengaktifkan transkripsi gen untuk eriropoietin, gen untuk enzim glikolitik
dan gen yang terlibat dalam angiogenesis(Teresa & Chua, 2010).

b.

Hiperkapnia dan hipokapnia


Patogenesis terjadinya kelainan neurologis terkait dengan hiperkapnia belum

dimengerti dengan jelas. Hiperkapnia dapat menyebabkan vasodilatasi serebral dan


peningkatan tekanan cairan serebrospinal. Sedangkan hipokapnia yang terjadi akibat
hiperventilasi dapat menimbulkan vasokonstriksi serebral, penurunan ketersediaan
oksigen, dan perubahan keseimbangan ion kalsium. Hal ini dapat menyebabkan penurunan
18

kesadaran, tremor, gangguan penglihatan dan palpitasi. Adapun kondisi-kondisi yang dapat
menyebabkan terjadi hiperventilasi diantaranya koma hepatikum, lesi batang otak, dan
penyait kardiopulmoner tertentu(Teresa & Chua, 2010).
c.

Gangguan homeostasis glukosa


Glukosa diperlukan bagi fungsi neuronal. Kandungan glukosa pada otak lebih

rendah daripada darah dan hanya sedikit mengalami peningkatan pada hiperglikemia. Hal
ini penyaluran glukosa, laktat, maupun piruvat ke otak memerlukan transport spesifik
tertentu berupa GLUTS dan MCTs (glucose and monocarboxylic acids transporter
protein). Jumlah dari molekul transporter tersebut membatasi penetrasi glukosa ke dalam
sel. GLUT 1 terletak pada daerah sawar otak dan GLUT 3 terletak pada membran
neuronal(Suspanc, Vargek-solter, & Demarin, 2003).
Sebagaimana pada kondisi hipoksia dan iskemia, hipoglikemia juga menginduksi
terjadinya kerusakan otak. Untuk dapat mempertahankan gradien neurotransmitter dan ion,
neuron membutuhkan suplai glukosa dan oksigen secara konstan. Apabila terjadi
hipoglikemik, maka terjadilah gangguan pada gradien neurotransmitter dan ion.
Sebagaimana yang terjadi pada kondisi hipoksia, terjadi akumulasi neurotransmitter
eksitatori, yaitu aspartat (pada hipoksia adalah glutamate) yang memiliki peranan
patogenetik penting terjadinya kerusakan dan kematian neuron(Suspanc, Vargek-solter, &
Demarin, 2003).
d.

Defisiensi nutrisi/vitamin
Biasanya terjadi pada defisiensi thiamin. Defisiensi thiamin menyebabkan

perubahan pada regio brain stem terutama talamus. Perubahan patologis tersebut akan
menimbulkan nistgmus, ekstraokuler palsy, ataksia(Suspanc, Vargek-solter, & Demarin,
2003).
e.

Gangguan metabolisme asam-basa


Fungsi dan eksitabilitas otak sangat sensitif terhadap pH. pH cairan tubuh diatur

dengan sangat ketat. Barrier permeabilitas memisahkan sistem saraf pusat dengan cairan
tubuh. Cairan ekstraselular otak mengandung lebih banyak proton dan ion magnesium,
namun lbih sedikit pottasium. Lingkungan ekstraselular otak diatur atau diprogram untuk
mengandung lebih banyak H+. Banyak saluran ion bervoltase pada sistem saraf sensitif
terhadap perubahan pH. Asidosis (penurunan pH) menghambat saluran ion bervoltase dan
saluran ion yang diaktivasi oleh glutamat. Karena channel sodium dan kalsium lebih
19

sensitif terhadap perubahan pH dibandingkan channel pottasium, maka peningkatan pH


