MANAJEMEN PERUBAHAN
Rangkuman Teori dan Aplikasi
DR. H. Jafar Sembiring *)
Abstrak:
In the literature, many research results uncover the failure of change initiatiates
in various organizations. In the meantime, due to the rapid turbulance of
environment, no organization can get away from initiating changes, no
organization can avoid or resist changes. In order to survive, grow and succeed,
an organization must skillfully design and manage the change process foritto be
effective for the sake of the organization. This article elicits common factors that
drive organizations to change, common resistance to change, and tactics to
‘overcome resistance to change. Also in this article are summaries of steps
theoretically formulated by experts and steps implemented by a practitioner that
brought his company to a great success. The basic change model which was
developed a long time ago, and forgotten for a long time, now seems to be very
useful. This article also discusses why the change process that brings an
organization to succeed is no guarantee that applying exactly the same process
inother organizations will bring those organizations to succeed.
Kata Kunci : Planned change, first-order change, second-order change, change
agent, resistance to change, individual resistance, organizational resistance,
change option, action research, comfort zone, unfreezing,moving, refreezing,
status quo, desired state, driving forces, restraining forces.
PENDAHULUAN
Perubahan adalah suatu hal yang pasti terjadi. Dalam kehidupan sehari-hari,
tidak ada orang yang dapat menghindar dari perubahan. Sejak seseorang
berada di dalam rahim ibunya sampai orang tersebut meninggal dunia,
Perubahan terus terjadi. Hal serupa terjadi dalam organisasi. Organisasi yang
dijalankan oleh manusia juga terus mengalami perubahan. Baik pada organisasi
skala kecil maupun pada organisasi skala raksasa, perubahan selalu terjadi.
Perubahan tersebut terjadi mungkin karena yang menjalankan organisasi
adalah manusia, dan manusia terus berubah. Oleh karena itu maka sering
dikatakan bahwa satu hal yang pastiterjadi di dunia ini adalah perubahan.
Dalam fiteratur (buku, jumal, majalah dan lain-lain) dapat ditemukan berbagal
faktor yang menyebabkan’ suatu organisasi berubah. Namun, sebelum
merangkum faktor-faktor tersebut, terlebih dahulu diuraikan secara umum
*) DR. H. Jafar Sembiring, Wakil Rekior 1 Bidang Akademik Institut Manajemen Telkom
1920 OR. Jefr Sembing :MenjemenPerbatanRangkuman Ter dan Alta
tentang pengertian perubahan. Robbins (2005) menyatakan bahwa perubahan
adalah membuat sesuatu menjadi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesi dapat
diihat bahwa ‘perubahan’ berakar dari kata ‘ubah’. Kata ‘ubah’ mempunyai
makna'menjadilain (berbeda) dari semula’.
Dalam organisasi, perubahan dapat terjadi dalam lingkup kecil, tentang suatu
hal yang kecil, dan perubahan yang kecil-kecil ini terjadi secara terus-menerus.
Perubahan sepertiini disebut dengan istilah First-Order Change atau sering juga
disebut dengan istiiah Continuous Improvement. Pada umumnya, perusahaan-
perusahaan Jepang dikenal piawai dalam menerapkan perubahan ini. Selain
perubahan kecil-kecilan secara terus-menerus, ada juga perubahan besar-
besaran yakni perubahan multidiminsi dalam suatu organisasi. Perubahan
seperti ini disebut dengan istilah Second-Order Change atau sering juga disebut
dengan istilah Dramatic Change. ini tidak berarti bahwa jika suatu organisasi
sudah menerapkan First-Order Change, maka organisasi tersebut tidak periu
menerapkan Second-Order Change. Juga tidak berarti bahwa jika suatu
organisasi menerapkan Second-Order Change, maka organisasi tersebut tidak
perlu menerapkan First-Order Change. Kedua jenis perubahan tersebut perlu
diterapkan. Pimpinan organisasi harus jeli dan peka terhadap faktor-faktor yang
menyebabkan periunya melakukan perubahan.
‘Sonnenberg (1994) menyatakan bahwa di dunia ini, perubahan terjadi setiap
hari sehingga menjalankan usaha seperti biasa adalah merupakan resep yang
dapat menjamin kegagalan. Agar berhasil, perusahaan harus merangkul
perubahan. Tidak cukup jika perusahaan hanya reaktif terhadap perubahan.
Perusahaan harus belajar_mengantisipasi perubahan. Robbins (2005)
menyatakan bahwa organisasi harus berubah, kalau tidak berubah, organisasi
tersebut akan mati. Apa yang diutarakan oleh Sonnenberg (1994) dan Robbins
(2008) tersebut senada dengan Smither, Houston & Mcintire (1996) yang
menyatakan bahwa semua organisasi harus berubah agar dapat bertahan
hidup. Pernyataan-pernyataan ini mempunyai makna bahwa perubahan yang
terjadi dalam organisasi harus dirumuskan sedemikian rupa demi kepentingan
corganisasi. Oleh karena itu, setiap perubahan dalam organisasi harus
direncanakan dan dikelola sebaik mungkin, Smither, Houston & McIntire (1996)
secara tegas menyatakan bahwa proses perubahan harus dikelola secara
terampil agar perubahan tersebut terjadi secara efektif demi kepentingan
corganisasi. Perubahan seperti ini disebut dengan istilah planned change. Inilah
yang menjadi pokok bahasan dari manajemen perubahan.
Dalam melakukan perubahan, informasi tentang perlunya perubahan boleh
datang dari mana saja: dari bawahan, dari luar organisasi, dari orang desa, dari
pengamat, dari konsultan, dari pelanggan, dan lain-lain. Keputusan untuk
berubab atau tidak berubah selalu dari atas (pimpinan puncak suatu organisasi,
pemilik suatu organisasi, atau kepala unit kerja). Jika perubahan mengenai
sesuatu yang funamental bagi perusahaan secara keseluruhan, maka orang
yang menjadi kunci utama dalam membuat keputusan untuk berubah adalah
pimpinan puncak atau presiden direktur perusahaan tersebut. Jika perubahanJamal Manajemen indonesia Vol. 9 No.1 Jenvari2009 21
dilakukan pada satu unit kerja, maka orang yang menjadi kunci utama dalam
membuat keputusan untuk berubah adalah kepala unit kerja tersebut. Oleh
karena itu, pendekatan manajemen perubahan adalah top down.
