Anda di halaman 1dari 12

Penatalaksanaan LES

Non Farmakologis
1. Edukasi
Edukasi penderita memegang peranan penting mengingat SLE merupakan
penyakit yang kronis. Penderita perlu dibekali informasi yang cukup tentang
berbagai macam manifestasi klinis yang dapat terjadi, tingkat keparahan penyakit
yang berbeda-beda sehingga penderita dapat memahami dan mengurangi rasa
cemas yang berlebihan. Pada wanita usia reproduktif sangat penting diberikan
pemahaman bahwa bila akan hamil maka sebaiknya kehamilan direncanakan saat
penyakit sedang remisi, sehingga dapat mengurangi kejadian flare up dan risiko
kelainan pada janin maupun penderita selama hamil.
2. Dukungan sosial dan psikologis
Hal ini bisa berasal dari dokter, keluarga, teman maupun mengikut sertakan
peer group atau support group sesama penderita lupus. Di

Indonesia ada 2

organisasi pasien Lupus, yakni care for Lupus SD di Bandung dan Yayasan Lupus
Indonesia di Jakarta. Mereka bekerjasama melaksanakan kegiatan edukasi pasien
dan masyarakat mengenai lupus. Selain itu merekapun memberikan advokasi dan
bantuan finansial untulk pasienyang kurang mampu dalam pengobatan.
3. Istirahat
Penderita SLE sering mengalami fatigue sehingga perlu istirahat yang cukup,
selain perlu dipikirkan penyebab lain seperti hipotiroid, fibromialgia dan depresi.

4. Tabir surya
Pada penderita SLE aktifitas penyakit dapat meningkat setelah terpapar sinar
matahari, sehingga dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari yang
berlebihan dan menggunakan tabir surya dengan SPF > 30 pada 30-60 menit
sebelum terpapar, diulang tiap 4-6 jam.
5. Monitor ketat
Penderita SLE mudah mengalami infeksi sehingga perlu diwaspadai bila
terdapat demam yang tidak jelas penyebabnya. Risiko infeksi juga meningkat
sejalan dengan pemberian obat immunosupresi dan kortikosteroid. Risiko
kejadian penyakit kejadian kardiovaskuler, osteoporosis dan keganasan juga
meningkat pada penderita SLE, sehingga perlu pengendalian faktor risiko seperi
merokok, obesitas, dislipidemia dan hipertensi.
Farmakologis
Terapi Imunomodulator
1. Siklofosfamid
Merupakan obat utama pada gangguan sistem organ yang berat, terutama
nefropati lupus. Pengobatan dengan kortikosterod dan siklofosfamid (bolus iv
0,5-1 gram/m2) lebih efektif dibanding hanya kortikosteroid saja, dalam
pencegahan sequele ginjal, mempertahankan fungsi ginjal dan menginduksi
remisi ginjal. Manifestasi non renal yang efektif dengan siklofosfamid adalah
sitopenia, kelainan sistem saraf pusat, perdarahan paru dan vaskulitis.
Pemberian per oral dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB dapat ditingkatkan sampai
2,5-3 mg/kgBB dengan kondisi neutrofil > 1000/mm 3 dan leukosit > 3500/mm3.

Monitoring jumlah leukosit dievaluasi tiap 2 minggu dan terapi intravena dengan
dosis 0,5-1 gram/m2 setiap 1-3 bulan.
Efek samping yang sering terjadi adalah mual, muntah, kadang dapat ditemukan
rambut rontok namun hilang bila obat dihentikan. Leukopenia dose-dependent
biasanya timbul setelah 12 hari pengobatan sehingga diperlukan penyesuaian
dosis dengan leukosit. Risiko terjadi infeksi bakteri, jamur dan virus terutama
Herpes zoster meningkat. Efek samping pada gonad yaitu menyebabkan
kegagalan fungsi ovarium dan azospermia. Pemberian hormon Gonadotropin
releasing hormone atau kontrasepsi oral belum terbukti efektif. Pada penderita
SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini
sebaiknya dihindarkan.
2. Mycophenolate mofetil (MMF)
MMF merupakan inhibitor reversibel inosine monophosphate dehydrogenase,
yaitu suatu enzim yang penting untuk sintesis purin. MMF akan mencegah
proliferasi sel B dan T serta mengurangi ekspresi molekul adhesi. MMF secara
efektif mengurangi proteinuria dan memperbaiki kreatinin serum pada penderita
SLE dan nefritis yang resisten terhadap siklofosfamid. Efek samping yang terjadi
umumnya adalah leukopenia, nausea dan diare. Kombinasi MMF dan Prednison
sama efektifnya dengan pemberian siklosfosfamid oral dan prednison yang
dilanjutkan dengan azathioprine dan prednisone. MMF diberikan dengan dosis
500-1000 mg dua kali sehari sampai adanya respons terapi dan dosis obat
disesuaikan dengan respons tersebut. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus
yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.
3. Azathioprine
Azathioprine adalah analog purin yang menghambat sintesis asam nukleat dan
mempengaruhi fungsi imun seluler dan humoral. Pada SLE obat ini digunakan

