Anda di halaman 1dari 34

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
2.1.1 Nasofaring
Nasofaring adalah ruang trapezoid di belakang koana yang berhubungan
dengan orofaring dan terletak di superior palatum molle. Ukuran nasofaring pada
orang dewasa yaitu 4 cm tinggi, 4 cm lebar dan 3 cm pada dimensi anteroposterior.
Dinding posteriornya sekitar 8 cm dari aparatus piriformis sepanjang dasar hidung
(Chew, 1997). Bagian atap dan dinding posterior dibentuk oleh permukaan yang
melandai dibatasi oleh basis sfenoid, basis oksiput dan vertebra cervical I dan II.
Dinding anterior nasofaring adalah daerah sempit jaringan lunak yang merupakan
batas koana posterior. Batas inferior nasofaring adalah palatum molle. Batas dinding
lateral merupakan fasia faringobasilar dan m. konstriktor faring superior (Witte and
Neel, 1998; Lin, 2006)
Tuba Eustachius membelah dinding lateral ini, masuk dari telinga tengah ke
nasofaring melalui celah di fasia faringobasilar di daerah posterosuperior, tepat di
atas batas superior muskulus konstriktor faring superior, disebut fossa russenmuller
(resessus faringeal). Fossa russenmuller merupakan tepi dinding posterosuperior
nasofaring, yang merupakan tempat asal munculnya sebagian besar KNF dan yang
paling sensitif terhadap penyebaran keganasan pada nasofaring.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1.1. Anatomi Nasofaring (Witte and Neel, 1998)

Fossa russenmuller mempunyai hubungan anatomi dengan sekitarnya,


sehingga berperan dalam kejadian dan prognosis KNF. Tepat di atas apeks dari
fossa russenmuller terdapat foramen laserum, yang berisi arteri karotis interna
dengan sebuah lempeng tipis fibrokartilago. Lempeng ini mencegah penyebaran
KNF ke sinus kavernosus melalui karotis yang berjalan naik. Tepat di anterior fossa
russenmuller, terdapat nervus mandibula (V3) yang berjalan di dasar tengkorak
melalui foramen ovale. Kira-kira 1.5 cm posterior dari fossa russenmuller terdapat
foramen jugulare, yang dilewati oleh saraf kranial IX-XI, dengan kanalis hipoglosus
yang terletak paling medial (Witte and Neel, 1998).
Fossa russenmuller yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini
merupakan tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi ruang ini menjadi 3
kompartemen, yaitu : 1) kompartemen prestiloid, berisi a. maksilaris, n. lingualis dan
n. alveolaris inferior; 2) kompartemen poststiloid, yang berisi sarung karotis; dan 3)
kompartemen retrofaring, yang berisi kelenjar Rouviere. Kompartemen retrofaring ini
berhubungan dengan kompartemen retrofaring kontralateral, sehingga pada

Universitas Sumatera Utara

keganasan nasofaring mudah terjadi penyebaran menuju kelenjar limfa leher


kontralateral. Lokasi fossa russenmuller yang demikian itu dan dengan sifat KNF
yang invasif, menyebabkan mudahnya terjadi penyebaran KNF ke daerah sekitarnya
yang melibatkan banyak struktur penting sehingga timbul berbagai macam gambaran
klinis (Witte and Neel, 1998; Lin, 2006).
Dinding daerah nasofaring mengandung komponen lapisan otot, jaringan
fibrosa dan mukosa. Dinding lateral daerah nasofaring dibentuk oleh muskulus
konstriktor superior. Ruang antara tepi atas muskulus konstriktor superior dan dasar
tengkorak disebut sinus Morgagni. Daerah ini dilindungi oleh fasia faringobasilar
yang ditunjang oleh muskulus levator veli palatini. Ujung medial dari tuba Eustachius
membentuk sebuah penonjolan (torus tubarius) yang terletak di bagian atas dinding
lateral. Dari tepi posterior orifisium tuba Eustachius terdapat sebuah lipatan mukosa
yang dibentuk oleh muskulus salpingofaringeus, berjalan ke bawah dan turun secara
bertahap pada dinding faring bagian lateral. Lapisan fibrosa terdiri dari dua lapisan
yan berada di sebelah dalam dan di sebelah luar muskulus konstriktor. Kedua
lapisan ini bersambunng dengan fasia di leher. Lapisan luar atau fasia bukofaring
menutupi bagian superfisial muskulus konstriktor superior. Komponen dalam atau
aponeurosis faringeal yang berada di antara lapisan mukosa dan muskulus
konstriktor adalah bagian dari fasia faringobasilar. Kedua lapisan fasia pada tepi atas
muskulus konstriktor superior naik ke arah dasar tengkorak sebagai bagian
tersendiri.
Lapisan mukosa ialah daerah nasofaring yang dilapisi oleh mukosa dengan
epitel kubus berlapis semu bersilia pada daerah dekat koana dan daerah di sekitar
atap, sedangkan pada daerah posterior dan inferior nasofaring terdiri dari epitel
skuamosa berlapis. Daerah dengan epitel transisional terdapat pada daerah
pertemuan antara atap nasofaring dan dinding lateral. Lamina propria seringkali

Universitas Sumatera Utara

diinfiltrasi oleh jaringan limfoid, sedangkan lapisan submukosa mengandung kelenjar


serosa dan mukosa (Gibb, 1999).
2.1.2 Perdarahan dan persarafan
Pembuluh darah arteri utama yang memperdarahi daerah nasofaring adalah
arteri faringeal asendens, arteri palatina asendens, arteri palatina desendens, dan
cabang faringeal arteri sfenopalatina. Semua pembuluh darah tersebut berasal dari
arteri karotis eksterna dan cabang-cabangnya. Pembuluh darah vena berada di
bawah membran mukosa yang berhubungan dengan pleksus pterigoid di daerah
superior dan fasia posterior atau vena jugularis interna di bawahnya (Gibb, 1999).

Gambar 2.1.2 Perdarahan nasofaring, dikutip dari Atlas Netter

Daerah nasofaring dipersarafi oleh pleksus faringeal yang terdapat di atas


otot konstriktor faringeus media. Pleksus faringeus terdiri dari serabut sensoris saraf
glossofaringeus (IX), serabut motoris saraf vagus (X) dan serabut saraf ganglion
servikalis simpatikus. Sebagian besar saraf sensoris nasofaring berasal dari saraf

Universitas Sumatera Utara

glossofaringeus, hanya daerah superior nasofaring dan anterior orifisuim tuba yang
mendapat persarafan sensoris dari cabang faringeal ganglion sfenopalatina yang
berasal dari cabang maksila saraf trigeminus (V1) (Gibb, 1999).

