Anda di halaman 1dari 22

Sasaran Belajar

Fakultas Kedokteran
Universitas Yarsi

Aswan Bagastoro
23.03.2015

LO.1 Memahami dan Menjelaskan Bakteri


Salmonella Typhi
1.1 Morfologi

1.2 Sifat
Bentuk batang, gram negatif, bergerk dengan flagel peritrich,mudah tumbuh pada
perbenihan biasa dan tumbuh baik pada perbenihan yang mengandung
empedu,sebagian besar salmonella sp bersifat pathogen pada binatang dan merupakan
sumber infeksi bagi manusia.Binatang itu antara lain tikus,ternak,anjing,kucing, di
alam bebas salmonella dapat tahan hidup lama dalam air, tanah atau pada
bahan makanan.

Penyakit yang ditimbulkan


pada manusia menimbulkan penyakit Typhus abdominalis.masa inkubasinya antara 7
-14 hari.gejalanya berupa demam dengan suhu tinggi 40 C,terutama sore
hari,seringkali meracau dan gelisah.penderita sangat lemah dan apatis,beberapa
penderita mengalami diare ,tetapi umumnya mengalami konstipasi atau tidak bisa
buang air besar bakterinya masuk kedalam aliran darah pada penyakit yang berat
dapat terjadi perforasi usus dan peritonitis.angka kematian kurang lebih 25%.

1.3 Transmisi
melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh bakteri, hal ini dapat terjadi
antara lain:
1.melaluiair untuk kepentingan rumah tangga ynag tidak memenuhi syarat kesehatan
2.daging,telur,susus yang berasal dari hewan sakit yang dimasak kurang matang
3.makanan dan minuman berhubungan dengan binatang yang mengandung bakteri
salmonelle thpy,seperti lalat,tikus,kucing dan ayam

LO.2 Menjelaskan dan Memahami Demam


2.1 Definisi
Demam adalah peningkatan titik patokan (set point) suhu di hipotalamus.
Dengan meningkatkan titik patokan tersebut, maka hipotalamus mengirim sinyal
untuk meningkatkan suhu tubuh. Tubuh berespon dengan menggigil dan
meningkatkan laju metabolism basal.

2.2 Klasifikasi
Klasifikasi demam diperlukan dalam melakukan pendekatan berbasis masalah.
Untuk kepentingan diagnostik, demam dapat dibedakan atas akut, subakut, atau
kronis, dan dengan atau tanpa localizing signs.
Istilah

Definisi

Demam dengan
localization

Penyakit demam akut dengan fokus infeksi, yang dapat


didiagnosis setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik

Demam tanpa localization

Penyakit demam akut tanpa penyebab demam yang jelas


setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik

Letargi

Kontak mata tidak ada atau buruk, tidak ada interaksi


dengan pemeriksa atau orang tua, tidak tertarik dengan
sekitarnya

Toxic appearance

Gejala klinis yang ditandai dengan letargi, perfusi buruk,


cyanosis, hipo atau hiperventilasi

Infeksi bakteri serius

Menandakan penyakit yang serius, yang dapat


mengancam jiwa. Contohnya adalah meningitis, sepsis,
infeksi tulang dan sendi, enteritis, infeksi saluran kemih,
pneumonia

Bakteremia dan
septicemia

Bakteremia menunjukkan adanya bakteri dalam darah,


dibuktikan dengan biakan darah yang positif, septikemia
menunjukkan adanya invasi bakteri ke jaringan,
menyebabkan hipoperfusi jaringan dan disfungsi organ

Demam dengan localizing signs


Penyakit demam yang paling sering ditemukan pada praktek pediatrik berada
pada kategori ini. Demam biasanya berlangsung singkat, baik karena mereda
secara spontan atau karena pengobatan spesifik seperti pemberian antibiotik.
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik dan
dipastikan dengan pemeriksaan sederhana seperti pemeriksaan foto rontgen
dada.

Demam tanpa localizing signs


Sekitar 20% dari keseluruhan episode demam menunjukkan tidak
ditemukannya localizing signs pada saat terjadi. Penyebab tersering adalah
infeksi virus, terutama terjadi selama beberapa tahun pertama kehidupan.
Infeksi seperti ini harus dipikirkan hanya setelah menyingkirkan infeksi
saluran kemih dan bakteremia.
Tiga kelompok utama demam yang dijumpai pada praktek pediatrik

Klasifikasi
Demam dengan localizing
signs

Penyebab tersering
Infeksi saluran nafas atas

Demam tanpa localizing

Infeksi virus, infeksi saluran

signs

kemih

Fever of unknown origin

Infeksi, juvenile idiopathic


arthritis

Lama demam
pada umumnya
<1 minggu

<1minggu

>1 minggu

Pola Demam
Interpretasi pola demam sulit karena berbagai alasan, di antaranya anak telah
mendapat antipiretik sehingga mengubah pola, atau pengukuran suhu secara serial

dilakukan di tempat yang berbeda. Akan tetapi bila pola demam dapat dikenali,
walaupun tidak patognomonis untuk infeksi tertentu, informasi ini dapat menjadi
petunjuk diagnosis yang berguna.
Pola demam

Penyakit

Kontinyu

Demam tifoid, malaria falciparum malignan

Remitten

Sebagian besar penyakit virus dan bakteri

Intermiten

Malaria, limfoma, endokarditis

Hektik atau septik

Penyakit Kawasaki, infeksi pyogenik

Quotidian

Malaria karena P.vivax

Double quotidian

Kala azar, arthritis gonococcal, juvenile rheumathoid


arthritis, beberapa drug fever (contoh karbamazepin)

Relapsing atau periodik

Malaria tertiana atau kuartana, brucellosis

Demam rekuren

Familial Mediterranean fever

Penilaian pola demam meliputi tipe awitan (perlahan-lahan atau tiba-tiba),


variasi derajat suhu selama periode 24 jam dan selama episode kesakitan, siklus
demam, dan respons terapi.
Gambaran pola demam klasik meliputi:

Demam kontinyu (Gambar 1.) atau sustained fever ditandai oleh


peningkatan suhu tubuh yang menetap dengan fluktuasi maksimal 0,4oC
selama periode 24 jam. Fluktuasi diurnal suhu normal biasanya tidak terjadi
atau tidak signifikan.

