Adapaun yang membolehkan Periwayatan Hadis bi alMakna memberikan persyaratan khusus, yaitu :
Pertama, Para perawi harus mengetahui secara baik
kosa kata bahasa Arab sehingga ian dapat
membedakan mana lafazh yang mendukung makna
hadis yang diriwayatkan dan mana yang tidak, dan
bahkan dapat membedakan secara cermat diantar
lafazh-lafazh yang hamir sama dalalahnya.[33]
Kedua, perawi benar-benar lupa lafazh-nya dan ingat
maknanya sedang dia harus menyampaikan hukum
yang dikandungnya.[34] Ketiga, lafazh hadis itu
bukan lafazh yang bernilai ibadah seperti adzan,
iqamah, tasyahud dasn lain-lain, dan bukan pula
merupakan ajaran yang prinsipil (jawami al-Kalim)
[35]; dan Keempat, memang dimugkinkan untuk
mengganti lafazh dengan padanannya (sinonim) yang
tidak akan membawa perbedaan pengertian dari
maksud lafazh semula.[36]
Artinya: Siapa yang mendengar sebuah hadis kemudian ia meriwayatkannya seperti yang ia
dengar, maka ia telah selamat[11]
Periwayatan dengan lafaz ini dapat kita lihat pada hadis-hadis yang memiliki
redaksi sebagai berikut:
Contoh:
(Saya mendengar)
: :
) (
Artinya: Dari Mughirah ra, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya
dusta atas namaku itu tidak seperti dusta atas nama orang lain. Maka siapa berdusta atas
namaku dengan sengaja, maka hendaknya ia menempati tempat duduknya di neraka.
)(HR. Muslim dan lain-lainnya
)( ia menceritakan kepadaku
Contoh:
Artinya: Malik dari Ibnu Syihab telah bercerita kepadaku, dari Humaidi bin Abdur Rahman dari
Abi Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: Siapa yang melakukan qiyam
Ramadhan dengan iman dan ihtisab, diampuni doasa-dosanya yang telah lalu.
)(Saya melihat
Contoh:
) (
Artinya: Dari Abbas bin Rabi ra., ia berkata: Aku melihat Umar bin Khaththab ra., mencium Hajar
Aswad lalu ia berkata: Sesungguhnya benar-benar aku tahu bahwa engkau itu sebuah
batu yang tidak memberi mudharat dan tidak (pula) memberi manfaat. Seandainya aku
tidak melihat Rasulullah SAW. menciummu, aku (pun) tak akan menciummu. (HR.
Bukhari dan Muslim)
Hadis yang menggunakan lafaz-lafaz di atas memberikan indikasi, bahwa para
sahabat langsung bertemu dengan Nabi SAW dalam meriwayatkan hadis. Oleh sebab itu
para ulama menetapkan periwayatan hadis dengan lafaz dapat dijadikan hujjah, dan tidak
ada khilaf.
D. Periwayatan dengan mana (riwayat bil mana)
Meriwayatkan hadis dengan makna adalah meriwayatkan hadis berdasarkan
kesesuaian maknanya saja sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh orang yang
meriwayatkan. Dengan kata lain apa yang diucapkan oleh Rasulullah hanya dipahami
maksudnya saja, lalu disampaikan oleh para sahabat dengan lafaz atau susunan redaksi
mereka sendiri. Hal ini dikarenakan para sahabat tidak sama daya ingatannya, ada yang
kuat dan ada pula yang lemah. Di samping itu kemungkinan masanya sudah lama,
sehingga yang masih ingat hanya maksudnya sementara apa yang diucapkan Nabi sudah
tidak diingatnya lagi.
Periwayatan hadis dengan makna tidak diperbolehkan kecuali jika perawi lupa
akan lafaz tapi ingat akan makna, maka ia boleh meriwayatkan hadis dengan makna[12].
Sedangkan periwayatan hadis dengan makna menurut Luis Maluf adalah proses
penyampaian hadis-hadis Rasulullah SAW dengan mengemukakan makna atau maksud
yang dikandung oleh lafaz karena kata makna mengandung arti maksud dari sesuatu[13].
Menukil atau meriwayatkan hadis secara makna ini hanya diperbolehkan ketika
hadis-hadis belum terkodifikasi. Adapun hadis-hadis yang sudah terhimpun dan
dibukukan dalam kitab-kitab tertentu (seperti sekarang), tidak diperbolehkan merubahnya
dengan lafaz/matan yang lain meskipun maknanya tetap.
Dengan kata lain bahwa perbedaan sehubungan dengan periwayatan hadis dengan
makna itu hanya terjadi pada masa periwayatan dan sebelum masa pembukuan hadis.
