Anda di halaman 1dari 33

Suatu peradangan mukosa sinus paranasal disebut sinusitis.

Penyakit ini sering dijumpai


di Bagian Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan. Bila mengenai sel beberapa sinus
disebut multisinusitis sedang bila mengenai seluruh sinus paranasal, disebut pansinusitis. Sinus
maksila sering terkena, kemudian berturut-turut sinus etmoid, sinus frontal dan sinus
sphenoid.14,21 Penyakit ini berasal dari perluasan infeksi hidung, gigi, faring, tonsil atau adenoid.
Tetapi dapat juga terjadi akibat trauma langsung, barotraumas, berenang atau menyelam. Ikut
berperan pula beberapa faktor predisposisi yang menyebabkan obstruksi muara sinus maksila,
sehingga mempermudah terjadinya sinusitis seperti deviasi septum, hipertropi konka, massa di
dalam rongga hidung dan alergi.7,8
Istilah alergi dikemukakan pertama kali oleh Von Pirquet pada tahun 1906 yang pada
dasarnya mencakup baik respon imun berlebihan yang menguntungkan seperti pada vaksinasi,
maupun mekanisme yang merugikan dan menimbulkan penyakit. Secara umum penyakit alergi di
bagi dalam 4 golongan yaitu alergi atopi, alergi obat, penyakit serum dan dermatitis kontak.
Manifestasi klinik alergi paling sering tampak melalui 3 organ sasaran, yaitu saluran napas,
saluran cerna, dan kulit. Alergi atopi adalah reaksi hipersensitivitas tipe I pada individu secara
genetic menunjukkan kepekaan terhadap alergen.7,8,22
Banyak penderita yang menunjukkan reaksi alergi terhadap alergen ekstrinsik seperti
debu, tungau, bulu binatang, tepung sari, berbagai jenis makanan dan zat lain.10-23 Dari tes
kulit, alergen-alergen yang memberikan hasil positip bermakna berturut terbanyak adalah tungau
debu rumah (91,16 %), debu rumah (73,47%) dan serpihan epitel/bulu binatang (63,95 %). 13
Pemaparan terhadap alergen tersebut menyebabkan berbagai gejala seperti rinitis, asma,
urtikaria, diare, muntah-muntah dan lain-lain. Perlu diwaspadai bahwa gejala yang sama dapat
pula disebabkan oleh faktor-faktor non imunologik 10,13,22

A. SINUS MAKSILA
1. Embriologi dan perkembangan
Pada bulan ketiga kehidupan embrio, sinus maksila terbentuk, dimulai dari suatu
invaginasi mukosa meatus media ke arah lateral dan ke arah korpus maksila os maksila. 7
Perubahan-perubahan progresif pada dinding hidung lateral dengan pembentukan sinus paranasal
terjadi secara simultan dengan perkembangan palatum. Pada hari ke 40 dari fetus sewaktu
perkembangan rongga hidung, maka lekukan horizontal (horizontal groove) nampak pada
dinding leteral, yang kemudian akan membentuk meatus medius dan inferior. Profilerasi
mesenchym maxilla turbinate, menonjol kedalam lumen dan kemudian menjadi konka inferior.
Konka yang lebih atas berkembang dari lipatan etmoid turbinate yang tampak kemudian.
Perkembangan sinus terjadi ketika lipatan konka terbentuk. Ini merupakan proses lambat, yang
berlanjut sampai terhentinya pertumbuhan tulang pada awal kehidupan dewasa.
Dari keempat sinus paranasal, hanya sinus maksila dan etmoid yang ada waktu lahir.
Sinus maksila tampak pertama kali seperti suatu depresi ektodermal tepat diatas prosesus
unsinatus pada konka inferior.23,24 Pada saat lahir rongga sinus maksila berbentuk tabung dengan
ukuan 7 x 4 x 4 mm, ukuran posterior lebih panjang daripada anterior, sedangkan ukuran tinggi
dan lebar hampir sama panjang. Dengan kecepatan pertumbuhan setiap tahunnya sebesar 2-3 mm
ke arah vertikal dan kearah posterior, maka pada usia 8 tahun rongga sinus maksila telah
mencapai meatus inferior.7,15,25 Pada usia 10 12 tahun dasar sinus maksila telah mencapai tinggi
yang sama dengan dasar kavum nasi.7 Di atas umur 12 tahun pertumbuhan sinus maksila ke arah
inferior, berhubungan erat dengan erupsi gigi permanen, sehingga ruang yang semula ditempati
oleh tugas-tugas gigi permanen akan mengalami pneumat isasi yang mengakibatkan volume

sinus maksila bertambah besar ke arah inferior.15,25 Pada umur 18 19 tahun erupsi gigi
permanen telah lengkap dan di perkirakan pertumbuhan sinus maksila telah selesai.
2. Anatomi
Sinus maksila atau antrum Highmore adalah suatu rongga pneumatic berbentuk piramid
yang tak teratur dengan dasarnya menghadap ke fosanasalis dan puncaknya ke arah apeks
prosesus zigomatikus os maksila. Sinus ini merupakan sinus yang terbesar diantara sinus
paranasal. Pengukuran volume sinus maksila dapat di lakukan dengan dua cara, yaitu
rontgenologik dan manometrik. Pada saat lahir volume sinus maksila dan sekitarnya berukuran 6
8 ml dan penuh dengan cairan, sedangkan volume sinus maksila orang dewasa kira -kira 15 ml.
Tidak ada perbedaan kapasitas antara laki-laki dan perempuan. Ukuran kedua sinus maksila
kanan dan kiri tidak selalu sama, tetapi diantara sinus paranasal yang lain, sinus maksila yang
paling simetris antara kanan dan kiri serta paling sedikit mengalami variasi dalam
perkembangan. Besar kecilnya rongga sinus maksila terutama tergantung pada tebal tipisnya
dinding sinus.25,26,27 Ukuran rata-rata pada bayi baru lahir 7-8 x 4 6 mm dan untuk 15 tahun 31
32 x 18 20 x 19 20 mm serta pada orang dewasa diperoleh ukuran sumbu anteroposteror 34
mm, tinggi 33 mm dan lebar 23 mm. 15,26,31
Sinus mempunyai beberapa dinding, dinding anterior dibentuk oleh permukaan maksila
os maksila, yang disebut fosa kanina. Dinding posterior dibentuk oleh permukaan infratemporal
maksila. Dinding medial dibentuk oleh dinding lateral rongga hidung. Dinding superior dibentuk
oleh dasar orbita dan dinding inferior oleh prosesus alveolaris dan palatum. Dasar sinus maksila
berdekatan dengan tempat tumbuhnya gigi premolar ke dua, gigi molar ke satu dan ke dua,
bahkan kadang-kadang gigi tumbuh ke dalam rongga sinus dan hanya tertutup oleh mukosa.

Proses supuratif yang terjadi sekitar gigi-gigi ini dapat menjalar ke mukosa sinus melalui
pembuluh darah atau limfe, sedangkan pencabutan gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan
rongga sinus melalui fistel oroantral yang akan mengakibatkan sinusitis. Didalam sinus kadang
kadang ada sekat-sekat yang membentuk ruang-ruang dibagian posterior, sehingga dapat menjadi
sumber infeksi terus-menerus.27
3. Pendarahan
Mukosa sinus maksila mendapat pendarahan dari a. karotis eksterna melalui cabangcabangnya, yaitu a. maksilaris interna, a. palatina desenden yang merupakan cabang a. maksilaris
interna a. alveolaris superior posterior dan anterior yang merupakan cabang a. infra orbitalis dan
a. nasalis posterior lateral yang merupakan cabang langsung a. maksilaris interna. 7,25,27 Darah dari
sinus maksila dialirkan ke v. infraobitalis, v.supraobitalis dan pleksus venosus lakrimalis. Selain
itu berhubungan dengan pleksus venosus pterigoideus, vena sinus sphenoid.
Aliran darah rata-rata pada mukosa sinus maksila sebesar 125 ml/100 gr jaringan/menit
yang lebih besar dari aliran darah pada organ otot, otak dan ginjal.7,25,27
Sistem pembuluh limfe pada sinus maksila menuju ke muara sinus sampai ke meatus
medius, kemudian menuju kearah pleksus limfatius disekitar muara tuba Eustachius, selanjutnya
bermuara pada kelenjar limfe retrofaring lateral.25,26,27
4. Persarafan
Persarafan sensorik sinus maksila oleh nn.alveolaris superior yang merupakan cabang ke
dua dari n.trigeminus. Persarafan simpatik berasal dari pleksus nervosus karotikus melalui
ganglion sfenopaltina dan berakhir pada tunika propria sebagai jalinan serabut-serabut saraf yang
banyak. 7,25,27
5.Ostium/muara

Membran muara sinus maksila dibentuk oleh gabungan mukosa sinus maksila dan
mukosa yang melapisi infundibulum hidung. Muara ini secara normal tersembunyi dari
pandangan oleh prosesus unsinatus. Biasanya ditemukan pada pertemuan bagian antero superior
dan postero inferior infundibulum. Berdasarkan studi dari 163 sinus, Van Alyea menemukan
kebanyakan tempat muara sinus maksila pada 1/3 posterior celah infundibulum (72%), di 1/3
anterior hanya pada 6 % spesimen dan pada 12% spesimen muara terletak pada puncak posterior
infudibulum.6
Dari segi klinis, yang perlu diperhatikan dari anatomi muara sinus maksila adalah
letaknya lebih tinggi dari dasar sinus maksila, sehingga aliran (drainase) sekret dari sinus maksila
hanya tergantung dari gerakan silia. Juga karena lokasinya di meatus medius, dan pada hiatus
semilunaris yang sempit, sehingga akibat berbagai keadaan akan mudah tersumbat.29
6.Sistem mukosiliar
Transport benda asing yang tertimbun dari udara inspirasi ke arah faring di sebelah
posterior akan ditelan atau dikeluarkan. Hal tersebut merupakan kerja dari silia yang
menggerakkan parut lendir (mucous blanket) dengan partikel yang terperangkap. Aliran turbulen
dalam hidung memungkinkan paparan yang luas antara dua inspirasi dengan hidung dan parut
lendirnya. Parut lendir berupa selebung sekret kontinyu yang sangat kental, meluas ke seluruh
ruang dan sudut hidung, sinus, tuba eustachius faring dan seluruh cabang bronkus. 26,27,30 Lapisan
atas dari parut lendir ini amat tipis, kaya akan glicoprotein, lebih kental, dengan kekauatan
tegangan yang memungkinkan gerakan kaku silia ke depan untuk mempertahankan gerakan
lapisan ke arah posterior dalam aliran yang tetap. Lapisan bawah lebih encer dan menimbulkan
sedikit hambatan terhadap gerak pemulihan silia (yang lentur). Palut lendir diganti oleh kelanjar
submukosa 2 dan 3 kali dalam satu jam.