Jika keputusan untuk berubah sudah ditetapkan, pelaksanaan atau
implementasi perubahan tersebut tidak dapat dilakukan sediri oleh orang yang
memutuskan perubahan tersebut. Sejumlah orang tertentu diperlukan untuk
meyakinkan seluruh anggota organisasi bahwa perubahan tersebut akan
membuat organisasi menjadi lebih baik, mengelola dan memonitor perubahan
tersebut. Sejumiah orang tertentu ini disebut dengan istilah change agents
(agen perubahan). Orang-orang yang menjadi agen perubahan tidak selalu
harus menduduki posisi struktural berdasarkan struktur organisasi. Orang-
orang yang dianggap tauladan atau tokoh atau orang-orang yang ‘dituakan' oleh
karyawan perlu dijadikan sebagai agen perubahan. Orang-orang yang diangkat
sebagai agen perubahan tersebut berperan sebagai katalisator dan motivator
untuk membuat seluruh anggota organinasi termotivasi untuk berubah. Tanpa
motivasi yang tinggi dari seluruh karyawan, maka tujuan perubahan yang telah
ditetapkan tidak akan terwujud. Batesman & Snell (2002) menyatakan bahwa
orang (seluruh anggota organisasi) harus termotivasi untuk berubah, jika tidak,
maka tujuan perubahan tidak akan terwujud.
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PERUBAHAN
Dalam literatur dapat ditemukan berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya
perubahan dalam organisasi. Dari berbagai sumber, berikut ini dirangkum
faktor-faktor yang lazim diidentifikasi dalam berbagai hasil penelitian maupun
kajian. Urutan dalam rangkuman ini tidak menunjukkan prioritas atau tingkat
kepentingan.
Pertama, Teknologi. Perkembangan teknologi sering sebagai penyebab penting
untuk melakukan perubahan dalam organisasi. Hal ini karena teknologi baru
selalu lebih canggih dibandingkan dengan teknologi lama. Sebagai contoh,
sebelum ada personal computer dan main frame, hampir tidak ada perusahaan
yang membuat unit kerja pengolahan data atau sistem informasi; sebelum ada
lap top, tidak ada manajer apalagi pimpinan puncak suatu perusahaan
membawa-bawa mesin ketik; sebelum ada hand phone, tidak ada orang yang
terlihat berbicara sendirian sambil berjalan kecuali orang yang kurang waras
atau sedang stres. Dengan adanya teknologi tersebut, banyak perusahaan yang
harus mengubah struktur organisasi, dan mengalokasikan sejumlah anggaran
untuk membeli teknologi tersebut.’ Ini dilakukan Karena pimpinan puncak
perusahaan yakin bahwa penerapan teknologi baru tersebut akan
meningkatkan kinerja, baik dari kuntitas maupun kualitas -kerja. Dengan
demikian, kepuasan pelanggan akan terpenuhi atau bahkan terlampaui.
Dengan terpenuhinya atau bahkan terlampauinya kepuasan pelanggan, maka
jumlah pelanggan akan semakin banyak. Ini berarti bahwa jumlah pemasukan
(revenue) akan semakin tinggi, kemudian [aba akan semakin banyak, dan
seterusnya.22 OR. Jafar Sembirng : Menejemen Penubanen Ranglaman Teor den Apikasi
Kedua, sumber daya manusia. Kualitas sumber daya manusia terus
berkembang karena kurikulum di lembaga-lembaga pendidikan terus berubah.
Tingkat pendidikan sumber daya manusia terus semakin tinggi. Pengetahuan
dan keterampilan karyawan sebagai dampak dari pengalaman kerja dan
pelatihan terus berkembang. Dengan demikian, pola pikir sumber daya manusia
terus berubah. Keanekaragaman latar belakang tenaga kerja terus
berkembang, masing-masing membawa budaya yang berbeda. ini semua
menimbulkan perubahan dalam organisasi: perubahan persyaratan promosi,
perubahan sistem penggajian, perubahan cara kerja, perubahan proses seleksi
karyawan baru, dan berbagai perubahan lainnya,
Ketiga, ekonomi. Keadaan ekonomi suatu negara berpengaruh tethadap
teradinya perubahan dalam organisasi di negara tersebut. Krisis moneter yang
dikenal dengan istilah ‘krismon' menimbulkan perubahan dalam organisasi.
Banyak perusahaan yang menguiangi jumiah tenaga kerja. Ini berarti banyak
Pekerjaan yang digabung. Tingkat pengangguran menjadi semakin tinggi.
Jumlah pelamar untuk setiap lowongan kerja sangat jauh melampaui jumiah
tenaga kerja yang dibutuhkan. Dengan demikian, pelaksanaan rekrutmen dan
seleksi harus dibagi menjadi beberapa tahap untuk mendapatkan calon yang
terbaik. Ini semua memeriukan kebijakan tertentu. Sebaliknya, jika ekonomi
suatu negara semakin baik maka akan semakin sulit mendapatkan tenaga kerja
dari dalam negeri. Hal ini terjadi karena orang lebih cenderung menjalankan
usaha sendiri dari pada bekerja di perusahaan orang lain. Akibatnya terjadi
kelangkaan tenaga kerja. Tenaga kerja harus didatangkan (diimpor) dari negara
lain. Pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan baru. Dengan kebijakan
pemerintah tersebut, kebjjakan di suatu perusahaan pun harus berubah.
Sebagai contoh, Malaysia. Sekitar tiga juta orang tenaga kerja di Malaysia
berasal dari Iuar malaysia. Peraturan tentang tenaga kerja di Malaysia terus
berubah. Perlakuan terhadap tenaga kerja yang diimpor (dikenal dengan istilah
migrant workers) diatur tersediri.
‘Keempat, persaingan. Dalam era globalisasi ini, persaingan tidak hanya datang
dari dalam negeri, melainkan juga dari luar negeri. Esensi dari persaingan
adalah perebutan ‘pasar’. Dengan adanya persaingan maka perilaku pelanggan
berbeda dengan perilaku pelanggan jika tidak ada persaingan. Perubahan
perilaku pelanggan ini menyebabkan perusahaan melakukan perubahan untuk
merebut hati pelanggan. Perusahaan melakukan perubahan karena
kesuksesan perusahaan sangat dipengaruhi oleh pelanggan. Jika ada pesait
maka pelanggan suatu perusahaan dapat bebas pindah ke perusahaan lain,
Oleh Karena itu, agar dapat bertahan hidup dan sukses, perusahaan harus
mampu merespon persaingan. Respon yang dapat dilakukan oleh suatu
Perusahaan adalah dengan melakukan perubahan demi kepentingan
pelanggan agar pelanggan tidak pindah ke perusahaan lain dan sekaligus dapat
menarik pelanggan perusahaan pesaing.
