Anda di halaman 1dari 8

Teguh Prayogo Sudarmanto.

“Sebuah Pembelajaran Pengelolaan HIV/AIDS dari Swaziland


untuk Afrika”. The writer can be contacted by email on pengelana.kecil@gmail.com

MAKALAH AKHIR
MATA KULIAH DINAMIKA KAWASAN TIMUR TENGAH DAN AFRIKA
DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA

“SEBUAH PEMBELAJARAN PENGELOLAAN HIV/AIDS


DARI SWAZILAND UNTUK AFRIKA”
OLEH:
TEGUH PRAYOGO SUDARMANTO (0706291432)

A. PENDAHULUAN
Afrika adalah benua yang ditindas. Ditindas oleh kekurangmampuan untuk
menyelesaikan permasalahan sebaik dengan dunia luar Afrika. Lihat saja, menurut laporan dari
the United Nations on Acquired Immuno Deficiency Syndrom (UNAIDS)—sebuah program
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dijalankan bersama oleh organisasi internal PBB untuk
melawan HIV/AIDS—, benua itu pada tahun 2005 saja memiliki orang dengan HIV (Human
Immuno Deficiency Virus) / AIDS (ODHA) sebanyak 38,6 juta jiwa.1 Sedangkan untuk hanya di
kawasan Sub-Sahara Afrika sebanyak 24,5 juta jiwa atau sekitar 63%.2 Bukanlah sesuatu yang
menggembirakan tentunya untuk memiliki sebuah negara yanghampir mayoritas
penduduknya adalah ODHA. Sudah menjadi sebuah keharusan bagi Afrika itu sendiri untuk
menghancurkan penindasan yang membuat benua tersebut menjadi benua yang gagal.
Swaziland merupakan salah satu di negara Sub-Sahara Afrika yang memiliki prevelansi
ODHA bila dibandingkan dengan negara lain di Afrika tertinggi karena lebih dari 20% orang
dewasa yang ada di negara itu adalah ODHA.3 Dari sekiat satu juta lebih warganegaranya,
diprediksikan ada sekitar 200.000 warga negara yang terinfeksi HIV/AIDS. Bahkan, menurut
laporan di sebuah klinik, pada tahun 2004 sekitar 42,6% orang yang melakukan pemeriksaan
terinfeksi HIV/AIDS pada tahun 2004.4 Walaupun Swaziland tidak sendirian karena
peringkatnya juga hampir sama dengan Botswana, Lesotho, dan Zimbabwe,5 peringkat
persentase ODHA di Swaziland pada tahun 2005 adalah yang tertinggi di dunia.6 Adalah
menjadi tantangan bagi Swaziland dengan statusnya yang buruk untuk dapat mengatasi
permasalahannya sendiri. Beberapa tahun belakangan ini, UNAIDS bekerjasama dengan Global
Fund (organisasi internasional yang mengurusi AIDS, tuberkolosis, dan malaria) melakukan

1 Alan Whiteside dan Anokhi Parikh, “the AIDS Crisis: International Relations and Governance in Africa”,
dalam John W. Harbeson dan Donald Rothchild (ed.), Africa in World Politics: Reforming Political Order,
(Philadelphia: Westview Press, 2009), hlm. 165.
2 Ibid.
3 Alan Whiteside dan Anokhi Parikh, “the AIDS Crisis: International Relations and Governance in Africa”, op.

cit., hlm. 166.


4 UNAIDS, Helping Ourselves: Community Responses to AIDS in Swaziland, (Jenewa: UNAIDS, 2006), hlm. 10.
5 Alan Whiteside dan Anokhi Parikh, “the AIDS Crisis: International Relations and Governance in Africa”, op.

cit., hlm. 166.


6 UNAIDS, Helping Ourselves: Community Responses to AIDS in Swaziland, (Jenewa: UNAIDS, 2006), op. cit.,

hlm. 7.
1
Teguh Prayogo Sudarmanto. “Sebuah Pembelajaran Pengelolaan HIV/AIDS dari Swaziland
untuk Afrika”. The writer can be contacted by email on pengelana.kecil@gmail.com

semacam riset di Swaziland untuk melihat bagaimana negara tersebut berperang terhadap
HIV/AIDS. Hasilnya adalah menggembirakn bahwa ternyata kemudian UNAIDS merasa
bahwa negara ini berhasil untuk melakukan peperangan. Adalah sebuah laporan yang
menggembirakan bagi Afrika karena ternyata Swaziland mampu mengatasi permasalahannya
dengan lebih baik. Makalah ini bertujuan untuk meneleaah apa yang menjadi faktor
keberhasilan Swaziland untuk memerangi HIV/AIDS. Salah satu indikator keberhasilan itu
adalah penurunan perlahan tingkat infeksi baru pada manusia usia 15-20 tahun.7 Menelaah
faktor keberhasilan untuk kemudian dianalisis adalah salah satu cara untuk dapat memetik
pembelajaran yang dapat digunakan oleh wilayah lain di Afrika yang juga sama-sama rentan
terhadap penyebaran HIV/AIDS.
Bagi Afrika secara umum, salah satu permasalahan utama yang menjadi penindasan bagi
Afrika untuk dapat mengatasi permasalahan HIV/AIDS adalah manajemen pengelolaan
HIV/AIDS yang sangat buruk. Padahal, HIV/AIDS memerlukan manajemen pengelolaan
HIV/AIDS yang baik karena penyakit ini bukanlah penyakit biasa. Manajamen yang baik ini
dapat dilakukan dengan memberikan kepedulian yang lebih. Kepedulian itu dapat diwujudkan
dengan membangun dukungan dan penyadaran dalam masyarakat mengenai keberadaan
HIV/AIDS dan perlunya langkah bersama yang komprehensif untuk dapat mencegah
penyebaran penyakit lebih luas. Pembangunan kepedulian dan kesadaran inilah yang
sebenarnya menjadi tantangan terbesar Afrika khususnya Afrika Sub-Sahara di tengah berbagai
kekacauan struktural yang menyebabkan negara-negara yang ada sebagai organisasi pengelola
kehidupan bermasayarakat tidak mampu menjalankan fungsinya. Untuk memikirkan
kebutuhan primer hidup seperti makanan, tempat tinggal, dan pakaian saja masih sulit, apalagi
untuk memikirkan masalah lain yang „kelihatannya‟ tidak penting. Namun, Afrika harus segera
mempelajari cara terbaik untuk menyelesaikan permasalahan HIV/AIDS karena penyakit ini
memiliki karakter khusus yang salah satunya adalah untuk dapat menjadi the silent death yang
siap menghantui Afrika untuk waktu yang lama jika tidak dapat diselesaikan dengan baik.
Dengan melihat data statistik kependudukan di Afrika dimana pertumbuhan penduduk di
Afrika adalah yang tertinggi di dunia dengan mencapai 2,18% pada tahun 2007,8 tentunya
tantangan yang dihadapi Afrika akan menjadi semakin besar.
HIV/AIDS memiliki beberapa karakteristik khusus yang menyebabkan disebut penyakit
tidak biasa. Salah satu bentuk ketidakbiasaan itu dapat dilihat dalam ucapan Jonathan Mann
bahwa satu-satunya jalan untuk mencegah penyebaran adalah dengan memanusiakan ODHA.9
Pertama, HIV/AIDS adalah penyakit yang menyerang sistem imun yang pada akhirnya
berujung kepada kematian. Virus HIV memiliki kekebalan unik untuk dapat dihancurkan oleh
sistem imun ketika memasuki tubuh.10 Target utama dari virus ini adalah untuk
menghancurkan induk sel yang melakukan kerja dasar sistem imun yaitu sel macrophage (untuk
memakan sel asing yang masuk ke tubuh) dan CD4+T- (untuk mengkoordinasi kerja sistem
imun dan menghasilkan sekresi zat bagi pelaksanaan sistem imun yang lebih baik).11 Karena sel
HIV/AIDS sulit untuk dilawan, maka kerja tubuh untuk melawannya akan berlangsung lama
dan bahkan berlangsung bertahun hingga berpuluh tahun semenjak pertama kali virus itu

7 Ibid., hlm. 12.


8 Microsoft Encarta 2009, “World Population Vital Rates”, dalam Microsoft Encarta 2009.
9 Prof. Jonathan Mann, Alm. adalah perintis paduan ilmu kesehatan dan hak asasi manusia (HAM)

Universitas Harvard dan mantan Direktur Program Global World Health Organization (WHO), dalam
Kompas, Rabu, 17 Desember 2008, diunduh dari
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/17/00405436/meniti.paradoks.aids.
10 Bank Dunia, Confronting AIDS: Public Priorities in a Global Epidemic, (Oxford: Oxford University Press,

1999), hlm. 19.


11 Ibid., hlm. 19-20.

2
Teguh Prayogo Sudarmanto. “Sebuah Pembelajaran Pengelolaan HIV/AIDS dari Swaziland
untuk Afrika”. The writer can be contacted by email on pengelana.kecil@gmail.com

masuk ke tubuh. Pada akhirnya, kerja sistem imun akan semakin melemah seiring berjalannya
waktu dan memfasekan keadaan kepada kondisi tubuh amat rentan terhadap masuknya
penyakit lain. Inilah tahap terakhir yang disebut sebagai AIDS yang semakin mendekatkan
ODHA dengan kematian karena suatu penyakit yang tiba-tiba masuk tidak akan dapat dikelola
dengan baik oleh sistem imun. Kedua, karena penyakit ini disebabkan oleh virus, maka
penyakit ini memiliki sifat untuk menular. Cara penularannya adalah melalui cairan reproduksi
dan darah.
Ketiga, karena dua karakteristik sebelumnya yaitu kematian dan penularan termasuk cara
penularannya, masyarakat selalu melekatkan stigma kepada keberadaan penyakit ini. Lihatlah
apa yang terjadi ketika Amerika Serikat (AS) untuk pertama kalinya di tahun 1981-an
mengalami serangan penyebaran penyakit ini yang kebetulan dibawa oleh seorang
homoseksual yang mendapatkan virus setelah melakukan kegiatan wisata di Haiti.12 Pada saat
itu, aktivitas homoseksual diklaim menjadi sumber dari penyebaran HIV/AIDS. Pada saat yang
bersamaan, gereja dan pemerintah bahkan juga bersikap antipati terhadap ODHA. Persepsi
negatif atau stigma yang ditimbulkan akibat: (a) adanya ketakutan akibat karakter penyakit, (b)
ketiadaan informasi yang lebih jelas mengenai HIV/AIDS dan penyebarannya, (c) rasa malu
akibat informasi terbatas lanjutan yang menjustifikasi bahwa HIV/AIDS ditularkan melalui
hubungan seksual saja, (d) diskriminasi yang kemudian muncul untuk diberikan kepada ODHA
misalnya ODHA akan mendapatkan keterbatasan pengobatan dan akses terhadap fasilitas-
fasilitas yang selama ini dapat dia akses ketika dia normal, dan (e) ketidakmauan untuk
berdiskusi atau bahkan mendiskusikan lebih lanjut mengenai HIV/AIDS di masyarakat13 ini
pada akhirnya menyebabkan HIV/AIDS menyebar dengan cepat di AS. Hingga pada akhirnya
dilakukan penelitian dan edukasi dari dan untuk masyarakat yang mampu memperlambat
penyebaran HIV/AIDS di AS.
Ketiga karakter khusus HIV/AIDS inilah yang sebenarnya menjadi permasalahan yang
harus diselesaikan dalam rangka membangun kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Beberapa
hal yang harus segera didapatkan oleh ODHA ketika mengetahui bahwa dirinya terinfeksi
HIV/AIDS adalah: (a) dukungan, dan (b) pengobatan medis. Bagi masyarakat sendiri adalah
untuk mulai mendiskusikan secara bersama-sama cara yang terbaik untuk memulai kegiatan
penghapusan stigma yang lebih lanjut ditujukan untuk menolong ODHA pulih dan kemudian
bersama-sama antara masyarakat dan ODHA melakukan perang lanjutan menghapus stigma
dan membangun kesadaran mengenai penyebaran HIV/AIDS. Dengan adanya kesadaran inilah
masyarakat secara keseluruhan setidaknya memiliki senjata ampuh yang nyata yang dapat
digunakan untuk benar-benar mencegah penyebaran HIV/AIDS. Pemulaian proses ini tentunya
tidak dapat dipisahkan dari adanya inisiatif dari para akademisi dan orang-orang yang peka,
organisasi non-pemerintah yang berjuang di pemberdayaan sosial termasuk institusi agama
yang sadar dan peka, lembaga donor, dan tentunya pemerintah.14 Hal-hal yang dapat dilakukan
dalam proses pembangunan kesadaran dalam masyarakat secara keseluruhan adalah: (a)
membangun informasi yang benar dan ilmiah yang dibangun bersama-sama mengenai
HIV/AIDS (misalnya: bagaimana HIV/AIDS ditransmisikan, bagaimana penyebarannya dapat
dicegah termasuk penekanan untuk saling peduli dan memberi dukungan, apa perbedaan HIV
dan AIDS), (b) jika pembangunan informasi dilakukan dengan baik, maka tahap kedua untuk
melaksanakan proses informasi dapat dijalankan dengan baik yang mana ketika proses ini
dijalankan adalah bahwa sebenarnya proses antistigma sedang dilaksanakan.15

12 Jonathan Engel, the Epidemic: A Global History of AIDS, (New York: HarperCollins, 2007), hlm. 5-6.
13 Catherine Campbell, Sbongile Maimane, Yugi Nair, dan Zweni Sibiya, Understanding and Challenging
HIVAIDS Stigma, (Durban: HIVAN, 2005), hlm. 15.
14 Ibid., hlm. 13-14.
15 Ibid., hlm. 17-30.

3
Teguh Prayogo Sudarmanto. “Sebuah Pembelajaran Pengelolaan HIV/AIDS dari Swaziland
untuk Afrika”. The writer can be contacted by email on pengelana.kecil@gmail.com

B. PEMBAHASAN
“If we do not honour our past, we lose our future.
If we destroy our roots, we cannot grow”
(Peribahasa Orang Swaziland).16

Sebagaimana yang diinformasikan oleh UNAIDS mengenai keberhasilan yang dialami


oleh Swaziland untuk mengurangi tingkat penyebaran HIV/AIDS, pada tahun 2006 telah
dilakukan survei lanjutan di setiap klinik yang kemudian menyimpulkan berdasarkan hasil
survei itu hanya sekitar 39,2 persen dari pengunjung klinik adalah ODHA.17 Kedua laporan ini
membuktikan bahwa ternyata keberhasilan yang dialamni Swaziland diamini oleh banyak
pihak.
Penyebaran HIV/AIDS di Swaziland sudah dimulai semenjak penyakit itu menyebar di
tahun 1970-an. Kemunculan dan diikuti dengan kenaikan yang sedemikian pesat terhadap
jumlah populasi di Swaziland terjadi semenjak tahun 1990-an. Menurut data dari UNAIDS,
persentase orang yang mengidap HIV/AIDS dari survei yang dilakuakn terhadap pengunjung
klinik di Swaziland adalah:18 (a) 1992 sebanyak 3,9%, (b) 1994 sebanyak 16,1%, (c) 1996 sebanyak
31,6%, (d) 1997 sebanyak 34,2%, (e) 2000 sebanyak 38,6%, dan (f) 2004 sebanyak 42,6%, ditambah
dengan laporan (g) 2006 sebanyak 39,2% (Whiteside dan Parikh). Adalah sulit bagi penulis
untuk menjelaskan fenomena ini terutama mengenai peningkatan yang pesat dari tahun 1992-
1994 dan dari tahun 1994-1996. Namun beberapa analisis mengatakan bahwa dari pesan
peningkatan yang sama juga hampir di Afrika khususnya Sub-Sahara secara keseluruhan adalah
dikarenakan peningkatan kesadaran masyarakat untuk memeriksakan penyakitnya seiring
dengan semakin membaiknya proses pembangunan kesadaran tersebut termasuk
meningkatnya sarana dan fasilitas kesehatan, pendidikan, serta yang tidak terlepas adalah
adanya tekanan dari pihak internasional seperti dengan melakukan bantuan kontrol dan
konseling.19 Pada saat yang bersamaan di era memasuki abad ke-21 atau abad ke-20 akhir
adalah masa-masa dunia untuk memikirkan kembali apa yang telah dilakukan sebelumnya.
Pada saat itu Perang Dingin telah berakhir dengan ditandai keruntuhan Uni Soviet. Berbagai
pemikiran mengenai reformasi PBB juga dipikirkan termasuk reformasi di organisasi intra PBB
yang mengurusi permasalahan sosial seperti HIV/AIDS ini. Perkembangan teknologi informasi
dan transportasi juga turut berperan penting dalam membangun kesadaran manusia untuk
lebih peduli. Akibatnya mungkin adalah data-data yang semakin mudah untuk diakses
bersamaan dengan peningkatan kesadaran tersebut.
Kasus HIV/AIDS di Swaziland merebak dikarenakan beberapa alasan.20 Pertama adalah
karena rusaknya norma dan nilai tradisional yang berakibat kepada penurunan moral terutama
akibat adanya budaya yang diimpor sejak kolonialisme dan konsumerisme. Alasan pertama ini
lebih diakibatkan adanya kekurangmampuan masyarakat Swaziland untuk dapat lebih
mengkoordinasikan kehidupan bermasyarakatnya dengan baik ketika terjadi perbenturan
identitas. Pendidikan yang rendah dianalisis menjadi penyebab. Kedua adalah karena mobilitas
pergerakan manusia yang sangat tinggi dimana para pria terutama dari pedesaan banyak yang
bekerja di kota dan di Afrika Selatan sebagai penambang. Tingkat mobilitas yang tinggi ini
menyebabkan para pria dapat dengan mudahnya menjalin hubungan dengan orang lain di luar
keluarganya. Hal ini akan sangat rentan dalam membantu penyebaran HIV/AIDS terlebih

16 UNAIDS, Helping Ourselves: Community Responses to AIDS in Swaziland, op.cit., hlm. 7.


17 Alan Whiteside dan Anokhi Parikh, “the AIDS Crisis: International Relations and Governance in Africa”, op.
cit., hlm. 168.
18 UNAIDS, Helping Ourselves: Community Responses to AIDS in Swaziland, op.cit., hlm. 10.
19 Jonathan Engel, the Epidemic: A Global History of AIDS, op. cit., hlm. 295.
20 UNAIDS, Helping Ourselves: Community Responses to AIDS in Swaziland, op.cit., hlm. 11-12.

4
Teguh Prayogo Sudarmanto. “Sebuah Pembelajaran Pengelolaan HIV/AIDS dari Swaziland
untuk Afrika”. The writer can be contacted by email on pengelana.kecil@gmail.com

dengan adanya alasan pertama dimana tingkat pendidikan yang rendah serta berkurangnya
pemahaman mereka yang lebih baik terhadap budaya asli mereka menyebabkan sangat
berkurangnya ketaatan mereka untuk tidak menjalin hubungan terutama hubungan seksual di
luar dari keluarganya. Ketiga adalah kehidupan sosial di masyarakat di semua level Swaziland
yang membiasakan untuk hidup berpoligami. Bahkan, Raja Swaziland sendiri juga melakukan
poligami dengan menambah jumlah istri setiap tahun.21 Jika dianalisis secara keseluruhan ketiga
alasan ini, maka memang adalah bukan suatu hal yang luar biasa ketika Swaziland kemudian
harus mengalami epidemi HIV/AIDS dengan tingkat yang sangat tinggi. Bukan suatu hal yang
unik karena ketiga alasan ini hampir semuanya dapat dijadikan alasan juga bagi negara-negara
Afrika Sub-Sahara. Swaziland mungkin memiliki kebudayaan poligami yang ketika
disinggungkan dengan perkembangan jaman yang semakin terbuka dan tingkat pendidikan
yang rendah mengakibatkan budaya poligami tersebut bukannya semakin untuk dikaji, malah
semakin bebas untuk diterapkan. Dengan adanya mobilitas tinggi terutama bagi para pria untuk
bekerja mencari nafkah hingga ke daerah penambangan di Afrika Selatan semakin
memperbesar penyebaran HIV/AIDS karena para pria ini dapat dengan mudah untuk
membina hubungan dengan perempuan lain di luar keluarganya.
Menyadari bahwa negaranya memiliki tingkat persentasi ODHA terbanyak dan belum
adanya manajemen untuk menanggulangi hal ini membuat negara ini kemudian mendirikan
Dewan Respon Darurat HIV/AIDS Nasional (DRDHAN) pada tahun 2001 dengan berlandaskan
pada enam prinsip.22 Pertama, respon harus dilakukan secara nasional untuk memobilisasi
respon secara efektif. Kedua, memakai solusi lokal untuk dijadikan model pemecahan masalah
karena setiap daerah memiliki sumber permasalahan yang berbeda. Ketiga, dewan yang
dibentuk adalah untuk meningkatkan dan memperdalam kemampuan bukannya digunakan
untuk membangun birokrasi baru. Keempat, pelayanan pencegahan penyebaran lebih lanjut
dan lebih meluas, sesuai dengan tujuannya, haruslah dapat diakses oleh setiap individu di
dalam masyarakat terutama bagi anak yatim piatu yang ditinggal oleh orang tuanya karena
HIV/AIDS. Kelima, keterlibatan aktif dari masyarakat sendiri yang merupakan dasar pijakan
dari respon negara dimana respon ini harus dimiliki oleh masyarakat tidak hanya karena
desakan dari pemerintah. Dan keenam, respon harus dilakukan secara berkelanjutan dan tidak
boleh dilakukan dengan serampangan atau dikarenakan sesuatu yang tidak berasaskan pada
penyelesaian inti masalah. Bagi Swaziland, adalah sangat mendesak untuk dapat menyelesaikan
permasalahan ini. Inilah yang menyebabkan permasalahan yang semulanya tidak dianggap
unik di Swaziland karena sebenarnya apa yang terjadi di Swaziland dapat saja juga terjadi di
negara lain di Sub-Sahara Afrika beberapa tahun atau dekade mendatang untuk kemudian
menjadi unik karena HIV/AIDS berhasil melumpuhkan ketahanan negara yang lambat laun
menyebabkan Swaziland hancur.23 Swaziland, mengalami tingkat pertumbuhan negatif 0,41%
pada tahun 2008,24 angka harapan hidup pada tahun 2006 menurut UNDP hanya mencapai 33
tahun.25
Pada saat yang bersamaan, bantuan asing datang seperti contohnya berasal dari
kolaborasi UNAIDS dan Global Fund yang membantu dukungan dan dana bagi pengembangan
solusi yang diterapkan oleh Swaziland. Namun karena pada akhirnya solusi yang diterapkan

21 Alan Whiteside dan Anokhi Parikh, “the AIDS Crisis: International Relations and Governance in Africa”, op.
cit., hlm. 185.
22 UNAIDS, Helping Ourselves: Community Responses to AIDS in Swaziland, op.cit., hlm. 12.
23 Alan Whiteside dan Anokhi Parikh, “the AIDS Crisis: International Relations and Governance in Africa”, op.

cit., hlm. 177.


24 Microsoft Encarta 2009, "Swaziland", (Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2008).
25 Alan Whiteside dan Anokhi Parikh, “the AIDS Crisis: International Relations and Governance in Africa”, op.

cit., hlm. 172.


5
Teguh Prayogo Sudarmanto. “Sebuah Pembelajaran Pengelolaan HIV/AIDS dari Swaziland
untuk Afrika”. The writer can be contacted by email on pengelana.kecil@gmail.com

oleh Swaziland tidak hanya diamini olehe pemerintahnya namun juga masyarakat mulai
tergerak dan sadar untuk memerangi HIV/AIDS, bantuan asing berupa dana secara perlahan
dikurangi. Pengurangan ini ditujukan untuk mengurangi juga tingkat ketergantungan yang
sangat berbahaya bagi kemandirian proses peperangan dan bagi pemerintah sendiri mungkin
dikarenakan adanya prasyarat yang mendikte agar kebijakan yang dihasilkan mereka harus
sesuai dengan prasyarat itu.26 UNAIDS sendiri mengakui bahwa kebijakan nasional yang
dimunculkan oleh Swaziland adalah mendukung tiga prinsip dasar pengelolaan HIV/AIDS:27
(a) kerangka kerja yang didukung oleh semua aktor, (b) koordinasi dilakukan secara nasional,
dan (c) terdapat sistem pengawasan dan evaluasi.
Salah satu unsur keunikan dari Swaziland yang kemungkinan memperbesar
pembangunan kepedulian dan kesadaran seluruh aktor baik pada elemen pemerintah maupun
masyarakat adalah bahwa Swaziland memiliki anak yatim piatu yang sangat banyak akibat
keberadaan epidemi HIV/AIDS. Anak yatim piatu ini berumur kurang dari 18 tahun yang
memiliki ciri: orang tua atau wali yang tidak mampu menjaga mereka hingga dewasa, mereka
hidup sendiri atau diasuh oleh kakek dan nenek yang sudah tua dan miskin, mereka sangat
kekurangan akses ke pelayanan kesehatan-makanan-pendidikan-pakaian-rumah-hingga
pelayanan psikologis, dan mereka mengalami kekerasan secara fisik dan atau seksual termasuk
anak-anak yang dipekerjakan.28 Pada tahun 2005 mereka diperkirakan ada sekitar 69.000 dan
pada tahun 2010 akan mencapai sekitar 15% dari total populasi atau sebanyak 120.000 jiwa.29
Data yang sama juga dikatakan Kepala DRDHAN pada Juni 2007, Dr. Derek von Wissell yang
juga mempublikasikan data ini di koran lokal bahwa ada sekitar 70.000 anak yatim piatu di
Swaziland dan diprediksikan memecahkan rekor 10% dari total penduduk Swaziland di tahun
2010.30 Pernyataannya di koran sangat menggugah kesadaran dan kepedulian mengingat bahwa
akibat HIV/AIDS secara nasional Swaziland akan mengalami guncangan hebat di masa yang
akan datang akibat semakin sibuknya mereka mengurusi anak yatim piatu yang di tahun ketika
dia mempublikasikannya ada banyak sekali masyarakat yang rumah-rumahnya sudah terlalu
penuh untuk mengurusi anak yatim piatu termasuk fasilitas kesehatan yang penuh sesak
dengan anak yatim piatu termasuk yang sakit akibat HIV/AIDS. Apa yang dilakukan van
Wissel tentunya dapat dianalisis sebagai sebuah proses untuk membangun kesadaran dan
kepedulian yang lebih untuk menggerakan hati masyarakat Swaziland dalam memerangi
HIV/AIDS. Van Wissell bahkan menekankan untuk lebih memikirkan kembali nasib mereka
terutama anak yatim piatu ini ke depannya yang tidak lain adalah sangat berguna bagi masa
depan Swaziland sendiri.
Dari masyarakatnya sendiri, langkah untuk terlibat aktif di dalam usaha untuk
mengurangi epidemi HIV/AIDS adalah dengan mengkoordinasikan implementasi aksi yang
dibagi-bagi dalam setiap wilayah. Swaziland memiliki 360 Umphakatsi atau kepala suku yang
langsung mengurusi setiap keluarga yang berada di masing-masing wilayah.31 Koordinasi ini
dimanajemen oleh DRDHAN yang disepakati langsung oleh raja. Pengalaman-pengalaman
yang ada yang dirasakan oleh masyarakat pada akhirnya turut membantu menggerakan aksi ini
menjadi suatu yang berguna. Mungkin yang terjadi adalah masyarakt dahulu yang
menggerakan aksi tersebut yang dimulai dari adanya kesadaran individu akibat pengalaman
bersinggungan langsung dengan HIV/AIDS. Misalnya, ketika mendapati di dalam keluarganya

26 Ibid., hlm. 178.


27 UNAIDS, Helping Ourselves: Community Responses to AIDS in Swaziland, op.cit., hlm. 13.
28 Ibid.
29 Ibid., hlm. 7.
30 Alan Whiteside dan Anokhi Parikh, “the AIDS Crisis: International Relations and Governance in Africa”, op.

cit., hlm. 186.


31 UNAIDS, Helping Ourselves: Community Responses to AIDS in Swaziland, op.cit., hlm. 14.

6
Teguh Prayogo Sudarmanto. “Sebuah Pembelajaran Pengelolaan HIV/AIDS dari Swaziland
untuk Afrika”. The writer can be contacted by email on pengelana.kecil@gmail.com

ada yang meninggal tiba-tiba, keluarga pun mencari tahu penyebab kematian. Pada akhirnya,
aksi lokal ini yang diikuti dengan kemauan pemerintah dapat menggerakan dan menyebarkan
aksi secara nasional. Banyak keluarga akhirnya membantu merawat anak yatim piatu baik yang
menderita HIV/AIDS ataupun tidak.
Terdapat dua komunitas yang patut dijadikan pembelajaran untuk melawan penyebaran
HIV/AIDS, yaitu komunitas Mambatfweni di wilayah Manzini dan komunitas Mambane di
wilayah Lubombo.32 Pada komunitas Mambatfweni terdapat sekitar 4000 keluarga dengan rata-
rata 6-7 orang tiap keluarga. Kehidupan keluarga pada komunitas ini adalah berkecukupan
dengan kekeringan bukan menjadi ancaman. Sedangkan pada komunitas Mambane yang
memiliki 875 keluarga dengan rata-rata 10 orang tiap keluarga berada di daerah yang terpencil
dan tandus yang menyebabkan wilayah komunitas ini adalah yang termiskin di Swaziland.
Dalam dua komunitas yang berbeda tersebut terdapat permasalahan yang sama yaitu epidemi
HIV/AIDS dan dampaknya yang buruk bagi kehidupan jika tidak diatasi dengan baik. Anak-
anak yatim piatu terdapat banyak di wilayah ini khususnya di Mambane dengan porsi yang
lebih besar akibat adanya faktor tak pendukung lainnya yaitu kekeringan dan kemiskinan.
Salah satu program yang sangat besar fungsinya untuk pencegahan epidemi HIV/AIDS
dalam skala yang lebih luas adalah dengan menyelamatkan generasi muda negara itu. Program
yang pertama kali diinisiasi oleh seorang perempuan di wilayah Hhohho ini adalah untuk
peduli kepada nasib anak-anak yatim piatu dan sekaligus membangun kesadaran di antara
anak yatim piatu dan para pengasuh mengenai pentingnya bekerjasama antara ODHA dan
orang normal dalam memberantas HIV/AIDS.33 Di dalam rumah itu, pengasuh dan anak-anak
yatim piatu sama-sama membangun kesadaran dengan berinteraksi mengenai HIV/AIDS,
saling berbagi makanan dan tempat tinggal. Program ini kemudian banyak diadopsi oleh
berbagai komunitas lain di 360 wilayah Swaziland. Program ini sendiri bernama Neighbourhood
Care Points (NCP) yang sudah terdapat sebanyak 415 NCP dengan 33.000 anak yatim piatu
terdaftar.34
Di kedua komunitas, Mambatfweni dan Mambane, ada dua perbedaan yang patut untuk
dijadikan pembelajaran ke depannya. Kedua komunitas tersebut berbeda secara finansial dan
dukungan alam. Mambatfweni sendiri memiliki 13 NCP, sedangkan Mambane hanya memiliki
satu NCP. Sistem distribusi di Swaziland haruslah banyak diperbaiki mengingat perbedaan ini.
Masih banyak anak yatim piatu yang harus diurus oleh masyarakat dan pemerintah Swaziland.
Dari refleksi kedua komunitas ini, walaupun NCP merupakan salah satu program
penanggulangan HIV/AIDS yang baik, Swaziland masih harus menghadapi tantangan besar:
(a) jumlah anak yatim piatu akan membludak di tahun 2010 (diprediksikan) dan NCP harus siap
akan itu, (b) pelaksanaan NCP amat tergantung dari adanya relawan yang tidak dibayar dan
bahkan melemah kondisinya akibat penyakit HIV/AIDS-nya yang kurang diobati dan
kemiskinan di Swaziland sendiri, (c) masih adanya tantangan besar akan stigma HIV/AIDS di
masyarakat yang harus dihapuskan dengan meningkatkan pengetahuan dan pendidikan
masyarakat serta pemerintahnya termasuk para birokrasi, (d) pengurangan kemiskinan yang
harus dipelajari bersama-sama, khususnya mengenai ketakutan ketergantungan bantuan dari
asing—rupanya baik lembaga donor internasional, pemerintah, dan masyarakat masih harus
sama-sama berpikir keras agar bantuan yang diberikan memang dapat mengurangi kemiskinan
yang diharapkan kemiskinan yang dapat menghambat proses positif NCP ini dapat berkurang
secara efektif, dan (e) khusus untuk bantuan keuangan untuk dibutuhkan segera pemecahan
pada poin keempat karena banyak bagian masyarakat Swaziland yang dilanda kelaparan.

32 Ibid., hlm. 15-17.


33 Ibid., hlm. 17.
34 Ibid., hlm. 22.

7
Teguh Prayogo Sudarmanto. “Sebuah Pembelajaran Pengelolaan HIV/AIDS dari Swaziland
untuk Afrika”. The writer can be contacted by email on pengelana.kecil@gmail.com

Program ini juga memiliki sisi positif yang harus dikembangkan lagi: (a) merupakan
pemberdayaan masyarakat yang berasal dari masyarakat dan mendapatkan dukungan baik dari
pemerintah maupun asing, (b) interaksi di dalamnya mampu meningkatkan pemahaman dan
memberikan edukasi langsung kepada masyarakat tentang cara-cara penanggulangan epidemi
HIV/AIDS, dan (c) interaksi di dalamnya yang terbatas khususnya secara finansial juga mampu
merangsang kreativitas masyarakat untuk lebih mandiri seperti mengajari anak yatim piatu cara
mengolah kebun.

C. KESIMPULAN
Ternyata ada bagian di dalam Afrika Sub-Sahara yang mampu menunjukan bahwa aksi
nyata dan kerjasama semua pihak mampu menjadi solusi bagi permasalahan yang selama ini
dianggap sulit untuk dipecahkan di Afrika. Apakah ini benar-benar jawaban dari permasalahan
HIV/AIDS di Afrika Sub-Sahara secara keseluruhan? Tidak ada yang tahu. Namun yang pasti,
proses yang terjadi di Swaziland haruslah benar-benar berasal dari pihak yang merasakan
dampak langsung akibat epidemi dan mau untuk melakukan aksi nyata daripada hanya
sekedar mempolitisasi permasalahan. Swaziland sangatlah akan benar-benar menjadi negara
yang hilang di beberapa dekade mendatang apabila permasalahan HIV/AIDS tidak dapat
diselesaikan dengan baik karena banyak warganegaranya yang akan mati sia-sia (akibat
tiadanya pembelajaran yang dapat dipetik) karena HIV/AIDS. Memang dibutuhkan urgensi
yang dapat ditunjukan dengan urgensi yang terakomodasi. Urgensi ini memanglah harus dapat
diakomodasi dengan baik agar dapat dirasakan secara langsung dan segera efek dari
pelaksanaan urgensi seperti yang terjadi dalam NCP. Proses membangun informasi yang juga
turut melibatkan para ahli (akademisi) baik dari dalam Swaziland maupun juga dari luar
melalui bantuan asing (UNAIDS dan Global Fund misalnya) yang turut juga diakomodasi oleh
masyarakat sekitar dan pemerintah melalui pembentukan DRDHAN secara perlahan-lahan
mampu melaksanakan transformasi nilai-nilai yang ada pada informasi kepada seluruh elemen
negara dengan baik. Transformasi yang baik ini pada akhirnya mampu mengubah masyarakat
kelas bawah menjadi kelas menengah dalam artian masyarakat yang semula tidak tahu dan
tidak peduli menjadi mengetahui dan peduli. Jika transformasi dilakukan dengan secara tidak
tepat tentunya akan menghasilkan proses yang akan berjalan setengah-setengah. Akomodasi
secara bottom-up bersamaan dengan top-down dan sokongan dari pihak luar yang peduli terbukti
ampuh untuk dapat mengatasi permasalahan HIV/AIDS di Swaziland ini. Kemauan untuk
beraksi nyata dan me-review-nya adalah simpulan lain yang didapat dari Swaziland. Semoga
Afrika Sub-Sahara secara khusus dapat belajar dari Swaziland.

D. DAFTAR PUSTAKA
Buku
Bank Dunia. 1999. Confronting AIDS: Public Priorities in a Global Epidemic. (Oxford: Oxford University Press).
Campbell, Catherine, Sbongile Maimane, Yugi Nair, dan Zweni Sibiya. 2005. Understanding and
Challenging HIVAIDS Stigma. (Durban: HIVAN).
Engel, Jonathan. 2007. The Epidemic: A Global History of AIDS. (New York: HarperCollins).
UNAIDS. 2006. Helping Ourselves: Community Responses to AIDS in Swaziland. (Jenewa: UNAIDS).
Whiteside, Alan, dan Anokhi Parikh. 2009. “The AIDS Crisis: International Relations and Governance in
Africa”. Dalam Harbeson, John W., dan Donald Rothchild (ed.). Africa in World Politics: Reforming
Political Order. (Philadelphia: Westview Press).
Internet dan Sumber Lain
Kompas. Rabu, 17 Desember 2008. Diunduh dari
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/17/00405436/meniti.paradoks.aids.
Microsoft Encarta 2009. 2008. "Swaziland". (Redmond, WA: Microsoft Corporation).
Microsoft Encarta 2009. 2008. “World Population Vital Rates”, (Redmond, WA: Microsoft Corporation).

Anda mungkin juga menyukai