Setelah hadis dibukukan dalam berbagai kitab, maka perbedaan pendapat itu telah hilang
dan periwayatan hadis harus mengikuti lafaz yang tertulis dalam kitab-kitab itu, karena
tidak perlu lagi menerima hadis dengan makna[14].
Pada umumnya para sahabat Nabi membolehkan periwayatan hadis secara makna,
seperti: Ali bin Abi Talib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Masud(wafat 32 H/652 M),
Anas bin Malik (wafat 93 H/711 M), Abu Darda (wafat 32 H/652 M), Abu Hurairah
(wafat 58 H/678 M) dan Aisyah istri Rasulullah (wafat 58 H/678 M). Para sahabat Nabi
yang melarang periwayatan hadis secara makna, seperti: Umar bin Al-khattab, Abdullah
bin Umar bin al-Khattab dan Zaid bin Arqam[15].
Terjadinya periwayatan secara lafaz disebabkan beberapa faktor berikut:
a.
Adanya hadis-hadis yang memang tidak mungkin diriwayatkan secara lafaz, karena tidak
adanya redaksi langsung dari nabi Muhammad SAW, seperti hadis filiyah, hadis
taqririyah, hadis mauquf dan hadis maqthu. Periwayatan hadis-hadis tersebut adalah
secara makna dengan menggunakan redaksi perawi sendiri.
b. Adanya larangan nabi untuk menuliskan selain Alquran. Larangan ini membuat sahabat
harus menghilangkan tulisan-tulisan hadis. Di samping larangan, ada pemberitahuan dari
nabi tentang kebolehan menulis hadis
c.
Sifat dasar manusia yang pelupa dan senang kepada kemudahan, menyampaikan sesuatu
yang dipahami lebih mudah dari pada mengingat susunan kata-katanya[16].
Adapun contoh hadis manawi adalah sebagai berikut:
,
,
( )
Artinya: Ada seorang wanita datang menghadap Nabi SAW, yang bermaksud menyerahkan dirinya
(untuk dikawin) kepada beliau. Tiba-tiba ada seorang laki-laki berkata: Ya Rasulullah,
nikahkanlah wanita tersebut kepadaku, sedangkan laki-laki tersebut tidak memiliki
sesuatu untuk dijadikan sebagai maharnya selain dia hafal sebagian ayat-ayat Alquran.
Maka Nabi SAW berkata kepada laki-laki tersebut: Aku nikahkan engkau kepada wanita
tersebut dengan mahar (mas kawin) berupa mengajarkan ayat Alquran.
Dalam satu riwayat disebutkan:
Aku kawinkan engkau kepada wanita tersebut dengan mahar berupa (mengajarkan)
ayat-ayat Alquran.
Dalam riwayat lain disebutkan:
Aku kawinkan engkau kepada wanita tersebut atas dasar mahar berupa (mengajarkan)
ayat-ayat Alquran.
Dan dalam riwayat lain disebutkan:
Aku jadikan wanita tersebut milik engkau dengan mahar berupa (mengajarkan) ayatayat Alquran. (Al-Hadis)
E. Hukum Periwayatan Hadis secara Makna
Telah terjadi perselisihan pendapat antara ulama tentang hukum periwayatan hadis
secara makna. Perselisihan itu terjadi sebelum dikodifikasinya hadis. Sedangkan setelah
pentadwinan dengan berbagai karangan-karangan buku hadis maka tidak boleh adanya
periwayatan hadis secara makna[17].
Para ulama berselisih pendapat tentang kebolehan meriwayatkan hadis secara
makna. Sebagian ahli hadis, ahli ushul dan ahli fiqh mengharuskan para perawi
meriwayatkan hadis dengan lafaznya yang didengar, tidak boleh ia meriwayatkan hadis
dengan maknanya sekali-kali.
dalam meriwayatkan hadis yang hanya dengan maknanya itu setelah meriwayatkan hadis
harus memakai kata-kata
Tidak pada lafaz yang diibadati, umpamanya tentang lafaz tasyahud dan qunut.
menyaksikan
langsung
keadaan
perbuatan
Nabi
SAW.
Namun, pendapat yang populer di kalangan ulama hadis menyatakan selain sahabat
diperkenankan meriwayatkan hadis secara makna dengan beberapa ketentuan yang harus
dipenuhi, yaitu :
1.
Memiliki pengetahuan bahasa Arab. Dengan demikian periwayatan matan hadis akan
terhindar dari kekeliruan.
2. Periwayatan dengan makna dilakukan bila sangat terpaksa misalnya karena lupa susunan
secara lafaz atau harfiah.
