Benign Prostatic Hyperplasia : Cara Penyampaian Klinik Dan Hasil Setelah Operasi
Masha khan, Abdul Latif Khan*, Saadat Khan, Haq nawaz
Department Of Urology And Surgical Unit III*, Bolan Medical College And Sandeman
Teaching Hospital, Quetta
Tujuan : untuk mengetahui variasi cara penyampaian klinik Benign Prostat Hyperplasi
(BPH) di wilayah kami dan hubungannya dengan kegagalan berkemih setelah operasi
Transurethral Resection of Prostate (TURP).
Metode : Penelitian dilakukan di Departemen Urologi, Rumah Sakit Pendidikan Sandeman
Quetta Dan Rumah Sakit Akram (private) dari Januari 2000 sampai Desember 2003. Semua
pasien BPH ditentukan secara akurat diantaranya pasien sebagai model utama dan yang akan
menjalani TURP dimasukkan ke dalam penelitian. Ada empat cara penyampaian klinik
yakni : 1. Gejala saluran kemih bawah (LUTS), 2. Retensi akut, 3. Retensi kronis, 4. Akut
pada retensi kronis. Setelah penyelidikan terkait semua pasien yang menjalani TURP. Setelah
operasi kateter dilepaskan ketika urin jernih, biasanya 48 jam setelah operasi. Pasien gagal
untuk berkemih ketika pemasangan kateter kembali dan diberikan percobaan kedua tanpa
kateter (TWOC) pada hari ketiga pemasangan kateter kembali. Berkemih secara spontan
yang kembali baik pada pertama / kedua TWOC dianggap sukses. Kegagalan berkemih pada
TWOC kedua dianggap gagal dan dikelola selama 6 minggu periode kateter kembali, dan
diikuti oleh TWOC tambahan. Analisa statistik digunakan untuk melihat hubungan yang
signifikan dari kegagalan untuk berkemih setelah operasi dengan cara penyampaian klinik
pada BPH, umur pasien dan beratnya jaringan prostat yang direseksi.
Hasil : Total pasien BPH yang diikutkan dalam penelitian 345. 270 (78,3 %) diantaranya
pasien dengan retensi urin dan 75 (21,7 %) dengan gejala saluran kemih bawah (LUTS).
Presentasi pasien dengan retensi akut 129 (37,4 %), retensi kronik 81 (23,5 %) dan akut pada
retensi kronik 60 (17,4 %). Jumlah laki laki yang mengalami kegagalan berkemih setelah
TURP memiliki angka signifikan yang tinggi (p < 0,05). Pada mereka dengan 1. Retensi akut
dibandingkan dengan LUTS 2. Retensi kronik dibandingkan dengan retensi akut 3. Akut pada
retensi kronik dibandingkan retensi kronik.
Jumlah laki laki yang gagal berkemih setelah operasi berhubungan secara signifikan tinggi
pada mereka dengan retensi jenis apapun dibandingkan dengan LUTS. Usia dan besarnya
jaringan prostat yang direseksi merupakan faktor yang tidak signifikan dalam hubungannya
dengan kegagalan berkemih setelah operasi.
Kesimpulan : Penyampaian klinik pasien BPH diwilayah kita sangat terlambat, kebanyakan
mereka (>78 %) datang dengan komplikasi retensi urin. Cara penyampaian klinik BPH sangat
mempengaruhi hasil setelah operasi pada penyakit ini. Pasien dengan komplikasi kronik dan
akut pada retensi kronik mempunyai hasil yang kurang menguntungkan mengenai berkemih
setelah operasi TURP. Selain itu usia pasien dan beratnya prostat merupakan faktor yang
tidak signifikan dalam hubungannya dengan kegagalan berkemih setelah operasi (JPMA
55:20;2005).
Pendahuluan
Benign prostat hyperplasia (BPH) dan hubungannya dengan tanda dan gejala
merupakan sesuatu yang banyak terjadi pada laki laki tua, hal ini sesuai dengan proses
penuaan. Khusus pada wilayah kami dengan gejala saluran kemih bawah (LUTS) dalam
penuaan pada laki laki merupakan gejala pada usia tua. Tingkat kepedulian terhadapat
kesehatan dan ekonomi merupakan penyebab keterlambatan dalam penyampaian klinik dan
terapi.
Di dunia barat lebih dari 90 % pasien BPH diterapi berdasarkan beratnya gejala dan
dibandingkan dengan pasien yang menjengkelkan dengan gejalanya. Ini berbeda pada 70 80
% pasien BPH di daerah mencari bantuan medis ketika mereka telah mengalami komplikasi
dari penyakitnya.