Kelima, regulasi. Peraturan daerah, peraturan nasional, maupun internasional
, terus berubah. Organisasi harus terus memperhatikan dan menyesuaikan diri-Jumal Manajemen Indonesia Vol 9 No. 1 Januari 2009 23
dengan regulasi yang berlaku. Banyak perubahan yang terjadi dalam organisasi
sebagai dampak dari perubahan regulasi. Sebagai contoh, perubahan regulasi
tentang telekomunikasi di Indonesia menyebabkan PT Telkom dan PT Indosat
dan perusahaan telekomunikasi lainnya melakukan bebagai perubahan. Contoh
lain adalah rancangan perubahan tentang penyiaran televisi_ membuat
perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam penyiaran televisi melakukan
perubahan,
Keenam, politik. Praktik politik di suatu daerah, negara, atau dunia dapat
menimbulkan perubahan dalam organisasi. Banyak contoh perubahan yang
terjadi sebagai dampak dari praktik politik. Bubamya Uni Soviet, bersatunya
Jerman Barat dan Jerman Timur, perubahan politik di Afrika Selatan, invasi
‘Amerika Serikat ke Irak adalah beberapa contoh yang menyebabkan terjadinya
perubahan dalam perusahaan-perusahaan di negara-negara_tersebut.
Penambahan jumiah propinsi di Indonesia dan penerapan otonomi daerah
menimbulkan perubahan di berbagai perusahaan di Indonesia. Larangan
terbang pesawat Garuda ke Amerika Serikat menimbulkan perubahan di Garuda
Indonesia.
Sebagai dampak dari faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut,
perubahan-perubahan dalam organisasi dapat dikelompokkan menjadi
beberapa opsi. Robins (1996), misalnya, mengelompokkan opsi perubahan
menjadi empat yaitu: struktur (baik struktur organisasi, kebijakan, maupun
komposisi orang), teknologi, physical setting (sering juga disebut /ay-out), dan
orang. Dari empat opsiini, yang paling sukar diubah adalah orang. Hal inikarena
pada opsi orang, yang diubah adalah pola pikir dan perilaku orang, bukan
memecat semua karyawan yang ada, kemudian menggantikannya dengan
karyawan baru. Pada opsi teknologi, yang diubah atau diganti adalah teknologi,
maka teknologi lama dibuang atau dijual, kemudian teknologi baru dipakai. Pada
psi struktur, yang diubah adalah struktur organisasi atau sistem kerja atau
kebijakan. Jika yang diubah adalah struktur organisasi, maka struktur organisasi
lama tidak dipakai lagi. Demikian juga dengan opsi physical setting atau lay-out.
Berbeda dengan opsi people (orang). Mengubah pola pikir atau perilaku orang
tidak semudah mengganti teknologi. Jika pola pikir atau perilaku orang sudah
berubah, pola pikir atau perilaku lama tidak hilang, tetap ada, hanya tidak
dipraktikkan. Namun, suatu waktu, perilaku lama tersebut dapat tiba-tiba muncul
kembali. Selain itu, perubahan pada opsi lain (teknologi, struktur, /ay-out)
berdampak terhadap perubahan pada opsi orang. Jika perilaku orang tidak
berubah sesuai dengan tuntutan teknologi, struktur, atau /ay-out tersebut maka
manfaat dari perubahan teknologi, struktur, atau lay-out tersebut tidak akan
optimal. Oleh sebab itu, permasalahan terjadi adalah orang (tenaga kerja) sering
enggan mengubah perilaku mereka. Keenganan untuk berubah muncul karena
mereka merasa nyaman dengan cara kerja yang ada, Dalam manajemen
Perubahan, keengganan untuk berubah atau penolakan terhadap perubahan
dikenal denganistilah resistansi (resistance).24 OR. Jafer Sembiing : Mensjemen Perubatn Rangkuman Teor dan Aplitasi
RESISTANSI TERHADAP PERUBAHAN
Pada dasamya, melakukan perubahan merupakan usaha memanfaatkan
oportuniti untuk mencapai keberbahasilan. Oleh karena itu, melakukan
perubahan mengandung risiko. Karena adanya risiko tersebut, maka resistansi
atau penolakan terhadap perubahan selalu ada. Ahmed, Lim & Loh (2002)
secara tegas menyatakan bahwa resistansi terhadap perubahan adalah
tindakan yang berbahaya dalam lingkungan yang penuh dengan persaingan
ketat; perusahaan tidak dapat melindungi diri dari perubahan walaupun
perusahaan tersebut memiliki berlimpah sumber daya. Perubahan mengandung
ketidakpastian dan risiko, namun perubahan juga merupakan peluang.
Dari kutipan di atas dapat diartikan bahwa perubahan tidak selalu berjalan tanpa
kendala. Berbagai kendala atau resistansi terhadap perubahan terjadi dalam
organisasi. Resistansi terhadap perubahan dapat dikelompokkan menjadi dua
kategori, yaitu resistansi individu (individual resistance) dan resistansi oranisasi
(organizational resistance). Pengertian resistansi individu adalah penolakan
karyawan (anggota organisas)) secara individu atau secara kelompok terhadap
perubahan yang diajukan olah pimpinan organisasi. Beberapa faktor resistansi
yang lazim terjadi dalam organisasi adalah sebagai berikut. Urutan resistansi
berikutinitidak menunjukkan dominasi atau tinggi rendahnya resistansi.
Pertama, kebiasaan kerja. Orang sering resistan terhadap perubahan karena
takut kebiasaan kerja yang dia praktikkan selama ini, dan sudah merasa nyaman
dengan kebiasaan tersebut, berubah menjadi kebiasaan kerja baru yang
menurutorang tersebut mengganggu atau merepotkan.
Kedua, keamanan. Perubahan dapat menimbulkan perasaan tidak aman.
Perasaan tidak aman muncul karena takut apakah dia akan dipecat, apakah dia
masih memenuhi syarat untuk tetap menduduki jabatan/posisi yang dia pangku
selama ini, apakah dia akan digantikan oleh seseorang yang selama ini sebagai
bawahannya, danlain-lain.
Ketiga, ekonomi. Faktor ekonomi_seperti gaji merupakan hal yang sering
dipertanyakan dalam perubahan. Orang sangat tidak mengharapkan gajinya
turun. Jika orang harus melepaskan jabatannya maka ini akan berdampak
terhadap keadaan ekonominya.
Keempat, sesuatu yang tidak diketahui. Jiak satu bentuk perubahan diterapkan,
‘orang berpikir tentang perubahan berikutnya. Orang sering tebih takut
menghadapi perubahan berikutnya yang dia belum tau. Orang sering bertanya-
tanya: “Ya, sekarang perubahan struktur organisasi, lantas berikutnya apa lagi
yang berubah? Kemudian apa lagi?”