(alkalosis) akan meningkatkan entri kalsium dan sodium ke dalam sel neuron, membuat
neuron tersebut lebih mudah tereksitasi. Seringkali menyebabkan kejang dan gangguan
kesadaran(Teresa & Chua, 2010).
Normalnya cairan ekstraselular otak adalah isotonik dengan plasma. Jika
osmolaritas plasma berubah dengan cepat maka otak akan bertindak sebagai osmometer,
otak akan membengkak jika osmolaritas plasma menurun dan mengkerut jika osmolaritas
plasma meningkat akibat kehilangan cairan. Kondisi hiponatremia maupun hipernatremia
dapat mengganggu CNS dengan cara mengubah osmolalitas sel-sel otak. Adapun gejala
neurologis hiponatremia adalah sakit kepla, mual, inkoordinasi, delirium, dan akhirnya
kejang fokal atau generalisata dengan apneu. Peningkatan konsentrasi sodium dalam cairan
tubuh akan meningkatkan osmolalitas cairan dan menginduksi manifestasi serebral berat.
Gejala neurologis yang terjadi tanpa adanya perubahan struktural pada otak, kemungkinan
merupakan akibat langsung dari hiperosmolalitas. Keluhan dan gejala muncul akibat
edema serebral. Hal ini khususnya terjadi dengan rehidrasi yang cepat dan disebabkan oleh
karena peningkatan klorida dan pottasium pada otak(Teresa & Chua, 2010).
Konsentrasi pottasium ekstraselular otak memiliki efek besar terhadap eksitabilitas
serebral, tetapi gangguan serebral amat jarang pada pasien hiperkalemia ataupun
hipokalemia. Deplesi pottasium dapat mengakibatkan kelemahan otot. Pada kasus yang
berat, kelemahan otot mengalami progresi menjadi kuadripegia, gagal nafas mirip dengan
Guillan Barre syndrome. Adapun hiperkalemia dapat ditemukan pada pasien dengan
hemolisis sel darah merah(Teresa & Chua, 2010).
Hipokloremia merupakan sindrom yang ditandai dengan anoreksia, gagal tumbuh,
letargi, kelemahan otot, dan alkalosis metabolik hipokalemik yang dapat ditemukan pada
bayi-bayi yang mengonsumsi formula yang dapat mengurangi klorida selama 1 bulan atau
lebih. Kondisi ini dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan lingkar kepala,
keterlambatan bahasa, dan defisit visual motor(Teresa & Chua, 2010).
Kalsium merupakan kation ekstraselular utama. Kadar kalsium serum baik rendah
maupun tinggi dapat menimbulkan gangguan neurologis. Terdapat 3 bentuk kalsium dalam
serum yaitu terikat protein, chelated, dan terionisasi. Secara umum gejala neurologis
berhubungan dengan kadar kalsium terionisasi dengan jumlah 2,5 mg/dl atau kurang.

20

Hiperkalsemia dapat terjadi akibat hiperparatiroidisme, menyertai penyait maligna seperti


leukimia, dan pasien dengan gagal ginjal stadium akhir(Teresa & Chua, 2010).
f.

Hepatic encephalopathy
Kerusakan hati baik akut maupun kronik aka menginisisasi terjadinya serangkaian

keluhan neuropsikiatrik yang disebut dengan ensefalopati hepatik. Pada gagal hati akut,
perubahan morfologi pada otak didominasi oleh perubahan astrositik, terutama
pembengkakan astrositik, dan edema otak sitotoksik. Seiring dengan progresivitas edema
otak, tekanan intrakranial meningkat dan menghasilkan herniasi serebral. Pada gagal hati
kronik, kelainan mikroskopik prinsipal diantaranya aalah pembesaran dan peningkatan
jumlah astrosit protoplasmik. Sel-sel ini merupakan astrosit dengan nukleus yang
membesar, pucat, dan penyusutan pada protein asidik fibrilari glial. Sel-sel tersebut dapat
ditemukan pada korteks serebral, basal ganglia, nuklei batang otak, dan lapisan purkinje
serebelum. Hal ini juga dapat ditemukan pada ensefalopati HIV. Terdapat 2 faktor
terpenting pada patogenesis ensefalopati yakni peningkatan konsentrasi amonia pada
plasma maupun otak. Di otak, amonia akan diubah menjadi glutamine yang siklusnya
berjalan dari astrosit sampai neuron, dan selanjutnya akan diubah menjadi glutamate.
Setelah pelepasan glutamate ke celah sinaptik, reuptake terjadi pada astrosit. Penurunan
konsumsi oksigen dan metabolisme glukosa terjadi secara sekunder pada ensefalopati
hepatikum(Suspanc, Vargek-solter, & Demarin, 2003).
g.

