LAPORAN KASUS
diajukan sebagai salah satu pemenuhan syarat praktek klinik II periode I
oleh
Restu Suwandari
1206281335
PROGRAM VOKASI
RUMPUN KESEHATAN
PROGRAM STUDI OKUPASI TERAPI
Depok
Oktober 2014
UNIVERSITAS INDONESIA
PROGRAM VOKASI
BIDANG STUDI KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI OKUPASI TERAPI
LEMBAR PENGESAHAN
Telah diperiksa dengan seksama makalah :
Penatalaksanaan Okupasi Terapi pada Kasus .
Pada kegiatan Praktik Klinik II Mahasiswa Program Vokasi
Universitas Indonesia
Program Studi Okupasi Terapi yang diselenggarakan pada s.d yang bertempat di
RSUP dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), disetujui oleh instruktur dan pembimbing
mahasiswa.
Disusun Oleh:
Restu Suwandari
1206281
335
M. Syarif H, AMd.OT
NIP.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat Rahmat dan
Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan kasus ini. Shalawat
beserta salam semoga senantiasa terlimpah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW,
kepada keluarganya, para sahabatnya, hingga kepada umatnya hingga akhir zaman.
Adapun laporan kasus ini yang berjudul . dibuat untuk memenuhi tugas
praktek klinik II studi Okupasi Terapi, Rumpun Kesehatan, Program Vokasi
Universitas Indonesia.
Dalam penulisan Laporan Kasus ini, tidak lepas bantuan dan dorongan dari
berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1
Orangtua, kakak, adik dan keluarga, terimakasih untuk doa dan kasih sayang yang
selalu mengiringi setiap langkah penulis, serta dukungannya baik secara moril
maupun materil.
Bapak M. Syarif H, AMd.OT., Ibu Inovasi Nadhiroh, AMd.OT, Ibu Endah ,AMd.
OT, Ibu Yuni selaku pembimbing lahan praktek klinik II di Rumah Sakit
Umum Pusat dr. Cipto Mangunkusumo yang selalu membimbing, mengarahkan
dan mendidik. Terimakasih telah memberikan ilmu, masukan, pencerahan dan
dukungannya sehingga proses pembuatan Laporan ini dapat berjalan dengan baik
Orang-orang yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terimakasih untuk
segala doa, bantuan dan dukungannya.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini jauh dari sempurna, kepada para
pembaca agar memberi kritik dan saran untuk menyempurnakan laporan ini. Akhir
kata, semoga laporan ini dapat bermanfaat dan menambah ilmu serta wawasan
pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Definisi .....................................................................................
B. Prevalensi ...................................................................................
C. Etiologi .......................................................................................
D. Gejala ..........................................................................................
E. Prognosis .
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengumpulan Data ....................................................................
B. Kesimpulan Problematik Okupasional.......................................
C. Prioritas Masalah .......................................................................
D. Program Terapi ..........................................................................
E. Intervensi OT ..............................................................................
F. Home Program ..........................................................................
G. Evaluasi .....................................................................................
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................
B. Saran ...........................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Definisi
A.1. Okupasi Terapi
Okupasi Terapi adalah bentuk layanan masyarakat atau pasien yang
mengalami gangguan fisik dan atau mental dengan menggunakan aktivitas
bermakna ( okupasi ) untuk meningkatkan kemandirian individu dalam area
aktivitas kehidupan sehari hari, produktivitas, dan pemanfaatan waktu
luang dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Menurut kementrian kesehatan Republik Indonesia, Okupasi Terapi
adalah Profesi kesehatan yang menangani pasien / klien dengan gangguan
fisik dan atau mental yang bersifat sementara atau menetap.
A.2.
Pemeriksaan
A.3.
