Anda di halaman 1dari 38

PENGAYAAN

MEMORI DAN DEMENSIA

Oleh :
A. M. Henry Santoso

105070100111019

Berlian Cyntia Devi

105070100111030

Pembimbing :
dr. S. B. Rianawati, Sp.S

LABORATORIUM ILMU KESEHATAN PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DR. SAIFUL ANWAR MALANG
2015

DAFTAR ISI
Daftar Isi..............................................................................................i
BAB I . PENDAHULUAN....................................................................1
1.1 Latar Belakang..............................................................................1
1.2 Tujuan............................................................................................2
BAB II . PEMBAHASAN.....................................................................3
2.1 Memori..........................................................................................4
2.1.1 Definis Memori................................................................4
2.1.2 Klasifikasi........................................................................5
2.2 Sistem Limbik................................................................................7
2.2.1 Talamus...........................................................................8
2.2.2 Hipotalamus....................................................................9
2.2.3 Amygdala.........................................................................9
2.2.4 Hipokampus....................................................................10
2.3 Tahapan Pembentukan Memori....................................................10
2.3.1 Registrasi atau encoding.................................................10
2.3.2 Penyimpanan atau storage.............................................11
2.3.3 Pemanggilan kembali atau recall....................................11
2.4 Biomolekular Memori....................................................................13
2.4.1 Short Term Potentiation...................................................13
2.4.2 Long Term Potetiation.....................................................14
2.5 Demensia......................................................................................16
2.5.1 Definisi.............................................................................16
2.5.2 Etiologi dan Klasifikasi....................................................16
2.5.3 Patofisiologi.....................................................................17
2.5.4 Tanda dan Gejala............................................................17
2.5.5 Pemeriksaan Fisik...........................................................18
2.5.6 Pemeriksaan Penunjang.................................................19
2.5.7 Diagnosis Banding .........................................................19
2.5.7.1 Delirium.............................................................19

2.5.7.2 Pseudodemensia...............................................20
2.6 Demensia Alzheimer.....................................................................21
2.6.1 Definisi.............................................................................21
2.6.2 Patofisiologi.....................................................................21
2.6.3 Etiologi.............................................................................22
2.6.4 Tanda dan Gejala............................................................22
2.6.5 Pemeriksaan Fisik...........................................................23
2.6.6 Pemeriksaan Penunjang.................................................24
2.6.7 Kriteria Diagnosis............................................................25
2.6.8 Terapi...............................................................................26
2.6.9 Prognosis........................................................................26
2.7 Demensia Vakular.........................................................................27
2.7.1 Definisi.............................................................................27
2.7.2 Etiologi.............................................................................28
2.7.3 Patofosiologi....................................................................28
2.7.4 Tanda Klinis.....................................................................29
2.7.5 Pemeriksaan Fisik...........................................................29
2.7.6 Pemeriksaan Penunjang.................................................30
2.7.7 Kriteria Diagnosis............................................................31
2.7.8 Terapi...............................................................................32
2.7.9 Prognosis........................................................................32
BAB III . KESIMPULAN......................................................................33
DAFTAR PUSTAKA............................................................................34

BAB I
PENDAHULUAN
1. 1

Latar Belakang
Memori merupakan suatu fungsi fundamental yang sangat penting
bagi manusia. Dalam melakukan setiap aktifitas sehari-hari manusia
membutuhkan memori baik secara sadar maupun tidak sadar. Contoh
pemakaian memori secara sadar seperti mengingat materi yang telah
dipelajari saat ujian, mengingat jalan, mengingat nama orang ataupun
mengingat suatu kegiatan yang harus dilakukan. Sedangkan pada
pemakaian memori secara tidak sadar seperti melakukan skill dan prilaku
sehari-hari. Sebagai contoh, bagi orang yang sudah bisa dan terbiasa
mengendarai mobil, dia tidak akan perlu berpikir lagi dimana letak rem
ataupun gas dan cara menggunakannya.
Perbedaan penggunaan memori tersebut ditentukan dari jenis
memori apa yang digunakan. Penggunaan memori pada saat seseorang
mengingat suatu informasi ataupun kegiatan dikenal dengan memori
eksplisit. Sedangkan memori yang berhubungan dengan skill disebut
dengan memori implisit. Memori implisit sangat bergantung pada sudut
pandang individu terhadap stimulus yang diberikan sedangkan pada
memori eksplisit tidak dipengaruhi. Dalam penyimpanan suatu memori
diperlukan

suatu

proses

penyimpanan.

Secara

umum

proses

penyimpanan memori melalui 3 proses yang saling berkaitan satu sama


lain. Proses penyimpanan memori tersebut tidak dapat dipisahkan dari
bagian otak yang disebut sistem limbik.
Lupa adalah fenomena yang mungkin sudah dianggap wajar
terjadi pada manusia, khususnya para manula, namun tak jarang pula hal
ini dapat dirasakan sangat mengganggu dan merugikan diri sendiri dan
orang disekitarnya. Bila kelupaan ini sudah sangat merugikan dan mulai
mengarah ke keadaan patologis, maka masalah ini bisa menjadi
perhatian sendiri dalam bidang kedokteran.
Fungsi memori sendiri sangat peka terhadap segala perubahan
patologis dari tubuh manusia, antara lain penyakit neurodegenerative,
stroke, tumor, cedera kepala, hipoksia, malnutrisi, depresi, kecemasan,

ataau bahkan merupakan efek samping dari suatu obat. Pada akhirnya
masalah yang mungkin lebih dikenal dengan istilah kepikunan dalam
bahasa awam, menjadi masalah multidisipliner, yang melibatkan dokter
umum, dokter saraf, dokter jiwa, dokter penyakit dalam, dan bahkan
dokter bedah.
Istilah kepikunan yang dikeluhkan oleh para kaum manula, sering
kali merupakan demensia, entah demensia vascular ataupun nonvaskular. Melalui makalah yang jauh dari sempurna ini, penulis berharap
bahwa mahasiswa kepaniteraan umum madya dapat mendiagnosis,
melakukan penatalaksanaan awal, dan mengetahui indikasi untuk
merujuk pasien demensia, mengingat demensia memiliki kompetensi 3A
dan Alzheimer kompetensi 2 menurut Standar Kompetensi Dokter
Indonesia 2012.
1. 2

Tujuan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan dari


penulisan makalah ini adalah :
1.

Mengetahui definisi dari memori

1.

Mengeahui neuroanatomi dari memori

2.

Mengetahui neurofisiologi dari memori

3.

Mengetahui definisi dan batasan dari demensia, demensia


Alzheimer, dan demensia vaskular

4.

Mengetahui etiologi dari demensia, demensia Alzheimer, dan


demensia vaskular

5.

Mengetahui

faktor

resiko

dari

demensia,

demensia

demensia,

demensia

Alzheimer, dan demensia vaskular


6.

Mengetahui

patofisiologi

dari

Alzheimer, dan demensia vaskular


7.

Mengetahui tanda dan gejala dari demensia, demensia


Alzheimer, dan demensia vaskular

8.

Mengetahui kriteria diagnosis dari demensia, demensia


Alzheimer, dan demensia vaskular

9.

Mengetahui

pemeriksaan

fisik

dan

penunjang

untuk

demensia, demensia Alzheimer, dan demensia vaskular


10.

Mengetahui manajemen penatalaksanaan dari demensia,


demensia Alzheimer, dan demensia vaskular

BAB II
PEMBAHASAN
Memory merupakan suatu fungsi fundamental yang sangat penting bagi
manusia. Dalam melakukan setiap aktifitas sehari-hari manusia membutuhkan
memory baik secara sadar maupun tidak sadar. Contoh pemakaian memori
secara sadar seperti mengingat materi yang telah dipelajari saat ujian, mengingat
jalan, mengingat nama orang ataupun mengingat suatu kegiatan yang harus
dilakukan. Sedangkan pada pemakaian memori secara tidak sadar seperti
melakukan skill dan prilaku sehari-hari. Sebagai contoh, bagi orang yang sudah
bisa dan terbiasa mengendarai mobil, dia tidak akan perlu berpikir lagi dimana
letak rem ataupun gas dan cara menggunakannya.
Perbadaan penggunaan memory tersebut ditentukan dari jenis memori
apa yang digunakan. Penggunaan memori pada saat seseorang mengingat
suatu informasi ataupun kegiatan dikenal dengan memori eksplisit. Sedangkan
memori yang berhubungan dengan skill disebut dengan memori implisit. Memori
implisit sangat bergantung pada sudut pandang individu terhadap stimulus yang
diberikan

sedangkan

pada

memori

eksplisit

tidak

diengaruhi.