sebagai alternatif siklofosfamid untuk pengobatan lupus nefritis atau sebagai


steroid sparing agent untuk manifestasi non renal seperti miositis dan sinovitis
yang refrakter. Pemberian mulai dengan dosis 1,5 mg/kgBB/hari, jika perlu dapat
dinaikkan dengan interval waktu 8-12 minggu menjadi 2,5-3 mg/kgBB/hari
dengan syarat jumlah leukosit > 3500/mm 3 dan metrofil > 1000. Jika diberikan
bersamaan dengan allopurinol maka dosisnya harus dikurangi menjadi 60-75%.
Efek samping yang terjadi lebih kuat dibanding siklofosfamid, yang biasanya
terjadi yaitu supresi sumsum tulang dan gangguan gastrointestinal. Azathioprine
juga sering dihubungkan dengan hipersensitifitas dengan manifestasi demam,
ruam di kulit dan peningkatan serum transaminase. Keluhan biasanya bersifat
reversibel dan menghilang setelah obat dihentikan. Oleh karena dimetabolisme di
hati dan dieksresikan di ginjal maka fungsi hati dan ginjal harus diperiksa secara
periodik. Obat ini merupakan pilihan imunomodulator pada penderita nefropati
lupus yang hamil, diberikan dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB/hari karena relatif
aman.

4. Leflunomide (Arava)
Leflunomide merupakan suatu inhibitor de novo sintesis pyrimidin yang
disetujui pada pengobatan rheumatoid arthritis. Beberapa penelitian telah
melaporkan keuntungan pada pasien SLE yang pada mulanya diberikan karena
ketergantungan steroid. Pemberian dimulai dengan loading dosis 100 mg/hari
untuk 3 hari kemudian diikuti dengan 20 mg/hari.
5. Methotrexate
Methotrexate diberikan dengan dosis 15-20 mg peroral satu kali seminggu,
dan terbukti efektif terutama untuk keluhan kulit dan sendi. Efek samping yang
biasa terjadi adalah peningkatan serum transaminase, gangguan gastrointestinal,

infeksi dan oral ulcer, sehingga perlu dimonitor ketat fungsi hati dan ginjal. Pada
penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan
ini sebaiknya dihindarkan.
6. Siklosporin
Pemberian siklosporin dosis 2,5-5 mg/kgBB/hari pada umumnya dapat
ditoleransi dan menimbulkan perbaikan yang nyata terhadap proteinuria,
sitopenia, parameter imunologi (C3, C4, anti-ds DNA) dan aktifitas penyakit. Jika
kreatinin meningkat lebih dari 30% atau timbul hipertensi maka dosisnya harus
disesuaikan efek samping yang sering terjadi adalah hipertensi, hiperplasia gusi,
hipertrikhosis, dan peningkatan kreatinin serum. Siklosporin terutama bermanfaat
untuk nefritis membranosa dan untuk sindroma nefrotik yang refrakter, sehingga
monitoring tekanan darah dan fungsi ginjal harus dilakukan secara rutin.
Siklosporin A dapat diberikan pada penderita nefropati lupus yang hamil,
diberikan dengan dosis 2 mg/kgBB/hari karena relatif aman.
( Wachyudi RG, Pramudiyo R. , 2006 )