Variasi komplikasi jangka panjang BPH yang tidak diterapi termasuk akut dan kronis
retensi urin, rekuren infeksi saluran kemih, batu saluran kemih kedua dan divertikel, dilatasi
saluran kemih atas dan insufisiensi ginjal. Gejala obstruksi yang lama dari BPH akibat
iskemi, deposisi kolagen dan perubahan pada jaringan neuromuscular kandung kemih ini
dapat juga memberikan efek pada hasil setelah operasi penyakit ini.
Ketidakmampuan
kontraksi destrusor dilaporkan pada laki laki dengan BPH lama dan pasien dengan ini
ditemukan hasil yang kurang memuaskan setelah operasi.
Sasaran dari penelitian adalah ini mencari rasio dari variasi cara penyampaian klinik
BPH di wilayah kami dan hubungannya dengan setelah operasi gagal untuk berkemih setelah
reseksi transurethral prostat.
berkemih diikuti TWOC pada 48 jam setelah TURP kedua. Sehingga untuk tujuan analisis
berikutnya ia termasuk dalam kelompok sukses TWOC
Semua pasien dalam keadaan dengan LUTS sukses berkemih diikuti dengan TURP. Tujuh
(5,4 %) dari 129 pasien dengan retensi akut, 11 (15.0 %) dari 81 pasien dengan retensi kronik
dan 9 (15.0%) dari 60 pasien dengan akut pada retensi kronik gagal untuk berkemih pada
pelepasan kateter.
Proporsi laki laki yang gagal berkemih setelah TURP signifikan tinggi (P< 0,05)
pada mereka dengan berbagai jenis retensi dibandingkan pada mereka dengan LUTS dapat
dilihat pada table 1.
Table 1. hubungan antara hasil dengan cara penyampaian klinik
1.
Cara penyampaian
LUTS**
setelah TWOC*
75
setelah TWOC
0
vs
2.
0,0487
retensi akut
122
Retensi akut
122
vs
3.
0,0461
retensi kronik
70
11
Retensi akut
122
vs
4.
0,0458
51
243
27
vs
LUTS
*trial without catheter
p-value
0,0013
75
Demikian pula terdapat hubungan yang signifikan (p<0,05) pada beratnya reseksi jaringan
prostat dalam sukses berkemih (rata rata 28.6 15,8 gram ) dengan kelompok yang tidak
sukses (rata rata 31.2 18,4 gram ) lihat pada tabel 2.
Meskipun beberapa pasien awalnya inkontinensia urin setelah pencabutan kateter
tetapi kondisi membaik dalam beberapa hari setelah operasi dan tidak ada pasien dengan
inkontenensia permanen. Dua pasien meninggal pada seri ini kurang dari 30 hari setelah
operasi sehingga tingkat kematian 0,6 %.
Table 2. hasil hubungan usia dan berat dari prostat (reseksi)
1
2
p-value
64,9
66.1
0.5929
11.3
9.7
SD
SD
28.7
31.2
15.8
18.4
0.4366
Diskusi
Bertentangan dengan Negara barat dimana lebih dari 90% pasien BPH di terapi
berdasarkan beratnya gejala 2, kebanyakan dari pasien kita disajikan dengan komplikasi BPH.
Lebih dari 78 % pasien dengan retensi urin baik akut, kronik, atau akut pada retensi kronik.
Hanya 21,7 % pasien datang dengan gejala saluran kemih bawah (LUTS) dan semua dari
mereka mempunyai gejala yang parah (I-PSS> 20). Meskipun temuan ini bertentangan
dengan temuan di di dunia2 tetapi hubungan baik dengan orang orang di Negara
berkembang dimana 70 80 % dari pasien BPH mencari pengobatan medis hanya ketika
mereka mengalami komplikasi dari penyakitnya, 3,4.
