Anda di halaman 1dari 5

News / Regional

Kumpul Kebo, Pasangan Mahasiswa Ditangkap


Massa
Rabu, 1 Januari 2014 | 21:31 WIB

BENGKULU, KOMPAS.com Sepasang mahasiswa perguruan tinggi negeri di Bengkulu, MH (19)


dan Na (18), Rabu (1/1/2014) sekitar pukul 19.00 WIB, ditangkap massa. Dua mahasiswa ini diduga
sebagai pasangan kumpul kebo.
Pasangan tersebut ditangkap saat MH berada di rumah kontrakan Na, yang berada di Kelurahan Pagar
Dewa, Kecamatan Selebar, Kota Bengkulu.
Dituturkan oleh Afrianto, salah seorang warga yang ikut menangkap pasangan tersebut, NA baru 3 bulan
tinggal di daerah mereka. "Kabarnya dia diusir dari kontrakan yang lama karena kasus serupa," kata
Afrianto.
Sejak Na pindah ke kelurahan itu, MH hampir setiap hari bertandang ke rumah Na sampai menginap
bermalam-malam. Warga telah berupaya memberikan peringatan, jika bertamu, maka pintu kontrakan
hendaknya tidak dikunci dari dalam. MH juga diingatkan untuk pulang jika hari sudah malam.
"Dinasihati, keduanya cuek saja. Jadi, warga merasa terganggu dan risih melihat perilaku keduanya,"
tambah Afrianto.
Dituturkan juga bahwa setiap pagi, warga selalu memperhatikan kegiatan Na, yang selalu mencuci
pakaian milik MH, termasuk pakaian dalam, seperti celana dalam dan singlet pria, padahal keduanya
bukan suami-istri.
Penangkapan sengaja dilakukan oleh warga seusai maghrib. Memang, keduanya ditangkap massa dalam
kondisi berpakaian lengkap. Saat penangkapan pun ada rekan Na, seorang mahasiswi berinisial Ek (18).

"Pada saat ditangkap massa, kami tidak melakukan apa-apa, hanya bermain laptop. MH mampir saja ke
rumah Na," bela Ek.
MH menolak dikatakan pernah menginap di kontrakan milik Na. "Saya memang sering datang ke
kontrakan pacar saya, tetapi tidak pernah sampai menginap," kata dia. Keduanya diminta oleh warga dan
ketua RT setempat untuk membuat perjanjian tidak akan mengulangi tindakan serupa atau akan diusir dari
kelurahan tersebut.

Rumusan Masalah
1. Mengapa masyarakat lebih memilih menghukum para pelaku kumpul kebo atas dengan main
hakim sendiri?
2. Mengapa polisi sendiri tidak bisa mengikat pelaku kumpul kebo dengan KUHP?

Analisis
Masalah kumpul kebo ini sudah menjadi masalah lama di Indonesia dimana para pelaku kumpul
kebo seringkali lolos dari jerat hukum pidana dikarenakan tidak ada pasal yang mengatur tentang kumpul
kebo di KUHP, dalam pasal 285 KUHP dijelaskan : Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena
melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Sementara dalam kasus ini,
tidak ada paksaan dari pihak laki-laki kepada pihak wanita untuk melakukan hubungan seksual sehingga
dianggap suka sama suka dan polisi tidak bisa menjerat pelaku kumpul kebo dengan pasal tersebut dan
juga dalam pasal 286 KUHP dijelaskan juga : Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar
perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. , padahal wanita pasangan kumpul kebo jelas-jelas
sadar dan dalam keadaan bisa melawan, sehingga pelaku dan korban tidak bisa dijerat dengan pasal
tersebut. Dan biasanya polisi akan melepaskan para pelaku kumpul kebo dengan alasan tidak ada pasal
yang menjerat mereka dan masyarakat pun kecewa dengan polisi dikarenakan polisi tidak mampu
menindak pelaku kumpul kebo dan masyarakat pun mulai memilih untuk menindak pelaku kumpul kebo
sendiri dengan mengrebek pelaku kumpul kebo di rumah atau kos pelaku kumpul kebo dan menghukum
pelaku kumpul kebo dengan main hakim sendiri seperti menghajar pelaku pria sampai babak belur dan
pelaku wanita biasanya dipermalukan oleh masyarakat dengan ditelanjangi bersamaan dengan pelaku pria
dan diarak keliling wilayah dimana mereka melakukan aksi kumpul kebo dan dibawa sampai ke pengurus
wilayah setempat untuk ditindaklanjuti, biasanya pelaku kumpul kebo dihukum dengan membayar
sejumlah denda yang cukup besar, bisa juga mereka dihukum dengan diusir dari wilayah tersebut dengan
alasan mereka telah mempermalukan wilayah tersebut.
Masalah dari kumpul kebo ini adalah tidak adanya pasal dari KUHP yang mampu menjerat
perkara tersebut, semenjak dari KUHP masih merupakan hukum belanda sampai menjadi KUHP itu
sendiri, pasal susila belum pernah direvisi ataupun diubah sehingga kasus asusila seperti kumpul kebo ini
cukup sulit untuk dijerat, bahkan dari hukum Islam pun juga sulit menjerat mereka dikarenakan salah saty
syarat untuk pembuktian perbuatan zina adalah adanya 4 orang saksi yang menyaksikan langsung
perbuatan mereka dan saksi pun harus pria dewasa, sehingga dari sini pun menjerat para pelaku kumpul
kebo dengan hukum Islam juga sulit karena apabila saksinya seorang wanita, maka kesaksiannya pun
tidak dianggap meskipun meyaksikan secara langsung, dan juga kumpul kebo hanya bisa dijerat hukum
Islam apabila kejadian disaksikan langsung sementara para pelaku kumpul kebo pun melakukan
perbuatannya secara diam-diam dan dilakukan di tempat tertutup sehingga tidak banyak orang pun tahu
apa yang dilakukan oleh para pelaku kumpul kebo.