Kriteria diagnosis lupus menurut ACR (American College of Rheumatology)*


No
Kriteria
1 Bercak malar
(butterfly rash)
2 Bercak diskoid

3 Fotosensitif
4 Ulkus mulut
5 Artritis
6 Serositif

Definisi
Eritema datar atau menimbul yang menetap di daerah pipi,
cenderung menyebar ke lipatan nasolabial
Bercak eritema yang menimbul dengan adherent keratotic
scaling dan follicular plugging, pada lesi lama dapat terjadi
parut atrofi
Bercak di kulit yang timbul akibat paparan sinar matahari,
pada anamnesis atau pemeriksaan fisik
Ulkus mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri
Artritis nonerosif pada dua atau lebih persendian perifer,
ditandai dengan nyeri tekan, bengkak atau efusi
a. Pleuritis
Riwayat pleuritic pain atau terdengar pleural friction rub
atau terdapat efusi pleura pada pemeriksaan fisik
atau
b. Perikarditis

7 Gangguan ginjal

Dibuktikan dengan EKG atau terdengar pericardial friction


rub atau terdapat efusi perikardial pada pemeriksaan fisik
a. Proteinuria persisten > 0,5 g/hr atau pemeriksaan +3 jika
pemeriksaan kuantitatif tidak dapat dilakukan
atau

8 Gangguan saraf

b. Cellular cast : eritrosit, Hb, granular, tubular atau


campuran
Kejang
Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik
(uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit)
atau
Psikosis
Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik
(uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit)

9 Gangguan darah

Terdapat salah satu kelainan darah


Anemia hemolitik dengan retikulositosis
Leukopenia < 4000/mm3 pada > 1 pemeriksaan
Limfopenia < 1500/mm3 pada > 2 pemeriksaan

Trombositopenia < 100.000/mm3 tanpa adanya intervensi


obat
10 Gangguan imunologiTerdapat salah satu kelainan
Anti ds-DNA diatas titer normal
Anti-Sm(Smith) (+)
Antibodi fosfolipid (+) berdasarkan
kadar serum IgG atau IgM antikardiolipin yang abnormal
antikoagulan lupus (+) dengan menggunakan tes standar
tes sifilis (+) palsu, paling sedikit selama 6 bulan dan
dikonfirmasi dengan ditemukannya Treponema palidum
atau antibodi treponema
11 Antibodi antinuklear Tes ANA (+)
*Empat dari 11 kriteria positif menunjukkan 96% sensitivitas dan 96% spesifisitas

Penatalaksanaan Atrithis Reumatoid


Tujuan terapi pada penderita AR :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Mengurangi nyeri
Mempertahankan status fungsional
Mengurangi inflamasi
Mengendalikan keterlibatan sistemik
Proteksi sendi dan struktur ekstraartikuler
Mengendalikan progresifitas penyakit
Menghindari komplikasi yang berhubungan dengan terapi
Terapi Non Farmakologi :

Edukasi :

Pasien

Keluarga Pasien

Diet

Fisioterapi

Proteksi sendi : Bidai sendi

Terapi puasa, suplementasi asam lemak dan terapi spa, menunjukkan

hasil yang
baik. Pemberian suplemen minyak ikan bisa digunakan sebagai
NSAID-sparing
agens. Pada penderita AR memberikan edukasi dan
pendekatan multidisiplin
dalam perawatan penderita, bisa memberikan manfaat
jangka pendek.

Terapi Farmakologik :

OAINS
mengatasi nyeri sendi dan demam akibat inflamasi yang

sering.
OAINS

digunakan

mengurangi

nyeri

sebagai

terapi

awal

dan pembengkakan.

untuk

Penderita

AR mempunyai resiko 2x lebih sering mengalami


komplikasi

serius

dibandingkan

akibat

dengan

penggunaan

OAINS

penderita Osteoatritis, oleh

karena itu perlu pemantauan secara ketat terhadap


gejala efek samping gastrointestinal.

DMARDs
Mengurangi nyeri dan mempertahankan fungsi
sendi tetapi tidak mencegah kerusakan tulang rawan
sendi tulang. Saat ini dikenal obat antireumatik yang
tidak

hanya

menghambat

bersifat
proses

simtomatik

tetapi

memburuknya penyakit.

