Anda di halaman 1dari 33

Neuromodulasi nyeri kepala kronis: pernyataan

sikap dari Federasi Nyeri Kepala Eropa


Paolo Martelletti, Rigmor H Jensen, Andrea Antal, Roberto Arcioni, Filippo
Brighina, Marina de Tommaso, Angelo Franzini, Denys Fontaine, Max Heiland,
Tim P Jrgens, Massimo Leone, Delphine Magis, Koen Paemeleire, Stefano
Palmisani, Walter Paulus dan Arne May

Abstrak
Terapi untuk pasien dengan sindrom nyeri kepala primer yang kronis
(migrain kronis, nyeri kepala tipe tegang kronis, nyeri kepala klaster kronis,
hemicrania continua) menantang karena efek samping yang serius yang sering
menyulitkan terapi yang diberikan dan beberapa pasien mungkin bahkan sama
sekali tidak bisa ditengani dengan obat-obatan. Ketika ditemukan kurangnya
respon dari pasien terhadap pengobatan konservatif dan riwayat penyalahgunaan
obat

nyeri

kepala

tidak

ditemukan,

maka

opsi

neuromodulasi

dapat

dipertimbangkan pada kasus tertentu.


Di sini, berbagai pendekatan invasif dan non-invasif, seperti stimulasi otak
dalam

(DBS),

stimulasi

nervus

oksipitalis

(ONS),

stimulasi

ganglion

sphenopalatina (SPG), stimulasi medulla spinalis (SCS), stimulasi nervus vagus


(VNS), stimulasi arus transkranial langsung (tDCS), stimulasi magnetik
transkranial berulang (rTMS) dan stimulasi saraf listrik transkutan secara luas
dipublikasikan walaupun bukti berbasis uji acak terkontrol yang tepat masih
sangat terbatas. Federasi Nyeri Kepala Eropa (EHF) dengan ini memberikan
pernyataan konsensus mengenai penggunaan klinis dari neuromodulasi nyeri
kepala, berdasarkan latar belakang teoritis, data klinis, dan efek samping dari
masing-masing metode. Konsensus internasional ini nantinya akan memberikan
saran untuk penelitian di masa depan terhadap pendekatan terbaru ini.
Meskipun alat stimulasi dalam pengobatan Nyeri kepala yang selalu
berkembang, penelitian lebih lanjut yang terkontrol untuk memvalidasi,
memperkuat

dan

menyebarkan

penggunaan

neurostimulasi

jelas

sangat

diperlukan. Akibatnya, sampai data ini beredar, perangkat neurostimulasi hanya


boleh digunakan pada pasien dengan sindrom yang tidak bisa ditangani dengan
obat-obatan yang berasal dari pusat pengobatan nyeri kepala tersier, baik sebagai
bagian dari penelitian yang valid maupun telah terbukti efektif dalam penelitian
terkontrol dengan profil efek samping yang dapat diterima.
Kata kunci: Nyeri kepala kronis; Nyeri kepala yang tidak bisa ditangani dengan
obat-obatan; Neurostimulasi; SPG; DBS; GON; tDCS; TMS; ONS; TENS; VNS;
Migrain; Nyeri kepala klaster; European Headache Federation

Latar Belakang
Meskipun nyeri kepala adalah penyakit yang umum, manifestasi lebih parah
yang timbul seperti migrain hebat dan nyeri kepala otonom trigeminal memiliki
efek melemahkan pada pasien yang mengakibatkan rasa nyeri kronis dan
gangguan fungsional yang parah. Penelitian terbaru dari Global Burden of Disease
Study tahun 2010 (GBD2010), yang dilakukan oleh Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO), Lifting the Burden dan rekan-rekan mereka, memperkirakan bahwa
prevalensi migrain di seluruh dunia adalah 14,7%, angka itu membuatnya
menduduki peringkat ketiga di antara penyakit yang paling umum terjadi dan pada
peringkat ketujuh di antara penyebab spesifik dari kecacatan dan di antara semua
gangguan neurologis sebagai penyebab bertahun-tahun hidup dengan kecacatan
[1,2].
Meskipun orang sudah diperkenalkan pada pedoman internasional yang
sangat baik bagi organisasi pelayanan dan penanganan nyeri kepala [3-5], tidak
ada standar tunggal untuk terapi pasien dengan gejala nyeri kepala primer yang
kronis. Misalnya, pilihan pengobatan untuk migrain akut didasarkan pada
keparahan

nyeri

kepala,

frekuensi

serangan,

gejala-gejala

terkait,

dan

komorbiditas. Meskipun ada peningkatan yang signifikan dalam penanganan


migrain, untuk bisa mencapai hasil pengobatan yang memuaskan masih menjadi

sebuah tantangan karena respon pengobatan yang kurang memadai dan sulitnya
dalam memprediksi respons masing-masing individu terhadap agen atau dosis
tertentu.
Pengobatan pasien dengan sindrom nyeri kepala primer kronis (seperti
migrain kronis, nyeri kepala klaster kronis, nyeri kepala tipe tegang kronis atau
hemicrania continua) sangat menantang karena penelitian yang valid terkait
dengan hal ini masih sangat jarang ditemukan dan dalam beberapa kasus, dosis
obat pencegahan yang lebih tinggi bahkan tidak berfungsi dengan efektif dan efek
samping yang buruk sering kali menyulitkan pengobatan medis.
Nyeri kepala kronis yang tidak atau tidak lagi merespon profilaksis biasanya
ditemui di pusat nyeri kepala tingkat tersier [6]. Sebagian besar pasien menderita
penyalahgunaan obat nyeri kepala yang harusnya bisa diatasi dengan
detoksifikasi, namun sebagian tetap dikelompokkan sebagai migrain kronis
refraktori (RCM) [6]. Meskipun banyak keberhasilan dalam kasus ini telah
dicapai, definisi RCM masih terus dalam proses pencarian [7,8]. Nyeri kepala
klaster seperti itu juga bisa jadi sulit untuk diobati, tapi hal tersebut bisa jadi
musthail terjadi pada penderita nyeri kepala klaster kronis (CCH) [9]. Beberapa
pasien mungkin bisa tidak ditangani dengan terapi yang direkomendasikan oleh
pedoman nasional, dan sesuai degan kebutuhan dokter, kata "tidak bisa ditangani"
telah didefinisikan oleh Goadsby et al. dalam tulisan yang berjudul "Towards a
Definition of Intractable Headache for Use in Clinical Practice and Trials" [10].
Pada pasien-pasien tersebut, misalnya ketika ada intoleransi atau kurangnya
respon terhadap pengobatan konservatif, pembedahan bisa dipertimbangkan.
Pilihan-pilihan itu sebelumnya berkisar dari aplikasi gliserol atau anestesi lokal ke
dalam cisterna trigeminus pada ganglion Gasserian; radiofrekuensi rhizotomi
pada ganglion Gasserian atau nervus trigeminus; dekompresi mikrovaskular;
reseksi atau blokade N. petrosus superfisialis atau dari ganglion sphenopalatina
hingga berbagai macam metode lain yang ablatif atau bersifat destruktif. Telah
dilaporkan mengenai kasus ketidakberhasilan dari pembedahan, setidaknya pada
nyeri kepala klaster dan sindrom terkait [11-14]. Oleh karena itu prosedur bedah
harus dipertimbangkan dengan hati-hati karena tidak ada data pengamatan jangka

panjang yang dapat diandalkan dan karena prosedur bedah dapat menyebabkan
kondisi nyeri kronis sekunder seperti neuralgia trigeminal dan/atau anestesia
dolorosa. Kemajuan teknologi tebaru memperkenalkan adanya kesempatan untuk
menggunakan neurostimulasi dibandingkan metode ablatif atau destruktif dan
dapat diterapkan pada hampir semua struktur saraf, termasuk saraf tulang
belakang, struktur otak dalam, saraf korteks motorik dan perifer. Tidak diketahui
bagaimana stimulasi listrik dari sturktur target pusat atau perifer menyalurkan
dampaknya, meskipun blok fungsional neuron tampaknya menjadi jawaban yang
paling mungkin.
Hampir semua terapi untuk RCM dan CCH yang telah disebutkan
memerlukan stimulasi selama berminggu-minggu sampai berbulan-bulan agar
efek profilaksis bisa terjadi, hal ini menunjukkan plastisitas saraf sebagai
mekanisme yang mungkin bisa digunakan, dan hanya stimulasi ganglion
sphenopalatina pada CCH yang telah menunjukkan adanya efek gagal yang akut
[15]. Prediktor efektivitas untuk semua jenis neurostimulasi masih perlu
diidentifikasi dan di masa depan, strategi paling tidak invasif dan paling efektif
harus dipilih sebagai terapi utama untuk nyeri kepala kronis yang tidak bisa
ditangani dengan obat-obatan [16].
Demikian juga neurostimulasi hanya boleh dipertimbangkan untuk
digunakan pada pasien yang telah mencoba semua terapi utama yang
direkomendasikan dalam pedoman Eropa [3] dan dokter harus mengikuti
konsensus internasional terkait hal tersebut [10,17].
Target neuroanatomi untuk teknik ini bervariasi. Oleh karena itu,
mekanisme teoritisnya juga dapat bervariasi tergantung pada lokasi stimulasi.
Prosedur neuromodulator yang invasif terdiri dari stimulasi sistem saraf pusat
(stimulasi otak dalam hipotalamus (hDBS)) dan stimulasi medulla spinalis (SCS)
dan saraf-saraf perifer (stimulasi saraf oksipital (ONS), stimulasi ganglion
sphenopalatina (SPG). Prosedur neuormodulator non-invasif terdiri dari stimulasi
nervus vagus (VNS), stimulasi saraf listrik transkutan (TENS), stimulasi magnetik
transkranial berulang (RTMS) dan stimulasi arus langsung transkranial (tDCS).