Kelima, pemerosesan informasi. Orang dapat resistan terhadap perubahan
karena dia menerima informasi secara tidak komprehensif. Kurangnya
pemahaman tentang informasi tersebut dapat juga disebabkan oleh kurangnya
kernampuan menginterpretasikan informasitersebut-Jumal Manajemen indonesia Vol.9 No, 1 Janueri 2009
Selain resistansi individu, resistansi secara organisasi pun dapat terjadi. Faktor-
faktor resistansi organisasi adalah yang berkaitan dengan mekanisme kerja
atau proses kerja (structural inertia), hubungan kerja seperti norma-norma
dalam organisasi maupun dalam uit kerja (group inertia), distribusi tentang
pengambilan keputusan (power relationship). Selain itu, faktor lain yang
menimbulkan resistansi organisasi adalah karena adanya perasaan terancam
terhadap keahlian yang dimiliki, takut kalau keahlian yang dia miliki tidak
dibutuhkan lagi. Juga termasuk dalam resistansi organisasi adalah perasaan
takut karena tidak akan memiliki kewenangan untuk mengalokasikan atau
mengatur sumber daya (sumber daya finansial, sumber daya manusia, dan
sumber daya lainnya).
Istilah tain yang sering dipakai dalam berbicara tentang resistansi terhadap
perubahan adalah karena setiap perubahan akan mengganggu comfort zone
(zona nyaman), yaitu kebiasan-kebiasan kerja yang selama ini dirasakan
nyaman, Dalam kaitannya dengan zona nyaman, Sonnenberg (1994)
‘mengidentifikasi tujuh alasan mengapa orang resistan terhadap perubahan.
Berikutinidirangkum pengertian dari masing alasan tersebut.
1) Procrastination, Kecenderungan untuk menunda perubahan,
merasa masih banyak waktu untuk melakukan perubahan.
2) Lack of motivation, Orang berpendapat bahwa perubahan tersebut
tidak memberikan manfaat sehingga enggan untuk berubah.
3) Fearoffailure, Perubahan menimbulkan pembelajaran baru. Orang
takut kalau nantinya ia tidak memiliki kemampuan yang baik tentang
sesuatu yang baru tersebut sehingga ia akan gagal.
4) Fear of the unknown. Orang cenderung merasa lebih nyaman
terhadap sesuatu yang sudah diketahui dibandingkan dengan
sesuatu yang belum diketahui. Perubahan berarti mengarah
kepada sesuatu yang belum diketahui.
5) Fear of loss. Orang takut kalau perubahan tersebut akan
menurunkan job security, power, dan status. Resistansi terjadi
karena orang takut akan'kehilangan jabatan, kehilangan status
sosial, dan lainnya.
6) Dislike of the initiators of change. Orang sering sulit menerima
perubahan jika mereka ragu terhadap kepiawaian inisiator
perubahan atau tidak menyukai anggota agen perubahan
7) Lack of communication. Salah pengertian terhadap apa yang
diharapkan dari perubahan, informasi tidak disampaikan secara
utuh dan komprehensif.
Banyak faktor lain yang menimbulkan resistansi terhadap perubahan. Namun,
pada dasamya, dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa resistansi
terhadap perubahan pada dasamya adalah karena ‘takut', takut akan kebiasaan
kerja berubah, takut akan tidak dipakai lagi, takut akan gaji atau take-home pay
menjadi berkurang, takut akan status sosialnya akan pudar, dan berbagi “takut”
lainnya. Agar perubahan dapat berlangsung dengan baik, semua resistansi
tersebut harus dapat ditanggulangi. Berikut ini dirangkum beberapia cara yang
lazim dipakai untuk menanggulangi atau meminimalisasi resistansi.
2526 OR. Jafar Sembring : Menejemen Perubahan Rengkuman Teor den Apixasi
PENANGGULANGANRESISTANS!
Kotter & Schlesinger (1979) merumuskan enam cara untuk menanggulangi
resistansi terhadap perubahan, Robbins (2005) mengkaji berbagai taktik untuk
menanggulangi resistansi terhadap perubahan, namun kemudian memutuskan
untuk merangkum keenam taktik yang dirumuskan oleh Kotter & Schlesinger
(1979). Berikut ini dirangkum pengertian dari masing-masing taktik.
1) Pendidikan dan Komunikasi (Education and Communication).
Menerapkan komunikasi terbuka kepada seluruh anggota organisasi.
Komunikasi dapat dilakukan dalam bentuk lisan, tulisan atau lisan dan
tulisan. Dengan demikian seluruh anggota organisasi akan menerima
informasi dari satu sumber. Informasi yang disampaikan harus jelas,
baik alasan mengapa dilakukan perubahan, tujuan melakukan
perubahan, maupun manfaat perubahan tersebut bagi seluruh anggota
organisasi.
2) Partisipasi (Participation). Sebelum mengaplikasikan rancangan
perubahan yang telah diformulasikan, pimpinan puncak dan agen
perubahan harus dapat mengidentifikasi siapa-siapa yang resistan
terhadap perubahan tersebut. Orang yang resistan tersebut kemudian
dilibatkan dalam membahas faktor-faktor yang menimbulkan
“ perubahan.
3) Fasiltasi dan dukungan (Facilitation and Support). Agen perubahan
harus dilatih sedemikian rupa agar dapat memfasilitasi dan membantu
karyawan (anggota organisasi) yang menghadapi kesulitan dalam
menyesuaikan diri dengan perubahan yang telah dirancang, Jika perlu,
‘agen perubahan dapat menyelenggarakan pelatihan atau seminar atau
bentuk-bentuk lain untuk meningkatkan pemahaman karyawan tentang
perubahantersebut.
4) Negosiasi (Negotiation). Negosiasi dipakai jika agen perubahan
menemukan resistansi potensial dari orang tertentu. Orang tersebut
kemudian diundang untuk berdiskusi dan negosiasi. Kesepakatan
negosiasi dapat bervariasi sesuai dengan kewenangan yang dimiliki
oleh agen perubahan.
5) Manipulasidan kooptasi (Manipulation and Cooptation). Yang dimaksud
dengan manipulasi di sini adalah menonjolkan suatu realita sehingga
terlihat dan terasa akan sangat menarik. Sedangkan pengertian
kooptasi adalah kombinasi dari manipulasi dan partisipasi. Dengan
menonjolkan suatu realita sehingga begitu menarik, orang yangrresistan
tersebut kemudian diajak untuk berdiskusi dan membuat keputusan
tentang faktoraktor yang mempengaruhi pentingnya melakukan
perubahan.
6) Paksaan (Coersion). Taktix ini adalah penerapan ancaman atau
pemaksaan kepada orang-orang yang resistan terhadap perubahan.
