TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
2.1.1 Nasofaring
Nasofaring adalah ruang trapezoid di belakang koana yang berhubungan
dengan orofaring dan terletak di superior palatum molle. Ukuran nasofaring pada
orang dewasa yaitu 4 cm tinggi, 4 cm lebar dan 3 cm pada dimensi anteroposterior.
Dinding posteriornya sekitar 8 cm dari aparatus piriformis sepanjang dasar hidung
(Chew, 1997). Bagian atap dan dinding posterior dibentuk oleh permukaan yang
melandai dibatasi oleh basis sfenoid, basis oksiput dan vertebra cervical I dan II.
Dinding anterior nasofaring adalah daerah sempit jaringan lunak yang merupakan
batas koana posterior. Batas inferior nasofaring adalah palatum molle. Batas dinding
lateral merupakan fasia faringobasilar dan m. konstriktor faring superior (Witte and
Neel, 1998; Lin, 2006)
Tuba Eustachius membelah dinding lateral ini, masuk dari telinga tengah ke
nasofaring melalui celah di fasia faringobasilar di daerah posterosuperior, tepat di
atas batas superior muskulus konstriktor faring superior, disebut fossa russenmuller
(resessus faringeal). Fossa russenmuller merupakan tepi dinding posterosuperior
nasofaring, yang merupakan tempat asal munculnya sebagian besar KNF dan yang
paling sensitif terhadap penyebaran keganasan pada nasofaring.
glossofaringeus, hanya daerah superior nasofaring dan anterior orifisuim tuba yang
mendapat persarafan sensoris dari cabang faringeal ganglion sfenopalatina yang
berasal dari cabang maksila saraf trigeminus (V1) (Gibb, 1999).
terjadi sampai dengan 75% penderita KNF, yang mana setengahnya datang dengan
kelenjar limfe bilateral (Dhingra, 2004).
2.2 Karsinoma Nasofaring
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel
permukaan nasofaring (Brennan, 2006). Tumor ini bermula dari dinding lateral
nasofaring (fosa russenmuller) dan dapat menyebar ke dalam atau keluar nasofaring
menuju dinding lateral, posterosuperior, dasar tengkorak, palatum, kavum nasi, dan
orofaring serta metastase ke kelenjar limfe leher (Gustafson dan Neel, 1989).
2.2.1 Epidemiologi
Angka insiden karsinoma nasofaring cukup tinggi tergantung dari letak
geografinya (Khabir et al., 2005). Berdasarkan data IARC (International Agency for
Research on Cancer) pada tahun 2002 ditemukan sekitar 80.000 kasus baru KNF
di seluruh dunia dan sekitar 50.000 kasus meninggal diantaranya adalah berasal
dari Cina sekitar 40% (Ma and Cao, 2010). Umur rata-rata penderita KNF yaitu 45-55
tahun, dengan 23.3 kasus/100.000 laki-laki dan 8.9 kasus/100.000 perempuan.
Rasio laki-laki : perempuan yaitu 2-3 : 1 (Lo et al., 2004; Lo, 2007; Ma and Cao,
2010). Di Indonesia memberikan hasil yang beragam, dengan laki-laki lebih banyak
menderita KNF daripada perempuan seperti yang telah dilaporkan oleh Armiyanto
(2003) 2,2:1; Lutan (2003) 2,3:1; Henny (2004) 2,4:1; Masrin (2005) dan Harahap
(2009) dengan 2,5:1. Kelompok umur yang terbanyak terjadi adalah pada umur 4150 tahun. Insiden tertinggi dilaporkan berasal dari provinsi Guandong dan daerah
Guangxi Cina Selatan yaitu mencapai lebih dari 50 per 100.000 orang/tahun
(Ganguly, 2003; Ma and Cao, 2010). Etnis Cina yang bermigrasi ke luar negeri juga
mempunyai angka insiden yang tinggi, tetapi etnis Cina yang lahir di Amerika Utara,
mempunyai angka insiden yang rendah dibandingkan dengan yang lahir di Cina
(Chou et al., 2008). Temuan ini mengindikasikan bahwa faktor genetik, etnik, dan
penyebab kerentanan timbulnya KNF pada suku Batak adalah alel gen HLADRB1*08 (Delfitri M, 2007).
kebiasaan/makanan
telah
dilaporkan
berhubungan
dengan
meningkatnya resiko dari KNF. Mengkomsumsi ikan asin dan makanan yang
diawetkan yang mengandung volatile nitrosamin, merupakan faktor karsinogenik
yang penting yang berhubungan dengan KNF. Dan telah terbukti bahwa
mengkonsumsi ikan asin sejak anak-anak meningkatkan resiko KNF di Cina Selatan
(Ganguly, 2003; Lo et al., 2004; Can et al., 2005; Lin, 2006).