Pola demam pada demam tifoid (memperlihatkan bradikardi relatif)

Demam remiten ditandai oleh penurunan suhu tiap hari tetapi tidak
mencapai normal dengan fluktuasi melebihi 0,5oC per 24 jam. Pola ini
merupakan tipe demam yang paling sering ditemukan dalam praktek pediatri

dan tidak spesifik untuk penyakit tertentu. Variasi diurnal biasanya terjadi,
khususnya bila demam disebabkan oleh proses infeksi.

Gambar 1. Demam remiten

Pada demam intermiten suhu kembali normal setiap hari, umumnya pada
pagi hari, dan puncaknya pada siang hari (Gambar 3.). Pola ini merupakan
jenis demam terbanyak kedua yang ditemukan di praktek klinis.

Gambar 2. Demam intermiten

Demam septik atau hektik terjadi saat demam remiten atau intermiten
menunjukkan perbedaan antara puncak dan titik terendah suhu yang sangat
besar.
Demam quotidian, disebabkan oleh P. Vivax, ditandai dengan paroksisme
demam yang terjadi setiap hari.

Demam quotidian ganda memiliki dua puncak dalam 12 jam (siklus 12 jam)

Gambar 3. Demam quotidian

Undulant fever menggambarkan peningkatan suhu secara perlahan dan


menetap tinggi selama beberapa hari, kemudian secara perlahan turun
menjadi normal.
Demam lama (prolonged fever) menggambarkan satu penyakit dengan
lama demam melebihi yang diharapkan untuk penyakitnya, contohnya > 10
hari untuk infeksi saluran nafas atas.
Demam rekuren adalah demam yang timbul kembali dengan interval
irregular pada satu penyakit yang melibatkan organ yang sama (contohnya
traktus urinarius) atau sistem organ multipel.
Demam bifasik menunjukkan satu penyakit dengan 2 episode demam yang
berbeda (camelback fever pattern, atau saddleback fever). Poliomielitis
merupakan contoh klasik dari pola demam ini. Gambaran bifasik juga khas
untuk leptospirosis, demam dengue, demam kuning, Colorado tick fever,
spirillary rat-bite fever (Spirillum minus), dan African hemorrhagic fever
(Marburg, Ebola, dan demam Lassa).
Relapsing fever dan demam periodik:
o Demam periodik ditandai oleh episode demam berulang dengan interval
regular atau irregular. Tiap episode diikuti satu sampai beberapa hari,
beberapa minggu atau beberapa bulan suhu normal. Contoh yang dapat
dilihat adalah malaria (istilah tertiana digunakan bila demam terjadi
setiap hari ke-3, kuartana bila demam terjadi setiap hari ke-4) (Gambar
4.) dan brucellosis.

Gambar 4. Pola demam malaria

o Relapsing fever adalah istilah yang biasa dipakai untuk demam rekuren
yang disebabkan oleh sejumlah spesies Borrelia (Gambar 5.)dan
ditularkan oleh kutu (louse-borne RF) atau tick (tick-borne RF).

Gambar 5. Pola demam Borreliosis (pola demam relapsing)

Penyakit ini ditandai oleh demam tinggi mendadak, yang berulang secara tibatiba berlangsung selama 3 6 hari, diikuti oleh periode bebas demam dengan durasi
yang hampir sama. Suhu maksimal dapat mencapai 40,6oC pada tick-borne fever dan
39,5oC pada louse-borne. Gejala penyerta meliputi myalgia, sakit kepala, nyeri perut,
dan perubahan kesadaran. Resolusi tiap episode demam dapat disertai JarishHerxheimer reaction (JHR) selama beberapa jam (6 8 jam), yang umumnya
mengikuti pengobatan antibiotik. Reaksi ini disebabkan oleh pelepasan endotoxin saat
organisme dihancurkan oleh antibiotik. JHR sangat sering ditemukan setelah
mengobati pasien syphillis. Reaksi ini lebih jarang terlihat pada kasus leptospirosis,
Lyme disease, dan brucellosis. Gejala bervariasi dari demam ringan dan fatigue
sampai reaksi anafilaktik full-blown.
o Contoh lain adalah rat-bite fever yang disebabkan oleh Spirillum minus
dan Streptobacillus moniliformis. Riwayat gigitan tikus 1 10 minggu
sebelum awitan gejala merupakan petunjuk diagnosis.
o Demam Pel-Ebstein (Gambar 6.), digambarkan oleh Pel dan Ebstein
pada 1887, pada awalnya dipikirkan khas untuk limfoma Hodgkin (LH).
Hanya sedikit pasien dengan penyakit Hodgkin mengalami pola ini,
tetapi bila ada, sugestif untuk LH. Pola terdiri dari episode rekuren dari
demam yang berlangsung 3 10 hari, diikuti oleh periode afebril dalam
durasi yang serupa. Penyebab jenis demam ini mungkin berhubungan
dengan destruksi jaringan atau berhubungan dengan anemia hemolitik.

Gambar 6. Pola demam penyakit Hodgkin (pola Pel-Ebstein).

2.3 Etiologi

2.4 Patogenesis
Demam timbul sebagai respons terhadap pembentukan sitokin tertentu,
termasuk interleukin-1, interleukin-6, dan faktor nekrosis tumor. Sitokin ini disebut
pirogen endogen (penghasil panas). Sitokin pirogenik dilepaskan oleh beberapa sel
berbeda, termasuk monosit, makrofag, sel T helper, dan fibroblast dalam berespons
terhadap infeksi atau cedera jaringan. Pirogen endogen menyebabkan demam dengan
menghasilkan prostaglandin, mungkin PGE, yang meningkatkan titik patokan
termoregulasi hipotalamus.

Demam terjadi karena pelepasan pirogen dari dalam leukosit yang sebelumnya
telah terangsang oleh pirogen eksogen yang dapat berasal dari mikroorganisme atau
merupakan suatu hasil reaksi imunologik yang tidak berdasarkan suatu infeksi.
Dewasa ini diduga bahwa pirogen adalah suatu protein identic dengan interleukin-1.
Di dalam hipotalamus zat ini merangsang pelepasan asam prostaglandin E2 yang
langsung dapat menyebabkan suatu pireksia. Pengaruh pengaturan autonom akan
mengakibatkan terjadinya vasokontriksi perifer sehingga pengeluaran (dissipation)
panas menurun dan pasien merasa demam. Suhu badan dapat bertambah tinggi lagi
karena meningkatnya aktivitas metabolism yang juga mengakibatkan penambahan
produksi panas dan karena kurang adekuat penyalurannya ke permukaan maka rasa
demam bertambah pada seorang pasien.

LO.3 Memahami dan Menjelaskan Demam


Typhoid
3.1 Definisi
Demam tifoid/demam enteric adalah penyakit demam akut yang disebabkan
oelh kuman S.typhi. Penyakit ini dapat pula disebabkan oleh S. entereditis bioserotip
paratyphi A dan S. enteretidis serotip paratyphi B yang disebut demam paratifoid.
Tifoid berasal dari kata Yunani yang berarti smoke, karena terjadinya penguapan
panas tubuh serta gangguan kesadaran disebabkan oleh demam yang tinggi.
Demam tifoid juga dikenali dengan nama lain yaitu Typhus Abdomenalis,
Typhoid fever atau Enteric fever. Demam tifoid adalah penyakit sistematik yang akut
yang mempunyai karakteristik demam, sakit kepala, dan ketidakenakan abdomen
berlangsung kurang lebih 3 minggu yang juga disertai gejala-gejala perut pembesaran
limpa dan erupsi kulit. Demam tifoid disebabkan oleh kuman Salmonella typhi, S.
parathypi A, S. paratyphi B, dan S. paratyphi C. jika penyebabnya adalah S.
paratyphi, gejalanya lebih ringan dibanding dengan yang disebebkan oleh S. typhi.

3.2 Etiologi
Penyebab typhoid timbil akibat dari infeksi oleh bakterigolongan Salmonella
yang memasuki tubuh penderita memlalui saluran pencernaan. Sumber utama yang
terinfeksi adalah manusia yang selalu mengeluarkan mikroorganisme penyebab
penyakit, baik ketika ia sedang sakit atau sedang dalam masa penyembuhan.
Pada masa penyembuhan, penderita masih mengandung Salmonella di dalam
kandung empedunya atau di dalam ginjal. Sebanyak 5% penderita demam tifoid kelak
akan menjadi carrier sementara, sedangkan 2% yang lain akan menjadi carrier yang
menahun. Sebagian besar dari carrier tersebut merupakan carrier intestinal (intestinal
type), sedangkan yang lain merupakan urinary type. Kekambuhan yang ringan pada
carrier demam tifoid, terutama pada carrie jenis intestinal, sukar diketahui karena
gejala dan keluhannya tidak jelas.

3.3 Patogenesis
Masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan Salmonella paratyphi (S.
paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi
kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke
dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa
(IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M)
dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan
difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag.
Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya
dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening
mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama
yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikulo endotelial tubuh terutama
hati dan limpa.
Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian
berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam
sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai
tanda-tanda dan gejala penyakiy infeksi sistemik.
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak,
dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke lumen usus. Sebagian
kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setalah
menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah
teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan
beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi
inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialga, sakit kepala, sakit perut,
instabilitas vascular, gangguan mental, dan koagulasi.
Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia
jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dpat terjadi akibat
erosi pembuluh darah sekitar plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan
hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologis
otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat
timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan,
dan gangguan organ lainnya.

3.4 Manifestasi Klinis


1. Demam
Demam atau panas adalah gejala utama tifoid. Pada awal sakit, demamnya
kebanyakan samar-samar saja, selanjutnya suhu tubuh sering turun naik. Pagi lebih
rendah atau normal, sore dan malam lebih tinggi (demam intermitten). Dari hari ke
hari intensitas demam makin tinggi yang disertai banyak gejala lain seperti sakit

kepala (pusing) yang sering dirasakan di area frontal, nyeri otot, pegal-pegal,
insomnia, mual dan muntah. Pada minggu ke-2 intenditas demam makin tinggi,
kadang-kadang terus-menerus (demam kontinyu). Bila pasien membaik maka pada
minggu ke-3 suhu badan berangsur turun dan dapat normal kembali pada minggu ke3. Namun perlu diperhatikan bahwa demam khas tifoid tersebut tidak selalu ada. Tipe
demam dapat menjadi tidak beraturan. Hal ini mungkin karena intervensi pengobatan
atau komplikasi yang dapat terjadi lebih awal.
2. Gangguan saluran pencernaan
Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama. Bibir kering
dan kadang-kadang pecah-pecah. Lidah kelihatan kotor dan ditutupi selaput putih.
Ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor (coated tongue atau selaput putih), dan
pada penderita anak jarang ditemukan. Pada umumnya penderita sering mengeluh
nyeri perut, terutama regio epidastrik (nyeri ulu hati), disertai mual dan muntah. Pada
awal sering meteorismus dan konstipasi. Pada minggu selanjutnya kadang-kadang
timbul diare.
3. Gangguan kesadaran
Umumnya terdapat gangguan kesadaran yang kebanyakan berupa penurunan
kesadaran ringan. Sering ditemukan kesadaran apatis dengan kesadaran seperti
berkabut (tifoid). Bila klinis berat, tak jarang penderita sampai somnolen dan koma
atau dengan gejala-gejala psikosis (Organic Brain Syndrome). Pada penderita dengan
toksik, gejala delirium lebih menonjol.
4. Hepatosplenomegali
Hati dan limpa ditemukan sering membesar. Hati terasa kenyal dan nyeri tekan.
5. Bradikardi relatif dan gejala lain
Bradikardi relatif tidak sering ditemukan, mungkin karena teknis pemeriksaan yang
sulit dilakukan. Bradikardi relatif adalah peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti
oleh frekuensi nadi. Patokan yang sering dipakai adalah bahwa setiap peningkatan
suhu 1C tidak diikuti peningkatan frekuensi nadi 8 denyut dalam 1 menit.
Gejala-gejala lain yang dapat ditemukan pada demem tifoid adalah rose spot yang
biasanya ditemukan di regio abdomen atas, serta gejala-gejala klinis yang
berhubungan dengan komplikasi yang terjadi.

3.5 Diagnosis Banding


Diagnosis pasti ditegakkan dengan cara menguji sampel najis atau darah bagi
mengesan kehadiran bakteri Salmonella dalam darah penderita, dengan membiakkan
darah pada hari 14 yang pertama dari penyakit. Dapat pula ditegakkan berdasarkan
gejala klinis dan ditemukannya kuman Salmonellas dalam darah.

Pada minggu kedua sakit, kemungkinan mengisolasi kuman Salmonella dari


darah lebih besar dari minggu berikutnya dan lebih baik dibandingkan pada urin dan
feses yang kemungkinan berhasilnya kecil. Biakan specimen yang berasal dari
aspirasi sumsum tulang belakang mempunyai sensitivitas tertinggi, hasil positif
didapat pada 90% kasus, akan tetapi prosedur ini sangat invasif. Pada keadaan tertentu
dapat dilakukan biakan specimen empedu yang diambil dari duodenum dan
memberikan hasil yang cukup baik.
Selain itu tes widal (O dan H aglutinin) mulai positif pada hari kesepuluh dan
titer akan semakin meningkat sampai berakhirnya penyakit. Pengulangan tes Widal
selang 2 hari menunjukkan peningkatan progresif dari titer agglutinin (diatas 1:200)
menunjukkan diagnosis positif dari infeksi aktif demam tifoid.
Biarkan tinja dilakukan pada minggu kedua dan ketiga serta biakkan urin
pada minggu ketiga dan keempat dapat mendukung diagnosis dengan ditemukannya
Salmonella.
Gambaran darah juga dapat membantu menentukan diagnosis. Jika terdapat
leukopeni polimorfonuklear dengan limfositosis yang relative pada hari kesepuluh
dari demam, maka arah demam tifoid menjadi jelas. Sebaliknya jika terjadi
leukositosis polimorfonuklear, maka berarti terdappat infeksi sekunder bakteri di
dalam lesi usus. Peningkatan yang cepat dari leukositosis polimorfonuklear ini
mengharuskan kita waspada akan terjadinya perforasi dari usus penderita.
Tidak selalu mudah mendiagnosis karena gejala yang ditimbulkan oelh
penyakit itu tidak selalu khas seperti diatas. Bias ditemukan gejala-gejala yang tidak
khas. Ada orang yang setelah terpapar dengan kuman S. typhi, hanya mengalami
demam sedikit kemudian sembuh tanpa diberi obat. Hal itu biasa terjadi karena tidak
semua penderita yang secara tidak sengaja menelan kuman ini langsung menjadi sakit.
Tergantung banyaknya jumlah kuman dan tingkat kekebalan tubuh sesorang dan daya
tahannya, termasuk apakah sudah imun atau kebal. Bila jumlah kuman hanya sedikit
yang masuk ke saluran cerna, bisa saja langsung dimatikan oleh sistem pelindung
tubuh manusia.
Diagnosis Banding
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit secara klinis dapat menjadi
diagnosis pembanding yaitu influenza, gastroenteritis, bronchitis, dan
bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikrooorganisme
intraselular seperti TBC, infeksi jamur sistemik, bruselosis, tularemia, shigelosis, dan
malaria juga perlu dipikirkan. Pada demam tifoid berat, sepsis, leukemia, limfoma,
dan penyakit Hodgkin dapat sebagai diagnosis banding.

3.6 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan suhu tubuh, debar jantung
relative lambat (bradikardi), lidah kotor, pembesaran hati dan limpa (hepatomegali
dan splenomegali), kembung (meteorismus), radang paru (pneumonia), dan kadang-

kadang dapat timbul gangguan jiwa, pendarahan usus, dinding usus bocor (perforasi),
radang selaput perut (peritonitis), serta gagal ginjal.
Pemeriksaan penunjang/ pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan hematologi, urinalis, kimia
klinik, imunoreologi, mikrobiologi,dan biologi molekular. Pemeriksaan ini ditujukan
untuk menegakkan diagnosis (bahkan menjadi penentu diagnosis), menetapkan
prognosis, memantau perjalanan penyakit, dan hasil pengobatan serta timbulnya
penyulit.
1. Hematologi
Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun bila terjadi pendarahan
usus atau perforasi
Hitung leukosit rendah (leukopenia), tetapi dapat pula normal atau
tinggi
Hitung jenis leukosit: neutropenia dengan limfositosis relatif
LED (laju endap darah): meningkat
Jumlah trombosit normal atau menurun (trombositopenia)
2. Urinalis
Protein: bervariasi dari negatif sampai yang positif (akibat demam)
Leukosit dan eritrosit normal; bila meningkat kemungkinan terjadi
gejala lainnya
3. Kimia klinik
Enzim hati (SGOT, SGPT) sering meningkat dengan adanya gambaran
peradangan samapai hepatitis akut.
4. Imunorologi
Uji Widal
Pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya antibody
(didalam darah) terhadap antigen kuman Salmonella typhi/paratyphi.
Sebagai uji cepat (rapid test) hasilnya dapat segera diketahui. Hasil
positif dinyatakan dengan adanya aglutinasi. Karena itu antibody jenis
ini dikenal sebagai Febrile agglutinin. Hasil uji ini dipengaruhi oleh
banyak faktor sehingga dapat memberikan hasil postif palsu atau
negatif palsu. Hasil positif palsu dapat disebabkan oleh faktor-faktor,
antara lainpernah mendapatkan vaksinasi, reaksi silang dengan spesies
lain (Enterobacteriaceae sp), reaksi anamnestic (pernah sakit), dan
adanya faktorrheumatoid (RF). Hasil negatif palsu dapat disebabkan
oelh karena antara lain penderita sudah mendapatkan antibiotika,
waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu sakit, keadaan umum
pasien yang buruk, dan adanya jamur imunologik lain.
Diagnosis demam tifoid/paratifoid dinyatakan bila a/titer O = 1/160,
bahkan mungkin sekali nilai batas tersebut harus lebih tinggi
mengingat penyakit demam tifoid ini endemis di Indonesia. Titer O
setelah akhir minggu.

Elisa Salmonella typhi/paratyphi IgG dan IgM

Pemeriksaan ini merupakan uji imunologik yang dianggap lebih


sensitif dan spesifik dibandingkan dengan uji Widal untuk mendeteksi
demam tifoid/paratifoiddiagnosis demam tifoid/paratifoid dinyatakan
1/ bila igM positif menandakan infeksi akut, 2/ jika igG positif
menandakan pernah kontak/ pernah terinfeksi/ reinfeksi/ daerah
endemik.
5. Mikrobiologi
Kultur (Gall culture/ biakan empedu)
Uji ini merupaka baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan demam
tifoid/paratifoid. Interprtasi hasil: jika hasil positif maka diagnosis positif
untuk demam tifoid/paratifoid. Sebaliknya jika hasil negatif, belum tentu
demam tifoid /paratifoid, karena hasil biakan negatif palsu dapat disebabkan
oleh beberapa faktor, yaitu antara llain jumlah darah terlalu sedikit kurang
dari 2 mL, darah tidak segera dimasukkan kedalam media Gall (darah
dibiarkan membeku dalam spult sehingga kuman terperangkap di dalam
bekuan), saat pengambilan darah masih dalam minggu pertama sakit,sudah
mendapatkan antibiotika, dan sudah mendapatkan vaksinasi. Kekurangan uji
ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu
pertumbuhan kuman (biasanya positif antara 2-7 hari, bila belum ada
pertumbuhan koloni ditunggu sampai 7 hari). Pilihan bahan specimen yang
digunakan pada awal sakit adalah darah, kemudian untuk stadium lanjut/
carrier digunakan urin dan tinja.
6. Biologi molekular
PCR (Polymerase Chain Reaction)
Metode ini mulai banyak dipergunakan.pada cara ini dilakukan perbanyakan
DNA kuman yang kemudian diidentifikasikan dengan DNA probe yang
spesifik. Kelebihan uji ini dapat mendeteksi kuman yang terdapat yang
terdapat dalam jumlah sedikit (sensitifitas tinggi) sertas kekhasan (spesifitas)
yang tinggi pula. Spesimen yang digunakan dapat berupa darah, urin, cairan
tubuh lainnya serta jaringan biopsy.

3.7 Penatalaksanaan
Sampai saat ini masih dianut trilogy penatalaksanaan demam tifoid, yaitu:
Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat
penyembuhan.

Diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif), dengan tujuan


mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal.
Pemberian antimikroba, dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran
kuman.
Istirahat dan perawatan. Tirah baring dan perawatan professional bertujuan
mencegah komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti
makan, minum, mandi, buang air kecil, dan buang air besar akan membantu dan
mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan
tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi
untuk mencegah decubitus dan pneumonia ortostatik serta hygiene perorangan tetap
perlu diperhatikan dan dijaga.
Diet dan terapi penunjang. Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses
penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan
keadaan umum dari gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan
menjadi lama.
Di masa lampau penderita demam tifoid diberi diet bubur saring, kemudian
ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi, yang perubahan diet
tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring
tersebut ditunjukkan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau
perforasi usus. Hal ini disebabkan ada pendapat nahwa usus harus diistirahatkan.
Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makan padat dini yaitu nasi dengan
lauk pauk rendah selulosa (menghindari sementara sayuran yang berserat) dapat
diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid.
Pemeberian antimokroba. Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk
mengobati demam tifoid adalah sebagai berikut:

Kloramfenikol. Di Indonesia kloramfenikol masih merupakan obat


pilihan utama untuk mengobati demam tifoid. Dosis yang diberikan
adalah 4 x 500 mg per hari dapat diberikan secara per oral atau intravena.
Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas. Penyuntikan intramuscular
tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri. Dari pengalaman penggunaan obat ini
dapat menurunkan demam rata-rata 7,2 hari.
Tiamfenikol. Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid
hamper sama dengan kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi
seperti kemungkinan terjadinya anemia aplastic lebih rendah
dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4x 500
mg, demam rata-rata ,enurun pada hari ke-5 sampai ke-6.
Kotrimoksazol. Efektivitas obat ini dilaporkan hamper sama dengan
kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa adalah 2 x 2 tablet (1 tablet
mengandung sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg trimetropin) diberikan
selama 2 minggu.
Ampisislin dan amoksisilin. Kemampuan obat ini untuk menurunkan
demam lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol, dosis yang
dianjurkan berkisar antara 50-150 mg/kgBB dan digunakan selama 2
minggu.

Sefalosporin Generasi Ketiga. Hingga saat ini golongan sefalosporin


generasi ke-3 yang terbukti efektif untuk demam tifoid adalah seftriakson,
dosis yang dianjurkan adalah antara 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc
diberikan selama setengah jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3
minggu 5 hari.
Golongan Fluorokuinolon. Golongan ini beberapa jenis bahan sediaan
dan sturan pemberiannya:
Norfloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
Ofloksasin dosis 2 x 400 mg mg/hari selama 7 hari
Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari

Demam pada umumnya mengalami lisis pada hari ke-3 atau menjelang hari
ke-4. Hasil penurunan demam sedikit lebih lambat pada penggunaan norfloksasin
yang merupakan fluorokuinolon pertama yang memiliki bioavailabilitas tidak sebaik
fluorokuinolon yang dikembangkan kemudian.
Azitromisin. Tinjauan yang dilakukan oleh Eeva EW dan Bukirwa H pada
tahun 2008 terhadap 7 penelitian yang membandingkan penggunaan azitromisin
(dosis 2 x 500 mg) menunjukkan bahwa penggunaan obat ini jika dibandingkan
dengan fluorokuinolon, azitromisin secara signifikan mengurangi kegagalan klinis
dan durasi rawat inap, terutama jika penelitian mengikutsertakan pula strain MDR
(multi drug resistance) maupum NARST
(Nalidixic Acid Resistant S. typhi).
Jika dibandingkan dengan ceftriakson, penggunaan azitromisin dapat
mengurangi angka relaps. Azitromisin mampu menghasilkan konsentrasi dalam
jaringan yang tinggi walaupun konsentrasi dalam darah cenderung rendah. Antibiotika
ini menjadi ideal untuk digunakan dalam pengobatan infeksi oleh S. typhi yang
merupakan kuman intraselular. Keuntungan lain adalah azitromisin tersedia dalam
bentuk sediaan oral maupun suntikan intravena.

3.8 Pencegahan
Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid,
yaitu: 1. Identifikasi dan eradikasi Salmonella typhi baik pada kasus demam tifoid
maupun kasus karier tifoid, 2. Pencegahan transmisi langsung dan pasien terinfeksi S.
typhi akut maupun karier, 3. Proteksi pada orang yang beresiko terinfeksi.
Identifikasi dan eradikasi S. typhi pada pasien tifoid asimtomatik, karier,
dan akut.
Tindakan identifikasi atau penyaringan pengidap kuman S. typhi ini cukup
besar baik ditinjau dari pribadi maupun skala nasional. Cara pelaksanaannya dapat
secara aktif yang mendatangi sasaran maupun yang pasif menunggu bila ada
penerimaan pegawai di suatu instansi atau swasta. Sasaran aktif lebih diutamakan
pada populasi tertentu seperti pengelola sarana makanan-minuman baik tingkat usaha
rumah tangga , restoran, hotel sampai, pabrik beserta distributornya. Sasaran lainnya

adalah yang terkait dengan pelayanan masyarakat, yaitu petugas kesehatan, guru,
petugas kebersihan, pengelola sarana umum lainnya.
Pencegahan transmisi langsung dari penderita penderita terinfeksi S. typhi
akut maupun karier.
Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit, klinik maupun di rumah dan
lingkungan sekitar orang yang telah diketahui pengidap kuman S. typhi.
Proteksi pada orang yang beresiko tinggi tertular dan terinfeksi.
Sarana proteksi pada populasi ini dilakukan dengan cara vaksinasi tifoid di
daerah endemic maupun hiperendemik. Sasaran vaksinasi tergantung daerahnya
endemis atau non-endemis, tingat resiko tertularnya yaitu berdasarkan tingkat
hubungan perorangan dan jumlah frekuensinya, serta golongan individu beresiko,
yaitu golongan imunokompromais maupun golongan rentan.
Tindakan preventif berdasarkan lokasi daerah, yaitu:
1. Daerah non-endemik. Tanpa ada kejadian outbreak atau epidemic.
Sanitasi air dan kebersihan lingkungan
Penyaringan pengelola pembuatan/ distributor/ penjualan makananminuman
Pencarian dan pengobatan kasus tifoid karier
Bila ada kejadian epidemic tifoid

Pencarian dan eliminasi sumber penularan


Pemeriksaan air minum dan mandi-cuci-kakus
Penyuluhan hygiene dan sanitasi pada populasi umum daerah tersebut

2. Daerah endemik
Memasyarakatkan pengelolaan bahan makanan dan minuman yang
memenuhi standar prosedur kesehatan (perebusan > 570C, iodisasi,
dan kloronisasi)
Pengunjung ke daerah ini harus minum air yang telah melalui
pendidihan, menjauhi makanan segar (sayur/ buah)
Vaksinasi secara menyeluruh pada masyarakat setempat maupun
pengunjung.
Jenis vaksinasi yang tersedia adalah:
1. Vaksin parenteral utuh
Berasal dari sel S.typhi utuh yang sudah mati. Setiap cc vaksin mengandung
sekitar 1 miliar kuman. Dosis untuk anak usia 1-5 tahun adalah 0,1 cc, anak
usia 6-12 tahun 0,25 cc, dan dewasa 0,5 cc. Dosis diberikan 2 kali dengan
interval 4 minggu. Karena efek samping dan tingkat perlindungannya yang
pendek, vaksin jenis ini sudah tidak beredar lagi.
2. Vaksin oral Ty21a

Ini adalah vaksin oral yang mengandung S. typhi strain Ty21a hidup . vaksin
diberikan pada usia minimal 6 tahun dengan dosis 1 kapsul setiap 2 hari
selama 1 minggu. Menurut laporan, vaksin oral Ty21a bias memberikan
perlindungan selama 5 tahun.
3. Vaksin parenteral polisakarida
Vaksin ini berasal dari polisakarida Vi dari kuman Salmonella. Vaksin
diberikan secara parenteral dengan dosis tunggal 0,5 cc intramuscular pada
usia mulai 2 tahun dengan dosis ulangan (booster) setiap 3 tahun. Lama
perlindungan sekitar 60-70%. Jenis vaksin ini menjadi pilihan utama karena
relative paling aman.

3.9 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada demam tifoid yaitu:
1. Komplikasi intestinal: perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik,
pankreatitis.
2. Komplikasi ekstra-intestinal
Komplikasi kardiovaskular: gagal sirkulasi perifer, miokarditis,
tromboflebitis.
Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia, koagulasi
intravaskular diseminata (KID), thrombosis.
Komplikasi paru: pneumonia, empyema, pleuritis.
Komplikasi hepatobilier: hepatitis, kolesistitis.
Komplikasi ginjal: glomerulonephritis, pielonefritis, perinefritis.
Komplikasi tulang: osteomyelitis, periostitis, spondylitis, artritis.
Komplikasi neuropsikiatrik/ tifoid toksik

LO.4 Farmakologi Demam Typhoid


4.1 Farmakokinetik

Kloramfenikol
Setelah pemberian oral, kloramfenikol diserap dengan cepat. Kadar
puncak dalam darah tercapai dalam 2 jam. Untuk anak biasanya diberikan
bentuk ester kloramfenikol palmitat atau stearat yang rasanya tidak pahit
dan akan mengalami hidrolisis dalam usus untuk membebaskan
kloramfenikol. Untuk pemberian secara parenteral digunakan
kloramfenikol suksinat yang akan dihidrolisis dalam jaringan. Masa paruh
eliminasinya pada orang dewasa kurang lebih 3 jam, pada bayi berumur
kurang dari 2 minggu sekitar 24 jam, kira-kira 50% kloramfenikol terikat
dengan albumin dalam darah dan didistribusikan secara baik ke seluruh
jaringan termasuk jaringan otak, cairan serebrospinal dan mata.

Di dalam hati kloramfenikol mengalami konjugasi dengan asam


glukoronat oleh enzim glukorinil transferase, waktu paruh akan
memanjang pada pasien gangguan faal hati. Sebagian akan tereduksi
menjadi senyawa aril-amin yang tidak aktif. Dalam waktu 24 jam, 8090% kloramfenikol yang diberikan per oral akan diekskresikan melalui
ginjal, dari keseluruhannya hanya 5-10% yang diekskresikan melalui urin
filtrate glomerulus sedangkan metabolitnya dengan sekresi tubulus. Pada
gagal ginjal tidak akan mempengaruhi masa paruh kloramfenikol, dosis
perlu dikurangi bila terdapat gangguan fungsi hepar.
Interaksi: dalam dosis terapi, kloramfenikol menghambat biotransformasi
tolbutamid, fenitoin, dikumarol, dan obat lain yang dimetabolisme oleh
enzim mikrosom hepar. Toksisitas obat-obat ini lebih tinggi bila diberikan
bersama-sama kloramfenikol. Interaksi dengan fenobarbital dan
rifampisinakan memperpendek waktu paruh kloramfenikol sehingga obat
ini dalam darah menjadi subterapeutik.