26

Transportasi mukus pada sinus maksila dimulai dari

dasar sinus dengan gerakan yang menyerupai bintang. Mukus kemudian dialirkan sepanjang
dinding depan medial, posterior, lateral, dan atap sinus dan semuanya bertemu di muara sinus
maksila. Aliran mukus selalu melalui muara sinus maksila, meskipun terdapat muara tambahan
atau lubang pasca pungsi dan antrostomi di meatus inferior.4 Pada dinding lateral rongga hidung
sekret dari sinus ma ksila akan bergabung dengan sekret dari sinus frontal dan etmoid anterior di
dekat infundibulum etmoid. Kemudian melalui anteroinferior orifisium tuba Eustachius mengalir
ke arah nasofaring. Sekret yang berasal dari sinus etmoid posterior dan sphenoid akan bergabung
di resesus sfenoetmoid, kemudian melaui posterosuperior orifisium tuba Eustachius menuju ke
nasofaring. Dari nasofaring mukus turun ke bawah, karena gerakan menelan atau daya berat.
Gangguan sistem mukosiliar dapat berupa berkurangnya kelembaban udara permukaan mukosa,
menurunnya produksi mukus sehingga mukus akan menjadi kental yang akan mengganggu
gerakan silia, kerusakan permukaan mukosa dan kelanjar, karena infeksi bakteri atau virus dan
disfungsi atau malfungsi silia serta mukosa seperti pada rinitis alergi, fibrosis kistis dan immotile
cilia syndrome.4,29
7. Histologi
Mukosa sinus maksila merupakan lanjutan mukosa saluran napas bagian atas, Mempunyai epitel
torak bertingkat bersilia dengan sel-sel goblet diantaranya. Dibandingkan dengan mukosa rongga
hidung, mukosa sinus maksila lebih tipis, epitelnya lebih kuboid, sel goblet dan pembuluh darah
lebih sedikit, sehingga secara mikroskopis warnanya tampak pucat. Silia tampak semakin banyak
ke arah muara.29 Di bawah lapisan epitel terdapat stroma yang terdiri dari tiga lapisan yaitu : 1.
Membran basalis yang sangat tipis, Jika terjadi penebalan akan tampak adanya lapisan hialin
yang berwarna kuning. Kadang kadang di bawahnya terdapat lapisan tipis serabut elastin. 2.
Tunika propria merupakan lapisan tipis yang terdiri dari jaringan ikat longgar, bentuknya seperti

spons dan berisi cairan, sehingga mudah membengkak bila mendapat rangsangan. Jaringan ini
berfungsi sebagai jaringan penunjang, alat nutrsi epitel diatasnya dan fagosit jika terjadi infeksi.
Dinding medial sinus maksila mempunyai lamina propria yang paling tebal diantaranya dinding
mukosa sinus maksila. Lapisan ini mengandung serabut kolagen dan fibril yang tipis dan mudah
mengalami ruptur, sehingga mudah terbentuk kista. Ditemukan pula infiltrasi sel fibroblas dan
histiosit yang bila terjadi peradangan akan berubah menjadi makrofag. Kelenjar seromusinogen
dan sel goblet yang memproduksi mukus pada lapisan ini sangat jarang dan sedikit jumlahnya,
serta hamper semuanya terdapat di daerah muara sinus maksila. 3 Lapisan periosteum tulang
terdiri dari serat kolagen yang tebal dan serat elastin, sehingga tahan terhadap infeksi.4,29
8.Fisiologi
Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti fungsi sinus paranasal dan beberapa teori
mengemukakan sebagai pengatur suhu dan kelembaban udara pernafasan (air conditioning)
seperti pada rongga hidung, Ternyata volume pertukaran yang terjadi di dalam sinus kurang lebih
seperseribu dari volume sinus pada setiap siklus pernapasan, sehingga diperlukan waktu yang
cukup lama untuk pertukaran udara total dalam sinus. Selain itu, sinus paranasal hanya mampu
melembabkan 1,5 % dari seluruh udara pernapasan yang dilembabkan oleh saluran napas bagian
atas. Karena mukosa sinus yang tipis dan tidak mempunyai pembuluh darah sebanyak yang
terdapat di mukosa hidung. Fungsi sebagai resonansi suara, tidak banyak mendapat dukungan,
karena posisi sinus dan ostium tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator suara
yang efektif. Selain itu tidak ditemukan korelasi antara ukuran sinus dengan resonansi suara pada
binatang tingkat rendah. Sesuai dengan letaknya , sinus paranasal dapat dianggap sebagai
pelindung pengaruh panas udara rongga hidung terhadap organ-organ disekitar sinus (thermal
insilator), seperti mata dan otak. Akan tetapi kenyataannya sinus maksila sebagai sinus yang

besar tidak terletak diantara hidung dan organ yang dilindunginya. Fungsi membantu
keseimbangan kepala, dimungkinkan karena terbentuknya sinus akan mengurangi berat tulang
muka. Akan tetapi bila udara sinus di ganti dengan tulang, pertambahan berat hanya 4 % dari
berat kepala, sehingga mungkin tidak banyak pengaruhnya terhadap keseimbangan kepala.
Sebagai pembantu alat penghirup, dilakukan oleh sinus paranasal dengan cara membagi rata
udara inspirasi ke regio olfaktorius. Fungsi lain sebagai pengatur keseimbangan tekanan udara,
peredam kejutan ( shock absorbent), protector suara antara organ vokal dengan telinga, sebagai
tambahan ruang rugi (dead space) dan penyesuaian proporsi pertumbuhan kranium dan
wajah.15,26,29

B.SINUSITIS MAKSILA KRONIS


1. Defenisi
Sinusitis maksila kronis adalah peradangan kronis pada sebagian atau seluruh mukosa
sinus maksila. Adams (1978) menyebutkan batas waktu sinusitis kronis beberapa bulan sampai
beberapa tahun Menurut Cauwenberge (1983) disebut sinusitis kronis, apabila lebih dari tiga
bulan.14 Sebenarnya klasifikasi yang tepat berdasarkan pada pemeriksaan histopatologik, akan
tetapi pemeriksaan ini tidak rutin dikerjakan. Gambaran patologik sinusitis maksila kronis cukup
kompleks dan ireversibel. Mukosa umumya menebal, membentuk lipatan-lipatan atau
pseudopolip. Epitel permukaan mengalami deskuamasi, regenerasi, metaplasia , atau epitel
normal dalam jumlah yang bervariasi pada suatu irisan histologi yang sama. Pembentukan
mikroabses dalam jaringan granulasi dapat terjadi bersamasama dengan pembentukan jaringan
parut. Secara menyeluruh terdapat infiltrat sel bundar dan polimorfonuklear dalam lapisan
submukosa. 26,34,35

2. Kekerapan
Secara umum sulit untuk menentukan kekerapan sinusitis maksila yang disebabkan oleh
faktor alergi saja. Oleh karena banyak faktor yang mempengaruhi timbulnya gejala sinusitis
maksila. Rinitis alergi cenderung mulai timbul pada masa kanak-kanak menetap sampai dewasa,
kemudian menurun pada usia lanjut dengan prevalensi sebanyak 7,9 % pada kelompok umur
lebih dari 70 tahun.

15,26

Suwasono (1986) dalam penelitiannya pada 44 penderita sinusitis

maksila kronis mendapatkan 8 di antaranya (18,18%) memberikan tes kulit positip dan kadar IgE
total yang meninggi. Terbanyak pada kelompok umur 21-30 tahun dengan frekuensi antara laiklaki dan perempuan seimbang. Hasil positip pada tes kulit yang terbanyak adalah debu rumah
(87,75%). tungau (62,50%) dan serpihan kulit manusia (50 %).36
3.Patogenesis
Pada paparan primer dengan alergen, dalam tubuh penderita akan terjadi interaksi antara
makrofag dan limfosit T untuk menghasilkan suatu mediator (interleukin -4/IL-4) yang memacu
limfosit B memproduksi IgE spesifik. Bagian Fc Ig E akan menempel pada reseptor khusus
permukaan sel mediator yang telah terikat dengan IgE disebut sel mediator yang tersensitisasi.
Selanjutnya bila terjadi paparan ulang dengan alergen yang sejenis, maka alergen akan berikatan
dengan bagian Fab Ig E yang ada pada permukan sel mastosit atau basofil. Reaksi itu terjadi
dalam waktu 1-5 menit sampai 30 menit, dengan puncak reaksi antara 10-20 menit dan disebut
reaksi akut atau reaksi akut dini. Ikatan tersebut akan memberikan tanda ke dalam sel yang akan
mengaktifkan sistem nukleotida, siklik guanosin monofosfat (cGMP), siklik adenosin
monofosfat (c AMP) dan meningkatkan perbandingan siklik guanosin monofosfat terhadap siklik
adenosin monofosfat serta aktivasi proesterase. Ikatan antigen IgE juga meningkatan influks Ca+
+ dari ruang ekstraseluler, sehingga menaikkan kadar Ca++ di dalam sel. Kadar Ca++ yang

meningkat ini menyebabkan terjadinya degranulasi dan penglepasan mediator preformed seperti
histamin yang melalui sistem saraf otonom menimbulkan gejala bersin, vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas kapiler yang menimbulkan rinore dan edema serta kontraksi otot
polos pada bronkus yang menimbulkan sesak napas, Kinin menyebabkan vasodilatasi, sehingga
menimbulkan edema. Triptase menyebabkan proteolisis dan aktivasi C3a. Neutrophil
chemotactic factor (NCF) menyebabkan pengarahan netrofil ke organ target serta eosinophil
chemotactic factor (ECF) menyebabkan pengarahan eosinofil ke organ target. Bila penderita
rinitis alergi terpapar dengan alergen spesifik akan terjadi juga realsi lambat dalam waktu 4-12
jam sesudah reaksi akut dan dapat berlangsung sampai 24 jam. Reaksi akut yang disusul oleh
reaksi lambat disebut bifasis. Reaksi lambat ini pada saat yang sama dengan proses degranulasi
di dalam sel, yaitu dimulai dari timbulnya aktivasi enzim fosfolipase yang memecah fosfolipid
membrane sel menjadi asam arakidonat. Sel-sel yang melepas asam arakidonat adalah sel
mastosit, eosinofil, makrofag, trombosit dan endotel vaskuler. Selanjutnya asam arakidonat
dipecah menjadi prostaglandin, tromboksan, leukotrin dan platelet activating factor (PAF). Oleh
karena mediator- mediator tersebut dilepas setelah histamin, maka disebut newly generated. Pada
reaksi lambat ini terjadi reaksi inflamasi yang menyebabkan sumbatan hidung akan berlangsung
lama.

22,36,37,38

Menurut Stammberger yang dikutip oleh Rifki4, lebih dari 90% penyebab kasus

sinutis maksila dan frontal terletak di kompleks ostiomeatal yang terdiri dari infundibulum
etmoid, resesus frontal, sel-sel etmoid anterior beserta ostiumnya dan ostium sinus maksila. Pada
rinitis alergi akan terjadi inflamasi, sehingga mukosa infundibulum etmoid dan resesus frontal
yang berhadapan akan saling berdekatan, sehingga ventilasi terganggu. PH dalam sinus akan
menurun dan akan menyebabkan gerakan silia dalam sinus berkurang serta mukus tidak dapat
dialirkan. Bila sumbatan terus berlanjut akan terjadi hipoksia dan retensi mukus, yang

merupakan kondisi yang ideal untuk tumbuhnya kuman-kuman patogen. Infeksi dan toksin
selanjutnya dapat mengganggu fungsi mukosa dan menyebabkan terjadinya lingkaran setan
(vicious cycle). Kontak mukosa dapat juga terjadi pada celah antara prosesus unsinatus dengan
konka media, bula etmoid dengan konka media dan sinus lateral yang terletak di atas dan
belakang bula etmoid.4,7,26. Bukti lain juga menyokong bahwa kompleks ostiomeatal adalah
tempat primer terjadinya infeksi di sinus paranasal yaitu ujung depan konka media dan meatus
medius disebabkan daerah tersebut adalah tempat yang paling banyak terkena udara inspirasi.
Udara dengan kecepatan tinggi setelah melewati katup hidung (nasal valve) harus berubah arah
manjadi horizontal sehingga partikel-partikel udara menempel di daerah tersebut. Oleh karena itu
tempat ini merupakan tempat primer deposit bakteri dan partikel-partikel alergen yang timbulnya
adenokarsinoma dan karsinoma sel skuamosa.4
4.Etiologi
Alergi dapat juga merupakan salah satu faktor predisposisi infeksi disebabkan edema
mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang udem yang dapat menyumbat muara sinus dan
mengganggu drenase sehingga menyebabkan timbulnya infeksi, selanjutnya menghancurkan
epitel permukaan dan siklus seterusnya berulang yang mengarah pada sinusitis kronis.

14,21,26,39,40

Pada keadaan kronis terdapat polip nasi dan polip antrokoanal yang timbul pada rinitis alergi,
memenuhi rongga hidung dan menyumbat ostium sinus.27 Selain faktor alergi, faktor predisposisi
lain dapat juga berupa lingkungan. Faktor cuaca seperti udara dingin menyebabkan aktivitas silia
mukosa hidung dan sinus berkurang, sedangkan udara yang kering dapat menyebabkan terjadinya
perubahan mukosa, sehingga timbul sinusitis. Faktor lainnya adalah obstruksi hidung yang dapat
disebabkan kelainan anatomis, misalnya deviasi septum, hipertropi konka, bula etmoid dan
infeksi serta tumor. Biasanya tumor ganas hidung dan nasofaring sering disert ai dengan

penyumbatan muara sinus.

39,40

Etiologi infeksi sinus paranasal pada umumnya sama seperti

etiologi rinitis, 1 dan 2 serta respiratory syncitial virus. Kebanyakan infeksi sinus disebabkan
oleh virus, tetapi kemudian akan diikuti oleh infeksi bakteri sekunder. Karena pada infeksi virus
dapat terjadi edema dan hilangnya fungsi silia yang normal, maka akan terjadi suatu lingkungan
ideal untuk perkembangan infeksi bakteri. Infeksi ini sering kali melibatkan lebih dari satu
bakteri. Organisme penyebab sinusitis akut mungkin sama dengan penyebab otitis media. Yang
sering ditemukan dalam frekuensi yang makin menurun ialah Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus Influenzae, bakteri anaerob, Branhamella kataralis, Streptococcus alfa,
Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes. Selama suatu fase akut, sinusitis kronis
disebabkan oleh bakteri yang sama yang menyebabkan sinusitis akut. Namun, karena sinusitis
kronis biasanya berkaitan dengan drenase yang tidak adekuat maupun fungsi mukosiliar yang
terganggu, maka agen infeksi yang terlibat cenderung oportunistik, dimana proporsi terbesar
bakteri anaerob. Akibatnya, biakan rutin tidak memadai dan diperlukan pengambilan sampel
secara hati-hati untuk bakteri anaerob. Bakteri aerob yang sering ditemukan dalam frekuensi
yang makin menurun, antara lain Staphylococcus aureus, Streptococcus viridans, Haebomophilis
influenza, Neisseria flavus, Staphylococcus epidermis, Streptcoccus pneumoniae dan Escherichia
coli, Bakteri anaerob termasuk Peptostreptococcus, Corynebacterium, Bakteriodaes dan
Vellonella. Infeksi campuran antara organisme aerob dan anaerob sering kali terjadi.

26,39,40

Sumber infeksi yang mungkin dapat menyebabkan peradangan pada sinus paranasal, antara lain
infeksi hidung yang umumnya menyebar kearah sinus melalui muaranya. Infeksi hidung bisa
disebabkan oleh mikroorganisme patogen atau dapat pula oleh benda asing seperti yang sering
terjadi pada anak-anak. Infeksi gigi, paling sering sebagai penyebab infeksi sinus maksila
terutama infeksi dari rahang atas gigi molar 1,2,3 serta premolar 1 dan 2. Penyebaran infeksi

dari gigi ke antrum melalui dua cara, yaitu melalui infeksi gigi kronis, yang mengakibatkan
terbentuknya daerah granulasi pada mukosa sinus yang menutupi daerah alveolaris, sehingga
fungsi mukosa didaerah tersebut berubah dan aktifitas silia terganggu. Dapat juga
perkontinuitatum, bakteri langsung menyebar dari granuloma kapital atau kantong periodontal ke
sinus maksila. Trauma muka dapat menimbulkan peradangan dengan beberapa cara yaitu melaui
fraktur terbuka, menyebabkan hubungan sinus dengan dunia luar maupun rongga hidung
kerusakan mukosa yang terjadi serta adanya bekuan darah memudahkan timbulnya infeksi.
Dapat pula melalui kontusio sinus, dimana akibat pukulan yang keras pada pipi akan
mengakibatkan kontusio mukosa sinus yang kadang-kadang disertai ekstravasasi darah ke dalam
antum. Keadaan ini memudahkan terjadi infeksi yang berasal dari hidung. Suatu benda asing di
dalam sinus maupun hidung dapat meyebabkan sinusitis, misalnya pecahan tulang, gigi peluru
dan tampon hidung. Barotrauma dapat juga sebagai penyebab dan sering terjadi pada penderita
sumbatan hidung misalnya, deviasi septum, rinitis alergi selama dalam penerbangan. Infeksi dari
air sewaktu berenang dan menyelam dapat merupakan faktor penyebab terjadinya sinusitis,
sedangkan penyakit umum seperti influenza, morbili dan pertusis dapat menyebabkan sinusitis
pula. Peneumonia yang disebabkan oleh Pneumococcus sering disertai oleh sinusitis dengan
penyebab oleh kuman yang sama.26,40 Hubungan sinusitis dengan penyakit atau kelainan paru,
dikenal sebagai sindrom sinobronkial dan kelainan paru yang bersamaan dengan sinusitis ialah
bronchitis kronis, asma bronkial dan bronkiektasis.26
5. Gejala klinis.
Gejala klinis sinusitis maksila kronis sangat bervariasi , dari ringan sampai berat, dari : 1)
Gejala hidung, a) Obstruksi hidung, keluhan ini sering dirasakan oleh penderita sebelum terjadi
sinusitis, karena adanya rinitis alergi dan polip yang timbul sebelumnya, b) Sekret hidung. Pada

sinusitis alergi maka cairan yang keluar bersifat serous kadang-kadang mukoid yang berlebihan.
Bila sekret berubah menjadi mukupurulen, biasanya sudah terjadi proses paradangan dan bila
secret bercampur darah, terutama unilateral dicurigai adanya keganasan, c) Post nasap drip
(ingus belakang hidung), merupakan gejala yang paling sering ditemukan dan dirasakan sebagai
perasaan kering dari tenggorok, rasa panas di belakang hidung serta rasa tidak nyaman di mulut,
d) Epistaksis, disebabkan karena peradangan dan vasodilatasi pembuluh darah pada mukosa
hidung, e) gangguan penghidu, ada keluhan kakosmia , penderita merasakan bau busuk, bahkan
bau dapat tercium oleh orang lain, biasanya karena kelainan anatomi hidung. Pada sinusitis
kronis dengan dasar rinitis alergi biasanya keluhannya hiposmia sampai anosmia dankadangkadang parosmia, f) Ekskoriasi sekitar lubang hidung, seringkali ditemukan pada anak-anak dan
dianggap sebagai tanda sinusitis kronis, g) Allergic salute, yaitu gerakan punggung tangan
menggosok hidung karena gatal, keadaan ini sering tampak pada anak-anak dan menimbulkan
garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic crease (linea
nasalis). 2) Gejala faring. Rasa kering tenggorok yang disebabkan oleh faringitis dan tonsillitis.
3) Gejala telinga. Sinusitis kronis dapat menyebabkan nasofaringitis, ehingga terjadi edema
mukosa dan obstruksi tuba Eustachius dan kadang-kadang dapat terjadi otitis media serosa kronis
karena alergi sebagi gangguan dasarnya.

26

4) Nyeri kepala. Mempunyai sifat khas yaitu nyeri

pada pagi hari dan akan berkurang atau hilang setelah siang hari. Hal ini diduga karena
penimbunan sekret dalam rongga hidung dan sinus serta adanya stasi vena pada malam hari,
sedangkan pada siang hari karena posis tegak, drenase baik. 5) Gejala mata. Berupa keluhan mata
gatal dan lakrimasi yang disebabkan karena obstruksi dan infeksi duktus lakrimalis, sehingga
sering terjadi konjungtivitis. Pada anak terdapat bayangan gelap di bawah mata yang terjadi
karena statis vena sekunder akibat obstruksi hidung, yang disebut allergic shiners (black eyes of

allergy). Dapat timbul Dennise line, yaitu adanya lipatan (alur) di bawah palpebra inferior oleh
karena kontraksi otot polos dibawah palpebra inferior, gambaran ini tampak sejak bayi dan
berhubungan dengan rinitas alergi dan dermatitis atopi. 6) Gejala Saluran nafas. Batuk dan
kadang-kadang terdapat komplikasi di paru, berupa bronchitis atau bronkiektasis atau asma
bronkial, sehingga terjadi penyakit sinobronkitis. 7) Gejala Saluran Cerna. Mukopus yang
tertelan dapat menimbulkan gangguan pencernaan , nausea dan gastritis ringan. 8) Lidah
geografik ( geographic tongue). Disebabkan adanya glositis kronis. 9) Allergic or adenoid
faces/sad looking faces. Bernafas melalui mulut, mulut terbuka, allergic or shiners dan
kemungkinan disertai maloklusi gigi. Hal ini disebabkan alergi dan pembesaran tonsil atau
adenoid. 10) Gejala umum, kadang-kadang disertai rasa lesu dan demam yang
tidak begitu tinggi.26,41
6. Diagnosis.
Dalam menegakkan diagnosis sinusitis maksila kronis, pemeriksan dimulai dari
anamnesis, gejala klinis, diikuti dengan pemeriksaan klinis rutin sampai pemeriksaan khusus. 1)
Anamnesis. Mempunyai nilai diagnosis yang tinggi. Yang perlu ditanyakan adanya keluhan
alergi hidung, dengan gejala yang paling banyak adalah bersin-bersin lebih dari 5 kali setiap
serangan atau gatal hidung (89,80 %),rinore encer lebih dari satu jam (87,07%) dan hidung
tersumbat (76,19%). Biasanya gejala timbul setelah ada riwayat kontak dengan alergen tertentu.
Perkiraan allergen penyebab, dari tes kulit alergen-alergen yang memberikan hasil positif
bermakna berturut-turut terbanyak adalah tungau debu rumah (91,19%).debu rumah (73,47%),
serpihan epitel atau bulu binatang (63,95%).16,41,42 2) Gejala obyektif. Pada pemeriksaan klinis
kronis tidak seberat pemeriksaan sinusitis akut dan tidak terdapat pembengkakan muka. Pada
pemeriksaan rinoskopi anterior, mukosa hidung penderita rinitis alergi biasanya basah , pucat

atau livid serta konka tampak membengkak. Jika terdadap infeksi penyerta, sekret dapat
bervariasi dari encer dan mukoid hingga kental dan parulen, sehingga mukosa menjadi merah
dan meradang serta ditemukan sekret kental (pus) pada meatus medius atau meatus superior.
Kadang-kadang tampak polip pada regio etmoid yang meluas ke meatus superior dan media.
Pada pemeriksaan rinoskopi posterior, tampak sekret purulen di nasofaring atau permukaaan atas
palatum, biasanya berasal dari sinus parasanal bagian anterior. Gejala khas sinusitis bagian
interior ialah adanya pus yang mengalir melalui ujung belakang konka inferior dari meatus
medius. Pada pemeriksaan faring, tampak pus mengalir melalui dinding lateral faring, kadangkadang tampak pembengkakan jaringan mukosa di lateral faring pada sisi yang sama.26,41
7. Pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan penunjang pada rinitis alergi meliputi : 1) Eosinofil sekret hidung. Sekret
diambil dengan kapas lidi pada konka media dan konka inferior atau dapat dengan kerokan
mukosa bagian lateral hidung, kemudian ditaruh di atas kaca dan difiksasi dengan alkohol 95%
serta diwarnai secara Hansel atau Giemsa. Mygind17 membuat penilaian sebagai berikut : tidak
ada eosinofil (-) : bila jumlah < 5 %, eosinofilia ringan () : bila jumlahnya 5-10%, eosinofilia
sedang (+) : bila jumlahnya 10-50% dan eosinofil nya (++) : bila jumlahnya > 50 %. Pada orang
normal tidak terdapat eosinofil, bila hasilnya () dianggap tidak bermakna dan perlu diulang sera
hasil (+) dan (++) menyokong diagnosis rinitis alergi dijumpai peninggian eosinofil sekret
hidung > 10%.43 Madiadipoera pada penelitian sekret hidung mendapatkan eosinofil 95,3% dan
memperhatikan 91,7% tes kulit positif, 80,1 % IgE RAST positif dan tes provokasi hidung
73,3% positif.

44

2) Jumlah eosinofil dalam darah tepi. Umumnya pada penyakit alergi jumlah

eosinofil dalam darah tepi meningkat di atas 300/ ul. Bahkan mungkin mencapai 1500-2000/ul.
Keadaan eosinofilia juga terdapat pada keadaan infestasi cacing, penyakit Hodgkin dan sindrom

Loffler. Menurut Mygind (1978)17 pada keadaan rhinitis alergi saja, jumlah eosinofil darah tidak
begitu meningkat atau tidak ada perbedaan berarti dengan kelompok normal, sedangkan pada
rinitis alergi dengan asma, peningkatannya cukup nyata. 3) Kadar Ig E total serum darah.
Antibodi yang menimbulkan gejala alergi adalah Ig E. Kadar Ig E dalam serum tergantung dari
umur seseorang, pada bayi baru lahir sangat rendah yaitu 21 IU/ml kemudian meningkat secara
progresif sampi umur 12 tahun, lalu menurun hingga mencapai kadar Ig E dewasa nonatopi,
yaitu rata-rata 90 IU/ml. Kadar Ig E pada penderita alergi pada saat pemaparan umumnya lebih
tinggi dibandingkan saat tidak terpapar (kadar basal), tetapi kadar IgE basal ini umumnya lebih
tinggi dibandingkan dengan penderita nonatopi. Kadar basal ini dipengaruhi oleh faktor genetik
dan limfosit T yang memegang peran penting pada sintesis IgE. Meskipun peningkatan IgE pada
penderita alergi tidak mutlak, pengukuran IgE pada satu keluarga terungkp bahwa makin tinggi
kadar IgE makin besar kemungkinan seseorang menderita alergi. Dengan demikian penentuan
kadar IgE total berguna untuk menentukan ada tidaknya alergi dan meramalkan terjadinya alergi
pada anak-anak. Pengukuran kadar IgE total saja belum memastikan status alergi, karena gejala
alergi dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Kadar IgE total serum yang tinggi juga ditemukan
pada keadaan infetasi cacing, kista hidatit, aspergilosis bronkupulmoner, dermatisis, pemphigoid
bulosa dan infeksi virus. Selain itu kadarnya yang rendah ditemukan pada hipogamaglobulinemia
dan mieloma multiple Laboratorium di RSCM memakai nilai normal kadar IgE total darah 100
IU/ml dan dianggap patologis bila kadarnya 200 IU/ml.44 4) Tinja. Pemeriksaan untuk
mengetahui adanya telur cacing atau infestasi parasit lain yang juga dapat meningkatan kadar
eosinofil dalam darah tepi dan IgE total dalam darah.43 5) Kadar Ig E spesifik. Pada alergi
penting untuk menetukan alergen mana yang paling bermakna dalam menimbulkan gejala alergi.
Alergen ini dapat ditentukan dengan menetapkan IgE spesifik menggunakan metoda radio

allergosorbent test (RAST) atau modifikasinya. Kadar IgE spesifik tidak memberikan korelasi
yang baik pada uji provokasi hidung dibanding dengan uji kulit sehingga dapat digunakan pada
penderita dermatografisme, kelainan kulit yang luas, penderita yang tidak kooperatif, rinitis
alergi yang tidak dapat lepas dari obat antihistamin dan bahaya reaksi anafilaksis tidak ada.
Pemeriksaan ini dapat memonitor imunoterapi dan cara pemeriksaannya lebih mudah. Kerugian
dari pemeriksaan ini ialah biaya mahal, hasil pembacaan cukup lama dan kurang sensitive bila
dibandingkan dengan tes kulit tusuk.45 6) Tes kulit. Dasar tes kulit adalah menguji reagen yang
terikat pada mastosit di jaringan organ lain. Dikenal dua macam tes kulit, yaitu tes epidermal dan
tes kulit intradermal.17,43 Tes ku lit epidermal, terdiri dari tes kulit tusuk atau cukit (prick test) dan
tes kulit gores (scratch test). Tes kulit tusuk atau cukit (prick test). Dilakukan mula-mula dengan
membersihkan volar dengan bawah dengan alkohol, ditunggu sampai kering Alergen diteteskan
berbaris dengan jarak 2 cm diatas kulit dan dengan jarum disposibel nomor 26 yang selalu baru,
dilakukan tusuk dangkal atau dicukit melalui masingmasing ekstrak yang telah diteteskan.
Tusukan dijaga jangan disampai menimbulkan pendarahan. Tes dibaca setelah 15-20 manit. Cara
penilaian : menurut Sheldom44 hasil tes negatif, didapatkan bial hasil tes sama dengan kontrol.
Positif 1 (+), bila didapatkan bentol berukuran 4-6 mm. Posistif tiga (+++), bila didapatkan
bentol berukuran 6-8 mm. Positif empat (++++), bila bentol berukuran > 8 mm. Mygind 17
membandingkan bentol dengan larutan kontrol negatif dan larutan positif histamin, yaitu (-)
reaksi yang terjadi sama dengan larutan control negatif. Hasil bentol (+) dan (++) yang terjadi
antar (-) dan (+++). Bentol (+++) yang terjadi sama besar dengan larutan positif histamin. Bentol
(++++) dengan diameter lebih besar dari kontrol positif atau bentol dengan pseudopodi. Selain
itu terdapat korelasi dengan tes provokasi dan IgE RAST, sehingga ditamba h dengan anamnesis
dan pemeriksaan fisik maka diagnosis alergi dapat ditegakkan. Kerugiannya adalah kurang

sensitif dan bisa terjadi negatif palsu. Tes kulit gores (scratch test), dilakukan dengan menggores
memakai jarum steril sepanjang 0,5 cm pada epidermis punggung atau volar lengan bawah yang
akan dites, kemudian diteteskan alergen atau sebaliknya di teteskan dulu allergen kemudian
digores dengan kedalaman yang sama. Pembacaan tes setelah 20 menit dan tes ini positif bila
timbul indurasi (wheal) dan diterima kemudian diukur diameternya dalam millimeter. Sekarang
tes ini tidak digunakan lagi karena sering menimbulkan positif palsu oleh karena sulit
membedakan iritasi kulit dengan reaksi alergi. Selain itu tes ini kurang sensitif. Tes kulit
intrademal, dilakukan bila hasil tes gores atau tes cukit tidak pasti, yaitu (-) atau (+). Dengan
jarum ukuran 26 dan memakai skala millimeter, 0,01- 0,02 ml larutan dengan kosentrasi 1/10001/10.000 dengan bahan pelarut air disuntikkan intrademal pada lengan atas bagian luar sedistal
mungkin sampai terbentuk bentol pucat sebesar 2-3 mm. Sebagai kontrol disuntikkan histamin
dan larutan buffer. Diusahakan tidak berdarah dan reaksi yang terjadi dibaca setelah 10-15 menit.
Keuntungan tes ini adalah lebih sensitif dibandingkan dengan tes cukit atau tes gores, sedangkan
kerugiannya ialah menimbulkan rasa nyeri dan mudah terjadi reaksi anafilaksis sistemis. Tes
kulit Intradermal, terdiri dari: a) pengenceran tunggal (single dilution). Tes kulit ini me makai
konsentrasi yang bervariasi, biasanya 1:1000 w/v dan dilakukan jika respons alergen pada tes
kulit cukit negative atau kurang sensitif, b) pengenceran berganda (multiple dilution), teknik ini
disebut juga skin end point titration (serial dilution). Masing-masing peneliti menggunakan
pengenceran yang berbeda beda , yaitu 1:3, 1:5 dan 1:10. Pada tes kulit larutan yang dipakai
adalah larutan alergen dalam gliserin 1/10 - 1/50 dan sebagai tes kontrol dipakai larutan yang
tidak mengandung alergen dan histamin, yaitu larutan cocca (suatu larutan buffer poshphat) serta
tes kontrol pembanding digunakan larutan histamin 0,1 %. Ada beberapa obat-obatan yang
mempengaruhi tes kulit, diantara lain antihistamin, kortikosteroid dan simpatomimetik, sehingga

pemakai obat-obat ini harus dihentikan sebelum tes dimulai. Berhubung metabolisme
antihistamin banyak yang lambat dan berbeda beda satu dengan yang lain, maka beberapa
pendapat mengharuskan bebas antihistamin sedatif 1 minggu, non sedatif 2-4 hari dan
kortikorteroid selama 6 minggu sebelum tes kulit. 7) Tes provokasi hidung. Dilakukan dengan
memberikan alergen langsung ke mukosa hidung, kemudian dinilai reaksi organ sasaran tersebut.
Biasanya dikerjakan untuk mengevaluasi sensifitas mukosa hidung terhadap alergen. Okuda yang
dikutip oleh Madiapoera43 membuat tes provokasi dengan menggunakan cakram dengan diameter
3 mm yang berisi ekstrak alergen 250 ug. Cakram ditempatkan pada konka inferior dalam satu
sisi hidung hasilnya ditunggu setelah 10 menit. Respons positif yang terlihat yaitu bersin, adanya
sekret hidung dan pembangkakan mukosa hidung. Tingkat respons yang terjadi terdiri dari atas
gradasi 1, ada 2 gejala diatas yang terjadi, gradasi II, ada semua gejala dan jumlah bersin kurang
atau sama dengan 5 kali gradasi III, ada semua gejala dan jumlah bersin > 6 kali. Faktor yang
mempengaruhi tes provakasi hidung sama dengan tes kulit-kulit cukit dan tes ini mempunyai
korelasi baik dengan riwayat alergi, IgE spesifik dan efek dari imunoterapi.
Pemeriksaan penunjang sinusitis maksila terdiri dari : 14,21,26,41
1) Transiluminasi. Dapat dipakai untuk pemeriksaan sinus maksila dan sinus frontal. Pada sinus
maksila tampak gambaran seminular infraorbital, sinar tentang pada pipi dan pupil bercahaya.
Pada sinus frontal yang normal menunjukkan sinar terang pada sinus frontal dan tampak tegas
batas antara rongga dan tulang. Sinus tampak lebih gelap jika di dalamnya terdapat cairan pus,
mukopus, penebalan mukosa dan massa tumor. Jika sinus tampak lebih kecil dan gelap maka
kemungkinan oleh karena trauma, gangguan pertumbuhan, penebalan jaringan lunak atau
penebalan tulang. Transiluminasi tidak mempunyai arti penting untuk menegakkan diagnosis dan
kebenaran diagnosisnya dibandingkan dengan hasil fungsi sinus hanya 50 % - 68 %. Selain itu

jika dibandingkan dengan pemeriksaan foto Rontgen hasilnya berbeda 15 %. 2) Pemeriksaan


radiologik. Umunya ada tiga posis yang secara rutin dilakukan . yaitu posisi oksipitomental
(Watres), oksitofrontal (Caldwell) dan posisi lateral. Pemeriksaan radiologi khusus dilakukan
jika pemeriksaan radiologi rutin meragukan atau tidak jelas. Pemeriksaan ini terdiri atas : a)
Pemeriksaan radiologi dengan bahan kontras. Dengan pemeriksaan cara ini dapat diketahui
keadaan anatomi dan fungsi sinus maksila. b) Ultrasonografi (USG). Cukup baik untuk
pemeriksaan sinus karena mudah, murah dan tanpa radiasi. Tetapi beberapa ahli berpendapat
nilai diagnostiknya rendah. c) Computed tomography scanning (CT scan) merupakan pilihan
utama diagnostik penyakit-penyakit inflamasi atau neoplasma sinus paranasal dan merupakan
bagian penting sebagai pemeriksaan penunjang.

45

CT scan yang digabung dengan pemeriksaan

endoskopi hidung, akan memberikan hasil 90 % lebih akurat dibandingkan dengan pemeriksaan
sendirisendiri. d)Magnetic resonance imaging (MRI). Memberikan gambaran yang lebih baik
untuk membedakan karakteristik dari suatu lesi jaringan. 3) Fungsi sinus maksila . selain untuk
membantu diagnosis dapat juga untuk terapi. Trokar yang dimasukkan ke dalam antrum sinus
maksila dapat melalui ostium sinus di meatus medius, fosa kanina, dan meatus inferior. Pada
sinusitis dengan penebalan mukosa, biasanya cairan tidak dapat keluar karena ostium menjadi
sempit atau tersumbat total.46 4) Pemeriksaan sinoskopi atau antroskopi sinus maksila. Pertama
kali dikemukan oleh Hirschmann pada tahun 1901. Hasil sinoskopi lebih baik dibandingkan
dengan hasil radiologik, karena dapat mengetahui jenis dan perubahan patologik, serta keadaan
ostium sinus maksila.
8. Diagnosis banding
Rinitis alergi perlu dibedakan dengan rinitis vasomotor, rinitis idiopatik, rhinitis infeksiosa,
rinitis sekunder dari obat-obatan, baik lokal maupun sistematik, rhinitis sekunder dari faktor

mekanis, tumor hidung, polip hidung, rinore serebrospinal, iritasi oleh kimia, faktor psikologis
dan mastositosis hidung. 4,21 Di samping alergi, penderita polip hidung perlu dinilai terhadap
sinusitis infeksiosa, dan fibrosis kistik pada anak. Sinusitis dengan etiologi nonalergi, misalnya
trauma, zat kimia, imunodefisiensi, fibrosis kistik, sindrom Kartagener, penyakit granulomatosa
dan infeksi. 21,29
9. Pengobatan 21,40,47
Pengobatan yang diberikan ditujukan untuk infeksi dan faktor-faktor penyebab infeksi secara
bersama-sama. Di samping pemberian antibiotik dan dekongestan, juga perlu diperhatikan
predisposisi kelainan obstruksi yang disebabkan karena rinitis alergi. Pengobatan untuk rinitis
alergi terdiri atas 5 bagian utama , yaitu : 1) menghindari alergen penyebab. Dapat dilakukan
dengan mengisolasi penderita dari alergen, menempati suatu sawar antara penderita dan alergen
atau menjauhkan dari penderita alergen.Untuk pencegahan ini, diperlukan identifikasi alergen
dan menghindari aleregn penyebab (avoidance). Dalam pengelolaan penderita alergi inhalan,
menganjurkan penderita untuk menghindari alergen penyebab tidaklah mudah, sehingga
poliklinik THT RSUD Dr. Soetomo telah mengadakan kegiatan penyuluhan kesehatan
masyarakat rumah sakit (PKMRS) mengenai debu rumah kepada penderita dan keluarganya. 42,55
2) Pengobatan simptomatis. Diberikan bila pencegahan terhadap allergen penyebab tidak
memberikan hasil yang memuaskan. Ada 4 golongan obat yang dapat di berikan, yaitu golongan
antihistamin, simpatomimetik, kortikosteroid dan stabilisator mastosit. Antihistamin, merupakan
senyawa kimia yang dapat melawan kerja histamin dengan mekanisme inhibisi kompetitif pada
lokasi reseptor histamin. Ada dua macam antihistamin, yaitu antihistamin penghambat reseptor
H1 (AH1) dan antihistamin penghamb at reseptor H2 (AH2).48 Antihistamin H1 sampai saat ini
dikenal 2 macam, yaitu antihistamin klasik dan antihistamin generasi kedua atau baru. Golongan

antihistamin H1 klasik yang sering digunakan adalah etanolamin, etilendiamin, alkelamin,


fenotiazin, siproheptadin, hidroksizin, pirezin. Efek antihistamin klasik, yaitu antihistaminik,
yaitu menghilangkan gejala-gejala alergi dan antikolinergik, yaitu mengurangi sekresi kelenjar
eksorin, sekresi saliva sehingga dapat mengurangi gejala rinore, tetapi dapat juga menyebabkan
keringnya mukosa mulut dan tenggorok serta sedatif, yaitu merupakan efek samping yang paling
sering terjadi.

42,48

Golongan antihistamin generasi baru yang beredar di pasaran , yaitu

terfenadin, loratidin, astemizol, oxatomide, mequitazine dan cetirizine. Golongan ini tidak
mempunyai hubungan kimia yang langsung dengan histamin, hanya mempunyai suatu struktur
nitrogen aromatik yang sama dalam bentuk piperidin, piperazin atau piridin. Efek antihistamin
baru, yaitu sebagai antihistaminic long action, dimana waktu paruhnya lama, sehingga cukup
diberika 1 x sehari. Hal ini karena ikatannya dengan reseptor H1 lebih sukar lepas, sehingga efek
terapinya lebih lama, selain dari itu efek antikolinergiknya lebih ringan dari non sedatif karena
tidak menembus sawar otak serta stabiliator sel mastosit, sehingga dapat mencegah terjadinya
degranulasi atau penglepasan mediator amine-vasoaktif dengan mencegah influk ion Ca kedalam
sel mastosit. Dengan demikian antihistamin generasi kedua ini dapat mencegah gejala-gejala
yang ditimbulkan, baik oleh mediator yang sudah terbentuk (preformed ) maupun yang belum
terbentuuk (newly generated).21,48 Antihistamin H2 seperti simetidin dan ranitidin dapat berguna
bila diberikan bersama antihistamin H1 sumbatan hidung, tetapi untuk pengobatan polip hidung
tidak memberikan hasil.21,48,55 Golongan simpatomimetik (dekongestan). Penggunaan obat ini
mengurangi edema mukosa hidung melalui rangsangan reseptor alfa dan menghambat
penglepasan histamin dari mastosit melalui rangsangan reseptor beta. Obat obat dekongestan
dapat dibedakan menjadi dekongestan sistemik, biasanya peroral, misalnya fenil propanolamin,
efedrin HCI dan pseudeoefedrin HCI, dan dekongestan lokal yang terdiri dari derivat imidazolin

(oxymetazoline, xylometazoline), derivate simpatomimetik (fenilefrin, fenil propanolamine,


efedrin HCI). Suatu dekongestan dapat diberikan secara tunggal atau kombinasi dengan
antihistamin H1 lokal atau peroral pada pengobatan rinitis alergi. Pemakain lama antihistamin lo
kal dan dekongestan tidak dianjurkan, karena antihoistamin lokal dapat menimbulkan sensitisasi
dan dekongestan lokal dapat menimbulkan iritasi dan rebound phenomenon seperti pada rinitis
medikamentosa, sehingga pemakaian obat ini di batasi 3 4 hari. Pada obstruksi hidung yang
berat dapat diberikan obet tetes efedrin 0,5-1%, maka sumbatan akan hilang setelah 10 menit
selama 2 sampai 4 jam. Obat dekongestan yang paling sedikit efek sampingnya yaitu
oxymetazoline.48 Ipatropium bromide, adalah obat selain mempunyai efek parasimpatolitik juga
mempunyai efek anti kolinergik dan efek topikal yang tinggi serta memiliki atropine like effect.
Semula obat ini dipakai sebagai bronkodilator dengan nama dagang atrovent dan dapat
mengurangi rinore pada penderita rinitis alergi, rhinitis vasomotor dan common cold.48,60
Kortikosteroid. Bila hasil pengobatan antihistamin dan dekongestan belum berhasil maka dapat
diberikan kortikosteroid secara sistemik maupun intranasal. Pengobatan lokal dengan
beklometason atau flunisolid lebih disukai, karena kerjanya langsung dan efek sampingnya yang
rendah. Untuk pemberian yang efektif biasanya memerlukan beberapa hari sampai beberapa
minggu. Efek kortikosteroid ialah menghambat aktifitas histamin dan zat kinin vasoaktif,
menstabilkan membrane sehingga penglepasan zat mediator dihambat, tetapi tidak menghambat
interaksi antar antigen dan antibodi. Di laporkan pemberian kortikosteroid dapat mengurangi
besarnya polip hidung.48 Stabilisator mastosit, yang termasuk dalam golongan ini adalah natrium
kromolin dan ketotifen. Efek natrium kromolin (sodium kromoglikat) ialah menurunkan
pengelepasan zat mediator, sehingga dianggap sebagai pengobtan pencegahan dan diberikan
sebelum terjadi kontak dengan alergen. Efek sampingnya minimal, terutama berupa iritasi lokal.

Pemakaian pada polip hidung belum dapat dibuktikan keberhasilannya. Ketotifen, sebagai
stabilisator sel mastosit, diserap dalam saluran cerna dan dalam bentuk utuh keluar lewat urine
dan tinja. Efek sampingnya sama seperti antihistamin H1. Trombosit secara reversibel, sehingga
penggunaan kombinasi kedua obat tersebut sebaiknya dihindari. 48,55,60 3) Imunoterapi
(desensitisasi, hiposensitisasi). Pemberian imunoterapi dapat dipertimbangkan bila cara-cara
konservatif tidak berhasil. Dasar dari imunoterapi adalah menyuntikkan alergen penyebab secara
bertahap dengan dosis kecil yang makin meningkat untuk menginduksi toleransi pada penderita
alergi. Suatu dosis imunoterapi yang efektif (optimal) akan menimbulkan perubahanperubahan
klinis dan imunologik sebagai berikut: 1) Kenaikan pada Ig D khususnya antibody penghambat
Ig G1 dan Ig G4 yang tetap akan tinggi selama imunoterapi diberikan. Peran Ig G1 dan Ig G4
diduga untuk menetralkan alergen sebelum mencapai Ig E yang terikat di sel mastosit. Besarnya
kenaikan Ig G yang terbentuk dipengaruhi oleh dosis alergen yang diberikan . 2) kenaikan kadar
Ig E pada imunoterapi, kemudian turun perlahan-lahan sampai lebih rendah dari kadar sebelum
imunoterapi dalam waktu 18-24 bulan, kemudian dapat naik lagi dalam waktu 1-2 tahun setelah
imunoterapi dihentikan. 3) kenaikan kadar Ig A dan Ig G dalam sekret hidung. 4) Berkurangnya
responsivitas limfosit secara invitro, 5) meningkatkan nilai ambang dosis alergen yang
digunakan pada tes provaksi hidung. 6) Supresi reaksi lambat pada tes kulit intradermal terhadap
allergen spesifik. 7) berkurangnya penglepasan histamin oleh basofil.

42,44,46

Dari berbagai

penelitian menunjukkan sekitar 60-90 % kasus memberikan respons dengan imunoterapi


konvensional. Secara umum hasil imunoterapi dapat digolongkan ke dalam 3 kelompok, yaitu :
1) Penderita mengalami perbaikan klinik sampai imunoterapi dihentikan. 2) Penderita mengalami
perbaikan klinik selama imunoterapi, tetapi kadang-kadang timbul gejala yang dapat diatasi
dengan terapi medikamentosa. 3) Hilangnya keluhan selama imunoterapi tidak berbeda dengan

keadaan sebelumnya. Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan kegagalan imunoterapi, yaitu
tindakan menghindari alergen yang kurang adekuat, pemilihan jenis alergen yang tidak tepat,
dosis yang diberikan kurang cukup dan diagnosis yang salah.

42

Meskipun imunoterapi efektif

untuk pengobatan rinitis alergi, namun efektivitasnya belum dapat dipastikan pada pengobatan
polip hidung. Kontra indikasi pemberian desensitisasi ialah golongan penyakit kolagen dan
glomerulonefritis karena dapat menyebabkan penyakit bertambah aktif. Pada kehamilan
pemberian imunoterapi harus lebih hati-hati. Beberapa penulis menyatakan sebaiknya tidak
diberikan, karena dapat menyebabkan malformasi pada bayi yang dilahirkan. Sebaliknya ada
yang menyatakan bahwa antigen yang diberikan tidak dapat melalui sawar (barier) plasenta.42 4)
Penatalaksanaan komplikasi atau faktor-faktor yang memperburuk. Kelemahan, stress emosi,
perubahan suhu yang mendadak, infeksi yang menyertai, deviasi septum dan paparan terhadap
polutan udara lainnya yang dapat mencetuskan, memperhebat dan mempertahankan gejala
-gejala yang menyertai rinitis alergi, polip hidung dan sinusitis. Penanganan faktor-faktor ini
sama pentingnya dengan pengobatan yang ditujukan terhadap alerginya. 5) Terapi bedah .
Pengobatan operatif baru dilakukan bila pengobatan medikamantosa gagal. Pembedahan disini
untuk mengurangi gejala alergi seperti sinusitis dan polip nasi. Tindakan ini memungkinkan
ventilasi dan drenase hidung serta mengupayakan aliran hidung dan sinus yang memadai.4,26
Pengobatan pada sinusitis maksila kronis, pada prinsipnya memperbaiki drenase dan
menormalkan kembali atau membuang lapisan mukosa yang telah mengalami kerusakan.
Perubahan pada mukosa sinus dapat bersifat reversibel dan ireversibel sehingga, pengobatan
sinusitis maksila, terdiri atas :21,40,48 1) Pengobatan konservatif. Secara klinis untuk mengetahui
keadaan mukosa yang reversibel sangat sulit, jika pengobatan secara konservatif tidak berhasil.
Pengobatan ini meliputi obat antialergi dan dekongestan, obat mukolitik untuk mengencerkan

sekret ;obat analgetik, untuk mengurangi rasa nyeri, obat antibiotik, sebaiknya disesuaikan
dengan hasil pemeriksaan mkirobilogik dan kultur resistensi kuman. Biasanya diberikan
antibiotik yang mempunyai spektrum luas selama

10-14

hari. Termasuk pula pengobatan diatermi,

dengan sinar gelombang pendek (ultra short wave diathermi). Dengan pengobatan ini maka
temperatur sinus akan naik antara 1,7 sampai 2,2 C, sehingga akan memperbaiki vaskularisasi
sinus maksila. Diatermi dapat diberikan selama 10 hari dan tidak boleh digunakan dalam
keadaan akut. Memperbaiki lingkungan yang jelek sekitar penderita, lingkungan udara yang
bersih, terutama pada anak-anak dapat membantu mempercepat kesembuhan. 35,36,40 Pungsi dan
irigasi sinus maksila termasuk pengobatan konservatif, diperlukan untuk mengeluarkan sekret
dari rongga sinus maksila yang dapat dilakukan melalui ostium sinus maksila di meatus medius,
meatus inferior dan fosa kanina. Dilakukan maksimal enam kali setiap 2 3 hari sekali. Jika
terdapat nanah (pus), berarti pengobatan konservatif tidak berhasil dan dipertimbangkan
pengobatan secara operatif. Kontraindikasi pungsi sinus maksila ialah tidak boleh dilakukan pada
saat ada infeksi akut karena dapat mengakibatkan oesteomielitis dan trauma pada
maksila.Antrostomi intranasal, yaitu tindakan membuat lubang pada meatus inferior yang
menghubungkan rongga hidung dan sinus maksila, untuk drainase sekret dan ventilasi sinus
maksila. Biasanya dilakukan pada penderita yang memerlukan irigasi berulang kali dan tidak
dapat dilakukan pungsi sinus dengan anestesi lokal. Antrostomi yang cukup baik ialah yang
diameternya cukup lebar, pemanen dan letaknya serendah mungkin pada dasar hidung. Bersama
antrostomi dapat dilakuakn operasi lain yang bertujuan untuk reseksi septum dan konkotomi.
14,35,36

2) Pengobatan operatif radikal. Dengan operasi Calddwell-Luc bila kerusakan mukosa

sudah ireversibel dan gagal dengan pengobatan konservatif. Operasi ini dilakukan dengan
membuat sayatan sublabial kurang lebih dari 2 cm diatas sulkus ginggivobukalis dari insisivus 2

samapi molar 1. Sayatan dilanjutkan sampai periosteum, kemudian periosteum dilepaskan dan
mukosa pipi tarik ke atas. Selanjutnya dibuat lubang pada fosa kanina dan melalui lubang
tersebut mukosa yang inversibel dibersihkan.14,35,36 3) Bedah sinus endoskopik fungsional.
Tindakan ini ditujukan untuk membersihkan kelainan di kompleks ostiomeatal dengan
mempergunakan endoskop (teleskop). Hal ini dilakukan pada sinusitis maksila kronis yang
disebabkan oleh penyebaran infeksi dari fokus infeksi di sinus etmoid anterior, terutama dari
infundibulum etmoid dan resesus frontal. Ventilasi dan drenase sinus maksila akan terbentuk
kembali melalui jalan alamiah, sehingga setelah beberapa waktu sinus akan kembali normal,
sehingga pembedahan radikal tidak diperlukan lagi.14,35,36,50
10. Komplikasi
Sejak ditemukan antibiotik, komplikasi sinusitis maksila telah menurun secara drastis.
Komplikasi sinusitis maksila kronis yang dapat terjadi ialah :

14,21,26,35,36,44

1) Oesteomielitis dan

abses subperiostal. Oesteomielitis maksila jarang terjadi , tersering adalah osteomielitis frontal
dan biasanya ditemukan pada anak. Oesteomielitis sinus maksila dapat menyebabkan timbulnya
fistula oroantal yaitu fistula yang menggabungkan rongga mulut dan sinus maksila. Penyebab
terjadinya fistula ini selain karena komplikasi sinusitis maksila ke dalam juga karena tindakan
ekstraksi gigi molar atas, kista gigi, tumor palatum dan sinus maksila serta trauma pada operasi
gigi atau sinus maksila. gejala klinis berupa keluarnya cairan yang berbau busuk dari sinus
maksila ke dalam mulut. Pada pemeriksaan , bila lubangnya besar akan terlihat lubang yang
menghubungkan rongga mulut dan sinus maksila tetapi bila lubangnya kecil dapat diperiksa
dengan memasukkan udara yang melewati fistula. Fistula yang baru dan kecil dapat menutup
dengan sendirinya. Bila fistula cukup besar dan kronis perlu tindakan operasi plastik selain
pengobatan sinusitisnya.

2) Kelainan orbita.
Paling sering berasal dari sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila. penyebaran
infeksinya melalui tromboflebilitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang dapat ditimbulkan ialah
edema palpebra selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita dan trombosis sinus kavernosus.
Edema palpebra, biasanya dari sinusitis etmoid dan ditemukan pada anak-anak. Selulitis orbita,
edemanya bersifat difus, belum terbentuk nanah (pus) dan isi orbita telah diinvasi bakteri. Pada
abses subperiostal, pus telah terbentuk di antara periorbita dan dinding tulang orbita, serta
menyebabkan proptosis dan kemosis. Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan
bercampur dengan isi orbita. Tampak gejala neuritis optikus, kebutaan dan bercampur unilateral,
keterbatasan gerak otot ekstraokuler mata yang terserang. Proptosis makin bertambah dengan
tanda khas adanya kemosis konjungtiva. Trombosis sinus kavernosus, komplikasi ini merupakan
akibat penyebaran bakteri melalui saluran vena ke dalam sinus kavernosus, sehingga terbentuk
suatu tromboflebitis septik. Tampak gejala gejala oftalmoplegia, komosis, konjungtiva,
gangguan penglihatan yang berat, kelemahan dan tanda-tanda meningitis karena letak sinus
berdekatan dengan saraf cranial II,III,IV,VI dan otak. Penderita edema palpebra dapat berobat
jalan dengan pemberian antibiotik serta tetes hidung. Penderita tahap selulitis orbita dan
komplikasi yang lebih berat harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotik intravena dosis
tinggi serta dilakukan tindakan membebaskan pus dari rongga abses. Prognosis pada komplikasi
ini, angka kematian sebesar 60-80%. Gejala sisa trombosis kavernosus seringkali berupa atrofi
optikus. 3) Mukokel suatu kista yang mengandung mukus yang timbul di dalam sinus Kista ini
paling sering pada sinus maksila dan tersering berupa kista retensi mucus dan biasanya tidak
berbahaya. Mukokel yang terinfeksi dan berisi pus disebut piokel. Patogenesisnya dipengaruhi
oleh dua faktor utama yaitu obstruksi dan peradangan. Gambaran klinis sesuai dengan sinusitis

maksila kronis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan radiologik, sinoskopi dan


ditemukan pada operasi Caldwell-Luc. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan
histoptologik. Pengobatan dengan eksplorasi sinus untuk mengangkat semua mukosa yang
terinfeksi, sehingga drenase sekret dan ventilasi sinus maksila menjadi baik. 4) Kelainan
intrakranial : Meningitis, abses ekstradural, abses subdural, abses otak dan tromboss sinus
cavernosus. 5) Kelainan paru : Bronkitis kronis, bronkiektasis dan asma bronchial. Adanya
kelainan sinus paranasal yang disertai dengan kelainan paru disebut sindrom sinobronkitis.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. Michael A. Kaliner MD. Recurent Sinusitis Examine Medical Treatment Options.
American Journal of Rhinologi. Vol II No. 2 March April 1997 123-30.
2. Endang Mangunkusumo. Sinusitis dalam Kumpulan makalah Simposium sinusitis,
Jakarta 1999, 1 6.
3. M. Taufik . Kusno . Suprihati. Faktor Alergi Pada Sinusitis Kronis. Lab /UPF THT
/ FK UNDIP. RS Kariadi Semarang Dalam Kumpulan Naskah Ilmiah Konas VIII
Perhati Ujung Pandang, Juli 1986, 927 31.
4. Rifk Nusjirwan . Sinusitis Kronis dan Sinusitis Akut Berulang. Konsep Patofisiologi
Saat ini dn Penetalaksanaanya. Dalam Pendidikan Dokter Berkelanjutan PKB Uji
Diri, yayasan Penerbit IDI, Mei 1995, 1 12.
5. Hall dan Collman,s Sinusitis. Disease of The Nose, Throat and Ear. Head and
Neck Surgery. Fourtheenth ed, 1993, 49 53.
6. Michael Beniger MD. Nasal endosccopy. Its Role in Office Diagnosis. American
Journal of Rhinology Vol. II, No. 2 March April 1977 , 172 8.
7. Ballenger JJ. The Clinical Anatomy and Phisiology of The Nose and Accessory
Sinuses. Ballenger JJ (Eds). Diseases of the nose, throat, ear,head and neck.
13th ed. Philadelphia 1985, 1 25.
8. Blumenthal MN. Alergic Conditions in Otolaryngology Patients. Adam GL, Boies
LR Jr. Hilger P. (Eds). Boies Fundametal of Otolaryngology, 6th ed. Philadelphia :
1989, 195 205.
9. Priyanto. Manfaat Antihistamin pada Terapi Rinitis Alergi. Lab / UPF THT FK
UNAIR RSUD Dr. Sutomo Surabaya. Dalam Kumpulan Naskah Konas Perhati XI
Yogyakarta, Oktober 1995, 13 18.
10. Teti Moediadipoera . Diagnosis Rinitis Alergi. Bag / SMF THT FDK UNPAD
RSUD Hasan sadikin Bandung. Dalam Kumpulan Naskah Konas Perhati XII,
Malang, 78 9.
11. Irwin sumarman . Patofisiologi dan Prosedur Diagnostik Rinitis alergi symposium
: Current and Approach in The Treatment of Allergic Rhinitis. Jakarta 2001, 1
22.
12. Yuritna Haryono. Rinitis Alergi. Dalam makalh Simposium UP Date in Ig E
Mediated Allergic Reaction. Medan, 1994 ; 1 26.
2003 Digitized by USU digital library 31
13. Nikmah Roesmono . Epidemiologi dan Insiden Penyakit alergi di bidang THT

Dalam Naskah Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhati. Bukittinggi. 1993, 1 5.


14. Pandi P. S. Rifki N. Sinusitis. Dalam Iskandar N. dkk (Eds). Buku ajar Ilmu
Penyakit THT , Balai Penerbit FK UI, jakrta 1990, 122 9.
15. Hilger PA. Disease of Nose. In Adom GL. Boies. LR. JR. Hilger. P.
Fundamental of Otalaryngology 6th ed. Philadelphia Sounders Company 1989 ;
206 - 48.
16. Nikmah roesmono . Kasekayan. E. Alergi Hidung dalam Iskandar N. dkk (Eds)
Buku Ajar Ilmu Penyakit Tht, Balai Penerbit FK UI, Jakarta 1990 ; 109 6.
17. Mygind Robert N. Alergic Diagnosis. Allergic dan Non Allergic Rinitis Frankland
AW. Editor. Nasal allergy 2 nd ed. Blackwell Scientific Publication Oxford
London Edinbergh, Melbourne 1978 ; 182 - 98.
18. M. Robert N. , R.S. Durham N. Mygind, Allergy Diagnosis, Rhinitis
Mechanisme and Managemen, Lung Biology in Health and Deseases, Vol.
123, Marcel Dekker, America USA, 1999, Page 155 156
19. Durham S. R. Mechanism and Treatment of allergy, Scott - Browns
Otolaryngology, Sixth Edition, Vol. 4 Rhinology, Butterworth Heinemann,
1977, 4 / 6 / 1-14
20. Sten Dreborg. Allergic Diagnosis. Allergic and Non Allergic Rhinitis Clinical
Aspec. Edited Niels Mygind. Munksttraad 1978 , 82-93
21. Himal Bajraccharya, Sinusitis Chronis. Sinusitis Chronic from Medicine and
Sugery Infection Disease 1-8. http://www.emedicine.com/med/topic 2556.htm
22. KG baratawijaya. Imunologi dasr. Fakultas kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta, 1991 ; 1 79
23. Edward W Chang. Nose Anotomy . Nose Anotomy from Otolaryngology and
Facial Plastic Surgery?Anatomy; 1-7 http://www.emedicine.com/ent/topic 6 .
Htm
24. V.J Lund. Anatomy of the nose and Parasanal Sinuses. Scoot Brown
Otolaryngology. Sixth ed, Butterworth heinemen Ed, 1997, 1/5/1 1-29
25. Suetjipto D. Hidung dan Sinus Parasanal Anatomy Hidung dan sinus
Parasanal. Dalam Iskandar N. ddl (Eds) Buku ajar Ilmu penyakit THT. Balai
Penerbit FK UI, Jakarta, 1990 ; 75 84
26. Hilger PD. Disease of Parasanal Sinuses. Adam GL Boies LRJK Hilger
Fundametal of Oyolaryngology,6th ed. Philadelphia ; Sounders Company,
1989 ; 249 270
27. Hilger PA. Applied Anotomy and Phisiology of the Nose. Adam GL Boies.
Fundametal of Otolaryngology,6th ed. Philadelphia, Souders Cumpany, 177-95
28. Paparella. MJ. Otolaryngology. Vol I. Basic Sciences and Related Principle.
Third edition WB Sounders Company 1991 ; 102-4
29. E.Mangunkusumo . Fisiologi Hidung dan Parasanal Dalam Iskandar N. dkk
(Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit THT. Balai Penerbit FK UI Jakarta 1990 ;
85-87
30. Evans KL. Diagnosis and managemen of Sinusitis. Glacester Royal Hospital,
BMI 1994, 1-20. File://A:/bmj -com Evans 309 (6966) 1415.htm
31. Hollinshead WH. Anatomy for Surgeons. Vol I. A. Hoeber Harper
International Edition 1996 ; 270 - 76.
32. Baury TR. Imunology Simplifield Second Edition Oxford University Bess,
1986 ; 1 24.
33. Roitt I. M. Pokok Pokok Ilmu Kekebalan, Penerbit PT. Gramedia Utama
Jakarta, 1990.
34. Wright D. Chronic sinusitis In Ballantyne J. and Groves J. (Eds) Scott Browns
Disease of the ear Nose and Throat 6th Edition 1997, section Rhinology
London, Butterworths 1997.
2003 Digitized by USU digital library 32
35. V.J Lund . Surgucal management of sinusitis. In Alan G. Kear. Ian S.
Mackey T. R. Bull (Eds). Scott Browns Otolaryngology 7th ed.

Rhinology,London, Butterwouths 1997; 4/12/1-26.


36. Puruckherr M, at all. The Diagnosis and management of Chronic
Rhinosinusitis. East Tennessee State University, 2002 ; 1-7 http://
www.priory.com/med/rhinitis.htm
37. KG Bratwijaya. Allergic Inflamation. Proceeding Symposium onn Update
Allergy dan Clinical Immunology. Current Treatment in daily Practice,
Bogor 2001, 31 39
38. Edi D. Peran Sitokin dan molekul adesi Pada Rinitis alergi. The Modern
Approach of Allergic Rhinitis in the new Millenium, semarang 199, 1-9
39. Becker W. at all. Inflamation of Sinuses. Clinical Aspects of Desease of the
Nose and Throat Desease. A Pocket Reference, second Edition. Thieme New
York 1994, page 224-37
40. Girish Sharma. Sinusitis. From Pediatrics Otolaryngology, Rush University
America. Medicine Journal Vol. 2 No. 8 August 2001 ; 1-10.
http://www.emedicine.com/ped/topic2108.htm
41. E. Mangunkusumo , N. Roesmono, Baratawidjaya KG. Tungau Dalam Debu
Rumah sebagai alergen pada Rhinitis alergi. Dalam: Roezin A dan Nizar NW,
eds. Kumpulan Naskah Ilmiah KONAS VI PERHATI, Medan 1980 ; 135-138
42. N.Roesmono, Mangunkusuma E, KG Baratawidjaja . Terapi Desensitisasi pada
Rinitis alergi. Dalam : Roezin A dan Nizar NW, eds. Kumpulan naskah Ilmiah
KONAS VI PERHATI< Medan 1980 ; 141-145
43. T. Sofia H. Hubungan Rinitis alerg i dengan jumlah eosinofil sekret hidung. Tesis
Bagian THT FK USU 1989 : 70-86
44. Teti Madiapoera . Diagnosis invivo dan invitro. Kumpulan Karya Ilmiah PIT
PERHATI Bukittinggi, 1993 ; 21-6
45. Diagnostic Techniques. Spplement International Consensus Report on the
Diagnosis and Management of Rhinitis. Vol. 49 No. 19 Munksgard, Copen
hagen, 1999 ; 13-8
46. Kantz BR. Sinus infection from AAEM Emergency Medial and Family health
Guide / ear, Nose and throat. Medicine Consumer Journal, Vol. 3 No. 1,
NewJersey 2002 ; 1-8 http;//www.emedicine.com/aaem/topic400.htm
47. Alfian Taher . Uji Banding Antara Hasil Foto Polos Sinus Parasanal dan Fungsi
sinus Maksila untuk Ketepatan Diagnosis adanya Pus pada Sinusitis Maksila
Kronis Unilteral. Tesis bagian THT FK-USU.2000; 1-65
48. Tedjo Oedono. Pengololaan Rinitis Alergi The Modern Approach of Allergic
Rhinitis in the New Millenium, Semarang 1999; 9-18
49. Y.Istiantoro Farmakologi klinik Obat-obat dalam Penanggulangan Sinusitis.
Kumpulan Makalah Simposium Sinusitis Jakarta. 1999; 9-12
50. Kennedy DW. Endoscopic Sinus Surgery Otolaryngology. WB. Saunders
Company Third Edition Vol. 3 1991 ; 1861-70
51. Massudi . Pola Kuman aerob dan kepekaan in Vitro pada Sinusitis Maksila Kronis
Di RS. Dr. Karidi semarang, Kumpulan naskah PIT Perhati, batu malng,
1996;766-70
52. NW.Nizar . Soetjipto D. Temuan Sinuskopi pada Pasien Sinusitis Maksila Kronis,
Kumpulan Konas XI Perhati Yogyakarta, 1995; 179-88
53. Moerseto dkk. Aspek Alergi pada Sinusitis Maksila Kronis, Kimpulan Naskah
Ilmiah Konas XII, Semarang. 1999;461 7
54. Rizal A. Lubis. Uji banding Irigasi Sinus Maksila Melalui miatus nasi Inferior
dengan Fossa Kanina Tesis bagian THT FK USU, 1998; 54 55
55. Elfahmi. Gambaran klinis Ostio Meatal pada Sinusitis maksila kronis dengan
peme riksaan nasoendoskopi. Tesis bagian THT USU, 2001; 63-6
56. Pramono dkk. Rinitis Alergi Perenial Sebagai salah satu faktor resiko Sinusitis
maksila Kronnis. Kumpulan Naskah karya Ilmiah Konas perhati XII, Semarang
1999; 693 703
57. Roland NJ. Key Topiec. Otolaryngology. Toppan Bios scientific Publisher, 1995

; 48
58. M. Taufik dkk. Faktor Alergi pada Sinusitis Maksila Kronis. Kumpulan naskah
karya Ilmiah Konas Perhati, Ujung Pandang, 1986 ; 927 32
59. Mygynd N. Perenial Rhinitis In Frankland A.W. Editor Nasal Alergy, 2 nd Black
Weel Scientific Publication, Oxford London Melbourne, 1978 ; 224 - 32
60. Teti Madiadipoera. Dampak Rinitis Alergi pada Kualitas hidup. The Modern
Approach of allergic Rhinitis in the New Millenuim, Semarang. 1999 ; 1 2
61. Iwan Setiawan A, dkk. Pengamatan jenis alergen hasil tes kulit intrakutan di
RSUP dr. Sardjito Yogyakarta Kumpulan karya Ilmiah Konas Perhati Yogyakarta,
1995 ; 695-703

Anda mungkin juga menyukai