Gambar 2.1.3. Persarafan nasofaring, dikutip dari Atlas Netter

2.1.3 Sistem limfatik


Nasofaring mempunyai pleksus submukosa limfatik yang luas. Kelompok
pertama adalah kelompok nodul pada daerah retrofaringeal yang terdapat pada
ruang retrofaring antara dinding posterior nasofaring, fasia faringobasilar dan fasia
prevertebra (Chew, 1997). Pada dinding lateral terutama di daerah tuba Eustachius
paling kaya akan pembuluh limfe. Aliran limfenya berjalan ke arah anterosuperior
dan bermuara di kelenjar retrofaringeal atau ke kelenjar yang paling proksimal dari
masing-masing sisi rantai kelenjar spinal dan jugularis interna, rantai kelenjar ini
terletak di bawah otot sternokleidomastoid pada tiap prosessus mastoid. Beberapa
kelenjar dari rantai jugular letaknya sangat dekat denan saraf-saraf kranial terakhir
yaitu saraf IX,X,XI,XII (Bourhis et al, 1999). Metastase ke kelenjar limfe ini dapat

Universitas Sumatera Utara

terjadi sampai dengan 75% penderita KNF, yang mana setengahnya datang dengan
kelenjar limfe bilateral (Dhingra, 2004).
2.2 Karsinoma Nasofaring
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel
permukaan nasofaring (Brennan, 2006). Tumor ini bermula dari dinding lateral
nasofaring (fosa russenmuller) dan dapat menyebar ke dalam atau keluar nasofaring
menuju dinding lateral, posterosuperior, dasar tengkorak, palatum, kavum nasi, dan
orofaring serta metastase ke kelenjar limfe leher (Gustafson dan Neel, 1989).
2.2.1 Epidemiologi
Angka insiden karsinoma nasofaring cukup tinggi tergantung dari letak
geografinya (Khabir et al., 2005). Berdasarkan data IARC (International Agency for
Research on Cancer) pada tahun 2002 ditemukan sekitar 80.000 kasus baru KNF
di seluruh dunia dan sekitar 50.000 kasus meninggal diantaranya adalah berasal
dari Cina sekitar 40% (Ma and Cao, 2010). Umur rata-rata penderita KNF yaitu 45-55
tahun, dengan 23.3 kasus/100.000 laki-laki dan 8.9 kasus/100.000 perempuan.
Rasio laki-laki : perempuan yaitu 2-3 : 1 (Lo et al., 2004; Lo, 2007; Ma and Cao,
2010). Di Indonesia memberikan hasil yang beragam, dengan laki-laki lebih banyak
menderita KNF daripada perempuan seperti yang telah dilaporkan oleh Armiyanto
(2003) 2,2:1; Lutan (2003) 2,3:1; Henny (2004) 2,4:1; Masrin (2005) dan Harahap
(2009) dengan 2,5:1. Kelompok umur yang terbanyak terjadi adalah pada umur 4150 tahun. Insiden tertinggi dilaporkan berasal dari provinsi Guandong dan daerah
Guangxi Cina Selatan yaitu mencapai lebih dari 50 per 100.000 orang/tahun
(Ganguly, 2003; Ma and Cao, 2010). Etnis Cina yang bermigrasi ke luar negeri juga
mempunyai angka insiden yang tinggi, tetapi etnis Cina yang lahir di Amerika Utara,
mempunyai angka insiden yang rendah dibandingkan dengan yang lahir di Cina
(Chou et al., 2008). Temuan ini mengindikasikan bahwa faktor genetik, etnik, dan

Universitas Sumatera Utara

lingkungan memegang peranan penting terhadap meningkatnya KNF (Lo et al.,


2004). Insiden yang tinggi juga ditemukan pada penduduk Eskimo di Alaska,
Greenland dan Tunisia sebanyak 15-20 kasus per 100.000 orang per tahun. Angka
insiden sedang ditemukan pada daerah Afrika Utara dan Asia Tenggara (Vietnam,
Indonesia, Thailand, Filipina) yaitu antara 3-8 per 100.000/tahun. Dan jarang terjadi
pada negara Eropa dan Amerika Utara (Chew, 1997; Khabir et al., 2005; Lin, 2006).
Di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 1998-2002 ditemukan 130 penderita
KNF dari 1370 penderita baru onkologi kepala dan leher (Lutan, 2003).
2.2.2 Etiologi
Penyebab dari karsinoma nasofaring adalah multifaktor yaitu genetik, faktor
lingkungan/adat kebiasaan dan infeksi virus Epstein-Barr (VEB) (Ganguly, 2003;
Korcum et al., 2006)

2.2.2.1 Faktor Genetik


Tingginya angka insiden KNF di daerah Cina Selatan, baik yang tinggal di
Cina atau yang sudah bermigrasi, dan angka insiden sedang pada populasi
keturunan cina campuran, diduga mempunyai hubungan genetik dalam terjadinya
karsinoma nasofaring. Telah dilaporkan bahwa Histocompatibility Locus Antigen
(HLA) yaitu HLA-A2 (HLA-A*0207) dan HLA-Bsin2 berhubungan dengan KNF pada
orang Cina Selatan, tetapi jarang pada orang kulit putih. Dan telah diidentifikasi
bahwa terdapat kelainan pada beberapa kromosom, yaitu kromosom 1, 2, 3, 4, 5, 6,
8, 9, 11, 13, 14, 15, 16, 17, 22, dan kromosom X (Lo et al., 2004; Lin, 2006).
Penelitian di bagian THT FKUI/RSCM tahun 1997 didapatkan fenotip antigen HLA
kelas 1, HLA-A24 dan HLA-B63 untuk kemungkinan faktor penyebab bagi orang
Indonesia asli. (Chew, 1997; Ahmad, 2002; Cottrill and Nutting, 2003). Penelitian di
Medan menemukan alel gen paling tinggi pada penderita KNF suku Batak adalah
alel gen HLA-DRB1*12 dan HLA-DQB*0301 dimana alel gen yang potensial sebagai

Universitas Sumatera Utara

penyebab kerentanan timbulnya KNF pada suku Batak adalah alel gen HLADRB1*08 (Delfitri M, 2007).

2.2.2.2 Lingkungan/adat kebiasaan


Beberapa

kebiasaan/makanan

telah

dilaporkan

berhubungan

dengan

meningkatnya resiko dari KNF. Mengkomsumsi ikan asin dan makanan yang
diawetkan yang mengandung volatile nitrosamin, merupakan faktor karsinogenik
yang penting yang berhubungan dengan KNF. Dan telah terbukti bahwa
mengkonsumsi ikan asin sejak anak-anak meningkatkan resiko KNF di Cina Selatan
(Ganguly, 2003; Lo et al., 2004; Can et al., 2005; Lin, 2006).
Clifford dan Bulbrook dalam penelitiannya yaitu orang Afrika, Kenya yang
hidup dengan ventilasi rumah yang jelek dengan asap yang terperangkap di dalam
rumah, meningkatkan angka kejadian KNF. Mereka melaporkan asap yang berasal
dari kayu bakar mengandung zat karsinogen yang akan terakumulasi pada dinding
nasofaring posterior dan lateral, dengan waktu terpapar sampai beberapa jam sehari
selama bertahun-tahun (Ganguly, 2003).
Juga telah dilaporkan orang yang mengkonsumsi rokok selama 10 tahun atau
lebih mempunyai resiko yang tinggi terhadap KNF, tetapi paparan yang rendah
terhadap asap rokok sebagai perokok pasif dan mengkonsumsi alkohol bukan
merupakan faktor resiko KNF (Ganguly, 2003).
Penelitian yang dilakukan oleh Nolodewo, dkk di RS Dr. Kariadi Semarang
menyatakan bahwa paparan formaldehid bentuk uap dan asap yang terhirup
berpengaruh paling besar terhadap kejadian KNF, keduanya terbukti secara
bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian KNF (Nolodewo,
Yuslam, Muyassaroh, 2007).

