ENSEFALOPATI METABOLIK
Disusun Oleh:
Tarash Burhanuddin
NIM: 030.10.265
Pembimbing:
Dr. Fitriani Nasution, Sp.S
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan pembuatan makalah presentasi kasus yang berjudul
Ensefalopati Metabolik ini.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan klinik bagian
Neurologi Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Trisakti di Rumah Sakit Umum
Pusat Fatmawati Jakarta.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para dokter
pengajar SMF Neurologi, khususnya dr. Fitriani Nasution, Sp.S, atas bimbingan dan segala
masukan di bagian neurologi ini sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini dengan
sebaik baiknya.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna sehingga penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki makalah ini serta
untuk melatih kemampuan penulis dalam menulis makalah berikutnya.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca, khususnya bagi teman sejawat yang sedang menempuh pendidikan.
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
BAB II
18
32
BAB I
2
STATUS PASIEN
Nama
Jenis Kelamin
: Perempuan
Usia
: 72 tahun
Agama
: Islam
Alamat
Suku bangsa
: Indonesia
Pekerjaan
Pendidikan terakhir
: Tidak Tamat SD
Status Menikah
: Menikah
No. RM
: 01336379
Ruangan
: 529
1.2 ANAMNESIS
Pasien datang ke IGD RSUP Fatmawati pada tanggal 05 Desember 2014 dan masuk ruang
rawat inap RSUP Fatmawati pada tanggal 08 Desember 2014. Autoanamnesis dan
alloanamnesis pada tanggal 10 Desember 2014.
a. Keluhan Utama
Tiba-tiba tidak sadar dari 2 jam SMRS
b. Riwayat Penyakit Sekarang
3
Pasien dibawa ke IGD RSUP Fatmawati dalam keadaan tidak sadar. Pasien sudah
tidak sadar dari 2 jam SMRS, sebelum tidak sadar pasien sedang beraktifitas dengan
keluarga dan sehabis makan malam. 3 hari SMRS, pasien merasakan mual dan muntah.
Muntahnya dalam waktu sehari 2x dengan isinya makanan yang di makan pasien. Pasien
sadar setelah 2 hari masuk rumah sakit dan dipindahkan ke ruang inap. Demam, kejang,
kelemahan sisi tubuh, dan rasa kesemutan disangkal oleh pasien. Tidak ada pandangan
mata kabur, penglihatan ganda, gangguan penciuman, gangguan pendengaran, dan
gangguan merasakan makanan.. Buang air besar dan buang air kecil baik.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami kejadian serupa sebelumnya. Pasien memiliki
riwayat pengapuran di lutut kanannya dari 10 tahun yang lalu. Selain itu pasien juga
pernah terkena batu ginjal 5 tahun yang lalu dan dinyatakan sembuh oleh dokternya.
Pasien tidak memiliki riwayat darah tinggi dan gula. Riwayat Jantung, Asma disangkal
oleh pasien.