Gagal ginjal
Dasar molekuar ensefalopati uremikum masih kompleks dan belum dimengerti

dengan baik. Sejauh ini, ensefalopati tersebut bisa muncul akibat uremia. Terjadi
akumulasi asam organik toksik pada sistem saraf pusat. Asam-asam yang memasuki otak
ini akan mengubah fungsi pompa ion sodium natrium. Aliran darah serebral juga
menunjukkan defek pada penggunaan oksigen. Defek ini mungkin muncul karena
peningkatan permeabilitas otak dan gangguan fungsi membran sehingga memungkinkan
produk-produk toksik memasuki jaringan otak(Suspanc, Vargek-solter, & Demarin, 2003).
2.5

Manifestasi Klinis

Setiap pasien dengan ensefalopati metabolik mempunyai gambaran klinis yang khas,
tergantung dari penyakit penyebabnya dan komplikasi yang disebabkan oleh keadaan
komorbid atau pengobatan. Meskipun adanya perbedaan-perbedaan individual ini,
penyakit spesifik seringkali menghasilkan pola-pola klinis yang berulang-ulang, dan jika
21

dikenali jarang sekali menghasilkan diagnosis yang keliru. Pemeriksaan secara


menyeluruh dan detail dari kesadaran, respirasi, reaksi pupil, pergerakan bola mata, fungsi
motorik, dan elektroensefalogram (EEG) dapat membedakan ensefalopati metabolik
dengan kelainan psikiatrik atau dengan penyakit struktural(Sumantri, 2009).

Aspek klinis kesadaran


Pada pasien dengan ensefalopati metabolik biasanya didahului oleh delirium. Penurunan
daya ingat jangka pendek, penurunan kemampuan untuk mempertahankan atau
memindahkan perhatian, proses pikir terganggu, gangguan persepsi, delusi dan atau
halusinasi serta gangguan siklus bangun-tidur(Sumantri, 2009).
Respirasi
Cepat atau lambat, penyakit ensefalopati metabolik hampir selalu menyebabkan kelainan
pernapasan baik dari sisi kedalaman ataupun irama. Kebanyakan perubahan ini terjadi
secara non-spesifik dan merupakan bagian dari penekanan batang otak yang lebih luas.
Namun demikian, pada keadaan-keadaan tertentu, perubahan pernapasan dapat meberikan
gambaran khas penyakit spesifik yang menyebabkan(Sumantri, 2009).
Perubahan respirasi neurologis dalam ensefalopati metabolik
Pasien-pasien dalam keadaan stupor atau koma ringan seringkali menampilkan gambaran
pernapasan Cheyne Stokes. Pada keadaan depresi batang otak yang lebih dalam
hiperventilasi neurogenik dapat terjadi sebagai akibat dari penekanan daerah inhibisi
batang otak atau dari terjadinya edema pulmonar neurogenik(Sumantri, 2009).
Hipoglikemia dan kerusakan anoksik lebih sering lagi menyebabkan hiperpnea transien,
sedangkan ketoasidosis diabetik dan penyebab koma lainnya yang menghasilkan asidosis
metabolik akan menunjukkan pernapasan lambat dan dalam (Kussmaul). Baik ensefalopati
hepatik dan keadaan inflamasi sistemik sama-sama menyebabkan hiperventilasi persisten
yang pada akhirnya menyebabkan alkalosis respiratorik primer. Pada keadaan-keadaan ini,
peningkatan frekuensi napas terkadang berhasil menutupi keadaan metabolik dasarnya dan
apabila pasien tersebut juga mempunyai rigiditas ekstensor gambaran klinisnya dapat
secara sekilas menyerupai penyakit struktural atau asidosis metabolik berat. Namun
demikian dengan melakukan pemeriksaan klinis secara teliti, biasanya dapat ditemukan
diagnosis kerja yang sesuai(Bates, 2003).
22

