Anda di halaman 1dari 17

Dalam studi periwayatan hadis, persolan bentuk

periwayatan juga menjadi isu yang krusial. Hal ini


karena
perdebatan
masalah
tersebut
juga
berimplikasi terhadap keautentikan suatu hadis.
Dengan demikian apakah periwayatan suatu hadis
harus dengan lafadz (teks) yang persis disampaikan
Nabi SAW ataukah cukup dengan maknanya saja,
menjadi isu penting dikalangan ulama hadis.
1.Periwayatan Hadis dengan Lafadz.
Periwayatan hadis dengan lafadz dimaksudkan adalah
periwayatan hadis dengan menggunakan lafadz
sebagaimana Rasulullah SAW tanpa ada penukaran
kata, penambahan dan pengurangan sedikitpun
walaupun hanya satu kata.
Diantara ulama yang menekankan periwayatan hadis
dengan lafaz dan menolak periwayatan hadis dengan
makna adalah Muhammad ibn Sirin, Abu Bakar alRazy dan Raja ibn Hayuh.[28] Mereka tidak
membolehkan meriwayatkan hadis kecuali dengan
lafadz dari Nabi, tidak boleh ditambah atau dikurangi.
Bahkan ada yang berpendapat bahwa seorang rawi
harus menyampaikan apa yang didengarnya dari
gurunya sekalipun gurunya itu salah atau keliru
dalam ejaannya.[29] Ibn Shalah sebagaimana dikutip
dalam Ibn Katsir menyebut mereka sebagai Madzhab
Pengikut Lafadz yang Ekstrim.[30]
2.Periwayatan Hadis dengan Makna.
Sedangkan periwayatan dengan makna yaitu
meriwayatkan hadis dengan lafadz yang disusun

perawi sendiri sesuai dengan makna yang dicakup


oleh ucapan, perbuatan dan takrir[31] ataupun sifat
nabi.[32] Dan periwayatan hadis bil al-makna yang
diperselisihkan para ulama adalah hadis qauly atau
perkataan Rosulullah yang diriwayatkan oleh para
sahabat dengan maknanya saja, tidak sebagaimana
dilafalkan oleh Nabi saw.

Adapaun yang membolehkan Periwayatan Hadis bi alMakna memberikan persyaratan khusus, yaitu :
Pertama, Para perawi harus mengetahui secara baik
kosa kata bahasa Arab sehingga ian dapat
membedakan mana lafazh yang mendukung makna
hadis yang diriwayatkan dan mana yang tidak, dan
bahkan dapat membedakan secara cermat diantar
lafazh-lafazh yang hamir sama dalalahnya.[33]
Kedua, perawi benar-benar lupa lafazh-nya dan ingat
maknanya sedang dia harus menyampaikan hukum
yang dikandungnya.[34] Ketiga, lafazh hadis itu
bukan lafazh yang bernilai ibadah seperti adzan,
iqamah, tasyahud dasn lain-lain, dan bukan pula
merupakan ajaran yang prinsipil (jawami al-Kalim)
[35]; dan Keempat, memang dimugkinkan untuk
mengganti lafazh dengan padanannya (sinonim) yang
tidak akan membawa perbedaan pengertian dari
maksud lafazh semula.[36]