Universitas Sumatera Utara

2.2.2.3 Virus Epstein-Barr (VEB)


Virus Epstein-Barr merupakan karsinogen yang menjadi penyebab beberapa
keganasan pada manusia, termasuk KNF. Hubungan antara KNF dan VEB telah
diteliti pada beberapa studi seroepidemik dari berbagai negara. Mereka meneliti
adanya DNA VEB persisten dan/atau virus determined nuclear antigen (EBNA) pada
sel-sel KNF. Henle dan Henle, pertama sekali menerangkan bahwa serum antibodi
IgA yaitu virus capsid antigen (VCA) dan early antigen (EA) berhubungan signifikan
dengan KNF (Ganguly, 2003; Lo et al., 2004). Infeksi laten VEB telah diidentifikasi
pada sel-sel kanker pada semua kasus KNF pada daerah endemik. VEB genome
juga telah dideteksi pada karsinoma yang invasif dan pada lesi displasia (Lo et al.,
2004). Protein virus laten (latent membrane protein 1 dan 2) memiliki efek yang
substansial pada ekspresi gen selular, menghasilkan pertumbuhan yang sangat
invasif serta pertumbuhan ganas dari karsinoma (Wei and Sham, 2005; Lutzky et al.,
2008).

2.2.3 Gejala Klinis


Keluhan penderita KNF berhubungan dengan lokasi tumor primer, derajat
dan arah penyebarannya (Soetjipto, 1989).
2.2.3.1 Gejala Dini
Menegakkan diagnosis KNF secara dini merupakan hal yang paling penting
dalam menurunkan angka kematian akibat penyakit ini. Gejala dini berupa :
Gejala Telinga
a. Oklusi tuba Eustachius/kataralis
Umumnya keluhan berupa rasa penuh di telinga, telinga berdengung
(tinitus), atau dengan gangguan pendengaran yang biasanya tuli konduktif dan

Universitas Sumatera Utara

bersifat unilateral. Gejala ini disebabkan karena pertumbuhan atau infiltrasi


tumor primer pada otot tuba dan mengganggu mekanisme pembukaan ostia
tuba. Tuba oklusi dapat menjadi permanen, jika tumor menyebar dan
menyumbat muara tuba.
b. Gangguan pendengaran
Sering bersifat tuli konduktif dan unilateral. Gejala ini disebabkan karena
otitis media serosa akibat gangguan fungsi tuba. Tuli saraf mungkin terjadi pada
penderita KNF tetapi sebagai efek radioterapi dan jarang akibat penyebaran
langsung tumor ke saraf VIII.
c. Otitis media serosa sampai perforasi membran timpani
Penyebabnya adalah sumbatan muara tuba Eustachius oleh massa
tumor.
d. Tinitus
Sering dijumpai pada penderita KNF, dapat sangat mengganggu dan sulit
diobati. Gejala ini juga disebabkan akibat gangguan fungsi tuba.
e. Otalgia
Gejala ini jarang ditemukan dan bila ada menunjukkan bahwa tumor telah
menginfiltrasi daerah parafaring dan mengerosi dasar tengkorak. Rasa sakit di
telinga akibat infiltrasi pada saraf glossofaringeus yang mempunyai cabang saraf
sensoris ke telinga tengah.
Gejala Hidung
a. Epistaksis
Umumnya berupa ingus bercampur darah yang dapat terjadi berulangulang dan biasanya dalam jumlah sedikit. Gejala ini timbul akibat permukaan
tumor rapuh sehingga pada iritasi ringan dapat terjadi perdarahan.

Universitas Sumatera Utara

b. Obstruksi hidung
Gejala ini biasanya menetap dan bertambah berat. Gejala ini akibat
pertumbuhan massa tumor menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis,
kadang-kadang disertai dengan gangguan penciuman. Bila terjadi obstruksi
hidung total menunjukkan stadium yang lanjut dari KNF.
2.2.3.2 Gejala Lanjut
1. Limfadenopati Servikal
Ditandai dengan pembesaran kelenjar limfe regional yang merupakan
penyebaran terdekat secara limfogen dari KNF. Dapat terjadi unilateral atau
bilateral. Kelenjar limfe retrofaringeal (Rouviere) merupakan tempat pertama
penyebaran sel tumor ke kelenjar, tetapi pembesaran kelenjar limfe ini tidak
teraba dari luar. Ciri yang khas penyebaran KNF ke kelenjar limfe leher yaitu
terletak di bawah prosesus mastoid (kelenjar limfe jugulodigastrik), di bawah
angulus mandibula, di dalam otot sternokleidomastoid, konsistensi keras, tidak
terasa sakit, tidak mudah digerakkan terutama bila sel tumor telah menembus
kelenjar dan mengenai jaringan otot di bawahnya.
Lebih dari 40% dari seluruh kasus KNF, keluhan adanya tumor di leher ini
yang paling sering dijumpai dan yang mendorong penderita untuk datang berobat
(Soetjipto, 1989; Ahmad,2002).
2. Gejala Neurologis
Sindroma petrosfenoidal, akibat penjalaran tumor primer ke atas melalui
foramen laserum dan ovale sepanjang fosa kranii medial sehingga mengenai
saraf kranial anterior berturut-turut yaitu saraf VI, saraf III, saraf IV, sedangkan
saraf II paling akhir mengalami gangguan. Dapat pula menyebabkan parese
saraf V. Parese saraf II menyebabkan gangguan visus, parese saraf III
menyebabkan kelumpuhan otot levator palpebra dan otot tarsalis superior

Universitas Sumatera Utara

sehingga menimbulkan ptosis, dan parese saraf III, IV dan VI menyebabkan


keluhan diplopia karena saraf-saraf tersebut berperan dalam pergerakan bola
mata, dan saraf V (trigeminus) dengan keluhan rasa kebas di pipi dan wajah
yang biasanya unilateral.
Sindroma parafaring/penjalaran secara retroparotidian, akibat tumor
menjalar ke belakang secara ekstrakranial dan mengenai saraf kranial posterior
yaitu saraf VII sampai XII dan cabang saraf simpatikus servikalis yang
menimbulkan sindroma Horner. Parese saraf IX menyebabkan keluhan sulit
menelan karena hemiparese otot konstriktor faringeus superior. Parese saraf X
menyebabkan gangguan motorik berupa afoni, disfoni, disfagia, spasme
esofagus, gangguan sensorik berupa nyeri daerah laring dan faring, dispnu, dan
hipersalivasi,

parese

saraf

XI

menyebabkan

atrofi

otot

trapezius,

sternokleidomastoideus serta hemiparese palatum molle, parese saraf XII


menyebabkan hemiparese dan atrofi sebelah lidah, sedangkan saraf VII dan VIII
jarang terkena karena letaknya agak tinggi.
KNF juga kadang-kadang menimbulkan gejala yang tidak khas berupa
trismus. Gejala ini timbul bila tumor primer telah menginfiltrasi otot pterigoid
sehingga menyebabkan terbatasnya pembukaan mulut. Gejala trismus sangat
jarang dijumpai tetapi lebih sering terdapat sebagai efek samping radioterapi
yang diberikan, sehingga menyebabkan degenerasi serat otot pterigoid dan
masseter.
Sakit kepala yang hebat merupakan gejala yang paling berat bagi
penderita KNF, biasanya merupakan stadium terminal dari KNF. Hal ini
disebabkan tumor mengerosi dasar tengkorak dan menekan struktur di
sekitarnya (Witte dan Neel, 1998; Ahmad, 2002).