Berbeda dengan OAINS obat ini bekerja lambat, efek


baru dirasakan enam minggu enam bulan setelah
pengobatan. Obat yang tergolong kelompok ini
ialah

metotreksat,

azatioprin,

penisilamin,

hidroksiklorokuin, senyawa emas dan sulfasalazin.

Glukortikoid
Dosis

steroid

harus

diberikan

minimal

kerena

risiko

samping

efek

samping

katarak,

dalam

tinggi mengalami
seperti

dosis
efek

osteoporosis,

gejala cushuingoid dan gangguan kadar

gula darah. ACR merekomendasikan bahwa penderita


yang mendapat terapi glukokortikoid harus disertai
dengan pemberian kalsium 1500 mg dan vitamin D
400 800 IU per hari. Gejala mungkin akan kambuh
kembali

bila

steroid

menggunakan
kebanyakan

dihentikan,

steroid

dosis

reumatologis

terutama

tinggi,

bila

sehingga

menghentikan

steroid

secara perlahan dalam satu bulan atau lebih untuk


menghindari rebound effect.

Kortikosteroid
Injeksi

kortikosteroid

metiprednisolon

intra-artikular

asetat

seperti

atau triamsinolon

bisa

digunakan dengan dosis terbatas. Kortikosteroid


sistemik dapat digunakan sesekali.

Intervensi bedah
Intervensi bedah juga diperlukan seperti artroplasti,

artroplasti
Reaksi berlawanan dari penyakit yang dimodifikasi obat
rheumatoid :
? Penisilamin :
Bercak

pada

kulit,

hilangnya

pengecapan,

demam, mual, muntah, glomerulonefritis, sindrom


goodpastrure, sindrom mirio SLE, sindrom miastenik,
trombositopenia, pansitopenia, ulkus mulut.
? Senyawa emas :

Ulkus
pruritus,

mulut,

sindrom

enterokolitis,

nefrotik,

bercak

anemia

kulit

aplastik,

glomerulonefritis.
Sulfasalazin : Penekanan sumsum tulang, bercak kulit,
mual.
? Klorokuin :
Diare, toksisitas okular-deposit kornea yang
reversible bila obat dihentikan, retinopati
menetap, anemia hemolitik.
( Farmakologi dan Terapi FKUI , 2011 )

Penyebab kaku hanya terjadi pada pagi hari


Adanya kekakuan pada pagi hari (morning stiffness) disebabkan
imobilisasi pasien saat tidur,sehingga otot tendo mengalami pemendekan.
Sehingga memerlukan waktu untuk mengembalikan otot dan tendo seperti
normal. Pada pasien arthritis rheumatoid waktu yang diperlukan lebih lama,
yaitu sekitar 1-2 jam. Adanya nyeri dan pain of motion (kesakitan dalam
bergerak) disebabkan oleh erosi tulang dan tulang rawan, deformitas dan
disarsitektur sendi yang merupakan manifestasi dari pathogenesis arthritis
rheumatoid. Gejala Klinis yang berhubungan dengan aktivitas sinovitis adalah
kaku pagi hari.
Kekakuan pada pagi hari merupakan gejala yang selalu dijumpai
pada

RA

aktif. Berbeda dengan rasa kaku yang dialami oleh pasien

osteoarthritis atau kadang-kadang oleh orang normal. Kaku pagi hari pada RA
berlangsung lebih lama,yang pada umumnya lebih dari 1 jam. Lamanya
kaku pagi hari pada RA agaknya berhubungan dengan lamanya imobilisasi
pada saat pasien tidur serta beratnya inflamasi. Gejala kaku akan menghilang
jika remisi dapat tercapai.
Faktor lain penyebab kaku pagi hari adalah inflamasi akibat sinovitis.
Inflamasi akan menyebabkan terjadinya imobilisasi persendian yang jika

berlangsung lama akan mengurangi pergerakan sendi baik aktif maupun pasif.
Otot dan tendon yang berdekatan dengan

persendian

yang

peradangan cenderung untuk mengalami spasme dan pemendekan.


( Cheng, Michelle Y. et al , 2002 )

mengalami

Anda mungkin juga menyukai