Efektivitas respirasi harus dievaluasi secara berulang-ulang pada saat penyakit metabolik
menekan otak, hal ini disebabkan karena formasio retikularis batang otak secara khusus
rentan terhadap depresi kimiawi. Anoksia, hipoglikemia dan obat-obatan dapat secara
selektif menginduksi hipoventilasi atau apnea sementara pada saat yang bersamaan tidak
mengganggu fungsi batang otak lainnya seperti respons pupil dan kendali tekanan
darah(Bates, 2003).
Pupil
Pada pasien dengan koma dalam, keadaan pupilmenjadi kriteria klinis yang paling penting
dan mampu membedakan antara kerusakan struktural dengan penyakit metabolik. Adanya
refleks cahaya pupil yang tetap terjaga, walaupun disertai dengan depresi pernapasan,
kekakuan deserebrasi atau flasiditas motorik tetap mengindikasikan ensefalopati
metabolik. Ketiadaan refleks cahaya pupil mengimplikasikan adanya penyakit struktural
dibanding metabolik(Bates, 2003).
Aktivitas motorik
Pasien dengan penyakit ensefalopati metabolik biasanya memperlihatkan dua tipe kelainan
motorik: (1) kelainan non-spesifik dari kekuatan, tonus dan refleks termasuk juga kejang
fokal dan umum; (2) gerakan tidak bertujuan khas yang hampir patognomonik untuk
penyakit ensefalopati metabolik. Kelainan motorik difus sering ditemukan pada koma
metabolik dan menggambarkan derajat serta distribusi depresi SSP(Sumantri, 2009).
Kelemahan fokal juga seringkali ditemukan pada pasien dengan penyakit ensefalopati
metabolik. Pasien dengan penyakit ensfalopati metabolik juga sering mengalami kejang
fokal atau umum yang tidak dapat dibedakan dengan kejang akibat penyakit otak
struktural. Meskipun demikian, pada saat ensefalopati metabolik menyebabkan kejang
fokal, fokusnya seringkali berpindah-pindah dari satu serangan ke serangan yang lain,
temuan ini jarang didapatkan pada lesi struktural. Kejang migratorik seperti tersebut di atas
sering ditemukan pada uremia dan sangat sulit dikendalikan(Bates, 2003).
Tremor, asteriksis dan mioklonus multifokal merupakan manifestasi terutama dari penyakit
ensefalopati metabolik; ketiga manifestasi di atas jarang ditemukan pada lesi struktural
fokal kecuali mempunyai komponen toksik atau infeksi. Tremor pada ensefalopati
metabolik biasanya kasar dan iregular dengan laju 8-10 kali per detik. Tremor biasanya
hilang saat istirahat dan paling mudah ditemukan pada jari-jemari tangan yang
terjulur(Bates, 2003).
23

Asteriksis digambarkan sebagai gerakan mengepak telapak tangan bila dihiperekstensikan


pada pergelangan tangan dan banyak ditemukan pada banyak penyakit ensefalopati
metabolik.
Mioklonus multifokal merupakan gerakan berkedut kasar mendadak, non-ritmis dan tidak
berpola yang melibatkan sebagian atau sekelompok otot pada satu bagian dan kemudian
bagian tubuh yang lain, terutama pada wajah dan tungkai proksimal. Mioklonus multifokal
biasanya menyertai ensefalopati uremikum, penisilin intravena dosis tinggi, narkosis CO2
dan ensefalopati hiperosmolar hiperglikemik. Mioklonus multifokal pada pasien koma
menandakan adanya penyakit metabolik yang berat(Sumantri, 2009).
2.6