Universitas Sumatera Utara

2.2.3.3 Gejala Metastasis jauh


Metastasis jauh dari KNF dapat secara limfogen atau hematogen, yang
dapat mengenai spina vertebra torakolumbar, femur, hati, paru, ginjal, dan limpa.
Metastasis jauh dari KNF terutama ditemukan di tulang (48%), paru-paru (27%),
hepar (11%) dan kelenjar getah bening supraklavikula (10%). Metastasis sejauh ini
menunjukkan prognosis yang sangat buruk, biasanya 90% meninggal dalam waktu 1
tahun setelah diagnosis ditegakkan (Chiesa and De Paoli, 2001).
2.2.4 Histopatologi
Pada 1978 WHO menetapkan KNF sebagai kanker yang berasal dari sel
skuamousa dan dibedakan berdasarkan mikroskop cahaya menjadi 3 tipe yaitu:

1. WHO Tipe 1 : karsinoma sel skuamosa berkeratin


2. WHO Tipe 2 : karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin
3. WHO Tipe 3 : karsinoma tidak berdiferensiasi

Gambaran histopatologi WHO tipe 1, khas tampak gambaran sekat


intraselular dan gambaran pembentukan keratin yang menonjol. Gambaran tersebut
menyerupai karsinoma sel skuamosa di daerah lainnya, seperti pada traktus
aerodigestivus. WHO tipe 1 ini terdapat pada 75% populasi kulit putih di Amerika
Serikat, non-Hispanic kulit putih tetapi jumlah tersebut hanya sebesar 1-2% pada
populasi endemik (Witte and Neel, 1998).
WHO tipe 2 memperlihatkan kematangan dari epitel skuamosa, tetapi
tidak ada gambaran pembentukan keratin (Witte dan Neel, 1998; Chou et al.,
2008).
Pada WHO tipe 3, terdapat sel-sel dengan morfologi yang bervariasi terdiri
dari nukleus vesikuler, gambaran nukleus yang menonjol dan sinsitia (sel raksasa

Universitas Sumatera Utara

berinti banyak). Ditemukan sebanyak 95% pada semua kasus di daerah endemik,
namun di populasi resiko rendah seperti populasi pada populasi kulit putih Amerika
Utara hanya ditemukan sebanyak 60% (Witte and Neel, 1998).
Kebanyakan kasus KNF yang terjadi pada anak-anak dan remaja adalah
tipe 3, sedikit kasus pada tipe 2. Secara histologik, KNF WHO tipe 2 dan 3
berhubungan dengan infeksi laten VEB sekitar 65-100% kasus dan pada WHO tipe 1
pada daerah endemis, tetapi tidak terdapat pada WHO tipe 1 terutama pada daerah
nonendemis (Lo et al., 2004; Brennan, 2006; Chou et al., 2008).
2.2.5 Diagnosis
Diagnosa KNF ditegakkan dengan pemeriksaan klinis dan histopatologi.
Pemeriksaan histopatologi yaitu dengan melakukan biopsi massa pada nasofaring,
yang lebih baik dilakukan dengan bantuan nasofaringoskopi optik. Jika terdapat
pembesaran kelenjar getah bening leher, maka dilakukan aspirasi jarum halus. Untuk
mengetahui letak tumor dan penyebarannya secara akurat, direkomendasikan untuk
melakukan CT-Scan dan MRI nasofaring, dasar tengkorak dan leher. Foto rongten
toraks (anteroposterior dan lateral) untuk melihat penyebaran karsinoma nasofaring
ke daerah paru. Skrining tulang, abdomen biasanya juga dilakukan jika hasil klinis
dan laboratorium menunjukkan adanya suatu metastase (Brennan, 2006).
2.2.6 Stadium tumor
Terdapat beberapa cara untuk menentukan stadium KNF. Di beberapa
negara Asia digunakan penentuan stadium yang dikemukakan oleh Ho pada tahun
1978 (Hos system), sementara di Amerika dan Eropa lebih disukai penentuan
stadium sesuai dengan kriteria yang ditetapkan AJCC/UICC (American Joint
Committee on Cancer / International Union Against Cancer). Cara penentuan
stadium KNF yang terbaru adalah menurut AJCC/UICC edisi ke-6 tahun 2002, yaitu
(Brennan, 2006) :

Universitas Sumatera Utara

Tumor di nasofaring (T)


Tx : Tumor primer tidak dapat ditemukan
T0 : Tidak ditemukan adanya tumor primer
Tis : Carcinoma in situ
T1 : Tumor terbatas di nasofaring
T2 : Tumor meluas ke jaringan lunak
T2a : Tumor meluas sampai daerah orofaring dan/atau fossa nasalis tanpa
perluasan ke depan parafaring
T2b : Dengan perluasan ke parafaring
T3 : Tumor menginvasi struktur tulang dan/atau sinus paranasal
T4 : Tumor meluas ke intrakranial dan/atau mengenai saraf kranial, fossa
infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikator
Kelenjar limfe regional (N)
Nx : Pembesaran KGB regional tidak dapat ditentukan
N0 : Tidak ada pembesaran KGB regional
N1 : Metastasis ke KGB unilateral, ukuran 6 cm, terletak di atas

fossa

supraklavikula
N2 : Metastasis ke KGB bilateral, ukuran 6 cm, terletak di atas fossa
supraklavikula
N3 : Metastasis ke KGB:
N3a : Ukuran KGB > 6 cm, di atas fossa supraklavikula

Universitas Sumatera Utara

N3b : Terletak pada fossa supraklavikula

Metastasis jauh (M)


Mx : Adanya metastasis jauh tidak dapat ditentukan
M0 : Tidak ada metastasis jauh
M1 : Ada metastasis jauh

Stadium KNF
0

Tis

N0 M0

T1

N0 M0

IIa

T2a

N0 M0

IIb

T1-2a N1 M0, T2b N0-1 M0

III

T1-2b N2 M0, T3 N0-2 M0

IVa

T4

IVb

Semua T N3

IVc

Semua T N0-3 M1

N0-2 M0
M0

2.3 Virus Epstein-Barr (VEB)


Virus Epstein-Barr merupakan suatu virus gamma herpes yang
mengandung DNA yang termasuk dalam keluarga herpes viridae yang
ditemukan oleh oleh Ied Tony Epstein dan Yvone Barr pada tahun 1964
(Korcum et al., 2006). Virus ini dapat menginfeksi lebih dari 90% populasi dunia

Universitas Sumatera Utara

dan mempunyai hubungan dengan sejumlah keganasan termasuk karsinoma


nasofaring, penyakit Hodgkin, limfoma Burkitt, kanker lambung, leiomyosarcoma
dan kemungkinan kanker payudara (Feng et al., 2002; Straathof et al., 2003). Di
Hongkong, 80% anak umur 6 tahun telah terinfeksi oleh VEB dan hampir 100%
telah terdeteksi pada anak umur 10 tahun (Chang and Adami, 2006).

Gambar 2.3. Genom Virus Epstein-Barr (Sun, 2006)

VEB dapat berada pada inti maupun sitoplasma sel dengan ukuran
diameter 75-200 nm. Struktur virus ini sama dengan struktur virus herpes
lainnya. Secara garis besar terdiri dari protein nukleoid yang terbungkus
bersama-sama dengan DNA (genom) virus dan disebut nukleokapsid, memiliki
162 kapsomer dan berbentuk ikosahedral. Selain itu terdapat pula subunit
protein lainnya yang terletak antara nukleokapsid dan envelop. Envelop virus
tersusun dari bagian membran inti maupun membran-membran sel yang berasal
dari sel host. Pada lapisan luar envelop terdapat beberapa tonjolan glikoprotein.
Protein kapsid yang utama adalah p160,47 dan 28 kDa, sedangkan tonjolan

Universitas Sumatera Utara

envelop terbanyak adalah gp350/220 dan 152 kDa (Mongan dan Harahap,2000;
Ibrahim et al., 2001).

