Anda di halaman 1dari 8

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1

Pengukuran Kecepatan Fluida dengan Tabung Pitot

Gambar 4.1 Grafik Kecepatan Lokal (u) vs Ketinggian Bed (z)


Gambar 4.1 adalah grafik kecepatan lokal (u) vs ketinggian bed (z) yang
menunjukkan hubungan antara kecepatan lokal (u) dengan tinggi bed (z). Pada laju
alir 16 L/menit dengan ketinggian bed (z) 7, 10, 18, 22, 29, 35, 43 dan 49 mm
diperoleh kecepatan lokal (u) masing-masing sebesar 0,700; 0,754; 0,779; 0,727;
0,767; 0,741; 0,754 dan 0,779 m/s. Pada laju alir 23 L/menit dengan ketinggian bed
(z) 7, 10, 18, 22, 29, 35, 43 dan 49 mm kecepatan lokal masing-masing sebesar
0,918; 0,852; 0,896; 0,907; 0,918; 0,907; 0,885 dan 0,874 m/s. Pada laju alir 33
L/menit dengan ketinggian bed (z) 7, 10, 18, 22, 29, 35, 43 dan 49 mm kecepatan
lokalnya masing-masing sebesar 1,084; 1,066; 1,048; 1,038; 1,010; 0,970; 1,038 dan
1,010 m/s. Pada laju alir 40 L/menit dengan ketinggian bed (z) 7, 10, 18, 22, 29, 35,
43 dan 49 mm kecepatan lokalnya masing-masing sebesar 1,188; 1,212; 1,196;
1,252; 1,171; 1,146; 1,163 dan 1,171 m/s. Dari grafik diatas terlihat bahwa grafik
membentuk fluktuasi pada setiap debit aliran dimana semakin bertambahnya
ketinggian bed (z), kecepatan lokal (u) juga bertambah atau berkurang
Tabung pitot (pitot tube) adalah alat ukur kecepatan fluida yang berupa pipa
yang berbentuk L. Aliran yang masuk kemulut tabung L menghasilkan tekanan yang
disebut ps (tekanan parsial), tekanan ini terhubung ke selang pembacan. Beda tekanan

h antara tekanan air dengan tekanan udara adalah dengan mengurangi ketinggia h 1
dan h2 pada pembacaan tabung pitot (Jamiah, 2013).
Momentum didefinisikan sebagai perkalian massa dengan kecepatan. Massa
didefinisikan sebagai jumlah zat cair yang melalui penampung tertentu tiap satuan
waktu atau aliran massa. Arus zat cair yang mempunyai luas penampang A dan
kecepatan U (Umar, 2012)
Dengan hal tersebut, didapat persamaan umum terhadap debit aliran fluida
sebagai berikut:
Q = V.A

(Sangkertadi, 2001)

Dimana:
Q = Debit aliran (m3/s)
V = kecepatan aliran (m/s)
A = luas penampang (m2)
Dari persamaan diatas dimana debit aliran (Q) sebanding dengan kecepatan
aliran (V) dan luas penampang (A). Luas penampang sangat dipengaruhi oleh
ketinggian bed (z). Apabila ketinggian bed (z) semakin tinggi maka luas penampang
akan semakin kecil sehingga kecepatan aliran (V) akan semakin meningkat. Nilai
kecepatan rata-rata (v) berbanding terbalik dengan luas penampang (A).
Dari hasil percobaan diperoleh data hasil yeng tidak seuai dengan teori pada
setiap laju alir, dimana pada grafik menunjukkan fluktuasi. Hal ini disebabkan oleh:
1. Laju alir inlet yang tidak konstan
2. Terjadi pressure drop pada pompa sehingga aliran fluida yang mengalir
tidak maksimal.

4.2

Pengukuran Profil Kecepatan Fluida

Gambar 4.2 Grafik

vs

Gambar 4.2 menunjukkan hubungan antara

pada laju alir 16 L/menit dengan NRe = 3866,623 pada

vs

untuk aliran transisi

= 0 maka nilai

20,557. Untuk aliran turbulen pada laju alir 23 L/menit dengan N Re = 5558,270 pada

= 0 maka nilai

= 13,017. Untuk aliran turbulen pada laju alir 33 L/menit

dengan NRe = 7974,910 pada

= 0 maka nilai

= 14,295. Untuk aliran

turbulen pada laju alir 40 L/menit dengan NRe = 9666,557 pada

= 0 maka nilai

= 9,061.
Bilangan Reynold merupakan rasio fluks momentum yang dibawa oleh cairan
secara aksial sepanjang tabung kekental momentum fluks diangkut normal dalam
aliran arus arah radial (Albright, 2009). Diperoleh untuk bilangan Reynold adalah:
Re = ( V L) /
Dimana : Re = Bilangan Reynold
L

= Panjang Benda (m)

(Klara, 2011)

= Kecepatan rata-rata (m/s)

= Densitas (kg/m3)

= Viskositas (Pa.s)

Tiap partikel fluida bergerak sepanjang suatu jalur tertentu yang disebut
sebagai garis alur. Jenis aliran ini disebut sebagai aliran steramline atau aliran
laminar. Jika kecepatan aliran bertambah, gaya inersia setahap demi setahap
melampaui gaya kekentalan. Suatu kecepatan kritis dicapai jika gaya inersia menjadi
sangat besar dibanding gaya kekentalan, sedemikian hingga gaya kekentalana
menjadi tidak efektif dalam mengendalikan pola aliran. Pola teratur yang khas pada
aliran laminar dalam hal ini akan menghilang dan partikel-partikel fluida
menyimpang dari garis arusnya semula, serta mulai bergerak dengan cara yang
sepenuhnya acak. Aliran ini disebut sebagai turbulen (Umar, 2012).