Disamping pendapat diatas ulama Mutaakhirin


diantaranya Mahmud ibn Abu Rayyah yang
sebagaimana dikutip Ajaj al-Khatib dalam bukunya
Adhawa
Ala
al-Sunnah
al-Muhammadiyah,
berpendapat, bahwa; hadis-hadis Rasulullah baru
diriwayatkan oleh sebagian sahabat jauh setelah nabi
wafat. Ia mengakui bahwa bahwa periwayatan hadis
dengan makna tak dapat dihindari.[37] Menurutnya
disebabkan karena perawi tak sanggup lagi
mengungkapkan bunyi lafal yang asli sesuai dengan
ucapan Nabi.[38]
Meskipun demikian, jumhur ulama sepakat tentang
perlunya memelihara lafadz hadis dan nash-nya yang
asli seperti yang diucapkan oleh Nabi. Para ulama
juga sepakat tentang tidak bolehnya periwayatan
hadis oleh perawi yang tidak mengetahui secara
cermat akan lafadz dan dalalahnya, yang tidak dapat
mengungkapkan makna yang dikandungnya, dan
yang tak teliti terhadap perbedaan-perbedaan secara
cermat dari lafadz-lafadz mutaridifat.[39] Jadi
mereka menginginkan periwayatan hadis dengan
lafadz asli dari Nabi. Mereka hanya membolehkan
periwayatan dengan makna dengan persyaratanpersyaratan yang ketat.
E.SISTEM ISNAD DALAM PERIWAYATAN
HADIS
Menurut bahasa sanad adalah thariqah (jalan) atau
sandaran. Sedangkan menurut istilah sanad berarti
jalan yang menyampaikan kepada matan hadits.[40]

Atau dengan ungkapan lain sanad hadits sama dengan


susunan mata rantai periwayatan hadits.
Masalah sanad/ Isnad hadis menjadi perdebatan dan
persolan polemis. Dan perdebatab tersebut berputar
pada sekitar kapan pemakaian isnad/ sanad dalam
hadis. Pedebatan tersebut menjadi isu yang sangat
controversial.
Bagi
kalangan
yang
skeptis
berpandanagn bahwa pemakaian isnad dalam hadis
jauh belekangan dan merupakan buatan orang-orang
yang tidak bertanggung jawab. Dengan demikian
mereka menolak keberadaan hadis Nabi sebagai
kenyataan sejarah. Dalam konteks ini ada beberapa
teori yang menyatakan asal-mula sanad hadis

Pertama, Teori skeptis yang dikemukakan oleh


orientalis, seperti: Joseph Scacth, Juinboll, Caetani,
Sprenger dan lai-lain. Menurut Caetani, orang
pertama yang menghimpun hadits nabi adalah Urwah
(w. 94 H), meskipun ia belum menggunakan metode
sanad, dan juga tidak menyebutkan sumbersumbernya. Hal ini terlihat jelas dalam kitab Tarikh
ath-Thabari yang banyak mengambil sumber dari
Urwah. Selanjutnya, Caetani juga mengatakan bahwa
pada masa Abdul Malik (sekitar 70-80 H), yakni
enam puluh tahun lebih setelah mwninggalnya nabi,
penggunaan sanad adalam periwayatan hadits juga

belum dikenal. Dari sini Caetani berkesimpulan


bahwa pemakaian sanad baru dimulai pada antara
Urwah dan Ibn Ishaq (w. 151 H). Oleh karena itu,
sebagaian sanad-sanad yang terdapat dalam kitabkitab hadits adalah bikinan ahli-ahli hadits abad ke
dua, bahkan abad ketiga. Sprenger juga berpendapat
sama, di mana ia berkata bahwa tulisan-tulisan
Urwah yang dikirimkan kepada Abdul Malik tidak
menggunakan sanad. Oleh karena itu, pendapat yang
mengatakan bahwa Urwah pernah menggunakan
sanad adalah pendapat orang-orang belakangan.[41]
Kedua, teori yang dikemukakan olehHorovits yang
tidak sepakat dengan pendapat Caetani dan Sprengar.
Menurutnya, orang-orang yang mengatakan bahwa
Urwah tidak memakai sanad adalah karena mereka
belum mempelajarai kitab-kitab Urwah berikut
sanad-sanadnya.
Horovits
menunjuk
adanya
perbedaan dalam sistem penulisan, antara tulisan
yang menjadi jawaban atas suatu pertanyaan, dengan
tulisan yang memang sejak semula disuguhkan
kepada orang-orang yang terpelajar. Akhirnya, ia
berkesimpulan bahwa pemakaian sanad dalam
periwayatan hadits sudah dimulai sejak sepertiga
yang ketiga dari abad pertama hijri.[42]
Ketiga, teori yang dikemukanan oleh Musthafa alSibai, yang menyatakan periwayatan pada era
sahabat, dilakukan dengan tidak mempersoalkan
otentisitas dan kredibilitas as-sunnah. Dan keadaan
ini berubah dengan adanya fitnah dan tampilnya
seorang Yahudi celaka Abdullah Ibn Saba yang