Diagnosis
Adanya gangguan kesadaran, gangguan atensi, fluktuasi gejala dan keparahan dari

waktu ke waktu, adanya halusinasi, disorientasi atau distorsi persepsi, proses pemikiran
yang tidak terorganisir dengan baik (bicara inkoheren atau gangguan memori) seharusnya
menjadi tanda peringatan bagi dokter. Penting untuk mengetahui riwayat kesehatan pasien
sebelumnya berdasarkan data dari rumah sakit/klinik berobat pasien sebelumnya.
Pemeriksaan klinis juga akan menunjukkan lokasi kelainan neurologis ketika terdapat lesi
pada otak, namun kebanyakan kasus menunjukkan adanya gangguan pada tanda vital
(takikardia, hipotensi, hipertensi, takipnea). Pemeriksaan neurologis yang lengkap dan
sistematik juga menunjukkan penyebab spesifik terjadinya ensefalopati. Sebagai contoh,
ekstremitas basah dan pucat pada syok hipotensi, ikterik pada ensefalopati hepatikum,
nafas berbau keton pada ketoasidosis diabetikum(Varelas & Graffagrino, 2013).
Pemeriksaan laboratorium dapat membantu menunjukkan penyebab yang
mendasari terjadinya ensefalopati. Pemeriksaan tersebut antara lain pemeriksaan darah
lengkap; kadar elektrolit serum, ureum, kreatinin, kadar gula darah; evaluasi hormon
thyroid, parathyroid, dan horon adrenal lainnya; tes fungsi hepar, amilase, lipase, dan
amonia; Kadar troponin; analisa gas darah; evaluasi cairan serebrospinal; kultur cairan
tubuh (darah, urin, feses, sputum); serta toksikologi serum dan urin termasuk kadar obatobatan anti epileptik dan logam berat(Varelas & Graffagrino, 2013).
Electroencephalography (EEG) mungkin menunjukkan gelombang trifasik yang biasanya
menunjukkan ensefalopati uremikum atau hepatikum, tapi hal ini tidak spesifik.
Pemeriksaan neuroimaging dapat membantu untuk menyingkirkan kemungkinan
terjadinya lesi struktural dan pemeriksaan punksi lumbal yang biasanya mengarahkan pada
24

kemungkinan ensefalopati toxometabolik. MRI otak menunjukkan temuan spesifik pada


kondisi seperti myelinolysis pontine pusat dari koreksi segera hiponatremia, keracunan
kabon monoksida, methanol, ethylene glucol, siklosporin, atau intoksikasi
metronidazole(Varelas & Graffagrino, 2013).
2.7

Penatalaksanaan
Penanganan ensefalopati meliputi menstabilkan pasien dan cepat mengobati

kondisi yang mendasari yang menyebabkan terjadinya ensefalopati dan memberikan


perawatan suportif. Pada pasien dalam keadaan koma, maka diperlukan tindakan
emergensi umum meliputi (Bates,2003; Sumantri, 2009):
1.

Menjaga jalan napas (airway)

2.

Amankan oksigenasi

Pasien koma idealnya harus mempertahankan PaO2 lebih tinggi dari 100mmHg dan
PaCO2 antara 35 dan 40mmHg.
3.

Pertahankan sirkulasi

Pertahankan tekanan darah arterial rerata (mean arterial pressure/MAP; 1/3 sistolik + 2/3
diastolik) antara 70 dan 80mmHG dengan mempergunankan obat-obatan hipertensif dan
atau hipotensif seperlunya. Secara umum, hipertensi tidak boleh diterapi langsung kecuali
tekanan diastolik di atas 120mmHg. Pada pasien lansia dengan riwayat hipertensi kronik,
tekanan darah tidak boleh diturunkan melebihi level dasar pasien tersebut, oleh karena
hipotensi relatif dapat menyebabkan hipoksia serebral. Pada pasien muda dan sebelumnya
sehat, tekanan sistolik di atas 70 atau 80 mmHg biasanya cukup
4.

Ukur kadar glukosa

Kadar glukosa harus dipertahankan secara ketat antara 80 dan 110mg/dL, bahkan setelah
episode hipoglikemia yang diterapi dengan glukosa prinsiip kehati-hatian harus diterapkan
untuk mencegah hipoglikemia ulangan. Infus glukosa dan air (dekstrosa 5% atau 10%)
sangat disarankan untuk diberikan sampai situasi stabil.
5.