Pemindahan atau rotasi, tidak promosi, pemecatan adalah beberapa
bentuk paksaan.Jul Manajemen indonesia Vol.9 No. 1 Januer 2009
Dalam rumusan cara-cara_menanggulangi resistansi terhadap perubahan,
Kotter & Schlesinger (1979) menggabungkan pendidikan dan komunikasi
sebagai satu cara. Dalam praktiknya, pendidikan dapat juga dijadikan sebagai
satu taktik tersendiri. Orang-orang yang resistan terhadap perubahan dapat juga
ditanggulangi dengan menyekolahkan mereka untuk memperoleh jenjang
pendidikan yang lebih tinggi. Diharapkan, selama mereka mengikuti pendidikan,
pola pikir mereka akan berubah dan akan lebih memahami perubahan yang
dilakukan, Dengan cara ini, pendidikan dapat juga merupakan hasil dari
negosiasi atau suatu bentuk paksaan (coersion).
LANGKAH LANGKAH PERUBAHAN
Pakar manajemen perubahan, Carr (1994) merumuskan tujuh langkah
perubahan yang ia rumuskan dalam bentuk pertanyaan. Menurut Carr,
pemimpin dan agen perubahan harus menemukan jawaban terhadap ketujuh
pertanyaan tersebut demi keberhasilan melakukan perubahan. Tujuh langkah
dalam bentuk pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama: Apakah perubahan ini merupakan suatu beban atau suatu tantangan?
(Is this change a burden or a challenge?). Perubahan harus dipersepsikan
sebagai tantangan bukan sebagai beban. Oleh karena itu, agen perubahan dan
pimpinan harus kreatif meyakinkan'semua karyawan bahwa perubahan tersebut
adalah tantangan.
Kedua: Apakah perubahan tersebut elas, bermanfaat, dan nyata? (Is the change
clear, worthwile, and real?), Jika agenda perubahan tidak jelas, bermanfaat dan
nyata, dalam arti benar-benar urgen, maka resistansi akan tinggi. Oleh karena
itu, data yang mendukung urgensi perubahan harus dipersiapkan. Manfaat
perubahan jelas bagi seluruh karyawan.
Ketiga: Apakah manfaat perubahan tersebut dapat segera diperoleh? (Will the
benefits of change begin to appear quickly?). Karyawan selalu ingin mengetahui
kapan manfaat perubahan dapat mereka nikmati. Agar manfaat perubahan
dapat dirasakan dalam waktu relatif singkat, perubahan harus dimulai dari suatu
hal yang dapat segera dirasakan. ini berarti bahwa tujuan-tujuan antara harus
dirumuskan.
Keempat: Apakah perubahan terbatas pada satu unit kerja atau beberapa unit
kerja terkait? (Is the change limited to one function or a few closely related
functions?). Jika karyawan mempunyai persepsi bahwa perubahan hanya
diterapkan pada satu unit kerja saja, maka karyawan yang bekerja pada unit
tersebut akan menganggap perubahan tersebut merupakan suatu beban.
Dalam organisasi, tidak ada perubahan yang terjadi pada satu unit kerja tanpa
ada perubahan pada unit kerja lain. Satu unit kerja pasti terkait dengan unit kerja
lain. Oleh karena itu, keterkaitan perubahan dengan unit kerja lain harus elas.
Kelima: Apa dampak perubahan tersebut terhadap kekuasaan dan status?
(What will be the impact on existing power and status relationship?). Kekuasaan
aT28 DR. Jater Sembiting : Menejemen Perubehen Rangkumn Teot dan Aptkasi
(power) dan status dalam perusahaan berkaitan erat dengan unit kerja. Agen
perubahan sering salah mengantisipasi pentingnya kekuasaan dan status bagi
karyawan. Namun, jika terlalu banyak dibahas tentang kekuasaan dan status
karyawan maka pelaksanaan perubahan tersebut akan semakin sulit.
Keenam: Apakah perubahan sejalan dengan budaya organisasi yang ada? ( Will
the change fit the existing organizational culture?). Satu perubahan sering diikuti
oleh perubahan lain. Agen perubahan harus mampu meyakinkan anggota
organisasi (kaaryawan) bahwa nilai-nilai perusahaan akan tetap dipertahankan.
Ketujuh: Apakah perubahan tersebut pasti akan ditaksanakan? (Is the change
certain to happen?). Jika karyawan sudah menyadari urgensi perubahan,
karyawan ingin kepastian dan tidak ingin lagi mendengarkan banyak ceramah.
Pakar manajemen perubahan lain, Kotter (1995) merumuskan delapan langkah
perubahan yang dikenal dengan Kotter's Eight Steps to Transforming
Organization. Tulisan Kotter tentang memimpin perubahan yang dimuat di
Harvard Business Review pada tahun 1995 tersebut begitu populer, sehinga
pada tahun 2007 tulisan Kotter tersebut diterbitkan lagi di Havard Business
Review. Dalam uraiannya, Kotter menyoroti kesalahan-kesalahan yang sering
dilakukan oleh para agen perubahan. Delapan langkah perubahan dan
kesalahan-kesalahan yang dirumuskan oleh Kotter (1995 & 2007) merupakan
rangkuman dari hasil observasi yang ia lakukan tethadap perusahaan-
perusahaan yang sukses menerapkan perubahan dan perusahaan-perusahaan
yang gagal menerapkan perubahan.
Langkah 1: Establishing a sense of urgency.
Makna kata urgensi (urgency) adalah sesuatu yang sangat penting dan
mendesak, Sebagai langkah pertama dalam perubahan, pimpinan harus
merumuskan perubahan berdasarkan kajian yang rinci tentang faktor-faktor
yang mempengaruhi perubahan. Dengan demikian, hasil rumusan akan terasa
ungen. Langkah pertama ini kelihatannya mudah, tetapi realitanya sangat sulit.
Menurut Kotter, lebih dari 50% perusahan yang melakukan perubahan gagal
pada langkah ‘pertama ini. Kesulitan terjadi karena mayoritas pimpinan
perusahaan sibuk dengan aktivitas operasional, sibuk bekerja untuk mencapai
target yang telah ditetapkan sehingga kurang mengikuti perkembangan
lingkungan eksternal.
Langkah 2: Forming a powerful guiding coalition.
Mayoritas inisiatif perubahan berasal dari satu atau dua orang. Namun, untuk
kesuksesan agenda perubahan diperlukan kerja sama yang baik dari sejumiah
orang (disebut dengan istilah guiding coalition team). Jumiah anggota tim
bervariasi, bergantung pada besar kecilnya perusahaan. Komitmen tim
perubahan ini sangat dipengaruhi perasaan masing-masing anggota tim tentang
urgensi perubahan. Anggota tim ini harus bertemu berkali-kali untuk menyusun
agenda dan membangun komitmen. Kegagalam membentuk tim ini adalah
kesalzhan kedua dalam memimpin perubahan. Kesalahan ini terjadi karena-Jumal Manajemen Indonesia Vol. 9 No. 1 Januari2009 29
pemimpin beranggapan bahwa membuat agenda perubahan merupakan
pekerjaan yang mudah.