Retensi urin baik yang akut maupun kronis merupakan komplikasi lama akibat BPH
yang tidak diterapi juga memberikan pengaruh pada hasil setelah operasi penyakit ini. Pada
penelitian kami 5,4 % pasien dengan retensi akut, 13,6 % pasien dengan retensi kronis dan
15. 0 % pasien akut pada retensi kronik gagal untuk berkemih setelah pencabutan kateter
setelah operasi. Sangat signifikan tinggi (P<0, 05) antara jumlah pasien dengan retensi kronik
dan akut pada retensi kronik gagal untuk berkemih setelah TWOC dibandingkan dengan
retensi akut. Sangat signifkan (P<0,005) jumlah pasien dengan retensi pada berbagai tipe
retensi gagal untuk berkemih setelah TWOC
Temuan kami ini berhubungan baik dengan yang dijelaskan oleh Reynard dan Sheaer
12
dan
dapat dijelaskan oleh perubahan pada jaringan fibromuskuler dari kandung kemih yang
disebabkan oleh obstruksi lama oleh karena BPH. 9
Wyatt et al 13 melaporkan kegagalan untuk berkemih setelah TURP pada awal TWOC
sebanyak 27 % pasien. Kebanyakan pasien dalam penelitian ini mengalami baik akut, kronik,
atau akut pada retensi kronik. Pickard et al
14
% laki laki dengan retensi akut di bandingkan dengan hanya 2.3 % dari mereka yng
menjalani TURP untuk LUTS. Berbeda dengan penelitian kami 5,4 % pasien dengan retensi
akut dan tidak ada pasien tunggal dengan LUTS gagal untuk berkemih setelah TURP.
Berbagai studi
12, 15
16
menemukan
15
, di penelitian kita
perbedaan antara mereka yang sukses berkemih dengan yang tidak, secara statistic tidak
signifikan (p > 0,05). Temuan ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Reynard dan Sheaer.
12
Kami tidak menemukan berat jaringan prostat yang direseksi menjadi faktor prediktif
yang signifikan untuk hasil setelah operasi. Perbedaan pada berat jaringan prostat yang
direseksi antara dua kelompok tidak signifikan secara statistic (P> 0,05). Temuan ini
berkorelasi baik dengan yang dikemukakan Reynard dan Sheaer. 12
Hasil dari penelitian kami mengemukakan bahwa cara penyampaian klinik BPH
sangat berpengaruh terhadap hasil setelah operasi penyakit ini. Pasien dengan gejala
mempunyai hasil yang menguntungkan sedangkan mereka dengan komplikasi, khusus untuk
retensi kronik dan akut pada retensi kronik mempunyai hasil yang kurang menguntungkan
dalam hal berkemih setelah pelepasan kateter setelah operasi. Selain itu hasil menunjukkan
bahwa usia pasien dan beratnya prostat merupakan faktor yang tidak signifikan mengenai
kegagalan berkemih setelah operasi.
Dari hasil penelitian kami dapat disimpulkan bahwa pasien BPH di wilayah kami
datang sangat terlambat, kebanyakan dari mereka (>78%) datang dengan komplikasi retensi
urin.
Cara penyampaian klinik BPH sangat berpengaruh terhadap hasil setelah operasi
pada penyakit ini. Pasien dengan komplikasi kronik dan akut pada retensi kronik memiliki
hasil yang kurang menguntungkan untuk berkemih setelah operasi TURP. Selain itu usia dan
beratnya prostat merupakan faktor yang tidak signifikan dalam hubungannya dengan
kegagalan untuk berkemih setelah operasi.
Referensi
1. Jacobsen SJ, Girman CJ, Lieber MM. Natural history of benign prostatic hyperplasia.
Urology 2001;58 (6 Suppl 1):5-16.
2. Grossfeld GD, Coakley FV. The prostate gland: a clinical relevant approach to imaging.
Radiol Clin North Am 2000;38:31-47.
3. Ahmed AA. Transvesical prostatectomy in Tikur Anbessa Hospital, Addis Ababa. East Afr
Med J 1992;69:378-80.
4. Khan FA (ed). A practical guide to urology: lower urinary tract symptoms (LUTS) and
BPH. Lahore: National Book Foundation, 1998, pp. 124-41.
5. Lepor H. Natural history, evaluation and nonsurgical management of benign pro- static
hyperplasia. In: Walsh PC, Retik AB, Vaughan ED, et al. eds. Campbell's Urology. 7th ed. Vol
2. Philadelphia: W.B. Saunders, 1998, pp. 1453-77.
6. Blandy J, Fowler C (ed). Urology: prostate - benign enlargement. 2nd ed. London:
Blackwell Science 1996, pp. 380-404.
7. Saito M, Ohmura M, Kondo A. Effect of aging on blood flow to the bladder and bladder
function. Urol Int 1999;62:93-8.
8. Gilpin SA, Gosling JA, Barnard RJ. Morphological and morphometric stud- ies of the
human obstructed, trabeculated urinary bladder. Br J Urol 1985;57:525-9.
9. McConnell JD. Epidemiology, etiology, pathophysiology and diagnosis of benign prostatic
hyperplasia. In: Walsh PC, Retik AB, Vaughan ED, Wein AJ. eds. Campbell's Urology. 7th
ed. Vol 2. Philadelphia: W. B. Saunders, 1998, pp. 1429-52.