Kami bertujuan untuk memberikan rekomendasi ahli yang berdasar pada


tinjauan rinci literatur yang ada saat ini, ringkasan ahli klinis dan menyajikan
suatu hasil untuk standar penanganan dalam penggunaan neuromodulasi pada
nyeri kepala primer kronis di Eropa.

Metode
Ulasan ini mewakili pandangan Federasi Nyeri Kepala Eropa (EHF) tentang
topik ini. Para anggota Expert Group (kelompok ahli) Neuromodulasi untuk nyeri
kepala kronis ditunjuk atas dasar keahlian khusus mereka pada topik ini dengan
pendekatan multidisiplin yang diperlukan.
Semua metode Neuromodulasi yang ada saat ini telah ditinjau dan dianalisis
terkait apakah sudah ada seri kasus lain yang sudah dipublikasikan, setidaknya
dua seri kasus, dan apakah indikasi dan batas-batas dari masing-masing metode
tersebut sudah dijelaskan. Rincian pertimbangan etis dan berbagai persetujuan
penelitian ditunjukkan dalam latar belakang literatur, silakan lihat daftar rujukan.
Karena bidang ini cepat berkembang dan karena neurostimulasi memiliki
tantangan intrinsik dan tantangan prinsip berupa plasebo yang tidak tersedia atau
adanya kondisi yang tidak diperkirakan, rekomendasi ini tidak bisa secara ketat
mengikuti metode pendekatan berbasis bukti. Namun, sebuah konferensi Delphi
yang dimodifikasi dengan menggunakan fasilitas Internet telah dilakukan dan
semua peserta sepakat dengan rekomendasi yang disajikan di sini. Oleh karena itu,
tulisan ini bukanlah sebuah pedoman konvensional tetapi rekomendasi pakar
internasional yang secara ketat disusun berdasarkan bukti yang dipublikasikan.

Hasil dan Pembahasan


- Stimulasi hipotalamus
Latar belakang teoritis
Stimulasi hipotalamus untuk CCH yang tidak bisa ditangani dengan obat
menjadi target terapi setelah penelitian PET menunjukkan peningkatan aliran
darah di hipotalamus posterior selama serangan nyeri kepala klaster [18], yang

diartikan sebagai aktivasi neuron di daerah tersebut. Setahun kemudian perubahan


struktural di daerah otak yang sama mulai terlihat [19].
Data klinis
Pada tahun 2000, segera setelah penelitian seminal, implantasi hipotalamus
pertama dan stimulasi untuk CCH yang tidak bisa ditangani dengan obat (dCCH)
dilakukan [20] dengan hasil yang baik. Sejauh ini, data lebih dari 60 pasien
dengan implanatasi hipotalamus diarsipkan dalam literatur dan termasuk pasien
Nyeri kepala klaster dan jenis-jenis cephalalgia otonom trigeminal [20-39].
Tingkat keberhasilan keseluruhan (pasien dengan bebas dari rasa Nyeri atau
dengan peningkatan kesembuhan 50%) adalah sekitar 50-60% dan akumulasi
tindak lanjut telah memungkinkan untuk lebih memahami kelebihan dan
keterbatasan prosedur tersebut.
Seri terbesar sampai saat ini terdiri dari 19 pasien dCCH yang parah [33]:
setelah tindak lanjut rata-rata selama 8,7 tahun, penyembuhan yang bertahan lama
muncul pada 71% (12/17) dengan 6 diantaranya hampir terbebas rasa nyeri secara
persisten dan 6 lainnya tidak lagi mengalami serangan harian namun serangan
episodik yang diselingi dengan remisi yang bertahan lama [33]. Keadaan bebas
dari rasa nyeri ini bertahan bahkan setelah stimulator dihentikan selama rata-rata 3
tahun (kisaran 3-4) pada 5 pasien, tapi keadaan hanya terjadi setelah stimulasi
diberikan selama beberapa tahun secara terus menerus [33]. Kebanyakan pasien
mengalami kekambuhan nyeri kepala yang singkat setelah stimulator dihentikan,
atau baterainya habis [20-39]. Lima pasien diantaranya tidak mendapatkan
manfaat sama sekali; 4 diantaranya mengalami nyeri kepala klaster bilateral. Tiga
dari pasien yang tidak merespon stimulator mengalami peningkatan pada 1-2
tahun pertama, tetapi kemudian mengalami toleransi [33]. Efek sampingnya
adalah pergeseran elektroda (N = 2), infeksi (elektroda N = 3; generator N = 1),
salah penempatan elektroda (N = 1), perdarahan ventrikel ketiga sementara yang
muncul tanpa gejala (N = 1), kelemahan otot ringan yang persisten pada satu sisi
(N = 1), dan kejang (N = 1) [33]. Penelitian lain yang jumlahnya lebih sedikit
telah melaporkan kemanjuran yang serupa [20-39].

Sebelas pasien CCH yang resistan terhadap obat diacak untuk mendapatkan
stimulasi yang efektif dan stimulasi hipotalamus posterior sham. Tidak ada
perbedaan yang terdeteksi antara kedua kelompok tersebut setelah satu bulan
penggunaan, mungkin semua itu terjadi karena durasi pengobatannya cukup
singkat [30]. Pada fase open-label berikutnya, semua pasien menerima stimulasi
verum secara terbuka dan tiga pasien terbebas dari rasa nyeri, dan tiga orang
lainnya mengalami penurunan frekuensi serangan rasa nyeri 50% setelah 10
bulan.
Aktivasi hipotalamus posterior juga telah terbukti efektif pada tiga pasien
dengan serangan nyeri kepala neuralgiform jangka pendek dengan injeksi dan
perobekan konjungtiva (SUNCT), suatu bentuk nyeri kepala otonom trigeminal
yang jarang. [40-42] Pasien pertama terbebas dari rasa nyeri tetapi profilaksis
tambahan lamotrigin perlu untuk diberikan [40]. Pasien lain mengalami
penurunan frekuensi serangan yang signifikan secara klinis (dari 120 menjadi
25/hari setelah satu tahun) [41]. Pada pasien ketiga [42], frekuensi serangan
sporadis menurun dari 30/hari setelah pemberian stimulasi selama 15 bulan terusmenerus. Seorang pasien dengan hemicrania paroksismal kronis juga mengalami
peningkatan setelah stimulasi hipotalamus posterior [43].
Stimulasi hipotalamus posterior juga diuji untuk menggagalkan serangan
nyeri kepala klaster akut. Pengobatannya terdiri dari menghidupkan stimulator
atau meningkatkan intensitas stimulasi. Seratus delapan serangan dinilai dan
pengurangan sejumlah 50% pada intensitas rasa nyeri dilaporkan hanya terjadi
sebanyak 23%; akhirnya disimpulkan bahwa DBS tidak berguna untuk
pengobatan nyeri kepala klaster akut [39].
Keamanan dan efek samping
Secara keseluruhan, stimulasi hipotalamus posterior ditoleransi dengan baik
selama bertahun-tahun setelah implantasi, tetapi semua itu bukan tanpa risiko:
satu pasien meninggal karena perdarahan intraserebral [21] dan pasien lain
mengalami perdarahan ventrikel subklinis tingkat ketiga [22]. Terkait dengan
gangguan gerak, stimulasi otak bisa menimbulkan risiko perdarahan otak sebesar
7

3% [40]. Untuk mengurangi risiko ini, Seijo et al. sedikit menggeser target
hipotalamus secara lateral sehingga ujung elektroda itu jauh dari dinding ventrikel
lateral, tanpa mengubah kemanjurannya [32]. Sejalan dengan pengamatan ini,
sebuah penelitian neuroimaging menunjukkan bahwa lokasi anatomi dari
elektroda yang memberi stimulasi tidak berbeda secara signifikan pada responden
dan nonresponden [41]. Serangan panik [22], gangguan penglihatan, serangan
iskemik sementara saat pembedahan, infeksi subkutan, kehilangan kesadaran
sementara dengan hemiparesis dan sinkop pascaberkemih, disfungsi ereksi, dan
bersin paroksismal [20-33,42] juga telah dilaporkan terjadi. Denyut nadi, tekanan
darah, dan laju pernapasan tidak terpengaruh oleh stimulasi hipotalamus ketika
amplitudo meningkat perlahan; Namun, peningkatan amplitudo mendadak dapat
memunculkan gangguan otonom dan okulomotorik [43]. Kualitas tidur meningkat
selama pemberian stimulasi hipotalamus, mungkin disebabkan adanya penekanan
serangan nyeri kepala klaster pada malam hari [44].
Pertimbangan teknis
Usaha pertama untuk mengobati CCH dengan prosedur neuromodulasi
didasarkan pada neuroimaging dan khususnya pada pengamatan bahwa volume
diskrit hipotalamus posterior diaktifkan selama pasien CCH mengalami rasa nyeri.
Target dari prosedur ini adalah hipotalamus posterior hiperaktif (pHyp) dan
penghambatannya diketahui bisa menghantarkan arus "in situ" dengan frekuensi
tinggi (180 Hz, 1-3V, lebar pulsa 60-90 s) melalui elektroda yang diimplantasi
dalam.
Batasan dan rekomendasi untuk penelitian di masa depan
DBS merupakan teknik invasf yang mahal dan mungkin tidak spesifik yang
harus digunakan dengan hati-hati dan hanya boleh dipertimbangkan secara hatihati untuk dipergunakan pada pasien yang terkena dampak paling parah yang
mengalami CCH yang tidak bisa ditangani dengan pengobatan standar ketika
strategi lain yang tidak terlalu invasif telah dicoba untuk digunakan. Hipotesis
yang mengarah pada pengenalan stimulasi hipotalamus sebagai pengobatan CCH
adalah bahwa stimulasi elektroda dengan frekuensi tinggi dapat mengurangi
8

aktivasi hipotalamus selama serangan nyeri kepala [12]. Setelah pengalaman


jangka panjang dengan teknik ini, sekarang sudah bisa jelas terlihat bahwa
hipotesis ini tidak benar: pada kenyataannya, stimulasi hipotalamus akut tidak
menggagalkan serangan nyeri kepala klaster akut [33], dan - karena faktor latensi
- efek profilaksis membutuhkan waktu lama untuk bisa terlihat, sebanding dengan
keterlambatan pada distonia [20-33]. Jika digabungkan, maka pengamatanpengamatan ini menunjukkan bahwa stimulasi bekerja karena mekanisme yang
lebih kompleks, mungkin karena plastisitas otak [33,45-48].