2.3.1. Patogenesis Infeksi Virus Epstein-Barr


Virus Epstein-Barr menginfeksi populasi dunia terutama dewasa yang
didahului dengan infeksi primer, yang mana Individu yang terinfeksi dengan
virus Epstein-Barr dapat dipertahankan selama hidupnya. Pada negara yang
belum berkembang, infeksi primer VEB biasanya terjadi selama beberapa bulan
pertama sampai beberapa tahun kehidupan dan sering tanpa gejala. Sedangkan
pada negara berkembang, infeksi primer lebih sering terjadi pada waktu remaja
atau dewasa, dan pada beberapa kasus memberikan gejala yang khas atau
infeksi mononukleosis (Tao et al., 2006).
Pada awal proses infeksi, bagian envelop virus akan berfusi dulu dengan
membran sel host sehingga nukleokapsid virus dapat masuk ke dalam sel dan
dalam keadaan inaktif atau sebaliknya mulai aktif membentuk enzim-enzim yang
diperlukan untuk pembentukan partikel virus baru. Hal tersebut menentukan
apakah terjadi infeksi laten atau litik. Infeksi litik lebih sering berlangsung pada
epitel mukosa sedangkan infeksi laten pada limfosit B dan beberapa jenis epitel
tertentu (Kieff et al., 1995; Mongan dan Harahap, 2000).
Infeksi VEB terjadi melalui kontak saliva yang infeksius dan permulaan
infeksi terjadi di orofaring, kemudian akan bereplikasi di sel epitel faring dan
kelenjar ludah. Tahap awal infeksi virus akan terikat pada reseptor C3d yang
merupakan komponen komplemen (CR2 atau CD21). Ketika virus menempel
pada permukaan sel maka sel akan teraktivasi dan masuk ke dalam siklus sel
dimana beberapa gen VEB terekspresi dan menyebabkan proliferasi tanpa
batas. Selanjutnya VEB masuk melalui rute orofaring dan menginfeksi resting B

Universitas Sumatera Utara

cells dan atau sel-sel epitel. Virus dilepaskan selama fase produktif yang
selanjutnya akan menginfeksi sel-sel B di sirkulasi yang melalui orofaring,
menghasilkan infeksi laten. VEB akan memicu limfosit B untuk berproliferasi,
yang mana hal ini akan diekspresikan oleh spesific growth-promoting genes,
yang mempunyai kemampuan untuk menjadi tumor (Murray et al., 2001; Korcum
et al., 2006).
Infeksi VEB yang utama adalah infeksi laten, tetapi VEB pada waktu
tertentu dapat teraktivasi kembali dan tereplikasi menjadi infeksi litik. Perubahan
infeksi laten menjadi litik dipicu oleh VEB immediate-early transcription factor
ZEBRA (BZLF1, Zta, Z, EB1). ZEBRA mengaktifkan promotor gen infeksi litik
VEB berikatan dengan ZREs (ZEBRA Response Elements), yang menginduksi
kaskade ekspresi dari lebih 50 gen virus. ZEBRA juga menurunkan regulasi
latency-associated promotor, yang merupakan bagian dari faktor replikasi,
menginduksi tertahannya siklus sel host, mengubah respon imun seluler dan
aktivitas faktor transkripsi. Hasil dari perubahan ini adalah transkripsi yang luas
pada gen virus dan terbentuknya EA dan antigen lanjut VCA (Petosa et al.,
2006).

.
Gambar 2.3.1. Siklus hidup Virus Epstein-Barr (Thompson et al.,2004)

Universitas Sumatera Utara

Pada infeksi primer VEB, diproduksi tiga antibodi yaitu IgG, IgM, IgA
untuk melawan VCA dari VEB, dua antibodi IgG dan IgA diproduksi untuk
melawan EA D, serta satu antibodi IgG untuk merespon EA R (Thompson and
Kurzrock, 2004).
Pada masa laten, VEB menghasilkan enam VEB nuklear antigen (EBNA
1, 2, 3A, 3B, 3C, dan LP), dan tiga Latent membrane Protein (LMP1, 2A, 2B),
serta dua VEB Non-Polyadenylated RNAs (EBERs) (Zheng et al., 2007)
2.3.2

Hubungan Karsinoma Nasofaring dan Virus Epstein Barr


Pada tahun 1966, Old et al. pertama sekali menemukan hubungan

antara VEB dan KNF dengan menggunakan hibridisasi in situ dan pemeriksaan
anticomplement and immunoflorecent (ACIF). Old et al melaporkan adanya
peningkatan titer antibodi terhadap antigen VEB pasien KNF, khususnya IgA
anti VCA dan EA, yang ditemukan pada serum pasien. Konsentrasi titer IgAVCA 1/10 menandakan adanya infeksi VEB. (Okano, 2000; Leung et al.,
2004). Pada penelitian lain disebutkan bahwa ekspresi dari gen laten VEB pada
sel-sel KNF menguatkan bukti adanya VEB (Gullo et al., 2008).
Ekspresi dari Early Antigen VEB pada pertumbuhan KNF dengan VEB
positif, dihubungkan dengan mengkonsumsi ikan asin dan makanan yang
diawetkan diduga berhubungan dengan faktor kebiasaan atau pola makan
(Gullo et al., 2008).
EBNA1 dan LMP1 yang merupakan produk onkogen VEB terbukti
menyebabkan transformasi sel epitel faring dan imortalisasi limfosit B. Adanya
partikel VEB pada jaringan tumor spesimen biopsi penderita KNF secara
konsisten, mendukung hipotesis VEB sebagai faktor etiologi utama pada KNF
(Niedobitek, 2000).

Universitas Sumatera Utara

Tingginya kadar antibodi terhadap protein VEB pada orang sehat yyang
kemudian menderita KNF, dan pada penderita dengan tumor primer ataupun
yang mengalami kekambuhan menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara
VEB dengan KNF. Adanya infeksi VEB yang laten pada sel-sel KNF dan tidak
didapatkan pada epitel yang normal, memperkuat dugaan adanya hubungan
yang kuat antara VEB dan KNF (Liebowitz et al., 1994; Pathmanathan et al.,
1995; Murray et al., 2001).
2.4 Latent Membrane Protein 1 (LMP1)
Latent membrane protein 1 (LMP1) salah satu antigen dari VEB yang
diekspresikan pada fase laten dari VEB. Infeksi VEB telah diduga sebagai
penyebab dari KNF dan LMP1 memegang peranan penting dalam aktifitas
transformasi VEB pada KNF. (Sheen et al., 1999; Lo et al., 2003).
LMP1 merupakan protein membran dengan berat molekul 60-66
kDa, berasal dari transkripsi BNLF1. Protein ini terdiri dari 25 amino acid
intracytoplasmis N-terminus yang mengandung sedikit peptida berfungsi untuk
sebagai sinyal dan merupakan tempat ikatan dengan vimentin (protein dari
matriks seluler) (Hu, 1996).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.4 Struktur Onkoprotein LMP1 (Zhang et al., 2005)

LMP 1 merupakan protein membran integral dengan struktur molekul


yang kompleks yang terdiri dari enam segmen membran hidrofobik yang
terbentuk dari 3 (tiga) lengkung eksternal dan 2 (dua) lengkung internal serta
200 amino acid intracytoplasmic C terminus yang kaya residu asam (Hu, 1995;
Korcum et al., 2006).
Ada empat jalur sinyal yang diindikasikan sebagai fungsi dari LMP 1 yaitu
Nuclear Factor - NF-B, JNK (c-Jun N Terminal Kinase)/AP-1 (Activator Protein1), p38/MAPK (Mitogen-activated Protein Kinase) dan JAK(Janus Kinase)/STAT
(Signal Transducer and Activator of Transcription) (Xu et al., 2000).
Di dalam gugus C terminal dari LMP 1 mempunyai dua daerah yang aktif
yaitu disebut dengan CTAR-1 dan CTAR-2 (C-terminal activating region 1 dan
2). CTAR-1 berlokasi di daerah proksimal dari membran (asam amino 186-231)
dan penting sebagai mediator VEB untuk transformasi primer di dalam sel B.