Clifford dan Bulbrook dalam penelitiannya yaitu orang Afrika, Kenya yang
hidup dengan ventilasi rumah yang jelek dengan asap yang terperangkap di dalam
rumah, meningkatkan angka kejadian KNF. Mereka melaporkan asap yang berasal
dari kayu bakar mengandung zat karsinogen yang akan terakumulasi pada dinding
nasofaring posterior dan lateral, dengan waktu terpapar sampai beberapa jam sehari
selama bertahun-tahun (Ganguly, 2003).
Juga telah dilaporkan orang yang mengkonsumsi rokok selama 10 tahun atau
lebih mempunyai resiko yang tinggi terhadap KNF, tetapi paparan yang rendah
terhadap asap rokok sebagai perokok pasif dan mengkonsumsi alkohol bukan
merupakan faktor resiko KNF (Ganguly, 2003).
Penelitian yang dilakukan oleh Nolodewo, dkk di RS Dr. Kariadi Semarang
menyatakan bahwa paparan formaldehid bentuk uap dan asap yang terhirup
berpengaruh paling besar terhadap kejadian KNF, keduanya terbukti secara
bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian KNF (Nolodewo,
Yuslam, Muyassaroh, 2007).
b. Obstruksi hidung
Gejala ini biasanya menetap dan bertambah berat. Gejala ini akibat
pertumbuhan massa tumor menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis,
kadang-kadang disertai dengan gangguan penciuman. Bila terjadi obstruksi
hidung total menunjukkan stadium yang lanjut dari KNF.
2.2.3.2 Gejala Lanjut
1. Limfadenopati Servikal
Ditandai dengan pembesaran kelenjar limfe regional yang merupakan
penyebaran terdekat secara limfogen dari KNF. Dapat terjadi unilateral atau
bilateral. Kelenjar limfe retrofaringeal (Rouviere) merupakan tempat pertama
penyebaran sel tumor ke kelenjar, tetapi pembesaran kelenjar limfe ini tidak
teraba dari luar. Ciri yang khas penyebaran KNF ke kelenjar limfe leher yaitu
terletak di bawah prosesus mastoid (kelenjar limfe jugulodigastrik), di bawah
angulus mandibula, di dalam otot sternokleidomastoid, konsistensi keras, tidak
terasa sakit, tidak mudah digerakkan terutama bila sel tumor telah menembus
kelenjar dan mengenai jaringan otot di bawahnya.
Lebih dari 40% dari seluruh kasus KNF, keluhan adanya tumor di leher ini
yang paling sering dijumpai dan yang mendorong penderita untuk datang berobat
(Soetjipto, 1989; Ahmad,2002).
2. Gejala Neurologis
Sindroma petrosfenoidal, akibat penjalaran tumor primer ke atas melalui
foramen laserum dan ovale sepanjang fosa kranii medial sehingga mengenai
saraf kranial anterior berturut-turut yaitu saraf VI, saraf III, saraf IV, sedangkan
saraf II paling akhir mengalami gangguan. Dapat pula menyebabkan parese
saraf V. Parese saraf II menyebabkan gangguan visus, parese saraf III
menyebabkan kelumpuhan otot levator palpebra dan otot tarsalis superior
parese
saraf
XI
menyebabkan
atrofi
otot
trapezius,
berinti banyak). Ditemukan sebanyak 95% pada semua kasus di daerah endemik,
namun di populasi resiko rendah seperti populasi pada populasi kulit putih Amerika
Utara hanya ditemukan sebanyak 60% (Witte and Neel, 1998).
Kebanyakan kasus KNF yang terjadi pada anak-anak dan remaja adalah
tipe 3, sedikit kasus pada tipe 2. Secara histologik, KNF WHO tipe 2 dan 3
berhubungan dengan infeksi laten VEB sekitar 65-100% kasus dan pada WHO tipe 1
pada daerah endemis, tetapi tidak terdapat pada WHO tipe 1 terutama pada daerah
nonendemis (Lo et al., 2004; Brennan, 2006; Chou et al., 2008).
2.2.5 Diagnosis
Diagnosa KNF ditegakkan dengan pemeriksaan klinis dan histopatologi.