- Stimulasi nervus oksipitalis (ONS)


Latar belakang teoritis
Alasan penggunaan stimulasi nervus occipitalis (ONS) pada nyeri kepala
berasal dari penelitian hewan yang menunjukkan konvergensi aferen servikal,
somatik dan duramater pada nosiseptor tingkat dua di kompleks trigeminoservikal
[49,50]. Fakta bahwa injeksi steroid suboksipital tersebut ternyata efektif dalam
pencegahan beberapa nyeri kepala primer [51-53] memang sejalan dengan
keberadaan hubungan anatomi pada manusia. Lebih dari satu dekade yang lalu,
Weiner dan Reed telah merawat pasien yang menderita "neuralgia oksipital"
dengan ONS [54]. Hasil tindakan mereka membuka jalan bagi penggunaan
metode neurostimulasi yang tidak terlalu invasif ini dalam berbagai jenis nyeri
kepala kronis, khususnya CCH dan CM.
Data klinis
Sampai saat ini, 3 buah percobaan acak terkontrol (RCT) pada ONS telah
dilakukan pada CM [55-57] dan hasilnya secara keseluruhan mengecewakan.
Periode evaluasi ditetapkan selama 12 minggu pada pengobatan ONS pada
mereka. Dalam percobaan PRISM [55], hanya tersedia dalam bentuk abstrak saja,
125 pasien yang mengidap CM yang tidak bisa ditangani dengan obat akhirnya
ditangani dengan ONS tanpa menunjukkan perbaikan yang signifikan. Dalam
percobaan ONSTIM [56], 39% dari pasien (N = 66) yang diobati dengan ONS
aktif selama 3 bulan mengalami penurunan frekuensi nyeri kepala sedikitnya 50%

dan/atau penurunan skala intensitas sebanyak 3 poin, sementara itu, tidak ada
perbaikan dalam yang kelompok yang tidak diberi stimulasi atau kelompok yang
diberi stimulasi yang tidak efektif. Akhirnya, dalam percobaan baru-baru ini pada
157 pasien [57], persentase responden tidak berbeda antara kelompok aktif
(17,1%) dan dengan kelompok kontrol (13,5%) (titik akhir primer). Namun,
jumlah hari dengan nyeri kepala berkurang secara signifikan pada kelompok ONS
dibandingkan dengan populasi sham (-27,2% -14,9% vs). Kecacatan yang terkait
dengan migrain juga menurun pada kelompok ONS. Masalah utama dari
penelitian ini adalah bahwa pasien pasti tidak sepenuhnya menyukai ONS (lihat di
bawah). Penelitian ONS pada CM lain yang sudah ada adalah uji coba terbuka
atau laporan kasus yang kecil (lihat [58] untuk diperiksa). Menariknya, kombinasi
neurostimulasi oksipital dan supraorbital dalam seri yang tidak terkendali pada 7
pasien yang mengidap CM [59] menghasilkan peningkatan frekuensi nyeri kepala
90% pada semua pasien, sementara itu, tidak ada respon yang signifikan
terhadap salah satu stimulasi jika stimulasi itu diberikan secara masing-masing.
ONS juga telah digunakan untuk dCCH, tetapi untuk dCCH, hanya
penelitian terbuka yang pernah dilakukan dan dalam kelompok-kelompok pasien
yang lebih kecil dibandingkan dengan penelitian pada seri CM. Dalam 3 uji coba
utama (13-15 pasien), tingkat keberhasilan sedikit tinggi mencapai 60% [58].
Burns et al. melaporkan bahwa setelah menjalani terapi ONS selama rata-rata 17,5
bulan, 10/14 pasien CCH secara klinis membaik: 3 diantaranya mengalami
perbaikan 90%, 3 lainnya mengalami perbaikan moderat (40-60%) dan 4 lainnya
mengalami perbaikan ringan (20-30%) [60]. Dalam penelitian lain, 15 pasien
drCCH secara prospektif diikuti hingga 5 tahun setelah implantasi ONS (rata-rata
36,8 bulan) [61,62]. Satu pasien tidak dapat dievaluasi karena infeksi perangkat
langsung. Di antara 14 pasien yang tersisa, hampir 80% mengalami penurunan
frekuensi serangan sampai 90% dan 60% lainnya tetap terbebas dari rasa nyeri
selama periode waktu yang lama (dalam hitungan bulan sampai tahun). Dalam
percobaan prospektif lain baru-baru ini (N = 13, [63]) frekuensi serangan menurun
rata-rata sebesar 68% dan intensitas meningkat sampai 49%. Delapan dari tiga
belas pasien mampu mengurangi atau menghentikan medikasi pencegahan

10

mereka. Penelitian lain yang lebih kecil juga melaporkan hasil yang baik dari
pasien CCH yang menjalani ONS (lihat [58] untuk melihat tinjauan).
Selama bentuk lain dari Nyeri kepala primer kronis dibahas, Burns et al.
memberikan ONS pada 6 pasien yang mengalami hemicrania continua (6-21
bulan [64]), dan melaporkan bahwa 4 dari mereka mengalami pengurangan rasa
nyeri lebih dari 80%. Sembilan pasien dengan SUNCT yang resisten terhadap
obat dan 3 pasien dengan SUNA (serangan nyeri kepala neuralgiform unilateral
yang bertahan dalam jangka waktu singkat dengan injeksi dan robekan
konjungtiva - SUNCT- atau dengan gejala otonom - SUNA) mengalami perbaikan
minimal 50% dengan menjalani ONS dan 4 pasien hampir terbebas dari rasa nyeri
setelah tindak lanjut +/- 14 bulan [65,66].
Keamanan dan efek samping
ONS relatif aman dibandingkan dengan teknik stimulasi otak dalam
hipotalamus invasif yang lainnya. Efek samping yang paling sering terjadi adalah
migrasi timbal, infeksi lokal langsung atau tertunda dan penipisan baterai karena
intensitas stimulasi tinggi yang diperlukan untuk mendapatkan stimulasi saraf
yang optimal pada beberapa pasien (64% di [61]). Pasien juga mengeluhkan traksi
yang kurang nyaman pada kabel penghubung dan kadang-kadang kabelnya tidak
mentolerir parestesia yang diinduksi oleh stimulasi saraf oksipital. Pasien
umumnya menerima implantasi ONS bilateral bahkan dalam bentuk nyeri kepala
sebelah, dan nyeri kepala side-lock, dan pada satu-satunya seri ONS unilateral
(pada CCH) dilaporkan terjadi pada 36% pasien di antara mereka [61,62]. Oleh
karena itu, ONS bilateral memang dianjurkan.
ONS menginduksi paresthesia layaknya setiap stimulasi saraf perifer
lainnya. Untuk pengalaman kami, rasa dari paresthesia (meliputi saraf oksipital
besar atau wilayah GON) harus muncul untuk mendapatkan perbaikan klinis pada
pasien CCH yang diobati dengan ONS [61], tapi ini tidak selalu terjadi. Pasien
yang tidak merasakan parestesia lagi (karena migrasi timah atau deplesi baterai)
sering menggambarkan kambuhnya serangan nyeri kepala mereka dalam hari-hari
berikutnya. Tidak ada data yang menunjukkan bahwa kemanjuran ONS
11

dikondisikan oleh stimulasi GON atau saraf oksipital yang lebih rendah atau
keduanya, atau berkorelasi dengan ukuran dari daerah yang dicakup oleh
parestesia. Fenomena ini menunjukkan masalah utama pada penelitian ONS pada
nyeri kepala, yaitu pembiasan. Pada CCH, semua penelitian ONS yang tersedia
adalah uji coba terbuka dan efek plasebo tidak dapat dikesampingkan, bahkan
pada kebanyakan pasien, serangan akan cepat kambuh setelah stimulator
dimatikan. Pada CM, ada data yang lebih valid dan hasil dari RCT yang
disebutkan di atas memang agak mengecewakan. Penelitian lain yang
memprediksi efek ONS yang mungkin terjadi dan seleksi pasien memang jelas
sangat diperlukan.
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk memahami mekanisme ONS
pada nyeri kepala kronis, dan penelitian itu menunjukkan bahwa ONS memiliki
efek neuromodulatori nonspesifik pada sistem kontrol nyeri pusat. Oleh karena
itu, 36% dari pasien CCH yang berhasil diobati dengan ONS memiliki serangan
otonom tetap meskipun rasa Nyeri itu sendiri sudah hilang [61]. Sebuah penelitian
18FDG positron emission tomography (PET) pada 10 pasien CCH yang diobati
dengan ONS menunjukkan hiperaktivitas hipotalamus ipsilateral yang tetap tidak
berubah selama terapi ONS, bertentangan dengan aktivitas pada jaringan kortikal
yang memindahkan rasa nyeri yang bisa dinormalkan dengan ONS [66,67].
Modifikasi yang sama juga dilaporkan dengan aktivasi PET pada pasien CM yang
diobati dengan ONS [68]. Seseorang bisa berspekulasi bahwa stimulasi ONS
memiliki efek pada transmisi nyeri perifer tetapi tidak pada daerah modulasi
pusat.
Pertimbangan teknis
Ada banyak elektroda stimulasi yang berbeda tetapi tidak ada penelitian
banding. Elektroda harus melintasi GON dalam proses subkutannya. Meskipun
ada variabilitas antarindividu anatomi yang besar, GON bisa menjadi dangkal
sekitar 1 cm di bawah tengkuk dan 2-4 cm dari garis tengah [69]. Akibatnya
elektroda idealnya harus mencakup tempat ini. Elektroda harus diimplantasikan
secara subkutan di atas fasia dan selalu di atas GON, yang menunjukkan

12

variabilitas anatomi besar [69]. Migrasi elektroda adalah komplikasi yang paling
sering terjadi, timahnya harus dilabuhkan dengan kuat pada bidang epifasial.
Memutar timah dianjurkan agar timah diperluas selama gerakan. Stimulasi
bilateral dianjurkan untuk menghindari nyeri kepala dengan pergeseran sisi
[61,62]. Implantasi generator di bokong tidak dianjurkan karena resiko migrasi
bisa lebih tinggi. Pelepasan kabel fleksibel, penancapan epifasial dan baterai isi
ulang harus mengurangi ketidaknyamanan pada area servikal, migrasi timah dan
masalah deplesi baterai [58].
Batasan dan rekomendasi untuk penelitian di masa depan
ONS adalah teknik invasif yang mahal dan mungkin tidak spesifik yang
harus digunakan dengan hati-hati dan harus secara hati-hati dipertimbangkan
untuk dipergunakan pada pasien yang terkena dampak paling parah yang
mengidap CCH yang tidak bisa diobati secara medis. ONS hanya menunjukkan
pencegahan tanpa efek akut, dengan pengecualian pada beberapa pasien migrain
kronis [68]. Penelitian mendatang harus prospektif, memperkenalkan kontrol yang
tepat dan memikirkan tentang tantangan ONS teknis seperti migrasi primer,
infeksi dan prosedur blinding yang sering terjadi. Modus aksi masih spekulatif
dan bukti ilmiah untuk efektivitas yang tahan lama masih kurang [70].

- Stimulasi ganglion sphenopalatina (SPG)


Latar belakang teoritis
Nyeri trigeminal setengah sisi yang kuat bersama dengan aktivasi
parasimpatis adalah fitur diagnostik sentral dari semua nyeri kepala otonom
trigeminal (TAC) [71]. Akibatnya, beberapa penelitian telah menargetkan output
parasimpatis di wajah dengan penyumbatan [72,73] atau pemunculan lesi [74]
ganglion sphenopalatina (SPG). SPG adalah ganglion parasimpatis ekstrakranial
besar yang terletak di fossa pterygopalatine (PPF). Serat parasimpatis pascaganglion dari struktur wajah SPG yang mengandung saraf seperti kelenjar liur dan
kelenjar lakrimal, mukosa nasofaring dan pembuluh darah otak dan meningeal
[75]. Karena nyeri kepala klaster adalah suatu nyeri keras yang tidak selalu bisa

13

ditangani dengan obat-obatan[9], berbagai intervensi invasif di PPF telah dicoba


termasuk injeksi alkohol, thermocoagulation [76], injeksi transnasal lidocaine
[73], neuroablation [77], lesi radio frekuensi [78] dan ablation radio frekuensi
berdenyut [74]. Tingkat keberhasilannya tampak menjanjikan (bervariasi 4685%), namun manfaatnya hanya bersifat sementara [79]. Karena sifat
sementaranya ini dan karena efek samping lesi intervensi yang tidak dapat
diperbaiki, pendekatan nondestruktif menggunakan SPGS perkutan akut dengan
elektroda yang bisa dilepas dicoba untuk diperiksa dalam lima pasien dengan
nyeri kepala klaster. Penelitian kecil ini menunjukkan tingkat keberhasilan 61%
[80], yang mengarahkan pada penelitian lain pada pasien dengan serangan migrain
akut yang juga menunjukkan beberapa keberhasilan [81].
Data klinis
Berdasarkan

temuan

ini,

jenis

mikrostimulator

baru

yang

bisa

diimplantasikan di daerah wajah dikembangkan dan percobaan acak double-blind


dan sham-controlled multisenter telah dilakukan untuk menguji efektivitas
stimulasi akut pada CCH refraktori. Perangkat ini didukung dan dikendalikan
secara transkutan oleh gelombang elektromagnetik [15]. Dalam penelitian ini,
68% dari 32 pasien yang mengidap CCH mengalami perbaikan dari stimulasi
listrik dari SPG [15]. Anehnya, pasien menunjukkan dua efek positif: stimulasi
penuh SPG versus stimulasi sham bisa menghilangkan rasa nyeri secara signifikan
(yang menjadi parameter utama dari hasil) penuruanunan frekuensi serangan yang
signifikan. Hilangnya rasa nyeri dan hilangnya rasa nyeri pada 15 menit terjadi
sekitar 67% dan 34% masing-masing secara berurutan dan secara signifikan lebih
besar dibandingkan dengan ambang batas atau stimulasi plasebo. Perlu
ditunjukkan bahwa penelitian ini tidak bisa menjawab pertanyaan berapa lama
efek ini akan berlanjut tapi kesan pada saat ini adalah bahwa efek ini berakhir dan
tindak lanjut jangka panjang sedang berlangsung. Pengamatan yang mengejutkan
bahwa ada penurunan frekuensi serangan Nyeri kepala yang signifikan selain
respon akut harus dilihat dengan seksama, karena penelitian ini dirancang dan
didukung untuk menguji efek akut pada serangan spontan nyeri kepala klaster.
Secara keseluruhan, 43% pasien mengalami pengurangan frekuensi serangan

14

50% dari kondisi awal, ini tergolong luar biasa karena semua pasien telah
menderita CCH selama bertahun-tahun dan telah mencoba sejumlah obat
pencegahan tanpa menunjukkan hasil. Mengingat sensasi ringan dari kesemutan
yang menyertai stimulasi SPG, efek plasebo tidak dapat diabaikan tapi efek
preventif yang terlihat dari stimulasi SPG jelas membutuhkan penyelidikan lebih
lanjut.
Keamanan dan efek samping yang merugikan
Sebagai catatan, operasi maksilofasial oral secara inheren terkait dengan
kejadian butuk standar perioperatif, termasuk rasa nyeri, bengkak, hematoma,
infeksi dan gangguan sensorik. Meskipun tingkat komplikasi yang terkait dengan
perangkat cukup rendah, gangguan sensorik (81% pasien) dan nyeri (38%) adalah
efek samping yang paling sering terjadi setelah implantasi, seringnya menginfeksi
cabang saraf maksilaris. Namun, setelah 3 bulan, hanya 16% dari pasien
menderita gangguan sensorik ringan yang sedang berlangsung dan 19% menderita
nyeri lokal, masing-masing secara berurutan [20]. Tidak ada efek samping
neurologis yang signifikan yang terlihat. Singkatnya, gangguan sensorik lokal
tampaknya hanya berupa komplikasi ringan dibandingkan dengan serangan klaster
parah tapi prosedur implantasi perlu untuk diperhatikan lebih lanjut. Secara
keseluruhan, stimulasi SPG tampaknya menduduki peringkat tinggi di antara
stretagi neuromodulator yang tidak terlalu invasif dan aman.
Pertimbangan teknis
Implantasi Stimulator ATI-SPG dilakukan di bawah anestesi umum melalui
sayatan vestibular dari mukosa rahang posterior pada sisi yang terinfeksi (teknik
bukal gingiva trans-oral). Elektroda yang menstimulasi pada timah integral
diposisikan dalam PPF bersama dengan SPG, dengan tubuh neurostimulator SPG
diposisikan pada rahang lateral-posterior secara medial ke zygoma dan
ditancapkan ke proses zygomatic pada rahang menggunakan plat fiksasi integral.
Setelah implantasi, kontrol posisi dikonfirmasi dengan melakukan pencitraan tiga
dimensi (parasinus CT) pada PPF. Pasien kemudian menjalani masa terapi titrasi
dimana parameter stimulasi harus disesuaikan dua minggu sekali. Parameter
15

stimulasi listrik individu disesuaikan sesuai dengan parestesia yang muncul di


batang hidung dan/atau efek pengobatan selama serangan. Amplitudo maksimum
biasanya diprogramkan menjadi sedikit lebih tinggi dari amplitudo yang memicu
ketidaknyamanan pada setiap pasien. Jika posisi lead neurostimulator tidak benar,
prosedur revisi lead harus dipertimbangkan.
Batasan dan rekomendasi untuk penelitian di masa depan
Dilihat dari data yang dipublikasikan, masukan dari sistem parasimpatis
dalam originasi serangan nyeri kepala klaster memang signifikan. Hal ini
digarisbawahi oleh laporan terbaru bahwa stimulasi SPG dengan frekuensi rendah
dapat memicu serangan pada pasien yang mengidap nyeri kepala klaster yang
nantinya dapat diobati dengan stimulasi dengan frekuensi tinggi [82]. Harus
diingat bahwa semua data di atas dilaporkan dengan kondisi pasien mengidap
CCH yang tidak bisa diobati secara medis. Mungkin ada baiknya menggunakan
metode stimulasi SPG pada pasien nyeri kepala klaster episodik, namun,
mengingat efek samping yang disebutkan di atas, semua ini hanya bisa dilakukan
pada pasien dengan serangan aktif jangka panjang dan kegagalan pengobatan
pencegahan. Mengingat bahwa penelitian yang terkontrol dari plasebo hanya satu
ada sampai saat ini, metode ini harus tetap dipandang sebagai percobaan sampai
ada penelitian lebih lanjut.
- Stimulasi nervus vagus (VNS)
Latar belakang teoritis
Penyelidikan pertama pada modulasi nosisepsi oleh aferen vagal dilakukan
sekitar 20 tahun yang lalu [83-85]. Pada hewan, telah terbukti bahwa aktivasi
listrik, kimia, dan fisiologis dari aferen vagal menghasilkan efek analgesik [8691]. Aktivasi aferen vagal menurunkan aktivitas neuron nosiseptif tingkat dua
dalam traktus spinotalamikus dan spinoreticular di medulla spinalis [84,88,92]
menyebabkan penghambatan refleks dan transmisi nosiseptif [87,92] - dan pada
kompleks nukleus trigeminal [93-95].

16

Data klinis
Untuk hal ini, hanya seri kasus kecil yang ditemukan. Dalam sebuah survei
retrospektif, tiga dari empat pasien dengan implan VNS melaporkan peningkatan
besar terhadap frekuensi migrain dan skor nyeri [96]. Salah satu dari 4 pasien
terbebas dari migrain 1 bulan setelah onset VNS. Pasien kedua mengalami
penurunan pada frekuensi dan tingkat keparahan migrain sebesar > 50%. Pasien
ketiga dilaporkan mengalami pengurangan frekuensi migraine sebesar > 50%.
Pasien terakhir memiliki sedikit penurunan pada frekuensi dan tingkat keparahan
migrain. Peningkatan dilaporkan mulai dari 1 sampai 3 bulan setelah memulai
terapi. Dalam penelitian retrospektif lain, delapan dari sepuluh pasien dengan
migrain mengalami penurunan frekuensi nyeri kepala sebesar 50% atau lebih,
dengan lima pasien diantaranya benar-benar terbebas dari Nyeri kepala setelah 6
bulan pengobatan, dengan peningkatan mulai terjadi pada 3 bulan pertama setelah
penempatan stimulator [97 ].
Serangkaian kasus melaporkan respon yang baik pada VNS pada dua dari
empat pasien dengan migrain kronis (satu pasien dengan subdiagnosa migrain tipe
basiler (BTM) dan migraine hemiplegia (HM) dan yang satunya lagi mengidap
BTM) dan pada dua pasien yang mengidap CCH [98 ]. Saat ini, sebuah metode
baru telah dianggap sebagai struktur yang merangsang otak secara tidak invasif
dengan cara yang mirip dengan VNS [99-101]. Metode ini didasarkan pada teknik
stimulasi saraf listrik transkutan (TENS) yang digunakan dalam sindrom nyeri
akut dan kronis. t-VNS dihantarkan oleh perangkat medis ke cabang auricular kiri
saraf vagus (t-VNS) yang terletak secara medial di tragus pada jalur masuknya
meatus akustik tanpa operasi apapun. Metode lain baru juga diduga merangsang
saraf vagus secara transkutan (tVNS). Data awal menunjukkan bahwa tVNS bisa
efektif pada pasien tertentu [102]. Tapi, dalam uji coba percontohan yang
mengevaluasi

13

penderita

nyeri

kepala

primer,

sepuluh

diantaranya

menghentikan tVNS karena kurangnya kemanjuran dan/atau adanya efek samping


[103].

17

Keamanan dan efek samping


Pengalaman yang sangat terbatas pada VNS implan dan transkutan
membuat presentasi keamanan dan batasan yang digunakan menjadi kurang jelas.
Berdasarkan pengalaman VNS pada epilepsi yang tidak bisa ditangani dengan
medikasi, metode ini tampaknya cukup aman dan umumnya terhambat oleh
infeksi dan masalah baterai. Efek samping yang dilaporkan umumnya kram otot
sementara dan nyeri lokal, yang dapat dikurangi dengan paradigma stimulasi yang
diterapkan. Sejauh ini, tidak ada masalah keamanan yang signifikan yang muncul
tetapi pengalaman klinisnya juga sangat jarang.
Pertimbangan teknis
VNS mengirimkan sinyal-sinyal listrik di sepanjang bagian dari saraf vagus
yang berjalan melalui leher. Data menunjukkan bahwa VNS mengurangi jumlah
glutamat, zat yang terkait dengan gejala nyeri kepala, di otak. Terapi VNS
diberikan dengan perangkat genggam, ditempatkan di leher, yang menghasilkan
sinyal listrik ringan yang diteruskan ke saraf vagus melalui kulit.
Sangat memungkinkan jika ingin memunculkan kekuatan stimulasi sampai
pasien merasa sensasi ringan di bawah kulit. Durasi setiap perlakuan ini adalah
sekitar 2 menit.
Batasan dan rekomendasi untuk penelitian di masa depan
Mengingat pasien yang diteliti masih sedikit, tidak ada kesimpulan kuat
yang bisa ditarik. Sampai adanya bukti yang memadai, sebaiknya lebih memilih
perangkat yang dianggap mampu merangsang saraf vagus secara transkutan
dibandingkan dengan teknik yang lebih invasif. Karena kurangnya bukti, VNS
hanya boleh digunakan pada penderita nyeri kepala kronis menggunakan desain
percoban acak, yang terkontrol dari placebo. Saat ini beberapa RCT sedang
berlangsung untuk memvalidasi pendekatan terapi untuk nyeri kepala kronis
(NCT01667250, NCT01701245).

18

- Stimulasi arus langsung transkranial (tDCS)


Latar belakang teoritis
Kemajuan terbaru dalam teknik neurostimulasi transkranial telah digunakan
untuk sebagai pendekatan terapi nyeri kepala kronis yang resisten terhadap terapi
konservatif. Dalam stimulasi arus langsung transcranial (tDCS) yang diterapkan
melalui tengkorak telah terbukti secara langsung memodulasi stimulasi daerah
korteks, hal ini sangat baik untuk korteks motorik (untuk review lihat: [104]) dan
visual manusia (untuk review lihat: [105]). tDCS menginduksi perubahan
stimulasi saraf akut dan persisten di korteks, mungkin dengan menggeser
potensial membran istirahat neuronal dan juga memodulasi tingkat debit spontan
neuron korteks [106-109]. Efek dari tDCS paling mudah dipelajari pada korteks
motor primer (M1) dengan mengukur perubahan amplitudo potensi motor yang
dibangkitkan (MEP) menggunakan stimulasi magnetik transkranial (TMS) [110].
Diperlukan intensitas stimulasi selama minimal 3 menit dan setidaknya 0,4 mA
untuk mendorong perubahan stimulasi kortikal pada durasi stimulasi yang
bertahan lebih lama [110111]. Pada saat istirahat, stimulasi katodal menginduksi
penurunan dan stimulasi anodal menginduksi peningkatan stimulasi kortikal. Efek
tDCS berasal secara intrakortikal; penelitian farmakologi menunjukkan bahwa
efek stimulasi selama dimediasi oleh kanal ion, sesuai dengan hiperpolarisasi
primer atau efek depolarisasi dari stimulasi, sementara efek setelah stimulasi
melibatkan kemanjuran modulasi reseptor N-methyl-D-aspartate- (NMDA) [ 112].
Data klinis
Data penggunaan tDCS sebagai pengobatan untuk nyeri kepala kronis hanya
pada pengobatan nyeri orofasial [113] dan migrain. Berdasarkan konsep
hipereksitabilitas korteks di katodal migren tCDS pada penderita migren
diharapkan dapat menormalkan stimulasi korteks, baik (i) dengan pengobatan
profilaksis pada fase interiktal atau (ii) dengan pengobatan akut pada awal
serangan migrain. Sejauh ini, tiga penelitian telah mengevaluasi efek dari
penerapan tDCS berulang sebagai pengobatan profilaksis. Antal et al. [114] telah
menyelidiki stimulasi katodal dari korteks visual primer (V1). 30 pasien secara
acak ditunjuk untuk stimulasi katoda maupun stimulasi sham. 26 pasien
19

berpartisipasi sampai analisis akhir (katoda: 13, sham: 13). Dibandingkan dengan
kelompok sham, hanya intensitas rasa nyeri yang berkurang secara signifikan
setelah stimulasi verum.
Auvichayapat [115] dan rekan-rekannya telah menyelidiki 42 pasien dengan
migrain episodik, yang secara acak menerima stimulasi aktif maupun stimulasi
sham setiap hari selama 20 hari berturut-turut. Hasil penelitian menunjukkan
penurunan statistik yang signifikan pada frekuensi serangan dan obat-obatan
pencegahan pada minggu ke 4 dan 8 setelah perawatan. Intensitas nyeri secara
signifikan dan statistik berkurang pada minggu ke 4, 8, dan 12.
Dalam penelitian ketiga [116] tiga belas pasien yang mengidap CM secara
acak menerima 10 sesi tDCS anodal (n = 8) atau sham (n = 5) selama 20 menit
selama lebih dari 4 minggu. Ada masa interaksi yang signifikan untuk intensitas
nyeri dan untuk panjangnya episode migraine. Analisis post-hoc menunjukkan
peningkatan yang signifikan pada periode tindak lanjut hanya pada kelompok
tDCS aktif (respon tertunda).
Penelitian tahap III masih kehilangan data dalam fase migrain akut atau
pada awal aura. Demikian pula, tidak ada data yang tersedia mengenai nyeri
kepala jenis lain, seperti nyeri kepala klaster atau tipe tegang.
Keamanan dan efek samping yang merugikan
Di antara stimulasi transkranial intervensi yang berbasis perangkat, tDCS
umumnya dianggap lebih mudah untuk menyebabkan blinding daripada TMS
[117]. Jenis stimulasi tidak dapat dinilai oleh pengamat luar dan ia bisa dengan
mudah diterapkan. Sejauh ini, fenomena yang paling banyak dilaporkan terkait
dengan penerapan stimulasi tDCS aktif dan sham adalah gatal atau sensasi
kesemutan karena elektroda [108,114,118]. Fenomena lain yang lebih jarang
dilaporkan terkait dengan stimulasi adala sensasi terbakar, nyeri kepala,
kemerahan pada kulit, mual dan kilat ringan di awal dan akhir stimulasi [119].
Baru-baru ini dilaporkan bahwa persepsi kulit tidak sepenuhnya hilang dalam
stimulasi tahap pertama seperti yang dilaporkan sebelumnya, tetapi tidak pernah

20

dinilai secara kuantitatif [119]. Namun demikian, pada pasien yang naif dan
bahkan yang berpengalaman sekalipun, tidak ada perbedaan yang signifikan
dalam tingkat kekuatan stimulasi yang dirasakan yang dapat diamati antara
stimulasi sham dan verum, sehingga stimulasi singkat ke arah atas (30 detik) metode ke arah bawah mungkin menjadi pendekatan yang dapat diandalkan untuk
menghasilkan blinding dalam penelitian tDCS, setidaknya ketika menggunakan
intensitas stimulasi dibawah 1 mA [119].
Pertimbangan teknis
Efek samping dari tDCS ketergantungan pada reseptor NMDA[112]. Pasien
terhadap reseptor NMDA antagonis, misalnya pada dextromethorphan, obat anti
batuk, mungkin tidak mendapatkan hasil dari tDCS anodal dan katodal. Agen
yang menyumbat kanal sodium seperti carbamazepine dan agen yang menyumbat
kalsium secara selektif mencegah efek samping tDCS anodal [120]. Flunarizin
sebagai antagonis kalsium digunakan di beberapa negara sebagai profilaksis
migrain. Propranolol juga memperpendek efek samping dari tDCS katoda dan
anoda [121]. Jarang sekali ada masalah keamanan [119122]; misalnya tidak ada
logam yang harus diimplantasikan di kepala. Pengecualian diberikan pada pasien
yang memiliki riwayat operasi otak karena akan kepadatan arus yang lebih tinggi
jika elektroda lebih dekat dari 2 cm dari deficit pada tengkorak. Gangguan
neurologis seperti strok atau epilepsi, ketergantungan obat/ alkohol, komorbiditas
kejiwaan utama dan implantasi alat pacu jantung dapat dilihat sebagai kriteria
eksklusi. Mungkin tidak ada risiko bagi wanita di usia subur tanpa kontrasepsi,
wanita hamil dan menyusui bisa melakukan ini, jika kedua elektroda tetap pada
tengkorak, namun belum ada data yang pasti. Akan lebih bijaksana untuk
mengecualikan kelompok ini dari stimulasi.
Batasan dan rekomendasi untuk penelitian di masa depan
Stimulasi katoda V1 mengejar konsep inhibisi dari hipereksitasi korteks
visual [114] sementara stimulasi anoda M1 mengejar konsep eksitasi M1 untuk
mengurangi persepsi nyeri [115116]. Protokol stimulasi akan lebih dioptimalkan
di masa depan. Aplikasi berulang dari stimulasi ini mungkin diperlukan, pengujian
21

intensitas yang berbeda dan paradigma stimulasi. Untuk penggunaan yang praktis
dan lebih tahan lama, penelitian pada stimulator yang dapat digunakan di rumah
harus dilakukan.
Tampaknya menjadi wajib untuk penelitian terkontrol untuk menanyakan
pada subjek atau pasien yang telah distimulasi apkah mereka berada di kelompok
verum atau plasebo. Demikian pula, penting untuk mendokumentasikan harapan
pasien yang berkaitan dengan hasil stimulasi agar dapat memperkirakan efek
plasebo dengan lebih baik. RCT pada nyeri kepala primer kronis lainnya juga
diperlukan.
- Stimulasi magnetik transkranial berulang (rTMS)
Latar belakang teoritis
Diperkenalkan oleh Barker et al. [123], stimulasi magnetik transkranial
(TMS) adalah alat neurostimulasi yang dapat melakukan stimulasi otak yang tidak
menyakitkan melalui penerapan medan magnet di kulit kepala. Arus magnet
melewati kulit kepala dan menghasilkan arus listrik yang mengalir tegak lurus
tangensial menghasilkan aksi potensial di korteks neuron. Jika diberikan dalam
pulsasi yang berulang, rTMS dapat menentukan efek plastik tahan lama yang
tidak berubah bahkan setelah akhir percobaan dan tergantung pada frekuensi
stimulasi yang digunakan: frekuensi 1 Hz (rTMS frekuensi rendah: LF-rTMS)
mengurangi, sedangkan frekuensi> 1 Hz (frekuensi tinggi rTMS: HF-rTMS)
meningkatkan stimulasi kortikal [124125].
TMS telah digunakan dalam dua cara yang berbeda dalam migrain, baik
untuk mengobati serangan tunggal atau mencegah kejadian tersebut. Pendekatan
yang berbeda dilakukan, dengan pertimbangan mekanisme terjadinya migrain dan
munculnya migrain kronis [126-130].
Data klinis
Stimulasi magnetik pulsasi tunggal trans-tengkorak dari korteks oksipital,
digunakan oleh perangkat portabel yang akan diuji pada migrain dengan serangan
22

aura pada penelitian ganda yang terkontrol sham blinding, yang melibatkan total
164 pasien dan menunjukkan efek yang signifikan dari pengobatan verum
dibandingkan dengan sham [131]. Brighina et al. pertama-tama [132]
mengevaluasi kemanjuran dan tolerabilitas HF-rTMS atas korteks dorsolateral
prefrontal kiri (DLPFC), (sebuah daerah yang dikenal untuk kontrol top-down
pada transmisi nosiseptif [133]) untuk perawatan pencegahan pada pasien yang
terkena migrain kronis refraktori. Pasien secara acak ditunjuk untuk menjalani
rTMS aktif dan real (6 pasien) atau rTMS plasebo sham (5 pasien) yang terdiri
dari 12 sesi stimulasi yang diberikan selang saling satu hari. Dibandingkan dengan
kondisi awal dan sham rTMS, pengobatan aktif mengurangi serangan migrain
(sekitar 57% lebih sedikit), konsumsi obat, indeks nyeri kepala, dan skor cacat
migrain) pada beberapa bulan selama dan setelah stimulasi. Misra et al. [134]
menggunakan HF-rTMS motor cortex (daerah lain yang mampu melakukan
kontrol pada mekanisme rasa nyeri [135]) untuk pengobatan profilaksis pada
pasien dengan migrain episodik dan kronis; penulis juga mengeksplorasi
hubungan antara nyeri migrain dan tingkat plasma endorfin . Hasilnya
menunjukkan kemampuan rTMS M1 secara signifikan mengurangi frekuensi
nyeri kepala (sekitar 85% kurang dari 1 minggu setelah stimulasi), tingkat
keparahan Nyeri kepala, cacat fungsional dan asupan analgesik.
Keamanan dan efek samping yang merugikan
TMS dan rTMS yang ditoleransi dengan baik dan aman hanya memiliki
efek samping ringan seperti nyeri kepala ringan sementara atau nyeri lokal dan
parestesia [136]. Namun, prosedur ini harus dihindari pada pasien dengan cacat
tengkorak atau dengan alat pacu jantung, logam di kepala (elektroda, perangkat
stimulasi) atau peralatan lainnya yang dapat dipengaruhi (dislokasi, induksi arus
listrik) oleh medan magnet. Perhatian harus diberikan pada pasien dengan
epilepsi, karena risiko (bahkan epilepsi ringan!) kejang bisa terjadi. Tapi, tidak ada
efek samping yang telah dilaporkan pada wanita hamil yang diobati dengan HFrTMS terkait depresi refraktori, [137]; Namun, karena tidak ada bukti yang cukup,
rTMS tidak dianjurkan pada kondisi demikian [137].

23

Pertimbangan teknis
Efek paradoks pada rTMS (fasilitasi pada inhibitori LF-RTMS atau respon
decremental pada fasilitasi HFrTMS) telah dilaporkan pada pasien dengan migrain
[138-141]. Selain itu, efek dari rTMS dapat secara konsisten dimodulasi
(dipengaruhi) oleh beberapa obat (misalnya antiepilepsi seperti topiramate dan
valproate) yang digunakan dalam profilaksis migrain. Faktor-faktor ini harus
diperhitungkan ketika merencanakan dan/atau menafsirkan hasil uji stimulasi.
Batasan dan rekomendasi untuk penelitian di masa depan
Mengingat beberapa percobaan yang dilakukan dan hanya ada sedikit pasien
yang diteliti, tidak ada kesimpulan yang kuat yang bisa ditarik oleh penelitian ini
dan tidak pasti apakah efeknya itu bersifat akut, pencegahan atau keduanya. rTMS
tampaknya aman [136] dan alat efektif potensial untuk pengobatan pasien migrain
kronis yang menunjukkan resistensi terhadap pengobatan farmakologis [58].
Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menilai faktor yang mendasari efek terapi
(perubahan stimulasi korteks, lebih baik kontrol antinosiseptif, atau keduanya?).
sebaiknya dicari juga parameter stimulasi yang optimal (intensitas, frekuensi,
jumlah dan durasi sesi stimulasi). Hal penting lainnya adalah untuk menangani
daerah korteks sebaik mugkin untuk mengontrol rasa nyeri pada migrain, dan sisi
stimulasi yang paling manjur, meskipun sisi kiri telah lebih sering digunakan
dalam penelitian tentang kontrol nyeri [142]. Mungkin juga berguna untuk
membuat perangkat stimulasi yang bisa digunakan pasien di rumah.

- Stimulasi saraf kranial transkutan dan TENS


Latar belakang teoritis
Teknik stimulasi listrik transkutan memiliki tradisi panjang dalam
manajemen nyeri kronis. Teknik-teknik ini agak murah dan non-invasif, namun
bukti untuk efektivitas mereka secara keseluruhan masih berkualitas rendah [143].
Data juga terbatas pada penggunaan arus listrik untuk merangsang saraf kulit
24

(transcutaneous electrical nerve stimulation atau TENS) atau stimulasi saraf


kranial tertentu (supraorbital dan supratroklear) (tSNS) dalam pengobatan
gangguan Nyeri kepala. Definisi terbatas dari TENS adalah pemberian elektroda
pada permukaan arus listrik yang dihasilkan oleh perangkat untuk merangsang
saraf sensorik kulit untuk mengurangi rasa nyeri, baik yang akut dan kronis.
Pengobatan TENS memang menargetkan daerah yang menyakitkan (atau titik
akupuntur di elektroakupuntur), bukan saraf tertentu. Berdasarkan frekuensi
stimulasi, TENS dapat dibagi dalam frekuensi rendah (frekuensi <10 Hz) atau
frekuensi tinggi (frekuensi> 10 Hz). Karena dasar biologis analgesia TENS masih
bersifat spekulatif, 'teori umum' dari rasa Nyeri adalah penjelasan yang paling
dapat dipertahankan di sini tetapi pelepasan opioid endogen bisa juga dilibatkan
dalam definisi [144].
Data klinis TENS dan tSNS
TENS
Beberapa meta-analisis tentang kemanjuran TENS pada gangguan yang
menyakitkan telah menghasilkan hasil yang ambigu atau negatif terutama karena
metodologi dan/atau pelaporan yang tidak memadai [143,145-148]. Pengobatan
TENS untuk gangguan nyeri kepala muncul dalam literatur pada 1975 [149]. Efek
akut TENS diusulkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Solomon dan
Guglielmo yang diterbitkan pada tahun 1985. Enam puluh dua pasien dengan
migrain atau "nyeri kepala kontraksi otot", yang mengalami nyeri kepala pada saat
kunjungan mereka, dibagi menjadi 3 kelompok yang berbeda yang menerima
salah satu dari TENS penuh dengan frekuensi tinggi intensitas rendah, stimulasi
subliminal atau stimulasi plasebo selama 15 menit sekali yang menghasilkan
sedikit perbaikan persepsi rasa nyeri yang moderat dan signifikan segera setelah
intervensi [150]. Sebuah ulasan Cochrane pada 2004 menyimpulkan bahwa
penggunaan TENS untuk profilaksis nyeri kepala kronis/berulang (termasuk
migrain, nyeri kepala tipe tegang, nyeri kepala servikogenik dan nyeri kepala
pascatrauma) tidak didukung oleh bukti yang cukup [151], dan sejak saat itu,
hanya ada sangat sedikit data asli dari percobaan yang telah dihasilkan. Dalam uji

25

coba terakhir, efikasi intermiten TENS dengan intensitas rendah frekuensi tinggi
diberikan pada daerah temporal dan oksipital selama total 10 minggu
dibandingkan dengan efek pencegahan imipramine dari 50 mg per hari selama 3
bulan dalam sampel dari 138 pasien dengan nyeri kepala tipe tegang kronis [152].
Setelah 3 bulan dibandingkan dengan kondisi awal, intensitas nyeri kepala pada
skor VAS menunjukkan penurunan signifikan dalam kedua pendekatan tersebut,
tetapi angka penurunan pada kelompok imipramine lebih tinggi. Meskipun ukuran
sampelnya relatif besar, alat plasebo tidak dimasukkkan dan penggunaan skor
VAS sebagai hasil utama masih menjadi pertanyaan.
tSNS
Sebuah percobaan terkontrol acak multi-sentris dari Belgia baru-baru ini
tentang efikasi stimulasi saraf supraorbita transkutan (dan supratroklear) (tSNS)
pada migrain episodik, penelitian PREMICE, melibatkan 67 pasien dalam analisis
akhir [153]. Penurunan yang signifikan yaitu 2,06 dari hari-hari dengan nyeri
kepala per bulan diamati pada kelompok yang mendapat stimulasi penuh (p =
0,023) dibandingkan dengan kelompok yang hanya mencapai 0,32 hari yaitu
kelompok sham (p = 0,608) [153]. Perbandingan antara kedua kelompok
menggunaan signifikansi dengan selisih yang tipis (p = 0,054). Tingkat responden
yaitu 50% secara signifikan lebih tinggi pada kelompok verum (38,1%)
dibandingkan dengan kelompok sham (12,1%) (p = 0,023). Namun, efek yang
diamati hanya efek moderat dan meskipun ada sejumlah tindakan pencegahan
oleh peneliti, unblinding mungkin terjadi ketika stimulasi efektif menginduksi
parestesia [153]. Oleh karena itu, penilaian dari unblinding harus dilakukan untuk
penelitian neurostimulasi masa depan.
Keamanan dan efek samping yang merugikan
TENS dengan frekuensi tinggi yang diberikan pada intensitas rendah
dikaitkan dengan parestesia atas wilayah stimulasi, dan TENS frekuensi rendah
yang disampaikan pada intensitas tinggi dikaitkan dengan sensasi pegal yang
tajam atau bahkan kontraksi otot. Sensasi ini menghambat blinding yang yang
tepat dalam uji coba terkontrol.
26

Pertimbangan teknis
Blinding yang efektif dengan paradigma sham layak masih menjadi masalah
yang belum bisa ditangani dalam stimulasi transkutan saraf kranial dan TENS
membuat penelitian skala besar yang sulit. Selain itu, parameter stimulasi berbeda
dengan TENS penelitian dan pengaturan konsensus untuk penelitian klinis masih
hilang.
Batasan dan rekomendasi untuk penelitian di masa depan
Metodologi dalam penelitian nyeri kepala berbeda secara mendalam dan
paradigma sham yang meyakinkan belum ditetapkan. Saat ini tidak ada cukup
bukti untuk penggunaan TENS pada profilaksis nyeri kepala dan untuk mencegah
nyeri kepala akut.
Tapi, kurangnya bukti dari efek ini berbeda dengan bukti dari kurangnya
efek [143]. Sejauh ini, penelitian tunggal menunjukkan bukti kelas III bahwa
serangan migrain dapat dicegah dengan tSNS, tetapi ukuran efeknya memang
kecil, unblinding mungkin terjadi. Efek dari tSNS pada migrain yang sangat
sering atau kronis tidak diketahui, dan pasien refrakter dikeluarkan. Meluasnya
penggunaan di luar penelitian terkontrol dari modalitas pengobatan yang mungkin
berharga ini tidak dapat disahkan pada saat ini [153].
- Stimulasi medulla spinalis
Latar belakang teoritis
Teknik stimulasi nervus occipitalis (ONS) bisa mendapatkan manfaat dari
"fungsi tumpang tindih" dari akar servikal yang lebih tinggi dan nukleus
trigeminus untuk neuromodulasi, secara retrograde, kompleks trigemino-servikal
(TCC) [154,155]. Walaupun demikian, masuk akal bahwa penerapan pulsasi
listrik langsung ke columna dorsalis pada tingkat vertebra C2-C3 akan
memberikan efek neuromodulasi di TCC mirip dengan - jika tidak lebih besar dari
- stimulasi nervus occipitalis perifer. Stimulasi medulla spinalis telah digunakan
selama 30 tahun terakhir untuk meringankan nyeri kepala dan nyeri wajah yang
tidak bisa ditangani dengan pengobatan standar [156], tetapi membutuhkan
27

prosedur bedah saraf kompleks yang sangat mahal dan memakan waktu dengan
modus tindakan yang tidak diketahui.
Data klinis
Dilakukan di beberapa pusat khusus dan pada pasien yang telah diseleksi,
dan tidak pernah dilakukan pada desain terkontrol, bukan merupakan pilihan
praktis untuk nyeri kepala primer. Saat ini, stimulasi dengan frekuensi rendah dari
medulla spinalis-servikal (tingkat C2-C3) telah menunjukkan hasil yang positif
dalam serangkaian kasus pasien dengan CCH yang diimplantasi lead dengan
epidural servikal perkutan [157]. Penulis melaporkan pengurangan yang ditandai
pada frekuensi nyeri kepala (-4,6 serangan per hari), intensitas nyeri kepala (-2,9
pada skor VAS) dan durasi nyeri kepala (-27 menit per serangan) pada 7 pasien
yang diimplantasi. Prosedur ini juga memfasilitasi tahap pengujian 4-19 hari
sebelum implan permanen. Namun, penelitian ini dikritik [158].
Keamanan dan efek samping
Efek samping seperti migrasi lead, deplesi baterai dan infeksi lokal pada
pendekatan neuromodulator dan telah dilaporkan dalam stimulasi hipotalamus
otak [20-33,42], stimulasi nervus occipitalis [61,62,68], dan stimulasi ganglion
sphenoid [21]. Namun, tingkat yang dilaporkan pada SCS daerah servikal
tampaknya sangat tinggi [157158] dan menghasilkan prosedur invasif berulang,
kebanyakan revisi lead. Mengingat bahwa dislokasi lead adalah masalah yang
melekat dalam stimulasi medulla spinalis terutama di bagian tulang belakang
dengan mobilitas tinggi seperti servikal atas, metode yang tidak terlalu invasif
seperti stimulasi nervus occipitalis atau stimulasi ganglion sphenopalatina lebih
dipilih setidaknya sampai penelitian yang sedang berlangsung (lihat di bawah)
dipublikasikan.
Pertimbangan teknis
Frekuensi stimulasi yang berbeda sekarang sudah ada (stimulasi ledakan, 10
kHz stimulasi dengan frekuensi tinggi) pada SCS. Mereka memberikan alternatif

28

baru bagi perangkat (frekuensi rendah) stimulasi karena kemampuan untuk


mengatasi nyeri tanpa menyebabkan sensasi yang dipersepsi, tapi kemanjuran dan
potensi efek sampingnya tidak diketahui. Sebuah desain plasebo double-blind
sekarang dapat dipertimbangkan ketika merencanakan uji coba terkontrol secara
acak di masa depan pada SCS untuk nyeri kepala kronis refraktori.
Batasan dan rekomendasi untuk penelitian di masa depan
Sebuah "bukti dari konsep" penelitian percontohan menyelidiki tolerabilitas
awal dan kemanjuran SCS dengan frekuensi tinggi dalam pengobatan CM
refraktori sedang berlangsung (NCT01653340) dan hasil awal diharapkan akan
ada pada akhir tahun 2013. Sampai bukti yang tepat tersedia, saat ini kelompok
ahli merekomendasikan bahwa stimulasi saraf tulang belakang secara ketat
dihindari pada pasien dengan sindrom nyeri kepala primer.

Kesimpulan dan Rekomendasi Umum


Tujuan dari tulisan ini, sebagai hasil dari kolaborasi kelompok ahli
multidisiplin bidang neurostimulasi Federasi Nyeri Kepala Eropa, adalah untuk
memberikan

penilaian

dan

rekomendasi

untuk

penggunaan

perangkat

neuromodulasi yang saat ini tersedia dalam pengobatan nyeri kepala. Ikhtisar ini
didasarkan pada tingkat ilmiah yang diperoleh melalui penelitian terkontrol, pada
praktek klinis yang ada, efek samping yang berhubungan langsung dan keamanan
secara keseluruhan. Karena data yang tersedia mengenai berbagai pendekatan
stimulasi sangat langka dan bervariasi, rekomendasi ini juga didasarkan pada
definisi peningkatan yang signifikan secara klinis. Pada tahun 2008, rekomendasi
yang diajukan oleh panel Initiative on Methods, Measurement, and Pain
Assessment in Clinical Trials (IMMPACT) dan IHS menetapkan adanya
pengurangan 30% pada rasa nyeri yang bermakna secara klinis [31,32]. Para
penulis rekomendasi ini merasa bahwa persyaratan minimal ini hanya cukup pada
pasien kronis yang tidak bisa ditangani dengan medikasi, jika tidak, maka harus
ada pengurangan 50% dari rasa nyeri. Pencegahan nyeri kepala tentu menjadi satu
29

hal yang paling relevan secara klinis pada pasien yang tidak bisa ditangani dengan
medikasi dan alasan yang paling penting mengapa pasien mencari pengobatan.
Namun, penilaian uji klinis tidak boleh terbatas pada tingkat nyeri atau
menurunnya frekuensi nyeri kepala saja karena ini mungkin tidak diperlukan
untuk perbaikan klinis yang bermakna, tetapi harus mencakup tolerabilitas,
pengurangan cacat yang terkait dengan nyeri kepala, peningkatan kualitas hidup,
biaya perawatan dan peningkatan kapasitas fungsional. Sayangnya, data mengenai
parameter hasil ini kurang tersedia untuk perangkat neurostimulasi pada
pengobatan nyeri kepala.
Untuk semua metode dan perangkat yang disebutkan di atas, rekomendasi
unik dan efektif ini harus dilihat sebagai kualifikasi dasar dan persyaratan
tambahan untuk rekomendasi spesifik untuk masing-masing metode sebagai garis
besar dalam bab masing-masing.
1. Dari sudut pandang medis, penerapan neurostimulator, baik pada
percobaan atau atas dasar pengobatan klinis, harus dipertimbangkan
hanya ketika semua alternative pengobatan dan tindakan terapi
seperti yang direkomendasikan oleh pedoman internasional telah
gagal dan penyalahgunaan obat nyeri kepala telah disingkirkan.
2. Hal ini melibatkan pasien yang dianggap kronis, menurut definisi IHS
saat ini [39] dan telah dievaluasi di pusat perawatan nyeri kepala
tingkat tersier.
3. Hal ini melibatkan pasien yang dianggap tidak bisa ditangani dengan
medikasi seperti yang didefinisikan oleh konsensus internasional
[10].
4. Teknologi

medis

non-invasif

harus

dipertimbangkan

sebelum

implantasi neurostimulator dan pengobatan yang paling tidak invasif


dan paling efektif harus selalu menjadi terapi lini pertama.

30

Mengingat data yang heterogen dalam hal jumlah pasien, persyaratan


inklusi, diagnosis nyeri kepala, metode statistik dan kelengkapan data dalam
penelitian yang dipublikasikan, penulis tidak bisa secara tegas memberikan
peringkat metode neurostimulasi. Evaluasi global mengarah ke kesimpulan
berikut:
1. Pada CCH disarankan untuk menggunakan SPG [79,80] atau ONS
[55,59], sebelum mempertimbangkan menggunakan DBS. Meskipun
efek pengobatan klinisnya tampak sama, efek samping dari
pengobatan DBS yang lebih invasif harus dipertimbangkan [43]
2. Pada CM penggunaan ONS tampaknya bisa diterima meskipun
berdasarkan bukti yang terbatas. Penerapan tVNS noninvasif, tDCS,
RTMS, TENS dan tSNS untuk nyeri kepala kronis belum berbasis
bukti, mengingat hanya ada sedikit data yang terkontrol. Namun,
perlu disebutkan bahwa perangkat ini relatif tidak berbahaya jika
dibandingkan dengan perangkat neurostimulasi yang lebih invasif
dan mahal dan dapat dicoba sebelum menggunakan perangkat
neurostimulasi yang lebih invasif.
Para penulis mencatat bahwa terapi neurostimulasi nyeri kepala dan rasa
nyeri adalah bidang yang berkembang cepat dan tidak ada rekomendasi yang
dapat diberikan dengan menggunakan alat metodologi kedokteran berbasis bukti.
Salah satu alasannya adalah penggunaan yang masih terbatas kondisi dari plasebo
tepat atau sham control dan sham acak dan stimulasi subthreshold dimasukkan
hanya pada penelitian SPG pada nyeri kepala klaster akut. Sementara sham pada
prinsipnya yang tersedia di neuromodulasi pusat (DBS) [30] hampir tidak
mungkin dalam perangkat neuromodulasi perifer, mengingat bahwa stimulasi
saraf perifer selalu dirasakan. Walaupun demikian, kami menyarankan penelitian
terkontrol dan acak yang tepat yang diperlukan sebelum perangkat neurostimulasi
diimplementasikan dan secara klinis digunakan. Sebuah CE-mark tidak sama
dengan penelitian acak menurut persyaratan IHS, karena tidak ada data klinis
yang mendukung manfaat dari perangkat medis yang diperlukan untuk

31

memperoleh CE-mark, data itu hanya menunjukkan bahwa perangkat yang


bersangkutan mungkin tidak berbahaya. Para penulis menyarankan rekomendasi
berikut untuk percobaan klinis yang melibatkan perangkat neurostimulasi dalam
pengobatan nyeri kepala:
1.

Percobaan yang menyelidiki perangkat neurostimulator invasif


seharusnya hanya melibatkan pasien yang dianggap kronis, menurut definisi IHS
saat ini [38]. Jika metode yang diberikan terbukti manjur dalam kondisi kronis,
penelitian tindak lanjut dapat memperluas indikasi hingga ke kondisi episodik
dengan disabilitas yang parah, jika tidak cukup ditangani dengan medikasi.

2.

Percobaan yang menyelidiki perangkat neurostimulator hanya


harus melibatkan pasien yang tidak menderita penyalahgunaan obat nyeri kepala
dan dianggap tidak bisa diobati dengan medikasi seperti yang didefinisikan oleh
konsensus internasional [10].

3.

Penilaian uji klinis harus memiliki titik akhir primer dari derajat
peredaan nyeri atau pengurangan durasi nyeri kepala. Selanjutnya terhadap efek
samping, titik akhir sekunder harus mencakup pengurangan kecacatan terkait
nyeri kepala, peningkatan kualitas hidup dari nyeri spesifik dan peningkatan
kapasitas fungsional.
Singkatnya, neurostimulasi hanya harus dipertimbangkan pada pasien yang
telah mencoba semua terapi lini pertama yang direkomendasikan dalam pedoman
Eropa [3], dan bahwa dokter ahli nyeri dan nyeri kepala harus mengikuti
konsensus internasional untuk masalah ini [10,17]. Keterbatasan terbesar untuk
penggunaan klinis adalah kurangnya penelitian terkontrol yang tepat [159].
Akibatnya, setiap perangkat yang belum diteliti dalam penelitian terkontrol
tersebut dan belum terbukti efektif dengan profil efek samping yang dapat
diterima tidak boleh digunakan sama sekali. Para penulis mencatat bahwa hal itu
terkait kurang sesuainya kondisi plasebo pada perangkat neurostimulator selain
DBS. Sebagian besar uji coba yang tersedia benar-benar menggunakan intensitas
stimulasi ambang batas sarana sebagai kontrol, tetapi blinding pada pasien yang
tidak menunjukkan atau sedikit menunjukkan sensasi mungkin sulit untuk
32

mempertahankan. Hal ini penting untuk merekrut pasien naif neurostimulasi untuk
percobaan di masa depan, tetapi editorial baru-baru ini menunjukkan hal ini akan
menjadi tantangan yang meningkat karena peranan negatif dari media sosial (blog
internet, Facebook dsb.) [160]. Pedoman internasional, yang disepakati antara IHS
dan EHF tentang bagaimana untuk melakukan penelitian tersebut jelas diperlukan.

Singkatan
EHF: European Headache Federation; LTB: Lifting The Burden; EFIC: European
Federation of IASP Chapters; rCCH: Refractory chronic cluster headache; rCM:
Refractory chronic migraine; hDBS: Hypothalamic deep brain stimulation; ONS:
Occipital nerve stimulation; SPG: Stimulation of sphenopalatine ganglion; HFSCS: High frequency spinal cord stimulation; VNS: Vagal nerve stimulation;
tDCS: Transcranial direct current stimulation; rTMS: Repetitive transcranial
magnetic stimulation; tSNS: Transcutaneous stimulation of cranial nerves; TENS:
Transcutaneous electrical nerve stimulation.

33

Anda mungkin juga menyukai