Gambar 4.3 Profil Kecepatan dalam Suatu Pipa. (a) Laminar dalam Pipa (b)
Aliran Turbulen dalam Pipa.
(Umar, 2012)
Dari hasil percobaan pada laju alir 16 L/menit jenis aliran merupakan aliran
transisi sedangkan pada laju alir 23, 33 dan 40 L/menit jenis aliran merupakan aliran
turbulen. Grafik yang dihasilkan untuk aliran transisi dan turbulen tidak sesuai
dengan teori karena grafik yang terbentuk tidak membentuk garis lurus. Hal ini
disebabkan oleh :
1. Laju alir inlet yang tidak konstan
2. Terjadi pressure drop pada pompa sehingga aliran fluida yang mengalir tidak

maksimal.

4.3

Aplikasi Persamaan Kontinuitas

Gambar 4.5 Grafik

vs

Gambar 4.5 menunjukkan perbandingan antara

dengan

Pada laju

alir 16 L/menit untuk

= 1,046; 1,067; 1,127; 1,159; 1,221; 1,280; 1,368 dan

1,441 diperoleh nilai

= 0,606; 0,644; 0,670; 0,626; 0,650; 0,628; 0,658 dan

0,675. Pada laju alir 23 L/menit untuk

= 1,046; 1,067; 1,127; 1,159; 1,221;

1,280; 1,368 dan 1,44, diperoleh nilai

= 0,733; 0,689; 0,749; 0,725; 0,711;

0,711; 0,698 dan 0,698. Pada laju alir 33 L/menit untuk

= 1,046; 1,067; 1,127;

1,159; 1,221; 1,280; 1,368 dan 1,44, diperoleh nilai

= 0,775; 0,762; 0,752;

0,745; 0,740; 0,686; 0,757 dan 0,728. Pada laju alir 40 L/menit untuk

= 1,046;

1,067; 1,127; 1,159; 1,221; 1,280; 1,368 dan 1,44, diperoleh nilai

= 0,816;

0,866; 0,854; 0,877; 0,798; 0,799; 0,796 dan 0,828.


Secara teori, cairan yang mengalir dengan kecepatan rendah, seperti dalam
contoh ini dapat dianggap tidak mampu mampat. Oleh karena itu, 1=2, maka:
Q1=Q2

(Klara, 2011)

Untuk aliran tak mampu mampat, diperoleh:


Q = A1V1 = A2V2

(Klara, 2011)

Atau:
V = 2 . g. h

(Griskey, 2002)

A = b.y

(Griskey, 2002)

Maka akan diperoleh:

Dimana : v

= kecepatan aliran fluida (m/s)

= debit aliran (m3/s)

= luas penampang (m2)

= lebar saluran penampang (m)

= tinggi saluran (m)

y1

= tinggi channel pada section 1 (mm)

y2

= tinggi channel pada section 2 (mm)

H1

= tinggi fluida pada tabung pitot section 1 (mm)

H2

= tinggi fluida pada tabung pitot section 2 (mm)

Dari hasil percobaan terdapat titik-titik yang tidak sesuai dengan teori dimana
untuk titik-titik tersebut hampir mendekati garis diagonal dan menjauhi garis
diagonal. Adapun penyimpangan yang terjadi disebabkan oleh :
1. Laju alir inlet yang tidak konstan
2. Terjadi pressure drop pada pompa sehingga aliran fluida yang mengalir
tidak maksimal.

4.4

Penggunaan Kontraksi Sebagai Alat Ukur Fluida

Gambar 4.6 Grafik Cv vs v2


Gambar 4.6 menunjukkan bahwa hubungan antara koefisien kalibrasi alat ukur
(Cv) dengan kecepatan rata-rata (v). Dari hasil percobaan untuk v 2 0,0509; 0,0732;
0,1050 dan 0,1272 m/s masing-masing mempunyai nilai Cv sebesar 0,0010; 0,0014;
0,0022 dan 0,0026.

Secara teori nilai Cv sebanding dengan kecepatan rata-rata (v), apabila


kecepatan rata-rata (v) semakin besar maka nilai Cv semakin meningkat. Hal ini
dapat dilihat dari persamaan berikut ini :
Q = A1V1=A2V2
Cv= Q/P/Sg

(Nugroho, 2012)
(Nugroho, 2012)

Cv=V2A2/ P2-P1/Sg
Dimana :
Q

= Debit aliran (m3/s)

= kecepatan (m/s)

= luas penampang saluran (m2)

Sq = rasio densitas fluida


Cv = faktor koefisien kecepatan
P = kerugian tekanan dalam uap
Kecepatan rata-rata (v) berbanding lurus dengan faktor koefisien kecepatan
(Cv), jika kecepatan rata-rata (v) semakin besar maka faktor koefisien kecepatan
(Cv) akan semakin besar.
Hasil percobaan telah sesuai dengan teori dimana kecepatan fluida semakin
besar maka nilai Cv akan semakin besar.

Anda mungkin juga menyukai