Anda di halaman 1dari 15

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologis yang utama. Pada dasarnya
epilepsi merupakan suatu penyakit Susunan Saraf Pusat (SSP) yang timbul akibat
adanya ketidakseimbangan polarisasi listrik di otak. Ketidakseimbangan polarisasi
listrik tersebut terjadi akibat adanya fokus-fokus iritatif pada neuron sehingga
menimbulkan letupan muatan listrik spontan yang berlebihan dari sebagian atau seluruh
daerah yang ada di dalam otak. Epilepsi sering dihubungkan dengan disabilitas fisik,
disabilitas mental, dan konsekuensi psikososial yang berat bagi penyandangnya
(pendidikan yang rendah, pengangguran yang tinggi, stigma sosial, rasa rendah diri,
kecenderungan tidak menikah bagi penyandangnya).
Sebagian besar kasus epilepsi dimulai pada masa anak-anak. Pada tahun 2000,
diperkirakan penyandang epilepsi di seluruh dunia berjumlah 50 juta orang, 37 juta
orang di antaranya adalah epilepsi primer, dan 80% tinggal di negara berkembang.
Laporan WHO (2001) memperkirakan bahwa rata-rata terdapat 8,2 orang penyandang
epilepsi aktif di antara 1000 orang penduduk, dengan angka insidensi 50 per 100.000
penduduk. Angka prevalensi dan insidensi diperkirakan lebih tinggi di negara-negara
berkembang.
Epilepsi dihubungkan dengan angka cedera yang tinggi, angka kematian yang
tinggi, stigma sosial yang buruk, ketakutan, kecemasan, gangguan kognitif, dan
gangguan psikiatrik. Pada penyandang usia anak-anak dan remaja, permasalahan yang
terkait dengan epilepsi menjadi lebih kompleks.
Penyandang epilepsi pada masa anak dan remaja dihadapkan pada masalah
keterbatasan interaksi sosial dan kesulitan dalam mengikuti pendidikan formal. Mereka
memiliki risiko lebih besar terhadap terjadinya kecelakaan dan kematian yang
berhubungan dengan epilepsi. Permasalahan yang muncul adalah bagaimana dampak
epilepsi terhadap berbagai aspek kehidupan penyandangnya. Masalah yang muncul
adalah bagaimana hal tersebut bisa muncul, bagaimana manifestasinya dan bagaimana
penanganan yang dapat dilakukan untuk kasus ini masih memerlukan kajian yang lebih
mendalam.

Penanganan terhadap penyakit ini bukan saja menyangkut penanganan


medikamentosa dan perawatan belaka, namun yang lebih penting adalah bagaimana
meminimalisasikan dampak yang muncul akibat penyakit ini bagi penderita dan
keluarga maupun merubah stigma masyarakat tentang penderita epilepsi. Pemahaman
epilepsi secara menyeluruh sangat diperlukan oleh seorang perawat sehingga nantinya
dapat ditegakkan asuhan keperawatan yang tepat bagi klien dengan epilepsi.
Berdasarkan pemaparan di atas penulis tertarik untuk membahas asuhan
keperawatan pada klien dengan epilepsy.

B. Tujuan
Yang menjadi tujuan dalam penyusunan makalah ini yaitu :
a) Menjelaskan tentang Definisi Epilepsi
b) Mengetahui Etiologi dari Epilepsi
c) Menjelaskan Patofisiologi Epilepsi
C. Rumusan masalah
1. Bagaimana konsep teori dari penyakit Epilepsi ?
2. Bagaimana patofisiologi dari penyakit Epilepsi ?

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. PENGERTIAN EPILEPSI
Epilepsi atau yang lebih sering disebut ayan atau sawan adalah gangguan sistem
saraf pusat yang terjadi karena letusan pelepasan muatan listrik sel saraf secara
berulang, dengan gejala penurunan kesadaran, gangguan motorik, sensorik dan mental,
dengan atau tanpa kejang-kejang (Ahmad Ramali, 2005 :114).
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang
datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan muatan listrik yang
abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi (Arif
Mansjoer , 2000 :27).
Epilepsi adalah serangan kehilangan atau gangguan kesadaran rekuren dan
paroksimal, biasanya dengan spasme otot tonik-klonik bergantian atau tingkah laku
abnormal lainnya (Helson, 2000 : 339-345).
Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang dicirikan oleh
terjadinya bangkitan (seizure, fit, attact, spell) yang bersifat spontan dan berkala
(Harsono, 2007).
Epilepsi adalah gangguan kejang kronis dengan kejang berulang yang terjadi
dengan sendirinya, yang membutuhkan pengobatan jangka panjang (Judit M Wilkinson,
2002 : 576).