melancarkan dakwah jahat yang dibangun atas dasar


paham Syiah ekstrem, yang berpandangan baghwa
Ali adalah Tuhan. Semenjak saat itu, para ulama dari
kalangan Sahabat dan tabiin membangun sifat
kehati-hatian dalam penuturan dan penerimaan
hadis. Dan kehati-hatian tersebut diformulasikan
dalam system isnad.[43] Ibn Sirin dalam penuturanya
yang dibuat oleh Imam Muslim dalam pendahuluan
Kitab Sahihnya menyatakan Para sahabat itu tidak
pernah bertanya tentang isnad (mata rantai
periwayat), setelah fitnah terjadi mereka berkata;
Sebutkan untuk kami tokoh-tokohmu.[44] Karena
pentingnya isnad hadis sampai al-Zuhri menyatakan
bahwa Isnad adalah bagian dari keagamaan kalau
tidak ada isnad maka siapapun akan dapat berkata
tentang apapun.[45]
Kempat, teori yang dikemukakan oleh M.Musthafa alAzami, yang menyatakan bahwa sebelum Islam
datang, tampaknya sudah ada suatu metode yang
mirip dengan pemakaian sanad dalam menyusun
buku, namun tidak jelas sejauh mana metode itu
diperlukan. Hal itu misalnya terdapat dalam kitab
Yahudi, Mishna. Begitu pula dalam penukilan syairsyair Jahiliah, metode sanad sudah dipakai. Namun
urgensi metode sanad ini baru tampak ketika
digunakan dalam periwayatan hadits.[46]
Ketika nabi masih hidup para sahabat sudah terbiasa
meriwayatkan hadits kepada kepada sahabat lain
yang kebetulan tidak hadir dalam majelis pengajian
nabi. Pada waktu menuturkan hal-hal yang mereka

dengar dari nabi, atau hal-hal yang mereka lihat nabi


mengerjakan
sesuatau,
mereka
selalau
menisbahkannya kepada nabi. Bahkan nabi sendiri
terkadang menyebutkan bahwa sumber sabdanyaitu
adalah Jibril as. Dan, para sahabat juga menuturkan
sumber-sumber berita yang diterimanya, baik dari
nabi maupun dari sahabat yang lain. Apabila yang
meriwayatkan hadits itu tidak melihat sendiri
kejadiannyadan tidak mendengarnya langsung dari
nabi maka dengan sendirinya ia akan menyebutkan
sumber hadits di mana ia menerima. Inilah yang
disebut pemakaian sanad. Dan, metede yang
digunakan oleh para sahabat dalam meriwayatkan
hadits itulah yang kemudian melahirkan isnad atau
metode pemakaian sanad. Tentu saja pada masa nabi
sistem isnad masih sangat sederhana, namun
menjelang akhir abad pertama hijri, ilmu tentang
isnad ini benar-benar telah berkembang.[47]
Dari penjelasan dan pemaparan keempat teori
tersebut nampak bahwa argumen yang dikemukankan
oleh M. Musthafa al-Azami lebih bisa diterima.
Karena orang-orang arab sebelum islam sudah
terbiasa dengan periwayatan syair, silisilah dan
sebagainya yang hal itu tidak berkonotasi
relegiousitas. Dengan demikian periwayatan hadis
yang merupakan symbol keagamaan penting islam,
lebih dimungkinkan untuk menjaganya dengan
memakai system isnad.

