Anda di halaman 1dari 18

PEMBELAJARAN KONTESTASI GLOBAL GOVERNANCE HAK ASASI MANUSIA:

STUDI KASUS: PENGELOLAAN HIV/AIDS DI SWAZILAND


SEJAK TAHUN 2001 (SETELAH KERJASAMA MDGS)
Disusun sebagai makalah akhir mata kuliah Isu-Isu Aktual dalam Hubungan Internasional
dengan topik Kontestasi Gagasan Global Governance Permasalahan HAM bidang HIV/AIDS

Disusun oleh:

Teguh Prayogo Sudarmanto (0706291432)


Kluster: Masyarakat Transnasional

Departemen Ilmu Hubungan Internasional


Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia
2010

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Untuk pertamakalinya dalam sejarah umat manusia, pemerintahan negara-negara di bawah
kerangka kerjasama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2000 menyetujui gagasan untuk
melaksanakan sepuluh poin pembangunan sosial yang selama ini sering disuarakan oleh organisasi
masyarakat sipil baik lokal maupun internasional dalam kerangka kerjasama yang dinamakan
Millenium Development Goals (MDGs) atau kerangka Pembangunan Milenium. Dalam MDGs
setidaknya diperoleh sebuah kesepakatan bahwa setiap negara yang terlibat seolah dipaksa untuk
melaksanakan pembangunan sosial yang dalam pelaksanannya membutuhkan kerjasama yang lebih
meluas. Kerjasama yang lebih meluas yang melibatkan peran penting dari organisasi masyarakat sipil
yang di dalamnya juga termasuk komunitas-komunitas lokal ini seolah menandai dibangunnya
jembatan penghubung keterpisahan pengelolaan permasalahan yang dihadapi dalam tingkat global yang
selama ini biasanya diselesaikan secara diplomatis politik hanya oleh pemerintah. Bukankah ini sebuah
kemajuan bagi kebutuhan jawaban solusi bagi tantangan yang semakin berat yang dihadapi dunia di era
globalisasi ini. Diharapkan ke depannya, jembatan penghubung ini semakin terkait romantis untuk
menandai bahwa global governance pengelolaan masalah mendasar manusia memang sedang tercipta.
1.2. Permasalahan
Namun, dalam tulisan ini, penulis masih memiliki beberapa pertanyaan mendasar mengenai
penciptaan global governance dalam kerangka MDGs tersebut. Pertanyaan mendasar ini terkait dengan
kontestasi pemikiran ide global governance dan pelaksanaannya sampai di tingkat lokal. Untuknya,
penulis akan membahas dalam tulisan ini dengan mempertanyakan bagaimana implementasi kontestasi
pelaksanaan global governance ini dengan mengambil studi kasus pelaksanaan pengaturan
permasalahan HIV/AIDS di Swaziland tahun 2001 semenjak negara ini bekerjasama dalam MDGs.
1.3. Kerangka Konsep: Kontestasi Gagasan Global Governance
Thomas Hobbes pernah mengemukakan bahwa bentuk asli dari negara adalah merupakan sebuah
institusi dimana dia mengatakannya sebagai sebuah artificial man, yang didefinisikan sebagai sebuah
institusi bersama yang kehadirannya diberikan semacam bentuk kedaulatan yang mewakili khalayak
banyak untuk memberikan kehidupan dan mosi kepada masyarakat termasuk kehidupan politiknya.1
Sebagaimana juga yang disinggung oleh Karl Marx dalam teori mengenai social contracts-nya. Hobbes

1
Nana K. Poku dan David T. Graham, “Introduction”, dalam David T. Graham dan Nana K. Poku (ed.), Migration,
Globalization and Human Security, (London: Routledge, 2005), hlm. 1.
2
sendiri menerjemahkan kontrak-kontrak sosial ini sebagai bentuk hubungan antara negara dengan
warganegaranya (the state and the citizenry) dimana warganegara berunding dengan negara dalam
sebuah proses untuk menentukan sampai sejauh mana negara memiliki hak untuk mengelola ruang
teritori yang terdefinisikan; hak negara untuk mengelola dan memaksakan peraturan yang diterapkan
demi kepentingan pertukaran keamanan (security) dari kegiatan politik, ekonomi, dan militer.2
Lebih lanjut, pengaturan kontrak sosial ini memiliki beberapa kelemahan jika ditarik ke level
yang lebih tinggi di tataran hubungan internasional. Kelemahan ini terlihat ketika kontrak sosial ini
memang tidaklah hidup sebagai sebuah bangunan yang memiliki kesamaan ciri dengan bangunan
kontrak sosial di level domestik. Dalam tataran hubungan internasional, pengelolaan kontrak sosial
lebih mengikatkan diri pada sebuah proses yang lebih bersifat dinamis dan cukup sulit untuk lebih
terlihat sebagai sebuah kontrak sosial. Jaonna Depledge sendiri dengan pemaparan konsep mengenai
negosiasi, mengatakan bahwa terdapat kesulitan di dalam proses untuk melupakan kompleksitas
hubungan di antara negosiator dan ketidaksamaan kekuasaan yang dimiliki yang cenderung kemudian
membuat proses negosiasi tersebut terhambat dalam mencapai hasil optimumnya.3
Apalagi jika diamati perbandingan keadaan pada perdebatan sentral ilmu hubungan internasional
versi Perang Dingin dan pasca-Perang Dingin sebagaimana yang dibahas dalam tulisan Nana K. Poku,
Neil Renwick, dan John Glenn.4 Tulisan tersebut membahas penggunaan perspektif yang mulai terbuka
dan meluas dalam memandang hubungan internasional. Selama Perang Dingin, interaksi dua raksasa
besar yang mendominasi telah menyebabkan hubungan internasional diisi oleh interaksi yang bersifat
state-centric. Cara pandang ini terutama banyak menghinggapi pola pikir negara-negara dunia ketiga
yang banyak berdiri semenjak berakhirnya Perang Dunia II. Dalam proses state making dan nation
building ditambah dengan interaksi internasional yang bersifat mengkubukan dunia menjadi dua kutub
menyebabkan negara dunia ketiga lebih memilih untuk menjadikan negara sebagai satu kesatuan yang
utuh. Dibawah satu komando seorang pemimpin lah, dan biasanya dalam periode kepemimpinan yang
cukup lama, negara dikelola. Security atau keamanan dikonstruksikan dalam bentuk national interest
(kepentingan nasional) dimana dalam hal ini negara—yang proses pengelolaannya secara legitimasi
diserahkan kepada pemerintah—menentukan poin-poin penting darinya. Akibatnya, secara metodologis
dan ontologis, perspektif yang digunakan untuk memandang dan menganalisis interaksi dalam
hubungan internasional tidak lain lebih banyak difokuskan pada penggunaan perspektif realisme.