Langkah 3: Creating vision.
Aktivitas fain yang harus dirumuskan oleh guiding coalition team adalah
merumuskan visi. Pada awalnya, visi berupa draft dapat dirumuskan oleh satu
orang atau oleh beberapa orang sebagai tim kecil. Draft visi tersebut kemudian
dibahas dalam tim besar. Visi harus berfungsi sebagai arah dan panduan kerja.
Visi harus dihayati oleh seluruh anggota tim. Visi harus mudah dipahami dan
mudah dikomunikasikan kepada seluruh karyawan, Oleh karena itu, rumusan
visi harus sederhana dan merumuskannya sering menyita banyak waktu. Visi
yang tidak jelas dan membingungkan merupakan kesalahan ketiga yang sering
terjadi dalam memimpin perubahan. Akibat kesalahan ini, berbagai rencana
kerja tidak dapat dilaksanakan Karena masing-masing menuju arah yang
berbeda-beda.
Langkah 4: Communicating a vision.
Visi yang telah dirumuskan harus dikomunikasikan kepada seluruh karyawan
agar seluruh karyawan benar-benar memahami visi tersebut. Visi tersebut harus
berfungsi sebagai guiding principle dalam bertindak dan berperilaku. Untuk itu,
Pemimpin harus mampu memanfaatkan semua media komunikasi yang ada di
perusahaan. Penjelasan harus dibuat sedemikian rupa sehingga menarik untuk
dibaca dan didengarkan serta mudah dipahami. Semua anggota coalition team
harus menjadi simbol yang hidup, harus menjadi panutan bagi seluruh
karyawan. Kata-kata yang mereka ucapkan atau tuliskan harus sesuai dengan
perilaku mereka. inilah yang disebut dengan istilah words equal deeds. Dalam
hal ini, Kotter merumuskan tiga kesalahan yang sering terjadi. Pertama:
melakukan komunikasi dengan satu kali pertemuan atau satu tulisan, Kesalahan
kedua: pimpinan puncak perusahaan mengumpulkan semua karyawan dan
kemudian memberikan ceramah yang panjang. Setelah ceramah, pemimpin
tersebut berasumsi bahwa semua karyawan telah memahami visi tersebut.
Kesalahan ketiga: pemimpin senior (Senior leaders) atau agen perubahan
memberikan ceramah berkali-kali, namun tidak memperlihatkan perilaku yang
‘mencerminkan apa yang mereka ceramahkan.
Langkah 5: Empowering others to acton the vision.
Seluruh anggota coalition team harus menyadari bahwa komunikasi tidak
pernah cukup. Setiap perubahan pasti menghadapi kendala. Yang sering
menjadi sumber kendala adalah pola pikir. Oleh karena itu, yakinkan karyawan
bahwa perubahan tersebut adalah benar dan demi kepentingan perusahaan
yang juga berarti demi kepentingan karyawan. Jika yang menjadi kendala adalah
sistem dan prosedur kerja, ganti sistem dan prosedur kerja tersebut. Dalam
mengelola perubahan, banyak perusahaan berhasil sampai langkah yang
keempat, namun gagal pada langkah yang kelima, Kegagalan terjadi karena
pimpinan perusahaan tidak berani menyingkirkan kendala yang dihadapi oleh
karyawan.‘30 OR, Jalar Sembiring: Menejemen Perubshon Rangkuman Teo den Apikas|
Langkah 6: Planning forand creating short-term wins.
Perubahan memerlukan waktu yang relatif lama. Namun, karyawan cenderung
ingin mengetahui hasil perubahan dalam waktu relatif singkat. Jika setelah dug
tahun tidak diketahui hasinya, maka pada umumnya karyawan mulal jenuh dan
berusaha kembali kepada cara kerja lama, Oleh karena itu, periu dirumuskan
tyjuan antara (short-term-wins). Tujuan antara tersebut harus mengukur
keberhasilan perubahan pada skala kecil. Tujuan antara tersebut harus
dipahami oleh semua karyawan sejak awal pelaksanaan perubahaan,
Komitmen untuk mewujudkan tujuan antara tersebut membantu meningkatkan
Perasaan ugensi. Kesalahan yang sering terjadi adalah mengabaikan tujuan
antara.
Langkah 7: Consolidating improvements and producing still more changes.
Keberhasilan mewujudkan tujuan antara perlu dirayakan. Berbagai bentuk
Perayaan dapat diadakan. Memuat tulisan ucapan selamat dalam intranet alas
keberhasilan suatu unit kerja mewujudkan tujuan merupakan satu bentuk
Perayaan, mengumumkan pemberian insentif atas keberhasilan suatu unit kerja
adalah juga satu bentuk perayaan. Memomentum perayaan tersebut harus
dimanfaatkan untuk meningkatkan rasa urgensi. Merayakan (celebrating) tidak
sama dengan mendeklarasikan (declaring). Melakukan deklarasi mempunyai
makna mengumumkan bahwa tujuan perubahan telah terwujud. Deklarasi juga
Perlu dilakukan, namun setelah seluruh tujuan antara terwjud. Melakukan
deklarasi terialu dini dapat menurunkan rasa urgensi. Kesalahan yang terjadi
dalam mengelola perubahan adalah terlalu dini mendeklarasikan keberhasilan,
Kadang-kadang pemimpin bermaksud melakukan perayaan, namun karyawan
menginterpretasikannya sebagai deklarasi.
Langkah 8: Institutionalizing new approaches.
Langkah terakhir dalam memimpin perubahan adalah mengukuhkan
(melembagakan) perilaku kerja yang sesuai dengan apa yang direncanakan.
Perubahan dikatakan berhasijika karyawan sudah berpendirian bahwa perilaku
kerja yang baru tersebut adalah perilaku kerja yang benar. Perilaku baru
tersebut harus dikukuhkan, dilembagakan, melalui dua cara sebagai berikut.
Pertama, pemimpin harus secara tegas menyampaikan kepada seluruh
karyawan bahwa peningkatan kinerja perusahaan terjadi karena semua
karyawan menerapkan pendekatan baru, perilaku baru, dan sikap baru, Kedua,
yakinkan seluruh karyawan bahwa siapapun yang menjadi pemimpin puncak
berikutnya pasti akan bangga dengan budaya baru tersebut. Kesalahan yang
terjadi adalah pimpinan puncak tidak berusaha meyakinkan seluruh karyawan
bahwa peningkatan kinerja perusahaan terjadi karena seluruh karyawan
mempunyai motivasi tinggi untuk mewujudkan tujuan
Langkah-langkah perubahan yang dirumuskan oleh Carr (1994) dan oleh Kotter
(1985 & 2007) tersebut adalah rumusan berdasarkan hasil kajian teoretis dan
hasil observasi lapangan. Rumusan langkah-langkah tersebut dapat dikatakan
sebagai generalisasi dari langkah-langkah perubahan yang diterapkan di
berbagai perusahaan yang berhasil menerapkan perubahan. Berikut ini adalah-Jume! Menajemen Indonesia Vol.9 No. | Januari 2009
langkah-langkah perubahan yang diterapkan oleh Jack Welch di GE (Gavrin,
2000).