Periwayatan dengan lafaz (riwayat bil lafzi)


Meriwayatkan hadis dengan lafaz adalah meriwayatkan hadis sesuai dengan lafaz
yang mereka terima dari Nabi Muahmmad. Dengan istilah lain yaitu meriwayatkan hadis
dengan lafaz yang masih asli dari Nabi Muhammad SAW. Kebanyakan sahabat
menempuh periwayatan hadis melalui jalur ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadis
sesuai dengan redaksi dari Nabi Muhammad SAW bukan menurut redaksi mereka.
Malahan semua sahabat menginginkan agar periwayatan itu dengan lafzi bukan
maknawi[9].
Tercatat dalam sejarah, bahwa para sahabat nabi adalah orang yang sangat
berhati-hati dan ketat dalam periwayatan hadis. Mereka tidak mau meriwayatkan sebuah
hadis hingga yakin betul teks serat huruf demi huruf yang akan disampaikan itu sama
dengan yang mereka terima dari Nabi Muhammad SAW.
Sebagian sahabat ada yang jika ditanya tentang sebuah hadis merasa lebih senang
jika sahabat lain yang menjawabnya. Hal demikian agar ia terhindar dari kesalahan
periwayatan. Menurut mereka, apabila hadis yang diriwayatkan itu tidak sesuai dengan
redaksi yang diterima, mereka telah melakukan perbuatan dosa, seolah-olah telah
melakukan pendustaan terhadap nabi Muhammad SAW. Kekhawatiran tersebut karena
didorong oleh rasa keimanan mereka yang kuat kepada Nabi Muhammad SAW[10].
Dalam hal ini Umar bin Khatab pernah berkata:


Artinya: Siapa yang mendengar sebuah hadis kemudian ia meriwayatkannya seperti yang ia
dengar, maka ia telah selamat[11]
Periwayatan dengan lafaz ini dapat kita lihat pada hadis-hadis yang memiliki
redaksi sebagai berikut:

Contoh:

(Saya mendengar)

: :






) (


Artinya: Dari Mughirah ra, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya
dusta atas namaku itu tidak seperti dusta atas nama orang lain. Maka siapa berdusta atas
namaku dengan sengaja, maka hendaknya ia menempati tempat duduknya di neraka.
)(HR. Muslim dan lain-lainnya

)( ia menceritakan kepadaku



Contoh:


Artinya: Malik dari Ibnu Syihab telah bercerita kepadaku, dari Humaidi bin Abdur Rahman dari
Abi Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: Siapa yang melakukan qiyam
Ramadhan dengan iman dan ihtisab, diampuni doasa-dosanya yang telah lalu.

)(Ia memberitakan kepadaku

)(Saya melihat

Contoh:









) (

Artinya: Dari Abbas bin Rabi ra., ia berkata: Aku melihat Umar bin Khaththab ra., mencium Hajar
Aswad lalu ia berkata: Sesungguhnya benar-benar aku tahu bahwa engkau itu sebuah
batu yang tidak memberi mudharat dan tidak (pula) memberi manfaat. Seandainya aku
tidak melihat Rasulullah SAW. menciummu, aku (pun) tak akan menciummu. (HR.
Bukhari dan Muslim)
Hadis yang menggunakan lafaz-lafaz di atas memberikan indikasi, bahwa para
sahabat langsung bertemu dengan Nabi SAW dalam meriwayatkan hadis. Oleh sebab itu
para ulama menetapkan periwayatan hadis dengan lafaz dapat dijadikan hujjah, dan tidak
ada khilaf.
D. Periwayatan dengan mana (riwayat bil mana)
Meriwayatkan hadis dengan makna adalah meriwayatkan hadis berdasarkan
kesesuaian maknanya saja sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh orang yang
meriwayatkan. Dengan kata lain apa yang diucapkan oleh Rasulullah hanya dipahami
maksudnya saja, lalu disampaikan oleh para sahabat dengan lafaz atau susunan redaksi
mereka sendiri. Hal ini dikarenakan para sahabat tidak sama daya ingatannya, ada yang
kuat dan ada pula yang lemah. Di samping itu kemungkinan masanya sudah lama,
sehingga yang masih ingat hanya maksudnya sementara apa yang diucapkan Nabi sudah
tidak diingatnya lagi.
Periwayatan hadis dengan makna tidak diperbolehkan kecuali jika perawi lupa
akan lafaz tapi ingat akan makna, maka ia boleh meriwayatkan hadis dengan makna[12].
Sedangkan periwayatan hadis dengan makna menurut Luis Maluf adalah proses
penyampaian hadis-hadis Rasulullah SAW dengan mengemukakan makna atau maksud
yang dikandung oleh lafaz karena kata makna mengandung arti maksud dari sesuatu[13].
Menukil atau meriwayatkan hadis secara makna ini hanya diperbolehkan ketika
hadis-hadis belum terkodifikasi. Adapun hadis-hadis yang sudah terhimpun dan
dibukukan dalam kitab-kitab tertentu (seperti sekarang), tidak diperbolehkan merubahnya
dengan lafaz/matan yang lain meskipun maknanya tetap.

Dengan kata lain bahwa perbedaan sehubungan dengan periwayatan hadis dengan
makna itu hanya terjadi pada masa periwayatan dan sebelum masa pembukuan hadis.
Setelah hadis dibukukan dalam berbagai kitab, maka perbedaan pendapat itu telah hilang
dan periwayatan hadis harus mengikuti lafaz yang tertulis dalam kitab-kitab itu, karena
tidak perlu lagi menerima hadis dengan makna[14].
Pada umumnya para sahabat Nabi membolehkan periwayatan hadis secara makna,
seperti: Ali bin Abi Talib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Masud(wafat 32 H/652 M),
Anas bin Malik (wafat 93 H/711 M), Abu Darda (wafat 32 H/652 M), Abu Hurairah
(wafat 58 H/678 M) dan Aisyah istri Rasulullah (wafat 58 H/678 M). Para sahabat Nabi
yang melarang periwayatan hadis secara makna, seperti: Umar bin Al-khattab, Abdullah
bin Umar bin al-Khattab dan Zaid bin Arqam[15].
Terjadinya periwayatan secara lafaz disebabkan beberapa faktor berikut:
a.

Adanya hadis-hadis yang memang tidak mungkin diriwayatkan secara lafaz, karena tidak
adanya redaksi langsung dari nabi Muhammad SAW, seperti hadis filiyah, hadis
taqririyah, hadis mauquf dan hadis maqthu. Periwayatan hadis-hadis tersebut adalah
secara makna dengan menggunakan redaksi perawi sendiri.

b. Adanya larangan nabi untuk menuliskan selain Alquran. Larangan ini membuat sahabat
harus menghilangkan tulisan-tulisan hadis. Di samping larangan, ada pemberitahuan dari
nabi tentang kebolehan menulis hadis
c.

Sifat dasar manusia yang pelupa dan senang kepada kemudahan, menyampaikan sesuatu
yang dipahami lebih mudah dari pada mengingat susunan kata-katanya[16].
Adapun contoh hadis manawi adalah sebagai berikut:



,

,




( )