Morbus Hansen
Penyakit kusta (Morbus Hansen, Leprosy) adalah penyakit kronis yang
Klasifikasi
Setelah seseorang didiagnosis menderita kusta, maka untuk tahap selanjutnya
harus ditetapkan tipe atau klasifikasinya. Penyakit kusta dapat diklasifikasikan
berdasarkan manifestasi klinis (jumlah lesi, jumlah saraf yang terganggu), hasil
pemeriksaan bakteriologi, pemeriksaan histopatologi dan pemeriksaan imunologi.
Klasifikasi bertujuan untuk:
B.
Prevalensi
Sampai saat ini epidemiologi penyakit kusta belum sepenuhnya
diketahui secara pasti. Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia terutama di
daerah tropis dan subtropis. Dapat menyerang semua umur, frekuensi
tertinggi pada kelompok umur antara 30-50 tahun dan lebih sering mengenai
laki-laki daripada wanita. Menurut WHO (2002), diantara 122 negara yang
endemik pada tahun 1985 dijumpai 107 negara telah mencapai target
eliminasi kusta dibawah 1 per 10.000 penduduk pada tahun 2000. Pada tahun
2006 WHO mencatat masih ada 15 negara yang melaporkan 1000 atau lebih
penderita baru selama tahun 2006. Lima belas negara ini mempunyai
kontribusi 94% dari seluruh penderita baru didunia. Indonesia menempati
urutan prevalensi ketiga setelah India, dan Brazil.
Di Indonesia penderita kusta terdapat hampir pada seluruh provinsi
dengan pola penyebaran yang tidak merata. Meskipun pada pertengahan
tahun 2000 Indonesia secara nasional sudah mencapai eliminasi kusta namun
pada tahun tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 terjadi peningkatan
penderita kusta baru. Pada tahun 2006 jumlah penderita kusta baru di
Indonesia sebanyak 17.921 orang. Propinsi terbanyak melaporkan penderita
kusta baru adalah Maluku, Papua, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan
dengan prevalensi lebih besar dari 20 per 100.000 penduduk.
Pada tahun 2010, tercatat 17.012 kasus baru kusta di Indonesia dengan angka
prevalensi 7,22 per 100.000 penduduk sedangkan pada tahun 2011, tercatat
19.371 kasus baru kusta di Indonesia dengan angka prevalensi 8,03 per
100.000 penduduk.
C.
Etiologi
Kuman penyebab penyakit kusta adalah M. leprae yang ditemukan
oleh GH Armauer Hansen, seorang sarjana dari Norwegia pada tahun 1873.
Kuman ini bersifat tahan asam, berbentuk batang dengan ukuran 1-8 mikron
dan lebar 0,2 - 0,5 mikron, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satusatu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat
dikultur dalam media buatan. Kuman ini juga dapat menyebabkan infeksi
sistemik pada binatang armadillo.
Secara skematik struktur M. leprae terdiri dari :
A. Kapsul
Di sekeliling organisme terdapat suatu zona transparan elektron dari bahan
berbusa atau vesikular, yang diproduksi dan secara struktur khas bentuk M.
leprae . Zona transparan ini terdiri dari dua lipid, phthioceroldimycoserosate,
yang dianggap memegang peranan protektif pasif, dan suatu
phenolic
glycolipid, yang terdiri dari tiga molekul gula hasil metilasi yang
dihubungkan melalui molekul fenol pada lemak (phthiocerol). Trisakarida
memberikan sifat kimia yang unik dan sifat antigenik yang spesifik terhadap
M. leprae
B. Dinding sel
Dinding sel terdiri dari dua lapis, yaitu:
a.
Lapisan luar
bersifat
transparan elektron dan mengandung
lipopolisakarida yang terdiri dari rantai cabang arabinogalactan yang
diesterifikasi dengan rantai panjang asam mikolat ,
memiliki
rangkaian asam-amino
yang
mungkin spesifik untuk M. leprae walaupun peptida ini terlalu sedikit untuk
digunakan sebagai antigen diagnostik.