Pada waktu Jack Welch menjadi CEO perusahaan General Electric (GE),
perusahaan tersebut dalam keadaan kacau dan merugi. Tugas utama Jack
Welch adalah menjadikan GE menjadi perusahaan profesional yang profit. Dia
(Jack Welch) kemudian membentuk tim kecil untuk merumuskan langkah-
langkah untuk mentransformasi GE di seluruh dunia, Setelah melakukan
berbagai kajian, tim tersebut kemudian berhasil merumuskan tujuh langkah
perubahan. Sebagaimana diuraikan oleh Gavrin (2000), tujuh langkah tersebut
adalah sebagai berikut.
1) Leading Change. Pemimpin harus komit terhadap perubahan, baik
waktu maupun perhatian.
2) Creating @ Shared Need. Seluruh karyawan harus sepenuhnya
memahami alasan perubahan.
3) Shaping a Vision. Seluruh karyawan harus sepenuhnya memahami
arah dan tujuan perubahan.
4) Mobilizing Commitment. Seluruh karyawan harus_memahami
stakeholders dan tuntutan para stakeholders. Yakinkan karyawan
akan pentingnya membangun kerja sama untuk memenuhi
kebutuhan stakeholders.
5) Making Change Last. Perubahan harus dimulai dari langkah pertama
dan kemudian membuat rencana jangka panjang.
6) Monitoring Progress. Membuat matriks sebagai alat untuk
mengontrol dan mengevaluasi keberhasilan perubahan,
7) Changing Systems and Structure. Mengembangkan -karyawan,
melakukan evaluasi kinerja, mengkomunikasikan keberhasilan,
memberikan rewards, memperbaiki sistem pelaporan sesuai dengan
perubahan,
Penerapan tujuh langkah perubahan tersebut membuat GE bangkit dari
kerugian dan menjadi perusahaan kelas dunia. Jack Welch menjadi terkenal
dan diakui sebagai salah satu CEO terkemuka di dunia.
MODEL MANAJEMEN PERUBAHAN
Model dasar manajemen perubahan yang lazim dipakai adalah model yang
dikembangkan oleh Kurt Kewin, yang dikenal dengan Lewin's Three-Step
Model. Dikatakan Three-Step Model karena model ini terdiri dari tiga langkah
dalam melakukan perubahan. Model ini pertama sekali dikembangkan oleh
Lewin pada tahun 1940; kemudian Schein melakukan kajian dan
menggunakannya lagi pada tahun 1970. Sepuluh tahun kemudian (pada tahun
1980), Beckhardt melakukan kajian ulang, namun tetap mengakui kebenaran
model ini (Garrat, 2000). Sampai saat ini, model yang dikembangkan oleh Lewin
ini diakui sebagai model manajemen perubahan yang handal namun bersifat
generik,
3182. OR. Jafar Sembirng:K-enejemen Perubahan Rangkuman Teari dan Aplitasi
Berikutini disajikan gambar Lewin's Three-Step Model.
Gambar 1. Lewin's Three-Step Model
Unfreezing | <> | Moving | => | Refreezing
‘Sumber: Robbins (2005:555)
Kata unfreezing berasal dari kata freeze (membeku). Yang dimaksud dengan
membeku adalah kebiasaan kerja yang selama ini diterapkan dan karyawan
merasa nyaman dengan kebiasaan kerja tersebut. Dengan kata lain, kebiasaan
kerja tersebut sudah merupakan zona nyaman (comfort zone). Dalam
melakukan perubahan, langkah pertama yang harus dilakukan adalah
menggugah kesadaran bahwa zona nyaman tersebut (cara kerja, mekanisme
kerja, teknologi, struktur organisasi, atau yang lainnya yang selama ini menjadi
zona nyaman) sudah tidak mumpuni lagi. Menggugah kesadaran harus merujuk
pada data seperti realita tentang pesaingan, kebutuhan pelanggan,
perkembangan teknologi, regulasi yang berlaku, dan fakta lain yang relevan.
Jika unfreezing telah dilaksanakan dengan baik maka dilanjutkan dengan
langkah moving. Pelaksanaan perubahan harus menuju ke suatu titik sebagai
tujuan perubahan. Tujuan harus dirumuskan secara bertahap. Artinya, untuk
mewujudkan tujuan akhir, maka harus diwujudkan sejumlah tujuan kecil-kecilan
sebagai tujuan antara. Dalam usaha untuk mewujudkan tujuan, durasi waktu
harusdiperhatikan.
Jika hal-hal yang telah dirancang dilaksanakan dengan baik, sehingga tujuan
terwujud, baik tujuan antara maupun tujyan akhir, maka perilaku kerja yang
mendukung pencapaian tujuan tersebut harus dikukuhkan. Dengan kata lain,
budaya baru tersebut harus dilembagakan. Inilah yang disebut dengan istilah
refreezing (membekukan kembali), menjadikan budaya baru tersebut sebagai
zona nyaman yang baru.
Untuk memudahkan pemahaman, model perubahan yang dikenal dengan
Lewin's Three-Step Model ini kemudian dikembangkan dengan visualisasi yang
disebut dengan nama Force-Field analysis. Berikut ini disajikan model Force-
Field analysis yang juga dikembangkan oleh Lewin.Jumel Mangjemen Indonesia Vol 9 No. 1 Januari 2009
Gambar 2. Force-Field Analysis (Unfreezing the Status Quo)
‘Sumber: Robbins (2005:555)
Pengertian status quo adalah keadaan atau kondisi yang sedang terjadi
sehingga perubahan perlu dilakukan. Yang menjadi status quo dapat berupa
teknologi bahwa teknologi yang dipakai adalah teknologi lama, dapat berupa
gaya manajemen bahwa pengambilan keputusan dilakukan secara sentralisasi,
dan lain-lain. Sedangkan desired state adalah tujuan perubahan. Contoh
desiréd state adalah penggunaan teknologibaru, desentralisasi, dan ain-lain.