Artinya: Ada seorang wanita datang menghadap Nabi SAW, yang bermaksud menyerahkan dirinya
(untuk dikawin) kepada beliau. Tiba-tiba ada seorang laki-laki berkata: Ya Rasulullah,
nikahkanlah wanita tersebut kepadaku, sedangkan laki-laki tersebut tidak memiliki
sesuatu untuk dijadikan sebagai maharnya selain dia hafal sebagian ayat-ayat Alquran.
Maka Nabi SAW berkata kepada laki-laki tersebut: Aku nikahkan engkau kepada wanita
tersebut dengan mahar (mas kawin) berupa mengajarkan ayat Alquran.
Dalam satu riwayat disebutkan:
Aku kawinkan engkau kepada wanita tersebut dengan mahar berupa (mengajarkan)
ayat-ayat Alquran.
Dalam riwayat lain disebutkan:
Aku kawinkan engkau kepada wanita tersebut atas dasar mahar berupa (mengajarkan)
ayat-ayat Alquran.
Dan dalam riwayat lain disebutkan:
Aku jadikan wanita tersebut milik engkau dengan mahar berupa (mengajarkan) ayatayat Alquran. (Al-Hadis)
E. Hukum Periwayatan Hadis secara Makna
Telah terjadi perselisihan pendapat antara ulama tentang hukum periwayatan hadis
secara makna. Perselisihan itu terjadi sebelum dikodifikasinya hadis. Sedangkan setelah
pentadwinan dengan berbagai karangan-karangan buku hadis maka tidak boleh adanya
periwayatan hadis secara makna[17].
Para ulama berselisih pendapat tentang kebolehan meriwayatkan hadis secara
makna. Sebagian ahli hadis, ahli ushul dan ahli fiqh mengharuskan para perawi
meriwayatkan hadis dengan lafaznya yang didengar, tidak boleh ia meriwayatkan hadis
dengan maknanya sekali-kali.

Sedangkan jumhur ulama, yaitu imam yang empat memperbolehkan periwayatan


hadis secara makna bagi yang mempunyai ilmu terhadap lafaz-lafaz hadis dengan catatan
bukan hadis yang berhubungan dengan ibadah dan bukan perkataan Rasulullah[18].
Ulama-ulama lain berpendapat membolehkan seseorang mendatangkan atau
meriwayatkan hadis dengan pengertiannya tidak dengan lafaz aslinya. Apabila ia seorang
yang menguasai ilmu Bahasa Arab, mengetahui sistem penyampaiannya, berpandangan
luas tentang fiqh, dan kemungkinannya lafaz-lafaz yang mempunyai beberapa pengertian
sehingga akan terjaga dari pemahaman yang berlainan dan hilangnya kandungan hukum
dari hadis tersebut dan wajib menyampaikan dengan lafaz yang ia dengar dari gurunya.
Imam Syafii menerangkan tentang sifat-sifat perawi bahwa hendaknya orang
yang menyampaikan hadis itu seorang yang kepercayaan tentang agamanya lagi terkenal
bersifat benar dalam pembicaraannya, memahami apa yang diriwayatkan, mengetahui
hal-hal yang memalingkan makna dari lafaz dan hendaklah dia dari orang yang
menyampaikan hadis persis sebagaimana yang didengar, bukan diriwayatkan dengan
makna.
Apabila diriwayatkan dengan makna sedang dia seorang yang tidak mengetahui
hal-hal yang memalingkan makna niscaya tidaklah dapat kita mengetahui boleh jadi ia
memalingkan yang halal kepada yang haram. Tetapi apabila ia menyampaikan hadis
secara yang didengarnya, tidak lagi kita khawatir bahwa dia memalingkan hadis kepada
yang bukan maknanya. Dan hendaklah ia benar-benar memelihara kitabnya jika dia
meriwayatan dengan hadis itu dari kitabnya.
Dari penjelasan ini nyatalah bahwa orang yang mengetahui hal-hal yang
memalingkan makna dari lafaz, boleh meriwayatkan dengan makna apabila dia tidak
ingat lagi lafaz yang asli, karena dia telah menerima hadis, lafaz dan maknanya.
Imam Mawardi mewajibkan menyampaikan hadis dengan maknanya apabila lupa
lafaznya, khawatir apabila hadis itu tidak disampaikan, kita termasuk golongan yang
menyembunyikan hadis.
Ada pendapat lain yang membolehkan meriwayatkan hadis dengan maknanya saja
dengan syarat bahwa hadis itu bukan yang diibadati dan ini hanya terjadi pada periode
sahabat dan tabiin, dan dibolehkan hanya bagi ahli-ahli ilmu saja. Menjaga kehati-hatian

dalam meriwayatkan hadis yang hanya dengan maknanya itu setelah meriwayatkan hadis
harus memakai kata-kata

dan serta yang serupa dengannya.