Dalam

penyimpanan suatu memori diperlukan suatu proses penyimpanan. Secara


umum proses penyimpanan memori melalui 3 proses yang saling berkaitan satu
sama lain. Proses penyimpanan memori tersebut tidak dapat dipisahkan dari
bagian otak yang disebut sistem limbic.
2.1 Memori
2.1.1 Definisi Memori

Memori merupakan istilah umum dari suatu proses mental yang


menyebabkan seseorang dapat menyimpan informasi untuk recall
selanjutnya. Jangka waktu untuk panggilan/ recall dapat singkat beberapa
detik, atau panjang dalam beberapa tahun. Memori merupakan tempat
penyimpanan informasi dari lingkungan dengan kapasitas yang tidak
terbatas. Tulving &Craik mendefinisikan memori sebagai cara-cara yang
dengannya kita mempertahankan dan menarik pengalaman - pengalaman
dari masa lalu untuk digunakan saat ini

2.1.2 Klasifikasi
Berdasarkan jenis materi yang diingat, memori dibagi atas :
a. Memori prosedural
Disebut juga memori implisit. Merupakan bentuk memori yang tidak
dapat dinyatakan atau dibawa ke fikiran melalui penglihatan. Bentuk
memori ini lebih menekankan pada kemahiran dan recall keahlian kognitif
dan motorik setelah suatu prosedur khusus (misal belajar berjalan,
mengendarai sepeda, atau mobil). Daerah yang berperan adalah
neostriatum, serebellum dan korteks sensorimotor.
b. Memori deklaratif
Disebut juga memori eksplisit. Berupa pengetahuan yang dapat
dinyatakan dan dibawa ke dalam fikiran selama penglihatan sadar, seperti
fakta- fakta, kata, nama dan wajah seseorang, yang dapat dipanggil
kembali dari memori, ditempatkan dalam fikiran, dan dilaporkan. Jenis
memori ini sangat erat kaitannya dengan fungsi hipokampus dan struktur
lobus temporal mesial lainnya. Terbagi menjadi memori episodik dan
memori semantik. Memori episodik menunjuk kepada kejadian khusus
atau pengalaman seseorang, misalnya menghadiri acara pernikahan
teman dekat. Memori semantik menunjuk kepada proses belajar dan
recall fakta-fakta dan pengetahuan umum.
Berdasarkan modalitas materi yang diingat, terdiri dari :
a.

Memori verbal

Berkenaan dengan proses belajar dan recall informasi yang didapat


dari bahasa.
b. Memori non verbal

Berhubungan dengan proses belajar dan recall informasi visual,


melodi, sensasi sentuh dan bau.

Berdasarkan jangka waktu materi diingat, dibagi menjadi :


a. Short term memory

Ingatan jangka pendek merupakan tempat kita menyimpan ingatan


atas sesuatu yang baru saja dialami atau dipikirkan. Ingatan yang masuk
dalam memori sensoris diteruskan kepada ingatan jangka pendek. Ingatan
jangka pendek mempunyai durasi yang sedikit lebih lama dari memori
sensoris, selama kita menaruh perhatian pada sesuatu, kita dapat
mengingatnya dalam ingatan jangka pendek. Dari ingatan jangka pendek
ini, akan ada sebagian materi yang hilang, dan sebagian lagi diteruskan ke
dalam ingatan jangka panjang.
Jika kita mengingat kembali terhadap suatu informasi, maka dari
ingatan jangka panjang tadi akan dikembalikan ke ingatan jangka pendek.
Suatu misal, kita membaca suatu kalimat dalam sebuah buku, kalimat
tersebut kita ulang terus sampai kita bisa menuliskannya, dan kalimat
tersebut akan tetap tersimpan di dalam memori kita selama kita sering
memikirkannya atau mengulasnya kembali. Jika kita berhenti mengulas
atau memikirkannya maka, hal itu dengan sendirinya akan terhapus dalam
kisaran waktu 10-20 detik.
Kemampuan memori jangka pendek dalam menyimpan informasi
sangat terbatas, kurang lebih hanya lima hingga sembilan informasi saja
yang dapat ditampung di dalam memori jangka pendek secara sekaligus.
Setiap kali kita memberikan perhatian ke informasi baru yang berasal dari
memori sensorik, kita harus menyisihkan hal lain yang telah kita
perhatikan sebelumnya. Ingatan jangka pendek tidak hanya merupakan
tempat menampung ingatan sementara, tetapi juga berperan sebagai
tempat akses berpikir secara aktif, tempat menyaring, memilih, dan
menggabungkan informasi lama dengan informasi yang baru, setelah itu
barulah otak yang berperan dalam mengambil keputusan.
b. Long term memory

Ingatan jangka panjang adalah ingatan yang tersimpan dalam otak

manusia dan dapat ditarik kembali pada beberapa minggu bahkan tahun
kemudian. Pada long term memory, ingatan dapat isimpang tahunan
bahkan selamanya atau bersifat permanen. Pemrosesan memori dimulai
sejak diberikannya stimulus pada sistem sensoris. Selanjutnya stimulus
masuk ke dalam sensory register dalam beberapa detik. Sebagian besar
informasi yang masuk dalam sensory register akan dilupakan dan
beberapa akan dilanjutkan ke dalam memori jangka pendek. Informasi
yang sudah berada dalam short term memori sebagian lagi akan diproses
lebih lanjut ke dalam long term memory system namun sisanya akan
dilupakan. Informasi yang masuk ke dalam long term memory akan
bertahan lebih lama atau bahkan akan tetap ada seumur hidup.

Daerah otak yang berperan dalam proses belajar dan memori


2.2 Sistem Limbik
Sistem limbic adalah bagian dari otak yang sangat erat kaitannya dengan
prilaku. Struktur sentral serebrum basal dikelilingi korteks serebri yang disebut
korteks limbik. Korteks limbik berfungsi sebagai daerah asosiasi untuk

pengendalian fungsi tingkah laku tubuh dan sebagai gudang informasi atau
ingatan yang menyimpan informasi mengenai pengalaman yang lalu seperti rasa
nyeri, senang, nafsu makan, bau, dan sebagainya. Gudang informasi selanjutnya
disalurkan ke daerah limbik. Asosiasi informasi yang didapatkan dari gudang
informasi merupakan perangsangan untuk mencetuskan jawaban tingkah laku
yang sesuai dengan kondisi yang dihadapi seperti marah dan lain-lain.

Sistem

limbic

terdiri

atas

thalamus,

amigdala,

hipotalamus

dan

hipokampus. Dimana setiap bagian dari sistem limbic tersebut memiliki fungsi
dan peranan masing-masing dalam menyimpan suatu ingatan serta memberi
respon terhadap suatu kejadian.
Fungsi dari setiap bagian pada sistem limbic:
2.2.1

Talamus

Secara anatomis, thalamus terletak di otak bagian tengah dan berada tepat
diatas batang otak. Thalamus bekerja sebagai pusat pengaturan kognitif
manusia dimana thalamus sebagai pusat penerimaan hantaran rangsangan
dari sistem indra pada tubuh dan menyalurkan ke korteks serebri untuk
diolah.
2.2.2

Hipotalamus

Hipotalamus merupakan bagian depan dari diensefalon yang terletak di


bagian bawah dari sulkus hipotalamic dan di depan nucleus
interpundenkuler. hipotalamus terbagi dalam berbagai inti dan daerah
inti. Thalamus berfungsi mengontrol dan mengatur sistem syaraf
autonom juga bekerja dengan hipofisis untuk mempertahankan
keeimbangan cairan, mempertahankan pengaturan suhu tubuh melalui
peningkatan vasokonstriksi maupun vasodilatasi pembuluh darah.
Hipotalamus juga bekerjasama dengan kelenjar hipofisis untuk
mempengaruhi hormon dalam tubuh. Fungsi lain dari hipotalamus
adalah memberikan sensasi lapar ketika gula darah rendah, mengatur
berat badan dengan cara mempengaruhi deposit lemak subkutan,
mengatur rasa mengantuk, mengatur suhu tubuh, mengatur tekanan
darah, mengatur respon emosional serta mengatur gairah seksual.
2.2.3

Amigdala

Amigdala berfungsi sebagai pusat pengatur emosi. Jadi rangsangan dari


indra tubuh diteruskan ke otak kemudian ke talamus lalu sinaps tunggal
menuju ke amigdala. Kemudian amigdala akan memberikan reaksi/respon
emosi. Emosi yang ditangkap oleh amigdala akan dirasionalisasikan oleh
korteks prefrontal, ketika amigdala mengontrol emosi, korteks prefrontal
mengendalikannya dalam proporsi seimbang. Mekanisme kerjanya, amigdala
memproses emosi secara langsung atau melalui system limbik yang lain yang
sinyalnya diberikan oleh amigdala. Untuk komponen emosi yang kerjanya
dijalarkan ke hipotalamus, maka yang menentukan komponen emosi apa
yang akan timbul ( senang atau kecewa, marah atau bahagia serta

komponen lain ) ditentukan oleh amigdala. Hipotalamus hanya sebagai


tempat pembentukan, tapi konsep atau pola emosi yang akan dibentuk sudah
ditentukan oleh amigdala meskipun hipotalamus sendiri dapat menghasilkan
komponen perilaku dengan menggunakan rangsangan listrik. Terkadang
rangsangan dari talamus bekerja lebih cepat pada amigdala daripada
neurokorteks sehingga terjadi emosi yang bertindak lebih cepat sebelum otak
rasional dapat berpikir.
2.2.4