Uraian menurut konflik hukum.


Dalam kasus ini, yang menjadi konflik hukum adalah peraturan-peraturan perundang-undangan dengan
hukum adat dan hukum kebiasaan dimana seperti yang dibahas sebelumnya, para pelaku kumpul kebo
tidak bisa dijerat dengan KUHP dikarenakan tidak ada pasal yang relevan dengan kasus kumpul kebo,
jikapun dicari, hanya ada 2 pasal yang cukup mendekati namun tetap tidak bisa mengikat para pelaku
kumpul kebo yaitu pasal 285 KUHP dan pasal 286 KUHP itupun sang wanita harus dalam kondisi yang
disebutkan dalam 2 pasal tersebut sementara wanita dalam kumpul kebo jelas-jelas sadar dan tanpa ada
paksaan dari si pria, sementara dalam hukum adat dan kebiasaan, jelas mengatakan bahwa pria dan wanita
tidak boleh melakukan hidup dalam 1 rumah jika belum terikat dalam suatu hubungan pernikahan yang
resmi dan diketahui oleh masyarakat luas, apabila diketahui ada pasangan pria dan wanita yang belum
menikah namun sudah hidup bersama dalam 1 rumah, maka pasangan tersebut dianggap melakukan
perzinahan dan sudah pasti mereka akan mendapat hukuman dari penduduk setempat walau mereka
sendiri memiliki alasan, namun karena posisi hukum adat dan kebiasaan dibawah hukum pidana atau
KUHP maka kebanyakan pelaku kumpul kebo lebih memilih untuk ditangkap oleh polisi daripada
tertangkap oleh warga, dan berdasar itu pula warga lebih memilih untuk menindak sendiri pelaku kumpul
kebo ketimbang meyerahkan mereka ke polisi karena mereka tahu polisi tidak mampu menjerat mereka
dengan pasal KUHP.

Kesimpulan
Dari bahasan diatas, bisa disimpulkan bahwa peyebab mengapa kasus kumpul kebo lebih sering
diselesaikan oleh masyarakat sendiri ketimbang meyerahkan mereka ke polisi dikarenakan polisi tidak
bisa menjerat mereka dengan KUHP dikarenakan tidak ada pasal yang relevan dengan kasus mereka
sehingga sangat sering pelaku kumpul kebo lepas dari jerat polisi dan hanya diberikan teguran saja, dan
dari itu pulalah masyarakat lebih memilih main hakim sendiri untuk menghukum para pelaku kumpul
kebo karena dianggap tidak bermoral dan merusak nama baik wilayah mereka.

Saran
Menurut saya, saran untuk peyelesaian diatas adalah membuat undang-undang baru yang relevan
dan mampu mengikat para pelaku kumpul kebo dan kasus asusila lainnya yang sering lolos dikarenakan
tidak ada pasal KUHP yang mengikat mereka atau bisa juga merevisi KUHP yang selama ini masih
menggunakan undang-undang dari hukum belanda sehingga tidak relevan dengan kondisi sekarang.

Anda mungkin juga menyukai