Tsunami
Pengertian Tsunami berasal dari bahasa Jepang yang artinya Tsu berati pelabuhan dan
nami berarti gelombang. Kata ini secara mendunia sudah diterima dan secara harfiah yang
berarti gelombang tinggi/besar yang menghantam pantai/pesisir. Tsunami sendiri terjadi
akibat gempa tektonik yang besar dilaut ( lebih besar dari 7.5 skala Richter dan kedalaman
episentrum lebih kecil dari 70 km) yang mengakibatkan terjadinya patahan/rekahan vertikal
memanjang (kasus Aceh patahan mencapai ribuan kilometer) sehingga air laut terhisap masuk
dalam patahan dan kemudian secara hukum fisika air laut tadi terlempar kembali setelah
patahan tadi mencapai keseimbangan. Kecepatan air/gelombang yang sangat cepat terjadi.
Pada kasus Tsunami di Aceh kecepatannya dapat mencapai ratusan kilometer per jam nya.
Antara terjadinya gempa dan Tsunami ada jeda waktu yang dapat digunakan untuk
memberikan peringatan dini pada masyarakat. Pengalaman di Aceh menunjukkan peringatan
dini belum berjalan. Secara diagramatis terlihat pada Gambar 2 proses terjadinya Tsunami
*Gempa mengakibatkan pergerakan vertikal dari dasar laut yang memindahkan air laut
kecepatan dari Tsunami. Korban jiwa tetap tidak terhindarkan. Dinding semacam ini dapat
digunakan di Aceh atau daerah lainnya (Pangandaran) yang rawan Tsunami, namun
efektivitas dinding penahan tersebut perlu dilakukan penelitian. Pembuatan model dengan
alat centrifuge dan melakukan uji di laboratorium dapat mensimulasikan tinggi gelombang
yang dikehendaki.
Mitigasi harus memperhatikan semua tindakan yang diambil untuk mengurangi
pengaruh dari bencana dan kondisi yang peka dalam rangka untuk mengurangi bencana yang
lebih besar dikemudian hari. Karena itu seluruh aktivitas mitigasi difokuskan pada bencana
itu sendiri atau bagian/elemen dari ancaman.
Beberapa hal untuk rencana mitigasi (mitigation plan) pada masa depan dapat
dilakukan sebagai berikut:
1. Perencanaan lokasi (land management) dan pengaturan penempatan penduduk.
2. Memperkuat bangunan dan infrastruktur serta memperbaiki peraturan (code) disain
yang sesuai.
3. Melakukan usaha preventif dengan merealokasi aktiftas yang tinggi kedaerah yang
lebih aman dengan mengembangkan mikrozonasi.
4. Melindungi dari kerusakan dengan melakukan upaya perbaikan lingkungan dengan
maksud menyerap energi dari gelombang Tsunami (misalnya dengan melakukan
penanaman mangrove sepanjang pantai).
5. Mensosialisasikan dan melakukan training yang intensif bagi penduduk didaerah area
yang rawan Tsunami.
6. Membuat early warning sistem sepanjang daerah pantai/perkotaan yang rawan
Tsunami
Pada Gambar 6 disampaikan diagram dari mitigation planing proses (case study dari
Regional all hazard mitigation Master Plan for Benton, Lane and Liin county, USA ) berupa 7
langkah yang perlu diantisipasi. Dimulai dari asesmen resiko bencana sampai dengan
penyediaan dana untuk pembangunannya. Mitigasi pada langkah keempat dihentikan jika risk
atau toleransi dapat diterima. Jika tidak rencana dilanjutkan sampai langkah ketujuh yang
merupakan prioritas dari mitigasi proyek yang diperlukan yaitu menyediakan pendanaan
untuk mewujudkan.
Perkembangan terbaru untuk meramalkan terjadinya gempa adalah dengan adanya awan
diatas daerah terjadinya gempa. Menurut Sarmoko (peneliti di LAPAN) awan misterius
tersebut tercipta akibat pergumulan uap air panas yang muncul dari rekahan permukaan bumi
dengan udara dingin di angkasa. Uap air panas yang bertekanan tinggi melesak dari tanah
sebagai dampak aktivitas seismik tingkat tinggi diperut bumi Memang hasilnya baru sekitar
60% kecocokannya dengan gempa yang terjadi. Sebagai contoh ketika terjadi gempa di Kobe
pada tahun 1995 terjadi awan berbentuk seperti angin tornado terlihat dikota Kobe sebelum
gempa terjadi. Meski terbukti kebenarannya para peneliti belum menggunakan prediksi
gempa lewat awan yang terjadi untuk konsumsi publik. Gempa dapat terjadi 4-5 hari setelah
penampakan awan gempa bisa juga terjadi setelah 130 hari kemudian melihat pengalaman
yang terjadi di Jepang, AS dan China. Pemantauan satelit awan gempa merupakan terobosan
besar untuk mitigasi bencana gempa. Penelitian lanjutan masih terus dikembangkan dengan
megklarifikasi lewat satelit.
Peranan Engineer Teknik Sipil dalam mitigasi gempa dan Tsunami
Ahli Teknik Sipil dapat berperan dalam menganalisa bangunan infrastruktur yang telah ada
maupun yang akan dibangun dengan lebih memperhatikan masalah-masalah yang berkaitan
dengan gempa dan Tsunami, terutama pada area yang secara jelas berpotensi terjadi gempa
tektonik. Peranan ahli geotenik dan struktur dapat lebih di daya gunakan agar dapat
mensimulasikan pengaruh gempa dan Tsunami yang mungkin terjadi pada bangunan
infrastruktur. Melakukan modelliing adalah salah satu upaya yang banyak dilakukan.
Beberapa uraian pada makalah ini mencoba memberikan gambaran yang bisa segera
dilakukan oleh para ahli teknik Sipil untuk dapat berperan aktif dalam mitigasi gempa dan
Tsunami.
Kerusakan pada Fondasi Dangkal akibat gempa
Fondasi dangkal secara luas banyak digunakan didaerah-gempa untuk struktur skala kecil
sampai skala menengah. Daya dukung fondasi dangkal berkurang pada waktu terjadinya
momen akibat gaya horizontal ketika terjadi gempa. Mekanisme kegagalan yang terjadi dapat
dimodelkan dengan dengan teknik Particle Image Velocimetry (PIV), yang banyak digunakan
pada mekanika fluida untuk mengukur defleksi. Gambar 7 menunjukkan mekanisme
keruntuhan menurut Prandtl.
Pada Gambar 8 terlihat pengaturan model uji pondasi strip diatas lapisan pasir dengan
menggunakan shaking table (Knappet et,all.,2004). Shaking table bekerja berdasarkan
momentum sudut penyimpanan (storing angular momentum) dari motor roda penggerak,
kemudian dikonversikan menjadi gerakan horizontal melalui sebuah motor dengan
memberikan gerakan sinusoidal input pada frekwensi tunggal.
Gambar 9 memperlihatkan displacement dibawah pondasi pada siklus yang pertama sampai
dengan keempat. Hasil tes menunjukkan perilaku dinamis dari fondasi bervariasi diantara
seperempat siklus dari input gerakan sinusoidal. Gambar 9a memperlihatkan mekanisme
keruntuhan yang asimetrik terjadi pada bagian sebelah kiri dari fondasi dan struktur berputar
dengan titik putar pada garis pusat (centerline). Terlihat juga hanya sedikit terjadi pergerakan
kesisi sebelah kanan dari region yang runtuh sehingga terjadi uplift. Gaya gempa yang
diteruskan oleh shaking table mulai dari titik displacement maksimum dan juga maksimum
akselerasi. Oleh karena itu selama seperempat siklus yang pertama akselerasi yang diterima
struktur berkurang dari titik puncak ketika gempa terjadi. Besaran gaya inersia pada awalnya
besar dan menimbulkan momen yang besar pada fondasi dan menyebabkan tanah runtuh
seperti pada Gambar 7. Perilaku yang sama terlihat pada Gambar 9c, selama tigaperempat
siklus juga diawali dengan akselerasi maksimum dan pada kasus ini terjadi perpindahan arah
akselarasi juga didapati displacement lebih besar. Selama siklus kedua dan keempat fondasi
berputar pada satu sudut memobilisasi wedge dari tanah dibawah fondasi. Keruntuhan yang
terjadi sama dengan keruntuhan seperti pada Gambar 7 dimana besaran momen tidak
diperhitungkan.
Pada Gambar 10 dapat dilihat mekanisme keruntuhan kritis dari berbagai magnitude gempa.
Terlihat pada Gambar 10 dengan meningkatnya kh akan meningkatkan average total
settlement. Pada akhirnya memang dapat disimpulkan bahwa bearing capacity dari pondasi
dangkal berkurang ketika fondasi menerima momen putar dan gaya horisontal ketika
terjadinya gempa.
Dari hasil percobaan yang dilakukan dapat dilihat jika titik pusat masa berada di atas fondasi
pengaruh dari momen amat signifikan karena mengurangi daya dukung fondasi akibat uplift.
Mekanisme kegagalan berubah setiap siklus gempa, dengan titik putar bergerak dari ujung
fondasi mengikuti titik percepatan maksimum.
Physical modelling
Physical modelling dapat digunakan untuk menguji secara komprehensif struktur bangunan
untuk mengurangi kerusakan yang diakibatkan oleh gempa bumi maupun Tsunami. Di Jepang
gempa bumi merupakan bencana alam yang menjadi prioritas tinggi untuk penanggulangan
maupun mencegah efek yang lebih luas jika terjadi gempa. Shaking tables tests yang
dilakukan dengan 1-g seringkali digunakan untuk mengevaluasi struktur dan respon elemen
geoteknik akibat gempa bumi yang masif. Iai (2001) dari Port and Airport Research Institute
(PARI) mengilustrasikan penggunaan shaking table yang besar untuk menguji respon
dinamik dari wharf front structure (struktur depan dermaga) dari berbagai tingkat gerakan
dari gempa bumi. Dia memperlihatkan pentingnya menggunakan hukum skala yang benar
pada model untuk mendapatkan tes data yang akurat dari panjang, waktu, akselerasi,
perpindahan, tegangan/tekanan dan regangan serta ekses tegangan pori. Akselerasi pada
permukaan tanah (AV9) dan dibawah struktur (W2) dapat diobservasi sehingga dapat
diketahui secara tepat kondisi dari struktur pada saat uji shaking
Observasi tipikal mengenai struktur dermaga terhadap gempa bumi diilustrasikan pada
Gambar 12. Hasilnya menunjukkan uji dengan menggunakan shaking table yang besar
memberikan pengertian yang lebih baik dari perilaku struktur dermaga akibat beban gempa
sehingga engineer dapat mendisain dengan lebih baik dan aman struktur dermaga.
TSUNAMI ACEH 26 DESEMBER 2004
Bencana gempa bumi dan gelombang tsunami di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)
tanggal 26 Desember 2004, disusul bencana gempa bumi di wilayah Kepulauan Nias tanggal 28 Maret
2005, mengakibatkan lebih dari seratus ribu orang meninggal dan lebih dari delapan ratus ribu jiwa
mengungsi dari daerah tersebut. Kerusakan hebat terjadi pada infrastruktur dan perumahan sehingga
aktifitas masyarakat dan penduduk setempat mengalami kelumpuhan dalam berbagai bidang
kehidupan.
Hal yang dapat dilakukan bangsa indonesia dalam menghadapi bahaya tsunami
Penanaman bakau adalah upaya konservasi pantai yang sangat dianjurkan, namun tidak tepat
bila dimaksudkan untuk tsunami.