Anda di halaman 1dari 19

PROPOSAL PENELITIAN SKRIPSI

Nama

: Ibni Sabil A. Z. M.

NPM

: 0906514935

Judul
: Aplikasi Penginderaan Jauh dalam Pemetaan Sebaran Potensi
Deposit Emas Epithermal di Kabupaten Kupang (Studi Kasus Areal Eksplorasi
Tambang Emas PT Intan Prima Metalindo)
I.

PENDAHULUAN

I.1.

Latar Belakang

Emas merupakan bahan galian tambang kelas B yang banyak diminati


masyarakat. Keberadaan emas saat ini mayoritas dimanfaatkan sebagai perhiasan
dan media investasi. Selain itu juga terdapat pemanfaatan emas untuk keperluan
lain diantaranya sebagai mata uang, bahan campuran kosmetik, dan lain-lain.
Begitu berharganya emas dan ketersediaannya yang relatif sedikit, penambangan
emas terus berkembang teknologinya untuk mengefektifkan dan mengefisienkan
banyak faktor pertambangan, seperti biaya, waktu, dan tenaga.
Wilayah Indonesia berada pada pertemuan lempeng Benua Eurasia, Benua
Australia, dan Samudera Hindia sehingga memunculkan jajaran busur magmatik.
Posisi ini menjadikan Indonesia kaya akan sumber daya mineral, terutama mineral
logam. Salah satu busur magmatik yang melintasi Indonesia berada pada wilayah
selatan dan baratnya yaitu busur magmatik Sunda-Banda. Pada busur magmatik
ini, diperkirakan terdapat 20% endapan emas Indonesia.
Salah satu wilayah yang terdapat pada jajaran busur magmatik SundaBanda adalah Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur yang terletak
pada Pulau Timor. Pulau Timor, khususnya pada daerah administrasi Kabupaten
Kupang juga memiliki potensi keberadaan mineral logam yang melimpah. Sampai
dewasa ini, di pulau tersebut dapat ditemui cukup banyak areal pertambangan,
tetapi lebih didominasi oleh bahan galian C. Belum ditemui areal pertambangan
yang mengeruk emas di daerah tersebut.
Emas memiliki jenis cukup beragam menurut proses pembentukannya,
salah satunya adalah jenis emas epithermal. Endapan emas epitermal merupakan
endapan mineral permukaan yang berada di lapisan paling atas atau disebut Low
Sulfidation. Proses transportasi dari dapur magma yang menerobos melalui
Lapisan Porphyri, High Sulfidation sampai lapisan Low Sulfidation merupakan
proses yang terpenting dimana emas dibawa oleh mineral-mineral dalam zona
alterasi. Endapan tersebut berupa epitermal sulfida rendah dalam bentuk mineralmineral dan urat pada kuarsa yang umumnya terdapat dalam batuan gunung api

(volcano-magmatic arc) yang berumur Pratersier sampai Tersier. Keberadaan


emas epitermal dalam permukaan berasosiasi dengan adanya bentukan struktur
geologi baik sesar maupun patahan yang menunjukkan adanya potensi endapan
emas epitermal dan mineral pembawa (Widodo, 2004).
Kegiatan eksplorasi tambang, khususnya tambang emas di Indonesia
masih belum se-berkembang di negara maju lainnya. Eksplorasi yang dilakukan
masih dengan metode geologi, parit uji, geokimia tanah/endapan sungai yang
dimaksudkan untuk mengetahui kondisi geologi local, melokalisir penyebaran dan
menafsirkan model/tipe pembentukan emas di wilayah bersangkutan
(Tampubolon, 2006 dalam Wiguna, 2012). Salah satu kendala yang muncul dari
metode-metode di atas adalah tahap pemetaan lapang yang memerlukan waktu
lama serta biaya yang relatif besar, terlebih lagi untuk daerah baru yang belum
diteliti/disurvei sehingga sulit untuk bisa melakukannya pada wilayah yang luas.
Melihat kendala tersebut, saat ini terus dikembangankan berbagai
teknologi untuk mempermudah kegiatan eksplorasi, termasuk teknologi
Penginderaan Jauh (PJ) dan Sistem Informasi Geografi (SIG). Penelitian
sebelumnya yang pernah memanfaatkan dua teknologi tersebut diantaranya
dilakukan oleh Caranza dan Hale (2003) menggunakan Fuzzy Logic untuk
pemetaan potensi mineralisasi emas di tambang emas Baguio, Filipina. Penelitian
ini menjelaskan jarak lokasi keberadaan emas terhadap kondisi geologi tertentu ke
dalam nilai anggota Fuzzy dan menghasilkan empat tema. Mereka menggunakan
beberapa kombinasi penggabungan tema dan memilih salah satu yang paling
optimal dalam memprediksikan potensi mineralisasi emas.
Penelitian lainnya juga dilakukan oleh Wiguna (2012) yang memetakan
sebaran emas epithermal di Cibaliung, Banten. Penelitian ini memanfaatkan data
citra ASTER untuk menunjang pemetaan mineral yang berasosiasi dengan emas.
Selain itu juga dilakukan analisis dengan metode Weigh of Evidence untuk melihat
kedekatan keberadaan emas dengan faktor struktur geologi dan litologi.
Pemetaan sebaran potensi emas juga dilakukan Faeyumi (2012) di
Pongkor, Bogor. Penelitian ini juga memanfaatkan data citra ASTER untuk
memetakan sebaran alterasi yang berasosiasi dengan emas. Selain faktor alterasi
batuan, segi geologi juga memegang peranan penting dalam penelitian ini
sehingga diambil variabel struktur geologi dan litologi dalam daerah
penelitiannya.
Teknologi Penginderaan Jauh yang diintegrasikan dengan Sistem
Informasi Geografi terus dikembangkan untuk dapat mengatasi kendala di atas.
Dengan memanfaatkan kedua hal tersebut, pemetaan sebaran potensi suatu
mineral, khususnya emas dapat dilakukan dengan lebih efektif dan efisien. Oleh
karena itu penelitian ini memilih teknologi Penginderaan Jauh yang diintegrasikan

dengan Sistem Informasi Geografi untuk dapat memetakan sebaran potensi emas
di Kabupaten Kupang, khususnya di Areal Eksplorasi Tambang Emas PT Intan
Prima Metalindo.
I.2.

Rumusan Masalah

Dari latar belakang Kabupaten Kupang yang termasuk dalam busur


magmatik Sunda-Banda sehingga memiliki potensi mineral logam melimpah yang
kini belum banyak dimanfaatkan, khususnya mineral emas, maka penelitian ini
mengambil perumusan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana sebaran potensi deposit emas epithermal di Areal
Eksplorasi Tambang Emas PT Intan Prima Metalindo, Kabupaten
Kupang berdasarkan alterasi batuan/mineral, litologi, dan struktur
geologi?
2. Bagaimana asosiasi antara variabel fisik litologi dan struktur geologi
terhadap deposit emas di Areal Eksplorasi Tambang Emas PT Intan
Prima Metalindo, Kabupaten Kupang?
I.3.

Tujuan Penelitian

Hasil penelitian sebaran potensi deposit emas ini diharapkan mampu


mencapai tujuan sebagai berikut.
1. Mengetahui sebaran potensi deposit emas epithermal secara spasial
dengan metode yang lebih efektif dan efisien, mempermudah pemetaan
awal geologi dan mineral (reconnaissance mapping) pada daerah yang
luas, serta dapat menjadi data pendukung pengambilan keputusan di
bagi PT Intan Prima Metalindo di Areal Eksplorasi Tambang Emas
Kabupaten Kupang.
2. Mengetahui kedekatan asosiasi sebaran potensi deposit emas dengan
faktor geologi (litologi dan struktur geologi).
I.4.

Batasan Penelitian
1. Emas epithermal merupakan emas yang terbentuk pada lingkungan
hydrothermal dekat permukaan dengan temperatur dan tekanan relatif
rendah (100oC-200oC) berasosiasi dengan aktivitas magmatisme kalkalkali yang sering dijumpai sedimen vulkanik.
2. Wilayah penelitian mencakup Areal Eksplorasi Tambang Emas PT
Intan Prima Metalindo yang beroperasi di Kabupaten Kupang dengan
luas 13.000 ha.

3. Pengolahan data citra satelit dilakukan untuk mempertajam citra


dengan metode Directed Principal Component Analysis (DPCA) atau
metode Defoliant Technique guna menentukan sebaran alterasi
batuan/mineral berupa Limonit dan Lempung.
4. Asosiasi merupakan hubungan keterkaitan antara satu objek dengan
objek lainnya, dalam hal ini asosiasi dilakukan kepada mineral Limonit
dan Lempung yang mengindikasikan keberadaan emas epithermal.
Kedekatan asosiasi ini diperhitungkan dari formulasi Fuzzy Logic.
5. Litologi merupakan klasifikasi batuan yang didasarkan pada sifat-sifat
fisiknya.
6. Struktur geologi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah struktur
geologi berupa patahan.
7. Zona alterasi merupakan zona ubahan mineral pembawa endapan emas
sebagai hasil dari pelapukan dalam system hydrothermal yang
dipengaruhi oleh suhu, tekanan, batuan samping, dan permeabilitas.
8. Potensi endapan emas merupakan titik-titik yang berdasarkan survei
tinjau dinyatakan sebagai titik yang mengandung endapan emas
epithermal dari hasil pengambilan sampel pengeboran dan memiliki
kandungan emas (Au) tinggi serta tumpang tindih dengan Areal
Eksplorasi Tambang Emas.

II.

TINJAUAN PUSTAKA

Pemetaan sebaran potensi deposit emas epithermal dalam penelitian ini


memiliki tahap yang relatif panjang. Hal ini memerlukan pemahaman dalam
karakteristik mineral terkait dan konsep metode yang diterapkan. Pada bab ini
akan diuraikan mengenai gambaran umum, proses pembentukan, serta faktorfaktor yang mempengaruhi keberadaan emas epithermal.
II.1.

Emas

Masyarakat mengenal emas sebagai salah satu jenis logam yang dicirikan
secara fisik berwarna khas kuning, berat, bersifat lembek, serta mengkilap. Logam
ini banyak terdapat pada serbuk bebatuan dan deposit alluvial. Berwarna cokelat
kemerahan jika dalam bentuk bubuk. Kekerasannya berkisar 2,5-3 (skala mohs)
dan memiliki berat jenis yang selalu bergantung pada kandungan mineral yang
berpadu pada saat pembentukan (Diantoro, 2010).

Emas atau dalam bahasa latinnya aurum disimbolkan dengan Au bernomor


atom 79 dalam table periodik unsur. Selain itu emas memiliki sifat yang tahan
terhadap asam, hanya air saja yang melarutkannya dengan membentuk ion
tetrakloroaurat (III), (AuCl4)- dan melebur pada suhu 1064oC (Diantoro,2010).
Baik dari bentuk monovalen maupun trivalennya, emas dapat dengan mudah
direduksi menjadi logam.
Pada umumnya, emas tidak ditemukan sebagai mineral yang terpisah
seperti batuan kerikil dalam pasir. Akan tetapi emas cenderung berikatan dengan
mineral ikutan (gangue mineral) seperti kuarsa, karbonat, turmalin, flourpar, dan
sejumlah kecil mineral non logam. Mineral pembawa emas juga berasosiasi
dengan endapan sulfida yang telah teroksidasi. Mineral pembawa emas terdiri atas
emas nativ, elektrum, emas telurida, sejumlah paduan dan senyawa emas dengan
unsur-unsur belerang, antimon, dan selenium. Elektrum sebenarnya jenis lain dari
emas nativ, hanya kandungan perak di dalamnya > 20% (Faeyumi, 2012).
II.2.

Proses Pembentukan Emas


1. Mineral Emas, Tektonik, dan Struktur Geologi

Menurut Craig dan Vaughen (1981), emas terbentuk oleh pengendapan


larutan hidrotemal serta mengisi di dalam sistem rekahan terbuka/sesar dan
patahan. Selain itu endapan emas terbentuk pada tahap melemah (waning) dari
vulkanisme disebabkan tidak hadirnya ubahan parent intrusions dan extrusive
hydrothermal. Dalam endapan tersier endapan ini merupakan suatu sumber
volkanik untuk ore-bearing hidrotermal.
Pada saat pergerakan sesar, terbentuk juga panas serta friksi, material dari
dinding mengalami crush, kemudian terjadi resementasi seperti leburan yang
membentuk batuan gelas. Sepanjang sesar terbuka terdapat zona breksiasi yang
merupakan fragmen dalam dinding-dinding.
Ruang terbuka tersebut
menyebabkan adanya sirkulasi air tanah dan terisi oleh material dasar yang lebih
halus dan terisi oleh mineral seperti kuarsa atau kalsit hasil presipitasi dari
sirkulasi air.
2. Alterasi Hidrotermal
Alterasi hidrotermal merupakan proses yang kompleks yang melibatkan
perubahan mineralogi, kimiawi, tekstur, dan hasil interaksi fluida dengan batuan
yang dilewatinya. Perubahan tersebut akan bergantung pada karakter batuan
dinding, karakter fluida (Eh, pH), kondisi tekanan maupun temperatur pada saat
reaksi berlangsung, konsentrasi, serta lama aktifitas hidrotermal. Walaupun faktorfaktor di atas saling terkait, tetapi temperatur dan kimia fluida kemungkinan
merupakan factor yang paling berpengaruh pada proses alterasi hidrotermal.

3. Endapan Hidrotermal
Lindgren (1928) menggolongkan mineral-mineral urat yang dihasilkan
dari proses hidrotermal menurut derajat suhu pembentukannya. Mengingat
bertambah dalamnya letak endapan disertai dengan bertambah tinggi suhunya,
maka endapan-endapan tersebut dikelaskan menjadi tiga.
a. Endapan hypothermal, terjadi pada suhu dan tekanan yang tinggi
(300o-500oC) seperti pada pembentukan mineral emas (Au), kasiterit
(SnO2), dan lain-lain.
b. Endapan mesothermal, terjadi pada suhu dan tekanan yang sedang
(200o-300oC) seperti pada pembentukan mineral galenit (PbS), Sfalerit,
dan lain-lain.
c. Endapan epithermal, terjadi pada suhu dan tekanan rendah yang
cenderung dekat dengan permukaan bumi (50o-150oC) seperti
pembentukan mineral pyrite, cinnabar (HgS), dan lain-lain.
Menurut (White dan Hedesquist, 1996) berdasarkan kondisi fluida,
alterasi, tekstur dan mineralogi, endapan epitermal dapat diklasifikasikan menjadi
dua yaitu endapan epitermal sulda rendah dan tinggi (gambar 2.1). Batasan
kedua istilah tersebut di dasarkan pada bilangan redoks (reduksi-oksidasi) unsur S
(Sulfur) dalam larutan mineralisasi. Unsur S dalam sistem hidrotemal yang
mendekati PH netral umumnya memiliki bilangan redoks terendah -2 (misalnya
senyawa HS), kondisi ini diistilahkan sebagai sulfidasi rendah. Istilah sulfida
tinggi digunakan untuk unsur S dalam hidrotermal vulkanik yang mempunyai
bilangan redoks mendekati +4 (misalnya senyawa SO).

Gambar 2.1. Skema Endapan Epithermal


(http://3.bp.blogspot.com/-2I7ckfATA7I/T2fT55NxNQI/AAAAAAAAAJY/vDv4miwuPcs/s1600/epi1.jpg)

Sistem epitermal sulfida rendah, larutan magmatik yang didominasi gas


H2S direduksi pada saat bereaksi dengan batuan samping (wall rock) sehingga
terjadi pengenceran akibat adanya sirkulasi larutan meteorik (air hujan). Kondisi
ini sulfur hadir dengan bilangan oksidasi -2 yang didominasi H2S, sehingga
diistilahkan sebagai sulfida rendah. Di bawah kondisi reduksi yang cukup tinggi
ini sulfida hanya hadir sebagai sulfur sekunder. Ciri-ciri endapan epitermal dilihat
berdasarkan parameter tatanan tektonik, kontrol struktur regional, kontrol struktur
lokal, pola mineralisasi, tekstur mineralisasi, dimensi endapan, host rock,
hubungan waktu, asosiasi geokimia, mineral bijih, logam yang diproduksi, sosiasi
mineral ubahan, ubahan batuan samping, temperatur pengendapan bijih, sifat
larutan, kedalaman pengendapan dan sumber sulfida (White & Hedenquist, 1996).
Ciri-ciri endapan epitermal menurut (Lindgren, 1933) berdasarkan
parameter kedalaman, temperatur, pembentukan, zona bijih, logam bijih, mineral
bijih, mineral penyerta, ubahan batuan samping, tekstur dan struktur serta zonasi
dapat dilihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Ciri Umum Endapan Epithermal (Lindgren, 1933 dalam Faeyumi 2012)

II.3.

Penginderaan Jauh

Sistem satelit dalam penginderaan jauh tersusun atas pemindai (scanner)


dengan dilengkapi sensor pada wahana (platform) satelit, dan sensor tersebut
dilengkapi oleh detektor. Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Penyiam merupakan sistem, perolehan data secara keseluruhan termasuk
sensor dan detektor.
2. Sensor merupakan alat untuk menangkap energi dan mengubahnya ke
dalam bentuk sinyal dan menyajikannya ke dalam bentuk yang sesuai
dengan informasi yang ingin disadap.
3. Detektor merupakan alat pada sistem sensor yang merekam radiasi
elektromagnetik.
II.4.

Sistem Satelit Landsat

Satelit Landsat merupakan salah satu satelit sumber daya bumi yang
dikembangkan oleh NASA dan Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat.
Satelit ini terbagi dalam dua generasi yakni generasi pertama dan generasi kedua.
Generasi pertama adalah satelit Landsat 1 sampai Landsat 3, generasi ini
merupakan satelit percobaan (eksperimental) sedangkan satelit generasi kedua
(Landsat 4 dan Landsat 5) merupakan satelit operasional (Lindgren, 1985),
sedangkan Short (1982) menamakan sebagai satelit penelitian dan pengembangan
(Sutanto, 1994). Satelit generasi pertama memiliki dua jenis sensor, yaitu penyiam
multi spektral (MSS) dengan empat saluran dan tiga kamera RBV (Return Beam
Vidicon).
Satelit generasi kedua adalah satelit membawa dua jenis sensor yaitu
sensor MSS dan sensor Thematic Mapper (TM). Perubahan tinggi orbit menjadi
705 km dari permukaan bumi berakibat pada peningkatan resolusi spasial menjadi
30 x30 meter untuk TM1 - TM5 dan TM7 , TM 6 menjadi 120 x 120 meter.
Resolusi temporal menjadi 16 hari dan perubahan data dari 6 bits (64 tingkatan
warna) menjadi 8 bits (256 tingkatan warna). Kelebihan sensor TM adalah
menggunakan tujuh saluran, enam saluran terutama dititikberatkan untuk studi
vegetasi dan satu saluran untuk studi geologi (tabel 2.1) Terakhir kalinya akhir era
2000-an NASA menambahkan penajaman sensor band pankromatik yang
ditingkatkan resolusi spasialnya menjadi 15m x 15m sehingga dengan kombinasi
didapatkan citra komposit dengan resolusi 15m x 15 m.
Data Landsat 7 ETM+ diperoleh pada tujuh saluran spektral yaitu tiga
saluran tampak, satu saluran inframerah dekat, dua saluran inframerah tengah, dan
satu saluran inframerah thermal. Lokasi dan lebar dari ketujuh saluran ini
ditentukan dengan mempertimbangkan kepekaannya terhadap fenomena alami
tertentu dan untuk menekan sekecil mungkin pelemahan energi permukaan bumi

oleh kondisi atmosfer bumi. Jensen (1986) mengemumakan bahwa kebanyakan


saluran ETM+ dipilih setelah analisis nilai lebihnya dalam pemisahan vegetasi,
pengukuran kelembaban tumbuhan dan tanah, pembedaan awan dan salju, dan
identifikasi perubahan hidrothermal pada tipe-tipe batuan tertentu.
Tabel 2.1 Saluran Citra Landsat 7 ETM+

Sumber : Lillesand dan Kiefer, 1979 dengan modifikasi


Data ETM+ mempunyai proyeksi tanah IFOV (instantaneous field of
view) atau ukuran daerah yang diliput dari setiap piksel atau sering disebut
resolusi spasial. Resolusi spasial untuk keenam saluran spektral sebesar 30 meter,
sedangkan resolusi spasial untuk saluran inframerah thermal adalah 120 m
(Jensen,1986).

II.5.

Defoliant Technique

Defoliant Technique merupakan salah satu metode dalam penajaman citra


yang mampu meminimalisir pengaruh vegetasi dalam eksplorasi mineral dengan
penginderaan jauh. Metode ini menganalisa proses Directed Principal Component
dari dua rasio saluran dan Principal Component Analysis yang berlaku di daerah
tropis (Fraser and Green, 1987 dalam Rojash, 2003). Dalam software ENVI 4.7
proses penentuan band rasio ditentukan melalui spectral library yang tersedia
dalam software tersebut. Input band rasio ditentukan dari perbandingan dua
panjang gelombang yaitu antara panjang gelombang vegetasi dan panjang
gelombang mineral. Principal Component Analysis merupakan salah satu metode
statistik yang menganalisis hubungan antara input band-band yang memiliki
panjang gelombang yang lebih panjang dan kemudian dapat merespon spektral
yang mampu merekam suatu objek dalam permukaan bumi. Proses PCA ini dapat
dilakukan dalam berbagai software seperti ENVI, ArcGis, ERMapper dan lainlain. Gabungan dari band ratio dan PCA ini yang dinamakan proses Direct
Principal Component.
II.6.

Fuzzy Logic

Konsep Fuzzy Logic diperkenalkan pertama kali oleh Zadeh (1993).


Konsep Fuzzy Logic merupakan pengembangan dari logika Boolean/Klasik,
dimana logika Boolean menyatakan bahwa segala hal diekspresikan dalam istilah
binari (seperti : 0 atau 1, hitam atau putih, ya atau tidak). Fuzzy Logic menyatakan
segala hal diekspresikan dalam istilah derajat keanggotaan (seperti; antara 0
hingga 1, tingkat keabuan, hitam dan putih, sedikit, lumayan dan
sangat).
Misalkan A adalah sebuah himpunan Fuzzy, maka Formulasi dari A
(Zadeh, 1993) :

Metode ini merupakan metode konseptual yang digunakan untuk


mengintegrasikan data spasial ke dalam peta potensi mineralisasi. Integrasi data
dilakukan dengan menggunakan utiliti Arc-SDM dalam Spatial Data Modeler
yaitu utiliti tambahan yang terdapat di software ArcGis. Hal pertama yang perlu
dilakukan adalah memberikan nilai fuzzy membership untuk setiap atribut yang
terdapat pada data set berdasarkan konsep suatu permasalahan atau topik.
II.6.

Penelitian Sebelumnya

Penelitian pada daerah tropis pernah dilakukan oleh (Muslim,2009) terkait


Penerapan Metode Fuzzy Logic dalam Pemetaan Potensi Mineralisasi Emas
Epitermal di Kabupaten Sukabumi dengan menggunakan SIG.

Penelitian lain dilakukan oleh (Faeyumi, 2012) yang mencoba memetakan


sebaran potensi emas epitermal di daerah Gunung Pongkor, Bogor. Proses
pemetaan tersebut menggunakan pendekatan geologi serta mineral asosiasi
(alterasi). Pendekatan geologi dilakukan dengan bantuan data dari peta geologi
wilayah penelitian. Untuk zona alterasi memanfaatkan data Citra ASTER yang
diolah untuk melihat sebaran mineral pembawa emas (mineral kuarsa, kaolinit,
pirit, korit dan illite). Hasil olahan data tersebut kemudian digabungkan dengan
metode Fuzzy Logic untuk dioverlaykan dengan data survey lapang mengenai
keberadaan sebaran emas epitermal di wilayah penelitian.
(Wiguna, 2012) juga turut meneliti mengenai sebaran emas epitermal di
Cibaliung, Banten. Sebaran emas epitermal didekati dari informasi geologi dan
juga zona alterasi. Informasi geologi diambil dari peta geologi wilayah penelitian,
sedangkan zona alterasi diperoleh dari pengolahan data Citra ASTER. Mineral
yang berasosiasi dengan emas pada wilayah penelitian yang diamati dengan Citra
ASTER adalah mineral klorit dan mineral smektit-illit. Setelah pra-pengolahan
data dilakukan, proses selanjutnya adalah penggabungan data dengan metode
Weigh of Evidence. Validasi atau akurasi pengolahan data diukur dengan
mengoverlaykan data hasil olahan dengan data bor yang membuktikan keberadaan
emas pada wilayah penelitian.

III.

METODOLOGI

Pemetaan sebaran potensi emas epitermal didasarkan kepada beberapa


tahap pengolahan variabel-variabel yang mempengaruhi proses terbentuknya emas
epitermal. Kemudian semua variabel diintegrasikan dalam Sistem Informasi
Geospasial (SIG). Pada bab ini akan dijelaskan proses dalam penelitian meliputi
bagaimana cara pengumpulan data, pengolahan data, hingga analisis data sehingga
mampu memperoleh informasi sebaran potensi emas epitermal. Secara ringkas
dapat dilihat pada alur pikir penelitian (lihat gambar 3.1) dan tahapan alur kerja
penelitian (lihat gambar 3.2).

III.1. Alur Pikir


Areal Eksplorasi Tambang Emas PT Intan Prima
Metalindo, Kabupaten Kupang

Geologi

Litologi

Landsat 7
ETM+

Struktur
Geologi

Zona
Struktur
Alterasi
Geologi

Titik Sampel
Geokimia

Potensi Deposit Emas Epithermal di Areal Eksplorasi Tambang


Emas
PT Intan Prima Metalindo, Kabupaten Kupang
Sebaran Deposit Emas Epithermal di Areal Eksplorasi Tambang
Emas
PT Intan Prima Metalindo, Kabupaten Kupang

= Menggunakan Fuzzy Logic

Gambar 3.1. Alur Pikir Penelitian


Pada alur pikir penelitian di atas, pendekatan terhadap sebaran potensi
emas epitermal akan dilakukan dari pendekatan geologi dan alterasi
(menggunakan Citra Landsat 7 ETM+). Pendekatan geologi dilakukan dengan
mengolah data litologi batuan dan struktur geologinya (patahan). Litologi batuan
merupakan faktor yang relatif penting karena pada formasi tertentu kandungan
emas epitermal lebih cenderung ekonomis (> 5 ppm) dibandingkan pada jenis
formasi batuan yang lain. Sedangkan dari segi struktur geologi (patahan)
dianalisis menggunakan buffer dari garis/lokasi patahan tersebut terjadi
berdasarkan informasi yang tertera dalam peta geologi. Variabel ini penting karena
fenomena mineralisasi yang mendekati permukaan bumi (termasuk pembentukan
emas epitermal) sangat dipengaruhi keberadaan patahan sebagai jalur
keluarnya/menyusupnya magma dari dalam bumi.
Pendekatan sebaran potensi emas epitermal juga dilakukan dengan
menganalisis sebaran mineral yang berasosiasi dengan emas epitermal. Dalam hal
ini mineral yang diambil adalah Limonit dan Lempung. Sebaran mineral Limonit
dan Lempung akan diperoleh dari hasil pengolahan data Citra Landsat 7 ETM+
dengan teknik Crosta atau Defoliant Technique. Informasi sebaran mineral ini

akan menunjukkan/mengindikasikan juga sebaran emas epitermal yang muncul


hingga ke permukaan bumi.
Dari seluruh hasil pengolahan awal (litologi, struktur, dan alterasi) akan
digabungkan dengan metode Fuzzy Logic untuk dapat menerkan sebaran potensi
emas epitermal. Hasil pengolahan ini akan divalidasi/diuji kebenarannya dengan
mengoverlaykan data hasil olahan dengan data sampel geokimia lapangan (data
sekunder) yang diperoleh langsung dari PT Intan Prima Metalindo hingga
terbentuk informasi sebaran emas epitermal yang terukur kebenaran informasinya.
Untuk dapat menentukan sebaran deposit emas epithermal, maka pemetaan
yang dilakukan didekati dengan beberapa variabel sebagai berikut.
No.

Variabel

Indikator

Struktur geologi

Jarak dari patahan

Litologi

Jenis batuan

Zona alterasi

Sebaran mineral limonit dan lempung

Titik sampel geokimia Kadar kandungan emas (Au) dalam ppm

III.2. Deskripsi Wilayah Penelitian


Kabupaten Kupang merupakan kabupaten yang memiliki topografi
bergunung dan berbukit dengan derajat kemiringan sampai 45O. Permukaan tanah
kritis dan gundul sehingga peka terhadap erosi. Namun pada hamparan dataran
rendah merupakan lahan yang subur dan luas dimana biasanya penduduk
Kabupaten Kupang terkonsentrasi disana. Beberapa kecamatan berada pada
ketinggian 100 mdpl sampai 1000 mdpl. Beberapa kecamatan di daerah Amfoang
misalnya berada antara 500 1000 mdpl, dan beberapa daerah seperti Raijua,
Sabu Barat, Hawu Mehara, daerah Semau, Kupang Barat, Nekamese dll berada 0100 mdpl.
Sedangkan Areal Eksplorasi Tambang PT Intan Prima Metalindo masuk
pada daerah administrasi di 5 (lima) kecamatan, yaitu Kecamatan Fatuleu Barat,
Kecamatan Taebenu, Kecamatan Fatuleu Tengah, Kecamatan Fatuleu, dan
Kecamatan Sulamu. Kelima daerah tersebut berada pada bagian tengah Kabupaten
Kupang.

III.3. Pengumpulan Data


Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan
sekunder. Data tersebut diperoleh baik dari institusi lain maupun pribadi. Berikut
data yang akan dikumpulkan beserta asal datanya.
No.

Data

Jenis Data
Primer

Citra Landsat 7 ETM+

Peta Rupa Bumi Indonesia skala


1:25.000

Peta Geologi skala 1:100.000

Peta Struktur Geologi skala


1:100.000

Hasil Olahan Citra Landsat


(Sebaran Mineral Permukaan)

Dokumentasi Areal Eksplorasi


Tambang

Sekunder

Sumber Data

PT Intan Prima
Metalindo

PT Intan Prima
Metalindo

PT Intan Prima
Metalindo

PT Intan Prima
Metalindo
Survei Lapang
Survei Lapang

III.4. Pengolahan Data


Areal Eksplorasi Tambang Emas PT Intan Prima
Metalindo, Kabupaten Kupang

Geologi

Litologi

Landsat 7
ETM+

Struktur
Geologi
Buffer

Koreksi
Struktur
Citra:
1. Radiometrik
Geologi
2. Geometrik
3. Atmosferik
4. Gap and Fill

Titik Sampel
Geokimia

Pengolahan
Teknik Crosta

Fuzzifikasi
(Sebaran Emas
Epithermal)

Sebaran
Mineral
Permukaan

Sebaran Deposit Emas Epithermal di Areal Eksplorasi Tambang


Emas

Gambar 3.2. Alur Kerja Penelitian

Seperti tampak pada alur kerja penelitian, pengolahan data diawali dengan
pembagian data sesuai jenisnya. Berikut ini merupakan alur kerja pengolahan data
yang dibagi berdasarkan jenis datanya.
1. Pengolahan Data Raster
Pada bagian ini, data raster yang diolah adalah Citra Landsat 7 ETM+.
Citra ini akan melewati dua tahap pengolahan.

a. Pra Pengolahan
Tahap pra pengolahan ini dimaksudkan untuk mengoreksi kesalahan atau
kerusakan yang terjadi pada Citra Landsat yang digunakan. Tahap koreksi ini
meliputi tahap berikut.
-

Koreksi radiometrik

Pengambilan gambaran permukaan bumi dari satelit di angkasa harus


memanfaatkan sensor. Sensor semacam itu tidak selalunya dalam kondisi paling
maksimal dan sering kali mempengaruhi kebenaran data yang diambil. Untuk
mengurangi efek kerusakan data karena faktor sensor ini, digunakan teknik
koreksi radiometrik.
-

Koreksi geometrik

Pada prinsipnya, pemetaan yang benar adalah pemetaan yang


menggunakan acuan proyeksi yang tepat. Begitu halnya dengan pengambilan citra
satelit semacam Landsat juga dalam pengambilan gambaran permukaan bumi
masih mengalami kekurangan dalam ketepatan proyeksi karena bumi yang
elips/bulat pepat ini masih dianggap sebagai benda datar sehingga dibutuhkan
koreksi geometrik untuk membuang kesalahan semacam ini.
-

Koreksi atmosferik

Pengaruh atmosfer seperti halnya pengaruh pada sumber tenaga, yaitu


merupakan fungsi panjang gelombang, sensor yang digunakan, dan terapan
penginderaannya. Penghapusan pengaruh atmosfer di dalam pengolahan citra
disebut koreksi atmosfer. Koreksi atmosfer dapat dilakukan melalui beberapa
bentuk kalibrasi sesuai dengan terapan dan pengamatan temporal suatu wilayah
geografis.
-

Gap and filling

Beberapa tahun terakhir, satelit yang menyediakan data Citra Landsat


mengalami kerusakan sensor yang membuat datanya mengalami kerusakan cukup
fatal. Citra yang ditampilkan menjadi mengalami bising yang cukup lebar dan
merusak hampir 40% data di seriap scene Landsat. Oleh karena itu muncul teknik
baru untuk bisa mengoreksi kerusakan semacam itu berupa gap and fill.
b. Pengolahan
Dalam penelitian ini, Teknik Crosta digunakan untuk mengolah data citra
Landsat 7 ETM+. Teknik Crosta juga dikenal sebagai metode pemilihan Principal
Component berorientasi fitur. Hal ini berdasarkan pada analisa nilai eigen vector
untuk mengidentifikasi komponen mana yang mengandung informasi spectral

untuk material tertentu dan juga untuk menghitung kontribusi dari setiap band
terhadap komponen utama dalam hubungannya dengan respon spektral dari
material yang dimaksud. Hasil dari analisa ini ditunjukkan dengan warna terang
atau gelap pada citra hasil olahan berdasarkan pada besarnya nilai eigen vektor.
Teknik ini dapat digunakan untuk mengetahui dan membuat peta zona alterasi
hidrotermal (Crosta dan Moore, 1989 dalam Novriadi 2005). Zona alterasi
hidtrotermal yang dihasilkan dari citra Landsat 7 ETM+ terbagi atas alterasi
Limonit (Oksida Besi) dan alterasi Hidroksil (Lempung). Zona alterasi ini
dipetakan dengan menggunakan band 1, 3, 4, dan 5 untuk alterasi Limonit dan
band 1, 4, 5 dan 7 untuk alterasi Lempung (Crosta dan Rabelo, 1993 dalam
Novriadi 2011).
2. Pengolahan Data Vektor
-

Litologi

Data litologi biasanya mengidentifikasikan batuan induk (host rock) atau


sumber panas dari mineralisasi emas epitermal di suatu daerah. Salah satu teknik
pembobotan menurut Caranza dan Hale menjelaskan bahwa satuan litologi yang
diketahui menjadi batuan induk dari endapan mineral. Pembobotan litologi dalam
penelitian ini dilakukan dengan mempertimbangkan dua hal yang berhubungan
dengan batuan intrusi dengan batuan sekitar yang berpotensi menjadi batuan
induk serta data adanya mineralisasi pada daerah penelitian. Teknik pembobotan
dihasilkan melalui wawancara ahli geologi dan kemudian diolah menggunakan
salah satu fungsi fuzzy yaitu Fuzzy Large dalam software Arc GIS 10.
-