2
Ibid.
3
Joanna Depledge, the Organization of Global Negotiations: Constructing the Climate Change Regime, (London:
Earthscan, 2005), hlm. 6.
4
Nana K. Poku, Neil Renwick dan John Glenn, “Human Security in a Globalising World”, dalam David T. Graham dan
Nana K. Poku (ed.), Migration, Globalization and Human Security, op.cit., hlm. 9-14.
3
Penggunaan perspektif realisme saja dirasakan sangat miskin untuk memahami hubungan
internasional kontemporer. Dengan melihat pemaparan mengenai kedangkalan dari kemampuan
interaksi yang terdapat dalam hubungan internasional pada masa Perang Dingin untuk menghasilkan
manfaat langsung bagi pengembangan kehidupan masyarakat sipil akibat kurang interaktifnya
dinamika hubungan internasional yang dihasilkan dengan adanya partisipasi langsung dari masyarakat
sipil, sudah saatnya hubungan internasional kontemporer diisi oleh kegiatan yang bersifat
mengkontestasi apa yang terjadi dan mengambil pembelajaran agar dinamika interaksi dalam hubungan
internasional dapat memberikan manfaat riil tercapainya pengelolaan global terhadap permasalahan
internasional yang baik dan bertanggungjawab. Penggunaan perspektif lain ini misalnya dapat dengan
mulai memasukan pemahaman yang diperoleh dari penggalian kritis mengenai apa yang terjadi dalam
hubungan internasional yang diharapkan dengan adanya penggalian kritis ini akan diperoleh sebuah
pemahaman yang lebih komprehensif dan mendetil.
James Der Derian telah mengingatkan pentingnya agar hubungan internasional diisi oleh interaksi
yang memperhatikan nilai-nilai post teori.5 Der Derian sangat menekankan pentingnya manusia untuk
diganggu dan mengganggu pendekatan ini dalam hubungan internasional karena: (a) pendekatan ini
berbeda dengan pendekatan rasionalis (contohnya adalah pendekatan empiris) dimana dia merasa
walaupun pendekatan ini memiliki cara pandang yang berbeda dari rasionalisme dengan mencerminkan
kenyataan melalui penggunaan analisis intelektual, tetapi bukan berarti pendekatan ini tidak empiris,
(b) pembahasan mengenai moral dalam pendekatan ini dapat sangat menjadi radikal dengan menelusuri
akar dari definisi moral sendiri dimana misalnya dengan meluncurkan pertanyaan dasar “apa moral itu?
siapa penganutnya? bagaimana sesuatu dapat dikatakan bermoral?” yang dengannya manusia akan
mengenal adanya relativisme definisi, (c) pendekatan ini juga tidak serta-merta menjadikan adanya
pelekatan terhadap keadaan all-is-permitted dimana Der Derian justru lebih menekankan adanya
pelekatan istilan all-is-questionable pada pendekatan ini untuk lebih memperlihatkan adanya pemikiran
yang tidak mati akibat adanya pernicious recognition yang condong melekat pada suatu perspektif, dan
(d) bahasa merupakan bentuk dari perjuangan post teori itu sendiri dimana bahasa yang sederhana yang
diilhami oleh pendekatan empiris disebabkan oleh adanya dominasi penguasa yang oleh karenanya
bahasa dalam post teori akan merefleksikan kerumitan yang berubah-ubah dan dinamis. Dengan
memahaminya, tulisan ini setidaknya dapat dipahami sebagai sebuah tulisan yang bergerak tidak hanya
sebagai bentuk persetujuan terhadap pentingnya menggunakan perspektif realis dalam mengamati

5
James der Derian, “Post Theory: The Eternal Return of Ethics in International Relations”, dalam Michael W. Doyle dan
G. John Ikenberry (eds.), New Thinking in International Relations Theory, (Westview Press, 1996), hlm. 54-74.
4
hubungan internasional, lebih dari itu, ternyata suatu pemikiran dapat terus untuk dikritisi agar mampu
memahami dinamika interaksi hubungan internasional dengan lebih baik.
Buktinya, hubungan internasional tidak lagi diisi oleh dominasi negara ataupun juga hanya oleh
kerjasama antarnegara dalam hal ini kerjasama antarpemerintahan yang tersalurkan melalui kerangka
kerjasama intergovernmental relation (IgR). Terdapat juga inisiasi kerjasama yang dilakukan oleh
perusahaan internasional dan organisasi masyarakat sipil internasional. Dalam tulisan ini penulis akan
membahas lebih khusus mengenai kerjasama global yang diinisiasi oleh organisasi masyarakat sipil
internasional dan interaksinya dengan negara secara umum untuk melihat dinamika interaksi hubungan
internasional kontemporer. Ada beberapa kategori sehingga aktor pantas disebut sebagai transnational
actor;6 (1) aktor tersebut harus dapat menjalankan fungsi penting dan berkelanjutan, terutama memiliki
pengaruh dalam hubungan antar negara; (2) aktor tersebut harus dipandang berpengaruh oleh
pengambil keputusan dan turut mempengaruhi kebijakan luar negeri negara yang bersangkutan, baik
secara langsung maupun tidak langsung.
Transnational actors dibagi ke dalam dua kategori yaitu International Governmental
Organization (IGO) dan International Non-Governmental Organization (INGO atau International Civil
Society Oganization atau ICSO). IGO kemudian mewakili kepentingan dan kebijakan negara-negara
yang menjadi anggota secara formal, sedangkan ICSO merupakan perwakilan kelompok-kelompok
non-pemerintah yang lebih memiliki fokus untuk terlibat aktif dalam pemberdayaan masyarakat di
bidang pembangunan sosial di level akar rumput. ICSO kemudian dapat dibagi lagi kedalam beberapa
bagian, diantaranya Non-Profit Organizations (NPO), Private Voluntary Organizations (PVO),
Voluntary Organizations (VA), Peoples Organizations (PO), Grassroots Support Organizations
(GSO), dan Membership Support Organizations (MSO).7
Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi keikutsertaan ICSO dalam politik lingkungan global;8
(1) keahlian anggota ICSO dalam pengetahuan dan pemikiran inovatif tentang isu-isu lingkungan
global yang diperoleh dari spesialisasi isu berdasarkan negosiasi, (2) dedikasi mereka terhadap tujuan
yang melebihi keterbatasan negara atau kepentingan sektoral, dan (3) perwakilan dalam undang-undang
yang substansial dalam negara mereka yang menarik perhatian dan terkadang mempengaruhi sistem
pemilihan umum di negara tersebut. Pada negara-negara industri, mayoritas ICSO yang berperan secara
aktif dalam politik lingkungan dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu organisasi yang berafiliansi dengan
6
Curul Ann Cusgrove dan Kenneth J. Twitchett, The New International Actors: The UN and the EEC, (London: Macmillan,
1970).
7
Daniel S. Papp. Contemporary International Relations, 5th Edition. (New York: McMillan Publishing Company, 1984),
hlm. 86-87.
8
Peter Willets, “Transnational Actors and International Organizations in World Politics”, dalam John Bayts dan Steve
Smith, The Globalization of World Politics: An Introduction Relations, (Oxford: Oxford University Press, 1997).
5
ICSO yang memiliki cabang ke beberapa negara; organisasi nasional besar yang secara khusus
memfokuskan pada isu lingkungan domestik; institusi penelitian yang memiliki pengaruh dari studi-
studi yang dipublikasikan dan proposal-proposal isu yang ingin ditindaklanjuti.9
Ketika sudah dijelaskan dan diakui bahwa ICSO adalah salah satu aktor legal di dunia ini, maka
konsep yang harus dibahas selanjutnya adalah hubungan di antara negara (public sector), pasar
(bussines) dan ICSO (civil society). Ros Tennyson dan Luke Wilde menjelaskan bahwa partnership
(kerjasama) menjadi jalan yang baik bagi ketiganya untuk saling berhubungan, dimana setiap aktor
kemudian mempunyai peran berbeda-beda yang saling melengkapi satu sama lain. Dengan bekerja
sama, keuntungan yang diperoleh oleh masing-masing pihak justru bisa lebih besar dibandingkan
dengan yang tidak bekerjasama, selain itu setiap pihak pasti mendapatkan keuntungan (dua arah/win-
win solution).10 Partnership yang dimaksud oleh Tennyson dan Wilde disini adalah aliansi dua atau
lebih aktor yang saling berkomitmen untuk bekerjasama untuk melaksanakan sebuah proyek
pembangunan berkesinambungan (sustainable development) dimana masing-masing anggotanya saling
berbagi resiko dan keuntungan, meninjau hubungannya secara berkala dan merevisi hubungan
partnership jika memang diperlukan. Kerjasama ini dapat terjadi baik dalam level lokal maupun global
(ICSO). Lantas bagaimana partnership yang sukses dapat tercipta? Terdapat empat karakteristik kunci
dalam dalam menciptakan partnership yang sukses dan efektif, yaitu memegang: (1) prinsip
keterbukaan dan kesetaraan, (2) saling berbagi resiko dan keuntungan, (3) beradaptasi dengan baik
terhadap perubahan, dan (4) bekerja menuju empowerment.
Interaksi antara organisasi masyarakat sipil internasional dengan negara dalam hal ini pemerintah
akan penulis ambil dari tulisan Ann Marie Clark, Elizabeth J. Friedman, dan Kathryn Hochsteller.11
Adalah sulit untuk melihat peran non-governmental organization (NGO) dalam membentuk
pengelolaan global (global governance atau GG) apalagi ketika kita melihatnya jauh ke belakang
ketika pemikiran mengenai NGO dan GG masih sedikit bermunculan. Untuk menganalisisnya, Clark
melihat konferensi tingkat global yang diadakan oleh IgR terbesar, PBB dalam tiga bidang yang cukup
panas diperdebatkan; hak asasi manusia, lingkungan, dan perempuan. Pada tahun 1968 PBB
mengadakan Teheran International Conference tentang hak asasi manusia (HAM) dengan seluruh
peserta masih didominasi oleh perwakilan negara dengan hanya 53 NGO hadir sebagai observer dan 4
NGO ikut dalam komite persiapan. Walaupun demikian, terdapat beberapa lobi NGO untuk dibukakan
9
Ibid.
10
Ros Tennyson dan Luke Wilde, The Guiding Hand – Brokering Partnership for Sustainable Development, The United
Nations Staff College & The Prince of Wales Business Leaders Forum, 2000, hlm. 7-14.
11
Marie Clark, Elizabeth J. Friedman, dan Kathryn Hochsteller, the Sovereign Limits of Global Civil Society: A Comparison
of NGO Participation in UN World Conference on the Environment, Human Rights, and Women, dalam World Politics Vol.
51 No. 1, (Baltimore: The John Hopkins University Press, 1998), hlm. 1-23.
6
aksesnya untuk ikut terlibat dalam perumusan perundingan yang akhirnya dibukakan akses NGO
sebagai kawan konsultasi dalam bidang pengetahuan dan teknologi (kemudian hadir di dalam UN
Education, Scientific, and Cultural Organization / UNESCO) untuk membantu merumuskan dokumen
persiapan Konferensi Stockholm tahun 1972 tentang lingkungan. Kemudian ketika diadakan
Konferensi Mexico City (1975) tentang perempuan pertama dan Konferensi Kopenhagen (1980) juga
tentang perempuan, NGO tidak diberikan kesempatan untuk terlibat dalam rapat persiapan konferensi,
namun di 1985 Konferensi Nairobi tentang perempuan NGO dibukakan aksesnya walau masih terbatas
untuk ikut terlibat dalam rapat persiapan konferensi dan memuncak ketika Konferensi Beijing dengan
dibukakan akses untuk 3.000 NGO.
Ketika kehadiran NGO mulai mendapatkan perannya yang mulai signifikan dan diharapkan
dalam mengembangkan GG, di dalam tubuh NGO yang berkumpul secara global mulai terbentuk
berbagai macam kendala di antaranya; (1) terpecahnya strategi dalam membina hubungan global state-
society relations (GSSR) menjadi dua, (a) lobbying dengan mengarahkan hubungan secara vertikal
dimana NGO mengusahakan berbagai macam usaha alternatif untuk mendorong IgR agar lebih sesuai
dengan keinginan berfokus pada pemberdayaan masyarakat dan pembangunan sosial, (b) networking
dengan membangun dan menciptakan hubungan antar-NGO untuk mengadakan semacam, dapat
dikatakan, konferensi tandingan dari konferensi IgR, (2) terpecahnya NGO berdasarkan keadaan
geografis terutama antara Utara yang didominasi oleh negara-negara maju dan Selatan oleh negara-
negara berkembang yang mungkin mengakibatkan perpecahan dalam strategi dimana lobbying
cenderung dilakukan Utara karena usaha yang membutuhkan banyak uang dan menguras tenaga ini
cocok dengan keadaan ekonomi mereka yang berlebih, sedangkan networking cenderung dilakukan
oleh Selatan karena usaha yang lebih ringkas ini membutuhkan uang sedikit yang sangat cocok dengan
kondisi keuangan NGO di Selatan,12 (3) terpecahnya NGO berdasarkan perbedaan landasan berpikir
akibat perbedaan warna identitas seperti antara pemikiran Utara dan Selatan yang kemudian dapat
diusahakan untuk diselesaikan dengan mengadakan pertemuan secara rutin dan intensif. Contoh dari
bentuk perpecahan itu diantaranya; (1) berdasarkan strategi: (a) lobbying, (i) dalam Konferensi Rio
1992 NGO membentuk sebuah badan kerja dalam setiap agenda untuk merumuskan banyak hal yang
dapat dijadikan argumen untuk rumusan-rumusan baru bagi keputusan IgR walaupun pada akhirnya
negaralah yang berhak memutuskan, (ii) dalam Konferensi Wina juga dilakukan serupa namun kurang
berpengaruh karena akses yang diberikan sangat terbatas, (iii) dalam konferensi perempuan semenjak

12
Cara lobi membutuhkan uang dan tenang yang lebih banyak karena cara ini cenderung melakukan pendekatan terhadap
kekuatan pemerintah secara terus-menerus sedangkan cara networking cenderung dilakukan dengan merangkul sesama
NGO dan merumuskan summit tandingan untuk menjadi refleksi bagi IgR.
7
telah terjadi sebanyak empat kali, dua konferensi terakhir dapat dikatakan cukup sukses karena belajar
dari dua konferensi sebelumnya seperti mengembangkan <i> mekanisme rapat, <ii> berpartisipasi
selalu sejak dini dalam rapat persiapan, dan <iii> meningkatkan kontak dengan media dan delegasi, (b)
networking, (i) tandingan Konferensi Rio NGO mengadakan forum yang berisikan workshop dan
edukasi yang dihadiri 450.000 orang per hari selaa 14 hari termasuk adanya 350 pertemuan formal dan
lebih banyak pertemuan informal, (ii) dalam Konferensi Wina NGO forum di Austria Centre dipenuhi
sesak pengunjung, (iii) dan konferensi perempuan yang mengadakan workshop sebanyak, <i> 192 di
Mexico City, <ii> 900 di Kopenhagen, <iii> 1.200 di Nairobi, dan <iv> 3.340 di Beijing, (2)
berdasarkan geografis dapat dilihat melalui cara mereka berpikir seperti dalam isu, (a) lingkungan
dimana Utara mengeluarkan suara berupa pengurangan polusi (terkait erat dengan keadaan di Utara
dengan jumlah industri dan kendaraan yang banyak) serta Selatan yang lebih menekankan pentingnya
bantuan organisasi keuangan internasional dan perusahaan multinasional, (b) hak asasi manusia dimana
Utara dan Selatan sama-sama setuju mengenai konsep universalitas, dan (c) perempuan dimana Utara
lebih menekankan masalah sexism dan political considerations, sedangkan Selatan lebih menekankan
masalah development dan imperialism. Terpecahnya NGO ini merupakan suatu proses panjang dalam
menciptakan GG karena adalah tidak mudah untuk membentuk GG terutama dalam menekan agar
agenda suara-suara yang termarjinalkan dapat dimasukan dan bersanding dengan keinginan pemerintah
yang selama ini terakomodir. Salah satu cara untuk mengembangkannya adalah dengan terus
melanjutkan proses ini seperti dengan sering mengadakan pertemuan dan dialog dalam suatu forum
untuk mendapatkan common understanding.
Negara masih dan terus saja tidak rela untuk mengakui masyarakat sipil global karena: (a)
mengancam kedaulatan suatu negara, (b) bersamaan dengan itu, pendapat negara ini amat didukung
sepenuhnya dengan ketidakjelasan batasan-batasan mana yang disebut sebagai definisi masyarakat sipil
global. Namun satu hal yang patut dijadikan perhatian adalah keberadaan NGO sedang berproses dalam
memperjuangkan aspirasi masyarakat sipil global terutama agenda yang diperjuangkannya misalnya
perjuangan hak asasi manusia untuk mendapatkan akses kesehatan yang layak. Tidak dapat dipungkiri
juga, dengan keberadaan NGO internasional ini misalnya akan dihasilkan banyak solusi yang sangat
berguna dalam mengatasi kebuntuan yang umumnya dihadapi oleh IgR dalam merumuskan cara
bagaimana mereka hubungan internasional terutama berkaitan dengan solusi bagi pengembangan
masyarakat sipil secara riil di level grassroot. Oleh karenanya, dapat dilihat dalam perkembangan
selanjutnya di dalam tiga isu utama dalam konferensi global yang diadakan PBB, peran NGO semakin
dibutuhkan meskipun sekali lagi, masih terdapat banyak batasan bagi NGO untuk menciptakan GG
karena keputusan mutlak masih terdapat di tangan negara.
8
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Sejarah Singkat Kasus HIV/AIDS di Swaziland


Menurut laporan dari the United Nations on Acquired Immuno Deficiency Syndrom (UNAIDS)—
sebuah program Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dijalankan bersama oleh organisasi internal
PBB untuk melawan HIV/AIDS—, benua Afrika pada tahun 2005 saja memiliki orang dengan HIV
(Human Immuno Deficiency Virus) / AIDS (ODHA) sebanyak 38,6 juta jiwa.13 Sedangkan untuk hanya
di kawasan Sub-Sahara Afrika sebanyak 24,5 juta jiwa atau sekitar 63%.14 Swaziland merupakan salah
satu di negara Sub-Sahara Afrika yang memiliki prevelansi ODHA bila dibandingkan dengan negara
lain di Afrika tertinggi karena lebih dari 20% orang dewasa yang ada di negara itu adalah ODHA.15
Dari sekian satu juta lebih warganegaranya, diprediksikan ada sekitar 200.000 warga negara yang
terinfeksi HIV/AIDS. Bahkan, menurut laporan di sebuah klinik, pada tahun 2004 sekitar 42,6% orang
yang melakukan pemeriksaan terinfeksi HIV/AIDS pada tahun 2004.16 Walaupun Swaziland tidak
sendirian karena peringkatnya juga hampir sama dengan Botswana, Lesotho, dan Zimbabwe,17
peringkat persentase ODHA di Swaziland pada tahun 2005 adalah yang tertinggi di dunia. 18 Adalah
menjadi tantangan bagi Swaziland dengan statusnya yang buruk untuk dapat mengatasi
permasalahannya sendiri. Beberapa tahun belakangan ini, UNAIDS bekerjasama dengan Global Fund
(organisasi internasional yang mengurusi AIDS, tuberkolosis, dan malaria) melakukan semacam riset
di Swaziland untuk melihat bagaimana negara tersebut berperang terhadap HIV/AIDS. Hasilnya adalah
menggembirakn bahwa ternyata kemudian UNAIDS merasa bahwa negara ini berhasil untuk
melakukan tindakan penanganan terhadap masalah HIV/AIDS. Survei yang dilakukan pada tahun 2006
ini dengan mengunjungi setiap klinik yang ada menyimpulkan berdasarkan hasil survei itu hanya
sekitar 39,2 persen dari pengunjung klinik adalah ODHA.19

13 Alan Whiteside dan Anokhi Parikh, “the AIDS Crisis: International Relations and Governance in Africa”, dalam
John W. Harbeson dan Donald Rothchild (ed.), Africa in World Politics: Reforming Political Order, (Philadelphia:
Westview Press, 2009), hlm. 165.
14 Ibid.
15 Alan Whiteside dan Anokhi Parikh, “the AIDS Crisis: International Relations and Governance in Africa”, op. cit.,

hlm. 166.
16 UNAIDS, Helping Ourselves: Community Responses to AIDS in Swaziland, (Jenewa: UNAIDS, 2006), hlm. 10.
17 Alan Whiteside dan Anokhi Parikh, “the AIDS Crisis: International Relations and Governance in Africa”, op. cit.,

hlm. 166.
18 UNAIDS, Helping Ourselves: Community Responses to AIDS in Swaziland, (Jenewa: UNAIDS, 2006), op. cit., hlm.

7.
19 Alan Whiteside dan Anokhi Parikh, “the AIDS Crisis: International Relations and Governance in Africa”, op. cit.,

hlm. 168.
9
Penyebaran HIV/AIDS di Swaziland sudah dimulai semenjak penyakit itu menyebar di tahun
1970-an. Kemunculan dan diikuti dengan kenaikan yang sedemikian pesat terhadap jumlah populasi di
Swaziland terjadi semenjak tahun 1990-an. Menurut data dari UNAIDS, persentase orang yang
mengidap HIV/AIDS dari survei yang dilakuakn terhadap pengunjung klinik di Swaziland adalah:20 (a)
1992 sebanyak 3,9%, (b) 1994 sebanyak 16,1%, (c) 1996 sebanyak 31,6%, (d) 1997 sebanyak 34,2%,
(e) 2000 sebanyak 38,6%, dan (f) 2004 sebanyak 42,6%, ditambah dengan laporan (g) 2006 sebanyak
39,2% (Whiteside dan Parikh). Adalah sulit bagi penulis untuk menjelaskan fenomena ini terutama
mengenai peningkatan yang pesat dari tahun 1992-1994 dan dari tahun 1994-1996. Namun beberapa
analisis mengatakan bahwa dari pesan peningkatan yang sama juga hampir di Afrika khususnya Sub-
Sahara secara keseluruhan adalah dikarenakan peningkatan kesadaran masyarakat untuk memeriksakan
penyakitnya seiring dengan semakin membaiknya proses pembangunan kesadaran tersebut termasuk
meningkatnya sarana dan fasilitas kesehatan, pendidikan, serta yang tidak terlepas adalah adanya
tekanan dari pihak internasional seperti dengan melakukan bantuan kontrol dan konseling.21
Kasus HIV/AIDS di Swaziland merebak dikarenakan beberapa alasan. 22 Pertama adalah karena
rusaknya norma dan nilai tradisional yang berakibat kepada penurunan moral terutama akibat adanya
budaya yang diimpor sejak kolonialisme dan konsumerisme. Alasan pertama ini lebih diakibatkan
adanya kekurangmampuan masyarakat Swaziland untuk dapat lebih mengkoordinasikan kehidupan
bermasyarakatnya dengan baik ketika terjadi perbenturan identitas. Pendidikan yang rendah dianalisis
menjadi penyebab. Kedua adalah karena mobilitas pergerakan manusia yang sangat tinggi dimana para
pria terutama dari pedesaan banyak yang bekerja di kota dan di Afrika Selatan sebagai penambang.
Tingkat mobilitas yang tinggi ini menyebabkan para pria dapat dengan mudahnya menjalin hubungan
dengan orang lain di luar keluarganya. Hal ini akan sangat rentan dalam membantu penyebaran
HIV/AIDS terlebih dengan adanya alasan pertama dimana tingkat pendidikan yang rendah serta
berkurangnya pemahaman mereka yang lebih baik terhadap budaya asli mereka menyebabkan sangat
berkurangnya ketaatan mereka untuk tidak menjalin hubungan terutama hubungan seksual di luar dari
keluarganya. Ketiga adalah kehidupan sosial di masyarakat di semua level Swaziland yang
membiasakan untuk hidup berpoligami. Bahkan, Raja Swaziland sendiri juga melakukan poligami
dengan menambah jumlah istri setiap tahun.23 Jika dianalisis secara keseluruhan ketiga alasan ini, maka
memang adalah bukan suatu hal yang luar biasa ketika Swaziland kemudian harus mengalami epidemi

20 UNAIDS, Helping Ourselves: Community Responses to AIDS in Swaziland, op.cit., hlm. 10.
21 Jonathan Engel, the Epidemic: A Global History of AIDS, (New York: HarperCollins, 2007), hlm. 295.
22 UNAIDS, Helping Ourselves: Community Responses to AIDS in Swaziland, op.cit., hlm. 11-12.
23 Alan Whiteside dan Anokhi Parikh, “the AIDS Crisis: International Relations and Governance in Africa”, op. cit.,

hlm. 185.
10
HIV/AIDS dengan tingkat yang sangat tinggi. Bukan suatu hal yang unik karena ketiga alasan ini
hampir semuanya dapat dijadikan alasan juga bagi negara-negara Afrika Sub-Sahara. Swaziland
mungkin memiliki kebudayaan poligami yang ketika disinggungkan dengan perkembangan jaman yang
semakin terbuka dan tingkat pendidikan yang rendah mengakibatkan budaya poligami tersebut
bukannya semakin untuk dikaji, malah semakin bebas untuk diterapkan. Dengan adanya mobilitas
tinggi terutama bagi para pria untuk bekerja mencari nafkah hingga ke daerah penambangan di Afrika
Selatan semakin memperbesar penyebaran HIV/AIDS karena para pria ini dapat dengan mudah untuk
membina hubungan dengan perempuan lain di luar keluarganya.
2.2. Respon Negara Swaziland terhadap Kasus HIV/AIDS: Interaksi Pemerintah dan
Masyarakat Sipil dalam Mengatasi Permasalahan HIV/AIDS
Menyadari bahwa negaranya memiliki tingkat persentasi ODHA terbanyak dan belum adanya
manajemen untuk menanggulangi hal ini membuat negara ini kemudian mendirikan Dewan Respon
Darurat HIV/AIDS Nasional (DRDHAN) pada tahun 2001 dengan berlandaskan pada enam prinsip.24
Respon ini juga muncul seiring ikutnya negara ini dalam kerangka kerjasama pemerintah Millenium
Development Goals (MDGs) PBB serta adanya perhatian internasional terhadap permasalahan
HIV/AIDS di Swaziland. Pertama, respon harus dilakukan secara nasional untuk memobilisasi respon
secara efektif. Kedua, memakai solusi lokal untuk dijadikan model pemecahan masalah karena setiap
daerah memiliki sumber permasalahan yang berbeda. Ketiga, dewan yang dibentuk adalah untuk
meningkatkan dan memperdalam kemampuan bukannya digunakan untuk membangun birokrasi baru.
Keempat, pelayanan pencegahan penyebaran lebih lanjut dan lebih meluas, sesuai dengan tujuannya,
haruslah dapat diakses oleh setiap individu di dalam masyarakat terutama bagi anak yatim piatu yang
ditinggal oleh orang tuanya karena HIV/AIDS. Kelima, keterlibatan aktif dari masyarakat sendiri yang
merupakan dasar pijakan dari respon negara dimana respon ini harus dimiliki oleh masyarakat tidak
hanya karena desakan dari pemerintah. Dan keenam, respon harus dilakukan secara berkelanjutan dan
tidak boleh dilakukan dengan serampangan atau dikarenakan sesuatu yang tidak berasaskan pada
penyelesaian inti masalah. Bagi Swaziland, adalah sangat mendesak untuk dapat menyelesaikan
permasalahan ini. Inilah yang menyebabkan permasalahan yang semulanya tidak dianggap unik di
Swaziland karena sebenarnya apa yang terjadi di Swaziland dapat saja juga terjadi di negara lain di
Sub-Sahara Afrika beberapa tahun atau dekade mendatang untuk kemudian menjadi unik karena
HIV/AIDS berhasil melumpuhkan ketahanan negara yang lambat laun menyebabkan Swaziland

24 UNAIDS, Helping Ourselves: Community Responses to AIDS in Swaziland, op.cit., hlm. 12.
11
hancur.25 Swaziland, mengalami tingkat pertumbuhan negatif 0,41% pada tahun 2008,26 angka harapan
hidup pada tahun 2006 menurut UNDP hanya mencapai 33 tahun.27
Pada saat yang bersamaan, bantuan asing datang seperti contohnya berasal dari kolaborasi
UNAIDS dan Global Fund yang membantu dukungan dan dana bagi pengembangan solusi yang
diterapkan oleh Swaziland. Namun karena pada akhirnya solusi yang diterapkan oleh Swaziland tidak
hanya diamini oleh pemerintahnya namun juga masyarakat mulai tergerak dan sadar untuk memerangi
HIV/AIDS, bantuan asing berupa dana secara perlahan dikurangi. Pengurangan ini ditujukan untuk
mengurangi juga tingkat ketergantungan yang sangat berbahaya bagi kemandirian proses penangan
terhadap permasalahan HIV/AIDS dan bagi pemerintah sendiri mungkin dikarenakan adanya prasyarat
yang mendikte agar kebijakan yang dihasilkan mereka harus sesuai dengan prasyarat itu.28 UNAIDS
sendiri mengakui bahwa kebijakan nasional yang dimunculkan oleh Swaziland adalah mendukung tiga
prinsip dasar pengelolaan HIV/AIDS:29 (a) kerangka kerja yang didukung oleh semua aktor, (b)
koordinasi dilakukan secara nasional, dan (c) terdapat sistem pengawasan dan evaluasi.
Salah satu unsur keunikan dari Swaziland yang kemungkinan memperbesar pembangunan
kepedulian dan kesadaran seluruh aktor baik pada elemen pemerintah maupun masyarakat adalah
bahwa Swaziland memiliki anak yatim piatu yang sangat banyak akibat keberadaan epidemi
HIV/AIDS. Anak yatim piatu ini berumur kurang dari 18 tahun yang memiliki ciri: orang tua atau wali
yang tidak mampu menjaga mereka hingga dewasa, mereka hidup sendiri atau diasuh oleh kakek dan
nenek yang sudah tua dan miskin, mereka sangat kekurangan akses ke pelayanan kesehatan-makanan-
pendidikan-pakaian-rumah-hingga pelayanan psikologis, dan mereka mengalami kekerasan secara fisik
dan atau seksual termasuk anak-anak yang dipekerjakan.30 Pada tahun 2005 mereka diperkirakan ada
sekitar 69.000 dan pada tahun 2010 akan mencapai sekitar 15% dari total populasi atau sebanyak
120.000 jiwa.31 Data yang sama juga dikatakan Kepala DRDHAN pada Juni 2007, Dr. Derek von
Wissell yang juga mempublikasikan data ini di koran lokal bahwa ada sekitar 70.000 anak yatim piatu
di Swaziland dan diprediksikan memecahkan rekor 10% dari total penduduk Swaziland di tahun

25 Alan Whiteside dan Anokhi Parikh, “the AIDS Crisis: International Relations and Governance in Africa”, op. cit.,
hlm. 177.
26 Microsoft Encarta 2009, "Swaziland", (Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2008).
27 Alan Whiteside dan Anokhi Parikh, “the AIDS Crisis: International Relations and Governance in Africa”, op. cit.,

hlm. 172.
28 Ibid., hlm. 178.
29 UNAIDS, Helping Ourselves: Community Responses to AIDS in Swaziland, op.cit., hlm. 13.
30 Ibid.
31 Ibid., hlm. 7.

12
2010.32 Pernyataannya di koran sangat menggugah kesadaran dan kepedulian mengingat bahwa akibat
HIV/AIDS secara nasional Swaziland akan mengalami guncangan hebat di masa yang akan datang
akibat semakin sibuknya mereka mengurusi anak yatim piatu yang di tahun ketika dia
mempublikasikannya ada banyak sekali masyarakat yang rumah-rumahnya sudah terlalu penuh untuk
mengurusi anak yatim piatu termasuk fasilitas kesehatan yang penuh sesak dengan anak yatim piatu
termasuk yang sakit akibat HIV/AIDS. Apa yang dilakukan von Wissel tentunya dapat dianalisis
sebagai sebuah proses untuk membangun kesadaran dan kepedulian yang lebih untuk menggerakan hati
masyarakat Swaziland dalam memerangi HIV/AIDS. Von Wissell bahkan menekankan untuk lebih
memikirkan kembali nasib mereka terutama anak yatim piatu ini ke depannya yang tidak lain adalah
sangat berguna bagi masa depan Swaziland sendiri.
Dari masyarakatnya sendiri, langkah untuk terlibat aktif di dalam usaha untuk mengurangi
epidemi HIV/AIDS adalah dengan mengkoordinasikan implementasi aksi yang dibagi-bagi dalam
setiap wilayah. Swaziland memiliki 360 Umphakatsi atau kepala suku yang langsung mengurusi setiap
keluarga yang berada di masing-masing wilayah.33 Koordinasi ini dimanajemen oleh DRDHAN yang
disepakati langsung oleh raja. Pengalaman-pengalaman yang ada yang dirasakan oleh masyarakat pada
akhirnya turut membantu menggerakan aksi ini menjadi suatu yang berguna. Mungkin yang terjadi
adalah masyarakat dahulu yang menggerakan aksi tersebut yang dimulai dari adanya kesadaran
individu akibat pengalaman bersinggungan langsung dengan HIV/AIDS. Misalnya, ketika mendapati di
dalam keluarganya ada yang meninggal tiba-tiba, keluarga pun mencari tahu penyebab kematian. Pada
akhirnya, aksi lokal ini yang diikuti dengan kemauan pemerintah dapat menggerakan dan menyebarkan
aksi secara nasional. Banyak keluarga akhirnya membantu merawat anak yatim piatu baik yang
menderita HIV/AIDS ataupun tidak.
Terdapat dua komunitas yang patut dijadikan pembelajaran untuk melawan penyebaran
HIV/AIDS, yaitu komunitas Mambatfweni di wilayah Manzini dan komunitas Mambane di wilayah
Lubombo.34 Pada komunitas Mambatfweni terdapat sekitar 4000 keluarga dengan rata-rata 6-7 orang
tiap keluarga. Kehidupan keluarga pada komunitas ini adalah berkecukupan dengan kekeringan bukan
menjadi ancaman. Sedangkan pada komunitas Mambane yang memiliki 875 keluarga dengan rata-rata
10 orang tiap keluarga berada di daerah yang terpencil dan tandus yang menyebabkan wilayah
komunitas ini adalah yang termiskin di Swaziland. Dalam dua komunitas yang berbeda tersebut
terdapat permasalahan yang sama yaitu epidemi HIV/AIDS dan dampaknya yang buruk bagi kehidupan

32 Alan Whiteside dan Anokhi Parikh, “the AIDS Crisis: International Relations and Governance in Africa”, op. cit.,
hlm. 186.
33 UNAIDS, Helping Ourselves: Community Responses to AIDS in Swaziland, op.cit., hlm. 14.
34 Ibid., hlm. 15-17.

13
jika tidak diatasi dengan baik. Anak-anak yatim piatu terdapat banyak di wilayah ini khususnya di
Mambane dengan porsi yang lebih besar akibat adanya faktor tak pendukung lainnya yaitu kekeringan
dan kemiskinan.
Salah satu program yang sangat besar fungsinya untuk pencegahan epidemi HIV/AIDS dalam
skala yang lebih luas adalah dengan menyelamatkan generasi muda negara itu. Program yang pertama
kali diinisiasi oleh seorang perempuan di wilayah Hhohho ini adalah untuk peduli kepada nasib anak-
anak yatim piatu dan sekaligus membangun kesadaran di antara anak yatim piatu dan para pengasuh
mengenai pentingnya bekerjasama antara ODHA dan orang normal dalam memberantas HIV/AIDS.35
Di dalam rumah itu, pengasuh dan anak-anak yatim piatu sama-sama membangun kesadaran dengan
berinteraksi mengenai HIV/AIDS, saling berbagi makanan dan tempat tinggal. Program ini kemudian
banyak diadopsi oleh berbagai komunitas lain di 360 wilayah Swaziland. Program ini sendiri bernama
Neighbourhood Care Points (NCP) yang sudah terdapat sebanyak 415 NCP dengan 33.000 anak yatim
piatu terdaftar.36
Di kedua komunitas, Mambatfweni dan Mambane, ada dua perbedaan yang patut untuk dijadikan
pembelajaran ke depannya. Kedua komunitas tersebut berbeda secara finansial dan dukungan alam.
Mambatfweni sendiri memiliki 13 NCP, sedangkan Mambane hanya memiliki satu NCP. Sistem
distribusi di Swaziland haruslah banyak diperbaiki mengingat perbedaan ini. Masih banyak anak yatim
piatu yang harus diurus oleh masyarakat dan pemerintah Swaziland. Dari refleksi kedua komunitas ini,
walaupun NCP merupakan salah satu program penanggulangan HIV/AIDS yang baik, Swaziland masih
harus menghadapi tantangan besar: (a) jumlah anak yatim piatu akan membludak di tahun 2010
(diprediksikan) dan NCP harus siap akan itu, (b) pelaksanaan NCP amat tergantung dari adanya
relawan yang tidak dibayar dan bahkan melemah kondisinya akibat penyakit HIV/AIDS-nya yang
kurang diobati dan kemiskinan di Swaziland sendiri, (c) masih adanya tantangan besar akan stigma
HIV/AIDS di masyarakat yang harus dihapuskan dengan meningkatkan pengetahuan dan pendidikan
masyarakat serta pemerintahnya termasuk para birokrasi, (d) pengurangan kemiskinan yang harus
dipelajari bersama-sama, khususnya mengenai ketakutan ketergantungan bantuan dari asing—rupanya
baik lembaga donor internasional, pemerintah, dan masyarakat masih harus sama-sama berpikir keras
agar bantuan yang diberikan memang dapat mengurangi kemiskinan yang diharapkan kemiskinan yang
dapat menghambat proses positif NCP ini dapat berkurang secara efektif, dan (e) khusus untuk bantuan
keuangan untuk dibutuhkan segera pemecahan pada poin keempat karena banyak bagian masyarakat
Swaziland yang dilanda kelaparan. Program ini juga memiliki sisi positif yang harus dikembangkan

35 Ibid., hlm. 17.


36 Ibid., hlm. 22.
14
lagi: (a) merupakan pemberdayaan masyarakat yang berasal dari masyarakat dan mendapatkan
dukungan baik dari pemerintah maupun asing, (b) interaksi di dalamnya mampu meningkatkan
pemahaman dan memberikan edukasi langsung kepada masyarakat tentang cara-cara penanggulangan
epidemi HIV/AIDS, dan (c) interaksi di dalamnya yang terbatas khususnya secara finansial juga
mampu merangsang kreativitas masyarakat untuk lebih mandiri seperti mengajari anak yatim piatu cara
mengolah kebun.
2.3. Analisis Penulis
Global governance (GG) masih menemui beberapa kendala terutama dalam
mengimplementasikannya di tingkat lokal. Permasalahan HIV/AIDS di Swaziland menunjukan kendala
tersebut dimana jika tidak terdapat inisiasi dari internasional dan tekanan kenyataan bahwa
permasalahan HIV/AIDS sudah sampai pada titik akan menghancurkan sumber daya manusia yang
dibuktikan dengan prevelansi yang tinggi ODHA di Swaziland, pemerintah dan bahkan masyarakat
sipil di Swaziland mungkin tidak akan pernah mengurusi permasalahan ini. Tekanan internasional yang
diakibatkan adanya perhatian internasional yang lebih besar kepada Swaziland terhadap pentingnya
mengelola permasalahan HIV/AIDS telah menyebabkan Pemerintah Swaziland juga ikut menyepakati
keputusan kerjasama internasional MDGs. Keterlibatan ini semakin membuka peluang lebar pihak
internasional juga memberikan sumbangsihnya dalam membantu Swaziland mengurusi permasalahan
HIV/AIDS di Swaziland dengan memberikan bantuan dalam berbagai bentuk. Tentunya, skema
rancangan kegiatan pengelolaan yang terjadi secara top-down ini belumlah cukup. Diperlukan bentuk
kontestasi pengaturan dengan adanya pemasukan partisipasi langsung yang muncul dari masyarakat
sendiri dalam mengatasi permasalahan tersebut. Seolah menemukan jawaban yang selama ini penulis
cari, bentuk kontestasi yang berupa partisipasi aktif masyarakat yang diinisiasi oleh dimulai dari
masyarakat sendiri dari tingkat individu hingga keluarga dan berbagai tokoh masyarakat seperti von
Wissel dan beberapa komunitas lokal seperti Mambatfweni dan Mambane mengingatkan penulis akan
kontestasi perundingan pengelolaan permasalahan yang sama di tingkat global sebagaimana dibahas
dalam kerangka konsep sebagai sebuah pertanyaan besar bahwa misalnya saja pemerintah masih
bersikap seolah membatasi terhadap kenyataan bahwa permasalahan ini memang ada di masyarakat dan
membutuhkan keterlibatan dan dukungan penuh. Selama ini penulis masih cukup memiliki keraguan
akan pengelolaan yang diinisiasi di tingkat global karena cenderung bersifat teoritis dan abstrak.
Beruntung, permasalahan Swaziland merupakan salah satu contoh kasus dimana bentuk kontestasi
terhadap pengaturan global akan suatu permasalahan yang dalam hal ini adalah permasalahan hak asasi
manusia di bidang HIV/AIDS dapat ditemui secara riil realisasinya dalam gambaran yang cukup baik
dimana memang pada akhirnya pembahasan kontestasi ini mengarah pada bertemunya berbagai
15
kepentingan dalam bentuk kerjasama penanganan HIV/AIDS yang saling mendukung. Baik Pemerintah
Swaziland maupun masyarakat sipilnya sama-sama menunjukan konsernnya dalam menangani
permasalahan ini disertai dengan dukungan internasional yang pada akhirnya menghantarkan negara ini
untuk menemui solusi permasalahan yang efektif. Walaupun mungkin masih dalam banyak hal
pelakasanan pengelolaan ini harus lebih dikontestasi kembali agar solusi yang dihasilkan menjadi lebih
efektif. Misalnya mengenai kesenjangan antara Mambatfweni dan Mambane. Menurut hemat penulis,
penanganan permasalahan HIV/AIDS di Swaziland merupakan contoh yang dekat terhadap
pengelolaan permasalahan global yang terkontestatif dalam rangka memang secara riil menghasilkan
suatu pembaharuan bagi dihasilkannya suatu pengelolaan yang berdampak positif menangani
permasalahan yang dipermasalahkan. Beberapa poin penting lain adalah adanya suatu kenyataan bahwa
memang pengelolaan suatu permasalahan haruslah selalu dikontestatif misalnya dengan semakin
melibatkan banyak pihak terutama pihak-pihak yang memang terlibat dalam permasalahan untuk
menghasilkan suatu kerangka kerja riil bagi penyelesaian permasalahan tersebut. Dinamika hubungan
internasional yang selama ini terisi oleh kegiatan dan interaksi yang terkesan bersifat seremonial sudah
seharusnya diisi oleh kegiatan semacam ini agar memberikan manfaat bagi penyelesaian permasalahan
yang terdapat di dalamnya. Dinamika hubungan internasional seperti ini semakin dirasakan penting
kehadirannya untuk menyelesaikan berbagai tantangan permasalahan yang semakin kompleks dan
rumit di era globalisasi.

16
BAB III
KESIMPULAN

Bentuk kontestasi terhadap pengelolaan global permasalahan yang muncul dalam dinamika
hubungan internasional: (a) diperlukan keterlibatan lebih dari aktor lain selain pemerintah karena
hubungan internasional yang ada sekarang ini diisi oleh tidak hanya oleh pemerintah namun aktor lain
di luar pemerintah seperti individu, perusahaan, dan masyarakat sipil, (b) permasalahan yang terjadi di
tingkat global seiring dengan semakin banyak hadirnya aktor transnasional banyak merefleksikan
permasalahan yang terjadi di tingkat lokal dalam fungsinya untuk menambah literatur wawasan dan
pengetahuan manusia akan dunia, (c) dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut setiap
pihak memiliki cara dan strateginya sendiri, dan (d) permasalahan tersebut akan semakin sulit
diselesaikan dalam tataran global karena akan cenderung bersifat polemik teoritis dan abstraktif yang
jika tidak diikuti dengan implementasi riil di lapangan akan semakin menjauhkan permasalahan
tersebut dalam menemukan solusinya dimana selain itu dengan adanya implementasi di tingkat
lapangan akan menghadirkan suatu pemahaman dan wawasan baru yang akan menjadi konstruksi
kontestatif berharga bagi dinamika dan interaksi pengelolaan global selanjutnya.
Bentuk-bentuk kontestatif tersebut dapat terlihat dalam pelaksanaan riil pengelolaan global
penanganan masalah hak asasi manusia di bidang HIV/AIDS di Swaziland. Pelaksanaan riil ini
melibatkan perhatian dari pemerintah dan masyarakat sipil sendiri serta dukungan dari internasional.
Pelaksanaan riil di lapangan Swaziland sendiri hadir disebabkan keunikan negara tersebut berhubungan
dengan permasalahan HIV/AIDS dimana permasalahan ini sudah sangat vital memberikan tekanan
untuk segera diperhatikan baik kepada pemerintah maupun masyarakat sipil sendiri sehingga
mendorong realisasi langsung pengelolaan permasalahan. Pemerintah membentuk DRDHAN yang
menandai hadirnya pengelolaan secara top-down dan masyarakat sipil memberikan dukungan dengan
mengelola permasalahan ini dari tingkat individu-keluarga-hingga sosial dengan dukungan aktor
masyarakat dan komunitas-komunitas penyangga yang menandai hadirnya pengelolaan secara bottom-
up. Interaksi ini pada akhirnya akan menghasilkan suatu hasil yang dapat dikaji kembali untuk
menghasilkan kontestasi terhadap pelaksanaan selanjutnya di masa mendatang seperti misalnya
beberapa ketimpangan dalam pemberian akses kesehatan di dua komunitas yang dibahas, pemberian
bantuan internasional yang tidak hanya terfokus pada dana namun juga sokongan pelatihan dan
edukasi, termasuk permasalahan mendasar mengenai pendidikan seks pada kehidupan ekonomi, sosial,
dan budaya dari Swaziland yang disadari menjadi penyebab utama mengapa HIV/AIDS dapat
menyebar dengan cepat dan menjadi endemi di Swaziland.
17
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Clark, Marie, Elizabeth J. Friedman dan Kathryn Hochsteller. 1998. The Sovereign Limits of Global
Civil Society: A Comparison of NGO Participation in UN World Conference on the Environment,
Human Rights, and Women. Dalam World Politics Vol. 51 No. 1. (Baltimore: The John Hopkins
University Press).
Cusgrove, Curul Ann dan Kenneth J. Twitchett. The New International Actors: The UN and the EEC,
(London: Macmillan).
Depledge, Joanna. 2005. The Organization of Global Negotiations: Constructing the Climate Change
Regime. (London: Earthscan).
Engel, Jonathan. 2007. The Epidemic: A Global History of AIDS. (New York: HarperCollins).
Papp, Daniel S. 1984. Contemporary International Relations, 5th Edition. (New York: McMillan
Publishing Company).
Poku, Nana K. dan David T. Graham. 2005. “Introduction”. Dalam David T. Graham dan Nana K.
Poku (ed.). Migration, Globalization and Human Security. (London: Routledge).
____________, Neil Renwick dan John Glenn, “Human Security in a Globalising World”. Dalam
David T. Graham dan Nana K. Poku (ed.). Migration, Globalization and Human Security.
(London: Routledge).
Tennyson, Ros dan Luke Wilde. 2000. The Guiding Hand – Brokering Partnership for Sustainable
Development. Dalam The United Nations Staff College & The Prince of Wales Business Leaders
Forum.
UNAIDS. 2006. Helping Ourselves: Community Responses to AIDS in Swaziland. (Jenewa: UNAIDS).
Whiteside, Alan, dan Anokhi Parikh. 2009. “The AIDS Crisis: International Relations and Governance
in Africa”. Dalam Harbeson, John W., dan Donald Rothchild (ed.). Africa in World Politics:
Reforming Political Order. (Philadelphia: Westview Press).
Willets, Peter. 1997. “Transnational Actors and International Organizations in World Politics”. Dalam
John Bayts dan Steve Smith. The Globalization of World Politics: An Introduction Relations.
(Oxford: Oxford University Press).
Artikel
Der Derian, James. 1996. “Post Theory: The Eternal Return of Ethics in International Relations”.
Dalam Michael W. Doyle dan G. John Ikenberry (eds.). New Thinking in International Relations
Theory. (Westview Press).
18

Anda mungkin juga menyukai