Kotrimoksazol
Rasio kadar sulfametoktsazol dan trimetropim yang ingin dicapai dalam
darah ialah sekitar 20 : 1. Karena sifatnya yang lipofilik, trimetropim
mempunyai volume distribusi yang lebih besar daripada sulfametoksazol.
Dengan memberikan sulfametoksazol 800 mg dan trimetropim 160 mg
per oral (rasio sulfametoksazol: trimetropim = 5 : 1) dapat diperoleh rasio
kadar kedua obat tersebut dalam darah kurang lebih 20 : 1.
Trimetropim cepat didistribusikan ke dalam jaringan dan kira-kira 40%
terikat pada protein plasma dengan adanya sulfametoksazol. Volume
distribusi trimetropim hamper 9 kali lebih besar daripada
sulfametoksazol. Obat masuk ke CSS dan saliva dengan mudah. Masingmasing komponen juga ditemukan dalam kadar tinggi di dalam empedu.
Kira-kira 65% sulfametoksazol terikat pada protein plasma. Sampai 60%
trimetropim dan 25-50% sulfametoksazol diekskresik melalui urin dalam
24 jam setelah pemberian. Dia-pertiga dari sulfonamid tidak mengalami
konjugasi. Metabolit trimetropim ditemukan juga di urin. Pada pasien
uremia, kecepatan ekskresikan dan kadar urin kedua obat jelas menurun.

Sefalosporin
Dari sifat farmakokinetiknya sefalosporin dibedakan dalam 2 golongan.
Sefaleksin, sefradin, sefaklor, sefadroksil, lorakarbef, sefprozil, sefiksim,
sefpodoksim proksetil, seftibuten dan sefuroksim aksetil yang dapat
diberikan per oral karena diabsorbsi melalui saluran cerna. Sefatolin dan
sefapirin umunya diberikan secara intravena karena menyebabkan iritasi
local dan nyeri pada pemberian intramuscular.
Sefalosporin lain yang diberikan secara suntikan IM atau IV. Beberapa
sefalosporin generasi ketiga misalnya aefuroksim, seftriakson, sefepim,
sefotaksim dan seftizoksim mencapai kadar yang tinggi di cairan
serebospinal (CSS), sehingga dapat bermanfaat untuk pengobatan
meningitis parulenta. Selain itu sefalosporin juga melewati sawar darah
uri, mencapai kadar tinggi di cairan synovial dan cairan pericardium.

Pada pemberian sistemik, kadar sefalosporin generasi ketiga di cairan


mata relative tinggi, tetapi tidak mencapai viterus. Kadar sefalosporin
dalam empedu umunya tinggi, terutama sefoperazon.
Kebanyakan sefalosporin diekskresikan dalam bentuk utuh melalui ginjal,
dengan proses sekresi tubuli, kecuali sefoperazon yang sebagian besar
diekskresi melalui empedu. Karena itu dosis sefalosporin umumnya harus
dikurangi pada pasien insufisiensi ginjal. Probenesid mengurangi ekskresi
sefalosporin, kecuali moksalaktam dan beberapa lainnya. Sefalotin,
sefapirin dan sefotaksim mengalami deadetilasi; metabolit yang aktivitas
antimikrobanya lebih rendah juga diekskresi melalui ginjal.

Fluorokuinolon
Asam nalidiksat diserap baik melalui saluran cerna tetap diekskresi
dengan cepat melalui ginjal. Obat ini tidka bermanfaat untuk infeksi
sistemik. Fluorokuinolon diserap lebih baik melalui saluran cerna
dibandingkan dengan asam nalidiksat. Ofloksasin, levofloksasin,
gatifloksasin dan moksifloksasin adalah fluorokuinolon yang diserap baik
sekali pada pemberian oral.

4.2 Farmakodinamik

Kloramfenikol
Kloramfenikol bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman. Obat
ini terikat pada ribosom sub unit 50s dan menghambat enzim peptidil
transferase sehingga ikatan peptida tidak terbentuk pada proses sintesis
protein kuman.
Kloramfenikol bersifat bakteriostatik. Pada konsentrasi tinggi
kloramfenikol kadang-kadang bersifat bakterisid terhadap kuman-kuman
tertentu. Spektrum anti bakteri meliputi D.pneumoniae, S. Pyogenes,
S.viridans, Neisseria, Haemophillus, Bacillus spp, Listeria, Bartonella,
Brucella, P. Multocida, C.diphteria, Chlamidya, Mycoplasma, Rickettsia,
Treponema, dan kebanyakan kuman anaerob.

Kotrimoksazol
Aktivitas antibakteri kotrimoksazol berdasarkan atas kerjanya pada dua
tahap yang berurutan dalam reaksi enzimatik untuk membentuk asam
tetrahidrofolat.sulfonamid menghambat masuknya molekul PABA ke
dalam molekul asam folat dan trimetroprim menghambat terjadinya reaksi
reduksi dan dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat. Tetrahidrofolat penting
untuk reaksi-reaksi pemindahan satu atom C, seperti pembentukan basa
purin (adenine, guanine, dan timidin) dan beberapa asam amino
(metionin, glisin). Sel-sel mamalia menggunakan folat jadi yang terdapat
dalam makanan dan tidak mensintesis senyawa tersebut. Trimetropim
menghambat enzim dihidrofolat reduktase mikroba secara sangat selektif.
Hal ini penting, karena enzim tersebut juga terdapat pada sel mamalia.

Fluorokuinolon

Fluorokuinolon bekerja dengan mekanismeyang sama dengan kelompok


kuinolon terdahulu. Fluorokuinolon baru menghambat topoisomerase II
(= DNA girase) dan IV pada kuman. Enzim topoisomerase II berfungsi
menimbulkan relaksasi pada DNA yang mengalami positive supercoiling
(pilinan positif yang berlebihan) pada waktu transkripsi dalam proses
replikasi DNA. Topoisomerase IV berfungsi dalam pemisahan DNA baru
yang terbentuk setelah proses replikasi DNA kuman selesai.

Anda mungkin juga menyukai