Hipokampus

Hipokampus merupakan bagian dari otak besar yang terdapat didaerah lobus
temporal. Normalnya setiap manusia memiliki 2 hipokampus yang masingmasing berada di bagian kanan dan kiri otak. Hipokampus memiliki peran
penting dalam proses penyimpanan memori jangka pendek. Untuk memori
jangka pendek, memori akan cepat hilang dan tidak dapat diingat samasekali.
Untuk menjadi ingatan jangka panjang, perlu dilakukan pengulangan atas
memori jangka pendek. Perubahan memori jangka pendek menjadi meori
jangka panjang disebut konsolidasi memori.
2.3 Tahapan Pembentukan Memori
Proses memori terdiri dari 3 tahapan:
2.3.1

Registrasi atau encoding

Pada tahap ini informasi diterima dan diregistrasi oleh suatu modalitas
sensorik tertentu seperti sentuhan, pendengaran atau penglihatan.
Setelah informasi sensorik diterima dan diregistrasi, informasi tersebut
dipertahankan sementara dalam working memory (memori jangka
pendek). Proses Encoding (pengkodean terhadap apa yang dipersepsi
dengan

cara

mengubah

menjadi

simbol-simbol

atau

gelombang-

gelombang listrik tertentu yang sesuai dengan peringkat yang ada pada
organisme). Jadi encoding merupakan suatu proses mengubah sifat suatu
informasi ke dalam bentuk yang sesuai dengan sifat-sifat memori
organisme. Proses ini sangat mempengaruhi lamanya suatu informasi
disimpan dalam memori.
Proses pengubahan informasi ini dapat terjadi dengan dua cara, yaitu:

1. Tidak sengaja, yaitu apabila hal-hal yang diterima oleh inderanya


dimasukkan dengan tidak sengaja ke dalam ingatannya. Contoh
konkritnya dapat kita lihat pada anak-anak yang umumnya menyimpan
pengalaman yang tidak disengaja, misalnya bahwa ia akan mendapat apa
yang diinginkan jika ia menangis keras-keras sambil berguling-guling.
2. Sengaja, yaitu bila individu dengan sengaja memasukkan
pengalaman dan pengetahuan ke dalam ingatannya. Contohnya kita
sebagai mahasiswa, dimana dengan sengaja kita memasukkan segala hal
yang dipelajarinya di perguruan tinggi.
2.3.2

Penyimpanan atau storage


Fungsi kedua dari ingatan adalah mengenai penyimpanan (penyimpanan

terhadap apa yang telah diproses dalam encoding, apa yang dipelajari atau apa
yang dipersepsi). Sesuatu yang telah dipelajari biasanya akan tersimpan dalam
bentuk jejak-jejak (traces) dan bisa ditimbulkan kembali. Jejak-jejak tersebut
biasa juga disebut dengan memory traces. Walaupun disimpan namun jika tidak
sering digunakan maka memory traces tersebut bisa sulit untuk ditimbulkan
kembali bahkan juga hilang, dan ini yang disebut dengan kelupaan. Sehubungan
dengan masalah retensi dan kelupaan, ada satu hal yang penting yang dapat
dicatat,

yaitu

mengenai

interval

atau

waktu

antara

memasukkan

dan

menimbulkan kembali.
Masalah intercal dapat dibedakan atas lama interval dan isi interval:
Lama interval, yaitu berkaitan dengan lamanya waktu pemasukan bahan
(act of remembering). Lama interval berkaitan dengan kekuatan retensi. Makin
lama intervalnya, makin kurang kuat retensinya, atau dengan kata lain kekuatan
retensinya menurun.
Isi interval, yaitu berkaitan dengan aktivitas-aktivitas yang terdapat atau
mengisi interval. Aktivitas-aktivitas yang mengisi interval akan merusak atau
mengganggu memory traces, sehingga kemungkinan individu akan mengalami
kelupaan.
Proses penyimpanan ini dapat ditingkatkan dengan pengulangan, sehingga
dikatakan bahwa penyimpanan adalah suatu proses aktif yang memerlukan
usaha berupa latihan dan pengulangan.

2.3.3

Pemanggilan kembali atau Recall

Merupakan tahap akhir dari proses memori. Pada tahap ini


informasi yang sudah disimpan dipanggil kembali sesuai permintaan atau
kebutuhan (disebut memori deklaratif). Fungsi ketiga ingatan adalah
berkaitan dengan menimbulkan kembali hal-hal yang disimpan dalam
ingatan. Proses mengingat kembali merupakan suatu proses mencari dan
menemukan informasi yang disimpan dalam memori untuk digunakan
kembali bila dibutuhkan. Mekanisme dalam proses mengingat kembali
sangat membantu organisme dalam menghadapi berbagai persoalan
sehari-hari. Seseorang dikatakan Belajar dari Pengalaman karena ia
mampu menggunakan berbagai informasi yang telah diterimanya di masa
lalu untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi saat ini juga.
Menimbulkan

kembali

ingatan

yang

sudah

disimpan

dapat

menggunakan cara:
1. Recall, yaitu proses mengingat kembali informasi yang dipelajari di masa
lalu tanpa petunjuk yang dihadapkan pada organisme. Contohnya
mengingat nama seseorang tanpa kehadiran orang yang dimaksud.
2. Recognize, yaitu proses mengenal kembali informasi yang sudah
dipelajari melalui suatu petunjuk yang dihadapkan pada organisme.
Contohnya mengingat nama seseorang saat ia berjumpa dengan orang
yang bersangkutan.
3. Redintegrative, yaitu

proses

mengingat

dengan

menghubungkan

berbagai informasi menjadi suatu konsep atau cerita yang cukup


kompleks. Proses mengingat reintegrative terjadi bila seseorang ditanya
sebuah nama, misalnya Siti Nurbaya (tokoh sinetron), maka akan teringat
banyak hal dari tokoh tersebut karena orang tersebut telah menontonnya
berkali-kali.

Klasifikasi lain dari memori yang di recall adalah:


1. Immediate memory

Istilah yang digunakan bila memori dipanggil kembali setelah jangka


waktu beberapa detik. Disebut juga immediate recall. Immediate memory
sangat bergantung pada atensi dan konsentrasi. Contoh memori ini adalah
mengingat nama baru yang baru saja didengar. Daerah yang berperan

adalah daerah asosiasi neokorteks dan prefrontal.


2. Recent Memory

Berkaitan dengan recall memori setelah beberapa menit, jam atau hari.
Memori ini ditingkatkan dengan proses belajar dan pengulangan.
Beberapa peneliti telah menemukan adanya perubahan pada sinaps, yang
disebut dengan long term synaptic potentiation yang dapat menjelaskan
keadaan ini. Contoh dari memori ini adalah mempelajari materi baru dan
memanggil materi itu setelah beberapa menit, jam, atau hari. Daerah yang
berperan adalah lobus temporal medial (hipokampus, amigdala dan
diencephalon.
3. Remote Memory

Menunjuk kepada recall kejadian yang telah terjadi bertahun- tahun


sebelumnya, misalnya mengingat nama- nama guru, dan teman- teman
sekolah yang lama, tanggal lahir, dan fakta sejarah. Pada pasien yang
mengalami gangguan pada recent memory, remote memory menunjuk
kepada recall kejadian- kejadian sebelum onset terjadinya gangguan
recent memory. Struktur otak yang terlibat dalam remote memory adalah
korteks asosiasi kanan dan kiri.
Perbedaan dari ketiga jenis memori tersebut dideskripsikan dalam tabel
dibawah ini.
Memory

Phase

Time course

Name

Required Anatomy

Stage
Sensori

Perception

Immediate

Perception

Basic sensory cortex

Primary

information
Processing

Few seconds

recognition
Short term

Sensory, motor,cortex

registration
Storage/

Minutes,

Recent

Limbic

consolidation

hours, days

memory

hippocampus,

Retrieval

Years

Remote/old

amygdala
Left, right association

memory

cortex

short term
Secondary
long term

Sumber: Kempler, D. 2005. Neurocognitivedisorder in aging. Sage

system,

Publications, Inc. California


2.4 Biomolekular Memory
2.4.1 Short Term Potentiation
Penyimpanan memori jangka pendek sangat erat kaitannya dengan
habituasi dan sensitisasi. Habituasi adalah pengurangan respon terhadap
rangsangan atau kejadian yang diberikan secara berulang ulang terutama
jika tidak ada pengaruh terhadapnya. Sedangkan sensitisasi adalah
peningkatan respon terhadap stimulus yang ringan menyertai stimulus
yang kuat atau berbahaya.
Habituasi
Saat sebuah potensial aksi tiba pada terminal akson presinap,
kanal ca2+ terbuka sehingga Ca masuk kedalam sel untuk memicu
eksositosis neuoro transmitter. Pada habituasi pembukaan kanal Ca ini
tidak terjadi atau berkurang. Habituasi merupakan proses belajar yang
paling umum dan merupakan proses pertama pada bayi. Dengan belajar
untuk tidak mengindhkan stimulus tertentu, stimulus-stimulus yang lebih
penting akan lebih diperhatikan.
Sensitasi
Berkebalikan dengan habituasi, pada sensitasi pembukaan kanal
kalsium justru meningkat. Oleh karena itu, terjadi peningkatan pelepasan
neurotrasnmiter sehingga potensial post sinaps juga menjadi lebih besar.
Neurotransmitter serotonin dilepaskan dari interneuron yang bersinaps
pada

terminal

presinaps

sehingga

terjadi

peningkatan

pelepasan

neurotransmitter presinaps sebagai respon atas potensial aksi. Hal


tersebut juga memicu aktivasi jalur second messenger cAMP di dalam
terminal presinaps yang akan menyebabkan pengeblokan kanal K+. Hal
tersebut akan memperpanjang potensial aksi pada terminal presinaps
mengingat fungsi kanal k+ pada repolarisasi terhambat.
2.4.2 Long Term Potentiation

