Anda di halaman 1dari 17
MANAJEMEN PERUBAHAN Rangkuman Teori dan Aplikasi DR. H. Jafar Sembiring *) Abstrak: In the literature, many research results uncover the failure of change initiatiates in various organizations. In the meantime, due to the rapid turbulance of environment, no organization can get away from initiating changes, no organization can avoid or resist changes. In order to survive, grow and succeed, an organization must skillfully design and manage the change process foritto be effective for the sake of the organization. This article elicits common factors that drive organizations to change, common resistance to change, and tactics to ‘overcome resistance to change. Also in this article are summaries of steps theoretically formulated by experts and steps implemented by a practitioner that brought his company to a great success. The basic change model which was developed a long time ago, and forgotten for a long time, now seems to be very useful. This article also discusses why the change process that brings an organization to succeed is no guarantee that applying exactly the same process inother organizations will bring those organizations to succeed. Kata Kunci : Planned change, first-order change, second-order change, change agent, resistance to change, individual resistance, organizational resistance, change option, action research, comfort zone, unfreezing,moving, refreezing, status quo, desired state, driving forces, restraining forces. PENDAHULUAN Perubahan adalah suatu hal yang pasti terjadi. Dalam kehidupan sehari-hari, tidak ada orang yang dapat menghindar dari perubahan. Sejak seseorang berada di dalam rahim ibunya sampai orang tersebut meninggal dunia, Perubahan terus terjadi. Hal serupa terjadi dalam organisasi. Organisasi yang dijalankan oleh manusia juga terus mengalami perubahan. Baik pada organisasi skala kecil maupun pada organisasi skala raksasa, perubahan selalu terjadi. Perubahan tersebut terjadi mungkin karena yang menjalankan organisasi adalah manusia, dan manusia terus berubah. Oleh karena itu maka sering dikatakan bahwa satu hal yang pastiterjadi di dunia ini adalah perubahan. Dalam fiteratur (buku, jumal, majalah dan lain-lain) dapat ditemukan berbagal faktor yang menyebabkan’ suatu organisasi berubah. Namun, sebelum merangkum faktor-faktor tersebut, terlebih dahulu diuraikan secara umum *) DR. H. Jafar Sembiring, Wakil Rekior 1 Bidang Akademik Institut Manajemen Telkom 19 20 OR. Jefr Sembing :MenjemenPerbatanRangkuman Ter dan Alta tentang pengertian perubahan. Robbins (2005) menyatakan bahwa perubahan adalah membuat sesuatu menjadi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesi dapat diihat bahwa ‘perubahan’ berakar dari kata ‘ubah’. Kata ‘ubah’ mempunyai makna'menjadilain (berbeda) dari semula’. Dalam organisasi, perubahan dapat terjadi dalam lingkup kecil, tentang suatu hal yang kecil, dan perubahan yang kecil-kecil ini terjadi secara terus-menerus. Perubahan sepertiini disebut dengan istilah First-Order Change atau sering juga disebut dengan istiiah Continuous Improvement. Pada umumnya, perusahaan- perusahaan Jepang dikenal piawai dalam menerapkan perubahan ini. Selain perubahan kecil-kecilan secara terus-menerus, ada juga perubahan besar- besaran yakni perubahan multidiminsi dalam suatu organisasi. Perubahan seperti ini disebut dengan istilah Second-Order Change atau sering juga disebut dengan istilah Dramatic Change. ini tidak berarti bahwa jika suatu organisasi sudah menerapkan First-Order Change, maka organisasi tersebut tidak periu menerapkan Second-Order Change. Juga tidak berarti bahwa jika suatu organisasi menerapkan Second-Order Change, maka organisasi tersebut tidak perlu menerapkan First-Order Change. Kedua jenis perubahan tersebut perlu diterapkan. Pimpinan organisasi harus jeli dan peka terhadap faktor-faktor yang menyebabkan periunya melakukan perubahan. ‘Sonnenberg (1994) menyatakan bahwa di dunia ini, perubahan terjadi setiap hari sehingga menjalankan usaha seperti biasa adalah merupakan resep yang dapat menjamin kegagalan. Agar berhasil, perusahaan harus merangkul perubahan. Tidak cukup jika perusahaan hanya reaktif terhadap perubahan. Perusahaan harus belajar_mengantisipasi perubahan. Robbins (2005) menyatakan bahwa organisasi harus berubah, kalau tidak berubah, organisasi tersebut akan mati. Apa yang diutarakan oleh Sonnenberg (1994) dan Robbins (2008) tersebut senada dengan Smither, Houston & Mcintire (1996) yang menyatakan bahwa semua organisasi harus berubah agar dapat bertahan hidup. Pernyataan-pernyataan ini mempunyai makna bahwa perubahan yang terjadi dalam organisasi harus dirumuskan sedemikian rupa demi kepentingan corganisasi. Oleh karena itu, setiap perubahan dalam organisasi harus direncanakan dan dikelola sebaik mungkin, Smither, Houston & McIntire (1996) secara tegas menyatakan bahwa proses perubahan harus dikelola secara terampil agar perubahan tersebut terjadi secara efektif demi kepentingan corganisasi. Perubahan seperti ini disebut dengan istilah planned change. Inilah yang menjadi pokok bahasan dari manajemen perubahan. Dalam melakukan perubahan, informasi tentang perlunya perubahan boleh datang dari mana saja: dari bawahan, dari luar organisasi, dari orang desa, dari pengamat, dari konsultan, dari pelanggan, dan lain-lain. Keputusan untuk berubab atau tidak berubah selalu dari atas (pimpinan puncak suatu organisasi, pemilik suatu organisasi, atau kepala unit kerja). Jika perubahan mengenai sesuatu yang funamental bagi perusahaan secara keseluruhan, maka orang yang menjadi kunci utama dalam membuat keputusan untuk berubah adalah pimpinan puncak atau presiden direktur perusahaan tersebut. Jika perubahan Jamal Manajemen indonesia Vol. 9 No.1 Jenvari2009 21 dilakukan pada satu unit kerja, maka orang yang menjadi kunci utama dalam membuat keputusan untuk berubah adalah kepala unit kerja tersebut. Oleh karena itu, pendekatan manajemen perubahan adalah top down. Jika keputusan untuk berubah sudah ditetapkan, pelaksanaan atau implementasi perubahan tersebut tidak dapat dilakukan sediri oleh orang yang memutuskan perubahan tersebut. Sejumlah orang tertentu diperlukan untuk meyakinkan seluruh anggota organisasi bahwa perubahan tersebut akan membuat organisasi menjadi lebih baik, mengelola dan memonitor perubahan tersebut. Sejumiah orang tertentu ini disebut dengan istilah change agents (agen perubahan). Orang-orang yang menjadi agen perubahan tidak selalu harus menduduki posisi struktural berdasarkan struktur organisasi. Orang- orang yang dianggap tauladan atau tokoh atau orang-orang yang ‘dituakan' oleh karyawan perlu dijadikan sebagai agen perubahan. Orang-orang yang diangkat sebagai agen perubahan tersebut berperan sebagai katalisator dan motivator untuk membuat seluruh anggota organinasi termotivasi untuk berubah. Tanpa motivasi yang tinggi dari seluruh karyawan, maka tujuan perubahan yang telah ditetapkan tidak akan terwujud. Batesman & Snell (2002) menyatakan bahwa orang (seluruh anggota organisasi) harus termotivasi untuk berubah, jika tidak, maka tujuan perubahan tidak akan terwujud. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PERUBAHAN Dalam literatur dapat ditemukan berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan dalam organisasi. Dari berbagai sumber, berikut ini dirangkum faktor-faktor yang lazim diidentifikasi dalam berbagai hasil penelitian maupun kajian. Urutan dalam rangkuman ini tidak menunjukkan prioritas atau tingkat kepentingan. Pertama, Teknologi. Perkembangan teknologi sering sebagai penyebab penting untuk melakukan perubahan dalam organisasi. Hal ini karena teknologi baru selalu lebih canggih dibandingkan dengan teknologi lama. Sebagai contoh, sebelum ada personal computer dan main frame, hampir tidak ada perusahaan yang membuat unit kerja pengolahan data atau sistem informasi; sebelum ada lap top, tidak ada manajer apalagi pimpinan puncak suatu perusahaan membawa-bawa mesin ketik; sebelum ada hand phone, tidak ada orang yang terlihat berbicara sendirian sambil berjalan kecuali orang yang kurang waras atau sedang stres. Dengan adanya teknologi tersebut, banyak perusahaan yang harus mengubah struktur organisasi, dan mengalokasikan sejumlah anggaran untuk membeli teknologi tersebut.’ Ini dilakukan Karena pimpinan puncak perusahaan yakin bahwa penerapan teknologi baru tersebut akan meningkatkan kinerja, baik dari kuntitas maupun kualitas -kerja. Dengan demikian, kepuasan pelanggan akan terpenuhi atau bahkan terlampaui. Dengan terpenuhinya atau bahkan terlampauinya kepuasan pelanggan, maka jumlah pelanggan akan semakin banyak. Ini berarti bahwa jumlah pemasukan (revenue) akan semakin tinggi, kemudian [aba akan semakin banyak, dan seterusnya. 22 OR. Jafar Sembirng : Menejemen Penubanen Ranglaman Teor den Apikasi Kedua, sumber daya manusia. Kualitas sumber daya manusia terus berkembang karena kurikulum di lembaga-lembaga pendidikan terus berubah. Tingkat pendidikan sumber daya manusia terus semakin tinggi. Pengetahuan dan keterampilan karyawan sebagai dampak dari pengalaman kerja dan pelatihan terus berkembang. Dengan demikian, pola pikir sumber daya manusia terus berubah. Keanekaragaman latar belakang tenaga kerja terus berkembang, masing-masing membawa budaya yang berbeda. ini semua menimbulkan perubahan dalam organisasi: perubahan persyaratan promosi, perubahan sistem penggajian, perubahan cara kerja, perubahan proses seleksi karyawan baru, dan berbagai perubahan lainnya, Ketiga, ekonomi. Keadaan ekonomi suatu negara berpengaruh tethadap teradinya perubahan dalam organisasi di negara tersebut. Krisis moneter yang dikenal dengan istilah ‘krismon' menimbulkan perubahan dalam organisasi. Banyak perusahaan yang menguiangi jumiah tenaga kerja. Ini berarti banyak Pekerjaan yang digabung. Tingkat pengangguran menjadi semakin tinggi. Jumlah pelamar untuk setiap lowongan kerja sangat jauh melampaui jumiah tenaga kerja yang dibutuhkan. Dengan demikian, pelaksanaan rekrutmen dan seleksi harus dibagi menjadi beberapa tahap untuk mendapatkan calon yang terbaik. Ini semua memeriukan kebijakan tertentu. Sebaliknya, jika ekonomi suatu negara semakin baik maka akan semakin sulit mendapatkan tenaga kerja dari dalam negeri. Hal ini terjadi karena orang lebih cenderung menjalankan usaha sendiri dari pada bekerja di perusahaan orang lain. Akibatnya terjadi kelangkaan tenaga kerja. Tenaga kerja harus didatangkan (diimpor) dari negara lain. Pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan baru. Dengan kebijakan pemerintah tersebut, kebjjakan di suatu perusahaan pun harus berubah. Sebagai contoh, Malaysia. Sekitar tiga juta orang tenaga kerja di Malaysia berasal dari Iuar malaysia. Peraturan tentang tenaga kerja di Malaysia terus berubah. Perlakuan terhadap tenaga kerja yang diimpor (dikenal dengan istilah migrant workers) diatur tersediri. ‘Keempat, persaingan. Dalam era globalisasi ini, persaingan tidak hanya datang dari dalam negeri, melainkan juga dari luar negeri. Esensi dari persaingan adalah perebutan ‘pasar’. Dengan adanya persaingan maka perilaku pelanggan berbeda dengan perilaku pelanggan jika tidak ada persaingan. Perubahan perilaku pelanggan ini menyebabkan perusahaan melakukan perubahan untuk merebut hati pelanggan. Perusahaan melakukan perubahan karena kesuksesan perusahaan sangat dipengaruhi oleh pelanggan. Jika ada pesait maka pelanggan suatu perusahaan dapat bebas pindah ke perusahaan lain, Oleh Karena itu, agar dapat bertahan hidup dan sukses, perusahaan harus mampu merespon persaingan. Respon yang dapat dilakukan oleh suatu Perusahaan adalah dengan melakukan perubahan demi kepentingan pelanggan agar pelanggan tidak pindah ke perusahaan lain dan sekaligus dapat menarik pelanggan perusahaan pesaing. Kelima, regulasi. Peraturan daerah, peraturan nasional, maupun internasional , terus berubah. Organisasi harus terus memperhatikan dan menyesuaikan diri -Jumal Manajemen Indonesia Vol 9 No. 1 Januari 2009 23 dengan regulasi yang berlaku. Banyak perubahan yang terjadi dalam organisasi sebagai dampak dari perubahan regulasi. Sebagai contoh, perubahan regulasi tentang telekomunikasi di Indonesia menyebabkan PT Telkom dan PT Indosat dan perusahaan telekomunikasi lainnya melakukan bebagai perubahan. Contoh lain adalah rancangan perubahan tentang penyiaran televisi_ membuat perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam penyiaran televisi melakukan perubahan, Keenam, politik. Praktik politik di suatu daerah, negara, atau dunia dapat menimbulkan perubahan dalam organisasi. Banyak contoh perubahan yang terjadi sebagai dampak dari praktik politik. Bubamya Uni Soviet, bersatunya Jerman Barat dan Jerman Timur, perubahan politik di Afrika Selatan, invasi ‘Amerika Serikat ke Irak adalah beberapa contoh yang menyebabkan terjadinya perubahan dalam perusahaan-perusahaan di negara-negara_tersebut. Penambahan jumiah propinsi di Indonesia dan penerapan otonomi daerah menimbulkan perubahan di berbagai perusahaan di Indonesia. Larangan terbang pesawat Garuda ke Amerika Serikat menimbulkan perubahan di Garuda Indonesia. Sebagai dampak dari faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut, perubahan-perubahan dalam organisasi dapat dikelompokkan menjadi beberapa opsi. Robins (1996), misalnya, mengelompokkan opsi perubahan menjadi empat yaitu: struktur (baik struktur organisasi, kebijakan, maupun komposisi orang), teknologi, physical setting (sering juga disebut /ay-out), dan orang. Dari empat opsiini, yang paling sukar diubah adalah orang. Hal inikarena pada opsi orang, yang diubah adalah pola pikir dan perilaku orang, bukan memecat semua karyawan yang ada, kemudian menggantikannya dengan karyawan baru. Pada opsi teknologi, yang diubah atau diganti adalah teknologi, maka teknologi lama dibuang atau dijual, kemudian teknologi baru dipakai. Pada psi struktur, yang diubah adalah struktur organisasi atau sistem kerja atau kebijakan. Jika yang diubah adalah struktur organisasi, maka struktur organisasi lama tidak dipakai lagi. Demikian juga dengan opsi physical setting atau lay-out. Berbeda dengan opsi people (orang). Mengubah pola pikir atau perilaku orang tidak semudah mengganti teknologi. Jika pola pikir atau perilaku orang sudah berubah, pola pikir atau perilaku lama tidak hilang, tetap ada, hanya tidak dipraktikkan. Namun, suatu waktu, perilaku lama tersebut dapat tiba-tiba muncul kembali. Selain itu, perubahan pada opsi lain (teknologi, struktur, /ay-out) berdampak terhadap perubahan pada opsi orang. Jika perilaku orang tidak berubah sesuai dengan tuntutan teknologi, struktur, atau /ay-out tersebut maka manfaat dari perubahan teknologi, struktur, atau lay-out tersebut tidak akan optimal. Oleh sebab itu, permasalahan terjadi adalah orang (tenaga kerja) sering enggan mengubah perilaku mereka. Keenganan untuk berubah muncul karena mereka merasa nyaman dengan cara kerja yang ada, Dalam manajemen Perubahan, keengganan untuk berubah atau penolakan terhadap perubahan dikenal denganistilah resistansi (resistance). 24 OR. Jafer Sembiing : Mensjemen Perubatn Rangkuman Teor dan Aplitasi RESISTANSI TERHADAP PERUBAHAN Pada dasamya, melakukan perubahan merupakan usaha memanfaatkan oportuniti untuk mencapai keberbahasilan. Oleh karena itu, melakukan perubahan mengandung risiko. Karena adanya risiko tersebut, maka resistansi atau penolakan terhadap perubahan selalu ada. Ahmed, Lim & Loh (2002) secara tegas menyatakan bahwa resistansi terhadap perubahan adalah tindakan yang berbahaya dalam lingkungan yang penuh dengan persaingan ketat; perusahaan tidak dapat melindungi diri dari perubahan walaupun perusahaan tersebut memiliki berlimpah sumber daya. Perubahan mengandung ketidakpastian dan risiko, namun perubahan juga merupakan peluang. Dari kutipan di atas dapat diartikan bahwa perubahan tidak selalu berjalan tanpa kendala. Berbagai kendala atau resistansi terhadap perubahan terjadi dalam organisasi. Resistansi terhadap perubahan dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu resistansi individu (individual resistance) dan resistansi oranisasi (organizational resistance). Pengertian resistansi individu adalah penolakan karyawan (anggota organisas)) secara individu atau secara kelompok terhadap perubahan yang diajukan olah pimpinan organisasi. Beberapa faktor resistansi yang lazim terjadi dalam organisasi adalah sebagai berikut. Urutan resistansi berikutinitidak menunjukkan dominasi atau tinggi rendahnya resistansi. Pertama, kebiasaan kerja. Orang sering resistan terhadap perubahan karena takut kebiasaan kerja yang dia praktikkan selama ini, dan sudah merasa nyaman dengan kebiasaan tersebut, berubah menjadi kebiasaan kerja baru yang menurutorang tersebut mengganggu atau merepotkan. Kedua, keamanan. Perubahan dapat menimbulkan perasaan tidak aman. Perasaan tidak aman muncul karena takut apakah dia akan dipecat, apakah dia masih memenuhi syarat untuk tetap menduduki jabatan/posisi yang dia pangku selama ini, apakah dia akan digantikan oleh seseorang yang selama ini sebagai bawahannya, danlain-lain. Ketiga, ekonomi. Faktor ekonomi_seperti gaji merupakan hal yang sering dipertanyakan dalam perubahan. Orang sangat tidak mengharapkan gajinya turun. Jika orang harus melepaskan jabatannya maka ini akan berdampak terhadap keadaan ekonominya. Keempat, sesuatu yang tidak diketahui. Jiak satu bentuk perubahan diterapkan, ‘orang berpikir tentang perubahan berikutnya. Orang sering tebih takut menghadapi perubahan berikutnya yang dia belum tau. Orang sering bertanya- tanya: “Ya, sekarang perubahan struktur organisasi, lantas berikutnya apa lagi yang berubah? Kemudian apa lagi?” Kelima, pemerosesan informasi. Orang dapat resistan terhadap perubahan karena dia menerima informasi secara tidak komprehensif. Kurangnya pemahaman tentang informasi tersebut dapat juga disebabkan oleh kurangnya kernampuan menginterpretasikan informasitersebut -Jumal Manajemen indonesia Vol.9 No, 1 Janueri 2009 Selain resistansi individu, resistansi secara organisasi pun dapat terjadi. Faktor- faktor resistansi organisasi adalah yang berkaitan dengan mekanisme kerja atau proses kerja (structural inertia), hubungan kerja seperti norma-norma dalam organisasi maupun dalam uit kerja (group inertia), distribusi tentang pengambilan keputusan (power relationship). Selain itu, faktor lain yang menimbulkan resistansi organisasi adalah karena adanya perasaan terancam terhadap keahlian yang dimiliki, takut kalau keahlian yang dia miliki tidak dibutuhkan lagi. Juga termasuk dalam resistansi organisasi adalah perasaan takut karena tidak akan memiliki kewenangan untuk mengalokasikan atau mengatur sumber daya (sumber daya finansial, sumber daya manusia, dan sumber daya lainnya). Istilah tain yang sering dipakai dalam berbicara tentang resistansi terhadap perubahan adalah karena setiap perubahan akan mengganggu comfort zone (zona nyaman), yaitu kebiasan-kebiasan kerja yang selama ini dirasakan nyaman, Dalam kaitannya dengan zona nyaman, Sonnenberg (1994) ‘mengidentifikasi tujuh alasan mengapa orang resistan terhadap perubahan. Berikutinidirangkum pengertian dari masing alasan tersebut. 1) Procrastination, Kecenderungan untuk menunda perubahan, merasa masih banyak waktu untuk melakukan perubahan. 2) Lack of motivation, Orang berpendapat bahwa perubahan tersebut tidak memberikan manfaat sehingga enggan untuk berubah. 3) Fearoffailure, Perubahan menimbulkan pembelajaran baru. Orang takut kalau nantinya ia tidak memiliki kemampuan yang baik tentang sesuatu yang baru tersebut sehingga ia akan gagal. 4) Fear of the unknown. Orang cenderung merasa lebih nyaman terhadap sesuatu yang sudah diketahui dibandingkan dengan sesuatu yang belum diketahui. Perubahan berarti mengarah kepada sesuatu yang belum diketahui. 5) Fear of loss. Orang takut kalau perubahan tersebut akan menurunkan job security, power, dan status. Resistansi terjadi karena orang takut akan'kehilangan jabatan, kehilangan status sosial, dan lainnya. 6) Dislike of the initiators of change. Orang sering sulit menerima perubahan jika mereka ragu terhadap kepiawaian inisiator perubahan atau tidak menyukai anggota agen perubahan 7) Lack of communication. Salah pengertian terhadap apa yang diharapkan dari perubahan, informasi tidak disampaikan secara utuh dan komprehensif. Banyak faktor lain yang menimbulkan resistansi terhadap perubahan. Namun, pada dasamya, dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa resistansi terhadap perubahan pada dasamya adalah karena ‘takut', takut akan kebiasaan kerja berubah, takut akan tidak dipakai lagi, takut akan gaji atau take-home pay menjadi berkurang, takut akan status sosialnya akan pudar, dan berbagi “takut” lainnya. Agar perubahan dapat berlangsung dengan baik, semua resistansi tersebut harus dapat ditanggulangi. Berikut ini dirangkum beberapia cara yang lazim dipakai untuk menanggulangi atau meminimalisasi resistansi. 25 26 OR. Jafar Sembring : Menejemen Perubahan Rengkuman Teor den Apixasi PENANGGULANGANRESISTANS! Kotter & Schlesinger (1979) merumuskan enam cara untuk menanggulangi resistansi terhadap perubahan, Robbins (2005) mengkaji berbagai taktik untuk menanggulangi resistansi terhadap perubahan, namun kemudian memutuskan untuk merangkum keenam taktik yang dirumuskan oleh Kotter & Schlesinger (1979). Berikut ini dirangkum pengertian dari masing-masing taktik. 1) Pendidikan dan Komunikasi (Education and Communication). Menerapkan komunikasi terbuka kepada seluruh anggota organisasi. Komunikasi dapat dilakukan dalam bentuk lisan, tulisan atau lisan dan tulisan. Dengan demikian seluruh anggota organisasi akan menerima informasi dari satu sumber. Informasi yang disampaikan harus jelas, baik alasan mengapa dilakukan perubahan, tujuan melakukan perubahan, maupun manfaat perubahan tersebut bagi seluruh anggota organisasi. 2) Partisipasi (Participation). Sebelum mengaplikasikan rancangan perubahan yang telah diformulasikan, pimpinan puncak dan agen perubahan harus dapat mengidentifikasi siapa-siapa yang resistan terhadap perubahan tersebut. Orang yang resistan tersebut kemudian dilibatkan dalam membahas faktor-faktor yang menimbulkan “ perubahan. 3) Fasiltasi dan dukungan (Facilitation and Support). Agen perubahan harus dilatih sedemikian rupa agar dapat memfasilitasi dan membantu karyawan (anggota organisasi) yang menghadapi kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan perubahan yang telah dirancang, Jika perlu, ‘agen perubahan dapat menyelenggarakan pelatihan atau seminar atau bentuk-bentuk lain untuk meningkatkan pemahaman karyawan tentang perubahantersebut. 4) Negosiasi (Negotiation). Negosiasi dipakai jika agen perubahan menemukan resistansi potensial dari orang tertentu. Orang tersebut kemudian diundang untuk berdiskusi dan negosiasi. Kesepakatan negosiasi dapat bervariasi sesuai dengan kewenangan yang dimiliki oleh agen perubahan. 5) Manipulasidan kooptasi (Manipulation and Cooptation). Yang dimaksud dengan manipulasi di sini adalah menonjolkan suatu realita sehingga terlihat dan terasa akan sangat menarik. Sedangkan pengertian kooptasi adalah kombinasi dari manipulasi dan partisipasi. Dengan menonjolkan suatu realita sehingga begitu menarik, orang yangrresistan tersebut kemudian diajak untuk berdiskusi dan membuat keputusan tentang faktoraktor yang mempengaruhi pentingnya melakukan perubahan. 6) Paksaan (Coersion). Taktix ini adalah penerapan ancaman atau pemaksaan kepada orang-orang yang resistan terhadap perubahan. Pemindahan atau rotasi, tidak promosi, pemecatan adalah beberapa bentuk paksaan. Jul Manajemen indonesia Vol.9 No. 1 Januer 2009 Dalam rumusan cara-cara_menanggulangi resistansi terhadap perubahan, Kotter & Schlesinger (1979) menggabungkan pendidikan dan komunikasi sebagai satu cara. Dalam praktiknya, pendidikan dapat juga dijadikan sebagai satu taktik tersendiri. Orang-orang yang resistan terhadap perubahan dapat juga ditanggulangi dengan menyekolahkan mereka untuk memperoleh jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Diharapkan, selama mereka mengikuti pendidikan, pola pikir mereka akan berubah dan akan lebih memahami perubahan yang dilakukan, Dengan cara ini, pendidikan dapat juga merupakan hasil dari negosiasi atau suatu bentuk paksaan (coersion). LANGKAH LANGKAH PERUBAHAN Pakar manajemen perubahan, Carr (1994) merumuskan tujuh langkah perubahan yang ia rumuskan dalam bentuk pertanyaan. Menurut Carr, pemimpin dan agen perubahan harus menemukan jawaban terhadap ketujuh pertanyaan tersebut demi keberhasilan melakukan perubahan. Tujuh langkah dalam bentuk pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut. Pertama: Apakah perubahan ini merupakan suatu beban atau suatu tantangan? (Is this change a burden or a challenge?). Perubahan harus dipersepsikan sebagai tantangan bukan sebagai beban. Oleh karena itu, agen perubahan dan pimpinan harus kreatif meyakinkan'semua karyawan bahwa perubahan tersebut adalah tantangan. Kedua: Apakah perubahan tersebut elas, bermanfaat, dan nyata? (Is the change clear, worthwile, and real?), Jika agenda perubahan tidak jelas, bermanfaat dan nyata, dalam arti benar-benar urgen, maka resistansi akan tinggi. Oleh karena itu, data yang mendukung urgensi perubahan harus dipersiapkan. Manfaat perubahan jelas bagi seluruh karyawan. Ketiga: Apakah manfaat perubahan tersebut dapat segera diperoleh? (Will the benefits of change begin to appear quickly?). Karyawan selalu ingin mengetahui kapan manfaat perubahan dapat mereka nikmati. Agar manfaat perubahan dapat dirasakan dalam waktu relatif singkat, perubahan harus dimulai dari suatu hal yang dapat segera dirasakan. ini berarti bahwa tujuan-tujuan antara harus dirumuskan. Keempat: Apakah perubahan terbatas pada satu unit kerja atau beberapa unit kerja terkait? (Is the change limited to one function or a few closely related functions?). Jika karyawan mempunyai persepsi bahwa perubahan hanya diterapkan pada satu unit kerja saja, maka karyawan yang bekerja pada unit tersebut akan menganggap perubahan tersebut merupakan suatu beban. Dalam organisasi, tidak ada perubahan yang terjadi pada satu unit kerja tanpa ada perubahan pada unit kerja lain. Satu unit kerja pasti terkait dengan unit kerja lain. Oleh karena itu, keterkaitan perubahan dengan unit kerja lain harus elas. Kelima: Apa dampak perubahan tersebut terhadap kekuasaan dan status? (What will be the impact on existing power and status relationship?). Kekuasaan aT 28 DR. Jater Sembiting : Menejemen Perubehen Rangkumn Teot dan Aptkasi (power) dan status dalam perusahaan berkaitan erat dengan unit kerja. Agen perubahan sering salah mengantisipasi pentingnya kekuasaan dan status bagi karyawan. Namun, jika terlalu banyak dibahas tentang kekuasaan dan status karyawan maka pelaksanaan perubahan tersebut akan semakin sulit. Keenam: Apakah perubahan sejalan dengan budaya organisasi yang ada? ( Will the change fit the existing organizational culture?). Satu perubahan sering diikuti oleh perubahan lain. Agen perubahan harus mampu meyakinkan anggota organisasi (kaaryawan) bahwa nilai-nilai perusahaan akan tetap dipertahankan. Ketujuh: Apakah perubahan tersebut pasti akan ditaksanakan? (Is the change certain to happen?). Jika karyawan sudah menyadari urgensi perubahan, karyawan ingin kepastian dan tidak ingin lagi mendengarkan banyak ceramah. Pakar manajemen perubahan lain, Kotter (1995) merumuskan delapan langkah perubahan yang dikenal dengan Kotter's Eight Steps to Transforming Organization. Tulisan Kotter tentang memimpin perubahan yang dimuat di Harvard Business Review pada tahun 1995 tersebut begitu populer, sehinga pada tahun 2007 tulisan Kotter tersebut diterbitkan lagi di Havard Business Review. Dalam uraiannya, Kotter menyoroti kesalahan-kesalahan yang sering dilakukan oleh para agen perubahan. Delapan langkah perubahan dan kesalahan-kesalahan yang dirumuskan oleh Kotter (1995 & 2007) merupakan rangkuman dari hasil observasi yang ia lakukan tethadap perusahaan- perusahaan yang sukses menerapkan perubahan dan perusahaan-perusahaan yang gagal menerapkan perubahan. Langkah 1: Establishing a sense of urgency. Makna kata urgensi (urgency) adalah sesuatu yang sangat penting dan mendesak, Sebagai langkah pertama dalam perubahan, pimpinan harus merumuskan perubahan berdasarkan kajian yang rinci tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan. Dengan demikian, hasil rumusan akan terasa ungen. Langkah pertama ini kelihatannya mudah, tetapi realitanya sangat sulit. Menurut Kotter, lebih dari 50% perusahan yang melakukan perubahan gagal pada langkah ‘pertama ini. Kesulitan terjadi karena mayoritas pimpinan perusahaan sibuk dengan aktivitas operasional, sibuk bekerja untuk mencapai target yang telah ditetapkan sehingga kurang mengikuti perkembangan lingkungan eksternal. Langkah 2: Forming a powerful guiding coalition. Mayoritas inisiatif perubahan berasal dari satu atau dua orang. Namun, untuk kesuksesan agenda perubahan diperlukan kerja sama yang baik dari sejumiah orang (disebut dengan istilah guiding coalition team). Jumiah anggota tim bervariasi, bergantung pada besar kecilnya perusahaan. Komitmen tim perubahan ini sangat dipengaruhi perasaan masing-masing anggota tim tentang urgensi perubahan. Anggota tim ini harus bertemu berkali-kali untuk menyusun agenda dan membangun komitmen. Kegagalam membentuk tim ini adalah kesalzhan kedua dalam memimpin perubahan. Kesalahan ini terjadi karena -Jumal Manajemen Indonesia Vol. 9 No. 1 Januari2009 29 pemimpin beranggapan bahwa membuat agenda perubahan merupakan pekerjaan yang mudah. Langkah 3: Creating vision. Aktivitas fain yang harus dirumuskan oleh guiding coalition team adalah merumuskan visi. Pada awalnya, visi berupa draft dapat dirumuskan oleh satu orang atau oleh beberapa orang sebagai tim kecil. Draft visi tersebut kemudian dibahas dalam tim besar. Visi harus berfungsi sebagai arah dan panduan kerja. Visi harus dihayati oleh seluruh anggota tim. Visi harus mudah dipahami dan mudah dikomunikasikan kepada seluruh karyawan, Oleh karena itu, rumusan visi harus sederhana dan merumuskannya sering menyita banyak waktu. Visi yang tidak jelas dan membingungkan merupakan kesalahan ketiga yang sering terjadi dalam memimpin perubahan. Akibat kesalahan ini, berbagai rencana kerja tidak dapat dilaksanakan Karena masing-masing menuju arah yang berbeda-beda. Langkah 4: Communicating a vision. Visi yang telah dirumuskan harus dikomunikasikan kepada seluruh karyawan agar seluruh karyawan benar-benar memahami visi tersebut. Visi tersebut harus berfungsi sebagai guiding principle dalam bertindak dan berperilaku. Untuk itu, Pemimpin harus mampu memanfaatkan semua media komunikasi yang ada di perusahaan. Penjelasan harus dibuat sedemikian rupa sehingga menarik untuk dibaca dan didengarkan serta mudah dipahami. Semua anggota coalition team harus menjadi simbol yang hidup, harus menjadi panutan bagi seluruh karyawan. Kata-kata yang mereka ucapkan atau tuliskan harus sesuai dengan perilaku mereka. inilah yang disebut dengan istilah words equal deeds. Dalam hal ini, Kotter merumuskan tiga kesalahan yang sering terjadi. Pertama: melakukan komunikasi dengan satu kali pertemuan atau satu tulisan, Kesalahan kedua: pimpinan puncak perusahaan mengumpulkan semua karyawan dan kemudian memberikan ceramah yang panjang. Setelah ceramah, pemimpin tersebut berasumsi bahwa semua karyawan telah memahami visi tersebut. Kesalahan ketiga: pemimpin senior (Senior leaders) atau agen perubahan memberikan ceramah berkali-kali, namun tidak memperlihatkan perilaku yang ‘mencerminkan apa yang mereka ceramahkan. Langkah 5: Empowering others to acton the vision. Seluruh anggota coalition team harus menyadari bahwa komunikasi tidak pernah cukup. Setiap perubahan pasti menghadapi kendala. Yang sering menjadi sumber kendala adalah pola pikir. Oleh karena itu, yakinkan karyawan bahwa perubahan tersebut adalah benar dan demi kepentingan perusahaan yang juga berarti demi kepentingan karyawan. Jika yang menjadi kendala adalah sistem dan prosedur kerja, ganti sistem dan prosedur kerja tersebut. Dalam mengelola perubahan, banyak perusahaan berhasil sampai langkah yang keempat, namun gagal pada langkah yang kelima, Kegagalan terjadi karena pimpinan perusahaan tidak berani menyingkirkan kendala yang dihadapi oleh karyawan. ‘30 OR, Jalar Sembiring: Menejemen Perubshon Rangkuman Teo den Apikas| Langkah 6: Planning forand creating short-term wins. Perubahan memerlukan waktu yang relatif lama. Namun, karyawan cenderung ingin mengetahui hasil perubahan dalam waktu relatif singkat. Jika setelah dug tahun tidak diketahui hasinya, maka pada umumnya karyawan mulal jenuh dan berusaha kembali kepada cara kerja lama, Oleh karena itu, periu dirumuskan tyjuan antara (short-term-wins). Tujuan antara tersebut harus mengukur keberhasilan perubahan pada skala kecil. Tujuan antara tersebut harus dipahami oleh semua karyawan sejak awal pelaksanaan perubahaan, Komitmen untuk mewujudkan tujuan antara tersebut membantu meningkatkan Perasaan ugensi. Kesalahan yang sering terjadi adalah mengabaikan tujuan antara. Langkah 7: Consolidating improvements and producing still more changes. Keberhasilan mewujudkan tujuan antara perlu dirayakan. Berbagai bentuk Perayaan dapat diadakan. Memuat tulisan ucapan selamat dalam intranet alas keberhasilan suatu unit kerja mewujudkan tujuan merupakan satu bentuk Perayaan, mengumumkan pemberian insentif atas keberhasilan suatu unit kerja adalah juga satu bentuk perayaan. Memomentum perayaan tersebut harus dimanfaatkan untuk meningkatkan rasa urgensi. Merayakan (celebrating) tidak sama dengan mendeklarasikan (declaring). Melakukan deklarasi mempunyai makna mengumumkan bahwa tujuan perubahan telah terwujud. Deklarasi juga Perlu dilakukan, namun setelah seluruh tujuan antara terwjud. Melakukan deklarasi terialu dini dapat menurunkan rasa urgensi. Kesalahan yang terjadi dalam mengelola perubahan adalah terlalu dini mendeklarasikan keberhasilan, Kadang-kadang pemimpin bermaksud melakukan perayaan, namun karyawan menginterpretasikannya sebagai deklarasi. Langkah 8: Institutionalizing new approaches. Langkah terakhir dalam memimpin perubahan adalah mengukuhkan (melembagakan) perilaku kerja yang sesuai dengan apa yang direncanakan. Perubahan dikatakan berhasijika karyawan sudah berpendirian bahwa perilaku kerja yang baru tersebut adalah perilaku kerja yang benar. Perilaku baru tersebut harus dikukuhkan, dilembagakan, melalui dua cara sebagai berikut. Pertama, pemimpin harus secara tegas menyampaikan kepada seluruh karyawan bahwa peningkatan kinerja perusahaan terjadi karena semua karyawan menerapkan pendekatan baru, perilaku baru, dan sikap baru, Kedua, yakinkan seluruh karyawan bahwa siapapun yang menjadi pemimpin puncak berikutnya pasti akan bangga dengan budaya baru tersebut. Kesalahan yang terjadi adalah pimpinan puncak tidak berusaha meyakinkan seluruh karyawan bahwa peningkatan kinerja perusahaan terjadi karena seluruh karyawan mempunyai motivasi tinggi untuk mewujudkan tujuan Langkah-langkah perubahan yang dirumuskan oleh Carr (1994) dan oleh Kotter (1985 & 2007) tersebut adalah rumusan berdasarkan hasil kajian teoretis dan hasil observasi lapangan. Rumusan langkah-langkah tersebut dapat dikatakan sebagai generalisasi dari langkah-langkah perubahan yang diterapkan di berbagai perusahaan yang berhasil menerapkan perubahan. Berikut ini adalah -Jume! Menajemen Indonesia Vol.9 No. | Januari 2009 langkah-langkah perubahan yang diterapkan oleh Jack Welch di GE (Gavrin, 2000). Pada waktu Jack Welch menjadi CEO perusahaan General Electric (GE), perusahaan tersebut dalam keadaan kacau dan merugi. Tugas utama Jack Welch adalah menjadikan GE menjadi perusahaan profesional yang profit. Dia (Jack Welch) kemudian membentuk tim kecil untuk merumuskan langkah- langkah untuk mentransformasi GE di seluruh dunia, Setelah melakukan berbagai kajian, tim tersebut kemudian berhasil merumuskan tujuh langkah perubahan. Sebagaimana diuraikan oleh Gavrin (2000), tujuh langkah tersebut adalah sebagai berikut. 1) Leading Change. Pemimpin harus komit terhadap perubahan, baik waktu maupun perhatian. 2) Creating @ Shared Need. Seluruh karyawan harus sepenuhnya memahami alasan perubahan. 3) Shaping a Vision. Seluruh karyawan harus sepenuhnya memahami arah dan tujuan perubahan. 4) Mobilizing Commitment. Seluruh karyawan harus_memahami stakeholders dan tuntutan para stakeholders. Yakinkan karyawan akan pentingnya membangun kerja sama untuk memenuhi kebutuhan stakeholders. 5) Making Change Last. Perubahan harus dimulai dari langkah pertama dan kemudian membuat rencana jangka panjang. 6) Monitoring Progress. Membuat matriks sebagai alat untuk mengontrol dan mengevaluasi keberhasilan perubahan, 7) Changing Systems and Structure. Mengembangkan -karyawan, melakukan evaluasi kinerja, mengkomunikasikan keberhasilan, memberikan rewards, memperbaiki sistem pelaporan sesuai dengan perubahan, Penerapan tujuh langkah perubahan tersebut membuat GE bangkit dari kerugian dan menjadi perusahaan kelas dunia. Jack Welch menjadi terkenal dan diakui sebagai salah satu CEO terkemuka di dunia. MODEL MANAJEMEN PERUBAHAN Model dasar manajemen perubahan yang lazim dipakai adalah model yang dikembangkan oleh Kurt Kewin, yang dikenal dengan Lewin's Three-Step Model. Dikatakan Three-Step Model karena model ini terdiri dari tiga langkah dalam melakukan perubahan. Model ini pertama sekali dikembangkan oleh Lewin pada tahun 1940; kemudian Schein melakukan kajian dan menggunakannya lagi pada tahun 1970. Sepuluh tahun kemudian (pada tahun 1980), Beckhardt melakukan kajian ulang, namun tetap mengakui kebenaran model ini (Garrat, 2000). Sampai saat ini, model yang dikembangkan oleh Lewin ini diakui sebagai model manajemen perubahan yang handal namun bersifat generik, 31 82. OR. Jafar Sembirng:K-enejemen Perubahan Rangkuman Teari dan Aplitasi Berikutini disajikan gambar Lewin's Three-Step Model. Gambar 1. Lewin's Three-Step Model Unfreezing | <> | Moving | => | Refreezing ‘Sumber: Robbins (2005:555) Kata unfreezing berasal dari kata freeze (membeku). Yang dimaksud dengan membeku adalah kebiasaan kerja yang selama ini diterapkan dan karyawan merasa nyaman dengan kebiasaan kerja tersebut. Dengan kata lain, kebiasaan kerja tersebut sudah merupakan zona nyaman (comfort zone). Dalam melakukan perubahan, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menggugah kesadaran bahwa zona nyaman tersebut (cara kerja, mekanisme kerja, teknologi, struktur organisasi, atau yang lainnya yang selama ini menjadi zona nyaman) sudah tidak mumpuni lagi. Menggugah kesadaran harus merujuk pada data seperti realita tentang pesaingan, kebutuhan pelanggan, perkembangan teknologi, regulasi yang berlaku, dan fakta lain yang relevan. Jika unfreezing telah dilaksanakan dengan baik maka dilanjutkan dengan langkah moving. Pelaksanaan perubahan harus menuju ke suatu titik sebagai tujuan perubahan. Tujuan harus dirumuskan secara bertahap. Artinya, untuk mewujudkan tujuan akhir, maka harus diwujudkan sejumlah tujuan kecil-kecilan sebagai tujuan antara. Dalam usaha untuk mewujudkan tujuan, durasi waktu harusdiperhatikan. Jika hal-hal yang telah dirancang dilaksanakan dengan baik, sehingga tujuan terwujud, baik tujuan antara maupun tujyan akhir, maka perilaku kerja yang mendukung pencapaian tujuan tersebut harus dikukuhkan. Dengan kata lain, budaya baru tersebut harus dilembagakan. Inilah yang disebut dengan istilah refreezing (membekukan kembali), menjadikan budaya baru tersebut sebagai zona nyaman yang baru. Untuk memudahkan pemahaman, model perubahan yang dikenal dengan Lewin's Three-Step Model ini kemudian dikembangkan dengan visualisasi yang disebut dengan nama Force-Field analysis. Berikut ini disajikan model Force- Field analysis yang juga dikembangkan oleh Lewin. Jumel Mangjemen Indonesia Vol 9 No. 1 Januari 2009 Gambar 2. Force-Field Analysis (Unfreezing the Status Quo) ‘Sumber: Robbins (2005:555) Pengertian status quo adalah keadaan atau kondisi yang sedang terjadi sehingga perubahan perlu dilakukan. Yang menjadi status quo dapat berupa teknologi bahwa teknologi yang dipakai adalah teknologi lama, dapat berupa gaya manajemen bahwa pengambilan keputusan dilakukan secara sentralisasi, dan lain-lain. Sedangkan desired state adalah tujuan perubahan. Contoh desiréd state adalah penggunaan teknologibaru, desentralisasi, dan ain-lain. Dalam model Force-Field analysis tersebut, arah tanda panah ke bawah menunjukkan restraining forces. Tanda panah ini menggambarkan resistansi terhadap perubahan. Arah panah ke atas menunjukkan driving forces, yaitu usaha-usaha yang dilakukan oleh agen perubahan untuk meminimaiisasi resistansi. Arah panah ke kanan menggambarkan durasi waktu. Dalam modal tersebut, durasi waktu divisuatisasikan dengan garis putus-putus dalam bentuk miring atau curam. Semakin landai garis putus-putus tersebut berarti semakin fama durasi waktu yang diperlukan untuk mewujudkan desired states. Sebaliknya, semakin tegak garis putus-putus tersebut berarti semakin pendek waktu yang diperlukan untuk mewujudkan desired states. Perlu diingat bahwa perubahan memerlukan waktu, maka garis putus-putus tersebut tidak mungkin tegak lurus. Jika terfalu landai, berarti waktu yang diperlukan sangatlama. MERANCANG PERUBAHAN Dalam manajemen perubahan, proses untuk menggambarkan perumusan rancangan perubahan secara teori disebut dengan istilah action research. Pengertian action research adalah proses perubahan berdasarkan pengumpulan data secara sistematis dan perumusan rancangan tindakan berdasarkan hasil analisis tentang data yang dikumpulkan tersebut. Dalam proses ini keterlibatan para agen perubahan sangat penting. Robbins (2005) mengidentifikasi ima langkah dalam proses ini, yaitu: diagnosis, analisis, umpan balik, tindakan, dan evaluasi. Langkah pertama dalam merancang perubahan adalah melakukan diagnosis, 34 OR. Jafar Sembiring : Menejemen Perubahan Ranghuman Teo dan Aptkasi yaitu melakukan kajian tentang faktor-faktor ekstemal dan internal yang mempengaruhi perubahan. Untuk melakukan analisis ini, pimpinan periu membentuk beberapa tim kecil. Perlu ada tim yang mengkaji faktor teknologi, ada yang mengkaji faktor pelanggan, ada yang mengkaji tentang masalah- masalah yang dihadapi karyawan, dan lain-lain, Tujuan melakukan diagnosis adalah untuk menemukenali apa yang harus diubah. Dengan menghubungkan hasil kajian lingkungan eksternai dan hasil kajian lingkungan internal secara keseluruhan, maka dapat diientifikasi hal-hal yang harus atau perlu diubah dalamorganisasi. Setelah menentukan apa yang harus diubah, langkah berikutnya adalah melakukan analisis dan sintesis tentang apa yang harus diubah. Melakukan sintesis berbeda dengan melakukan analisis. Melakukan analisis berarti melakukan kajian untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya suatu masalah. Melakukan sistesis adalah melakukan kajian tentang apa yang akan terjadi. Dalam merancang perubahanan, sangat perlu mengidentifikasi permasalahan potensial yang akan terjadi, dan kemudian merumuskan rancangan tindakan agar permasalahan tersebut tidak terjadi pada masa mendatang. Langkah berikutnya adalah melakukan umpan balik (feedback). Hasil analisis dan sintesis tersebut dipresentasikan dan didiskusikan dengan karyawan, khususnya karyawan yang menempati posisi struktural berdasarkan struktur organisasi. Dalam diskusi ini, sangat perlu melibatkan pimpinan serikat karyawan, Keberhasilan perubahan akan sulit terwujud jika orang-orang yang menempati posisi struktural tidak merasa bahwa perubahan tersebut benar- benar urgen. Kotter (2007) menyatakan bahwa tingkat ugensi dikatakan tinggi jika pimpinan puncak dan agen perubahan dapat meyakinkan kira-kira 75 % dari manajemen. Langkah selanjutnya adalah melakukan tindakan, yaitu melakukan unfreezing dan kemudian moving. Berbagai hasil penelitian membultikan bahwa hal yang paling sulit dalam mengelola perubahan adalah melakukan unfreezing, mecairkan zona nyaman, meyakinkan seluruh karyawan bahwa zona yang selama ini dirasakan nyaman sudah tidak mumpuni lagi, zona yang selama ini dianggap nyaman harus diubah dan diganti dengan zona yang baru. Untuk itu, pimpinan puncak perusahaan dan seluruh anggota agen perubahan harus kreatif, sabar, persuasif dalam meyakinkan dan menginformasikan rancangan perubahan. Selain itu, pimpinan puncak perusahaan dan seluruh anggota agen perubahan harus komit menerapkan rancangan perubahan. Melakukan evaluasi adalah langkah berikutnya. Tindakan perubahan harus dievaluasi secara terus-menerus dan secara berkala. Jka perlu, lakukan tindakan perbaikan berdasarkan hasil evaluasi. Evaluasiharus dilakukan secara obyektif, harus merujuk pada kriteria yang telah dirumuskan sebelumnya. Hasil evaluasi yang telah sesuai dengan rancangan, harus segera dikukuhkan, dilembagakan, dirayakan. Ini adalah langkah terakhir dalam mengelola perubahan. Altivitas ini sekaligus dijadikan sebagai arena untuk meningkatkan urgensi perubahan. Jika tujuan perubahan telah tercapai, maka perlu dilakukan deklarasi untuk merayakan keberhasilan melakukan perubahan. JS Juma! Menajemen indonesia Vol. 9 No. 1 Januari 2009 DAFTAR RUJUKAN 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka. Ahmed, PK; Lim, K.K. & Loh,A.Y.E. 2002. Learning Through Knowledge ‘Management. Oxford: Butterworth-Heinemann. Bateman, T.S. & Snell, S.A. 2002. Management: Competing In The New Era. Edisi Kelima. New York: McGraw-Hill. Carr, C. 1994. Seven Keys to Successful Change. Training. Februari. Garvin, D.G. 2000. Leaming In Action: A Guide To Putting the Leaming Organization to Work. Boston: Harvard University. Kotter, J.P. 1995 & 2007. Leading Change: Why Transformation Efforts Fail. Harvard Business Review. January. Kotter, J.P. & Schlesinger, |.A. 1979. Choosing Strategies for Change. Harvard Business Review. Maret— April Robbins, S.P. 1996. Organizational Behavior: Concepts, Controversies, Applications. Edisi kesembilan.New Jersey: Prentice-Hall. =~. 2005. Organizational Behavior: Concepts, Controversies, Applications, Edisi kesebelas. New Jersey: Prentice-Hall. ‘Smither, R.; Houston, J.M.; & Mcintire, S.D. 1996. Organizational Development: Strategies For Changing Environments. New York: Harper Collins. Sonnenberg, K.S. 1994. Managing with a Conscience: How to Improve Performance through Integrity, Trust, and Commitment. New York: McGraw-Hill. 35

Anda mungkin juga menyukai