: Compos mentis
Tekanan darah
Nadi
Pernapasan
Suhu
Berat badan
: 80/50 mmHg
: 84x/menit, regular, kuat, isi cukup, ekual
: 20x/menit, reguler
: 36,50C
: 67 kg
4
Tinggi badan
BMI
: 160 cm
: 26,17 kg/m2
B. Status Generalis
Kulit
Kepala
Mata
Pemeriksaan Thoraks
o Pemeriksaan jantung
Inspeksi
: Ictus cordis tidak tampak
Palpasi
: Ictus cordis teraba di ICS V2 linea midclavikula sinistra
Perkusi
: Batas kanan kanan ICS IV linea sternalis dextra, batas kiri
ICS VI 2 jari lateral linea midklavikula sinistra
Auskultasi
: S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
o Pemeriksaan Paru
Inspeksi
: Pergerakan naik-turun dada simetris kanan kiri
Palpasi
: Vocal fremitus kanan=kiri, tidak ada benjolan
Perkusi
: Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi
: Suara nafas vesikuler +/+, Ronki +/+, Wheezing -/o Columna Vertebralis
: Lurus di tengah, skoliosis (-), kifosis (-)
Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi
: Jejas (-), perut tidak buncit
Palpasi
: Nyeri tekan (-), hepar/lien tidak teraba membesar
Perkusi
: Timpani
Auskultasi
: Bising usus (+) normal
Pemeriksaan Ekstremitas
Proksimal
: akral hangat +/+, edema -/Distal
: akral hangat +/+, edema -/ Pembuluh Darah Perifer
: Capillary refiil time < 2 detik
C.Status Neurologis
1) GCS
Compos mentis, GCS: E4M6Vafasia
2) Rangsang Selaput Otak
Kanan
Kiri
Kaku Kuduk
(-)
Laseque
>70
>70
Kernig
> 135
> 135
Brudzinski I
(-)
(-)
Brudzinski II
(-)
(-)
: (-)
: (-)
Papil edema
4) Saraf-saraf Kranialis
N. I
N.II
Kiri
6
Acies Visus
Baik
Baik
Visus Campus
Normal
Normal
Melihat Warna
Normal
Normal
Funduskopi
tidak dilakukan
N. III, IV, VI
Kedudukan Bola Mata
Kanan
tidak dilakukan
Kiri
Ortoposisi
Ortoposisi
Ke Nasal
Normal
Normal
Ke Temporal
Normal
Normal
Ke Nasal Atas
Normal
Normal
Ke Nasal Bawah
Normal
Normal
Ke Temporal Atas
Normal
Normal
Ke Temporal Bawah
Normal
Normal
Eksopthalmus
(-)
(-)
Nistagmus
(-)
(-)
Pupil
Isokor
Isokor
Bentuk
Bulat, 3mm
Bulat, 3mm
(+)
(+)
(+)
(+)
Akomodasi
Normal
Normal
Konvergensi
: `
Normal
Normal
Kanan
Kiri
Normal
Normal
Opthalmik
Normal
Normal
Maxilla
Normal
Normal
Mandibularis
Normal
Normal
Kanan
Kiri
N. V
Cabang Motorik
Cabang Sensorik
N. VII
Motorik Orbitofrontal
Normal
Normal
Motorik Orbicularis
Normal
Normal
Pengecap Lidah
Normal
Normal
7
N. VIII
Kanan
Kiri
Vestibular
Romberg
: tidak dilakukan
Nistagmus
tidak dilakukan
(-)
(-)
Cochlear
Tinnitus
(-)
(-)
Rinner
(+)
(+)
Weber
Schwabach
N. IX, X
Bagian Motorik
Suara biasa/parau/tak bersuara
: normal
Kedudukan Uvula
: normal
Bagian Sensorik
Reflek Muntah (pharynx)
N. XI
: normal
Kanan
Kiri
Mengangkat bahu
Normal
Normal
Menoleh
Normal
Normal
N. XII
Kanan
Kiri
Kedudukan Lidah
Waktu istirahat
normal
Waktu gerak
normal
Atrofi
(-)
(-)
Fasikulasi/tremor
(-)
(-)
5) Sistem Motorik
Ekstremitas Atas Proksimal Distal
: 5555
5555
: 5555
5555
6) Gerakan Involunter
8
Tremor
: (-)
Chorea
: (-)
Atetose
: (-)
Mioklonik
: (-)
7) Trofik
8) Tonus
9) Sistem Sensorik
Kanan
Kiri
Proprioseptif
(+)
(+)
Eksteroseptif
(+)
(+)
: Normal
Jari-Hidung
: Normal
: (-)
Apraksia
: (-)
Afasia
: (-)
: baik
Defekasi
: baik
Sekresi Keringat
: baik
Kanan
Kiri
Kornea
(+)
(+)
Bisep
(+2)
(+2)
Trisep
(+2)
(+2)
Patella
(+2)
(+2)
Achilles
(+2)
(+2)
Kanan
Kiri
Hoffman Tromner
(-)
(-)
Babinsky
(-)
(-)
Chaddock
(-)
(-)
Gordon
(-)
(-)
Gonda
(-)
(-)
9
Schaeffer
(-)
(-)
Klonus Lutut
(-)
(-)