Pemeriksaan histopatologi yaitu dengan melakukan biopsi massa pada nasofaring,
yang lebih baik dilakukan dengan bantuan nasofaringoskopi optik. Jika terdapat
pembesaran kelenjar getah bening leher, maka dilakukan aspirasi jarum halus. Untuk
mengetahui letak tumor dan penyebarannya secara akurat, direkomendasikan untuk
melakukan CT-Scan dan MRI nasofaring, dasar tengkorak dan leher. Foto rongten
toraks (anteroposterior dan lateral) untuk melihat penyebaran karsinoma nasofaring
ke daerah paru. Skrining tulang, abdomen biasanya juga dilakukan jika hasil klinis
dan laboratorium menunjukkan adanya suatu metastase (Brennan, 2006).
2.2.6 Stadium tumor
Terdapat beberapa cara untuk menentukan stadium KNF. Di beberapa
negara Asia digunakan penentuan stadium yang dikemukakan oleh Ho pada tahun
1978 (Hos system), sementara di Amerika dan Eropa lebih disukai penentuan
stadium sesuai dengan kriteria yang ditetapkan AJCC/UICC (American Joint
Committee on Cancer / International Union Against Cancer). Cara penentuan
stadium KNF yang terbaru adalah menurut AJCC/UICC edisi ke-6 tahun 2002, yaitu
(Brennan, 2006) :
fossa
supraklavikula
N2 : Metastasis ke KGB bilateral, ukuran 6 cm, terletak di atas fossa
supraklavikula
N3 : Metastasis ke KGB:
N3a : Ukuran KGB > 6 cm, di atas fossa supraklavikula
Stadium KNF
0
Tis
N0 M0
T1
N0 M0
IIa
T2a
N0 M0
IIb
III
IVa
T4
IVb
Semua T N3
IVc
Semua T N0-3 M1
N0-2 M0
M0
VEB dapat berada pada inti maupun sitoplasma sel dengan ukuran
diameter 75-200 nm. Struktur virus ini sama dengan struktur virus herpes
lainnya. Secara garis besar terdiri dari protein nukleoid yang terbungkus
bersama-sama dengan DNA (genom) virus dan disebut nukleokapsid, memiliki
162 kapsomer dan berbentuk ikosahedral. Selain itu terdapat pula subunit
protein lainnya yang terletak antara nukleokapsid dan envelop. Envelop virus
tersusun dari bagian membran inti maupun membran-membran sel yang berasal
dari sel host. Pada lapisan luar envelop terdapat beberapa tonjolan glikoprotein.
Protein kapsid yang utama adalah p160,47 dan 28 kDa, sedangkan tonjolan
envelop terbanyak adalah gp350/220 dan 152 kDa (Mongan dan Harahap,2000;
Ibrahim et al., 2001).
cells dan atau sel-sel epitel. Virus dilepaskan selama fase produktif yang
selanjutnya akan menginfeksi sel-sel B di sirkulasi yang melalui orofaring,
menghasilkan infeksi laten. VEB akan memicu limfosit B untuk berproliferasi,
yang mana hal ini akan diekspresikan oleh spesific growth-promoting genes,
yang mempunyai kemampuan untuk menjadi tumor (Murray et al., 2001; Korcum
et al., 2006).
Infeksi VEB yang utama adalah infeksi laten, tetapi VEB pada waktu
tertentu dapat teraktivasi kembali dan tereplikasi menjadi infeksi litik. Perubahan
infeksi laten menjadi litik dipicu oleh VEB immediate-early transcription factor
ZEBRA (BZLF1, Zta, Z, EB1). ZEBRA mengaktifkan promotor gen infeksi litik
VEB berikatan dengan ZREs (ZEBRA Response Elements), yang menginduksi
kaskade ekspresi dari lebih 50 gen virus. ZEBRA juga menurunkan regulasi
latency-associated promotor, yang merupakan bagian dari faktor replikasi,
menginduksi tertahannya siklus sel host, mengubah respon imun seluler dan
aktivitas faktor transkripsi. Hasil dari perubahan ini adalah transkripsi yang luas
pada gen virus dan terbentuknya EA dan antigen lanjut VCA (Petosa et al.,
2006).
.
Gambar 2.3.1. Siklus hidup Virus Epstein-Barr (Thompson et al.,2004)
Pada infeksi primer VEB, diproduksi tiga antibodi yaitu IgG, IgM, IgA
untuk melawan VCA dari VEB, dua antibodi IgG dan IgA diproduksi untuk
melawan EA D, serta satu antibodi IgG untuk merespon EA R (Thompson and
Kurzrock, 2004).