Secara lebih terperinci dapat dikatakan bahwa meriwayatkan hadis dengan


maknanya itu sebagai berikut:
1. Tidak diperbolehkan, pendapat segolongan ahli hadis, ahli fiqh dan ushuliyyin.
2. Diperbolehkan, dengan syarat yang diriwayatkan itu bukan hadis marfu.
3. Diperbolehkan, baik hadis itu marfu atau bukan asal diyakini bahwa hadis itu tidak
menyalahi lafaz yang didengar, dalam arti pengertian dan maksud hads itu dapat
mencakup dan tidak menyalahi.
4. Diperbolehkan, bagi para perawi yang tidak ingat lagi lafaz asli yang ia dengar, kalau
masih ingat maka tidak diperbolehkan menggantinya.
5. Ada pendapat yang mengatakan bahwa hadis itu yang terpenting adalah isi, maksud
kandungan dan pengertiannya, masalah lafaz tidak jadi persoalan. Jadi diperbolehkan
mengganti lafaz dengan murodif-nya.
6. Jika hadis itu tidak mengenai masalah ibadah atau yang diibadati, umpamanya hadis
mengenai ilmu dan sebagainya, maka diperbolehkan dengan catatan:
a.

Hanya pada periode sahabat

b. Bukan hadis yang sudah didewankan atau di bukukan


c.

Tidak pada lafaz yang diibadati, umpamanya tentang lafaz tasyahud dan qunut.

F. Syaratsyarat Periwayatan Secara Makna


Keabsahan periwayatan hadis bil secara mkna memunculkan kontroversi di
kalangan ulama. Abu Bakar ibn al Arabi (w. 573 H/1148) berpendapat bahwa selain
sahabat Rasulullah SAW tidak diperkenankan meriwayatkan hadis secara makna.
Lebih jauh, Abu Bakar mengemukakan alasan yang mendukung pendapatnya
tersebut. Pertama, sahabat memiliki pengetahuan bahasa Arab yang tinggi dan kedua,
sahabat

menyaksikan

langsung

keadaan

perbuatan

Nabi

SAW.

Namun, pendapat yang populer di kalangan ulama hadis menyatakan selain sahabat
diperkenankan meriwayatkan hadis secara makna dengan beberapa ketentuan yang harus
dipenuhi, yaitu :

1.

Memiliki pengetahuan bahasa Arab. Dengan demikian periwayatan matan hadis akan
terhindar dari kekeliruan.

2. Periwayatan dengan makna dilakukan bila sangat terpaksa misalnya karena lupa susunan
secara lafaz atau harfiah.
3. Yang diriwayatkan dengan makna bukan merupakan bentuk bacaan bacaan yang sifatnya
taabbudi, seperti zikir, doa, azan, takbir dan syahadat, serta bukan yang berbentuk
jawami al kalim.
4. Periwayat hadis secara makna atau mengalami keraguan akan susunan matan hadis yang
diriwayatkannya agar menambah kata

atau atau yang semakna

dengannya setelah menyatakan matan hadis yang bersangkutan.


5.