Klonus Tumit
(-)
(-)
: Normal
Tanda regresi
: (-)
Demensi
: (-)
Tanggal
Jam
Hasil
Nilai
Normal
5/12/2014
23
91
6/12/2014
09
121
15
168
06
92
13
105
18
144
22
131
06
141
11
98
16
209
06
180
11
100
16
120
06
140
7/12/2014
<180
09/12/2014
10/12/2014
Pemeriksaan
Hasil
Satuan
Nilai normal
10
ELEKTROLIT DARAH
Natrium
132
mmol/l
137-145
Kalium
5,30
mmol/l
36-5,0
Klorida
105
mg/dl
8,4-10,2
Calsium Ion
0,96
mmol/L
1-1,15
1.4.2 Radiologi
1. Foto Thorax
Aorta baik
Cor
Pulmo : kedua hilus tidak menebal. Tampak infiltrat di lapangan atas paru
Tulan-tulang intak
Kesan : Kardiomegali
Infiltrat di lapangan atas paru kanan, lapangan tengah paru kiri, basal
kedua paru
11
1.5 RESUME
Pasien dibawa ke IGD RSUP Fatmawati dalam keadaan tidak sadar. Pasien sudah
tidak sadar dari 2 jam SMRS, sebelum tidak sadar pasien sedang beraktifitas dengan
keluarga dan sehabis makan malam. 3 hari SMRS, pasien merasakan mual dan muntah.
Muntahnya dalam waktu sehari 2x dengan isinya makanan yang di makan pasien. Pasien
sadar setelah 2 hari masuk rumah sakit dan dipindahkan ke ruang inap.
Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum compos mentis, tampak sakit ringan
dengan tanda batas dalam batas normal. Status lokalis dalam batas normal. Status
neurologis dalam batas normal.
1.7 DIAGNOSIS
Diagnosis klinis
Diagnosis etiologis
Diagnosis kerja
1.8 TATALAKSANA
Tirah baring
Dextrose 5% 500cc/12 jam IV
Citicolin 500mg 2x1 IV
Asam Folat 1x1 tab PO
1.9 PROGNOSIS
12
Ad vitam
: ad bonam
Ad functionam
: ad bonam
Ad sanationam
: ad bonam
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi
Klasifikasi
Klasifikasi ensefalopati metabolik dapat dibagi menjadi dua kelompok
Penyakit jacob-creutzfeldt
Penyakit pick
Penyakit Alzheimer
Penyakit schilder
2.
(2). Iskemia, yang bisa berkembang karena Cerebral Blood Flow (CBF) yang
menurun akibat penurunan cardiac output seperti pada kondisi aritmia, infark jantung,
dekompensasi kordis, dan stenosis aorta. CBF menurun akibat penurunan resistensi
vaskular perifer. CBF menurun akibat resistensi vaskular yang meningkat, seperti pada
ensefalopati hipertensif, sindrom hiperventilasi, dan sindrom hiperviskositas.
(3).
b.
(1).
(2).
Sedativa, seperti barbiturat, opiat, obat anti kolinergik, ethanol, dan penenang
(2).
d.
(1).
(2).
(3).
(4).
2.3
Tabel 2.1 Etiologi Ensefalopati Metabolik (Suspanc, Vargek-solter, & Demarin, 2003)
Etiologi
Hipoksia
Iskemia
Penyakit Sitemik
Anemia
Penyakit Paru
Hipoventilasi alveolar
Aritmia
Penyakit mikrovaskular
Hipotensi
Hipertensi
Penyakit hepar
Penyait ginjal
Penyait pankratikus
Agen Toksik
Vaskulitis
Logam berat
Organofosfat, bensin
Selain itu, terdapat beberapa faktor risiko yang berhubugan dengan terjadinya ensefalopati
metabolik, antara lain(Varelas & Graffagrino, 2013):
a. Usia tua (> 70 tahun)
b. Jenis kelamin laki-laki
c. Status fungsional buruk
d. Malnutrisi
e. Penyalahgunaan zat kimia
f. Kondisi kesehatan pre-morbid atau gangguan kognitif
g. Polypharmacy termasuk pengobatan yang berefek terhadap neurootransmitter
(seperti antikolinergik atau dopaminergik)
h. Kondisi fisik terbatas
i. Gangguan penglihatan atau pendengaran
j. Riwayat delirium sebelumnya
2.4
Patofisiologi
17
Hipoksia
Neuron membutuhkan suplai oksigen dan glukosa untuk mempertahankan gradien
neurotransmitter dan ion. Tekanan oksigen tidak merata pada seluruh jaringan otak.