Long Term Potentiation (LTP) adalah peningkatan transmisi sinaps


yang lain, suatu peningkatan pada eksitabilitas sel- sel post sinaps yang
berlangsung selama beberapa jam, hari atau minggu setelah sel pre
sinaps yang berkaitan distimulasi dengan getaran frekuensi tinggi (Curran
dkk,2002)
Long

Term

Potentiation

(LTP)

pertama

kali

ditemukan

di

hipokampus dan telah lama diketahui berperan dalam proses belajar dan
memori. Proses ini dibangkitkan melalui pengaktifan sinaps dari reseptor
post sinaps N-Methyl D-Aspartate (NMDA), suatu reseptor glutamat jenis
ionotropik, dan depolarisasi post sinaps, yang disebabkan oleh stimulasi
berulang pada sinaps.
Pada keadaan basal dimana transmisi sinaps berfrekuensi rendah,
sinaps melepaskan glutamat yang berikatan pada 2 reseptor glutamat
ionotropik yang berbeda, yakni NMDA dan AMPA (-amino-3-hydroxy-5methyl-4-isoxazole propionic acid), yang terletak pada celah dendrit.
Reseptor AMPA memiliki saluran yang permeable terhadap kation
monovalen (Na+ dan K+), dan pengaktifan reseptor AMPA menyebabkan
ion-ion tersebut masuk dan membangkitkan respons eksitasi sinaps ketika
sel berada pada potensial membran istirahat. Sedangkan reseptor NMDA
bergantung pada voltase yang kuat karena hambatan pada salurannya
oleh magnesium pada potensial membran negatif. Akibatnya, reseptor
NMDA hanya berperan sedikit pada respon post sinaps selama aktivitas
sinaps basal. Pada keadan sel depolarisasi, magnesium terpisah dari
tempat ikatannya didalam saluran reseptor NMDA, dan menyebabkan
kalsium dan natrium memasuki celah dendrit. Peningkatan kalsium
intraseluler dibutuhkan untuk membangkitkan LTP.
Ion

Kalsium

(Ca2+)

yang

berperan

sebagai

second

messenger

melekatkan diri pada protein calmodulin dan enzim Protein Kinase C


(PKC) membentuk Calcium calmodulin- dependent protein kinase II
(CaMKII) yang dibutuhkan untuk meningkatkan kekuatan sinaps yang
berlangsung lama, sehingga memori dapat disimpan dalam jangka

panjang.

Gambar Proses pembentukan long term potentiation


2.5
Demensia
2.5.1 Definisi
Demensia adalah sebuah gangguan pada kemampauan intelektual,
khususnya pada fungsi otak yang lebih tinggi, seperti ingatan, pengambilan
keputusan, berpikir abstrak, pencarian alasan, kemmapuan berbahasa, dan
hubungan visuospasial, dan semua hal tersebut berfungsi untuk menjaga
seseorang tetap sadar dan waspada. Adanya gangguan pada hal tersebut cukup
mengganggu fungsi social dan ekonomi dari penderita.
Menurut NINCDS-ADRDA (National Institute

of

Neyrological

and

Communicate Disorder Stroke-Alzheimers Disease and Related Disorders


Association), demensia adalah kemunduran memori dan fungsi kognisi lain
dibanding tingkat fungsi sebelumnya berdasarkan riwayat kemunduran kognisi
dan gangguan yang terlihat pada pemeriksaan klinik serta tes neuropsikologi.

2.5.2

Etiologi dan Klasifikasi


Berdasarkan etiologi dan reversibilitasnya demensia dapat dibagi menjadi 2

kategori :
A. Reversibel / potensial reversible
- Demensia vascular
- Demensia akibat hidrosefalus
- Demensia akibat penyakit psikiatri
- Demensia akibat penyakit umum berat
- Demensia akibat defisiensi vitamin B12
- Demensia akibat gangguan / penyakit metabolic misalnya hipertiroid /
hipotiroid
A. Ireversibel
- Demensia Alzheimer
- Demensia akibat infeksi (HIV)
- Demensia akibat trauma kapitis
- Demensia akibat penyakit Parkinson
- Demensia akibat penyakit Pick
- Demensia Lewy bodies
- Demensia akibat penyakit Creutzfeld Jacob
Angka kejadian tertinggi adalah demensia Alzheimer yang meliputi 50-55%
dari seluruh jenis demensia. Namun pada penelitian di beberapa negara Asia,
seperti Singapura, Jepang, dan India, menunjukkan angka kejadian demensia
vascular lebih tinggi dibandingkan demensia Alzheimer.
2.5.3 Patofisiologi
Terdapat beberapa proses yang dapat menyebabkan terjadinya proses
demensia:
- Proses degenerasi bisa terjadi karena adanya kerusakan secara genetik,
karena inflamasi, atau biokemis dari otak sendiri;
- Terjadinya kematian sel (infark) otak pada beberapa tempat (multiple foci)
pada thalamus, basal ganglia, jalur proyeksi otak, dan area asosiasi;
- Trauma, lesi pada serebrum, terutama pada daerah frontal, temporal,
korpus kalosum, dan mesencephalon;
- Penekanan, peningkatan tekanan intracranial, dan hidrosefalus kronis.

Proses degenerasi demensia yang paling sering ditemukan adalah


jenis demensia Alzheimer, demensia vascular, demensia Lewy bodies,
penyakit Huntington, dan penyakit Creutzfeldt-Jakob. Setiap jenis
demensia memiliki patofisologi sendiri-sendiri yang melibatkan mekanisme
molecular dalam otak. Pada jenis demensia yang sifatnya diturunkan,
seperti demensia Alzheimer, faktor resiko seseorang untuk terkena
demensia bisa meningkat 4x lipat, bila terdapat riwayat keluarga yang

terkena demensia, khususnya tipe Alzheimer. Pengaruh lingkungan juga


berpengaruh pada terjadinya demensia. Namun pengaruh lingkungan
yang paling pasti mempengaruhi terjadinya demensia, seperti aluminium,
masih belum bisa dimengerti secara jelas.
2.5.4 Tanda dan Gejala
Onset dari demensia sebenarnya masih belum jelas, namun yang pasti
penyakit ini muncul perlahan-lahan, bisa bulanan hingga tahunan. Perjalanan
klinisnya bertahap dan perlahan, progresif dan terus memburuk. Pada penderita
demensia bisa ditemukan gejala neruropsikologis, berupa waham, halusinasi,
misidentifikasi, depresi, apatis, dan cemas. Mungkin juga ditemukan gejala
perilaku, seperti bepergian tanpa tujuan (wandering), agitasi, agresivitas fisik
maupun verbal, restlessness, dan disinhibisi.
Riwayat adanya gangguan kognisi merupakan bagian pening dalam tanda
dan gejala demensia. Riwayat gangguan memori sesaat, jangka pendek, dan
jangka panjang; gangguan orientasi ruang dan waktu; gangguan berbahasa /
komunikasi (fungsi luhur berbahasa : fluently, comprehension, repetition, naming,
reading,

writing);

gangguan

fungsi

eksekutif;

gangguang

praksis;

dan

visuospasial. Dalam hal ini diperlukan heteroanamnesis terhadap orang terdekat


pasien, apakah ada perubahan atau penurunan pada kinerja pasien selama di
rumah atau di tempat kerja, seperti mempersiapkan keperluan harian, mengatur
keuangan, melakukan hobinya, ataupun berinteraksi social dengan orang sekitar.
2.5.5 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien yang dicurigai mengalami demensia terdiri
dari pemeriksaan fisik umum, neurologis, dan neuropsikologi. Pemeriksaan fisik
umum terdiri dari pemeriksaan medis umum sebagiamana yang dilakukan dalam
praktik klinis, seperti keadaan umum, tanda-tanda vital, dan pemeriksaan fisis
dari kepala hingga ekstremitas.
Pemeriksaan neurologis yang dilakukan seharusnya adalah pemeriksaan
neurologis lengkap mulai dari tingkat kesadaran (GCS Glasgow Coma Scale),
fungsi luhur (berbahasa, berbicara, menulis), tanda-tanda meningeal, fungsi
nervus kranialis, fungsi motoris, sensoris (umum dan khusus), reflek (fisiologis,
patologis, dan regresi), dan otonom. Namun yang lebih diperhatikan adalah