3. Yang diriwayatkan dengan makna bukan merupakan bentuk bacaan bacaan yang sifatnya
taabbudi, seperti zikir, doa, azan, takbir dan syahadat, serta bukan yang berbentuk
jawami al kalim.
4. Periwayat hadis secara makna atau mengalami keraguan akan susunan matan hadis yang
diriwayatkannya agar menambah kata
Kebolehan periwayatan hadis secara makna hanya terbatas pada masa sebelum
dibukukannya hadis secara resmi. Sesudah masa pembukuan (kodifikasi) hadis,
periwayatan hadis harus secara lafaz.
Para sahabat lainnya berpendapat bahwa dalam keadaan darurat karena tidak hafal
persis seperti yang di wurud-kan Rasulullah SAW, dibolehkan meriwayatkan hadis secara
maknawi. Periwayatan maknawi artinya periwayatan hadis yang matannya tidak sama
dengan yang didengarnya dari Rasulullah SAW, tetapi isi atau maknanya tetap terjaga
secara utuh sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW.
Shubhi Ismail menyebut empat syarat yang harus dipenuhi periwayatan dengan
makna adalah pertama, perawi hadis itu betul-betul seorang yang alim mengenai ilmu
nahwu, sharaf dan ilmu bahasa Arab; kedua, perawi itu harus mengenal dengan baik
segala madlul lafaz dan maksud-maksudnya; ketiga, perawi itu harus betul-betul
mengetahui hal-hal yang berbeda di antara lafaz-lafaz tersebut; dan keempat, perawi itu
harus mempunyai kemampuan menyampaikan hadis dengan penyampaian yang benar
dan jauh dari kesalahan atau kekeliruan.
Di samping empat syarat tersebut Abu Rayyah menambah satu syarat lagi, yaitu
tidak boleh penambahan atau pengurangan di dalam terjemahan (penyampaian hadis
dengan makna) terserbut. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidak boleh
meriwayatkan hadis bil mana, tetapi boleh meriwayatkan bi al-lafzh.
G. Kesimpulan
Dari kajian di atas maka dapat diperoleh poin-poin sebagai berikut :
1. Dengan ucapan dan tutur bahasa sebagaimana yang didengar dari Nabi SAW, dengan
tidak mengurangi atau menambahnya. Inilah yang kemudian dikenal dengan periwayatan
hadis secara lafdzi. Hadis yang diterima dengan cara ini ditetapkan oleh para ulama
sebagai hujjah dengan tidak ada khilaf.
2. Dengan pengertian atau maksudnya, sedangkan lafaz dan ucapan (susunan bahasa)
disusun sendiri. Hal inilah yang kemudian disebut dengan periwayatan hadis secara
makna.
3. Periwayatan hadis dengan makna diperlukan syarat-syarat tertentu yang akan memelihara
kemurnian dan keotentikan hadis.
4. Meskipun pendapat yang populer membolehkan periwayatan dengan makna,
namun
menuntut persyaratan berat bagi perawinya dan periwayatan hadis dengan lafaz lebih
diprioritaskan dan diutamakan.
5. Penulisan periwayatan hadis secara makna hanya boleh dilakukan oleh mereka yang
benar-benar memenuhi syarat. Sehingga bagi mereka yang syaratnya belum mencukupi
sebaiknya tidak usah melakukan periwayatan secara makna. Hal ini untuk menjaga
supaya hadis tetap menjadi acuan yang otentik tanpa campur tangan manusia yang mau
merubah (memalingkan) isi hadis tersebut.
6.
Harus memperhatikan pedoman dan ilmu-ilmu yang baku bagi mereka yang akan
melakukan periwayatan secara makna.
Demikianlah makalah ini penulis buat, kritik dan saran dari pembaca merupakan
sebuah keniscayaan untuk melengkapi makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khatib, Muhammad Ajaj, Ushulul Hadis: Pokok-pokok Ilmu Hadis, 2001, Jakarta: Gaya
Media Pratama
Al-Ramaharmuzi, al-Muhaddits al-Fashli Baina al-Rawi wa al-WaI, 1984. Beirut: Dar al-Fikri.
Ismail, M. Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta: Bulan Bintang
Itir, Nuruddin, Manhaj al-Naqdi fi Ulumul al Hadis, 1997, Damaskus: Dar el Fikri
Jasim, Abdul Aziz Ahmad, Hukmu Riwayat Hadis Nabawi bil Mana, Kuwait: Jamiah Kuwait
Maluf, Luwis, al-Munjid fi al-Lughah, 1973. Beirut: Dar al-Masyriq
Munawwir, A.W, Kamus Al-MunawwirArab-Indonesia Terlengkap, 1997. Surabaya: