Anda di halaman 1dari 28

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

Oleh: Slamet PH*


Abstrak: Konsekwensi logis dari diberlakukannya Undang-Undang RI No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan
Pemerintah RI No.25 tentang Kewenangan Pemerintah (Pusat) dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom, dan bukti-bukti
empirik yang menunjukkan bahwa manajemen berbasis pusat merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kurang optimalnya
kinerja sekolah adalah perlu diterapkanya manajemen berbasis sekolah (MBS). Esensi MBS adalah otonomi sekolah plus
pengambilan keputusan partisipatif. Otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga
sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan
nasional yang berlaku. Pengambilan keputusan partisipatif adalah cara mengambil keputusan yang melibatkan kelompok-kelompok
kepentingan sekolah, terutama yang akan melaksanakan keputusan dan yang akan terkena dampak keputusan. Tujuan MBS adalah
untuk memandirikan/memberdayakan sekolah. Tahap-tahap pelaksanaan MBS dapat diurutkan seperti berikut: mensosialisasikan
konsep MBS, melakukan analisis sasaran, merumuskan sasaran, mengidentifikasi fungsi-fungsi yang diperlukan untuk mencapai
sasaran, melakukan analisis SWOT, menyusun rencana sekolah, mengimplementasikan rencana sekolah, melakukan evaluasi, dan
merumuskan sasaran baru.
Kata kunci: manajemen berbasis pusat, manajemen berbasis sekolah, desentralisasi, otonomi/kemandirian sekolah, pengambilan
keputusan partisipatif.
_____________
* Slamet PH,MA,MEd,MA,MLHR,Ph.D adalah dosen Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Yogyakarta, Konsultan
(Internasional) Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Mitra Indonesia Yogyakarta, Ketua
Dewan Latihan Kerja Propinsi DIY, Ketua Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) DIY, dan Pengurus ISPI Pusat.
1. Pendahuluan
Era reformasi telah membawa perubahan-perubahan mendasar dalam berbagai kehidupan termasuk kehidupan pendidikan. Salah satu
perubahan mendasar yang sedang digulirkan saat ini adalah manajemen negara, yaitu dari manajemen berbasis pusat menjadi
manajemen berbasis daerah. Secara resmi, perubahan manajemen ini telah diwujudkan dalam bentuk "Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah" yang kemudian diikuti pedoman pelaksanaannya berupa "Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah
Otonomi. Konsekwensi logis dari Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tersebut adalah bahwa manajemen pendidikan harus
disesuaikan dengan jiwa dan semangat otonomi. Karena itu, manajemen pendidikan berbasis pusat yang selama ini telah dipraktekkan
perlu diubah menjadi manajemen pendidikan berbasis sekolah.
Selain alasan normatif, secara empirik manajemen berbasis sekolah memang perlu diterapkan karena di lapangan menunjukkan
kenyataan-kenyataan sebagai berikut.
1.

2.

3.

4.

Manajemen berbasis pusat yang selama ini telah dipraktekkan memiliki banyak kelemahan, antara lain: keputusan pusat
sering kurang sesuai dengan kebutuhan sekolah; administrasi berlebihan yang dikarenakan lapis-lapis birokrasi yang terlalu
banyak telah menyebabkan kelambanan dalam menangani setiap permasalahan, sehingga menyebabkan kurang optimalnya
kinerja sekolah; dalam kenyataan, administrasi telah mengendalikan kreasi; proses pendidikan dijalankan dengan
undermanaged sehingga menghasilkan tingkat efektivitas dan efisiensi yang rendah; pendekatan sarwa-negara (state-driven)
telah menempatkan sekolah pada posisi yang marginal, sehingga sekolah tidak berdaya, tidak memiliki keberanian moral
(prakarsa) untuk berinisiatif; sekolah tidak mandiri; terjadi penyumbatan dan bahkan pemasungan demokrasi; sekolah tidak
peka dan jeli dalam menangkap dan mengungkap permasalahan, kebutuhan, dan aspirasi pendidikan dari masyarakat; dan
manajemen berbasis pusat tidak saja menumpulkan daya kreativitas sekolah, tetapi juga mengikis habis rasa kepemilikan
warga sekolah terhadap sekolahnya.
Sekolah paling memahami permasalahan disekolahnya. Karena itu, sekolah merupakan unit utama yang harus memecahkan
permasalahannya melalui sejumlah keputusan yang dibuat "sedekat" mungkin dengan kebutuhan sekolah. Untuk itu, sekolah
harus memiliki kewenangan (otonomi), tidak saja dalam pengambilan keputusan, akan tetapi justru dalam mengatur dan
mengurus kepentingan sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan payung kebijakan
makro pendidikan nasional.
Perubahan di sekolah akan terjadi jika semua warga sekolah ada "rasa memiliki" dan "rasa memiliki" berasal dari
kesempatan berpartisipasi dalam merumuskan perubahan dan keluwesan untuk mengadaptasikannya terhadap kebutuhan
individu sekolah. Rasa memiliki ini pada gilirannya akan meningkatkan pula rasa tanggungjawab. Jadi, makin besar tingkat
partisipasi warga sekolah dalam pengambilan keputusan, makin besar rasa memiliki terhadap sekolah, dan makin besar pula
rasa tanggungjawabnya. Yang demikian ini berarti bahwa "perubahan" lebih disebabkan oleh dorongan internal sekolah dari
pada tekanan dari luar sekolah.
Telah lama pengaturan yang bersifat birokratik lebih dominan dari pada tanggungjawab profesional, sehingga kreativitas
sekolah pada umumnya dan guru pada khususnya terpasung dan bahkan terbunuh. Tidak jarang pula dijumpai bahwa
formalitas sering jauh melampaui hakiki. Yang lebih parah lagi guru-guru kehilangan "jiwa kependidikannya". Mendidik
tidak lebih dari sekadar pengenalan nilai-nilai, yang hasilnya hanya berupa pengetahuan nilai (logos) dan belum sampai pada
penghayatan nilai (etos), apalagi sampai pengamalannya. Akibatnya, menurut Aburizal Bakrie (1999), proses belajar
mengajar di sekolah lebih mementingkan jawaban baku yang dianggap benar oleh guru, dibanding daya kreasi, nalar, dan
eksperimentasi peserta didik untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru. Tidak ada keterbukaan dan demokrasi.
Tidak ada toleransi pada kekeliruan akibat kreativitas berpikir, karena yang benar adalah apa yang dipersepsikan benar oleh
guru, sehingga yang terjadi hanyalah memorisasi dan "recall" dan tidak dihargainya kreativitas dan kemampuan peserta

didik. Padahal, pembelajaran yang sebenarnya semestinya lebih mementingkan pada proses "pencarian jawaban" dibanding
"memiliki jawaban".
2. Pengertian
Istilah manajemen berbasis sekolah berasal dari tiga kata, yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah. Manajemen adalah
pengkoordinasian dan penyerasian sumberdaya melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan atau untuk memenuhi
kebutuhan pelanggan. Catatan: sumber daya terbagi menjadi sumber daya manusia dan sumber daya selebihnya (peralatan,
perlengkapan, bahan/material, dan uang); input manajemen terdiri dari tugas, rencana, program, limitasi yang terwujud dalam bentuk
ketentuan-ketentuan, pengendalian (tindakan turun tangan), dan kesan dari anak buah ke bapak/ibu buah). Pengertian manajemen
tersebut, menurut Poernomosidi Hadjisarosa, 1997) dapat dilukiskan seperti pada Gambar 1 berikut, dengan keterangan: SDM-M
(sumberdaya manusia manajer) mengatur sumber daya manusia pelaksana (SDM-P) melalui input manajemen yang terdiri dari (T =
Tugas; R = Rencana, P = Program; T3 = Tindakan Turun Tangan; K = Kesan) agar SDM-P menggunakan jasa manusianya (Jm) untuk
bercampur tangan terhadap sumber daya selebihnya (SD-slbh), sehingga proses dapat berlangsung dengan baik untuk menghasilkan
output.
Gambar 1: Manajemen

Sumber: Poernomosidi Hadjisarosa, 1997


Berbasis berarti "berdasarkan pada" atau "berfokuskan pada". Sekolah adalah suatu organisasi terbawah dalam jajaran Departemen
Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang bertugas memberikan "bekal kemampuan dasar" kepada peserta didik atas dasar ketentuanketentuan yang bersifat legalistik (makro, meso, mikro) dan profesionalistik (kualifikasi, untuk sumber daya manusia; spesifikasi
untuk barang/jasa, dan prosedur-prosedur kerja).
Dari uraian tersebut dapat dirangkum bahwa "manajemen berbasis sekolah" adalah pengkoordinasian dan penyerasian sumberdaya
yang dilakukan secara otonomis (mandiri) oleh sekolah melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan sekolah dalam
kerangka pendidikan nasional, dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam
proses pengambilan keputusan (partisipatif)". Catatan: kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah meliputi: kepala sekolah
dan wakil-wakilnya, guru, siswa, konselor, tenaga administratif, orangtua siswa, tokoh masyarakat, para profesional, wakil
pemerintahan, wakil organisasi pendidikan. Lebih ringkas lagi, manajemen berbasis sekolah dapat dirumuskan sebagai berikut (David,
1989): manajemen berbasis sekolah = otonomi manajemen sekolah + pengambilan keputusan partisipatif.
Otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan/kemandirian yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, dan
merdeka/tidak tergantung (Undang-Undang No.22 Th.1999 tentang Pemerintahan Daerah). Istilah otonomi juga sama dengan istilah
"swa", misalnya swasembada, swakelola, swadana, swakarya, swalayan, dan swa-swa lainnya. Jadi otonomi sekolah adalah
kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga
sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Tentu saja kemandirian yang dimaksud
harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan
berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat, kemampuan memobilisasi sumber daya, kemampuan memilih cara pelaksanaan yang
terbaik, kemampuan berkomunikasi yang efektif, kemampuan memecahkan persoalan-persoalan sekolah, kemampuan adaptif dan
antisipatif, kemampuan bersinergi dan berkolaborasi, dan kemampuan memenuhi kebutuhannya sendiri.
Untuk mencapai otonomi sekolah, diperlukan suatu proses yang disebut "desentralisasi". Desentralisasi adalah penyerahan wewenang
pemerintahan pendidikan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, dari pemeritah Dati I ke Dati II, dari Dati II ke sekolah,
dan bahkan dari sekolah ke guru, tetapi harus tetap dalam kerangka pendidikan nasional. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa
pendidikan yang diatur secara "sentralistik" menghasilkan fenomena-fenomena seperti berikut: lamban berubah/beradaptasi, bersifat
kaku, normatif sekali orientasinya karena terlalu banyaknya lapis-lapis birokrasi, tidak jarang birokrasi mengendalikan fungsi dan
bukan sebaliknya, uniformitas telah memasung kreativitas, dan tradisi serta serimoni yang penuh kepalsuan sudah menjadi kebiasaan.
Kecil itu indah, adalah merupakan esensi desentralisasi. Menurut Bailey (1991), organisasi yang cakupan, pemerintahan, manajemen,

dan ukurannya kecil, mudah beradaptasi. Karena itu, desentralisasi bukan lagi merupakan hal penting untuk diterapkan, tetapi sudah
merupakan keharusan. Dengan desentralisasi, maka: (1) fleksibilitas pengambilan keputusan sekolah akan tumbuh dan berkembang
dengan subur, sehingga keputusan dapat dibuat "sedekat" mungkin dengan kebutuhan sekolah; (2) akuntabilitas/pertanggunggugatan
terhadap masyarakat (majelis sekolah, orangtua peserta didik, publik) dan pemerintah meningkat; dan (3) kinerja sekolah akan
meningkat (efektivitasnya, kualitasnya, efisiensinya, produktivitasnya, inovasinya, provitabilitasnya, kualitas kehidupan kerjanya, dan
moralnya).
Pengambilan keputusan partisipatif (David, 1989) adalah suatu cara untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang
terbuka dan demokratik, dimana warga sekolah (guru, siswa, karyawan, orang tua siswa, tokoh masyarakat) didorong untuk terlibat
secara langsung dalam proses pengambilan keputusan yang akan dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah. Hal ini
dilandasi oleh keyakinan bahwa jika seseorang dilibatkan (berpartisipasi) dalam pengambilan keputusan, maka yang bersangkutan
akan ada "rasa memiliki" terhadap keputusan tersebut, sehingga yang bersangkutan juga akan bertanggungjawab dan berdedikasi
sepenuhnya untuk mencapai tujuan sekolah. Singkatnya: makin besar tingkat pertisipasi, makin besar pula rasa memiliki; makin besar
rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggungjawab; dan makin besar rasa tanggung jawab, makin besar pula dedikasinya. Tentu saja
pelibatan warga sekolah dalam pengambilan keputusan harus mempertimbangkan keahlian, yurisdiksi, dan relevansinya dengan
tujuan pengambilan keputusan sekolah.
Dengan pengertian diatas, maka pengembangan manajemen berbasis sekolah semestinya mengakar di sekolah, terfokus di sekolah,
terjadi disekolah, dan dilakukan oleh sekolah. Untuk itu, penerapan manajemen berbasis sekolah memerlukan konsolidasi manajemen
sekolah.
3. Tujuan
Manajemen berbasis sekolah bertujuan untuk "memberdayakan" sekolah, terutama sumber daya manusianya (kepala sekolah, guru,
karyawan, siswa, orang tua siswa, dan masyarakat sekitarnya), melalui pemberian kewenangan, fleksibilitas, dan sumber daya lain
untuk memecahkan persoalan yang dihadapi oleh sekolah yang bersangkutan.
Ciri-ciri sekolah yang "berdaya" pada umumnya: tingkat kemandirian tinggi/tingkat ketergantungan rendah; bersifat adaptif dan
antisipatif/proaktif sekaligus; memiliki jiwa kewirausahaan tinggi (ulet, inovatif, gigih, berani mengambil resiko, dsb.);
bertanggungjawab terhadap hasil sekolah; memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen (T,R,P,L,T3,K) dan sumber dayanya;
kontrol terhadap kondisi kerja; komitmen yang tinggi pada dirinya; dan dinilai oleh pencapaian prestasinya. Selanjutnya, bagi sumber
daya manusia sekolah yang berdaya, pada umumnya, memiliki ciri-ciri: pekerjaan adalah miliknya, dia bertanggung jawab, dia
memiliki suara bagaimana sesuatu dikerjakan, pekerjaannya memiliki kontribusi, dia tahu posisinya dimana, dia memiliki kontrol
terhadap pekerjaannya, dan pekerjaannya merupakan bagian hidupnya.
Contoh-contoh tentang hal-hal yang dapat memberdayakan warga sekolah adalah: pemberian tanggung jawab, pekerjaan yang
bermakna, memecahkan masalah pekerjaan secara "teamwork", variasi tugas, hasil kerja yang terukur, kemampuan untuk mengukur
kinerjanya sendiri, tantangan, kepercayaan, didengar, ada pujian, menghargai ide-ide, mengetahui bahwa dia adalah bagian penting
dari sekolah, kontrol yang luwes, dukungan, komunikasi yang efektif, umpan balik bagus, sumber daya yang dibutuhkan ada, dan
warga sekolah diberlakukan sebagai manusia ciptaan-Nya yang memiliki martabat tertinggi (Slamet PH, 2000; Direktorat Pendidikan
Menengah Umum, 2000).
4. Pergeseran Pendekatan Manajemen Pendidikan
Seiring dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Otonomi
Daerah) dan bukti-bukti empirik tentang kurang efektif dan efisiensinya manajemen berbasis pusat, maka Departemen Pendidikan
Nasional melakukan penyesuaian-penyesuaian, salah satunya adalah melakukan pergeseran pendekatan manajemen, yaitu dari
pendekatan manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah, seperti dilukiskan pada Gambar 2 (Slamet PH, 2000).
Gambar
Pergeseran
Pendekatan
Menuju Berbasis Sekolah

Manajemen

Manajemen Berbasis Pusat


Sub-ordinasi
Pengambilan keputusan
Terpusat
Ruang gerak kaku
Pendekatan birokratik

Pendidikan:

Menuju

Dari

Berbasis

2
Pusat

Manajemen Berbasis Sekolah


Otonomi
Pengambilan keputusan
Partisipatif
Ruang Gerak Luwes
Pendekatan Profesionalisme

Sentralistik
Diatur
Overregulasi
Mengontrol
Mengarahkan
Menghindari resiko
Gunakan uang semuanya
Individual cerdas
Informasi terpribadi
Pendelegasian
Organisasi herarkis

Desentralistik
Motivasi diri
Deregulasi
Mempengaruhi
Memfasilitasi
Mengolah resiko
Gunakan seefisien mungkin
Teamwork kompak & cerdas
Informasi terbagi
Pemberdayaan
Organisasi datar

Sumber: Slamet PH, 2000


Berikut disampaikan penjelasan seperlunya terhadap pergeseran pendekatan manajemen berbasis pusat menuju manajemen berbasis
sekolah.
(1) Dari Sub-Ordinasi Menuju Otonomi
Pada manajemen berbasis pusat, sekolah merupakan sub-ordinasi dari pusat, sehingga sifat ketergantungannya sangat tinggi. Sekolah
tidak berdaya dan tidak memiliki kemandirian, sehingga kreativitas dan prakarsanya terpasung dan beku. Pada manajemen berbasis
sekolah, sekolah memiliki otonomi (kemandirian) untuk berbuat yang terbaik bagi sekolahnya. Ketergantungan pada tingkat pusat
makin kecil, sehingga sekolah harus dewasa dan meyakini bahwa perubahan pendidikan tidak akan terjadi jika sekolahnya sendiri
tidak berubah. Tentu saja kemandirian ini menuntut kemampuan sekolah untuk mengatur dan mengurus sekolahnya menurut
prakarsanya sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dari Pengambilan Keputusan Terpusat Menuju Pengambilan Keputusan Partisipatif
Berbeda dengan pengambilan keputusan pada manajemen berbasis pusat yang ditandai oleh one man show, lamban hasilnya, dan
sering tidak pas hasilnya dengan kebutuhan sekolah, maka pengambilan keputusan pada manajemen berbasis sekolah melibatkan
warga sekolah, yang selain cepat hasilnya, juga sesuai hasilnya dengan kebutuhan sekolah. Pelibatan partisipan dalam pengambilan
keputusan tentu saja disesuaikan dengan relevansi, keahlian, yurisdiksi, dan kompatibilitas keputusan dengan kepentingan partisipan.
(3) Dari Ruang Gerak Kaku Menuju Ruang Gerak Luwes
Akibat banyaknya tugas dan fungsi, wewenang, tanggungjawab, kewajiban dan hak sekolah yang ditangani oleh Pusat, Wilayah, dan
Kandep, maka ruang gerak sekolah kaku untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi maupun untuk memenuhi
kebutuhannya. Pada pendekatan manajemen yang baru, ruang gerak sekolah sangat luwes karena apa yang selama ini dilakukan oleh
Pusat, Wilayah, dan Kandep, sebagian besar kini diserahkan ke sekolah.
(4) Dari Pendekatan Birokrasi Menuju Pendekatan Profesionalisme
Pada pendekatan birokrasi, apa yang dilakukan oleh sekolah didasarkan atas apa yang dianggap benar dan baik oleh pimpinannya.
Pada pendekatan profesionalisme, apa yang dilakukan oleh sekolah didasarkan atas profesionalisme. Karena itu, peranan keahlian
sangat penting dalam membimbing tingkah laku warga sekolah, bukan kekuasaan.
(5) Dari Manajemen Sentralistik Menuju Manajemen Desentralistik
Pada model lama, pusat memiliki kewenangan yang berlebihan, sehingga terjadilah pemusatan kekuasaan di pusat. Pemusatan
kekuasaan ini telah menimbulkan dampak negatif pada sekolah, yaitu selain sekolah tidak berdaya, banyak keputusan-keputusan yang
tidak efektif dan efisien. Karena kecil kewenangan yang dimiliki oleh sekolah, maka tidak jarang sekolah acuh tak acuh terhadap
masalah-masalah yang dihadapi. Sedang pada manajemen desentralistik, banyak kewenangan Pusat, Wilayah, dan Kandep yang

diserahkan ke sekolah. Dengan pendekatan ini, maka sekolah akan lebih berdaya dan keputusan-keputusan yang dibuatnya akan lebih
efektif dan efisien.
(6) Dari Kebiasaan Diatur Menuju Kebiasaan Motivasi Diri
Pola perilaku lama yang sering menunggu perintah dan kebiasaan diatur (dorongan eksternal) akan berubah menjadi pola perilaku
baru yang bercirikan motivasi diri (dorongan internal). Perubahan ini tentu saja akibat dari otonomi (kemandirian) sekolah yang
diberikan oleh Pusat, Wilayah, dan Kandep. Struktur organisasi yang berjiwa otonomi akan mendorong sekolah untuk berinovasi dan
berimprovisasi dari dalam diri sekolah, bukan dari tekanan luar.
(7) Dari Overregulasi Menuju Deregulasi
Terlalu banyaknya regulasi pendidikan (overregulasi) termasuk juklak dan juknis telah membuat sekolah seperti robot yang hanya
menunggu perintah, tumpul, telah membunuh kreativitas sekolah, terutama gurunya. Deregulasi pendidikan akan mampu
menumbuhkan daya kreativitas dan prakarsa sekolah, dan membuat sekolah sebagai pusat perubahan. Deregulasi juga mampu
memberikan kelenturan sekolah dalam mengelola sekolahnya.
(8) Dari Mengontrol Menuju Mempengaruhi
Jika manajemen pola lama lebih cenderung menekankan pada "mengkomando" dan "mengontrol" , maka manajemen berbasis sekolah
lebih menekankan pada "mempengaruhi". "Mengontrol" lebih cenderung pada output, sehingga jika terjadi kesalahan, menjadi
terlanjur. Sedang "mempengaruhi" lebih cenderung menekankan pada input dan poses, sehingga terhindar dari kemungkinan terlanjur
salah.
(9) Dari Mengarahkan Menuju Memfasilitasi
Pada manajemen berbasis pusat lebih menekankan pada pemberian "pengarahan", yang sering diwujudkan dengan kata-kata "kita
harus kesana", "kita harus mengerjakan itu", dengan maksud agar pekerjaan cepat selesai. Sedang pada manajemen berbasis sekolah
lebih menekankan pada pemberian "fasilitasi", misalnya: "bagaimana menurut pendapat anda untuk mengerjakan ini?"
(10) Dari Menghindari Resiko Menuju Mengolah Resiko
Jika pada pola manajemen tradisional lebih menekankan untuk "menghindari resiko", maka pada pola manajemen baru lebih
menganjurkan "mengambil resiko". Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa orang-orang yang berani mengambil resiko cenderung
lebih maju dari pada orang yang suka menghindari resiko.
(11) Dari Menggunakan Uang Semuanya Menuju Menggunakan Uang Seefisien Mungkin
Pola anggaran lama yang menekankan pada "uang harus dihabiskan semua", akan bergeser menjadi "gunakan uang secukupnya", akan
meningkatkan efisiensi sekolah. Tentu saja hal ini akan menuntut "restrukturisasi" anggaran pola lama.
(12) Dari Individu yang Cerdas Menuju "Teamwork" yang Kompak dan Cerdas
Tidak jarang sekolah memiliki individu-individu yang cerdas. Pada manajemen berbasis sekolah, individu-individu yang cerdas ini
harus diajak memperhatikan kinerja sekolah secara keseluruhan, dan disadarkan bahwa hanya melalui "teamwork" yang kompak dan
cerdaslah yang akan mampu meningkatkan kinerja sekolah.
(13) Dari Informasi Terpribadi Menuju Informasi Terbagi
Informasi sering hanya dimiliki oleh sejumlah warga sekolah, khususnya kepala sekolah, wakil-wakilnya, dan beberapa guru.
Informasi ini umumnya juga tidak disebarluaskan kesemua warga sekolah (terpribadi). Di masa mendatang, informasi harus
tersebar/terbagi secara merata keseluruh warga sekolah. Tentu saja yang dimaksud di sini bukan setiap ada informasi baru harus
disampaikan kesemua warga sekolah, namun informasi diberikan kepada mereka yang memang berhak menerimanya.
(14) Dari Pendelegasian Menuju Pemberdayaan
Manajemen pendidikan kita sampai saat ini masih diwarnai oleh praktek-praktek pendelegasian tugas dan fungsi serta tanggungjawab
semata, tanpa diikuti penyerahan kewenangan, sehingga sekolah tidak berdaya. Mulai sekarang, Pusat, Wilayah, dan Kandep harus
memberdayakan sekolah, yaitu melalui penyerahan tugas dan fungsi, tanggungjawab, hak dan kewajiban, yang disertai kewenangan
untuk mengambil keputusan. Karena, hanya sekolahlah yang merupakan "pusat perubahan" yang sebenarnya, terutama sumberdaya
manusianya. Sebagus apapun kebijakan dari Pusat, Wilayah, dan Kandep, namun jika sekolah tidak berubah, maka tidak akan pernah
ada perubahan.
(15) Dari Organisasi Hirarkis Menuju Organisasi Datar
Sampai saat ini organisasi pendidikan khususnya organisasi sekolah masih diatur dengan lapis-lapis manajemen yang rumit, sehingga
sekolah lamban adaptasi dan antisipasinya terhadap perubahan-perubahan, dan kurang tanggap terhadap isu-isu kritis/strategis yang

menyangkut kemajuan sekolah. Mulai saat ini, organisasi sekolah harus dibuat lebih datar agar lebih responsif dan antisipatif, tidak
saja terhadap isu-isu strategis/kritis yang dihadapi oleh sekolah, tetapi juga terhadap perubahan-perubahan sosial secara umum.
5. Model Manajemen Berbasis Sekolah (Idealnya)
Dalam artian yang sesungguhnya, sebenarnya sulit memberikan contoh manajemen berbasis yang "uniformitas" dan "konformitas"
sekaligus, karena dalam kenyataan juga tidak mudah menemukan sekolah yang karakteristik "kancah"nya atau "pacakan"nya sama.
Model manajemen berbasis sekolah berikut merupakan model yang pada umumnya memiliki ciri-ciri universal, sehingga setiap
sekolah yang akan mengadopsi model ini perlu mengadaptasikannya/menyesuaikannya dengan karakteristik kancah di sekolah
masing-masing. Model manajemen berbasis sekolah berikut pada dasarnya ditampilkan menurut pendekatan sistem (berfikir sistem),
yaitu output-proses-input. Urutan ini dipilih dengan alasan bahwa setiap kegiatan sekolah akan dilakukan, termasuk kegiatan
melakukan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and Threat), semestinya dimulai dari "output" yang akan dicapai,
kemudian ke "proses", dan baru ke "input" yang dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Namun, langkah-langkah pemecahan
persoalannya ditempuh dengan mengikuti urutan yang berlawanan dengan arah analisis SWOT.
Karena manajemen berbasis sekolah telah merupakan jiwa dan semangat sekolah, maka setiap penjelasan berikut telah
menginklusifkan otonomi dan partisipasi ke dalamnya, meskipun tanpa menyebut istilah otonomi dan partisipasi. Artinya, setiap
pembahasan butir-butir berikut selalu dijiwai oleh otonomi dan partisipasi dalam pengambilan keputusan sekolah. Secara ringkas,
manajemen berbasis sekolah dapat diuraikan seperti berikut (Slamet PH, 2000; Direktorat Pendidikan Menengah Umum, 2000).
5.1 Output
Output sekolah diukur dengan kinerja sekolah. Kinerja sekolah adalah pencapaian/prestasi yang dihasilkan oleh proses/perilaku
sekolah. Kinerja sekolah dapat diukur dari efektivitasnya, kualitasnya, produktivitasnya, efisiensinya, inovasinya, kualitas kehidupan
kerjanya, dan moral kerjanya (lihat Gambar 3), dengan keterangan seperlunya seperti berikut.
Efektivitas adalah ukuran yang menyatakan sejauhmana sasaran (kuantitas, kualitas, waktu) telah dicapai. Dalam bentuk persamaan,
efektivitas sama dengan hasil nyata dibagi hasil yang diharapkan.
Kualitas adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa, yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan
kebutuhan yang ditentukan atau yang tersirat. Mutu barang atau jasa dipengaruhi oleh banyak tahapan kegiatan yang saling
berhubungan seperti disain, operasi produk atau jasa dan pemeliharaannya.
Produktivitas adalah hasil perbandingan antara output dibagi input. Baik output maupun input adalah dalam bentuk kuantitas.
Kuantitas input berupa tenaga kerja, modal, bahan, dan energi. Kuantitas output dapat berupa jumlah barang atau jasa, tergantung
pada jenis pekerjaan.

Gambar 3: Kinerja Sekolah


Efisiensi dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu efisiensi internal dan efisiensi eksternal. Efisiensi internal menunjuk kepada
hubungan antara output pendidikan (pencapaian belajar) dan input (sumberdaya) yang digunakan untuk memroses/menghasilkan
output pendidikan (Coombs & Hallak, 1987). Efisiensi internal biasanya diukur dengan biaya-efektivitas. Setiap penilaian biaya-

efektivitas selalu memerlukan dua hal, yaitu penilaian ekonomik untuk mengukur biaya masukan (input) dan penilaian hasil
pembelajaran (prestasi belajar, lama belajar, angka putus sekolah). Sedang efisiensi eksternal adalah hubungan antara biaya yang
digunakan untuk menghasilkan tamatan dan keuntungan kumulatif (individual, sosial, ekonomik, dan non-ekonomik) yang didapat
setelah pada kurun waktu yang panjang diluar sekolah. Analisis biaya-manfaat merupakan alat utama untuk mengukur efisiensi
eksternal.
Inovasi adalah proses yang kreatif dalam mengubah input, proses, dan output agar dapat sukses dalam menanggapi dan
mengantisipasi perubahan-perubahan internal dan eksternal sekolah. Inovasi selalu memberikan nilai tambah terhadap input, proses,
maupun output yang ada.
Kualitas kehidupan kerja adalah kinerja sekolah yang ditunjukkan oleh ukuran tentang bagaimana warga sekolah merasakan hal-hal
seperti: pekerjaannya, kemanfaatannya, kondisi kerjanya, kesan dari anak buah terhadap bapak/ibu buah, kawan/kolega kerjanya,
peluang untuk maju, pengembangan, kepastian, keselamatan dan keamanan, dan imbal jasanya.
Moral kerja adalah tingkat baik buruknya warga sekolah terhadap pekerjaannya yang ditunjukkan oleh etika kerjanya,
kedisiplinannya, kejujurannya, kerajinannya, komitmennya, tanggungjawabnya, hubungan kerjanya, daya adaptasi dan antisipasinya,
motivasi kerjanya, dan jiwa kewirausahaannya (bersikap dan berpikir mandiri, memiliki sikap berani mengambil resiko, tidak suka
mencari kambing hitam, selalu berusaha menciptakan dan meningkatkan nilai sumberdaya, terbuka terhadap umpan balik, selalu ingin
mencari perubahan yang lebih baik, tidak pernah merasa puas dan terus menerus melakukan inovasi dan improvisasi demi perbaikan
selanjutnya, dan memiliki tanggungjawab moral yang baik).
5.2 Proses
Proses merupakan berubahnya "sesuatu" menjadi "sesuatu yang lain". Sesuatu yang berpengaruh terhadap berlangsungnya proses
disebut "input", sedang sesuatu dari hasil proses disebut output. Dalam pendidikan bersekala mikro (sekolah), proses yang dimaksud
adalah: (a) proses pengambilan keputusan, (b) proses pengelolaan kelembagaan, (c) proses pengelolaan program, dan (d) proses
belajar mengajar.
5.2.1 Proses Pengambilan Keputusan
Proses pengambilan keputusan partisipatif merupakan salah satu "inti" manajemen berbasis sekolah. Esensi proses pengambilan
keputusan partisipatif (Cangemi, 1985) adalah untuk mencari "wilayah kesamaan" antara kelompok-kelompok kepentingan yang
terkait dengan sekolah (stakehorder) yaitu kepala sekolah, guru, siswa, orangtua siswa, dan pemerintah/yayasan). Wilayah kesamaan
inilah yang menjadi modal dasar untuk menumbuhkan "rasa memiliki" bagi semua kelompok kepentingan yang terkait dengan
sekolah dan ini dapat dilakukan secara efektif melalui pelibatan semua kelompok kepentingan dalam proses pengambilan keputusan.
Pelibatan kelompok kepentingan dalam proses pengambilan keputusan harus mempertimbangkan keahlian, yurisdiksi, dan
relevansinya dengan tujuan pengambilan keputusan.
Menurut Cangemi (1985), paling tidak ada tiga pertanyaan yang harus dijawab oleh kepala sekolah sewaktu akan menerapkan
pengambilan keputusan partisipatif: (1) bagaimana cara menentukan, dalam setiap kasus, apakah cocok dan produktif jika
pengambilan keputusan melibatkan kelompok-kelompok kepentingan?; (2) kemudian, jika proses pengambilan keputusan perlu
melibatkan kelompok-kelompok kepentingan, pertanyaan kedua adalah: bagian yang mana dari proses pengambilan keputusan yang
perlu melibatkan kelompok-kelompok kepentingan?; (3) pertanyaan ketiga adalah cara yang mana (apa) yang paling efektif untuk
melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan?
Tentunya tidak semua wilayah (zona) pengambilan keputusan harus melibatkan semua kelompok kepentingan. Ada wilayah-wilayah
yang memang merupakan hak prerogatif pimpinan untuk diputuskan secara sendirian dan bawahan harus menerimanya tanpa syarat.
Kalaupun pimpinan melibatkan kelompok-kelompok kepentingan, maka hal ini harus dipikirkan secara mendalam dan terkontrol
pelaksanaannya.
Ada empat petunjuk untuk mengidentifikasi pengambilan keputusan yang harus melibatkan para kelompok kepentingan, yaitu
relevansi, kompetensi, yurisdiksi, dan kompatibilitas tujuan. Pertama, adalah tingkat relevansinya. Sekiranya keputusan yang akan
diambil relevan dengan kebutuhan kelompok kepentingan tertentu (kelompok yang bakal terkena dampak keputusan), maka
pengambilan keputusan sebaiknya melibatkan kelompok kepentingan tersebut. Kedua, adalah uji keahlian. Artinya, kelompok
kepentingan yang akan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, harus memiliki sesuatu untuk dikontribusikan. Mereka harus
memiliki kompetensi untuk ikut serta dalam memecahkan persoalan-persoalan yang terkait dengan kepentingannya. Ketiga, uji
yurisdiksi. Sekolah didirikan untuk menjalankan fungsinya melalui struktur-herarkis. Karena itu, ada batas-batas yurisdiksi yang
memang tidak semua kelompok kepentingan harus terlibat dalam pengambilan keputusan. Pelibatan yang tidak proporsional secara
yurisdiksi akan cenderung membuat frustasi dan kemarahan yang tidak berdasar. Keempat, uji kompatibilitas tujuan. Apabila
kompatibilitas tujuan dari semua kelompok kepentingan diinginkan, maka pelibatan mereka dalam proses pengambilan keputusan
sangat diperlukan.
Disamping empat petunjuk pelibatan para kelompok kepentingan dalam pengambilan keputusan, ada delapan model yang dapat
diadopsi oleh kepala sekolah berkaitan dengan pengambilan keputusan partisiptatif.
(1) Pemberitahuan

Di sini kepala sekolah mengambil keputusan secara sendirin. Dia tidak mencari informasi dan tidak mencari nasehat dari orang lain.
Dia mempercayakan pada pengalamannya sendiri dan penelitiannya sendiri, dan semata-mata mengumumkan keputusannya. Gaya ini
cocok untuk keputusan-keputusan yang terletak diluar zona kepedulian karyawan.
(2) Pengumpulan Informasi
Disini kepala sekolah menggunakan kelompok kepentingan tertentu hanya untuk tujuan pengumpulan informasi (penelitian masalah).
Partisipan tidak diundang untuk datang bersama-sama dan bahkan tidak tahu siapa saja yang dimintai informasi. Melalui pembicaraan
telpon atau laporan tertulis, kepala sekolah mencoba menarik kontribusi dari kelompok kepentingan tertentu agar supaya dapat
mengambil keputusan oleh dirinya sendiri. Gaya semacam ini hanya berlaku secara terbatas untuk keputusan-keputusan marjinal
diluar zona kepedulian karyawan.
(3) Pengumpulan Informasi dan Pembahasan
Di sini kepala sekolah berusaha mengumpulkan informasi dan memferifikasinya dengan mengundang secara bersama-sama para
kelompok kepentingan yang dapat berkontribusi terhadap informasi awal yang telah dikumpulkan. Sewaktu informasi ini dicek-silang
dan diklarifikasi, kolegialitas antar kelompok kepentingan tidak terlalu didorong/dimunculkan. Dari informasi cek-silang ini,
kemudian Kepala Sekolah akan menggunakannya untuk masukan bagi pengambilan keputusan yang akan dilakukan oleh dirinya
sendiri.
(4) Pengumpulan Pendapat dan Pembahasan
Di sini kepala sekolah meminta bawahannya untuk menginterpretasi informasi yang telah dibagi-bagikan kepada mereka. Dia
memanfaatkan mereka untuk menjelaskan makna data-data yang telah dibagi-bagikan keseluruh kelompok. Pendapat-pendapat yang
diusulkan mungkin beragam dan tidak bisa menghasilkan saran-saran umum terhadap Kepala Sekolah untuk memecahkan persoalan.
Lagi-lagi, sepala sekolah mengambil keputusan oleh dirinya sendiri tetapi dalam hal ini dia telah mendorong pertukaran pendapat
secara bebas sewaktu dilakukan cek-silang antar kelompok kepentingan. Kondisi ini cocok jika setiap kelompok kepentingan dapat
dipercaya untuk bagi-bagi pendapat dan memiliki keahlian yang sesuai dengan keputusan yang akan diambil.
(5) Debat, Dialog, dan Proteksi Ekuitas/Kesamaan
Dalam model ini, kepala sekolah tidak hanya mendorong pertukaran pendapat secara bebas, tetapi juga untuk meyakinkan bahwa
individu-individu yang menawarkan pendapat harus berdebat untuk mempertahankan pendapatnya. Melalui interaksi ini kemudian
dilakukan penilaian terhadap pendapat-pendapat tersebut sehingga ditemukan pendapat yang relatif lebih baik. Karena semua
pendapat harus dilontarkan, maka peran kepala sekolah adalah melindungi pendapat-pendapat dari kelompok minoritas dan
memberhentikan mereka yang telah habis waktunya dalam curah/debat pendapat. Dalam peran ini, kepala sekolah tetap akan
mengambil keputusan oleh dirinya sendiri, namun dia akan dipengaruhi secara signifikan oleh argumen-argumen yang disampaikan
oleh para partisipan.
(6) Demokrasi
Model pengambilan keputusan semacam ini pada dasarnya menggunakan sistem "voting". Kepala sekolah menyerahkan sebagian
besar wewenang pengambilan keputusannya, sehingga dia akan berpartisipasi dalam diskusi tersebut dan dia akan memberikan
suaranya melalui "voting", dan oleh karena itu keputusan final akan ditentukan oleh suara mayoritas. Teknik ini cocok untuk
pengambilan keputusan yang kontroversial, dimana konsensus sukar dicapai.
(7) Konsensus
Di sini kepala sekolah mendorong munculnya pendapat-pendapat yang beragam dan dia bertindak sebagai parlementarian untuk
menjamin hak-hak yang sama dari semua peserta yang terlibat dalam diskusi. Segera setelah kelompok diskusi mengarah kepada
kesepakatan, dia meringkasnya dan mengklarifikasi isu-isu tersebut. Dia memimpin diskusi, tetapi dia tidak menempatkan
pendapatnya di atas peserta diskusi. Dia berusaha membawa kelompok diskusi kearah persetujuan terhadap alternatif terbaik, yaitu
alternatif yang dapat diterima oleh kelompok secara keseluruhan. Ini tidak berarti bahwa setiap peserta akan puas secara total terhadap
keputusan, akan tetapi paling tidak setiap peserta seyogyanya puas terhadap keputusan tersebut karena inilah keputusan terbaik yang
dapat dicapainya.
(8) Delegasi
Dalam kondisi-kondisi tertentu, suatu keputusan tidak harus ditangani oleh kepala sekolah, karena keputusan tersebut tidak relevan
baginya maupun bagi sekolahnya. Dia tidak memiliki keahlian untuk berkontribusi dan karena itu dia mendelegasikan keputusan
kepada bawahannya (guru, konselor, BP3, dsb.). Dia tidak berpartisipasi. Dia tidak mengganggu hasil akhir keputusan, namun bisa
saja dia merupakan salah seorang yang menunjukkan adanya permasalahan.
5.2.2 Pengelolaan Kelembagaan
Sekolah, sebagai lembaga pendidikan, harus dikelola secara profesional agar menjadi "sekolah belajar" (learning school) yang mampu
menjamin kelangsungan hidup dan perkembangannya. Menurut Bovin (1998), untuk menjadi sekolah belajar, maka sekolah harus:

1).
2).
3).
4).
5).
6).
7).
8).
9).
10).
11).
12).
13).

memberdayakan sumber daya manusianya seoptimal mungkin,


memfasilitasi warga sekolahnya untuk belajar terus dan belajar kembali,
mendorong kemandirian (otonomi) setiap warganya,
memberikan tanggungjawab kepada warganya,
mendorong setiap warganya untuk "mempertanggungugatkan" (accountability) terhadap hasil kerjanya,
mendorong adanya teamwork yang kompak dan cerdas dan shared value bagi setiap warganya,
merespon dengan cepat terhadap pasar (pelanggan),
mengajak warganya untuk menjadikan sekolahnya customer focused,
mengajak warganya untuk nikmat/siap berhadap perubahan,
mendorong warganya untuk berfikir sistem, baik dalam cara berfikir, cara mengelola, maupun cara
menganalisis sekolahnya,
mengajak warganya untuk komitmen terhadap "keunggulan kualitas",
mengajak warganya untuk melakukan perbaikan secara terus-menerus, dan
melibatkan warganya secara total dalam penyelenggaraan sekolah.

5.2.3 Proses Pengelolaan Program


Pengelolaan program merupakan pengkoordinasian dan penyerasian program sekolah, yang meliputi: (1) perencanaan,
pengembangan, dan evaluasi program sekolah, (b) pengembangan kurikulum, (c) pengembangan proses belajar mengajar, (d)
pengelolaan sumberdaya manusia (guru, karyawan, konselor, dsb.), (e) pelayanan siswa, (f) pengelolaan fasilitas, (g) pengelolaan
keuangan, (h) perbaikan program, dan (i) pembinaan hubungan antara sekolah dan masyarakat.
5.2.4 Proses Belajar Mengajar
Sedang proses belajar mengajar merupakan pemberdayaan pelajar yang dilakukan melalui interaksi perilaku pengajar dan perilaku
pelajar, baik di ruang maupun di luar kelas. Karena proses belajar mengajar merupakan pemberdayaan pelajar, maka penekanannya
bukan sekadar penguasaan pengetahuan tentang apa yang diajarkan (logos), tetapi merupakan internalisasi tentang apa yang diajarkan
sehingga tertanam dan berfungsi sebagai muatan nurani dan dihayati serta dipraktekkan oleh pelajar (etos).
Selain itu, proses belajar mengajar semestinya lebih mementingkan proses pencarian jawaban dari pada memiliki jawaban. Karena itu,
proses belajar mengajar yang lebih mementingkan jawaban baku yang dianggap benar oleh pengajar adalah kurang efektif. Proses
belajar mengajar yang efektif semestinya menumbuhkan daya kreasi, daya nalar, rasa keingintahuan, dan eksperimentasieksperimentasi untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru (meskipun hasilnya keliru), memberikan keterbukaan terhadap
kemungkinan-kemungkinan baru, menumbuhkan demokrasi, dan memberikan toleransi pada kekeliruan-kekeliruan akibat kreativitas
berfikir.
Secara ringkas, proses belajar mengajar (sebagai sistem) dapat dilukiskan seperti pada Gambar 4 berikut.
5.2.4.1 Input
Input adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Sesuatu yang dimaksud tidak harus
berupa barang, tetapi juga dapat berupa perangkat dan harapan-harapan sebagai pemandu bagi berlangsungnya proses. Berikut
disampaikan sejumlah input dengan uraian seperlunya.
5.2.4.1.1 Visi
Setiap sekolah yang akan menerapkan manajemen berbasis sekolah harus memiliki visi. Visi adalah wawasan yang menjadi sumber
arahan bagi sekolah, dan digunakan untuk memandu perumusan misi sekolah. Dengan kata lain, visi adalah pandangan jauh kedepan
kemana sekolah akan dibawa atau gambaran masa depan yang diinginkan oleh sekolah, agar sekolah yang bersangkutan dapat dijamin
kelangsungan hidup dan perkembangannya.

Gambar 4: Proses Belajar Mengajar Sebagai Sistem


5.2.4.1.2 Misi
Misi adalah tindakan untuk merealisasikan visi. Karena visi harus mengakomodasi semua kelompok kepentingan yang terkait dengan
sekolah, maka misi dapat juga diartikan sebagai tindakan untuk memenuhi masing-masing dari semua kelompok kepentingan yang
terkait dengan sekolah. Dalam merumuskan misi, harus mempertimbangkan tugas pokok sekolah dan kelompok-kelompok
kepentingan yang terkait dengan sekolah.
5.2.4.1.3 Tujuan
Tujuan merupakan penjabaran misi. Tujuan merupakan "apa" yang akan dicapai/dihasilkan oleh sekolah yang bersangkutan dan
"kapan" tujuan akan dicapai. Tujuan dirumuskan untuk jangka waktu 1-3 tahuan.
5.2.4.1.4 Sasaran
Sasaran adalah penjabaran tujuan, yaitu sesuatu yang akan dihasilkan/dicapai oleh sekolah dalam jangka waktu satu tahun, satu catur
wulan, atau satu bulan. Agar sasaran dapat dicapai dengan efektif, maka sasaran harus dibuat spesifik, terukur, jelas kriterianya, dan
disertai indikator-indikator yang rinci.
5.2.4.1.5 Struktur Organisasi
Mengingat fungsi dasar sekolah berubah, dari subordinasi menjadi otonomi, dari pengambilan keputusan tunggal menjadi
pengambilan keputusan partisiptatif, sudah tentu perubahan ini berdampak pada struktur organisasi yang telah ada, serta peran dari
kelompok-kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah.
5.2.4.1.6 Input Manajemen
Kepala sekolah mengatur dan mengurus sekolahnya melalui sejumlah input manajemen. Kelengkapan dan kejelasan input manajemen
akan membatu kepala sekolah mengelola sekolahnya dengan baik. Berikut adalah sejumlah input manajemen, dengan keterangan
seperlunya (Poernomosidi Hadjisarosa, 1997):
(1) Tugas
Kepala sekolah harus jelas memberikan tugas-tugas kepada bawahannya, yang dilengkapi ketentuan-ketentuan mengenai fungsi,
wewenang, tanggungjawab, kewajiban dan hak.
(2) Rencana
Rencana/rancang-bangun adalah diskripsi produk untuk keperluan pembuatan/pembangunan (diskripsi disebut kualifikasi untuk
sumberdaya manusia, spesifikasi untuk sumberdaya selain sumber daya manusia). Rencana juga mengandung isi diskripsi kegiatan
untuk keperluan penyelenggaraan, dalam arti, cukup lengkap untuk berlangsung. Dalam pendidikan, rencana yang dimaksud adalah
rencana pengembangan sekolah.

10

(3) Program
Program adalah alokasi sumberdaya kedalam kegiatan-kegiatan, menurut jadwal-waktu dan menunjukkan tatalaksana yang sinkron.
Dengan kata lain program adalah bentuk dokumen untuk menggambarkan langkah-langkah untuk mewujudkan sinkronisasi dalam
ketatalaksanaan, sebagai salah satu konsekwensi dari koordinasi.
(4) Limitasi/Ketentuan-Ketentuan
Input manajemen yang menyangkut limitasi, yaitu yang muncul dalam berbagai bentuk ketentuan, seperti yang menyangkut
kualifikasi, spesifikasi dan metoda ataupun prosedur, manual, dan peraturan-perundangan. Input manajemen yang berupa limitasi ini
pada dasarnya merupakan aturan main atau rule of the game yang perlu diikuti oleh semua warga sekolah agar pengembangan sekolah
berjalan lancar untuk mencapai tujuannya.
(5) Pengendalian/Tindakan Turun Tangan
Input manajemen yang menyangkut pengendalian/pengawasan, yaitu yang muncul dalam wujud Tindakan Turun Tangan (T3), untuk
meyakinkan bahwa tujuan/sasaran sekolah yang telah ditetapkan dapat dicapai secara efektif dan efisien.
5.2.4.1.7 Sumberdaya
Sumberdaya merupakan jenis input penting yang diperlukan untuk berlangsungnya proses pendidikan di sekolah. Tanpa sumberdaya,
proses pendidikan di sekolah tidak akan berlangsung, dan pada gilirannya sasaran sekolah tidak akan tercapai. Sumber daya dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu sumberdaya manusia dan sumberdaya selebihnya, dengan penegasan bahwa sumber daya
selebihnya tidak mempunyai arti apapun bagi perwujudan sasaran sekolah, tanpa campur tangan sumberdaya manusia.
(1) Sumber Daya Manusia
Sumberdaya manusia merupakan hasil ciptaan-Nya yang paling sempurna dan karenanya harus didudukkan pada posisi tertinggi
dalam setiap kehidupan organisasi termasuk organisasi yang disebut sekolah. Karena itu, sumberdaya manusia (kepala sekolah, guru,
siswa, dll.) merupakan jiwa sekolah dan merupakan satu-satunya sumberdaya aktif, dan sumberdaya selebihnya merupakan
sumberdaya pasif. Pada dasarnya, agar sekolah dapat berjalan secara efektif dan efisien, diperlukan kesiapan sumberdaya manusia.
Kesiapan sumberdaya manusia = kesiapan kemampuan + kesiapan kesanggupan. Kesiapan kemampuan menyangkut
persyaratan kualifikasi dan kesiapan kesanggupan menyangkut pemenuhan kepentingan sumberdaya manusia.
(2) Sumber Daya Selebihnya
Sumber daya selebihnya dapat dikelompokkan menjadi: peralatan, perlengkapan, perbekalan, bahan/material/sumber daya alam, uang,
dan perangkat-perangkat lainnya, yang diperlukan untuk berlangsungnya proses pendidikan di sekolah, dengan keterangan seperlunya
sebagai berikut.
a) Peralatan
Agar jasa manusia dapat meningkatkan kualitas kerjanya lebih tajam dan produktivitasnya berlipat ganda, diperlukan peralatan.
Peralatan yang dimaksud terdiri dari peralatan manual, mesin, komputer, dsb.
b) Perlengkapan
Agar campur tangan sumber daya manusia terhadap sumber daya selebihnya dapat menghasilkan jasa manusia dengan intensitas yang
setinggi-tingginya, maka diperlukan perlengkapan, misalnya: pakaian, kantor, perlengkapan kantor, AC, kendaraan dinas, rumah
dinas, dsb.
c) Bahan/Material/sumber daya alam
Bahan/material/sumber daya alam merupakan obyek perlakuan jasa manusia yang harus ada bagi terselenggaranya proses. Dalam halhal tertentu, bahan merupakan input yang akan dikonversi menjadi output.
d) Uang
Uang merupakan "nilai ekuivalen jasa manusia terhadap peralatan, perlengkapan, dan bahan" yang diperlukan untuk memenuhi
kepentingan lancarnya proses maupun kepentingan sumberdaya manusia. Uang, selain sebagai alat penukar, juga sekaligus sebagai
alat pemenuh kebutuhan manusia.
e) Perangkat-perangkat lain
Perangkat (ware) lain, merupakan sumber daya yang belum tercakup dalam kategori sumber daya selebihnya di atas, misal: infoware,
organware, dan ware-ware lainnya.

11

6. Strategi Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah


Pada dasarnya, mengubah pendekatan manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah bukanlah merupakan one-shot
and quick-fix, akan tetapi merupakan proses yang berlangsung secara terus menerus dan melibatkan semua unsur yang bertanggung
jawab dalam penyelenggaraan pendidikan persekolahan. Oleh karena itu, strategi utama yang perlu ditempuh dalam melaksanakan
manajemen berbasis sekolah adalah sebagai berikut (Slamet PH, 2000; Direktorat Dikmenum, 2000).
1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

Mensosialiasikan konsep manajemen berbasis sekolah keseluruh warga sekolah, yaitu guru,siswa, wakil-wakil kepala
sekolah, konselor, karyawan dan unsur-unsur terkait lainnya (orangtua murid, pengawas, wakil kandep, wakil kanwil, dsb.)
melalui seminar, diskusi, forum ilmiah, dan media masa. Hendaknya dalam sosialisasi ini juga dibaca dan dipahami sistem,
budaya, dan sumber daya sekolah yang ada secermat-cermatnya dan direfleksikan kecocokannya dengan sistem, budaya, dan
sumber daya yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan manajemen berbasis sekolah.
Melakukan analisis situasi sekolah dan luar sekolah yang hasilnya berupa tantangan nyata yang harus dihadapi oleh sekolah
dalam rangka mengubah manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah. Tantangan adalah selisih
(ketidaksesuaian) antara keadaan sekarang (manajemen berbasis pusat) dan keadaan yang diharapkan (manajemen berbasis
sekolah). Karena itu, besar kecilnya ketidaksesuaian antara keadaan sekarang (kenyataan) dan keadaan yang diharapkan
(idealnya) memberitahukan besar kecilnya tantangan (loncatan).
Merumuskan tujuan situasional yang akan dicapai dari pelaksanaan manajemen berbasis sekolah berdasarkan tantangan
nyata yang dihadapi (butir 2). Segera setelah tujuan situasional ditetapkan, kriteria kesiapan setiap fungsi dan faktorfaktornya ditetapkan. Kriteria inilah yang akan digunakan sebagai standar atau kriteria untuk mengukur tingkat kesiapan
setiap fungsi dan faktor-faktornya.
Mengidentifikasi fungsi-fungsi yang perlu dilibatkan untuk mencapai tujuan situasional dan yang masih perlu diteliti tingkat
kesiapannya. Untuk mencapai tujuan situasional yang telah ditetapkan, maka perlu diidentifikasi fungsi-fungsi mana yang
perlu dilibatkan untuk mencapai tujuan situasional dan yang masih perlu diteliti tingkat kesiapannya. Fungsi-fungsi yang
dimaksud meliputi antara lain: pengembangan kurikulum, pengembangan tenaga kependidikan dan nonkependidikan,
pengembangan siswa, pengembangan iklim akademik sekolah, pengembangan hubungan sekolah-masyarakat,
pengembangan fasilitas, dan fungsi-fungsi lain.
Menentukan tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya melalui analisis SWOT (Strength, Weaknes, Opportunity,
and Threat). Analisis SWOT dilakukan dengan maksud mengenali tingkat kesiapan setiap fungsi dari keseluruhan fungsi
yang diperlukan untuk mencapai tujuan situasional yang telah ditetapkan. Berhubung tingkat kesiapan fungsi ditentukan oleh
tingkat kesiapan masing-masing faktor yang terlibat pada setiap fungsi, maka analisis SWOT dilakukan terhadap keseluruhan
faktor dalam setiap fungsi, baik faktor yang tergolong internal maupun eksternal. Tingkat kesiapan harus memadai, artinya,
minimal memenuhi ukuran kesiapan yang diperlukan untuk mencapai tujuan situasional, yang dinyatakan sebagai: kekuatan,
bagi faktor yang tergolong internal; peluang, bagi faktor yang tergolong faktor eksternal. Sedang tingkat kesiapan yang
kurang memadai, artinya tidak memenuhi ukuran kesiapan, dinyatakan bermakna: kelemahan, bagi faktor yang tergolong
faktor internal; dan ancaman, bagi faktor yang tergolong faktor eksternal.
Memilih langkah-langkah pemecahan (peniadaan) persoalan, yakni tindakan yang diperlukan untuk mengubah fungsi yang
tidak siap menjadi fungsi yang siap. Selama masih ada persoalan, yang sama artinya dengan ada ketidaksiapan fungsi, maka
tujuan situasional yang telah ditetapkan tidak akan tercapai. Oleh karena itu, agar tujuan situasional tercapai, perlu dilakukan
tindakan-tindakan yang mengubah ketidaksiapan menjadi kesiapan fungsi. Tindakan yang dimaksud lazimnya disebut
langkah-langkah pemecahan persoalan, yang hakekatnya merupakan tindakan mengatasi makna kelemahan dan/atau
ancaman, agar menjadi kekuatan dan/atau peluang, yakni dengan memanfaatkan adanya satu/lebih faktor yang bermakna
kekuatan dan/atau peluang.
Berdasarkan langkah-langkah pemecahan persoalan tersebut, sekolah bersama-sama dengan semua unsur-unsurnya membuat
rencana untuk jangka pendek, menengah, dan panjang, beserta program-programnya untuk merealisasikan rencana tersebut.
Sekolah tidak selalu memiliki sumber daya yang cukup untuk melaksanakan manajemen berbasis sekolah idealnya, sehingga
perlu dibuat sekala prioritas untuk rencana jangka pendek, menengah, dan panjang.
Melaksanakan program-program untuk merealisasikan rencana jangka pendek manajemen berbasis sekolah. Dalam
pelaksanaan, semua input yang diperlukan untuk berlangsungnya proses (pelaksanaan) manajemen berbasis sekolah harus
siap. Jika input tidak siap/tidak memadai, maka tujuan situasional tidak akan tercapai. Yang perlu diperhatikan dalam
pelaksanaan adalah pengelolaan kelembagaan, pengelolaan program, dan pengelolaan proses belajar mengajar.
Pemantauan terhadap proses dan evaluasi terhadap hasil manajemen berbasis sekolah perlu dilakukan. Hasil pantauan proses
dapat digunakan sebagai umpan balik bagi perbaikan penyelenggaraan dan hasil evaluasi dapat digunakan untuk mengukur
tingkat ketercapaian tujuan situasional yang telah dirumuskan. Demikian kegiatan ini dilakukan secara terus-menerus,
sehingga proses dan hasil manajemen berbasis sekolah dapat dioptimalkan.

7. Penutup
Mengubah manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah (transisi) merupakan proses yang panjang dan melibatkan
banyak pihak. Transisi ini memerlukan penyesuaian-penyesuaian, baik sistem (struktur)nya, kulturnya, maupun figurnya, dengan
tuntutan-tuntutan baru manajemen berbasis sekolah. Oleh karena itu, kita tidak bermimpi bahwa perubahan ini akan berlangsung
sekali jadi dan baik hasilnya. Dengan demikian, fleksibiltas dan eksperimentasi-eksperimentasi yang menghasilkan kemungkinankemungkinan baru dalam penyelenggaraan manajemen berbasis sekolah perlu didorong.
Pustaka Acuan
Aburizal Bakrie. 1999. Mengefektifkan Sistem Pendidikan Ganda. (Makalah Disampaikan pada Rapat Kerja Majelis Pendidikan
Kejuruan Nasional, 29 Maret 1999) di Jakarta.

12

Bailey, William J. 1991. School-Site Management Applied. Lancaster-Basel: Technomic


Direktorat Dikmenum. 2000. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Depdiknas.

Publishing

CO.INC.

Bovin, Olle. 2000. Towards A Learning Organization. Geneva: International Labour Office.
Cangeni, Joseph P. & Casimir J. Kowalski & Jeffry C. Claypool. 1984. Participative Management. New York: Philosophical Library.
David, Jane L. Synthesis of Research on School-Based Management. (Educational Leadership, Volume 46, Number 8, May 1989).
Dewan Perwakilan Rakyat. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta:
Dewan Perwakilan Rakyat.
Dewan Perwakilan Rakyat. 2000). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonomi. Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat.
Direktorat Pendidikan Menengah Umum. 2000. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (Buku 1). Jakarta: Direktorat
Pendidikan Menengah Umum, Departemen Pendidikan Nasional.
Poernomosidi Hadjisarosa. 1997. Naskah 1: Butir-Butir untuk Memahami Pengertian Mengenali Hal Secara Utuh dan Benar (Bahan
Kuliah STIE Mitra Indonesia).
Slamet PH. 2000. Menuju Pengelolaan Pendidikan Berbasis Sekolah. Makalah Disampaikann dalam Seminar Regional dengan Tema
"Otonomi Pendidikan dan Implementasinya dalam EBTANAS" pada Tanggal 8 Mei 2000 di Universitas Panca Marga Probolinggo,
Jawa Timur.
Slamet PH (2000). Menuju Pengelolaan Pendidikan Berbasis Sekolah. Makalah pada Acara Seminar dan Temu Alumni Fakultas Ilmu
Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta dengan Tema "Pendidikan yang Berwawasan Pembebasan: Tantangan Masa Depan" pada
Tanggal 27 Mei 2000 di Ambarukmo Palace Hotel, Yogyakarta.
Sumarno dkk. (2000). Otonomi Pendidikan. Kertas Kerja yang Dibahas di Universitas Negeri Yogyakarta dalam Rangka Memberi
Masukan kepada Menteri Pendidikan Nasional (tidak dipublikasikan).

13

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH


Oleh: Slamet PH*
Abstrak: Konsekwensi logis dari diberlakukannya Undang-Undang RI No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah, Peraturan Pemerintah RI No.25 tentang Kewenangan Pemerintah (Pusat) dan Kewenangan Propinsi Sebagai
Daerah Otonom, dan bukti-bukti empirik yang menunjukkan bahwa manajemen berbasis pusat merupakan salah satu
faktor yang menyebabkan kurang optimalnya kinerja sekolah adalah perlu diterapkanya manajemen berbasis sekolah
(MBS). Esensi MBS adalah otonomi sekolah plus pengambilan keputusan partisipatif. Otonomi sekolah adalah
kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku.
Pengambilan keputusan partisipatif adalah cara mengambil keputusan yang melibatkan kelompok-kelompok
kepentingan sekolah, terutama yang akan melaksanakan keputusan dan yang akan terkena dampak keputusan. Tujuan
MBS adalah untuk memandirikan/memberdayakan sekolah. Tahap-tahap pelaksanaan MBS dapat diurutkan seperti
berikut: mensosialisasikan konsep MBS, melakukan analisis sasaran, merumuskan sasaran, mengidentifikasi fungsifungsi yang diperlukan untuk mencapai sasaran, melakukan analisis SWOT, menyusun rencana sekolah,
mengimplementasikan rencana sekolah, melakukan evaluasi, dan merumuskan sasaran baru.
Kata kunci: manajemen berbasis pusat, manajemen berbasis sekolah, desentralisasi, otonomi/kemandirian sekolah,
pengambilan keputusan partisipatif.
_____________
* Slamet PH,MA,MEd,MA,MLHR,Ph.D adalah dosen Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Yogyakarta,
Konsultan (Internasional) Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Mitra
Indonesia Yogyakarta, Ketua Dewan Latihan Kerja Propinsi DIY, Ketua Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI)
DIY, dan Pengurus ISPI Pusat.
1.

Pendahuluan

Era reformasi telah membawa perubahan-perubahan mendasar dalam berbagai kehidupan termasuk kehidupan
pendidikan. Salah satu perubahan mendasar yang sedang digulirkan saat ini adalah manajemen negara, yaitu dari
manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis daerah. Secara resmi, perubahan manajemen ini telah
diwujudkan dalam bentuk "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah"
yang kemudian diikuti pedoman pelaksanaannya berupa "Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun
2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonomi. Konsekwensi logis dari
Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tersebut adalah bahwa manajemen pendidikan harus disesuaikan dengan
jiwa dan semangat otonomi. Karena itu, manajemen pendidikan berbasis pusat yang selama ini telah dipraktekkan perlu
diubah menjadi manajemen pendidikan berbasis sekolah.
Selain alasan normatif, secara empirik manajemen berbasis sekolah memang perlu diterapkan karena di lapangan
menunjukkan kenyataan-kenyataan sebagai berikut.
1.

2.

3.

Manajemen berbasis pusat yang selama ini telah dipraktekkan memiliki banyak kelemahan, antara lain: keputusan
pusat sering kurang sesuai dengan kebutuhan sekolah; administrasi berlebihan yang dikarenakan lapis-lapis
birokrasi yang terlalu banyak telah menyebabkan kelambanan dalam menangani setiap permasalahan, sehingga
menyebabkan kurang optimalnya kinerja sekolah; dalam kenyataan, administrasi telah mengendalikan kreasi;
proses pendidikan dijalankan dengan undermanaged sehingga menghasilkan tingkat efektivitas dan efisiensi yang
rendah; pendekatan sarwa-negara (state-driven) telah menempatkan sekolah pada posisi yang marginal, sehingga
sekolah tidak berdaya, tidak memiliki keberanian moral (prakarsa) untuk berinisiatif; sekolah tidak mandiri; terjadi
penyumbatan dan bahkan pemasungan demokrasi; sekolah tidak peka dan jeli dalam menangkap dan mengungkap
permasalahan, kebutuhan, dan aspirasi pendidikan dari masyarakat; dan manajemen berbasis pusat tidak saja
menumpulkan daya kreativitas sekolah, tetapi juga mengikis habis rasa kepemilikan warga sekolah terhadap
sekolahnya.
Sekolah paling memahami permasalahan disekolahnya. Karena itu, sekolah merupakan unit utama yang harus
memecahkan permasalahannya melalui sejumlah keputusan yang dibuat "sedekat" mungkin dengan kebutuhan
sekolah. Untuk itu, sekolah harus memiliki kewenangan (otonomi), tidak saja dalam pengambilan keputusan, akan
tetapi justru dalam mengatur dan mengurus kepentingan sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
warga sekolah sesuai dengan payung kebijakan makro pendidikan nasional.
Perubahan di sekolah akan terjadi jika semua warga sekolah ada "rasa memiliki" dan "rasa memiliki" berasal dari
kesempatan berpartisipasi dalam merumuskan perubahan dan keluwesan untuk mengadaptasikannya terhadap
kebutuhan individu sekolah. Rasa memiliki ini pada gilirannya akan meningkatkan pula rasa tanggungjawab. Jadi,
makin besar tingkat partisipasi warga sekolah dalam pengambilan keputusan, makin besar rasa memiliki terhadap
sekolah, dan makin besar pula rasa tanggungjawabnya. Yang demikian ini berarti bahwa "perubahan" lebih
disebabkan oleh dorongan internal sekolah dari pada tekanan dari luar sekolah.

14

4.

Telah lama pengaturan yang bersifat birokratik lebih dominan dari pada tanggungjawab profesional, sehingga
kreativitas sekolah pada umumnya dan guru pada khususnya terpasung dan bahkan terbunuh. Tidak jarang pula
dijumpai bahwa formalitas sering jauh melampaui hakiki. Yang lebih parah lagi guru-guru kehilangan "jiwa
kependidikannya". Mendidik tidak lebih dari sekadar pengenalan nilai-nilai, yang hasilnya hanya berupa
pengetahuan nilai (logos) dan belum sampai pada penghayatan nilai (etos), apalagi sampai pengamalannya.
Akibatnya, menurut Aburizal Bakrie (1999), proses belajar mengajar di sekolah lebih mementingkan jawaban baku
yang dianggap benar oleh guru, dibanding daya kreasi, nalar, dan eksperimentasi peserta didik untuk menemukan
kemungkinan-kemungkinan baru. Tidak ada keterbukaan dan demokrasi. Tidak ada toleransi pada kekeliruan akibat
kreativitas berpikir, karena yang benar adalah apa yang dipersepsikan benar oleh guru, sehingga yang terjadi
hanyalah memorisasi dan "recall" dan tidak dihargainya kreativitas dan kemampuan peserta didik. Padahal,
pembelajaran yang sebenarnya semestinya lebih mementingkan pada proses "pencarian jawaban" dibanding
"memiliki jawaban".

2. Pengertian
Istilah manajemen berbasis sekolah berasal dari tiga kata, yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah. Manajemen adalah
pengkoordinasian dan penyerasian sumberdaya melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan atau untuk
memenuhi kebutuhan pelanggan. Catatan: sumber daya terbagi menjadi sumber daya manusia dan sumber daya
selebihnya (peralatan, perlengkapan, bahan/material, dan uang); input manajemen terdiri dari tugas, rencana, program,
limitasi yang terwujud dalam bentuk ketentuan-ketentuan, pengendalian (tindakan turun tangan), dan kesan dari anak
buah ke bapak/ibu buah). Pengertian manajemen tersebut, menurut Poernomosidi Hadjisarosa, 1997) dapat dilukiskan
seperti pada Gambar 1 berikut, dengan keterangan: SDM-M (sumberdaya manusia manajer) mengatur sumber daya
manusia pelaksana (SDM-P) melalui input manajemen yang terdiri dari (T = Tugas; R = Rencana, P = Program; T3 =
Tindakan Turun Tangan; K = Kesan) agar SDM-P menggunakan jasa manusianya (Jm) untuk bercampur tangan
terhadap sumber daya selebihnya (SD-slbh), sehingga proses dapat berlangsung dengan baik untuk menghasilkan
output.

Gambar 1: Manajemen (Sumber: Poernomosidi Hadjisarosa, 1997)


Berbasis berarti "berdasarkan pada" atau "berfokuskan pada". Sekolah adalah suatu organisasi terbawah dalam jajaran
Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang bertugas memberikan "bekal kemampuan dasar" kepada peserta
didik atas dasar ketentuan-ketentuan yang bersifat legalistik (makro, meso, mikro) dan profesionalistik (kualifikasi,
untuk sumber daya manusia; spesifikasi untuk barang/jasa, dan prosedur-prosedur kerja).
Dari uraian tersebut dapat dirangkum bahwa "manajemen berbasis sekolah" adalah pengkoordinasian dan
penyerasian sumberdaya yang dilakukan secara otonomis (mandiri) oleh sekolah melalui sejumlah input manajemen
untuk mencapai tujuan sekolah dalam kerangka pendidikan nasional, dengan melibatkan semua kelompok kepentingan
yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan (partisipatif)". Catatan: kelompok
kepentingan yang terkait dengan sekolah meliputi: kepala sekolah dan wakil-wakilnya, guru, siswa, konselor, tenaga
administratif, orangtua siswa, tokoh masyarakat, para profesional, wakil pemerintahan, wakil organisasi pendidikan.
Lebih ringkas lagi, manajemen berbasis sekolah dapat dirumuskan sebagai berikut (David, 1989): manajemen berbasis
sekolah = otonomi manajemen sekolah + pengambilan keputusan partisipatif.
Otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan/kemandirian yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya
sendiri, dan merdeka/tidak tergantung (Undang-Undang No.22 Th.1999 tentang Pemerintahan Daerah). Istilah otonomi
juga sama dengan istilah "swa", misalnya swasembada, swakelola, swadana, swakarya, swalayan, dan swa-swa lainnya.
Jadi otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional
yang berlaku. Tentu saja kemandirian yang dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan
mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat, kemampuan
memobilisasi sumber daya, kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik, kemampuan berkomunikasi yang
efektif, kemampuan memecahkan persoalan-persoalan sekolah, kemampuan adaptif dan antisipatif, kemampuan
bersinergi dan berkolaborasi, dan kemampuan memenuhi kebutuhannya sendiri.
Untuk mencapai otonomi sekolah, diperlukan suatu proses yang disebut "desentralisasi". Desentralisasi adalah
penyerahan wewenang pemerintahan pendidikan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, dari pemeritah Dati I
ke Dati II, dari Dati II ke sekolah, dan bahkan dari sekolah ke guru, tetapi harus tetap dalam kerangka pendidikan

15

nasional. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa pendidikan yang diatur secara "sentralistik" menghasilkan
fenomena-fenomena seperti berikut: lamban berubah/beradaptasi, bersifat kaku, normatif sekali orientasinya karena
terlalu banyaknya lapis-lapis birokrasi, tidak jarang birokrasi mengendalikan fungsi dan bukan sebaliknya, uniformitas
telah memasung kreativitas, dan tradisi serta serimoni yang penuh kepalsuan sudah menjadi kebiasaan. Kecil itu indah,
adalah merupakan esensi desentralisasi. Menurut Bailey (1991), organisasi yang cakupan, pemerintahan, manajemen,
dan ukurannya kecil, mudah beradaptasi. Karena itu, desentralisasi bukan lagi merupakan hal penting untuk diterapkan,
tetapi sudah merupakan keharusan. Dengan desentralisasi, maka: (1) fleksibilitas pengambilan keputusan sekolah akan
tumbuh dan berkembang dengan subur, sehingga keputusan dapat dibuat "sedekat" mungkin dengan kebutuhan sekolah;
(2) akuntabilitas/pertanggunggugatan terhadap masyarakat (majelis sekolah, orangtua peserta didik, publik) dan
pemerintah meningkat; dan (3) kinerja sekolah akan meningkat (efektivitasnya, kualitasnya, efisiensinya,
produktivitasnya, inovasinya, provitabilitasnya, kualitas kehidupan kerjanya, dan moralnya).
Pengambilan keputusan partisipatif (David, 1989) adalah suatu cara untuk mengambil keputusan melalui penciptaan
lingkungan yang terbuka dan demokratik, dimana warga sekolah (guru, siswa, karyawan, orang tua siswa, tokoh
masyarakat) didorong untuk terlibat secara langsung dalam proses pengambilan keputusan yang akan dapat
berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa jika seseorang dilibatkan
(berpartisipasi) dalam pengambilan keputusan, maka yang bersangkutan akan ada "rasa memiliki" terhadap keputusan
tersebut, sehingga yang bersangkutan juga akan bertanggungjawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai tujuan
sekolah. Singkatnya: makin besar tingkat pertisipasi, makin besar pula rasa memiliki; makin besar rasa memiliki, makin
besar pula rasa tanggungjawab; dan makin besar rasa tanggung jawab, makin besar pula dedikasinya. Tentu saja
pelibatan warga sekolah dalam pengambilan keputusan harus mempertimbangkan keahlian, yurisdiksi, dan relevansinya
dengan tujuan pengambilan keputusan sekolah.
Dengan pengertian diatas, maka pengembangan manajemen berbasis sekolah semestinya mengakar di sekolah, terfokus
di sekolah, terjadi disekolah, dan dilakukan oleh sekolah. Untuk itu, penerapan manajemen berbasis sekolah
memerlukan konsolidasi manajemen sekolah.
3. Tujuan
Manajemen berbasis sekolah bertujuan untuk "memberdayakan" sekolah, terutama sumber daya manusianya (kepala
sekolah, guru, karyawan, siswa, orang tua siswa, dan masyarakat sekitarnya), melalui pemberian kewenangan,
fleksibilitas, dan sumber daya lain untuk memecahkan persoalan yang dihadapi oleh sekolah yang bersangkutan.
Ciri-ciri sekolah yang "berdaya" pada umumnya: tingkat kemandirian tinggi/tingkat ketergantungan rendah; bersifat
adaptif dan antisipatif/proaktif sekaligus; memiliki jiwa kewirausahaan tinggi (ulet, inovatif, gigih, berani mengambil
resiko, dsb.); bertanggungjawab terhadap hasil sekolah; memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen
(T,R,P,L,T3,K) dan sumber dayanya; kontrol terhadap kondisi kerja; komitmen yang tinggi pada dirinya; dan dinilai
oleh pencapaian prestasinya. Selanjutnya, bagi sumber daya manusia sekolah yang berdaya, pada umumnya, memiliki
ciri-ciri: pekerjaan adalah miliknya, dia bertanggung jawab, dia memiliki suara bagaimana sesuatu dikerjakan,
pekerjaannya memiliki kontribusi, dia tahu posisinya dimana, dia memiliki kontrol terhadap pekerjaannya, dan
pekerjaannya merupakan bagian hidupnya.
Contoh-contoh tentang hal-hal yang dapat memberdayakan warga sekolah adalah: pemberian tanggung jawab,
pekerjaan yang bermakna, memecahkan masalah pekerjaan secara "teamwork", variasi tugas, hasil kerja yang terukur,
kemampuan untuk mengukur kinerjanya sendiri, tantangan, kepercayaan, didengar, ada pujian, menghargai ide-ide,
mengetahui bahwa dia adalah bagian penting dari sekolah, kontrol yang luwes, dukungan, komunikasi yang efektif,
umpan balik bagus, sumber daya yang dibutuhkan ada, dan warga sekolah diberlakukan sebagai manusia ciptaan-Nya
yang memiliki martabat tertinggi (Slamet PH, 2000; Direktorat Pendidikan Menengah Umum, 2000).
4. Pergeseran Pendekatan Manajemen Pendidikan
Seiring dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
(Otonomi Daerah) dan bukti-bukti empirik tentang kurang efektif dan efisiensinya manajemen berbasis pusat, maka
Departemen Pendidikan Nasional melakukan penyesuaian-penyesuaian, salah satunya adalah melakukan pergeseran
pendekatan manajemen, yaitu dari pendekatan manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah, seperti
dilukiskan pada Gambar 2 (Slamet PH, 2000).
Gambar 2
Pergeseran Pendekatan Manajemen Pendidikan: Dari Berbasis Pusat Menuju Berbasis Sekolah

Manajemen Berbasis Pusat Menuju


Sub-ordinasi

Manajemen
Sekolah

Berbasis

Otonomi

16

Pengambilan keputusan

Terpusat
Ruang gerak kaku
Pendekatan birokratik

Sentralistik

Diatur
Overregulasi

Mengontrol
Mengarahkan
Menghindari resiko
Gunakan uang semuanya
Individual cerdas
Informasi terpribadi
Pendelegasian
Organisasi herarkis

Pengambilan keputusan
Partisipatif
Ruang Gerak Luwes
Pendekatan Profesionalisme
Desentralistik
Motivasi diri
Deregulasi
Mempengaruhi
Memfasilitasi
Mengolah resiko
Gunakan seefisien mungkin
Teamwork kompak & cerdas
Informasi terbagi
Pemberdayaan
Organisasi datar

Sumber: Slamet PH, 2000


Berikut disampaikan penjelasan seperlunya terhadap pergeseran pendekatan manajemen berbasis pusat menuju
manajemen berbasis sekolah.
(1) Dari Sub-Ordinasi Menuju Otonomi
Pada manajemen berbasis pusat, sekolah merupakan sub-ordinasi dari pusat, sehingga sifat ketergantungannya sangat
tinggi. Sekolah tidak berdaya dan tidak memiliki kemandirian, sehingga kreativitas dan prakarsanya terpasung dan
beku. Pada manajemen berbasis sekolah, sekolah memiliki otonomi (kemandirian) untuk berbuat yang terbaik bagi
sekolahnya. Ketergantungan pada tingkat pusat makin kecil, sehingga sekolah harus dewasa dan meyakini bahwa
perubahan pendidikan tidak akan terjadi jika sekolahnya sendiri tidak berubah. Tentu saja kemandirian ini menuntut
kemampuan sekolah untuk mengatur dan mengurus sekolahnya menurut prakarsanya sendiri berdasarkan
aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dari Pengambilan Keputusan Terpusat Menuju Pengambilan Keputusan Partisipatif
Berbeda dengan pengambilan keputusan pada manajemen berbasis pusat yang ditandai oleh one man show, lamban
hasilnya, dan sering tidak pas hasilnya dengan kebutuhan sekolah, maka pengambilan keputusan pada manajemen
berbasis sekolah melibatkan warga sekolah, yang selain cepat hasilnya, juga sesuai hasilnya dengan kebutuhan sekolah.
Pelibatan partisipan dalam pengambilan keputusan tentu saja disesuaikan dengan relevansi, keahlian, yurisdiksi, dan
kompatibilitas keputusan dengan kepentingan partisipan.
(3) Dari Ruang Gerak Kaku Menuju Ruang Gerak Luwes
Akibat banyaknya tugas dan fungsi, wewenang, tanggungjawab, kewajiban dan hak sekolah yang ditangani oleh Pusat,
Wilayah, dan Kandep, maka ruang gerak sekolah kaku untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi maupun

17

untuk memenuhi kebutuhannya. Pada pendekatan manajemen yang baru, ruang gerak sekolah sangat luwes karena apa
yang selama ini dilakukan oleh Pusat, Wilayah, dan Kandep, sebagian besar kini diserahkan ke sekolah.
(4) Dari Pendekatan Birokrasi Menuju Pendekatan Profesionalisme
Pada pendekatan birokrasi, apa yang dilakukan oleh sekolah didasarkan atas apa yang dianggap benar dan baik oleh
pimpinannya. Pada pendekatan profesionalisme, apa yang dilakukan oleh sekolah didasarkan atas profesionalisme.
Karena itu, peranan keahlian sangat penting dalam membimbing tingkah laku warga sekolah, bukan kekuasaan.
(5) Dari Manajemen Sentralistik Menuju Manajemen Desentralistik
Pada model lama, pusat memiliki kewenangan yang berlebihan, sehingga terjadilah pemusatan kekuasaan di pusat.
Pemusatan kekuasaan ini telah menimbulkan dampak negatif pada sekolah, yaitu selain sekolah tidak berdaya, banyak
keputusan-keputusan yang tidak efektif dan efisien. Karena kecil kewenangan yang dimiliki oleh sekolah, maka tidak
jarang sekolah acuh tak acuh terhadap masalah-masalah yang dihadapi. Sedang pada manajemen desentralistik, banyak
kewenangan Pusat, Wilayah, dan Kandep yang diserahkan ke sekolah. Dengan pendekatan ini, maka sekolah akan lebih
berdaya dan keputusan-keputusan yang dibuatnya akan lebih efektif dan efisien.
(6) Dari Kebiasaan Diatur Menuju Kebiasaan Motivasi Diri
Pola perilaku lama yang sering menunggu perintah dan kebiasaan diatur (dorongan eksternal) akan berubah menjadi
pola perilaku baru yang bercirikan motivasi diri (dorongan internal). Perubahan ini tentu saja akibat dari otonomi
(kemandirian) sekolah yang diberikan oleh Pusat, Wilayah, dan Kandep. Struktur organisasi yang berjiwa otonomi akan
mendorong sekolah untuk berinovasi dan berimprovisasi dari dalam diri sekolah, bukan dari tekanan luar.
(7) Dari Overregulasi Menuju Deregulasi
Terlalu banyaknya regulasi pendidikan (overregulasi) termasuk juklak dan juknis telah membuat sekolah seperti robot
yang hanya menunggu perintah, tumpul, telah membunuh kreativitas sekolah, terutama gurunya. Deregulasi pendidikan
akan mampu menumbuhkan daya kreativitas dan prakarsa sekolah, dan membuat sekolah sebagai pusat perubahan.
Deregulasi juga mampu memberikan kelenturan sekolah dalam mengelola sekolahnya.
(8) Dari Mengontrol Menuju Mempengaruhi
Jika manajemen pola lama lebih cenderung menekankan pada "mengkomando" dan "mengontrol" , maka manajemen
berbasis sekolah lebih menekankan pada "mempengaruhi". "Mengontrol" lebih cenderung pada output, sehingga jika
terjadi kesalahan, menjadi terlanjur. Sedang "mempengaruhi" lebih cenderung menekankan pada input dan poses,
sehingga terhindar dari kemungkinan terlanjur salah.
(9) Dari Mengarahkan Menuju Memfasilitasi
Pada manajemen berbasis pusat lebih menekankan pada pemberian "pengarahan", yang sering diwujudkan dengan katakata "kita harus kesana", "kita harus mengerjakan itu", dengan maksud agar pekerjaan cepat selesai. Sedang pada
manajemen berbasis sekolah lebih menekankan pada pemberian "fasilitasi", misalnya: "bagaimana menurut pendapat
anda untuk mengerjakan ini?"
(10) Dari Menghindari Resiko Menuju Mengolah Resiko
Jika pada pola manajemen tradisional lebih menekankan untuk "menghindari resiko", maka pada pola manajemen baru
lebih menganjurkan "mengambil resiko". Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa orang-orang yang berani mengambil
resiko cenderung lebih maju dari pada orang yang suka menghindari resiko.
(11) Dari Menggunakan Uang Semuanya Menuju Menggunakan Uang Seefisien Mungkin
Pola anggaran lama yang menekankan pada "uang harus dihabiskan semua", akan bergeser menjadi "gunakan uang
secukupnya", akan meningkatkan efisiensi sekolah. Tentu saja hal ini akan menuntut "restrukturisasi" anggaran pola
lama.
(12) Dari Individu yang Cerdas Menuju "Teamwork" yang Kompak dan Cerdas
Tidak jarang sekolah memiliki individu-individu yang cerdas. Pada manajemen berbasis sekolah, individu-individu
yang cerdas ini harus diajak memperhatikan kinerja sekolah secara keseluruhan, dan disadarkan bahwa hanya melalui
"teamwork" yang kompak dan cerdaslah yang akan mampu meningkatkan kinerja sekolah.

18

(13) Dari Informasi Terpribadi Menuju Informasi Terbagi


Informasi sering hanya dimiliki oleh sejumlah warga sekolah, khususnya kepala sekolah, wakil-wakilnya, dan beberapa
guru. Informasi ini umumnya juga tidak disebarluaskan kesemua warga sekolah (terpribadi). Di masa mendatang,
informasi harus tersebar/terbagi secara merata keseluruh warga sekolah. Tentu saja yang dimaksud di sini bukan setiap
ada informasi baru harus disampaikan kesemua warga sekolah, namun informasi diberikan kepada mereka yang
memang berhak menerimanya.
(14) Dari Pendelegasian Menuju Pemberdayaan
Manajemen pendidikan kita sampai saat ini masih diwarnai oleh praktek-praktek pendelegasian tugas dan fungsi serta
tanggungjawab semata, tanpa diikuti penyerahan kewenangan, sehingga sekolah tidak berdaya. Mulai sekarang, Pusat,
Wilayah, dan Kandep harus memberdayakan sekolah, yaitu melalui penyerahan tugas dan fungsi, tanggungjawab, hak
dan kewajiban, yang disertai kewenangan untuk mengambil keputusan. Karena, hanya sekolahlah yang merupakan
"pusat perubahan" yang sebenarnya, terutama sumberdaya manusianya. Sebagus apapun kebijakan dari Pusat, Wilayah,
dan Kandep, namun jika sekolah tidak berubah, maka tidak akan pernah ada perubahan.
(15) Dari Organisasi Hirarkis Menuju Organisasi Datar
Sampai saat ini organisasi pendidikan khususnya organisasi sekolah masih diatur dengan lapis-lapis manajemen yang
rumit, sehingga sekolah lamban adaptasi dan antisipasinya terhadap perubahan-perubahan, dan kurang tanggap terhadap
isu-isu kritis/strategis yang menyangkut kemajuan sekolah. Mulai saat ini, organisasi sekolah harus dibuat lebih datar
agar lebih responsif dan antisipatif, tidak saja terhadap isu-isu strategis/kritis yang dihadapi oleh sekolah, tetapi juga
terhadap perubahan-perubahan sosial secara umum.
5. Model Manajemen Berbasis Sekolah (Idealnya)
Dalam artian yang sesungguhnya, sebenarnya sulit memberikan contoh manajemen berbasis yang "uniformitas" dan
"konformitas" sekaligus, karena dalam kenyataan juga tidak mudah menemukan sekolah yang karakteristik
"kancah"nya atau "pacakan"nya sama. Model manajemen berbasis sekolah berikut merupakan model yang pada
umumnya memiliki ciri-ciri universal, sehingga setiap sekolah yang akan mengadopsi model ini perlu
mengadaptasikannya/menyesuaikannya dengan karakteristik kancah di sekolah masing-masing. Model manajemen
berbasis sekolah berikut pada dasarnya ditampilkan menurut pendekatan sistem (berfikir sistem), yaitu output-prosesinput. Urutan ini dipilih dengan alasan bahwa setiap kegiatan sekolah akan dilakukan, termasuk kegiatan melakukan
analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and Threat), semestinya dimulai dari "output" yang akan dicapai,
kemudian ke "proses", dan baru ke "input" yang dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Namun, langkah-langkah
pemecahan persoalannya ditempuh dengan mengikuti urutan yang berlawanan dengan arah analisis SWOT.
Karena manajemen berbasis sekolah telah merupakan jiwa dan semangat sekolah, maka setiap penjelasan berikut telah
menginklusifkan otonomi dan partisipasi ke dalamnya, meskipun tanpa menyebut istilah otonomi dan partisipasi.
Artinya, setiap pembahasan butir-butir berikut selalu dijiwai oleh otonomi dan partisipasi dalam pengambilan keputusan
sekolah. Secara ringkas, manajemen berbasis sekolah dapat diuraikan seperti berikut (Slamet PH, 2000; Direktorat
Pendidikan Menengah Umum, 2000).
5.1 Output
Output sekolah diukur dengan kinerja sekolah. Kinerja sekolah adalah pencapaian/prestasi yang dihasilkan oleh
proses/perilaku sekolah. Kinerja sekolah dapat diukur dari efektivitasnya, kualitasnya, produktivitasnya, efisiensinya,
inovasinya, kualitas kehidupan kerjanya, dan moral kerjanya (lihat Gambar 3), dengan keterangan seperlunya seperti
berikut.
Efektivitas adalah ukuran yang menyatakan sejauhmana sasaran (kuantitas, kualitas, waktu) telah dicapai. Dalam bentuk
persamaan, efektivitas sama dengan hasil nyata dibagi hasil yang diharapkan.
Kualitas adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa, yang menunjukkan kemampuannya
dalam memuaskan kebutuhan yang ditentukan atau yang tersirat. Mutu barang atau jasa dipengaruhi oleh banyak
tahapan kegiatan yang saling berhubungan seperti disain, operasi produk atau jasa dan pemeliharaannya.
Produktivitas adalah hasil perbandingan antara output dibagi input. Baik output maupun input adalah dalam bentuk
kuantitas. Kuantitas input berupa tenaga kerja, modal, bahan, dan energi. Kuantitas output dapat berupa jumlah barang
atau jasa, tergantung pada jenis pekerjaan.

19

Gambar 3: Kinerja Sekolah


Efisiensi dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu efisiensi internal dan efisiensi eksternal. Efisiensi internal menunjuk
kepada hubungan antara output pendidikan (pencapaian belajar) dan input (sumberdaya) yang digunakan untuk
memroses/menghasilkan output pendidikan (Coombs & Hallak, 1987). Efisiensi internal biasanya diukur dengan biayaefektivitas. Setiap penilaian biaya-efektivitas selalu memerlukan dua hal, yaitu penilaian ekonomik untuk mengukur
biaya masukan (input) dan penilaian hasil pembelajaran (prestasi belajar, lama belajar, angka putus sekolah). Sedang
efisiensi eksternal adalah hubungan antara biaya yang digunakan untuk menghasilkan tamatan dan keuntungan
kumulatif (individual, sosial, ekonomik, dan non-ekonomik) yang didapat setelah pada kurun waktu yang panjang diluar
sekolah. Analisis biaya-manfaat merupakan alat utama untuk mengukur efisiensi eksternal.
Inovasi adalah proses yang kreatif dalam mengubah input, proses, dan output agar dapat sukses dalam menanggapi dan
mengantisipasi perubahan-perubahan internal dan eksternal sekolah. Inovasi selalu memberikan nilai tambah terhadap
input, proses, maupun output yang ada.
Kualitas kehidupan kerja adalah kinerja sekolah yang ditunjukkan oleh ukuran tentang bagaimana warga sekolah
merasakan hal-hal seperti: pekerjaannya, kemanfaatannya, kondisi kerjanya, kesan dari anak buah terhadap bapak/ibu
buah, kawan/kolega kerjanya, peluang untuk maju, pengembangan, kepastian, keselamatan dan keamanan, dan imbal
jasanya.
Moral kerja adalah tingkat baik buruknya warga sekolah terhadap pekerjaannya yang ditunjukkan oleh etika kerjanya,
kedisiplinannya, kejujurannya, kerajinannya, komitmennya, tanggungjawabnya, hubungan kerjanya, daya adaptasi dan
antisipasinya, motivasi kerjanya, dan jiwa kewirausahaannya (bersikap dan berpikir mandiri, memiliki sikap berani
mengambil resiko, tidak suka mencari kambing hitam, selalu berusaha menciptakan dan meningkatkan nilai
sumberdaya, terbuka terhadap umpan balik, selalu ingin mencari perubahan yang lebih baik, tidak pernah merasa puas
dan terus menerus melakukan inovasi dan improvisasi demi perbaikan selanjutnya, dan memiliki tanggungjawab moral
yang baik).
5.2 Proses
Proses merupakan berubahnya "sesuatu" menjadi "sesuatu yang lain". Sesuatu yang berpengaruh terhadap
berlangsungnya proses disebut "input", sedang sesuatu dari hasil proses disebut output. Dalam pendidikan bersekala
mikro (sekolah), proses yang dimaksud adalah: (a) proses pengambilan keputusan, (b) proses pengelolaan kelembagaan,
(c) proses pengelolaan program, dan (d) proses belajar mengajar.
5.2.1 Proses Pengambilan Keputusan
Proses pengambilan keputusan partisipatif merupakan salah satu "inti" manajemen berbasis sekolah. Esensi proses
pengambilan keputusan partisipatif (Cangemi, 1985) adalah untuk mencari "wilayah kesamaan" antara kelompokkelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah (stakehorder) yaitu kepala sekolah, guru, siswa, orangtua siswa, dan
pemerintah/yayasan). Wilayah kesamaan inilah yang menjadi modal dasar untuk menumbuhkan "rasa memiliki" bagi
semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah dan ini dapat dilakukan secara efektif melalui pelibatan
semua kelompok kepentingan dalam proses pengambilan keputusan. Pelibatan kelompok kepentingan dalam proses
pengambilan keputusan harus mempertimbangkan keahlian, yurisdiksi, dan relevansinya dengan tujuan pengambilan
keputusan.

20

Menurut Cangemi (1985), paling tidak ada tiga pertanyaan yang harus dijawab oleh kepala sekolah sewaktu akan
menerapkan pengambilan keputusan partisipatif: (1) bagaimana cara menentukan, dalam setiap kasus, apakah cocok dan
produktif jika pengambilan keputusan melibatkan kelompok-kelompok kepentingan?; (2) kemudian, jika proses
pengambilan keputusan perlu melibatkan kelompok-kelompok kepentingan, pertanyaan kedua adalah: bagian yang
mana dari proses pengambilan keputusan yang perlu melibatkan kelompok-kelompok kepentingan?; (3) pertanyaan
ketiga adalah cara yang mana (apa) yang paling efektif untuk melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan?
Tentunya tidak semua wilayah (zona) pengambilan keputusan harus melibatkan semua kelompok kepentingan. Ada
wilayah-wilayah yang memang merupakan hak prerogatif pimpinan untuk diputuskan secara sendirian dan bawahan
harus menerimanya tanpa syarat. Kalaupun pimpinan melibatkan kelompok-kelompok kepentingan, maka hal ini harus
dipikirkan secara mendalam dan terkontrol pelaksanaannya.
Ada empat petunjuk untuk mengidentifikasi pengambilan keputusan yang harus melibatkan para kelompok
kepentingan, yaitu relevansi, kompetensi, yurisdiksi, dan kompatibilitas tujuan. Pertama, adalah tingkat relevansinya.
Sekiranya keputusan yang akan diambil relevan dengan kebutuhan kelompok kepentingan tertentu (kelompok yang
bakal terkena dampak keputusan), maka pengambilan keputusan sebaiknya melibatkan kelompok kepentingan tersebut.
Kedua, adalah uji keahlian. Artinya, kelompok kepentingan yang akan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan,
harus memiliki sesuatu untuk dikontribusikan. Mereka harus memiliki kompetensi untuk ikut serta dalam memecahkan
persoalan-persoalan yang terkait dengan kepentingannya. Ketiga, uji yurisdiksi. Sekolah didirikan untuk menjalankan
fungsinya melalui struktur-herarkis. Karena itu, ada batas-batas yurisdiksi yang memang tidak semua kelompok
kepentingan harus terlibat dalam pengambilan keputusan. Pelibatan yang tidak proporsional secara yurisdiksi akan
cenderung membuat frustasi dan kemarahan yang tidak berdasar. Keempat, uji kompatibilitas tujuan. Apabila
kompatibilitas tujuan dari semua kelompok kepentingan diinginkan, maka pelibatan mereka dalam proses pengambilan
keputusan sangat diperlukan.
Disamping empat petunjuk pelibatan para kelompok kepentingan dalam pengambilan keputusan, ada delapan model
yang dapat diadopsi oleh kepala sekolah berkaitan dengan pengambilan keputusan partisiptatif.
(1) Pemberitahuan
Di sini kepala sekolah mengambil keputusan secara sendirin. Dia tidak mencari informasi dan tidak mencari nasehat
dari orang lain. Dia mempercayakan pada pengalamannya sendiri dan penelitiannya sendiri, dan semata-mata
mengumumkan keputusannya. Gaya ini cocok untuk keputusan-keputusan yang terletak diluar zona kepedulian
karyawan.
(2) Pengumpulan Informasi
Disini kepala sekolah menggunakan kelompok kepentingan tertentu hanya untuk tujuan pengumpulan informasi
(penelitian masalah). Partisipan tidak diundang untuk datang bersama-sama dan bahkan tidak tahu siapa saja yang
dimintai informasi. Melalui pembicaraan telpon atau laporan tertulis, kepala sekolah mencoba menarik kontribusi dari
kelompok kepentingan tertentu agar supaya dapat mengambil keputusan oleh dirinya sendiri. Gaya semacam ini hanya
berlaku secara terbatas untuk keputusan-keputusan marjinal diluar zona kepedulian karyawan.
(3) Pengumpulan Informasi dan Pembahasan
Di sini kepala sekolah berusaha mengumpulkan informasi dan memferifikasinya dengan mengundang secara bersamasama para kelompok kepentingan yang dapat berkontribusi terhadap informasi awal yang telah dikumpulkan. Sewaktu
informasi ini dicek-silang dan diklarifikasi, kolegialitas antar kelompok kepentingan tidak terlalu
didorong/dimunculkan. Dari informasi cek-silang ini, kemudian Kepala Sekolah akan menggunakannya untuk masukan
bagi pengambilan keputusan yang akan dilakukan oleh dirinya sendiri.
(4) Pengumpulan Pendapat dan Pembahasan
Di sini kepala sekolah meminta bawahannya untuk menginterpretasi informasi yang telah dibagi-bagikan kepada
mereka. Dia memanfaatkan mereka untuk menjelaskan makna data-data yang telah dibagi-bagikan keseluruh kelompok.
Pendapat-pendapat yang diusulkan mungkin beragam dan tidak bisa menghasilkan saran-saran umum terhadap Kepala
Sekolah untuk memecahkan persoalan. Lagi-lagi, sepala sekolah mengambil keputusan oleh dirinya sendiri tetapi dalam
hal ini dia telah mendorong pertukaran pendapat secara bebas sewaktu dilakukan cek-silang antar kelompok
kepentingan. Kondisi ini cocok jika setiap kelompok kepentingan dapat dipercaya untuk bagi-bagi pendapat dan
memiliki keahlian yang sesuai dengan keputusan yang akan diambil.
(5) Debat, Dialog, dan Proteksi Ekuitas/Kesamaan
Dalam model ini, kepala sekolah tidak hanya mendorong pertukaran pendapat secara bebas, tetapi juga untuk
meyakinkan bahwa individu-individu yang menawarkan pendapat harus berdebat untuk mempertahankan pendapatnya.
Melalui interaksi ini kemudian dilakukan penilaian terhadap pendapat-pendapat tersebut sehingga ditemukan pendapat

21

yang relatif lebih baik. Karena semua pendapat harus dilontarkan, maka peran kepala sekolah adalah melindungi
pendapat-pendapat dari kelompok minoritas dan memberhentikan mereka yang telah habis waktunya dalam curah/debat
pendapat. Dalam peran ini, kepala sekolah tetap akan mengambil keputusan oleh dirinya sendiri, namun dia akan
dipengaruhi secara signifikan oleh argumen-argumen yang disampaikan oleh para partisipan.
(6) Demokrasi
Model pengambilan keputusan semacam ini pada dasarnya menggunakan sistem "voting". Kepala sekolah menyerahkan
sebagian besar wewenang pengambilan keputusannya, sehingga dia akan berpartisipasi dalam diskusi tersebut dan dia
akan memberikan suaranya melalui "voting", dan oleh karena itu keputusan final akan ditentukan oleh suara mayoritas.
Teknik ini cocok untuk pengambilan keputusan yang kontroversial, dimana konsensus sukar dicapai.
(7) Konsensus
Di sini kepala sekolah mendorong munculnya pendapat-pendapat yang beragam dan dia bertindak sebagai
parlementarian untuk menjamin hak-hak yang sama dari semua peserta yang terlibat dalam diskusi. Segera setelah
kelompok diskusi mengarah kepada kesepakatan, dia meringkasnya dan mengklarifikasi isu-isu tersebut. Dia memimpin
diskusi, tetapi dia tidak menempatkan pendapatnya di atas peserta diskusi. Dia berusaha membawa kelompok diskusi
kearah persetujuan terhadap alternatif terbaik, yaitu alternatif yang dapat diterima oleh kelompok secara keseluruhan.
Ini tidak berarti bahwa setiap peserta akan puas secara total terhadap keputusan, akan tetapi paling tidak setiap peserta
seyogyanya puas terhadap keputusan tersebut karena inilah keputusan terbaik yang dapat dicapainya.
(8) Delegasi
Dalam kondisi-kondisi tertentu, suatu keputusan tidak harus ditangani oleh kepala sekolah, karena keputusan tersebut
tidak relevan baginya maupun bagi sekolahnya. Dia tidak memiliki keahlian untuk berkontribusi dan karena itu dia
mendelegasikan keputusan kepada bawahannya (guru, konselor, BP3, dsb.). Dia tidak berpartisipasi. Dia tidak
mengganggu hasil akhir keputusan, namun bisa saja dia merupakan salah seorang yang menunjukkan adanya
permasalahan.
5.2.2 Pengelolaan Kelembagaan
Sekolah, sebagai lembaga pendidikan, harus dikelola secara profesional agar menjadi "sekolah belajar" (learning
school) yang mampu menjamin kelangsungan hidup dan perkembangannya. Menurut Bovin (1998), untuk menjadi
sekolah belajar, maka sekolah harus:
1).
2).
3).
4).
5).
6).
7).
8).
9).
10).
11).
12).
13).

memberdayakan sumber daya manusianya seoptimal mungkin,


memfasilitasi warga sekolahnya untuk belajar terus dan belajar kembali,
mendorong kemandirian (otonomi) setiap warganya,
memberikan tanggungjawab kepada warganya,
mendorong setiap warganya untuk "mempertanggungugatkan" (accountability) terhadap hasil
kerjanya,
mendorong adanya teamwork yang kompak dan cerdas dan shared value bagi setiap warganya,
merespon dengan cepat terhadap pasar (pelanggan),
mengajak warganya untuk menjadikan sekolahnya customer focused,
mengajak warganya untuk nikmat/siap berhadap perubahan,
mendorong warganya untuk berfikir sistem, baik dalam cara berfikir, cara mengelola, maupun cara
menganalisis sekolahnya,
mengajak warganya untuk komitmen terhadap "keunggulan kualitas",
mengajak warganya untuk melakukan perbaikan secara terus-menerus, dan
melibatkan warganya secara total dalam penyelenggaraan sekolah.

5.2.3 Proses Pengelolaan Program


Pengelolaan program merupakan pengkoordinasian dan penyerasian program sekolah, yang meliputi: (1) perencanaan,
pengembangan, dan evaluasi program sekolah, (b) pengembangan kurikulum, (c) pengembangan proses belajar
mengajar, (d) pengelolaan sumberdaya manusia (guru, karyawan, konselor, dsb.), (e) pelayanan siswa, (f) pengelolaan
fasilitas, (g) pengelolaan keuangan, (h) perbaikan program, dan (i) pembinaan hubungan antara sekolah dan masyarakat.
5.2.4 Proses Belajar Mengajar
Sedang proses belajar mengajar merupakan pemberdayaan pelajar yang dilakukan melalui interaksi perilaku pengajar
dan perilaku pelajar, baik di ruang maupun di luar kelas. Karena proses belajar mengajar merupakan pemberdayaan
pelajar, maka penekanannya bukan sekadar penguasaan pengetahuan tentang apa yang diajarkan (logos), tetapi

22

merupakan internalisasi tentang apa yang diajarkan sehingga tertanam dan berfungsi sebagai muatan nurani dan
dihayati serta dipraktekkan oleh pelajar (etos).
Selain itu, proses belajar mengajar semestinya lebih mementingkan proses pencarian jawaban dari pada memiliki
jawaban. Karena itu, proses belajar mengajar yang lebih mementingkan jawaban baku yang dianggap benar oleh
pengajar adalah kurang efektif. Proses belajar mengajar yang efektif semestinya menumbuhkan daya kreasi, daya nalar,
rasa keingintahuan, dan eksperimentasi-eksperimentasi untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru (meskipun
hasilnya keliru), memberikan keterbukaan terhadap kemungkinan-kemungkinan baru, menumbuhkan demokrasi, dan
memberikan toleransi pada kekeliruan-kekeliruan akibat kreativitas berfikir.
Secara ringkas, proses belajar mengajar (sebagai sistem) dapat dilukiskan seperti pada Gambar 4 berikut.
5.2.4.1 Input
Input adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Sesuatu yang
dimaksud tidak harus berupa barang, tetapi juga dapat berupa perangkat dan harapan-harapan sebagai pemandu bagi
berlangsungnya proses. Berikut disampaikan sejumlah input dengan uraian seperlunya.
5.2.4.1.1 Visi
Setiap sekolah yang akan menerapkan manajemen berbasis sekolah harus memiliki visi. Visi adalah wawasan yang
menjadi sumber arahan bagi sekolah, dan digunakan untuk memandu perumusan misi sekolah. Dengan kata lain, visi
adalah pandangan jauh kedepan kemana sekolah akan dibawa atau gambaran masa depan yang diinginkan oleh sekolah,
agar sekolah yang bersangkutan dapat dijamin kelangsungan hidup dan perkembangannya.