Kebolehan periwayatan hadis secara makna hanya terbatas pada masa sebelum
dibukukannya hadis secara resmi. Sesudah masa pembukuan (kodifikasi) hadis,
periwayatan hadis harus secara lafaz.
Para sahabat lainnya berpendapat bahwa dalam keadaan darurat karena tidak hafal
persis seperti yang di wurud-kan Rasulullah SAW, dibolehkan meriwayatkan hadis secara
maknawi. Periwayatan maknawi artinya periwayatan hadis yang matannya tidak sama
dengan yang didengarnya dari Rasulullah SAW, tetapi isi atau maknanya tetap terjaga
secara utuh sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW.
Shubhi Ismail menyebut empat syarat yang harus dipenuhi periwayatan dengan
makna adalah pertama, perawi hadis itu betul-betul seorang yang alim mengenai ilmu
nahwu, sharaf dan ilmu bahasa Arab; kedua, perawi itu harus mengenal dengan baik
segala madlul lafaz dan maksud-maksudnya; ketiga, perawi itu harus betul-betul
mengetahui hal-hal yang berbeda di antara lafaz-lafaz tersebut; dan keempat, perawi itu
harus mempunyai kemampuan menyampaikan hadis dengan penyampaian yang benar
dan jauh dari kesalahan atau kekeliruan.
Di samping empat syarat tersebut Abu Rayyah menambah satu syarat lagi, yaitu
tidak boleh penambahan atau pengurangan di dalam terjemahan (penyampaian hadis
dengan makna) terserbut. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidak boleh
meriwayatkan hadis bil mana, tetapi boleh meriwayatkan bi al-lafzh.

G. Kesimpulan
Dari kajian di atas maka dapat diperoleh poin-poin sebagai berikut :
1. Dengan ucapan dan tutur bahasa sebagaimana yang didengar dari Nabi SAW, dengan
tidak mengurangi atau menambahnya. Inilah yang kemudian dikenal dengan periwayatan
hadis secara lafdzi. Hadis yang diterima dengan cara ini ditetapkan oleh para ulama
sebagai hujjah dengan tidak ada khilaf.
2. Dengan pengertian atau maksudnya, sedangkan lafaz dan ucapan (susunan bahasa)
disusun sendiri. Hal inilah yang kemudian disebut dengan periwayatan hadis secara
makna.
3. Periwayatan hadis dengan makna diperlukan syarat-syarat tertentu yang akan memelihara
kemurnian dan keotentikan hadis.
4. Meskipun pendapat yang populer membolehkan periwayatan dengan makna,

namun

menuntut persyaratan berat bagi perawinya dan periwayatan hadis dengan lafaz lebih
diprioritaskan dan diutamakan.
5. Penulisan periwayatan hadis secara makna hanya boleh dilakukan oleh mereka yang
benar-benar memenuhi syarat. Sehingga bagi mereka yang syaratnya belum mencukupi
sebaiknya tidak usah melakukan periwayatan secara makna. Hal ini untuk menjaga
supaya hadis tetap menjadi acuan yang otentik tanpa campur tangan manusia yang mau
merubah (memalingkan) isi hadis tersebut.
6.

Harus memperhatikan pedoman dan ilmu-ilmu yang baku bagi mereka yang akan
melakukan periwayatan secara makna.
Demikianlah makalah ini penulis buat, kritik dan saran dari pembaca merupakan
sebuah keniscayaan untuk melengkapi makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Khatib, Muhammad Ajaj, Ushulul Hadis: Pokok-pokok Ilmu Hadis, 2001, Jakarta: Gaya
Media Pratama
Al-Ramaharmuzi, al-Muhaddits al-Fashli Baina al-Rawi wa al-WaI, 1984. Beirut: Dar al-Fikri.
Ismail, M. Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta: Bulan Bintang
Itir, Nuruddin, Manhaj al-Naqdi fi Ulumul al Hadis, 1997, Damaskus: Dar el Fikri
Jasim, Abdul Aziz Ahmad, Hukmu Riwayat Hadis Nabawi bil Mana, Kuwait: Jamiah Kuwait
Maluf, Luwis, al-Munjid fi al-Lughah, 1973. Beirut: Dar al-Masyriq
Munawwir, A.W, Kamus Al-MunawwirArab-Indonesia Terlengkap, 1997. Surabaya:

Anda mungkin juga menyukai