Tekanan tersebut lebih tinggi pada substansia grisea dibandingkan substansia alba,
demikian pula halnya dengan aliran darah dan penggunaan glukosa. Adapun efek pertama
dari efek hipoksia serebral adalah peningkatan pH intraseluler. Selanjutnya, kandungan
kalsium inraselulaer meningkat sebagai konsekuensi pelepasan kalsium dari retikulum
endoplasmik. Konsentrasi ATP mulai jatuh, dan ketika sebanyak 50-70% ATP neuronal
hilang, pompa sodium gagal sehingga saluran ion bervoltase terbuka, maka menyebabkan
penurunan konsentrasi gradient Na+, K+, Ca++, dan Cl- serta melepaskan cadangan
neurotransmitter. Kemudian air akan memasuki sel sehingga terjadi peingkatan osmolalitas
dan sel membengkak. Konsentrasi kalsium intraselular neuronal dapat meningkat hingga
empat kali lipat. Konsentrasi kalsium intraselular tersebut selanjutnya mengaktifkan lipase,
protease, dan enzim katabolik lainnya(Suspanc, Vargek-solter, & Demarin, 2003).
Perubahan tekanan oksigen memiliki efek yang cepat dan langsung pada saluran
ion membran yang sebagian terkait dengan fosforilasi. Beberapa saluran ion mengalami
down regulation untuk mengurangi saluran ion dan mengurangi kebutuhan energi selular.
Beberapa saluran ion mengalami up regulation yang menimbulkan depolarisasi dan
kematian sel. Hipoksia juga merangsang terbentuknya molekul hypoxia-inducible factor
(HIF). Pembentukan molekul ini terjadi setelah terjadi efek hipoksia terhadap saluran ion.
Molekul ini mengaktifkan transkripsi gen untuk eriropoietin, gen untuk enzim glikolitik
dan gen yang terlibat dalam angiogenesis(Teresa & Chua, 2010).
b.
kesadaran, tremor, gangguan penglihatan dan palpitasi. Adapun kondisi-kondisi yang dapat
menyebabkan terjadi hiperventilasi diantaranya koma hepatikum, lesi batang otak, dan
penyait kardiopulmoner tertentu(Teresa & Chua, 2010).
c.
rendah daripada darah dan hanya sedikit mengalami peningkatan pada hiperglikemia. Hal
ini penyaluran glukosa, laktat, maupun piruvat ke otak memerlukan transport spesifik
tertentu berupa GLUTS dan MCTs (glucose and monocarboxylic acids transporter
protein). Jumlah dari molekul transporter tersebut membatasi penetrasi glukosa ke dalam
sel. GLUT 1 terletak pada daerah sawar otak dan GLUT 3 terletak pada membran
neuronal(Suspanc, Vargek-solter, & Demarin, 2003).
Sebagaimana pada kondisi hipoksia dan iskemia, hipoglikemia juga menginduksi
terjadinya kerusakan otak. Untuk dapat mempertahankan gradien neurotransmitter dan ion,
neuron membutuhkan suplai glukosa dan oksigen secara konstan. Apabila terjadi
hipoglikemik, maka terjadilah gangguan pada gradien neurotransmitter dan ion.
Sebagaimana yang terjadi pada kondisi hipoksia, terjadi akumulasi neurotransmitter
eksitatori, yaitu aspartat (pada hipoksia adalah glutamate) yang memiliki peranan
patogenetik penting terjadinya kerusakan dan kematian neuron(Suspanc, Vargek-solter, &
Demarin, 2003).
d.
