Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejauh ini Indonesia memang belum mengatur secara spesifik mengenai
euthanasia (Mercy Killing). Euthanasia atau menghilangkan nyawa orang atas
permintaan dirinya sendiri, sama dengan perbuatan pidana menghilangkan nyawa
seseorang. Dan hal ini masih menjadi perdebatan pada beberapa kalangan yang
menyetujui tentang euthanasia dan pihak yang tidak setuju tentang euthanasia.
Pihak yang menyetujui euthanasia dapat dilakukan, hal ini berdasarkan
bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan hak untuk mengakhiri
hidupnya dengan segera dan hal ini dilakukan dengan alasan yang cukup
mendukung yaitu alasan kemanusian. Dengan keadaan dirinya yang tidak lagi
memungkinkan untuk sembuh atau bahkan hidup, maka ia dapat melakukan
permohonan untuk segera diakhiri hidupnya.
Sementara sebagian pihak yang tidak membolehkan euthanasia beralasan
bahwa setiap manusia tidak memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya, karena
masalah hidup dan mati adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak bisa diganggu
gugat oleh manusia.
Perdebatan ini tidak akan pernah berakhir, karena sudut pandang yang
dipakai sangatlah bertolak belakang, dan lagi-lagi alasan perdebatan tersebut
adalah masalah legalitas dari perbuatan euthanasia. Walaupun pada dasarnya
tindakan euthanasia termasuk dalam perbuatan tindak pidana yang diatur dalam
pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).Di Negara-negara Eropa
(Belanda) dan Amerika tindakan euthanasia mendapatkan tempat tersendiri yang
diakui legalitasnya, hal ini juga dilakukan oleh Negara Jepang.
Tentunya dalam melakukan tindakan euthanasia harus melalui prosedur
dan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi agar euthanasia bias
dilakukan.Ada tiga petunjuk yang dapat digunakan untuk menentukan syarat
prasarana luar biasa. Pertama, dari segi medis ada kepastian bahwa penyakit sudah
tidak dapat disembuhkan lagi.

Kedua, harga obat dan biaya tindakan medis sudah terlalu mahal. Ketiga,
dibutuhkan usaha ekstra untuk mendapatkan obat atau tindakan medis tersebut.
Dalam kasus-kasus seperti inilah orang sudah tidak diwajibkan lagi untuk
mengusahakan obat atau tindakan medis. Bahkan, euthanasia dengan menyuntik
mati disamakan dengan tindakan pidana pembunuhan. Alternatif terakhir yang
mungkin bisa diambil adalah penggunaan sarana via extraordinaria. Jika memang
dokter sudah angkat tangan dan memastikan secara medis penyakit tidak dapat
disembuhkan serta masih butuh biaya yang sangat besar jika masih harus dirawat,
apalagi perawatan harus diusahakan secara ekstra, maka yang dapat dilakukan
adalah memberhentikan proses pengobatan dan tindakan medis dirumah sakit.
Di Indonesia masalah euthanasia masih belum mandapatkan tempat yang
diakui secara yuridis dan mungkinkah dalam perkembangan Hukum Positif
Indonesia, euthanasia akan mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis. Kasus
yang terakhir yang pengajuan permohonan euthanasia oleh suami Again ke
Pengadilan Negeri Jakarta, belum dikabulkan.Dan akhirnya korban yang
mengalami koma dan ganguan permanent pada otaknya sempat dimintakan untuk
dilakukan euthanasia, dan sebelum permohonan dikabulkan korban sembuh dari
komanya dan dinyatakansehatolehdokter. Apabila hukum di Indonesia kelak mau
menjadikan persoalan euthanasia sebagai salah satu materi pembahasan, semoga
tetap diperhatikan dan dipertimbangkan sisi nilai-nilainya, baik sosial, dan moral.

B. Rumusan Masalah
Menyangkut feomena yang ada akan menimbulkan beberapa permasalahan
yang harus kita selesaikan dengan seksama. Dari latar belakang demikian ini
penulis mendapatkan beberapa permasalahan yang akan kita bahas dalam bab-bab
berikutnya antara lain;
1. Apakah dimungkinkan adanya terobosan baru alam hukum
berdasarkan kasus-kasus berat, seperti secara medis penyakit sudah
tidak bisa lagi disembuhkan, sementara dokter pun sudah angkat
tangan?

2. Mengingat

hukum

kita

menganut

positifistik,

bagaimana

Euthanasia menurut persepektif hukum Pidana Indonesia?

C. Metode Penulisan
Penulisan makalah ini dilakukan dengan metode studi pustaka.

D. Tujuan
Adapun tujuan dari penuliasan makalah yang berjudul Pro dan Kontra
Euthanasia adalah :
1. Untuk memberikan pengetahuan mengenai euthanasia itu sendiri
dan menambah pengetahuan mengenai perawat dan dokter dalam
menghadapi masalah euthanasia.
2. Melatih penulis untuk mengembangkan bakat dan ilmunya dalam
penulisan makalah.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Euthanasia
Mati sesungguhnya masalah yang sudah pasti terjadi, akan tetapi
tidak pernah diketahui dengan tepat kapan saatnya terjadi. Pengertian
tentang kematian itu sendiri mengalami perkembangan dari waktu ke
waktu sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Kematian dapat
dibagi menjadi 2 fase, yaitu: somatic death (Kematian Somatik) dan
biological death (Kematian Biologik). Kematian somatik merupakan fase
kematian dimana tidak didapati tanda tanda kehidupan seperti denyut
jantung, gerakan pernafasan, suhu badan yang menurun dan tidak adanya
aktifititas listrik otak pada rekaman EEG. Dalam waktu 2 jam, kematian
somatik akan diikuti fase kematian biologik yang ditandai dengan
kematian sel. Kurun waktu 2 jam diantaranya dikenal sebagai fase mati
suri. Dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan seperti alat respirator
(alat bantu nafas), seseorang yang dikatakan mati batang otak yang
ditandai

dengan rekaman EEG yang datar, masih bisa menunjukkan

aktifitas denyut jantung, suhu badan yang hangat, fungsi alat tubuh yang
lain seperti ginjalpun masih berjalan sebagaimana mestinya, selama
dalam bantuan alat respirator tersebut. Tanda tanda kematian somatik
selain rekaman EEG tidak terlihat. Tetapi begitu alat respirator tersebut
dihentikan, maka dalam beberapa menit akan diikuti tanda kematian
somatik lainnya.
Walaupun tanda tanda kematian somatik sudah ada, sebelum
terjadi kematian biologik, masih dapat dilakukan berbagai macam
tindakan seperti pemindahan organ tubuh untuk transplantasi, kultur sel
ataupun jaringan dan organ atau jaringan tersebut masih akan hidup terus,
walaupun berada pada tempat yang berbeda selama mendapat perawatan
yang memadai.

Jadi dengan demikian makin sulit seorang ilmuwan medik


menentukan terjadinya kematian pada manusia. Apakah kematian
somatik secara lengkap harus terlihat sebagai tanda penentu adanya
kematian, atau cukup

bila didapati salah satu dari tanda kematian

somatik, seperti kematian

batang otak saja, henti nafas saja atau henti detak jantung saja sudah
dapat

dipakai

sebagai

patokan

penentuan

kematian

manusia.

Permasalahan penentuan saat kematian ini sangat penting bagi


pengambilan keputusan baik oleh dokter maupun keluarganya dalam
kelanjutan pengobatan. Apakah pengobatan dilanjutkan atau dihentikan.
Dilanjutkan belum tentu membawa hasil, tetapi yang jelas akan
menghabiskan materi, sedangkan bila dihentikan pasti akan membawa
kefase kematian. Penghentian tindakan pengobatan ini merupakan salah
satu bentuk dari euthanasia. Berdasarkan pada cara terjadinya, ilmu
pengetahuan membedakan kematian ke dalam tiga jenis, yaitu:
1. Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena proses alamiah.
2. Dysthanasia, yaitu kematian yang terjadi secara tidak wajar.
3. Euthanasia, yaitu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau
tidak dengan pertolongan dokter.
Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu yang berarti indah,
bagus, terhormat atau gracefully and with dignity, dan thanatos yang
berarti mati. Jadi secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai
mati dengan baik. Jadi sebenarnya secara harafiah, euthanasia tidak bisa
diartikan sebagai suatu pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa
seseorang.
Menurut Philo (50-20 SM) euthanasia berarti mati dengan tenang dan
baik, sedangkan Suetonis penulis Romawi dalam bukunya yang berjudul
Vita Ceasarum mengatakan bahwa euthanasia berarti mati cepat tanpa
derita Euthanasia dalam Oxford English Dictionary dirumuskan sebagai

kematian yang lembut dan nyaman, dilakukan terutama dalam kasus


penyakit yang penuh penderitaan dan tak tersembuhkan. Istilah yang
sangat populer untuk menyebut jenis pembunuhan ini adalah mercy
killing (Tongat, 2003 :44).
Sementara itu menurut Kamus Kedokteran Dorland euthanasia
mengandung dua pengertian. Pertama, suatu kematian yang mudah atau
tanpa rasa sakit. Kedua, pembunuhan dengan kemurahan hati,
pengakhiran kehidupan seseorang yang menderita penyakit yang tak
dapat disembuhkan dan sangat menyakitkan secara hati-hati dan
disengaja. Sejak abad 19 terminologi euthanasia dipakai untuk
penghindaran rasa sakit dan peringanan pada umumnya bagi yang sedang
menghadapi kematian dengan pertolongan. dokter.

B. Jenis Euthanasia
Secara konseptual dikenal tiga bentuk euthanasia, yaitu :
1. voluntary euthanasia yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan
pasien itu sendiri karena penyakitnya tidak dapat disembuhkan dan
dia tidak sanggup menahan rasa sakit yang diakibatkannya
2.

non voluntary euthanasia yaitu di sini orang lain, bukan pasien,


mengandaikan, bahwa euthanasia adalah pilihan yang akan diambil
oleh pasien yang berada dalam keadaan tidak sadar tersebut jika si
pasien dapat menyatakan permintaannya

3.

involuntary euthanasia yaitu merupakan pengakhiran kehidupan pada


pasien tanpa persetujuannya

.
Selain diatas euthanasia juga di bedakan menjadi 2 kompartmen yang
mudah dipahami yaitu :
1. Euthanasia pasif yaitu di mana tenaga medis tidak lagi
memberikan atau melanjutkan bantuan medis.
2.

Euthanasia aktif yaitu baik secara langsung maupun tidak


langsung, di mana dokter dengan sengaja melakukan tindakan
untuk mengakhiri hidup pasien.

BAB III
PEMBAHASAN
B. Pro Euthanasia
Euthanasia merupakan langkah terakhir yang terpaksa harus
ditempuh oleh pihak medis maupun keluarga guna membantu pasien untuk
menghilangkan penderitaan. Tindakan ini mungkin akan mendapatkan
banyak hujatan dari pihak yang kontra euthanasia, tapi dilihat dari
berbagai aspek maka euthanasia sah-sah saja untuk dilaksanakan.
Aspek Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan
sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang
untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran hak
asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang
cenderung menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya
dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak
langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai
untuk menghindarkan diri dari segala ketidak nyamanan atau lebih tegas
lagi dari segala penderitaan yang hebat.
Aspek Ilmu Pengetahuan
Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan
keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau
pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara ilmu kedokteran hampir
tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan ataupun
pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan
haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya yang
dilakukan akan sia sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu
kebohongan, karena di samping tidak membawa kepada kesembuhan,
keluarga yang lain akan terseret dalam pengurasan dana. Maka

Euthanasia merupakan jalan keluar yang dapat membantu pasien dan


keluarga.

Aspek Agama
Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak
ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang
atau memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli ahli
agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya.
Dokter bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak
Tuhan yaitu memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia,
walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang kadang dalam
keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak
berkenan dihadapan Tuhan. Tapi putusan hakim dalam pidana mati pada
seseorang yang segar bugar, dan tentunya sangat tidak ingin mati, dan
tidak dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan
pernyataan agama yang satu ini. Aspek lain dari pernyataan
memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis
bisa menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus kedokter dan
berobat untuk mengatasi penyakitnya, kalau memang umur mutlak di
tangan Tuhan, kalau belum waktunya, tidak akan mati. Kalau seseorang
berupaya mengobati penyakitnya maka dapat pula diartikan sebagai
upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya
medispun dapat dipermasalahkan sebagai melawan kehendak Tuhan.
Dalam hal hal seperti ini manusia sering menggunakan standar ganda.
Hal hal yang menurutnya baik, tidak perlu melihat pada hukum hukum
yang ada, atau bahkan mencarikan dalil lain yang bisa mendukung
pendapatnya, tapi pada saat manusia merasa bahwa hal tersebut kurang
cocok dengan hatinya, maka dikeluarkanlah berbagai dalil untuk
menopangnya.

C. Kontra Euthanasia
Mengapa manusia harus berilmu karena manusia pada dasarnya
ingin mewujudkan makna hidupnya baik yang menyangkut material,
imaterial maupun suasana batinnya, karena segala macam upaya dilakukan
untuk mendapatkan ilmu.

Ilmu yang oleh banyak orang dikatakan bebas nilai, seringkali


harus berhadapan dengan kenyataan hidup dalam konteks relasi sosial.
Karenanya kemudian timbul istilah etika ilmu pengetahuan, walaupun
etika itu sendiri tidak termasuk dalam kawasan ilmu. Hal-hal seperti ini
akan sangat jelas terasa pada ilmu-ilmu yang secara langsung dan segera
berhubungan

dengan

kebutuhan

manusia,

seperti

ilmu

biologi,

kedokteran dan lainnya yang dekat dengan kebutuhan primer manusia.


Menghadapi realita semacam itu maka sangat terasa untuk
memasukkan dimensi etis dalam pengembangan ilmu maupun penerapan
ilmu dalam kehidupan keseharian. Sebagai contoh teknologi transgenik,
cloning merupakan isu yang banyak menyita perhatian umat manusia
karena menyangkut secara langsung kehidupannya. Ketika ditemukan
teknologi operasi plastik untuk merubah bentuk bagian-bagian tubuh
serta teknologi sejenisnya, perdebatan diantara pihak yang pro maupun
kontra nampak nyata terletak pada perdebatan dimensi etika dan bukan
pada ilmu/teknologinya itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa dimensi
etika tidak dapat dipisahkan dengan ilmu itu sendiri. Walaupun dilain
pihak ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat dan tidak perlu
dicegah perkembangannya. Apalagi ilmu yang menyangkut langsung
kepada keputusan tentang hidup matinya manusia yaitu Euthanasia dapat
dipastikan menjadi bahan perdebatan yang tidak saja menyangkut
dimensi etis, tetapi telah melibatkan dimensi-dimensi lain yang masingmasing memiliki standar/ukuran kebenaran.

Bila kembali pada kebenaran yang menjadi pijakan dalam


pengembangan ilmu, serta realitas adanya berbagai macam ilmu, maka
setiap ilmu harus dinilai dengan standarnya sendiri. Selanjutnya dalam
rangka situasi sosial yang ada maka penilaian tersebut akan dengan
sendirinya bersifat relatif.
Dalam euthanasia, setidaknya terdapat empat macam ilmu yang
terlibat didalamnya yaitu hukum, hak asasi, biologi/kedokteran dan
agama, yang pasti masing-masing memiliki standar kebenaran yang
berbeda. Pertanyaannya tentu bagaimana proses keputusan euthanasia
harus

diambil untuk dapat dilaksanakan tanpa melanggar kebenaran

masing-masing, untuk itu tidak ada jalan lain, selain mengikuti kebenaran
relatif.
Etika, sering lebih terasa digunakan sebagai pijakan oleh praktisi
ilmu, dibanding pihak yang mengembangkan ilmu itu sendiri. Profesiprofesi seperti ahli hukum, dokter dan sebagainya merupakan praktisi
ilmu yang sering dituntut secara kuat etikanya dalam menerapkan
ilmunya. Pertanyaannya adalah etika yang mana yang harus digunakan
oleh seorang praktisi ilmu. Lebih lanjut apabila beberapa ilmu harus
berperan secara bersama-sama, maka etika yang harus digunakan tentu
diutamakan etika yang berlaku bagi masyarakat pengguna ilmu tersebut.
Ilmu yang seharusnya menjadikan hidup lebih mudah, lebih
nikmat, lebih efisien dan sebagainya, seringkali justru membelenggu
hakekat sebagai manusia, bahkan dapat secara nyata menghancurkan
kehidupan.

Kekecewaan Einstein terhadap penggunaan hukum fisika

modern dalam kasus Hiroshima ; kemajuan teknologi industri di satu


pihak dan polusi yang ditimbulkannya merupakan contoh bahwa
kemajuan ilmu memiliki dua sisi yang saling kontradiktif. Demikian
pula penemuan-penemuan dibidang kedokteran seringkali sangat mudah
dilihat sisi positif dan negatifnya, seperti

penggunaan bahan dalam

anestesi, teknik-teknik pembedahan, fertilitas, euthanasia dan sebagainya.

10

Kenyataan tersebut

menunjukkan semakin jelas bahwa ilmu bersifat

bebas nilai. Disinilah pentingnya norma dan etika dalam penggunaan


ilmu, yang hendaknya menjadi konsensus bagi umat manusia. Klaimklaim hukum terhadap tindakan dokter dalam euthanasia merupakan
bentuk lain dari sisi negatif dalam penerapan ilmu, yang terkadang sama
sekali tidak terbayangkan oleh dokter yang bersangkutan.
Jadi perkembangan ilmu yang kemudian diujudkan dalam
tindakan berkembang dalam kebudayaan manusia serta sekaligus
mempengaruhi kebudayaan manusia melalui dua sisi tersebut, pada
gilirannya tentu dapat berupa manfaat dan atau bencana. Demikian pula
euthanasia dapat hadir diantara manfaat dan bencana.
Dalam hal ini sebagi seorang individu penulis memiliki hak untuk
berpendapat mengenai euthanasia. Euthanasia merupakan suatu tindakan
controversial, hal ini ditentukan dari sudut pandang yang mana kita
melihatnya. Penulis sercara tegas menentang keras tindakan Euthanasia
dengan alasan dan berbagai perspektif.
Munculnya pro dan kontra seputar persoalan euthanasia menjadi
beban tersendiri bagi komunitas hukum. Sebab, pada persoalan
legalitas inilah persoalan euthanasia akan bermuara. Kejelasan tentang
sejauh mana hukum (pidana) positif memberikan regulasi/pengaturan
terhadap persoalan euthanasia akan sangat membantu masyarakat di
dalam menyikapi persoalan tersebut. Lebih-lebih di tengah kebingungan
kultural karena munculnya pro dan kontra tentang legalitasnya. Patut
menjadi catatan, bahwa secara yuridis formal dalam hukum pidana positif
di Indonesia hanya dikenal satu bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang
dilakukan

atas

permintaan

pasien/korban

itu

sendiri

(voluntary

euthanasia) sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344 KUHP.


Pasa

l344

KUHP

secara

tegas

menyatakan

11

Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu
sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan
pidana

penjara

paling

lama

duabelas

tahun.

Bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut tersimpul, bahwa


pembunuhan atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi
pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia
euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan
demikian dalam konteks hukum positif di Indonesia, tidak dimungkinkan
dilakukan pengakhiran hidup seseorang sekalipun atas permintaan
orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak
pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa
yang

melanggar

larangan

tersebut.

Mengacu pada ketentuan tersebut di atas, maka munculnya kasus


permintaan tindakan medis untuk mengakhiri kehidupan yang muncul
akhir-akhir ini. (kasus Hasan Kesuma yang mengajukan suntik mati
untuk istrinya, Ny. Agian dan terakhir kasus Rudi Hartono yang
mengajukan hal yang sama untuk istrinya, Siti Zuleha) perlu dicermati
secara hukum. Kedua kasus ini secara konseptual dikualifikasi sebagai
non voluntary euthanasia, tetapi secara yuridis formal (dalam KUHP) dua
kasus ini tidak bisa dikualifikasi sebagai euthanasia sebagaimana diatur
dalam Pasal 344 KUHP. Secara yuridis formal kualifikasi (yang paling
mungkin) untuk kedua kasus ini adalah pembunuhan biasa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 338 KUHP, atau pembunuhan berencana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 KUHP. Dalam ketentuan Pasal
338 KUHP secara tegas dinyatakan, Barang siapa sengaja merampas
nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara
paling lama lima belas tahun. Sementara dalam ketentuan Pasal 340
KUHP dinyatakan:

12

Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dulu


merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan berencana,
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama
waktu

tertentu

paling

lama

dua

puluh

tahun.

Di luar dua ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat
digunakan untuk menjerat pelaku euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356
(3) KUHP yang juga mengancam terhadap Penganiayaan yang
dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan
kesehatan untuk dimakan atau diminum.Selain itu patut juga
diperhatikan adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal
304 dan Pasal 306 (2).

Dalam ketentuan Pasal 304 KUHP.


Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan
seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang
berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberikan
kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu,
diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan
bulan

atau

denda

paling

banyak

tiga

ratus

rupiah.

Sementara dalam ketentuan Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan,


Jika mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut dikenakan
pidana

penjara

maksimal

sembilan

tahun.

Dua ketentuan terakhir tersebut di atas memberikan penegasan, bahwa


dalam konteks hukum positif di Indonesia, meninggalkan orang yang
perlu ditolong juga dikualifikasi sebagai tindak pidana. Dua pasal
terakhir ini juga bermakna melarang terjadinya euthanasia pasif yang
sering terjadi di Indonesia.

13

Fenomena euthanasia ini berkembang lagi ketika kasus Nyonya


Agian mencuat di permukaan ketika suaminya (Hasan) meminta DPRD
Bogor untuk mengagalkan keinginannya untuk meng-eutanasia istrinya
tersebut. Banyak orang yang menentang apa yang dilakukan Hasan pada
istrinya tersebut,dengan alasan bahwa eutanasia itu bertentangan dengan
nilai-nilai etika, moral karena termasuk perbuatan yang merendahkan
martabat manusia dan perbuatannya tergolong pembunuhan, mengingat
kematian

menjadi

tujuan.

Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia"


dalam majalah Human Life International Special Report Nomor 67,
November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap
dokter di Belanda dimungkinkan melakukan euthanasia dan tidak akan
dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah
ditetapkan. Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan
rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan membuat laporan
dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan. kapankah hal seperti itu terjadi
di

Indonesia?

Kiranya persoalan euthanasia, meskipun pelaksanaannya tidak harus dan


tidak selalu dengan suntikan, merupakan sebuah persoalan dilematis.
Selain hukum, praktik eutanasia tentu saja berbenturan dengan nilai-nilai
etika dan moral yang menjunjung tinggi harkat dan martabat kehidupan
manusia. Adanya indikasi-indikasi baik medis maupun ekonomis tidak
secara otomatis melegitimasi praktik eutanasia mengingat eutanasia
berhadapan dengan faham nilai menyangkut hak dan kewajiban
menghormati

dan

membela

kehidupan.

14

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mengingat kondisi demikian, yang dibutuhkan kemudian adalah
perawatan dan pendampingan, baik bagi si pasien maupun bagi pihak
keluarga. Perhatian dan kasih sayang sangat diperlukan bagi penderita
sakit terminal, bukan lagi bagi kebutuhan fisik, tetapi lebih pada
kebutuhan psikis dan emosional, sehingga baik secara langsung maupun
tidak kita dapat membantu si pasien menyelesaikan persoalan-persoalan
pribadinya dan kemudian hari siap menerima kematian penuh penyerahan
kepada penyelenggaraan Tuhan Yang Maha Esa.
Bagaimanapun si pasien adalah manusia yang masih hidup, maka
perlakuan yang seharusnya adalah perlakuan yang manusiawi kepadanya.
Jelas bahwa hukum (pidana) positif di Indonesia belum memberikan ruang
bagi euthanasia baik euthanasia aktif maupun euthanasia pasif. Tanpa
harus mengesampingkan pendapat lain, kesimpulan normatif ini urgen
untuk disampaikan mengingat berbagai hal.
Pertama, munculnya permintaan tindakan medis euthanasia hakikatnya
menjadi indikasi, betapa masyarakat sedang mengalami pergeseran nilai
kultural. Penulis menentang dilakukannya euthanasia atas dasar etika,
agama, moral dan legal, dan juga dengan pandangan bahwa apabila
dilegalisir, euthanasia dapat disalahgunakan. Kelompok pro-euthanasia
mungkin akan menentang pendapat ini dengan menggunakan argumen
quality of life, autonomi dan inkonsistensi hukum.
Namun demikian, argumen-argumen yang telah dikemukakan di atas
lebih kuat. Argumen pertama yaitu secara etika, tugas seorang dokter
adalah untuk menyembuhkan, bukan membunuh; untuk mempertahankan
hidup, bukan untuk mengakhirinya. Dasar agama adalah argumen
berikutnya, di mana dokter percaya kesucian dan kemuliaan kehidupan
manusia. Dari segi respek moral, pilihan untuk membunuh, baik orang lain
maupun diri sendiri adalah imoral karena merupakan tindak sengaja untuk

15

membunuh seorang manusia. Dari segi legal, seorang dokter yang


melakukan euthanasia atau membantu orang yang bunuh diri telah
melakukan tindakan melanggar hukum. Argumen terakhir adalah sulitnya
untuk melegalisir euthanasia karena sulitnya membuat standar prosedur
yang efektif. Lebih jauh lagi, melegalisir voluntary euthanasia dapat
mengarah kepada dilakukannya involuntary euthanasia dan membuat
orang-orang lemah seperti orang lanjut usia dan para cacat berada dalam
risiko. Selanjutnya hal ini juga dapat memberikan tekanan kepada mereka
yang merasa diabaikan atau merasa sebagai beban keluarga atau teman.
Pengalaman di negeri Belanda telah membuktikan konsep slippery slope.

B. Saran
Apabila hukum di Indonesia kelak mau menjadikan persoalan
eutanasia

sebagai salah satu materi

pembahasan,

semoga tetap

diperhatikan dan dipertimbangkan sisi nilai-nilainya, baik sosial, etika,


maupun

moral.

DAFTAR PUSTAKA
16

Wibudi, Aris, Euthanasia.(makalah)


http://rudyct.tripod.com/sem2_012/aris_wibudi. ITB. Bogor. 2002
Terbarzana, Rina Rehulina, Euthanasia. http://www.myquran.org/. 09 Agustus
2005
The Slippery Slope of Dutch Euthanasia. Human Life International Special Report
Nomor 67, November 1998.
Kristiantoro, Amb Sigit, Eutanasia, Perspektif Moral
Hidup.http://www.kompas.com/kompas-cetak/0410/15/ilpeng/1325806.htm
Jumat, 15 Oktober 2004
Qardhawi, Yusuf, Fatwa-fatwa Kontemporer . Gema Insani Press.
Huston Smith. The Religion of Man (Agama agama Manusia). Diterjemahkan
oleh Yayasan Obor Indonesia.
What

happens

after

death?.

http://folk.uio.no/mostarke/forens_ent/afterdeath.shtml. 21 April 2002


Glossary of Terms Concerning End of Life issues . http : // www
.finalexit.org/glossframe.html 21 April 2002
Prakoso, Djoko dkk. 1984. Euthanasia Hak Asasi Manusia dan

Hukum

Pidana. Ghalia Indonesia.


Petrus Yoyo Karyadi. 2001. Euthanasia dalam Perspektif Hak Azasi Manuisa.
Media Prssindo.

17

Anda mungkin juga menyukai