Universitas Sumatera Utara

CTAR-2 (asam amino 351-386) berlokasi di daerah ekstrim C terminal dari LMP
1 dan dibutuhkan untuk pertumbuhan VEB di dalam sel dalam waktu yang lama
(Xu et al., 2000).
Aktivasi dari transkripsi faktor NF-B merupakan indikasi pertama yang
penting bagi penyimpangan sinyal sel dari LMP 1. CTAR-1 dan CTAR-2 dapat
mengaktifkan NF-B secara independen. Sekitar 70-80% dari CTAR-2 dari LMP
1 merupakan mediator yang mengaktifkan NF-B melalui interaksinya dengan
Tumor Nekrosis Factor Receptor (TRAFs) - associated death domain protein
(TRADD). Sedangkan sisanya 20-30% dari LMP 1 sebagai mediator aktivasi
NF-B dicapai melalui CTAR-1 yang berinteraksi dengan beberapa TNFR
associated factor (TRAFs) (Damania, 2004).
LMP1 oleh 3 C-terminal activation region 1,2,3 (CTAR1, CTAR2,CTAR3).
LMP1 CTAR1 menginduksi NIK/IKKs dan fosforilase IB, yang akan
mengekspresikan p65 dan p50 kemudian mengaktivasi NF-B melalui TRAF1,
TRAF2 dan TRAF3, yang juga menginduksi jaras PI3K yang akan mengaktivasi
Akt (protein kinase B, PKB) sementara CTAR2 mengaktivasi NF-B melalui
TRADD, dan TRAF2. NF-B aktif menginduksi immortalisasi sel melalui
peningkatan regulasi aktivitas telomerase melalui translokasi ikatan protein
hTERT ke NF-B, menghambat apoptosis sel melaui peningkatan regulasi
aktivitas survivin, dan merangsang proliferasi sel melalui regulasi survivin,
Cycline D1 dan EGFR dan lain-lain. Juga, LMP1 dapat meningkatkan tingkat
fosforilasi serine dari Annexin A2 oleh aktivasi jaras penandaan PKC yang dapat
merangsang proliferasi sel. LMP1 CTAR2 memicu AP-1 dengan mengaktifkan
ERK, P38 dan c-Jun N-Terminal kinase (JNKs), anggota stress activated group
dari MAP kinase, melalui pengikatan dengan kompleks TRADD/TRAF2. AP-1
aktif meningkatkan regulasi ekspresi MMP9 dan memediasi invasi dan
metastasis sel KNF. LMP1 CTAR3 antara CTAR1 dan CTAR2 memicu jaras

Universitas Sumatera Utara

JAK3/STAT yang akan meningkatkan transkripsi dan ekspresi VEGF, dengan


demikian meningkatkan invasi dan metastasis sel KNF (Zheng et al., 2007).
LMP1 dapat menginduksi antigen CD70 (TNF family) pada sel epitel (in
vitro). Observasi ini relevan oleh karena banyak dari WHO tipe 2 KNF terdapat
CD70 positif walaupun ekspresi CD70 tidak berhubungan dengan KNF LMP1
positif. Sebagai tambahan, CD 80/86 telah dideteksi pada sel-sel epitel dari
WHO tipe 2 KNF, tetapi hanya muncul terbatas pada kasus-kasus KNF dengan
LMP1 positif (Niedobitek, 2000).

Gambar 2.5 Jaras LMP1 pada karsinogenesis KNF (Zheng et al, 2007)
LMP1 mendapat perhatian yang besar dari para peneliti oleh karena
LMP1 menghambat differensiasi keratin (in vivo) dengan adanya perubahan
morfologi sel dan mengubah fibroblas dan sel-sel epitel pada penelitian in vitro
(Dawson et al., 1990; Hu et al.,1995). LMP1 mengubah sel-sel limfoid yang
diekspresikan oleh aktivasi antigen sel B, molekul adhesi, reseptor transferrin,
dan sensitifitas terhadap TGF-beta, yang mana hal ini akan menghambat
apoptosis dengan meningkatnya level Bcl-2 (Lo et al., 2003).

Universitas Sumatera Utara

LMP1 mempunyai kemampuan dalam menginduksi EGFR (epidermal


growth factor receptor) yang merupakan suatu reseptor tyrosine kinase yang
dijumpai di permukaan sel, yang mengaktifkan CTAR-1 berinteraksi dengan
TRAFs pada sel-sel epitel. Aktivasi ini akan mengakibatkan terbentuknya sel
kanker atau adanya suatu proses malignansi dari epitel (Sheen et al., 1999).
LMP1 dapat mengakibatkan terjadinya angiogenesis melalui induksi
COX-2 yang di mediasi oleh NF-B melalui CTAR-1 dan CTAR-2 pada sel epitel
nasofaring. Yang mana induksi dari COX-2 ini akan meningkatkan produksi dari
VEGF (Vascular Endhotelial Growth Factor) pada LMP1 (Murono et al., 2001)
dan juga akan menyebabkan akumulasi p53 dan menginduksi tertahannya fase
G2/M pada KNF (Chou et al., 2008).
Pada sel epitel, LMP1 akan menghambat p53-mediated apoptosis
melalui induksi dari ekspresi A20. LMP1 akan menginduksi ekspresi dari CD40
dan IL6 (Interleukin 6) serta menurunkan ekspresi citokeratin dan E-chaderin
(Tsao et al., 2002). LMP1 juga menginduksi matrix metalloproteinase-9 (MMP-9)
dan meningkatkan ekspresi ITG6 dan LAMC2 yang akan mengakibatkan
metastase dari sel-sel tumor (Lo et al., 2003).
Beberapa penelitian terhadap LMP1 telah dilaporkan di Indonesia dan
juga luar negeri dengan hasil yang bervariasi.
Tabel 1.1 Prevalensi ekspresi LMP1 pada karsinoma nasofaring
NAMA

TAHUN

Sempere et al.
1996
Spanyol
Sheen et al.
1999
Taiwan

LMP1 (+)

KETERANGAN

78,4% (40 dari 50


kasus)

68,3% (41 dari 60

LMP1 berhubungan signifikan

kasus)

dengan EGFR

Universitas Sumatera Utara

NAMA

TAHUN

LMP1 (+)

Berhubungan signifikan dengan

Gondhowiarjo
2000

50% (86 dari 172 kasus)

Indonesia

2001
Jepang
Horikawa et al.
2001
Jepang

Xia et al., Cina

2002

Xia et al., Cina

2003

Jerman

derajat tumor dan kelenjar getah


bening leher

Murono et al.

Dietz et al.

KETERANGAN

2004

71,41% (10 dari 14


kasus)

61,5% (24 dari 39


kasus)

Berhubungan signifikan dengan


metastase kelenjar getah bening
leher (p=0,0172)

86,36% (19 dari 22

LMP1 positif pada penderita KNF

kasus)

dengan metastase

61,29% (16 dari 31


kasus)

75% (33 dari 44 kasus)

Insiden tertinggi pada umur 50


Jeon et al.
2004

61% (36 dari 50 kasus)

Korea

tahun dan usia muda.


