Anda di halaman 1dari 6

7.

Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia"

Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Dinegara maju,
dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas < 1%. Di negara
berkembang, angka mortalitasnya > 10%, biasanya karena keterlambatan
diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi seperti
perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis
dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
4-7
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S. ser.
Typhi 3 bulan setelah infeksi umumnya manjadi karier kronis. Risiko
menjadi karier pada anak-anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier
kronik terjadi pada 1 5% dari seluruh pasien demam tifoid, in

"6. Penatalaksanaan
Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati dirumah dengan
tirah baring, isolasi yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi
serta pemberian antibiotik. Sedangkan untuk kasus berat harus dirawat
dirumah sakit agar pemenuhan kebutuhan cairan, elektrolit serta nutrisi
disamping observasi kemungkinan timbul penyulit dapat dilakukan dengan
seksama. Pengobatan antibiotik merupakan pengobatan utama karena pada
dasarnya pathogenesis infeksi salmonella thypi berhubungan dengan keadaan
bakterimia
Obat obat antimiroba yang sering di gunakan antara lain :
Chloramphenicol
Merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid
fever terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak
50-100 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena
biasanya cukup 50 mg/kg/hari. Diberikan selama 10-14 hari atau
sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian Intra Muskuler tidak
dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan
tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau didapatkan
infeksi sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan
dari antibiotik jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh,
dan carier.

Cotrimoxazole
Merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan
sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10
mg/kg/hari dan Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2
dosis. Untuk pemberian secara syrup dosis yang diberikan untuk anak
4-5 mg/kg/kali minum sehari diberi 2 kali selama 2 minggu. Efek
samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik,
Leukopenia, dan granulositopenia. Dan pada beberapa Negara
antibiotika golongan ini sudah dilaporkan resisten.
Ampicillin dan Amoxicillin
Memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun untuk anak- anak
golongan obat ini cenderung lebih aman dan cukup efektif. Dosis yang
diberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis
selama 2 minggu. Penurunan demam biasanya lebih lamadibandingkan dengan
chlorampeniol
"Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime)
Merupakan pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau
bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih
sensitive terhadap Salmonella typhi. Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mg/kg/hari IVdibagi dalam 1-2 dosis
(maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat diberikan
cefotaxim 150-200 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu
untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari
selama 10 hari.
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor,
koma sampai syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone)
3 mg/kg dalam 30 menit untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6
jam sampai 48 jam.
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadangkadang diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi
perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai penambahan
antibiotika metronidazol.

KESIMPULAN
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella typhi. Bakteri salmonella typhi bersama makanan /
minuman masuk ke dalam tubuh melalui mulut.
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis besar gejala-

gejala yang timbul adalah :


Demam satu minggu atau lebih." Gangguan saluran pencernaan.
Gangguan kesadaran.
Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam tiga kelompok, yaitu:
Isolasi kuman penyebab demam tifoid melalui biakan kuman dari
spesimen penderita, seperti darah, sumsum tulang, urin, tinja, cairan
duodenum dan rose spot.
Uji serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen S.typhi dan
menentukan adanya antigen spesifik dari Salmonella typhi.
Pemeriksaan melacak DNA kuman S.typhi.
Kloramfenikol digunakan sebagai obat pilihan pada kasus demam tifoid.
Pencegahannya adalah higiene pribadi yang baik dan Imunisasi serta vaksinasi
aktif dapat membantu menekan angka kejadian demam tifoid.
"

E. Diagnosis
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis
yang ringan bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi
namun gejala yang timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam :
- Demam
- Gangguan saluran pencernaan
- Gangguan kesadaran
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi
demam dan gejala konstitusional seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia,
letargi, nyeri dan kekakuan abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta
gangguan status mental. Sembelit dapat merupakan gangguan
gastointestinal awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare. Diare
hanya terjadi pada setengah dari anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit
lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat meningkat.
Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare,
menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu
tubuh tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak
dibandingkan dewasa. Rose spots (bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm,
dapat timbul pada kulit dada dan abdomen, ditemukan pada 40-80%
""penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi
dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan
letargi menetap sampai 1-2 bulan.
3-7
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan

gejala klinisnya ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi


kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala
klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu
ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan. Pemeriksaan
laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid
meliputi pemeriksaan darah tepi, bakteriologis, dan serologis. Dalam
kepustakaan lain disebutkan bahwa pemeriksaan laboratorium untuk
menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam tiga kelompok, yaitu
4-7
1. Isolasi kuman penyebab demam tifoid melalui biakan kuman dari
spesimen penderita, seperti darah, sumsum tulang, urin, tinja,
cairan duodenum dan rose spot.
Berkaitan dengan patogenesis, maka kuman lebih mudah
ditemukan di dalam darah dan sumsum tulang di awal penyakit,
sedangkan pada stadium berikutnya didalam urin dan tinja. Hasil
biakan yang positif memastikan demam tifoid, namun hasil negatif
tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung
beberapa faktor, antara lain : jumlah darah yang diambil,
perbandingan volume darah dan media empedu, serta waktu
pengambilan darah.
Waktu pengambilan darah paling baik adalah pada saat
demam tinggi atau sebelum pemakaian antibiotik, karena 1-2 hari
setelah diberi antibiotik kuman sudah sukar ditemukan di dalam
darah. Biakan darah positif ditemukan pada 75-80% penderita pada
minggu pertama sakit, sedangkan pada akhir minggu ke-tiga,
biakan darah positif hanya pada 10% penderita. Setelah minggu keempat penyakit, sangat jarang ditemukan kuman di dalam darah.
Bila terjadi relaps, maka biakan darah akan positif kembali. Biakan
""sumsum tulang sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan
menghilang pada fase penyembuhan.
Pengobatan antibiotik akan mematikan kuman di dalam
darah beberapa jam setelah pemberian, sedangkan kuman di dalam
sumsum tulang lebih sukar dimatikan. Oleh karena itu pemeriksaan
biakan darah sebaiknya dilakukan sebelum pemberian antibiotik.
2. Uji serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen S.typhi
dan menentukan adanya antigen spesifik dari Salmonella typhi.
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi
antibodi terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Pada uji Widal
terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan
antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum
penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan
antigen dalam jumlah yang sama. Jika pada serum terdapat
antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang

masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam


serum.
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya
aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu;
- Aglutinin O (dari tubuh kuman)
- Aglutinin H (flagel kuman)
- Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang
digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya
semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer
antibodi O. Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap
menetap lama sampai beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih
cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh, aglutinin O masih
tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap
lebih lama antara 9 bulan 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat"
"dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada
pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi
biasanya tidak dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi
hanya dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi.
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin 1/40
dengan memakai uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan
membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif
96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus benar sakit demam
tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak
senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa
1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis
demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan
dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi
aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi (karier).
Banyak peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang
dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada kasus demam
tifoid yang terbukti biakan darah positif.
Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:
Negatif Palsu
Pemberian antibiotika yang dilakukan sebelumnya (ini kejadian
paling sering di negara kita, demam > diberi antibiotika > tidak
sembuh dalam 5 hari > tes Widal) menghalangi respon antibodi.
Padahal sebenarnya bisa positif jika dilakukan kultur darah.
Positif Palsu
Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya (misalnya S.
paratyphi A, B, C) memiliki antigen O dan H juga, sehingga
menimbulkan reaksi silang dengan jenis bakteri lainnya, dan bisa

menimbulkan hasil positif palsu (false positive). Padahal


sebenarnya yang positif kuman non S. typhi (bukan tifoid)."
"Pemeriksaan melacak DNA kuman S.typhi.
Akhir-akhir ini banyak dimunculkan beberapa jenis
pemeriksaan untuk mendeteksi antibodi S. typhi dalam serum, antigen
terhadap S. typhi dalam darah, serum dan urin bahkan DNA S. typhi
dalam darah dan feses. Polimerase chain reaction telah digunakan
untuk memperbanyak gen Salmonella ser. Typhi secara spesifik pada
darah pasien dan hasil dapat diperoleh hanya dalam beberapa jam.
Metode ini spesifik dan lebih sensitif dibandingkan dengan biakan
darah. Walaupun laporan-laporan pendahuluan menunjukkan hasil
yang baik namun sampai sekarang tidak salah satupun dipakai secara

Anda mungkin juga menyukai