Defisiensi nutrisi/vitamin
Biasanya terjadi pada defisiensi thiamin. Defisiensi thiamin menyebabkan
perubahan pada regio brain stem terutama talamus. Perubahan patologis tersebut akan
menimbulkan nistgmus, ekstraokuler palsy, ataksia(Suspanc, Vargek-solter, & Demarin,
2003).
e.
dengan sangat ketat. Barrier permeabilitas memisahkan sistem saraf pusat dengan cairan
tubuh. Cairan ekstraselular otak mengandung lebih banyak proton dan ion magnesium,
namun lbih sedikit pottasium. Lingkungan ekstraselular otak diatur atau diprogram untuk
mengandung lebih banyak H+. Banyak saluran ion bervoltase pada sistem saraf sensitif
terhadap perubahan pH. Asidosis (penurunan pH) menghambat saluran ion bervoltase dan
saluran ion yang diaktivasi oleh glutamat. Karena channel sodium dan kalsium lebih
19
20
Hepatic encephalopathy
Kerusakan hati baik akut maupun kronik aka menginisisasi terjadinya serangkaian
keluhan neuropsikiatrik yang disebut dengan ensefalopati hepatik. Pada gagal hati akut,
perubahan morfologi pada otak didominasi oleh perubahan astrositik, terutama
pembengkakan astrositik, dan edema otak sitotoksik. Seiring dengan progresivitas edema
otak, tekanan intrakranial meningkat dan menghasilkan herniasi serebral. Pada gagal hati
kronik, kelainan mikroskopik prinsipal diantaranya aalah pembesaran dan peningkatan
jumlah astrosit protoplasmik. Sel-sel ini merupakan astrosit dengan nukleus yang
membesar, pucat, dan penyusutan pada protein asidik fibrilari glial. Sel-sel tersebut dapat
ditemukan pada korteks serebral, basal ganglia, nuklei batang otak, dan lapisan purkinje
serebelum. Hal ini juga dapat ditemukan pada ensefalopati HIV. Terdapat 2 faktor
terpenting pada patogenesis ensefalopati yakni peningkatan konsentrasi amonia pada
plasma maupun otak. Di otak, amonia akan diubah menjadi glutamine yang siklusnya
berjalan dari astrosit sampai neuron, dan selanjutnya akan diubah menjadi glutamate.
Setelah pelepasan glutamate ke celah sinaptik, reuptake terjadi pada astrosit. Penurunan
konsumsi oksigen dan metabolisme glukosa terjadi secara sekunder pada ensefalopati
hepatikum(Suspanc, Vargek-solter, & Demarin, 2003).
g.
Gagal ginjal
Dasar molekuar ensefalopati uremikum masih kompleks dan belum dimengerti
dengan baik. Sejauh ini, ensefalopati tersebut bisa muncul akibat uremia. Terjadi
akumulasi asam organik toksik pada sistem saraf pusat. Asam-asam yang memasuki otak
ini akan mengubah fungsi pompa ion sodium natrium. Aliran darah serebral juga
menunjukkan defek pada penggunaan oksigen. Defek ini mungkin muncul karena
peningkatan permeabilitas otak dan gangguan fungsi membran sehingga memungkinkan
produk-produk toksik memasuki jaringan otak(Suspanc, Vargek-solter, & Demarin, 2003).
2.5
Manifestasi Klinis
Setiap pasien dengan ensefalopati metabolik mempunyai gambaran klinis yang khas,
tergantung dari penyakit penyebabnya dan komplikasi yang disebabkan oleh keadaan
komorbid atau pengobatan. Meskipun adanya perbedaan-perbedaan individual ini,
penyakit spesifik seringkali menghasilkan pola-pola klinis yang berulang-ulang, dan jika
21
Efektivitas respirasi harus dievaluasi secara berulang-ulang pada saat penyakit metabolik
menekan otak, hal ini disebabkan karena formasio retikularis batang otak secara khusus
rentan terhadap depresi kimiawi. Anoksia, hipoglikemia dan obat-obatan dapat secara
selektif menginduksi hipoventilasi atau apnea sementara pada saat yang bersamaan tidak
mengganggu fungsi batang otak lainnya seperti respons pupil dan kendali tekanan
darah(Bates, 2003).