Pada masa laten, VEB menghasilkan enam VEB nuklear antigen (EBNA
1, 2, 3A, 3B, 3C, dan LP), dan tiga Latent membrane Protein (LMP1, 2A, 2B),
serta dua VEB Non-Polyadenylated RNAs (EBERs) (Zheng et al., 2007)
2.3.2
antara VEB dan KNF dengan menggunakan hibridisasi in situ dan pemeriksaan
anticomplement and immunoflorecent (ACIF). Old et al melaporkan adanya
peningkatan titer antibodi terhadap antigen VEB pasien KNF, khususnya IgA
anti VCA dan EA, yang ditemukan pada serum pasien. Konsentrasi titer IgAVCA 1/10 menandakan adanya infeksi VEB. (Okano, 2000; Leung et al.,
2004). Pada penelitian lain disebutkan bahwa ekspresi dari gen laten VEB pada
sel-sel KNF menguatkan bukti adanya VEB (Gullo et al., 2008).
Ekspresi dari Early Antigen VEB pada pertumbuhan KNF dengan VEB
positif, dihubungkan dengan mengkonsumsi ikan asin dan makanan yang
diawetkan diduga berhubungan dengan faktor kebiasaan atau pola makan
(Gullo et al., 2008).
EBNA1 dan LMP1 yang merupakan produk onkogen VEB terbukti
menyebabkan transformasi sel epitel faring dan imortalisasi limfosit B. Adanya
partikel VEB pada jaringan tumor spesimen biopsi penderita KNF secara
konsisten, mendukung hipotesis VEB sebagai faktor etiologi utama pada KNF
(Niedobitek, 2000).
Tingginya kadar antibodi terhadap protein VEB pada orang sehat yyang
kemudian menderita KNF, dan pada penderita dengan tumor primer ataupun
yang mengalami kekambuhan menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara
VEB dengan KNF. Adanya infeksi VEB yang laten pada sel-sel KNF dan tidak
didapatkan pada epitel yang normal, memperkuat dugaan adanya hubungan
yang kuat antara VEB dan KNF (Liebowitz et al., 1994; Pathmanathan et al.,
1995; Murray et al., 2001).
2.4 Latent Membrane Protein 1 (LMP1)
Latent membrane protein 1 (LMP1) salah satu antigen dari VEB yang
diekspresikan pada fase laten dari VEB. Infeksi VEB telah diduga sebagai
penyebab dari KNF dan LMP1 memegang peranan penting dalam aktifitas
transformasi VEB pada KNF. (Sheen et al., 1999; Lo et al., 2003).
LMP1 merupakan protein membran dengan berat molekul 60-66
kDa, berasal dari transkripsi BNLF1. Protein ini terdiri dari 25 amino acid
intracytoplasmis N-terminus yang mengandung sedikit peptida berfungsi untuk
sebagai sinyal dan merupakan tempat ikatan dengan vimentin (protein dari
matriks seluler) (Hu, 1996).
CTAR-2 (asam amino 351-386) berlokasi di daerah ekstrim C terminal dari LMP
1 dan dibutuhkan untuk pertumbuhan VEB di dalam sel dalam waktu yang lama
(Xu et al., 2000).
Aktivasi dari transkripsi faktor NF-B merupakan indikasi pertama yang
penting bagi penyimpangan sinyal sel dari LMP 1. CTAR-1 dan CTAR-2 dapat
mengaktifkan NF-B secara independen. Sekitar 70-80% dari CTAR-2 dari LMP
1 merupakan mediator yang mengaktifkan NF-B melalui interaksinya dengan
Tumor Nekrosis Factor Receptor (TRAFs) - associated death domain protein
(TRADD). Sedangkan sisanya 20-30% dari LMP 1 sebagai mediator aktivasi
NF-B dicapai melalui CTAR-1 yang berinteraksi dengan beberapa TNFR
associated factor (TRAFs) (Damania, 2004).
LMP1 oleh 3 C-terminal activation region 1,2,3 (CTAR1, CTAR2,CTAR3).