Berhubungan dengan status N
dan MMP9
Tinggi ditemukan pada penderita

Kadkhoda
2007

33%

Swedia

KNF 50 tahun, berhubungan


signifikan dengan status N
Ekspresi LMP1 ditemukan lebih

Muhtadi AI
2007

75% (36 dari 48 kasus)

Indonesia

tinggi pada usia <30 tahun dan


berhubungan dengan status N
dan WHO tipe 3 KNF

Punagi
2007

42,1%

2009

66,7%

Indonesia

LMP1

berhubungan

dengan

WHO tipe 2 dan VEGFR

Murtono et al.
Indonesia

Universitas Sumatera Utara

Khabir et al. dari penelitiannya mendapatkan bahwa ekspresi LMP1


ditemukan lebih tinggi pada usia muda.
Pathmanathan et al. melaporkan ditemukannya ekspresi LMP1 pada lesi
preinvasif nasofaring, seperti pada displasia dan karsinoma insitu nasofaring,
yang menandakan bahwa VEB menginfeksi sel nasofaring sejak dari tahap
inisial terjadinya KNF.
Horikawa et al. melaporkan hasil penelitiannya di Taiwan, bahwa LMP1
VEB pada KNF menginduksi protoonkogen c-Met, sebuah reseptor faktor
pertumbuhan hepatosit berafinitas tinggi, yang berperan dalam motilitas dan
invasi sel, serta berhubungan dalam proses metastasis atau progresifitas
berbagai karsinoma. Dan ekspresi c-Met yang diinduksi oleh LMP1 mempunyai
hubungan korelasi positif dengan metastasis KGB pada KNF.
Hu et al. melaporkan dari penelitiannya tahun 1995 dan 2000 bahwa
tingkat ekspresi LMP1 pada KNF berkisar 65%, disimpulkan bahwa KNF dengan
LMP1 positif mempunyai imunogenesitas yang buruk, sedangkgan LMP1 negatif
KNF mempunyai imunogenesitas yang lebih baik.
Pada penelitian kilnis KNF menunjukkan bahwa tumor dengan LMP1
positif lebih progresif perkembangannya menginvasi kelenjar limfe daripada
tumor dengan LMP1 negatif (Lo et al., 2003). Tumor dengan LMP1 positif
dilaporkan lebih sering mengalami perluasan ke luar nasofaring dibandingkan
dengan LMP1 negatif (Korcum et al., 2006).
Penelitian di Jerman melaporkan pasien dengan LMP1 yang negatif pada
pulasan imunohistokimia konvensional menunjukkan angka ketahanan hidup 5
tahun yang lebih baik dibandingkan dengan pasien yang mempunyai LMP1
positif (Dietz et al., 2004)

Universitas Sumatera Utara

Wakisaka et al. dan Kondo et al. menemukan bahwa LMP1 VEB dapat
mengaktivasi Hypoxia-inducible factor 1 (HIF 1) mengalami up-regulasi pada
sebagian besar malignansi. Up-regulasi HIF 1 oleh LMP1 VEB ditemukan pada
KNF dengan jenis histopatologi WHO tipe II dan III, sehingga HIF 1 juga
berperan dalam tumorigenesis pada keganasan yang disebabkan oleh VEB.
Horikawa et al. menemukan bahwa LMP1 VEB pada KNF dapat
menginduksi transisi epitel mesenkim (epithelial-mesenchymal transition/EMT)
melalui Twist (sebuah regulator utama transkripsi pada embriogenesis) dan
memberikan kontribusi kepada karakter KNF yang mempunyai sifat metastasis
yang tinggi.
2.5. Penatalaksanaan
2.5.1 Radioterapi
Radioterapi merupakan pengobatan utama pada KNF. Tumor ini sangat
radiosensitif dengan 5-year survival rate 84% pada stadium I dan 68% pada
stadium II. Angka kesembuhan akan berkurang pada stadium lanjut (stadium III
dan IV). Pada pasien yang mengalami rekuren lokal, radiasi ulang dapat
menyelamatkan 30% penderita. Radioterapi juga efektif terhadap terapi paliatif
pada kasus yang sudah metastasis jauh (Wee et al., 1999; Tan and Soh, 1999).
Radioterapi pada penderita KNF tanpa metastasis merupakan terapi
kuratif utama, yang dapat diberikan dalam dua tipe yaitu radioterapi eksternal
dan brakhiterapi. Radioterapi eksternal diberikan pada tumor primer dan nodul
servikal yang terlibat metastasis. Disamping itu radioterapi eksternal ulang dapat
juga diberikan pada tumor yang rekuren (Teo, 1999).

Universitas Sumatera Utara

Walaupun demikian, hasil pengobatan radiasi ini pada stadium lanjut tidak
memberikan hasil yang memuaskan oleh karena tingginya angka kekambuhan
dan metastasis jauh (Korcum et al., 2006).
Biasanya, dosis radioterapi diberikan pada tumor primer dengan dosis
antara 65 75 Gy dan jika ada keterlibatan nodul leher dosisnya 65 70 Gy.
Radiasi elektif dengan tidak adanya nodul, dosis diberikan 50 60 Gy. Terapi
dengan dosis tersebut pada derajat tumor T1 dan T2 berhasil pada 75% - 90%
kasus, pada derajat tumor T3 dan T4 sebesar 50% - 75% kasus. Kasus dengan
keterlibatan nodul pada N0 dan N1 memberikan keberhasilan dengan 90%,
tetapi pada N2 dan N3 hanya 70% (Wei, 2006)
Setelah diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon
terhadap radiasi. Respon dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening leher dan
pengecilan tumor primer di nasofaring. Penilaian respon radiasi berdasarkan
kriteria WHO :
- Complete Response: menghilangkan seluruh kelenjar getah bening yang
besar.
- Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau lebih.
- No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap.
- Progressive Disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25% atau lebih.

Efek samping radioterapi adalah mukositis, merupakan komplikasi akut


dari radioterapi yang paling sering, sekitar 18% - 84%, stomatitis, ngilu pada
gigi, dan juga hilangnya indra pengecapan (Ondrey and Wright, 2002).
Disamping itu juga dapat menyebabkan xerostomia, trismus, otitis media,
pendengaran menurun, hipotiroidisme, pigmentasi kulit, fibrois subkutan atau

Universitas Sumatera Utara

osteoradionekrosis. Radioterapi dapat juga menyebabkan sindroma Lhermitte


karena radiasi myelitis. Gejalanya seperti syok listrik yang menyebar turun ke
seluruh tubuh waktu pasien memfleksikan kepala ke depan. Radioterapi juga
menyebabkan komplikasi berupa nekrosis lobus temporal, ensefalomiopati,
ankilosis temporomandibular joint, gangguan nervus perifer, atrofi tulang dan
gangguan sistem hipotalamus. Terapi dengan kombinasi dengan sitostatika
dapat timbul depresi sumsum tulang dan gangguan gastrointestinal (Suzanne,
2001).
2.5.2 Brakhiterapi
Brakhiterapi adalah pemberian ion radiasi dosis tinggi terhadap jaringan
dengan volume kecil. Brakhiterapi dapat diberikan secara interstitial implans dan
intracavitary insertion. Metode yang terakhir merupakan cara yang paling sering
digunakan untuk pengobatan KNF (Wee et al., 1999; Teo, 1999). Pemberian
brakhiterapi terhadap tumor primer KNF dapat di bagi berdasarkan beberapa
indikasi. Yaitu Tumor persisten lokal setelah 4 bulan pemberian radioterapi
primer, sebagai adjuvant setelah radioterapi eksternal dan tumor persisten
regional dimana brakhiterapi diberikan pada penderita yang akan menjalani
diseksi leher (Teo, 1999).
Brakhiterapi hanya diberikan pada tumor primer T1 atau T2 yang rekuren
setelah pemberian radioterapi eksternal. Biasanya diberikan pada tumor yang
hanya melibatkan nasofaring, parafaring atau fosa posterior nasal. Diberikan
dosis 45 50 Gy, kemudian diikuti dengan tambahan dosis 20 Gy. Brakhiterapi
menunjukkan hasil terapi yang memuaskan terhadap KNF dan akan menjadi
terapi pilihan di masa akan datang (Wee et al., 1999).