Gambar 4: Proses Belajar Mengajar Sebagai Sistem


5.2.4.1.2 Misi
Misi adalah tindakan untuk merealisasikan visi. Karena visi harus mengakomodasi semua kelompok kepentingan yang
terkait dengan sekolah, maka misi dapat juga diartikan sebagai tindakan untuk memenuhi masing-masing dari semua
kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah. Dalam merumuskan misi, harus mempertimbangkan tugas pokok
sekolah dan kelompok-kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah.
5.2.4.1.3 Tujuan
Tujuan merupakan penjabaran misi. Tujuan merupakan "apa" yang akan dicapai/dihasilkan oleh sekolah yang
bersangkutan dan "kapan" tujuan akan dicapai. Tujuan dirumuskan untuk jangka waktu 1-3 tahuan.
5.2.4.1.4 Sasaran
Sasaran adalah penjabaran tujuan, yaitu sesuatu yang akan dihasilkan/dicapai oleh sekolah dalam jangka waktu satu
tahun, satu catur wulan, atau satu bulan. Agar sasaran dapat dicapai dengan efektif, maka sasaran harus dibuat spesifik,
terukur, jelas kriterianya, dan disertai indikator-indikator yang rinci.
5.2.4.1.5 Struktur Organisasi

23

Mengingat fungsi dasar sekolah berubah, dari subordinasi menjadi otonomi, dari pengambilan keputusan tunggal
menjadi pengambilan keputusan partisiptatif, sudah tentu perubahan ini berdampak pada struktur organisasi yang telah
ada, serta peran dari kelompok-kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah.
5.2.4.1.6 Input Manajemen
Kepala sekolah mengatur dan mengurus sekolahnya melalui sejumlah input manajemen. Kelengkapan dan kejelasan
input manajemen akan membatu kepala sekolah mengelola sekolahnya dengan baik. Berikut adalah sejumlah input
manajemen, dengan keterangan seperlunya (Poernomosidi Hadjisarosa, 1997):
(1) Tugas
Kepala sekolah harus jelas memberikan tugas-tugas kepada bawahannya, yang dilengkapi ketentuan-ketentuan
mengenai fungsi, wewenang, tanggungjawab, kewajiban dan hak.
(2) Rencana
Rencana/rancang-bangun adalah diskripsi produk untuk keperluan pembuatan/pembangunan (diskripsi disebut
kualifikasi untuk sumberdaya manusia, spesifikasi untuk sumberdaya selain sumber daya manusia). Rencana juga
mengandung isi diskripsi kegiatan untuk keperluan penyelenggaraan, dalam arti, cukup lengkap untuk berlangsung.
Dalam pendidikan, rencana yang dimaksud adalah rencana pengembangan sekolah.
(3) Program
Program adalah alokasi sumberdaya kedalam kegiatan-kegiatan, menurut jadwal-waktu dan menunjukkan tatalaksana
yang sinkron. Dengan kata lain program adalah bentuk dokumen untuk menggambarkan langkah-langkah untuk
mewujudkan sinkronisasi dalam ketatalaksanaan, sebagai salah satu konsekwensi dari koordinasi.
(4) Limitasi/Ketentuan-Ketentuan
Input manajemen yang menyangkut limitasi, yaitu yang muncul dalam berbagai bentuk ketentuan, seperti yang
menyangkut kualifikasi, spesifikasi dan metoda ataupun prosedur, manual, dan peraturan-perundangan. Input
manajemen yang berupa limitasi ini pada dasarnya merupakan aturan main atau rule of the game yang perlu diikuti oleh
semua warga sekolah agar pengembangan sekolah berjalan lancar untuk mencapai tujuannya.
(5) Pengendalian/Tindakan Turun Tangan
Input manajemen yang menyangkut pengendalian/pengawasan, yaitu yang muncul dalam wujud Tindakan Turun
Tangan (T3), untuk meyakinkan bahwa tujuan/sasaran sekolah yang telah ditetapkan dapat dicapai secara efektif dan
efisien.
5.2.4.1.7 Sumberdaya
Sumberdaya merupakan jenis input penting yang diperlukan untuk berlangsungnya proses pendidikan di sekolah. Tanpa
sumberdaya, proses pendidikan di sekolah tidak akan berlangsung, dan pada gilirannya sasaran sekolah tidak akan
tercapai. Sumber daya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu sumberdaya manusia dan sumberdaya selebihnya,
dengan penegasan bahwa sumber daya selebihnya tidak mempunyai arti apapun bagi perwujudan sasaran sekolah, tanpa
campur tangan sumberdaya manusia.
(1) Sumber Daya Manusia
Sumberdaya manusia merupakan hasil ciptaan-Nya yang paling sempurna dan karenanya harus didudukkan pada posisi
tertinggi dalam setiap kehidupan organisasi termasuk organisasi yang disebut sekolah. Karena itu, sumberdaya manusia
(kepala sekolah, guru, siswa, dll.) merupakan jiwa sekolah dan merupakan satu-satunya sumberdaya aktif, dan
sumberdaya selebihnya merupakan sumberdaya pasif. Pada dasarnya, agar sekolah dapat berjalan secara efektif dan
efisien, diperlukan kesiapan sumberdaya manusia. Kesiapan sumberdaya manusia = kesiapan kemampuan +
kesiapan kesanggupan. Kesiapan kemampuan menyangkut persyaratan kualifikasi dan kesiapan kesanggupan
menyangkut pemenuhan kepentingan sumberdaya manusia.
(2) Sumber Daya Selebihnya
Sumber daya selebihnya dapat dikelompokkan menjadi: peralatan, perlengkapan, perbekalan, bahan/material/sumber
daya alam, uang, dan perangkat-perangkat lainnya, yang diperlukan untuk berlangsungnya proses pendidikan di
sekolah, dengan keterangan seperlunya sebagai berikut.

24

a) Peralatan
Agar jasa manusia dapat meningkatkan kualitas kerjanya lebih tajam dan produktivitasnya berlipat ganda, diperlukan
peralatan. Peralatan yang dimaksud terdiri dari peralatan manual, mesin, komputer, dsb.
b) Perlengkapan
Agar campur tangan sumber daya manusia terhadap sumber daya selebihnya dapat menghasilkan jasa manusia dengan
intensitas yang setinggi-tingginya, maka diperlukan perlengkapan, misalnya: pakaian, kantor, perlengkapan kantor, AC,
kendaraan dinas, rumah dinas, dsb.
c) Bahan/Material/sumber daya alam
Bahan/material/sumber daya alam merupakan obyek perlakuan jasa manusia yang harus ada bagi terselenggaranya
proses. Dalam hal-hal tertentu, bahan merupakan input yang akan dikonversi menjadi output.
d) Uang
Uang merupakan "nilai ekuivalen jasa manusia terhadap peralatan, perlengkapan, dan bahan" yang diperlukan untuk
memenuhi kepentingan lancarnya proses maupun kepentingan sumberdaya manusia. Uang, selain sebagai alat penukar,
juga sekaligus sebagai alat pemenuh kebutuhan manusia.
e) Perangkat-perangkat lain
Perangkat (ware) lain, merupakan sumber daya yang belum tercakup dalam kategori sumber daya selebihnya di atas,
misal: infoware, organware, dan ware-ware lainnya.
6. Strategi Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah
Pada dasarnya, mengubah pendekatan manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah bukanlah
merupakan one-shot and quick-fix, akan tetapi merupakan proses yang berlangsung secara terus menerus dan
melibatkan semua unsur yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan persekolahan. Oleh karena itu,
strategi utama yang perlu ditempuh dalam melaksanakan manajemen berbasis sekolah adalah sebagai berikut (Slamet
PH, 2000; Direktorat Dikmenum, 2000).
1.

2.

3.

4.

5.

Mensosialiasikan konsep manajemen berbasis sekolah ke seluruh warga sekolah, yaitu guru,siswa, wakil-wakil
kepala sekolah, konselor, karyawan dan unsur-unsur terkait lainnya (orangtua murid, pengawas, wakil kandep,
wakil kanwil, dsb.) melalui seminar, diskusi, forum ilmiah, dan media masa. Hendaknya dalam sosialisasi ini juga
dibaca dan dipahami sistem, budaya, dan sumber daya sekolah yang ada secermat-cermatnya dan direfleksikan
kecocokannya dengan sistem, budaya, dan sumber daya yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan manajemen
berbasis sekolah.
Melakukan analisis situasi sekolah dan luar sekolah yang hasilnya berupa tantangan nyata yang harus dihadapi oleh
sekolah dalam rangka mengubah manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah. Tantangan
adalah selisih (ketidaksesuaian) antara keadaan sekarang (manajemen berbasis pusat) dan keadaan yang diharapkan
(manajemen berbasis sekolah). Karena itu, besar kecilnya ketidaksesuaian antara keadaan sekarang (kenyataan) dan
keadaan yang diharapkan (idealnya) memberitahukan besar kecilnya tantangan (loncatan).
Merumuskan tujuan situasional yang akan dicapai dari pelaksanaan manajemen berbasis sekolah berdasarkan
tantangan nyata yang dihadapi (butir 2). Segera setelah tujuan situasional ditetapkan, kriteria kesiapan setiap fungsi
dan faktor-faktornya ditetapkan. Kriteria inilah yang akan digunakan sebagai standar atau kriteria untuk mengukur
tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya.
Mengidentifikasi fungsi-fungsi yang perlu dilibatkan untuk mencapai tujuan situasional dan yang masih perlu
diteliti tingkat kesiapannya. Untuk mencapai tujuan situasional yang telah ditetapkan, maka perlu diidentifikasi
fungsi-fungsi mana yang perlu dilibatkan untuk mencapai tujuan situasional dan yang masih perlu diteliti tingkat
kesiapannya. Fungsi-fungsi yang dimaksud meliputi antara lain: pengembangan kurikulum, pengembangan tenaga
kependidikan dan nonkependidikan, pengembangan siswa, pengembangan iklim akademik sekolah, pengembangan
hubungan sekolah-masyarakat, pengembangan fasilitas, dan fungsi-fungsi lain.
Menentukan tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya melalui analisis SWOT (Strength, Weaknes,
Opportunity, and Threat). Analisis SWOT dilakukan dengan maksud mengenali tingkat kesiapan setiap fungsi dari
keseluruhan fungsi yang diperlukan untuk mencapai tujuan situasional yang telah ditetapkan. Berhubung tingkat
kesiapan fungsi ditentukan oleh tingkat kesiapan masing-masing faktor yang terlibat pada setiap fungsi, maka
analisis SWOT dilakukan terhadap keseluruhan faktor dalam setiap fungsi, baik faktor yang tergolong internal
maupun eksternal. Tingkat kesiapan harus memadai, artinya, minimal memenuhi ukuran kesiapan yang diperlukan
untuk mencapai tujuan situasional, yang dinyatakan sebagai: kekuatan, bagi faktor yang tergolong internal;
peluang, bagi faktor yang tergolong faktor eksternal. Sedang tingkat kesiapan yang kurang memadai, artinya tidak
memenuhi ukuran kesiapan, dinyatakan bermakna: kelemahan, bagi faktor yang tergolong faktor internal; dan
ancaman, bagi faktor yang tergolong faktor eksternal.

25

6.

7.

8.

9.

Memilih langkah-langkah pemecahan (peniadaan) persoalan, yakni tindakan yang diperlukan untuk mengubah
fungsi yang tidak siap menjadi fungsi yang siap. Selama masih ada persoalan, yang sama artinya dengan ada
ketidaksiapan fungsi, maka tujuan situasional yang telah ditetapkan tidak akan tercapai. Oleh karena itu, agar
tujuan situasional tercapai, perlu dilakukan tindakan-tindakan yang mengubah ketidaksiapan menjadi kesiapan
fungsi. Tindakan yang dimaksud lazimnya disebut langkah-langkah pemecahan persoalan, yang hakekatnya
merupakan tindakan mengatasi makna kelemahan dan/atau ancaman, agar menjadi kekuatan dan/atau peluang,
yakni dengan memanfaatkan adanya satu/lebih faktor yang bermakna kekuatan dan/atau peluang.
Berdasarkan langkah-langkah pemecahan persoalan tersebut, sekolah bersama-sama dengan semua unsur-unsurnya
membuat rencana untuk jangka pendek, menengah, dan panjang, beserta program-programnya untuk
merealisasikan rencana tersebut. Sekolah tidak selalu memiliki sumber daya yang cukup untuk melaksanakan
manajemen berbasis sekolah idealnya, sehingga perlu dibuat sekala prioritas untuk rencana jangka pendek,
menengah, dan panjang.
Melaksanakan program-program untuk merealisasikan rencana jangka pendek manajemen berbasis sekolah. Dalam
pelaksanaan, semua input yang diperlukan untuk berlangsungnya proses (pelaksanaan) manajemen berbasis sekolah
harus siap. Jika input tidak siap/tidak memadai, maka tujuan situasional tidak akan tercapai. Yang perlu
diperhatikan dalam pelaksanaan adalah pengelolaan kelembagaan, pengelolaan program, dan pengelolaan proses
belajar mengajar.
Pemantauan terhadap proses dan evaluasi terhadap hasil manajemen berbasis sekolah perlu dilakukan. Hasil
pantauan proses dapat digunakan sebagai umpan balik bagi perbaikan penyelenggaraan dan hasil evaluasi dapat
digunakan untuk mengukur tingkat ketercapaian tujuan situasional yang telah dirumuskan. Demikian kegiatan ini
dilakukan secara terus-menerus, sehingga proses dan hasil manajemen berbasis sekolah dapat dioptimalkan.

7. Penutup
Mengubah manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah (transisi) merupakan proses yang panjang
dan melibatkan banyak pihak. Transisi ini memerlukan penyesuaian-penyesuaian, baik sistem (struktur)nya, kulturnya,
maupun figurnya, dengan tuntutan-tuntutan baru manajemen berbasis sekolah. Oleh karena itu, kita tidak bermimpi
bahwa perubahan ini akan berlangsung sekali jadi dan baik hasilnya. Dengan demikian, fleksibiltas dan eksperimentasieksperimentasi yang menghasilkan kemungkinan-kemungkinan baru dalam penyelenggaraan manajemen berbasis
sekolah perlu didorong.
Pustaka Acuan
Aburizal Bakrie. 1999. Mengefektifkan Sistem Pendidikan Ganda. (Makalah Disampaikan pada Rapat Kerja Majelis
Pendidikan Kejuruan Nasional, 29 Maret 1999) di Jakarta.
Bailey, William J. 1991. School-Site Management Applied. Lancaster-Basel: Technomic Publishing CO.INC.
Direktorat Dikmenum. 2000. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Depdiknas.
Bovin, Olle. 2000. Towards A Learning Organization. Geneva: International Labour Office.
Cangeni, Joseph P. & Casimir J. Kowalski & Jeffry C. Claypool. 1984. Participative Management. New York:
Philosophical Library.
David, Jane L. Synthesis of Research on School-Based Management. (Educational Leadership, Volume 46, Number 8,
May 1989).
Dewan Perwakilan Rakyat. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah. Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat.
Dewan Perwakilan Rakyat. 2000). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonomi. Jakarta: Dewan Perwakilan
Rakyat.
Direktorat Pendidikan Menengah Umum. 2000. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (Buku 1). Jakarta:
Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Departemen Pendidikan Nasional.
Poernomosidi Hadjisarosa. 1997. Naskah 1: Butir-Butir untuk Memahami Pengertian Mengenali Hal Secara Utuh dan
Benar (Bahan Kuliah STIE Mitra Indonesia).
Slamet PH. 2000. Menuju Pengelolaan Pendidikan Berbasis Sekolah. Makalah Disampaikann dalam Seminar Regional
dengan Tema "Otonomi Pendidikan dan Implementasinya dalam EBTANAS" pada Tanggal 8 Mei 2000 di
Universitas Panca Marga Probolinggo, Jawa Timur.

26

Slamet PH (2000). Menuju Pengelolaan Pendidikan Berbasis Sekolah. Makalah pada Acara Seminar dan Temu Alumni
Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta dengan Tema "Pendidikan yang Berwawasan Pembebasan:
Tantangan Masa Depan" pada Tanggal 27 Mei 2000 di Ambarukmo Palace Hotel, Yogyakarta.
Sumarno dkk. (2000). Otonomi Pendidikan. Kertas Kerja yang Dibahas di Universitas Negeri Yogyakarta dalam
Rangka Memberi Masukan kepada Menteri Pendidikan Nasional (tidak dipublikasikan).

27

28

Anda mungkin juga menyukai