LMP1 CTAR1 menginduksi NIK/IKKs dan fosforilase IB, yang akan
mengekspresikan p65 dan p50 kemudian mengaktivasi NF-B melalui TRAF1,
TRAF2 dan TRAF3, yang juga menginduksi jaras PI3K yang akan mengaktivasi
Akt (protein kinase B, PKB) sementara CTAR2 mengaktivasi NF-B melalui
TRADD, dan TRAF2. NF-B aktif menginduksi immortalisasi sel melalui
peningkatan regulasi aktivitas telomerase melalui translokasi ikatan protein
hTERT ke NF-B, menghambat apoptosis sel melaui peningkatan regulasi
aktivitas survivin, dan merangsang proliferasi sel melalui regulasi survivin,
Cycline D1 dan EGFR dan lain-lain. Juga, LMP1 dapat meningkatkan tingkat
fosforilasi serine dari Annexin A2 oleh aktivasi jaras penandaan PKC yang dapat
merangsang proliferasi sel. LMP1 CTAR2 memicu AP-1 dengan mengaktifkan
ERK, P38 dan c-Jun N-Terminal kinase (JNKs), anggota stress activated group
dari MAP kinase, melalui pengikatan dengan kompleks TRADD/TRAF2. AP-1
aktif meningkatkan regulasi ekspresi MMP9 dan memediasi invasi dan
metastasis sel KNF. LMP1 CTAR3 antara CTAR1 dan CTAR2 memicu jaras
Gambar 2.5 Jaras LMP1 pada karsinogenesis KNF (Zheng et al, 2007)
LMP1 mendapat perhatian yang besar dari para peneliti oleh karena
LMP1 menghambat differensiasi keratin (in vivo) dengan adanya perubahan
morfologi sel dan mengubah fibroblas dan sel-sel epitel pada penelitian in vitro
(Dawson et al., 1990; Hu et al.,1995). LMP1 mengubah sel-sel limfoid yang
diekspresikan oleh aktivasi antigen sel B, molekul adhesi, reseptor transferrin,
dan sensitifitas terhadap TGF-beta, yang mana hal ini akan menghambat
apoptosis dengan meningkatnya level Bcl-2 (Lo et al., 2003).
TAHUN
Sempere et al.
1996
Spanyol
Sheen et al.
1999
Taiwan
LMP1 (+)
KETERANGAN
kasus)
dengan EGFR
NAMA
TAHUN
LMP1 (+)
Gondhowiarjo
2000
Indonesia
2001
Jepang
Horikawa et al.
2001
Jepang
2002
2003
Jerman
Murono et al.
Dietz et al.
KETERANGAN
2004
kasus)
dengan metastase
Korea
Kadkhoda
2007
33%
Swedia
Muhtadi AI
2007
Indonesia
Punagi
2007
42,1%
2009
66,7%
Indonesia
LMP1
berhubungan
dengan
Murtono et al.
Indonesia
Wakisaka et al. dan Kondo et al. menemukan bahwa LMP1 VEB dapat
mengaktivasi Hypoxia-inducible factor 1 (HIF 1) mengalami up-regulasi pada
sebagian besar malignansi. Up-regulasi HIF 1 oleh LMP1 VEB ditemukan pada
KNF dengan jenis histopatologi WHO tipe II dan III, sehingga HIF 1 juga
berperan dalam tumorigenesis pada keganasan yang disebabkan oleh VEB.
Horikawa et al. menemukan bahwa LMP1 VEB pada KNF dapat
menginduksi transisi epitel mesenkim (epithelial-mesenchymal transition/EMT)
melalui Twist (sebuah regulator utama transkripsi pada embriogenesis) dan
memberikan kontribusi kepada karakter KNF yang mempunyai sifat metastasis
yang tinggi.
2.5. Penatalaksanaan
2.5.1 Radioterapi
Radioterapi merupakan pengobatan utama pada KNF. Tumor ini sangat
radiosensitif dengan 5-year survival rate 84% pada stadium I dan 68% pada
stadium II. Angka kesembuhan akan berkurang pada stadium lanjut (stadium III
dan IV). Pada pasien yang mengalami rekuren lokal, radiasi ulang dapat
menyelamatkan 30% penderita. Radioterapi juga efektif terhadap terapi paliatif
pada kasus yang sudah metastasis jauh (Wee et al., 1999; Tan and Soh, 1999).
Radioterapi pada penderita KNF tanpa metastasis merupakan terapi
kuratif utama, yang dapat diberikan dalam dua tipe yaitu radioterapi eksternal
dan brakhiterapi. Radioterapi eksternal diberikan pada tumor primer dan nodul
servikal yang terlibat metastasis. Disamping itu radioterapi eksternal ulang dapat
juga diberikan pada tumor yang rekuren (Teo, 1999).