C. Membran
Tepat di bawah dinding sel, dan melekat padanya, adalah suatu membran
yang khusus untuk transport
organisme. Membran terdiri dari lipid dan protein. Protein sebagian besar
berupa enzim dan secara teori merupakan target yang baik untuk kemoterapi.
Protein ini juga dapat membentuk antigen protein permukaan yang
diekstraksi dari dinding sel M. leprae yang sudah terganggu dan dianalisa
secara luas.
D. Sitoplasma
identitas
sebagaiM.
leprae
dari mycobacteria
yang
Gejala
Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda utama
atau tanda kardinal, yaitu:
A. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa.
Kelainan kulit/lesi yang dapat
(hypopigmentasi)
atau
kemerahan
berbentuk
(erithematous)
bercak
yang
keputihan
mati
rasa
(anaesthesia).
B. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.
Gangguan fungsi saraf tepi ini biasanya akibat dari peradangan kronis
pada saraf tepi (neuritis perifer). Adapun gangguan-gangguan fungsi saraf
tepi berupa:
a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa.
b. Gangguan fungsi motoris: kelemahan otot (parese) atau kelumpuhan
(paralise).
c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering.
C. Ditemukannya M. lepraepada pemeriksaan bakteriologis.
E.
Prognosis
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengumpulan Data
Motorik
Sensorik
Kognitif
Intrapersonal
Problem
Okupasi Terapi
Interpersonal
Self Care
Produktivitas
Waktu Luang
A. Pengumpulan Data
A.1.
Data Identitas Pasien
Nama
Umur
: tahun
Jenis kelamin
Agama
: Islam
Alamat/telepon
Pekerjaan
Hobi
:-
No.Registrasi
Diagnosis
Kiriman dokter
: dr.
Alasan rujukan
Tanggal pemeriksaan :
A.2.
Nama OT
Bagian / ruangan
A.2.d Harapan
A.3.
Pemeriksaan
TD : / mmHg
Nadi : x/menit
Komponen
Sensorik
Aset
Limitasi
keadaan
compos
pasien
mampu
mentis.
Visual
Taktil
pasien
tidak
(hiposensitif pada
palmar).
mencium wangi-wangian
digerakkan
lalu
pasien
menyebutkan
bagian
jari
yang
digerakkan.
Persepsi
pasien
mampu
identifikasi
bentuk
jari
yang
anggota
kanan&kiri
pasien
mampu
closure
pasien
ground
pasien
B. Ringkasan Kasus
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Untuk mendukung mencapai tujuan proses terapi perlu adanya
kerjasama antara terapis, pasien dan keluarga pasien.
Saran untuk terapis :
1. Memberi motivasi kepada pasien agar mampu mencapai goal yang sudah
dibuat
2. Mengedukasi pasien agar mengulang apa yang sudah dilakukan saat terapi.
3. Mengedukasi keluarga pasien agar memberikan motivasi pada pasien
supaya mengulang apa yang sudah dilakuakn saat terapi.
4. Memberi instruksi atau arahan yang mudah dimengerti pasien.
5. Memberi aktivitas yang sesuai dengan riwayat penyakitnya, jangan terlalu
berat atau terlalu ringan.
6. Memberi waktu istirahat sesuai kondisi tubuh pasien.
7. Membuat LTG dan STG yang realistis dengan kemampuan pasien.
8. Menciptakan suasana yang kondusif, aman dan nyaman saat melakukan
kegiatan terapi.
Saran untuk pasien :
1. Menjaga kesehatan dan motivasi agar dapat mengikuti kegiatan terapi
dengan baik.
2. Konsisten dalam kegiatan terapi demi tercapainya goa yang sudah di
tentukan.
3. Pasien harus sering-sering melakukan pengulangan aktivitas yang sudah
diberikan saat terapi di rumahnya.
Saran untuk keluarga :
DAFTAR PUSTAKA
Felton Ross, W,. 1989. Penyakit Kusta Untuk Petugas Kesehatan. Jakarta : PT
Gramedia.
LAMPIRAN