B. KLASIFIKASI EPILEPSI

1. Berdasarkan penyebabnya
a. Epilepsi idiopatik
: bila tidak di ketahui penyebabnya.
b. Epilepsi simtomatik : bila ada penyebabnya.
2. Berdasarkan letak fokus epilepsi atau tipe bangkitan
a. Epilepsi partial (lokal, fokal)
1)Epilepsi parsial sederhana, yaitu epilepsi parsial dengan kesadaran tetap normal.
Dengan gejala motorik :

Fokal motorik tidak menjalar : epilepsi terbatas pada satu bagian tubuh saja.
Fokal motorik menjalar : epilepsi dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar

meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson.


Versif : epilepsi disertai gerakan memutar kepala, mata, tubuh.
Postural : epilepsi disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap tertentu.
Disertai gangguan fonasi : epilepsi disertai arus bicara yang terhenti atau pasien
mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu
Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial (epilepsi disertai halusinasi
sederhana yang mengenai kelima panca indera dan bangkitan yang disertai
vertigo).

Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk jarum.


Visual : terlihat cahaya.
Auditoris : terdengar sesuatu.
Olfaktoris : terhidu sesuatu.
Gustatoris : terkecap sesuatu.
Disertai vertigo
Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat,
berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil).Dengan gejala psikis (gangguan
fungsi luhur)

Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata, kata atau

bagian kalimat.
Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah mengalami,
mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak mengingat suatu

peristiwa di masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi.


Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.
Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih besar.
Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang bicara, musik, melihat
suatu fenomena tertentu, dll.

2)Epilepsi parsial kompleks, yaitu kejang disertai gangguan kesadaran.


Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran : kesadaran mula-mula
baik kemudian baru menurun.
Dengan gejala parsial sederhana A1-A4. Gejala-gejala seperti pada golongan A1A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.

Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan


sendirinya, misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka berubah
seringkali seperti ketakutan, menata sesuatu, memegang kancing baju,
berjalan, mengembara tak menentu, dll.

3) Epilepsi parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik,


klonik).
Epilepsi parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum.
Epilepsi parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum.
Epilepsi parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu
berkembang menjadi bangkitan umum.
b. Epilepsi umum
1) Petit mal/ Lena (absence)
Lena khas (tipical absence)
Pada epilepsi ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak
membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara.
Biasanya epilepsi ini berlangsung selama menit dan biasanya dijumpai
pada anak.
Hanya penurunan kesadaran.
Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan, biasanya dijumpai
pada kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya bilateral.
Dengan komponen atonik. Pada epilepsi ini dijumpai otot-otot leher, lengan,
tangan, tubuh mendadak melemas sehingga tampak mengulai.
Dengan komponen klonik. Pada epilepsi ini, dijumpai otot-otot ekstremitas,
leher atau punggung mendadak mengejang, kepala, badan menjadi
melengkung ke belakang, lengan dapat mengetul atau mengedang.
Dengan automatisme.
Dengan komponen autonom.

Lena tak khas (atipical absence)


Dapat disertai:

Gangguan tonus yang lebih jelas.


Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.
2) Grand Mal
Mioklonik
Pada epilepsi mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau
lemah sebagian otot atau semua otot, seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan
ini dapat dijumpai pada semua umur.

Klonik
Pada epilepsi ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan
tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama sekali pada
anak.

Tonik
Pada epilepsi ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku pada
wajah dan bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan dan ekstensi tungkai. Epilepsi
ini juga terjadi pada anak.

Tonik- klonik
Epilepsi ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal dengan nama
grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-tanda yang
mendahului suatu epilepsi. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan
kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira menit diikutti kejang kejang
kelojot seluruh tubuh. Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas
menjadi dalam beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang
meningkat, mulut menjadi berbusa karena hembusan napas. Mungkin pula pasien
kencing ketika mendapat serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa
lamanya, dapat pula bangun dengan kesadaran yang masih rendah, atau langsung
menjadi sadar dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.

Atonik

Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien
terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Epilepsi ini terutama
sekali dijumpai pada anak.
c. Epilepsi tak tergolongkan
Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang
ritmik, mengunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau pernapasan yang
mendadak berhenti sederhana.

BAB III
PEMBAHASAN
A. Pathway

Faktor predisposisi:
Pascatrauma kelahiran, asfiksia neonatorum, pascacedera kepala
Riwayat bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi
Adanya riwayat penyakit infeksi pada masa kanak-kanak
Adanya riwayat keracunan, riwayat gangguan sirkulasi serebral
Riwayat demam tinggi, riwayat gangguan metabolisme, dan nutrisi/gizi
Riwayat tumor otak, abses, kelainan bawaan, dan keturunan epilepsi
Gangguan pada system listrik dari sel-sel saraf pusat pada suatu bagian otak

Sel-sel memberikan muatan listrik yang abnormal, berlebihan, secara berulang, dan tidak terkontrol
Periode pelepasan impuls yang tidak diinginkan
Aktivitas kejang umum lama akut, tanpa
perbaikan kesadaran penuh di antara serangan

Status epileptikus

Kebutuhan metabolic besar

Gangguan pernapasan

Hipoksia otak

Kerusakan otak permanen

Edema serebral

Kejang parsial

Peka rangsang

Kejang umum

Respons pascakejang
(postikal)

Kejang berulang

1. Risiko tinggi cedera


Penurunan kesadaran

Gangguan perilaku, alam


perasaan, sensasi, dan persepsi

Respons fisik:
Konfusi dan sulit
bangun
Keluhan
sakit
kepala atau sakit
otot

4.

Nyeri akut
5. Deficit
perawatan diri

Respons psikologis:
Ketakutan
Respons penolakan
Penurunan nafsu makan
Depresi
Menarik diri

2.

Ketakutan

3. Koping individu tidak


efektif

B. Patologi Epilepsi
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus
merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta
neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik
saraf yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat
zat

yang

dinamakan

neurotransmiter.

Asetilkolin

dan

norepinerprine

ialah

neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid)


bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps. Bangkitan
epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus
epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke

neuron-neuron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan


hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan
demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar ke
bagian tubuh/ anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran.
Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang
substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan
impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi
kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf, sehingga
sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya influx natrium ke
intraseluler. Jika natrium yang seharusnya banyak di luar membran sel itu masuk ke
dalam membran sel sehingga menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah
keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi
neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini
menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi
neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah
fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik.
Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut.
Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat
apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu
kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena
biokimiawi, termasuk yang berikut :
1)
2)

Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan

3)

apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.


Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam
repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-

4)

aminobutirat (GABA).
Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit,
yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan
depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan
berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.

10

Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang


sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas
neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan
listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak
meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan
serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami
deplesi (proses berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh terutama karena
pendarahan; kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh berlebihan) selama
aktivitas kejang. Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti
histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan
struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal
pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang
tampaknya sangat peka terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokusfokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.

C. ETIOLOGI EPILEPSI
1. Menurut Pincus Catzel halaman 216-226, penyebab epilepsi yaitu:
a. Pra Lahir-genetika
Kesalahan metabolisme herediter seperti penyakit penimbunan glikogen dan
fenilketonuria. Anomali otak kongenital seperti porensefali, infeksi dalam rahim
seperti rubella, penyakit cytomegalo virus, meningoensefalolitis dan toksoplasmosis.
b. Perinatal
Trauma kelahiran, infeksi, hiperbilirubinemia, hipoglikemia dan hipokalsemia.
c. Pasca Lahir
Termasuk meningitis, trauma, ensefalitis, ensefalopati (misalnya keracunan timah an
elektrolit berat, neoplasma dan kelainan degeneratif SSP.
2. Menurut Arif Mansjoer halaman 27, penyebab epilepsi yaitu :
a. Idiopatik

11

Sebagian epilepsi pada anak adalah epilepsi idiopatik.


b. Faktor Herediter
Ada beberapa penyakit yang bersifat herediter yang disertai bangkitan kejang seperti
sklerosis

tuberosa,

neurofibromatosis,

fenilketonuria,

hipoparatiroidisme,

hipoglikemia.
c. Faktor Genetik
Pada kejang demam dan breath holding spell.
d. Kelainan Kongenital Otak
Atrofi, porensefali
e. Gangguan Metabolik
Penurunan konsentrasi glukosa darah (Hipoglikemia), hipokalsemia, hiponatremia,
hipernatremia.
1) Glukosa digunakan dalam metabolisme dari otak. Kekurangan glukosa sama
merusak seperti kekurangan oksigen.
2) Air dan elektrolit sepanjang membrane sel bertanggungjawab bagi keadaan terangsang
(eksitabilitas) neuron dan karena setiap gangguan elektrolit dapat

mencetuskan

konvulsi.
f. Infeksi
Radang yang disebabkan bakteri atau virus pada otak dan selaputnya, toksoplamosis.
g. Trauma
Cedera kepala, kontusio cerebri, hematoma subaraknoid, hematoma subdural.
h. Neoplasma dan selaputnya
Tumor otak yang jinak (benigna) lebih sering mengakibatkan epilepsy dibanding
tumor ganas. Hal ini didapatkan pada sekitar 25-40 % penderita tumor otak.
i.

Keracunan
Timbal (Pb), kamper (kapur barus), air.

3. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi ialah faktor yang mempermudah terjadinya serangan, yaitu :
a. Faktor sensori
Cahaya, bunyi-bunyi yang mengejutkan, air panas.
b. Faktor sistenis
Demam, penyakit infeksi, obat-obatan tertentu (misal fenotiazin), hipoglikemia dan
kelelahan fisik.

12

c. Faktor mental
Stress, gangguan emosi.
d. Haid
Penelitian menduga bahwa perubahan keseimbangan hormon semasa haid ikut
berperan dalam mencetuskan serangan.
Tabel 01. Penyebab-penyebab kejang pada epilepsy
Hipoksia dan iskemia prenatal
Bayi (0- 2 th)
Cedera lahir intrakranial
Infeksi akut
Gangguan

metabolik

hipokalsemia,

(hipoglikemia,

hipomagnesmia,

defisiensi

piridoksin)
Malformasi kongenital
Anak (2- 12 th)

Gangguan genetic
Idiopatik
Infeksi akut
Trauma

Remaja (12-18 th)

Kejang demam
Idiopatik
Trauma
Gejala putus obat dan alkohol

Dewasa Muda (1835 th)


Dewasa lanjut (>
35 th)

Malformasi anteriovena
Trauma
Alkoholisme
Tumor otak
Tumor otak
Penyakit serebrovaskular
Gangguan metabolik (uremia, gagal hepatik, dll )
Alkoholisme

13

BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Epilepsi atau yang lebih sering disebut ayan atau sawan adalah gangguan sistem
saraf pusat yang terjadi karena letusan pelepasan muatan listrik sel saraf secara
berulang, dengan gejala penurunan kesadaran, gangguan motorik, sensorik dan mental,
dengan atau tanpa kejang-kejang (Ahmad Ramali, 2005 :114).
Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, para orang tua bahkan bayi
yang baru lahir. Pengklasifikasian epilepsi atau kejang ada dua macam, yaitu epilepsi
parsial dan epilepsi grandmal. Epilepsi parsial dibedakan menjadi dua, yaitu epilepsi
parsial sederhana dan epilepsi parsial kompleks. Epilepsi grandmal meliputi epilepsi
tonik, klonik, atonik, dan myoklonik. Epilepsi tonik adalah epilepsi dimana keadaannya
berlangsung secara terus-menerus atau kontinyu. Epilepsi klonik adalah epilepsi
dimana terjadi kontraksi otot yang mengejang. Epilepsi atonik merupakan epilepsi yang

14

tidak terjadi tegangan otot. Sedangkan epilepsi myoklonik adalah kejang otot yang
klonik dan bisa terjadi spasme kelumpuhan.
B. SARAN
Setelah penulisan makalah ini, diharapkan masyarakat pada umumnya dan
mahasiswa keperawatan pada khususnya mengetahui pengertian, tindakan penanganan
awal, serta mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan epilepsi. Oleh karena
penyandang epilepsi sering dihadapkan pada berbagai masalah psikososial yang
menghambat kehidupan normal, maka seyogyanya kita memaklumi pasien dengan
gangguan epilepsi dengan cara menghargai dan menjaga privasi klien tersebut. Hal itu
dilaksanakan agar pasien tetap dapat bersosialisasi dengan masyarakat dan tidak akan
menimbulkan masalah pasien yang menarik diri.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.epilepsy.ca/eng/content/sheet.html
http://www.searo.who.int/LinkFiles/Technical_documents_Ment-134.pdf
Octaviana F. Epilepsi. In: Medicinus Scientific Journal of pharmaceutical development
and medical application. Vol.21 Nov-Des 2008. p.121-2.
http://epilepsiindonesia.com/pengobatan/epilepsi-dan-anak/pahami-gejala-epilepsipada-anak-2
Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Prose-Proses Penyakit. Ed: 6.
Jakarta: EGC

15

PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Ed. 3. Jakarta. 2008


http://www.medscape.com/viewarticle/726809

Anda mungkin juga menyukai