Pupil
Pada pasien dengan koma dalam, keadaan pupilmenjadi kriteria klinis yang paling penting
dan mampu membedakan antara kerusakan struktural dengan penyakit metabolik. Adanya
refleks cahaya pupil yang tetap terjaga, walaupun disertai dengan depresi pernapasan,
kekakuan deserebrasi atau flasiditas motorik tetap mengindikasikan ensefalopati
metabolik. Ketiadaan refleks cahaya pupil mengimplikasikan adanya penyakit struktural
dibanding metabolik(Bates, 2003).
Aktivitas motorik
Pasien dengan penyakit ensefalopati metabolik biasanya memperlihatkan dua tipe kelainan
motorik: (1) kelainan non-spesifik dari kekuatan, tonus dan refleks termasuk juga kejang
fokal dan umum; (2) gerakan tidak bertujuan khas yang hampir patognomonik untuk
penyakit ensefalopati metabolik. Kelainan motorik difus sering ditemukan pada koma
metabolik dan menggambarkan derajat serta distribusi depresi SSP(Sumantri, 2009).
Kelemahan fokal juga seringkali ditemukan pada pasien dengan penyakit ensefalopati
metabolik. Pasien dengan penyakit ensfalopati metabolik juga sering mengalami kejang
fokal atau umum yang tidak dapat dibedakan dengan kejang akibat penyakit otak
struktural. Meskipun demikian, pada saat ensefalopati metabolik menyebabkan kejang
fokal, fokusnya seringkali berpindah-pindah dari satu serangan ke serangan yang lain,
temuan ini jarang didapatkan pada lesi struktural. Kejang migratorik seperti tersebut di atas
sering ditemukan pada uremia dan sangat sulit dikendalikan(Bates, 2003).
Tremor, asteriksis dan mioklonus multifokal merupakan manifestasi terutama dari penyakit
ensefalopati metabolik; ketiga manifestasi di atas jarang ditemukan pada lesi struktural
fokal kecuali mempunyai komponen toksik atau infeksi. Tremor pada ensefalopati
metabolik biasanya kasar dan iregular dengan laju 8-10 kali per detik. Tremor biasanya
hilang saat istirahat dan paling mudah ditemukan pada jari-jemari tangan yang
terjulur(Bates, 2003).
23
Diagnosis
Adanya gangguan kesadaran, gangguan atensi, fluktuasi gejala dan keparahan dari
waktu ke waktu, adanya halusinasi, disorientasi atau distorsi persepsi, proses pemikiran
yang tidak terorganisir dengan baik (bicara inkoheren atau gangguan memori) seharusnya
menjadi tanda peringatan bagi dokter. Penting untuk mengetahui riwayat kesehatan pasien
sebelumnya berdasarkan data dari rumah sakit/klinik berobat pasien sebelumnya.
Pemeriksaan klinis juga akan menunjukkan lokasi kelainan neurologis ketika terdapat lesi
pada otak, namun kebanyakan kasus menunjukkan adanya gangguan pada tanda vital
(takikardia, hipotensi, hipertensi, takipnea). Pemeriksaan neurologis yang lengkap dan
sistematik juga menunjukkan penyebab spesifik terjadinya ensefalopati. Sebagai contoh,
ekstremitas basah dan pucat pada syok hipotensi, ikterik pada ensefalopati hepatikum,
nafas berbau keton pada ketoasidosis diabetikum(Varelas & Graffagrino, 2013).
Pemeriksaan laboratorium dapat membantu menunjukkan penyebab yang
mendasari terjadinya ensefalopati. Pemeriksaan tersebut antara lain pemeriksaan darah
lengkap; kadar elektrolit serum, ureum, kreatinin, kadar gula darah; evaluasi hormon
thyroid, parathyroid, dan horon adrenal lainnya; tes fungsi hepar, amilase, lipase, dan
amonia; Kadar troponin; analisa gas darah; evaluasi cairan serebrospinal; kultur cairan
tubuh (darah, urin, feses, sputum); serta toksikologi serum dan urin termasuk kadar obatobatan anti epileptik dan logam berat(Varelas & Graffagrino, 2013).
Electroencephalography (EEG) mungkin menunjukkan gelombang trifasik yang biasanya
menunjukkan ensefalopati uremikum atau hepatikum, tapi hal ini tidak spesifik.
Pemeriksaan neuroimaging dapat membantu untuk menyingkirkan kemungkinan
terjadinya lesi struktural dan pemeriksaan punksi lumbal yang biasanya mengarahkan pada
24
Penatalaksanaan
Penanganan ensefalopati meliputi menstabilkan pasien dan cepat mengobati
2.
Amankan oksigenasi
Pasien koma idealnya harus mempertahankan PaO2 lebih tinggi dari 100mmHg dan
PaCO2 antara 35 dan 40mmHg.
3.
Pertahankan sirkulasi
Pertahankan tekanan darah arterial rerata (mean arterial pressure/MAP; 1/3 sistolik + 2/3
diastolik) antara 70 dan 80mmHG dengan mempergunankan obat-obatan hipertensif dan
atau hipotensif seperlunya. Secara umum, hipertensi tidak boleh diterapi langsung kecuali
tekanan diastolik di atas 120mmHg. Pada pasien lansia dengan riwayat hipertensi kronik,
tekanan darah tidak boleh diturunkan melebihi level dasar pasien tersebut, oleh karena
hipotensi relatif dapat menyebabkan hipoksia serebral. Pada pasien muda dan sebelumnya
sehat, tekanan sistolik di atas 70 atau 80 mmHg biasanya cukup
4.
Kadar glukosa harus dipertahankan secara ketat antara 80 dan 110mg/dL, bahkan setelah
episode hipoglikemia yang diterapi dengan glukosa prinsiip kehati-hatian harus diterapkan
untuk mencegah hipoglikemia ulangan. Infus glukosa dan air (dekstrosa 5% atau 10%)
sangat disarankan untuk diberikan sampai situasi stabil.
5.
Pemberi antiamin, pada pasien stupor atau koma dengan riwayat alkoholisme
kronik dan atau malnutrisi. Pada pasien-pasien seperti di atas, loading glukosa
dapat mempresipitasikan ensefalopati Wernicke akut, oleh karena itu
disarankan untuk memberikan 50 sampai 100mg tiamin pada saat atau setelah
pemberian glukosa.
25
6.
Hentikan kejang
Kejang berulang dengan etiologi apapun dapat menyebabkan kerusakan otak dan harus
dihentikan. Kejang umum dapat diterapi dengan lorazepam (sampai 0,1mg/kg) atau
diazepam (0,1-0,3mg/kg) intravena.
7.
Pada keadaan asidosis atau alkalosis metabolik, kadar pH biasanya akan kembali ke
keadaan normal dengan memperbaiki penyebabnya sesegera mungkin karena asidosis
metabolik dapat menekan fungsi jantung dan alkalosis metabolik dapat mengganggu
fungsi pernapasan. Asidosis respiratorik mendahului kegagalan napas, sehingga harus
menjadi peringatan kepada klinisi bahwa bantuan ventilator mekanis mungkin diperlukan.
Peningkatan kadar CO2 juga dapat menaikkan tekanan intrakranial, sehinggaharus di jaga
dalam kadar senormal mungkin. Alkalosis respiratorik dapat menyebabkan aritmia jantung
dan menghambat upaya penyapihan dari dukungan ventilator.
8.
Banyak pasien datang ke unit gawat darurat dalam keadaan koma yang disebabkan oleh
overdosis obat-obatan. Salah satu diantara sekian banyak obat-obatan sedatif, alkohol,
opioid, penenang, opioid dan halusinogen dapat dikonsumsi tunggal atau dengan
kombinasi. Kebanyakan kasus overdosis dapat diobati hanya dengan penatalaksaan
suportif, bahkan karena banyak dari pasien ini menggunakan obat secara kombinasi
pemberian antidotum spesifik sering tidak membantu. Pemberian koktail koma (campuran
dekstrosa, tiamin, naloksonedan flumazenil) jarang sekali membantu dan dapat
membahayakan pasien. Meskipun demikian, pada saat ada kecurigaan kuat bahwa ada zat
26
spesifik yang telah dikonsumsi, maka beberapa antagonis yang secara spesifik
membalikkan efek obat-obatan penyebab koma dapat berguna
Indikasi
Nalokson
Overdosis opioid
Flumazenill
Overdosis benzodiazepine
Fisostigmin
Fomepizol
Glukagon
Overdosis trisiklik
Hidroksokobalamin
Overdosis sianida
Okreotid
10.
Kendalikan agitasi
Obat-obatan dengan dosis sedatif harus dihindarkan sampai dapat diperoleh diagnosis yang
jelas dan pasti bahwa permasalahan yang terjadi adalah metabolik bukan struktural. Agitasi
dapat dikendalikan dengan merawat pasien di dalam ruangan bercahaya dan ditemani oleh
keluarga atau anggota staff keperawatan serta berbicara dengan nada yang menenangkan
kepada pasien. Dosis kecil lorazepam (0,5 sampai 1,0mg per oral) dapat diberikan dengan
dosis tambahan setiap 4 jam sejauh yang diperlukan dapat digunakan untuk mengendalikan
agitasi. Apabila ternyata tidak mencukupi, maka dapat diberikan haloperidol 0,5 sampai
1,0mg per oral atau intramuskular dua kali sehari, dosis tambahan setiap 4 jam dapat
diberikan sesuai dengan keperluan. Pada pasien yang telah mengkonsumsi alkohol atau
obat-obatan sedatif secara rutin, dosis yang lebih besar dapat diperlukan oleh karena
adanya toleransi silang. Penelitian terbaru menunjukkan valproat, benzodiazepine, dan
atau antipsikotik dapat meredakan agitasi pada saat obat-obatan primer telah gagal. Untuk
sedasi jangka waktu sangat pendek, seperti yang diperlukan untuk melakukan CT-scan,
maka sedasi intravena dengan menggunakan propofol atau midazolam dapat digunakan,
oleh karena obat-obatan ini mempunyai masa kerja singkat dan midazolam dapat
dibalikkan efeknya setelah prosedur selesai.
Pengekang fisik harus dihindari sebisa mungkin, namun terkadang mereka diperlukan
untuk pasien dengan agitasi yang berat. Prinsip kehati-hatian harus diterapkan untuk
27
memastikan pengekang tubuh tidak mengganggu pernapasan dan pengekang tungkai tidak
menghambat peredaran darah atau merusak persarafan perifer. Pengekang harus dilepas
sesegera setelah agitasi dapat dikendalikan.
11.
Lindungi mata
Erosi kornea dapat timbul dalam jangka waktu empat sampai enam jam bila mata pasien
koma terbuka baik secara penuh atau sebagian. Keratitis akibat paparan dapat
menyebabkan terjadinya ulserasi kornea bakterial sekunder. Pencegahan terhadap keadaan
di atas dapat diperoleh dengan meneteskan air mata buatan setiap empat jam atau dengan
menggunakan balut korneal polietilen. Memeriksareflekskorneadengankapasberulangulangjugadapatmerusakkornea, teknik yang lebih aman digunakan adalah dengan
meneteskan tetes mata saline darijarak 10-15 cm.
2.8
Prognosis
Kebanyakan ensefalopati metabolik adalah reversibel, tetapi beberapa memiliki
potensi untuk kecacatan jangka panjang. Semakin tua usia pasien dan semakin parah
ensefalopati dan kegagalan multiorgan yang dialami, maka semakin tinggi
mortalitas(Teresa & Chua, 2010).
28
DAFTAR PUSTAKA
29