Pemberi antiamin, pada pasien stupor atau koma dengan riwayat alkoholisme
kronik dan atau malnutrisi. Pada pasien-pasien seperti di atas, loading glukosa
dapat mempresipitasikan ensefalopati Wernicke akut, oleh karena itu
disarankan untuk memberikan 50 sampai 100mg tiamin pada saat atau setelah
pemberian glukosa.
25

6.

Hentikan kejang

Kejang berulang dengan etiologi apapun dapat menyebabkan kerusakan otak dan harus
dihentikan. Kejang umum dapat diterapi dengan lorazepam (sampai 0,1mg/kg) atau
diazepam (0,1-0,3mg/kg) intravena.
7.

Perbaiki keseimbangan asam basa

Pada keadaan asidosis atau alkalosis metabolik, kadar pH biasanya akan kembali ke
keadaan normal dengan memperbaiki penyebabnya sesegera mungkin karena asidosis
metabolik dapat menekan fungsi jantung dan alkalosis metabolik dapat mengganggu
fungsi pernapasan. Asidosis respiratorik mendahului kegagalan napas, sehingga harus
menjadi peringatan kepada klinisi bahwa bantuan ventilator mekanis mungkin diperlukan.
Peningkatan kadar CO2 juga dapat menaikkan tekanan intrakranial, sehinggaharus di jaga
dalam kadar senormal mungkin. Alkalosis respiratorik dapat menyebabkan aritmia jantung
dan menghambat upaya penyapihan dari dukungan ventilator.
8.

Sesuaikan suhu tubuh

Hipertermia merupakan keadaan yang berbahaya karena meningkatkan kebutuhan


metabolisme serebral, bahkan pada tingkat yang ekstrim dapat mendenaturasi protein
selular otak. Suhu tubuh di atas 38,5C pada pasien hipertermia harus diturunkan dengan
menggunakan antipiretik dan bila diperlukan dapat digunakan pendinginan fisik (eq.
selimut pendingin). Hipotermia signifikan (di bawah 34C) dapat menyebabkan
pneumonia, aritmia jantung, kelainan elektrolit, hipovolemia, asidosis metabolik,
gangguan koagulasi, trombositopenia dan leukopenia. Pasien harus dihangatkan secara
bertahap untuk mempertahankan suhu tubuh di atas 35C.
9.

Pemberian antidotum spesifik

Banyak pasien datang ke unit gawat darurat dalam keadaan koma yang disebabkan oleh
overdosis obat-obatan. Salah satu diantara sekian banyak obat-obatan sedatif, alkohol,
opioid, penenang, opioid dan halusinogen dapat dikonsumsi tunggal atau dengan
kombinasi. Kebanyakan kasus overdosis dapat diobati hanya dengan penatalaksaan
suportif, bahkan karena banyak dari pasien ini menggunakan obat secara kombinasi
pemberian antidotum spesifik sering tidak membantu. Pemberian koktail koma (campuran
dekstrosa, tiamin, naloksonedan flumazenil) jarang sekali membantu dan dapat
membahayakan pasien. Meskipun demikian, pada saat ada kecurigaan kuat bahwa ada zat

26

spesifik yang telah dikonsumsi, maka beberapa antagonis yang secara spesifik
membalikkan efek obat-obatan penyebab koma dapat berguna

Tabel 2.2 Antidotum dan indikasi pemakaian (Sumantri, 2009)


Antidotum

Indikasi

Nalokson

Overdosis opioid

Flumazenill

Overdosis benzodiazepine

Fisostigmin

Overdosis antikolinergik (gammahidroksibutirat)

Fomepizol

Keracunan metanol, etilen glikol

Glukagon

Overdosis trisiklik

Hidroksokobalamin

Overdosis sianida

Okreotid

Hipoglikemia karena sulfonilurea

10.

Kendalikan agitasi

Obat-obatan dengan dosis sedatif harus dihindarkan sampai dapat diperoleh diagnosis yang
jelas dan pasti bahwa permasalahan yang terjadi adalah metabolik bukan struktural. Agitasi
dapat dikendalikan dengan merawat pasien di dalam ruangan bercahaya dan ditemani oleh
keluarga atau anggota staff keperawatan serta berbicara dengan nada yang menenangkan
kepada pasien. Dosis kecil lorazepam (0,5 sampai 1,0mg per oral) dapat diberikan dengan
dosis tambahan setiap 4 jam sejauh yang diperlukan dapat digunakan untuk mengendalikan
agitasi. Apabila ternyata tidak mencukupi, maka dapat diberikan haloperidol 0,5 sampai
1,0mg per oral atau intramuskular dua kali sehari, dosis tambahan setiap 4 jam dapat
diberikan sesuai dengan keperluan. Pada pasien yang telah mengkonsumsi alkohol atau
obat-obatan sedatif secara rutin, dosis yang lebih besar dapat diperlukan oleh karena
adanya toleransi silang. Penelitian terbaru menunjukkan valproat, benzodiazepine, dan
atau antipsikotik dapat meredakan agitasi pada saat obat-obatan primer telah gagal. Untuk
sedasi jangka waktu sangat pendek, seperti yang diperlukan untuk melakukan CT-scan,
maka sedasi intravena dengan menggunakan propofol atau midazolam dapat digunakan,
oleh karena obat-obatan ini mempunyai masa kerja singkat dan midazolam dapat
dibalikkan efeknya setelah prosedur selesai.
Pengekang fisik harus dihindari sebisa mungkin, namun terkadang mereka diperlukan
untuk pasien dengan agitasi yang berat. Prinsip kehati-hatian harus diterapkan untuk

27

memastikan pengekang tubuh tidak mengganggu pernapasan dan pengekang tungkai tidak
menghambat peredaran darah atau merusak persarafan perifer. Pengekang harus dilepas
sesegera setelah agitasi dapat dikendalikan.
11.

Lindungi mata

Erosi kornea dapat timbul dalam jangka waktu empat sampai enam jam bila mata pasien
koma terbuka baik secara penuh atau sebagian. Keratitis akibat paparan dapat
menyebabkan terjadinya ulserasi kornea bakterial sekunder. Pencegahan terhadap keadaan
di atas dapat diperoleh dengan meneteskan air mata buatan setiap empat jam atau dengan
menggunakan balut korneal polietilen. Memeriksareflekskorneadengankapasberulangulangjugadapatmerusakkornea, teknik yang lebih aman digunakan adalah dengan
meneteskan tetes mata saline darijarak 10-15 cm.
2.8

Prognosis
Kebanyakan ensefalopati metabolik adalah reversibel, tetapi beberapa memiliki

potensi untuk kecacatan jangka panjang. Semakin tua usia pasien dan semakin parah
ensefalopati dan kegagalan multiorgan yang dialami, maka semakin tinggi
mortalitas(Teresa & Chua, 2010).

28

DAFTAR PUSTAKA

1. Bates, D. (2003). Medical coma. 4.(Neurologic emergencies).


2. Dorland, W. N. (2010). Kamus Kedokteran Dorland (20 ed.). Jakarta: ECG.
3. Kurinczuk, J., White-Koning, M., & Badawi, N. (2010). Epidemiology of Neonatal
Encephalopathy and Hypoxic Ischemi Encephalopathy. 86, 329-338.
4. Mardjono, M., & Priguna, S. (1989). Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat.
5. Sumantri, S. (2009). Pendekatan Diagnostik dan Tatalaksana Penurunan Kesadaran.
Surabaya: Universitas Brawijaya.
6. Suspanc, V., Vargek-solter, V., & Demarin, V. (2003). Metabolic Encephalopathies.
42.
7. Teresa, P., & Chua, C. (2010). Encephalopathies. UERMMCI College of Medicine
8. Varelas, P. N., & Graffagrino, C. (2013). Metabolic encephalopathies and delirium.

29

Anda mungkin juga menyukai