Dalam model Force-Field analysis tersebut, arah tanda panah ke bawah
menunjukkan restraining forces. Tanda panah ini menggambarkan resistansi
terhadap perubahan. Arah panah ke atas menunjukkan driving forces, yaitu
usaha-usaha yang dilakukan oleh agen perubahan untuk meminimaiisasi
resistansi. Arah panah ke kanan menggambarkan durasi waktu. Dalam modal
tersebut, durasi waktu divisuatisasikan dengan garis putus-putus dalam bentuk
miring atau curam. Semakin landai garis putus-putus tersebut berarti semakin
fama durasi waktu yang diperlukan untuk mewujudkan desired states.
Sebaliknya, semakin tegak garis putus-putus tersebut berarti semakin pendek
waktu yang diperlukan untuk mewujudkan desired states. Perlu diingat bahwa
perubahan memerlukan waktu, maka garis putus-putus tersebut tidak mungkin
tegak lurus. Jika terfalu landai, berarti waktu yang diperlukan sangatlama.
MERANCANG PERUBAHAN
Dalam manajemen perubahan, proses untuk menggambarkan perumusan
rancangan perubahan secara teori disebut dengan istilah action research.
Pengertian action research adalah proses perubahan berdasarkan
pengumpulan data secara sistematis dan perumusan rancangan tindakan
berdasarkan hasil analisis tentang data yang dikumpulkan tersebut. Dalam
proses ini keterlibatan para agen perubahan sangat penting. Robbins (2005)
mengidentifikasi ima langkah dalam proses ini, yaitu: diagnosis, analisis, umpan
balik, tindakan, dan evaluasi.
Langkah pertama dalam merancang perubahan adalah melakukan diagnosis,34 OR. Jafar Sembiring : Menejemen Perubahan Ranghuman Teo dan Aptkasi
yaitu melakukan kajian tentang faktor-faktor ekstemal dan internal yang
mempengaruhi perubahan. Untuk melakukan analisis ini, pimpinan periu
membentuk beberapa tim kecil. Perlu ada tim yang mengkaji faktor teknologi,
ada yang mengkaji faktor pelanggan, ada yang mengkaji tentang masalah-
masalah yang dihadapi karyawan, dan lain-lain, Tujuan melakukan diagnosis
adalah untuk menemukenali apa yang harus diubah. Dengan menghubungkan
hasil kajian lingkungan eksternai dan hasil kajian lingkungan internal secara
keseluruhan, maka dapat diientifikasi hal-hal yang harus atau perlu diubah
dalamorganisasi.
Setelah menentukan apa yang harus diubah, langkah berikutnya adalah
melakukan analisis dan sintesis tentang apa yang harus diubah. Melakukan
sintesis berbeda dengan melakukan analisis. Melakukan analisis berarti
melakukan kajian untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya suatu masalah.
Melakukan sistesis adalah melakukan kajian tentang apa yang akan terjadi.
Dalam merancang perubahanan, sangat perlu mengidentifikasi permasalahan
potensial yang akan terjadi, dan kemudian merumuskan rancangan tindakan
agar permasalahan tersebut tidak terjadi pada masa mendatang.
Langkah berikutnya adalah melakukan umpan balik (feedback). Hasil analisis
dan sintesis tersebut dipresentasikan dan didiskusikan dengan karyawan,
khususnya karyawan yang menempati posisi struktural berdasarkan struktur
organisasi. Dalam diskusi ini, sangat perlu melibatkan pimpinan serikat
karyawan, Keberhasilan perubahan akan sulit terwujud jika orang-orang yang
menempati posisi struktural tidak merasa bahwa perubahan tersebut benar-
benar urgen. Kotter (2007) menyatakan bahwa tingkat ugensi dikatakan tinggi
jika pimpinan puncak dan agen perubahan dapat meyakinkan kira-kira 75 % dari
manajemen.
Langkah selanjutnya adalah melakukan tindakan, yaitu melakukan unfreezing
dan kemudian moving. Berbagai hasil penelitian membultikan bahwa hal yang
paling sulit dalam mengelola perubahan adalah melakukan unfreezing,
mecairkan zona nyaman, meyakinkan seluruh karyawan bahwa zona yang
selama ini dirasakan nyaman sudah tidak mumpuni lagi, zona yang selama ini
dianggap nyaman harus diubah dan diganti dengan zona yang baru. Untuk itu,
pimpinan puncak perusahaan dan seluruh anggota agen perubahan harus
kreatif, sabar, persuasif dalam meyakinkan dan menginformasikan rancangan
perubahan. Selain itu, pimpinan puncak perusahaan dan seluruh anggota agen
perubahan harus komit menerapkan rancangan perubahan.
Melakukan evaluasi adalah langkah berikutnya. Tindakan perubahan harus
dievaluasi secara terus-menerus dan secara berkala. Jka perlu, lakukan
tindakan perbaikan berdasarkan hasil evaluasi. Evaluasiharus dilakukan secara
obyektif, harus merujuk pada kriteria yang telah dirumuskan sebelumnya. Hasil
evaluasi yang telah sesuai dengan rancangan, harus segera dikukuhkan,
dilembagakan, dirayakan. Ini adalah langkah terakhir dalam mengelola
perubahan. Altivitas ini sekaligus dijadikan sebagai arena untuk meningkatkan
urgensi perubahan. Jika tujuan perubahan telah tercapai, maka perlu dilakukan
deklarasi untuk merayakan keberhasilan melakukan perubahan. JSJuma! Menajemen indonesia Vol. 9 No. 1 Januari 2009
DAFTAR RUJUKAN
1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Kedua. Jakarta: Balai
Pustaka.
Ahmed, PK; Lim, K.K. & Loh,A.Y.E. 2002. Learning Through Knowledge
‘Management. Oxford: Butterworth-Heinemann.
Bateman, T.S. & Snell, S.A. 2002. Management: Competing In The New Era.
Edisi Kelima. New York: McGraw-Hill.
Carr, C. 1994. Seven Keys to Successful Change. Training. Februari.
Garvin, D.G. 2000. Leaming In Action: A Guide To Putting the Leaming
Organization to Work. Boston: Harvard University.
Kotter, J.P. 1995 & 2007. Leading Change: Why Transformation Efforts Fail.
Harvard Business Review. January.
Kotter, J.P. & Schlesinger, |.A. 1979. Choosing Strategies for Change. Harvard
Business Review. Maret— April
Robbins, S.P. 1996. Organizational Behavior: Concepts, Controversies,
Applications. Edisi kesembilan.New Jersey: Prentice-Hall.
=~. 2005. Organizational Behavior: Concepts, Controversies, Applications,
Edisi kesebelas. New Jersey: Prentice-Hall.
‘Smither, R.; Houston, J.M.; & Mcintire, S.D. 1996. Organizational Development:
Strategies For Changing Environments. New York: Harper Collins.
Sonnenberg, K.S. 1994. Managing with a Conscience: How to Improve
Performance through Integrity, Trust, and Commitment. New York: McGraw-Hill.
35