adanya tanda-tanda tekanan intracranial yang meningkat, gangguan neurologis


fokal, dan adanya reflek patologis dan regresi / primitive.
Pemeriksaan neuropsikologi pada penderita demesia meliputi evalusi
memori, orientasi, bahasa, kalkulasi, praksis, visuospasial, dan visuoperseptual.
MiniMental State Examination (MMSE) dan Clock Drawing Test (CDT) adalah
pemeriksaan yang bisa digunakan untuk menilai adanya gangguan kognisi,
progresivitas penyakit, dan efektivitas obat. Nilai normal MMSE adalah 20-30.
Gejala awal demensia perlu dipertimbangkan bila skor MMSE kurang dari 27,
khususnya untuk pasien-pasien dengan latar belakang pendidikan atau sosioekonomi yang tergolong tinggi. Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan seperti
Activity of Daily Living (ADL) dan Instrumental Activity of Daily Living (IADL).
Namun sekali lagi, pemeriksaan tersebut sangat dipengaruhi oleh latar belakang
pendidikan, social, dan budaya pasien.
2.5.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang bisa dan perlu untuk dilakukan pada pasien
demensia adalah pemeriksaan laboratorium, pencitraan otak, EEG, dan bila
mungkin pemeriksaan genetis. Pemeriksaan laboratorium yag dianjurkan oleh
American Academy of Neurology, meliputi pemeriksaan darah lengkap, serum
elektrolit, fungsi ginjal, fungsi hati, hormone tiroid (T3, T4, TSH), dan kadar
vitamin B12. Pemeriksaan HIV dan neurosifilis bisa dilakukan bila memang
pasien memiliki factor resiko. Pemeriksaan cairan serebrospinalis dilakukan
hanya bila ada indikasi dan harus dilakukan oleh tenaga medis yang
berkompeten dan di fasilitas kesehatan yang lengkap.
Pemeriksaan penunjang selanjutnya yang bisa dilakukan adalah pencitraan
otak. Pemeriksaan ini selain digunakan untuk menunjang diagnosis, juga untuk
menentukan beratnya penyakit, maupun prognosis pasien. Pencitraan yang
biasa digunakan seperti CT-scan (Computerized Tomography), MRI (Magnetic
Resonance Imaging), PET (Positron Emission Tomography), dan SPECT (Single
Photon Emission Computerized Tomography). CT-scan dan MRI dapat
mendeteksi adanya kelainan structural, sedangkan PET dan SPECT dgunakan
untuk pemeriksaan fungsional. Ada beberapa hal yang bisa diperhatikan dalam
pemeriksaan ini, seperti: Infark serebri, perdarahan subdural, atau tumor otak,
Perubahan pembuluh darah kecil, Atrofi fokal, khususnya pada lobus temporalis

media (khas pada demensia Alzheimer), Atrofi serebri, Atau mungkin gambaran
normal sesuai dengan usia.
Pada pemeriksaan EEG akan didapatkan perlambatan umum dan kompleks
periodic pada stadium lanjut, selain itu pemeriksaan ini tidak menunjukkan
kelainan yang spesifik.Pemeriksaan genetika sejauh ini masih belumbisa
dilakukan secara rutin, namun hanya dilakukan dalam penelitian.
2.5.7 Diagnosis Banding
2.5.7.1
Delirium
Delirium adalah keadaan akut danserius, serta dapat mengancam jiwa, yang
bisa disebabkan oleh berbagai penyakit, seperti gangguan metabolic dan reaksi
obat. Tanda dan gejala delirium meliputi penurunan kesadaran, kesulitan dalam
mempertahankan atensi terhadap rangsangan luar, ganggaun pola tidur,
disorientasi, dan gangguan memori jangak pendek maupun panjang.
Gambaran Klinis
Onset

Perjalanan penyakit

Reversible/irreversible
Disoreintasi
Fluktuasi
Perubahan fisologis
Kesadaran
Rentang waktu atensi
Siklus tidur

Gangguan Psikomotor

Delirium
Demensia
Onset akut dan onset Onset tidak jelas dengan
diketahui dengan tepat
waku onset yang tidak
diketahui
Akut, dan berlangsung Perlahan, bertahap, dan
berhari-hari
sampai progresif memburuk
mingguan
Reversible
Ireversible
Hanya pada fase awal
Pada fase lanjut
Dari jam ke jam
Ringan dari hari ke hari
Nyata
Tidak begitu nyata
Berfluktuasi
Berkabut pada tahap
akhir
Pendek
Normal
Ganggaun tidur-bangun, Gangguan tidur-bangun,
bervariasi dari jam ke bervariasi dari siang ke
jam
malam
Pada fase awal
Pada fase lanjut

2.5.7.2 Pseudodemensia
Pseudodemensia seringkali menunjukkan gejala yang hampir sama dengan
demensia itu sendiri, namun seringkali pseudodemensia lebih sering dikarenakan
oleh adanya depresi yang mempengaruhi status kognisi penderita.
Gambaran Klinis
Onset

Pseudodemensia
Demensia
Akut, dengan perubahan Perlahan, berbulan-bulan

Mood / tingkah laku

Insight (tilikan)
Keluhan

Durasi

Alasan konsultasi

Riwayat sebelumnya

tingkah laku
Banyak keluhan, seperti
tidak bisa melakukan tes,
namun hasil tes objektif
baik
Jelek
Ansietas, insomnia, anoreksia

Tes neuropsikiatri jelak,


namun penderita berusaha meminimalkan kekurangannya
Normal
Jarang, kadang-kadang
insomnia, keluhan progresif perlahan , berbulan-bulan
Bervariasi,
dapat Bervariasi, jangka sangat
berhenti
spontan
/ lama
setelah terapi
Rujukan sendiri, merasa Dibawa oleh keluarga
cemas menderita Al- yang
meraskan
pezheimer
rubahan memori, kepribadian dan tingkah
laku
Riwayat penyakit psi- Tidak jarang ditemukan
kiatri dan/atau masalh riwayat keluarga dengan
pribadi / keluarga
demensia

2.6 Demensia Alzheimer

2.6.1 Definisi
Pada usia 65 tahun ke atas biasanya jenis demensia yang paling banyak
terjadi adalah

jenis demensia non-vaskular, dan salah satu yang terbanyak

adalah demensia Alzheimer. Penyakit Alzheimer merupakan salah satu penyakit


yang sangat sering terjadi dan juga menduduki peringkat ke-4 sebagai penyebab
kematian pada populasi lansia. Penyakit Alzheimer merupakan penyebab
terbanyak demensia. Panyakit inimemiliki prevalensi yang terus bertambah
sesuai dengan bertambahnya usia. Sekitar 5% pada usia di atas 50 tahun, dan
hampir 50% pada usia di atas 85 tahun. Hingga saat ini penyebab pasti dari
demensia Alzheimer masih belum diketahui.
Demensia Alzheimer yang selanjutnya lebih sering disebut dengan
Alzheimer saja pertama kali dikenalkan oleh seorang ahli neuropatologis
berkebangsaan Jerman bernama Alois Alzheimer (1907), pada seorang wanita
usia 50 tahun dengan gangguan memori dan waham paranoid, serta afasia
progresif. Pada tahun 1977, Maurer dan kawan-kawan dapat menjelaskan
gambaran patologianatomi penyakit ini melalui otopsi, berupa senile plaque, yang

selanjutnya dikenal dengan neuritic plaque. Pada penyakit ini ditemukan adanya
abnormalitas berupa pecahan protein membrane sel saraf yang disebut dengan
Amyloid Precursor Protein (APP) dan akumulasi dari -amyloid.
2.6.2 Patofisiologi
Hingga saat ini penyebab pasti dari penyakit Alzheimer masih belum
diketahui. Namun ada beberapa teori yang akhir-akhir ini sudah mulai diteliti,
seperti berkurangnya stimulasi neurotransmitter oleh choline acetyltransferase;
mutasi dari APP; rusaknya apoE, yang berfungsi untuk mengikat -amyloid; dan
aktivasi patologis pada NMDA (N-methyl-D-aspartate) sehingga terjadi influx
berlebih dari kalsium.
Patogenesis dari Alzheimer berhubungan dengan peptide -amyloid. amyloid berasal dari proteolysis APP yang melepas -amyloid 30 hingga 46,
dengan -amyloid 40 dan 42 isoform yang paling banyak. Terganggunya
keseimbangan antara produksi dan pembersihan dari -amyloid, menyebabkan
penumpukan di otak. Neuritic plaque merupakan tanda pertama hasil akumulasi
dari -amyloid. Penumpukan ini diikuti deposisi dari protein tau dan neurofibrillary
tangles. Penumpukan ini bersifat toksis terhadap sel saraf.
Protein tau, yang normalnya berfungsi untuk menstabilisasi sistem transport
mikrotubuler di sel saraf, terlepas dari mikrotubulus dan membentuk filament
helix

yang

tak

larut,

yang

selanjutnya

disebut

neurofibrillary

tangles.

Penumpukan neurofibrillary tangles dan neuritic plaque lebih banyak terjadi pada
korteks serebri dan hipokampus.Penumpukan -amyloid pembuluh darah otak
dapat

menyebabkan

amyloid

angiopathy

yang

menyebabkan

gangguan

peredaran darah pada pasien dengan Alzheimer. Berkurangnya aliran darah ke


otak dapat memperberat gejala Alzheimer karena transpor oksigen dan glukosa
juga berkurang. Secara makroskopis, gambaran otak pada pasien Alzheimer
memiliki volume dan berat yang menurun, sulcus yang melebar, dan girus yang
menipis, khusunya pada lobus fronto-temporal otak. Ventrikel otak juga ikut
melebar untuk mengisi kekosongan yang terjadi.
2.6.3 Etiologi
Terdapat beberapa factor resiko yang memungkinkan unutk seseorang
menderita demensia Alzheimer. Faktor resiko penyakit Alzheimer antara lain :
- Usia : kebanyakan penderita berusia di atas 65 tahun;

Genetik : mutasi gen precursor amyloid, gen presenilin 1 dan 2, serta

apoE 4;
Riwayat penyakit terdahulu : cedera kepala berat;
Penyakit metabolic : obesitas, hyperlipidemia, dan diabetes mellitus.

2.6.4 Tanda dan Gejala


Berdasarkan keadaan klinis dari penderita, Alzheimer dapat dibagi menjadi
beberapa stadium, yaitu :

Stadium awal : pada stadium ini sudah tampak adanya gangguan


memori yang ringan, namun sering kali oleh penderita atau keluarga
penderita masih dianggap suatu kepikunan yang wajar, dan biasanya juga
diikuti dengan sering merasa lelah dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
Hal lain yang sering dikeluhkan oleh keluarga atau orang sekitar pasien
seperti sulit mengulang kata-kata, sulit menyebutkan nama benda yang
sudah dikenali, perubahan perilaku, kesulitan mempelajari hal baru, dan
juga tak jarang tersesat di jalan yang sering dilewati.
Stadium lanjut : pada stadium ini gejala-gejala yang sebelumnya
telah terjadi pada stadium awal, mulai nampak jelas. Sering kali pada
stadium ini pasien membutuhkan bantuan orang lain untuk melakukan
aktivitas sehari-hari yang lebih rumit, seperti menyiapkan makanan sendiri
ataupun menyetir. Hal-hal lain yang sering dikeluhkan saat datang ke
dokter adalah penderita sering melupakan rincian tentang kegiatan
tertentu, tidak mengenali diri sendiri, halusinasi, waham, dan bahkan
depresi, yang kadang sering disalahartikan sebagai pseudodemensia.
Stadium akhir : pada stadium paling terakhir dari Alzheimer, penderta
sudah benar-benar tidak bisa melakukan kegiatan apapun tanpa bantuan
keluarga atau orang sekitarnya.
Bisa dikatakan bahwa gambaran klinis pada penderita Alzheimer meliputi
gangguan kognitif, psikiatri, dan perilaku. Gangguan kognitif awal yang bisa
disadari adalah gangguan memori jangka pendek dan juga memori kerja.
Gangguan ini seringkali diikuti dengan kesulitan berbahasa, disorientasi, dan
inatensi. Gangguan psikiatrik dan perilaku yang sering muncul pada penderita
Alzheimer adalah depresi, kecemasan yang berlebih, halusinasi, dan waham.

2.6.5 Pemeriksaan Fisik


Prinsip pemeriksaan fisik pada demensia Alzheimer sama dengan demensia
pada umumnya, yaitu pemeriksaan fisik umum dan neurologis. Pemeriksaan fisik
umum lebih bertujuan utuk mendeteksi kelainan-kelainan metabolic yang
mungkin timbul pada pasien tersebut sebagai penyebab / etiologi dari Alzheimer
yang dideritanya.
Pada pemeriksaan fisik neurologis, yang perlu diperhatikan adalah adanya /
munculnya reflek-reflek regresi, seperti :
Reflek memegang : jari telunjuk dan tengah pemeriksa diletakkan di
telapak tangan penderita, dan dinyatakan positif bila jari pemeriksa
dipegang atau digenggam secara spontan oleh penderita;
Reflek menghisap : positif bila bibir penerita melakukan gerakan seperti
menghisap secara spontansaat bibirnya disentuh oleh sesuatu;
Reflek mencucu : positif bila saat pemeriksa mengetuk bibir atas atau
bawah penderita, muskulus orbicularis oris berkontraksi;
Reflek glabela : positif saat penderita memejamkan matanya setiap
glabella diketuk. Pada orang yang tidak menderita demensia, mata akan
berkedip 2-3 kali saja, meskipun glabella diketuk berkali-kali;
Reflek palmomental : positif saat goresan pada kulit tenar diikuti
kontraksi otot mentalis ipsilateral.
Pemeriksaan fisik lain yang bisa dilakukan adalah MMSE, yang berguna
untuk mengetahui kemampuan orientasi, registrasi, perhatian, daya ingat,
kemmapuan bahasa, dan berhitung.
2.6.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan lain yang biasa digunakan untuk menunjang diagnosis
Alzheimer adalah:

Pemeriksaan laboratorium : darah lengkap, kadar vitamin B 12 dan B9,


serum elektrolit, glukosa darah, fungsi ginjal, fungsi hati, fungsi tiroid,
serologis HIV dan sifilis, serta analisis gas darah.
Pemeriksaan radiologi :
-

MRI dan CT scan : kedua pencitraan ini merupakan pemeriksaan


yang

utama

untuk

Alzheimer.

Pada

pemeriksaan

ini

akan

menunjukkan atrofi serebral atau kortikal yang difus.


SPECT scan : pemeriksaan ini akan menunjukkan penurunan perfusi

jaringan di daerah temporo-parietalis bilateral.


PET scan : pemeriksaan ini akan menunjukkan penurunan aktivitas
metabolic di daerah temporo-parietalis bilateral.

EEG : pemeriksaan ini akan menunjukkan penurunan aktivitas alfa dan


peningkatan aktivitas teta yang menyeluruh.
Pungsi lumbal : pemeriksaan ini dilakukan untuk menyampingkan adanya
tanda-tanda infeksi pada cairan serebrospinalis, namun pungsi lumbal
hanya dilakukan atas indikasi.
Pemeriksaan MRI dan CT-scan diindikasikan untuk pasien demensia
yang memiliki onset terjadi pada usia < 65 tahun, atau manifestasi klinis
timbul < 2 tahun, atau tanda dan gejala neurologi asimetris, atau adanya
gambaran klinis hidrosefalus tekanan normal (NPH Normal Pressure
Hydrocephalus).
2.6.7

Kriteria Diagnosis

Dasar diagnosis untuk Alzheimer adalah menurunnya memori dengan


onset tidak jelas/ insidious onset dan berjalan progresif, serta adanya
gangguan / kemunduran satu atau lebih domain kognitif lain, seperti afasia
apraksia, agnosia, dan fungsi eksekutif.
Berdasarkan NINCDS-ADRDA, diagnosis Alzheimer dibagi menjadi 3
tipe, yaitu:
- Definite Alzheimer :diagnosis Alzheimer berdasarkan pemeriksaan patologi
anatomi, dan didapatkan gambaran plaque neuritik dan neurofibrillary
tangle.
- Probable Alzheimer : Penderita denga kriteria usia 40 hingga 90 tahun
tanpa menunjukkan gejala klinis yang atipikal.
- Possible Alzheimer : Apabilaterdapat penyebab sekunder yang juga
berkontribusi tetapi tidak semata-mata penyebab demensia.

Kriteria diagnosis Alzheimer menurut DSM-IV (Diagnostic and


Statistical Manual Disorders, fourth revision), adalah sebagai berikut :
1.

Perkembangan deficit kognitif multiple terdiri dari:


a. Gangguan memori
b. Salah satu gangguan di bawah:
- Afasia
- Apraksia
- Agnosia
- Gangguan berpikir abstrak

2.

Gangguan kognitif pada kriteria 1a dan 1b menyebabkan gangguan

3.

yang berat pada fungsi social dan pekerjaan penderita.


Kelainan ini ditandai dengan proses yang bertahap dan penurunan

4.
a.

fungsi kognitif yang berkelanjutan.


Gangguan kognitif kriteria 1a dan 1b tidak disebabkan hal-hal berikut:
Kelainan SSP lain yang menyebabkan gangguan memori lain yang

b.

progresif (gangguan peredaran darah otak, parkinson, dan tumor otak).


Kelainan sistemik yang dapat menyebabkan demensia (hipotiroidisme,

5.
6.

defisiensi vitamin B12 dan B9, dan infeksi HIV).


Kelainan pasien tidak disebabkan oleh delirium
Kelainan tidak disebabkan oleh kelainan aksis 1 (missal depresi dan

skizofrenia).
Kriteria diagnosis DSM IV ataupun NINCDS-ADRDA perlu ditunjang dengan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang telah disebutkan di
atas.
2.6.8 Terapi
Terapi untuk penderita Alzheimer mencakup terapi simtomatik dan
rehabilitative, serta dari beberapa golongan seperti golongan penghambat
kolinesterase dan pemghambat reseptor NMDA, di bawah ini adalah tabel jenis,
dosis, dan efek samping obat-obat untuk Alzheimer.
Nama Obat
Donepezil

Golongan

Indikasi

Penghambat

DA

kolinesterase

-sedang

Dosis

ringan Dosis

Efek
Samping
awal Mual, muntah,

5mg/hari,

diare,

setelah

4-6 anoreksia

minggu menjadi
Galantamine

Penghambat

DA

kolinesterase

-sedang

10mg/hari
ringan Dosis

awal Mual, muntah,

8mg/hari, setiap diare,


bulan dinaikkan anoreksia
8mg/hari hingga
dosis maksimal

Rivastigmine

Penghambat

DA

kolinesterase

-sedang

24mg/hari
ringan Dosis

awal Mual, muntah,

2x1,5mg/hari,
setiap

pusing, diare,

bulan anoreksia

dinaikkan
2x1,5mg/hari
hingga

dosis

maksimal
Memantine

Penghambat

2x6mg/hari
DA sedang - Dosis
awal Pusing,

reseptor

berat

NMDA

5mg/hari,

nyeri

kepala,

setelah

1 kosntipasi

minggu
dinaikkan
menjadi
2x5mg/hari
hingga

dosis

maksimal
2x10mg/hari

2.6.9 Prognosis
Pasien Alzheimer memilik survival rate 5-10 tahun setelah tanda-tanda
Alzheimer muncul, dan penyebab dari kematiannya adalah karena infeksi.
Penurunan kognitif serta sifat pada pasien, membuat mereka selalu harus
bergantung dengan orang sekitar, dimana hal tersebut secara tidak langsung
memberikan beban tersendiri baik dari segi mental, fisik, maupun ekonomi.
2.7 Demensia Vaskular
2.7.1 Definisi
Demensia vascular (VaD) adalah jenis demensia yag disebabkan oleh
adanya gangguan pada pembuluh darah otak.Gangguan pembuluh darah yang
dimaksud bisa bermacam-macam dan tidak hanya terbatas pada infark saja,
misalkan autoimun vaskulitis, infeksius vaskulitis, nonspesifik vaskulopati,
hematom post hemoragik, hidrosefalus obstruktif, perdaraha intraserebral yang
berulang, perdarahan subaraknoid, dan bahkan perdarah subdural, dapat
menyebabkan terjadinya demensia vascular.
Definisi demensia vascular menurut NINDS-AIREN (National Institue of
Neurological Disorders and Stroke and Association International pour la
Recherche et IEnseignement en Neurosciences) adalah gangguan fungsi
kognitif yang terjadi minimal sesudah 3 bulan paska gangguan vascular di otak.

2.7.2 Etiologi
Sesuai dengan namanya, demensia vascular disebabkan oleh adanya
gangguan pada pembuluh darah di otak. Tidak hanya stroke (baik perdarahan
atau sumbatan) yang bisa memungkinkan terjadinya demensia vascular, penyakit
infeksi

sistem

saraf

pusat

yang

kronis,

seperti

meningitis,

sifilis,

toksoplasmosis,dan encephalitis; penggunaan alcohol kronis; pajanan kronis


terhadap logam berat (merkuri, arsenic, dan aluminium); trauma kepala berulang,
seperti pada petinju professional; serta penggunaan obat-obatan jangka panjang,
seperti obat-obatan sedasi dan analgesia; dapat menyebabkan demensia
vascular.
2.7.3

Patofisiologi
Beberapa mekanisme yang mendasari terjadinya VaD adalah :
Degenerasi yang disebabkan factor genetic, peradangan, atau perubahan
biokimia;
Aterosklerosis sehingga menyebabkan infark pada talamus, ganglia basalis,
jaras-jaras otak, dan area sekitarnya;
Trauma yang menimbulkan adanya lesi pada otak, terutama pada lobus fontalis,
temporalis, korpus kalosum, dan mesesefalon;
Peningkatan tekanan intracranial (TIK), seperti pada penderita hidrosefalus
yang kronis (NPH Normal Pressure Hydrocephalus).
Sebagian fungsi diensefalon dan lobus temporalis lebih dominan untuk
memori jangka panjang diandingkan dengan korteks lobus lainnya.Gangguan
afasia berhubungan dengan adanya lesi pada hemisfer otak yang dominan
khususnya daerah perisilvian dari lobus frontalis, temporalis, dan perietalis.
Kehilangan kemampuan membaca dan menghitung berhubungan dengan
adanya lesi di hemisfer serebri dominan bagian posterior. Adanya lesi di lobus
pasrietalis hemisfer otak nondominan menyebabkan gangguan menggambar,
mengatur gambar, serta membentuk bangunan sederhana dan kompleks dengan
balok, tongkat.
Keparahan dan gambaran klinis demensia vascular bergantung pada
dimana lokasi lesi, jumlah lesi, dan ukuran lesi di otak.
Lokasi lesi. Lesi di daerah lobus temporalis menyebabkan gangguan memori;
lesi di lobus parietalis dapat mengakibatkan gangguan orientasi spasial,
apraksia, agnosia, serta gangguan fungsi luhur lain. Depresi juga bisa terjadi jika
ada lesi di hemisfer kiri daripada hemisfer kanan.

Jumlah lesi. Jika seseorang telah mempunyai lesi di otak dan kemudian lesinya
bertambah karena misalkan mengalami stroke yang berulang, maka deficit yang
timbul bukan aditif melainkan berlipat ganda.
Ukuran lesi. Gangguan perilaku biasanya cenderung terjadi jika volume lesi
melebihi 50mL, namun pada demensia dengan lokasi lesi yang strategis, ukuran
lesi kecilpun bisa mengakibatkan gangguan kognitif yang berat.
2.7.4 Tanda klinis
Tanda klinis pada demensia vascular dibagi menjadi 2, yaitu tanda klinis
demensia dengan gangguan kotikal dan subkortikal.
Sindroma kortikal VaD : umumnya disebabkan oleh gangguan pada
pembuluh darah besar otak, misal stoke thrombosis yang berulang atau
kardioemboli. Demensia pada tipe ini ditandai dengan adanya gangguan kognitif /
memori yang biasanya timbul mengikuti gejala-gejala stroke pada umumnya,
yaitu deficit neurologis (sensorik, motoric, atau otonom) yang mendadak, misal
afasia, hemiparese, apraksia, dan agnosia.
Sindroma subkortikal VaD : umumnya disebabkan karena adanya
sumbatan pada pembuluh darah yang lebih kecil, dan sering kali menunjukkan
tanda pseudobulbar, deficit pyramidal yang isolated, depresi, emosi yang labil,
dan gejala gangguan perilaku lobus frontalis (penurunan fungsi eksekusi, seperti
perencanaan, berpikir abstrak, evaluasi, dan koreksi).
2.7.5 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan untuk membantu penegakkan
diagnosis sama dengan diagnosis demensia pada umunya. Munculnya reflek
regresi atau primitive, seperti reflek mencucu, reflek menghisap, reflek
palmomental, reflek glabella, dan reflek menggenggam merupakan tanda khas
pada penderita demensia. Pemeriksaan dengan MMSE dan CDT juga bisa
dilakukan untuk mendiagnosis adanya demensia vascular.
Bila seseorang sudah bisa didiagnosa dengan demensia, maka selanjutnya
perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk mengetahui apakah penyebabnya
vascular atau non-vaskular. Untuk keperluan ini, ada beberapa kriteria yang bisa
digunakan, seperti :
- Haschinski Ischaemic Score (HIS), yang telah dimodifikasi oleh Loeb
-

dan Gandolfo (1983),


DSM-IV
ADDTC (Alzheimers Disease Diagnostic and Treatment Centers)
ICD 10.

Diantara beberapa kriteria di atas biasnya yang lebih sering digunakan dan
lebih sederhana pemakaiannya adalah HIS.
2.7.6 Pemeriksaan penunjang
Hasil pemeriksaan penunjang pada pasien yang diduga mengalami
demensia vascular adalah :

CT-scan : didapatkan lesi periventrikuar dan substansia alba yang


luas, dengan batas tak tegas dan memiliki kecenderungan meluas ke
centrum samiovale, dan paling sediki satu infark lacunar. Tidak ditemukan
infark di teritori non lacunar korteks, dan subkorteks. Ditemukan tandatanda gangguan pada pembuluh darah besar (misal infark luas karena
cardioemboli), dan mungkin juga tanda-tanda hidrosefalus obstruktif.
MRI : melibatkan terutama lesi pada subtansia alba, lesi luas
periventricular dan substansia alba dalam, extending caps atau halo
irregular, dan hiperitensitas difus luas atau perubahan substansia alba
luas, dan infark lacunar-lakunar di bagian dalam substansia grisea. Juga
mencakup terutama lesi di lacunar, lacunar multiple di substansia grisea
dalam dan paling sedikit ditemukan lesi substansia alba moderat.
2.7.7 Kriteria diagnosis
Kriteria diagnosis untuk demensia vascular bisa menggunakan HIS
(Hachinski Ischemic Score). Skor ini bermanfaat untuk mengelompokkan
penyebab demensia menjadi 2 kelompok, demensia vascular dengan non
vascular,

No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Gambaran Klinis
Onset mendadak
Perburukan bertahap
Perjalanan berfluktuasi
Kebingungan nocturnal
Kepribadian relative baik
Depresi
Keluhan somatik
Emosi tidak tetap
Riwayat hipertensi
Riwayat stroke

Skor
2
1
2
1
1
1
1
1
1
2

11
12
13

Bukti hubungan aterosklerosis


Keluhan neurologis fokal
Tanda neurologis fokal

1
2
2

Jumlah total skor adalah 18, dengan kesimpulan bila didapatkan skor di atas
7 pada pemeriksaan, maka lebih mengarah ke demensia vascular, sedangkan
untuk skor di bawah 4 lebih mengarah ke demensia karena proses degenerative
atau demensia non-vaskular. Besar kecilnya skor HIS tidak menunjukkan tingkat
keparahan demensia. Ada beberapa hambatan pada pemeriksaan dengan HIS,
khususnya karena pada penderita demensia yang seringkali membantu adalah
informasi dari keluarga atau orang-orang sekitar yang tidak dipungkiri terkadang
memberikan informasi yang kurang tepat. Oleh karena itu diagnosis dari
demensia vascular membutuhkan dukungan dari pemeriksaan penunjang.
2.7.8 Terapi
Prinsip terapi pada demensia vascular lebih ditekankan pada pencegahan
sekunder dari stroke dan menekan factor resiko. Meskipun tidak bisa
disembuhkan, namun demensia vascular dapat dihentikan progresfitasnya
dengan menangani factor resikonya.
A. Terapi non-farmakologis.

Bertujuan

untuk

me-maksimalkan

memperthankan fungsi kognisi yang masih ada, serta memanfaatkan sifat sel
saraf yaitu neuroplastisitas yang mungkin bisa memperbaiki fungsi kognisi yang
sudah mengalami gangguan. Intervensi terhadap pasien yang bisa dilakukan
seperti : perilaku pasien, orientasi relitas, stimulasi kognitif, edukasi, konseling,
terapi music, terapi okupasi. Adapula intervensi lingkungan yang bisa dilakukan
adalah tata ruang, terapi cahaya, dan nursing home.
B. Terapi farmakologis. Terapi kausal lebih bermanfaat untuk terapi
demensia vascular, seperti penanganan factor resiko stroke.
C. Terapi simtomatik. Pada VaD dan AD terjadi penurunan neurotransmitter
kolinergik sehingga kolinesterase inhibitor perlu diberikan. Efek samping
kolinesterase inhibitor yang perlu diperhatikan adalah mual, muntah, diare,
bradikardia, dan gangguan konduksi supraventricular. Obat-obatan tersebut
antara lain Donepezil, Rivastigmin, dan Galantamine
2.7.9 Prognosis
Prognosis VaD lebih bervariasi bila dibading dengan AD, tergantung pada
penanganan dari penyakit pembuluh darah yang mendasarinya serta factor
resiko yang ada pada pasien tersebut.

BAB III
KESIMPULAN
1. Memori adalah penyimpanan informasi di dalam otak yang menyebabkan
informasi tersebut dapat dimunculkan kembali pada waktu yang berbeda.
2. Beberapa klasifikasi memori adalah berdasarkan jenis informasi dan
jangka waktu penyimpanan memori
3. Proses penyimpanan ingatan tidak dapat dipisahkan dari bagian otak
yang disebut sistem limbic.
4. Bagian dari sistem limbic adalah thalamus, hypothalamus, amigdala dan
hipokampus yang masing masing memiliki peranan dalam proses belajar
dan respon terhadap rangsangan eksternal.
5. Secara umum memori dibagi menjadi 2 jenis yaitu short term memory dan
long term memory yang memiliki prinsip penyimpanan informasi berbeda.
6. Kepikunan merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan oleh pasien
atau orang sekitar, dan yang akhirnya lebih mengarah ke demensia
7. Demensia yang paling sering ditemukan adalah Alzheimer dan demensia
vaskular

8. Pemerisaksaan untuk pasien demensia meliputi pemeriksaan fisik umum,


neurologis, dan neuropsikiatri, serta didukung oleh pemeriksaan
penunjang
9. Terapi untuk demensia terdiri atas terapi farmakologis, non-famakologis,
dan terapi simtomatik.
10. Prognosis dari demensia bervariasi, bergantung pada etiologi dan
dukungan dari lingkungan sekitar pasien

DAFTAR PUSTAKA
Barba R, MD; Espinosa, PhD; et al. Post Stroke Dementia : Stroke.
2000; 31 : 1494
Bell K, LaRusse S, et al. 2007. Alzheimer Disease in Current Diagnosis
& Treatment Neurology eds Marden K. The McGraw-Hill
Companies. Pp. 78-84
Boje Kathleen M.K. The Neurobiology of Memory : Basic Concepts in
Neuroscience. Slaughter M International edition. 2002. 228-249
Brust JCM. 2007. Current Diagnosis and Treatment Neurology, First
Edition. New York: McGraw-Hill
DeKoscky ST, Kaufer DI, et al. 2004. The Dementias in Neurology in
Clinical Practice Fourt Edition eds Bradly WG, Daroff RB, et al.
Philadelphia, PA 19106. p. 1901-1948
Desmond D W, PhD; Moroney J T MD; et al. Dementia as Predictor of
Adverse Outcomes Following Stroke : Stroke. 1998. 29: 69-74
Dewanto G, Suwono WJ, et al. 2009. Panduan Praktis : Diagnosis &
Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC
Honig LS. 2007. Vascular Cognitive Dementiasin Current Diagnosis &
Treatment

Neurology

eds

Marden

K.

The

McGraw-Hill

Companies. Pp. 85-87


McCance KL, Huether SE, et al. 2010. Pathophysiology : The Biologic
Basic for Disease in Adults and Children, Sixth Edition. Mosby,
Inc.
Misulis KE, Head TC. 2007. Netters Concise Neurology. Saunders, an
imprint of Elsevier Inc.
Samuels MA. 2004. Manual of Neurologic Therapeutics, Seventh
Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins
Warlow C. 2006. The Lancet Handbook of Treatment in Neurology.
Edinburg: Elsevier

Wijoto. 2011. Buku Ajar Ilmu Penyakit Saraf : Memory Deficit.


Surabaya : Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair. p.157-168
Wijoto, Poerwadi T. 2011. Buku Ajar Ilmu Penyakit Saraf : Gangguan
Neurobehaviour. Surabaya : Pusat Penerbitan dan Percetakan
Unair. p.49-80

Anda mungkin juga menyukai

  • Fraktur Malunion
    Fraktur Malunion
    Dokumen38 halaman
    Fraktur Malunion
    Albertus Maria Henry Santoso
    Belum ada peringkat
  • Fraktur Malunion
    Fraktur Malunion
    Dokumen32 halaman
    Fraktur Malunion
    Albertus Maria Henry Santoso
    Belum ada peringkat
  • HNP - Penyuluhan Kikav
    HNP - Penyuluhan Kikav
    Dokumen17 halaman
    HNP - Penyuluhan Kikav
    Albertus Maria Henry Santoso
    Belum ada peringkat
  • Narkoba Racun Dunia
    Narkoba Racun Dunia
    Dokumen43 halaman
    Narkoba Racun Dunia
    Albertus Maria Henry Santoso
    Belum ada peringkat
  • Septic Arthritis
    Septic Arthritis
    Dokumen36 halaman
    Septic Arthritis
    Albertus Maria Henry Santoso
    100% (1)
  • Memori Dan Demensia
    Memori Dan Demensia
    Dokumen60 halaman
    Memori Dan Demensia
    Albertus Maria Henry Santoso
    Belum ada peringkat
  • Struma Toksika
    Struma Toksika
    Dokumen62 halaman
    Struma Toksika
    Albertus Maria Henry Santoso
    Belum ada peringkat
  • STSG GANpptx
    STSG GANpptx
    Dokumen25 halaman
    STSG GANpptx
    Albertus Maria Henry Santoso
    Belum ada peringkat
  • Dari Everand
    Belum ada peringkat
  • Dari Everand
    Belum ada peringkat