Walaupun demikian, hasil pengobatan radiasi ini pada stadium lanjut tidak
memberikan hasil yang memuaskan oleh karena tingginya angka kekambuhan
dan metastasis jauh (Korcum et al., 2006).
Biasanya, dosis radioterapi diberikan pada tumor primer dengan dosis
antara 65 75 Gy dan jika ada keterlibatan nodul leher dosisnya 65 70 Gy.
Radiasi elektif dengan tidak adanya nodul, dosis diberikan 50 60 Gy. Terapi
dengan dosis tersebut pada derajat tumor T1 dan T2 berhasil pada 75% - 90%
kasus, pada derajat tumor T3 dan T4 sebesar 50% - 75% kasus. Kasus dengan
keterlibatan nodul pada N0 dan N1 memberikan keberhasilan dengan 90%,
tetapi pada N2 dan N3 hanya 70% (Wei, 2006)
Setelah diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon
terhadap radiasi. Respon dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening leher dan
pengecilan tumor primer di nasofaring. Penilaian respon radiasi berdasarkan
kriteria WHO :
- Complete Response: menghilangkan seluruh kelenjar getah bening yang
besar.
- Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau lebih.
- No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap.
- Progressive Disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25% atau lebih.
2.5.3. Kemoterapi
Penatalaksanaan KNF pada stadium lanjut, kemoterapi dikombinasikan
dengan radioterapi. Kemoterapi biasanya digunakan pada kasus KNF yang
rekuren atau yang telah bermetastasis (Wei and Sham, 2005).
Mekanisme kerja kemoterapi adalah sebagai antimetabolit, mengganggu
struktur dan fungsi DNA serta inhibitor mitosis. Antimetabolit bekerja dengan
menghambat biosintesis purin atau piramidin, sehingga dapat mengubah
struktur DNA dan menahan replikasi sel (Lika, 1999).
Kemoterapi yang paling sering digunakan adalah kombinasi antara
Cisplatin dan 5-fluoruracil (5-FU). Cisplatin bekerja sebagai sitotoksik juga
radiosensitisizer.
Cara pemberian kemoterapi terbagi 3 cara, yaitu:
1. Kemoterapi neoadjuvant
yaitu pemberian kemoterapi mendahului pembedahan dan radiasi.
Kemoterapi neoajuvan dimaksudkan untuk mengurangi besarnya tumor
sebelum radioterapi. Pemberian kemoterapi neoadjuvant didasari atas
pertimbangan vascular bed tumor masih intak sehingga pencapaian obat
menuju massa tumor masih baik. Disamping itu, kemoterapi yang diberikan
sejak dini dapat memberantas mikrometastasis sistemik seawal mungkin.
Kemoterapi neoadjuvan pada keganasan kepala leher stadium II IV
dilaporkan overall response rate sebesar 80 %- 90 % dan CR (Complete
Response) sekitar 50%. Kemoterapi neoadjuvan yang diberikan sebelum terapi
definitif berupa radiasi dapat mempertahankan fungsi organ pada tempat
tumbuhnya tumor (organ preservation) (Sukardja, 2000 ; Airoldi et al., 2009).
2. Kemoterapi konkomitan
Yaitu kemoterapi yang diberikan secara bersamaan dengan
radioterapi. dimaksud untuk mempertinggi manfaat radioterapi. Dengan
cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang sensitif terhadap
kemoterapi dan mengubah sel kanker yang radioresisten menjadi lebih
sensitif
terhadap
radiasi.
Keuntungan
kemoradioterapi
adalah
3. Kemoterapi adjuvant
Tujuan pemberian kemoterapi adjuvant adalah pemberian
kemoterapi yang dilakukan setelah radioterapi defenitif. Regimen
kemoterapi yang dipakai biasanya mengandung Cisplatin. Pemberian
kemoterapi ini menunjukkan hasil yang lebih baik untuk harapan hidup
bebas penyakit dan pencegahan metastase jauh.
2.5.4 Pembedahan
Pembedahan hanya sedikit berperan dalam penatalaksanaan KNF.
Terbatas pada diseksi leher radikal untuk mengontrol kelenjar yang
radioresisten dan metastase leher sesudah radioterapi, pada pasien tertentu
pembedahan penyelamatan (salvage treatment) dilakukan pada kasus
rekurensi di nasofaring atau kelenjar leher tanpa metastase jauh (Chew,
1997; Wei, 2003; Wei, 2006; Lutzky et al., 2008).
metabolisme
karsinogen,
menghambat
proliferasi
sel
dan