Struktur Geologi

Penyelidikan dan eksplorasi emas di daerah Flores yang dilakukan oleh


(Widodo, 2004), menunjukkan bahwa mineralisasi emas epitermal berasosiasi
dengan zona patahan atau sesar sebagai jalur keluarnya fluida hidrotermal. Sama
halnya konsep tersebut, dalam penelitian ini dilakukan buffer pada struktur
geologi patahan meliputi sesar dan patahan. Langkah buffer dilakukan dengan
jarak 50 meter dan paling jauh 500 meter dari struktur sesar. Klasifikasi Buffer
pada patahan dalam penelitian ini dibuat 10 daerah penyangga dengan interval 50
meter. Pemberian nilai fuzzy untuk tiap daerah penyangga (buffer) menggunakan
salah satu fungsi dalam fuzzy logic yaitu fungsi Fuzzy Small dalm software Arc
Gis 10.
3. Penggabungan Operasi Fuzzy Logic
Setelah pengolahan data litologi, struktur geologi dan pengolahan zona
alterasi dihasilkan dengan menggunakan masing masing fungsi fuzzy, langkah
pengolahan terakhir untuk menghasilkan peta sebaran emas epitermal adalah
dengan mengintegrasikan hasil pengolahan ketiga variabel tersebut dengan konsep

Fuzzy Logic. Proses integrasi tersebut menggunakan salah satu operator dalam
fuzzy yaitu Fuzzy Gamma. Setelah dihasilkan peta sebaran emas epitermal
kemudian dioverlay dengan data titik sampel geokimia (Au) yang ada untuk
menghasilkan peta sebaran potensi emas epitermal.
III.5. Analisis
a.

Sebaran Mineral Pemukaan dan Zona Alterasi

Analisis untuk menentukan hasil dari sebaran mineral permukaan


menggunakan analisis dari hasil olahan fungsi fuzzy large. Nilai fuzzy kemudian
dideskripsikan untuk menentukan sebaran mineral yang ada dalam daerah
penelitian. Analisis zona alterasi dari hasil fuzzifikasi (gabungan nilai fuzzy dari
setiap pixel) pada semua mineral permukaan.
b.

Asosiasi Zona Alterasi dengan Sebaran Variabel Fisik

Analisis ini dilakukan dari hasil fuzzifikasi variabel fisik, seperti


keberadaan struktur geologi kaitannya dengan adanya mineral pembawa emas
yang mengisi dalam rekahan tersebut. Selain itu litologi asosiasi dengan mineral
permukaan sebagai pembawa emas epitermal. Semua analisis di atas
menggunakan analisis deskriptif.
c.

Titik Sampel Geokimia

Analisis ini merupakan analisis deskriptif dari data sekunder yaitu berupa
presentase kandungan unsur-unsur kimia pada setiap data titik sampel di daerah
penelitian. Uji validasi dilakukan dengan meng-overlay-kan hasil klasifikasi data
titik sampel dengan klasifikasi sebaran emas epitermal hasil pengolahan Citra
Landsat 7 ETM+ dan hasil pengolahan Fuzzy Logic.
d.

Sebaran Potensi Emas Epitermal

Analisis sebaran potensi sebaran emas epitermal ini merupakan hasil dari
fuzzifikasi masing-masing variabel dengan menggunakan operator fuzzy gamma.
Sebaran potensi emas tersebut akan menghasilkan tiga kelas berdasarkan nilai
fuzzy. Selain itu dalam analisis ini juga dikaitkan dengan hasil analisis data titik
sampel geokimia pada masing-masing titik sampel, serta melihat kondisi
eksisiting lokasi eksplorasi pertambangan.

DAFTAR PUSTAKA
Caranza and Hale. 2003. Geologically-Constrained Fuzzy Mapping of Gold
Mineralization Potential, Baguio District, Philippines. Master of Science in
Mineral Exploration, ITC Delft.
Diantoro, Y. 2010. Emas: Investasi dan Pengolahannya (Pengolahan Emas Skala
Home Industry). PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Faeyumi. 2012. Sebaran Potensi Emas Epitermal Di Areal Eksploitasi Pt Antam
Unit Geomin, Tbk Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor. Jurusan
Geografi Universitas Indonesia. Depok.
Lillesand, K, dan Chipman. 2004. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra.
Universitas Gajah Mada Press. Yogjakarta.
Muslim, H.D. 2009. Penerapan Metode Fuzzy Logic Dalam Pemetaan Potensi
Mineralisasi Emas Epitermal di Kabupaten Sukabumi Menggunakan Sistem
Informasi Geografis (SIG). Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan
Insitut Teknologi Bandung. Bandung.
Novriadi, 2005. Penerapan Metode Fuzzy Logic dalam Pemetaan Potensi
Mineralisasi Emas Epitermal di Pulau Flores, NTT dengan Menggunakan
SIG. Program Studi Rekayasa Pertambangan Institut Teknologi Bandung.
Bandung.
Rojash. 2003. Predictive Mapping of Massive Sulphide Potential in The Western
Part of The Escambray Terrain, Cuba. Enschede, Netherland: International
Institute for Geo-Information Science and Earth Observation.
Widodo. 2004. Laporan Hasil Kegiatan Ekplorasi Bahan Galian Logam Mulia
dan Logam Dasar pada wilayah Penugasan Pertambangan, Direktorat
Inventarisasi Sumber Daya Mineral di Daerah Tepungsari sekitarnya,
Kabupaten Lumajang. Jawa Timur.
Wiguna, Sesa. 2012. Sebaran Potensi Deposit Emas Epitermal di Cibaliung,
Pandeglang-Banten. Jurusan Geografi Universitas Indonesia. Depok.

Anda mungkin juga menyukai