Universitas Sumatera Utara

2.5.3. Kemoterapi
Penatalaksanaan KNF pada stadium lanjut, kemoterapi dikombinasikan
dengan radioterapi. Kemoterapi biasanya digunakan pada kasus KNF yang
rekuren atau yang telah bermetastasis (Wei and Sham, 2005).
Mekanisme kerja kemoterapi adalah sebagai antimetabolit, mengganggu
struktur dan fungsi DNA serta inhibitor mitosis. Antimetabolit bekerja dengan
menghambat biosintesis purin atau piramidin, sehingga dapat mengubah
struktur DNA dan menahan replikasi sel (Lika, 1999).
Kemoterapi yang paling sering digunakan adalah kombinasi antara
Cisplatin dan 5-fluoruracil (5-FU). Cisplatin bekerja sebagai sitotoksik juga
radiosensitisizer.
Cara pemberian kemoterapi terbagi 3 cara, yaitu:

1. Kemoterapi neoadjuvant
yaitu pemberian kemoterapi mendahului pembedahan dan radiasi.
Kemoterapi neoajuvan dimaksudkan untuk mengurangi besarnya tumor
sebelum radioterapi. Pemberian kemoterapi neoadjuvant didasari atas
pertimbangan vascular bed tumor masih intak sehingga pencapaian obat
menuju massa tumor masih baik. Disamping itu, kemoterapi yang diberikan
sejak dini dapat memberantas mikrometastasis sistemik seawal mungkin.
Kemoterapi neoadjuvan pada keganasan kepala leher stadium II IV
dilaporkan overall response rate sebesar 80 %- 90 % dan CR (Complete
Response) sekitar 50%. Kemoterapi neoadjuvan yang diberikan sebelum terapi
definitif berupa radiasi dapat mempertahankan fungsi organ pada tempat
tumbuhnya tumor (organ preservation) (Sukardja, 2000 ; Airoldi et al., 2009).

Universitas Sumatera Utara

2. Kemoterapi konkomitan
Yaitu kemoterapi yang diberikan secara bersamaan dengan
radioterapi. dimaksud untuk mempertinggi manfaat radioterapi. Dengan
cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang sensitif terhadap
kemoterapi dan mengubah sel kanker yang radioresisten menjadi lebih
sensitif

terhadap

radiasi.

Keuntungan

kemoradioterapi

adalah

keduanya bekerja sinergistik yaitu mencegah resistensi, membunuh


subpopulasi sel kanker yang hipoksik dan menghambat recovery DNA
pada sel kanker yang sublethal.

3. Kemoterapi adjuvant
Tujuan pemberian kemoterapi adjuvant adalah pemberian
kemoterapi yang dilakukan setelah radioterapi defenitif. Regimen
kemoterapi yang dipakai biasanya mengandung Cisplatin. Pemberian
kemoterapi ini menunjukkan hasil yang lebih baik untuk harapan hidup
bebas penyakit dan pencegahan metastase jauh.

2.5.4 Pembedahan
Pembedahan hanya sedikit berperan dalam penatalaksanaan KNF.
Terbatas pada diseksi leher radikal untuk mengontrol kelenjar yang
radioresisten dan metastase leher sesudah radioterapi, pada pasien tertentu
pembedahan penyelamatan (salvage treatment) dilakukan pada kasus
rekurensi di nasofaring atau kelenjar leher tanpa metastase jauh (Chew,
1997; Wei, 2003; Wei, 2006; Lutzky et al., 2008).

Universitas Sumatera Utara

2.5.5 Terapi target molekuler


Dengan tujuan untuk meningkatkan proporsi survival jangka panjang
pada pasien KNF yang rekuren atau dengan metastase jauh, bahan sistemik
yang lebih baik diperlukan untuk meningkatkan respon komplet. Dengan
potensi indeks terapeutik yang lebih tinggi, bahan-bahan target molekuler
menampilkan senyawa-senyawa

yang dapat melengkapi penggunaan

kemoterapi konvensional (Agulnik and Siu, 2005).


Adanya VEB pada sel-sel tumor KNF merupakan target terapi spesifik
yang potensial pada KNF. Strategi terapi target VEB telah dikembangkan
untuk mengontrol stadium lanjut dari KNF. Protein VEB yang muncul pada
KNF merupakan target terapi tingkat sel, termasuk LMP1 dan 2. LMP1 dan 2
merupakan target antigen yang dapat diterapkan untuk terapi dengan limfosit
T sitotoksik spesifik (cytotoxic T lymphocytes/CTLs) pada pasien KNF
(Bharadwaj et al., 2003; Mertens et al., 2005).
Duraiswamy et al. menggunakan vaksin poxvirus rekombinan yang
menyandi protein poliepitop 6 HLA A2 dari LMP1 pada tikus, yang berhasil
menekan pertumbuhan tumor yang mengekspresikan LMP1. Sel manusia
yang terinfeksi oleh poliepitop rekombinan ini akan dikenali oleh spesifik
LMP1 CTL dari HLA A2 individual yang sehat. Penelitian ini menjadi batu
loncatan untuk perkembangan vaksin poliepitop berbasis LMP sebagai
imunoterapi pada KNF yang berhubungan dengan VEB.
Teh hijau mengandung catechins yaitu epigallocatechin-3-gallate
(EGCG), epicatechin-3-gallate (ECG) dan epicatechin (EC). EGCG memiliki
aktivitas biokimia dan farmakologi yang besar termasuk aktivitas antioksidan,
modulasi

metabolisme

karsinogen,

menghambat

proliferasi

sel

dan

menginduksi apoptosis pada penelitian in vitro dan hewan coba. Pada

Universitas Sumatera Utara

penelitian dilaporkan bahwa EGCG tidak hanya menghambat peningkatan


ekspresi LMP1 dan sel-sel KNF yaitu mengganggu AP-1 dan jaras transduksi
sinyal NF-B yang dimediasi oleh VEB-LMP1, tetapi juga memblok aktifitas
NF-B yang dipicu oleh LMP1 (Zheng et al., 2007).
Li et al. menyimpulkan bahwa supresi LMP1 VEB jangka panjang in
vivo merupakan cara yang efektif untuk mencegah metastasis KNF ke hepar,
paru-paru, karena secara bermakna menurunkan mobilitas sel dan
kemampuan invasi transmembran VEB. Metastasis pada KNF dapat secara
bermakna dihambat bila ekspresi LMP1 ditekan. Penelitian ini memberikan
jalan untuk penelitian-penelitian selanjutnya yang menjadikan LMP1 sebagai
target terapi sel pada KNF.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai